Perkembangan Konsep Demokrasi dan Hak As

PERKEMBANGAN KONSEP DEMOKRASI DAN HAM
DI INDONESIA

Oleh:
Manik Sukoco (15730251008)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN
KEWARGANEGARAAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah demokrasi dan HAM selalu menjadi lahan subur bagi
masyarakat umum, praktisi politik, atau kalangan akademisi yang
berminat mengetahui konsep atau jenis pemerintahan yang dianggap
baik. Dari cikal bakal kelahirannya di Yunani sampai terjadinya arus
deras gelombang demokratisasi ketiga sebagaimana dikonstruksikan
oleh Huntington maupun awal millenium ini, kedua hal di atas terus

menjadi sorotan. Terlebih banyaknya upaya-upaya yang dilakukan oleh
para pejuang demokrasi di berbagai belahan dunia seperti Eropa,
Amerika Latin bahkan juga Asia untuk menurunkan rezim otoriter
yang nyata-nyata tidak demokratis dan menindas pelaksanaan HAM.
Dalam semangat yang demikian, Robert A. Dahl sebagaimana
dikutip oleh Eep Saefulloh Fatah (1994: 10) menyebutkan bahwa
perubahan ke arah demokrasi dalam sejarah praktek negara-negara
dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap transformasi. Transformasi
demokrasi pertama adalah demokrasi yang kecil ruang lingkupnya,
berbentuk demokrasi langsung. Tahap transformasi ini terjadi dalam
praktek politik Yunani dan Athena. Transformasi demokrasi
diwujudkan

dengan

diperkenalkannya

praktek

kedua


republikanisme,

perwakilan dan logika persamaan. Sedangkan transformasi demokrasi
ketiga dialami oleh kehidupan politik modern saat ini. Tahapan ketiga
ini dicirikan oleh belum adanya kepastian, apakah akan tercapai
sebentuk

demokrasi

yang

lebih

maju

yaitu

demokrasi


yang

memusatkan diri pada pencarian sumber-sumber ketidaksamaan dan
berusaha melaksanakan persamaan dalam masyarakat atau malah
kembali kepada bentuk demokrasi zaman Yunani Kuno. Ini merupakan
tantangan zaman

yang harus terus diperjuangkan agar kehidupan

demokratis berikut penegakan HAM tidak hanya sebatas utopi.
Melalui tulisan ini, penulis berusaha mengkaji hubungan
demokrasi dengan HAM melalui beberapa poin. Pertama, mengulas
mengenai demokrasi, hakikat dan pemaknaannya. Kedua, hubungan

Halaman | 1

antara konsep HAM dan demokrasi. Ketiga, perkembangan demokrasi
dan HAM. Keempat, kewajiban perlindungan HAM. Kelima, prospek
demokratisasi dan pengembangan HAM di Indonesia


BAB II
PEMBAHASAN
A. Demokrasi, Hakikat dan Pemaknaannya
Kajian demokrasi pada garis besarnya dapat dikelompokkan
dalam dua sudut pandang, yaitu kajian tentang demokrasi

secara

normatif melalui pengelaborasian gagasan-gagasan, ide-ide yang
bersifat abstraksi tentang hakekat demokrasi itu sendiri. Sedangkan
di lain pihak, konsep demokrasi dapat pula ditelaah dari segi
prosedural, yaitu bagaimana praktek demokrasi di suatu

negara.

Sebelum melangkah lebih jauh dalam memahami demokrasi, perlu
disadari bahwa sikap ethnosentrisme dalam konteks ini harus
dihindari. Sebab sikap ini menjadikan kita tidak mampu menatap diri
sendiri secara objektif.
Peristilahan demokrasi tumbuh sejalan dengan perkembangan

masyarakat. Semakin tinggi tingkat kompleksitas masyarakat maka
semakin rumit dan tidak sederhana pula konsep demokrasi. Bila
dirunut sejarah peristilahan demokrasi tumbuh pertama kali dalam
praktik kehidupan negara-negara kota Yunani dan Athena (450 SM
-350 SM). Dalam tahun 431 SM,

Pericles, seorang negarawan dari

Athena mendefinisikan demokrasi dengan mengemukakan beberapa
kriteria. Pertama, pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi yang
penuh dan langsung.

Kedua, kesamaan di depan hukum.

Ketiga,

pluralisme, yaitu penghargaan atas semua bakat, minat, keinginan
dan pandangan.
dan


wilayah

Keempat, penghargaan terhadap suatu pemisahan

pribadi

untuk

memenuhi

dan

mengekspresikan

kepribadian individual (Macridis, 1983 : 19-20). Seiring dengan
pendapat

Pericles

ini juga terdapat nama-nama seperti


Plato,

Aristoteles, Polybius, dan Cicero yang meletakkan dasar-dasar bagi
pengertian demokrasi.

Halaman | 2

Dalam
demokrasi

perkembangannya

mengalami

masa

kemudian,
subur


pertumbuhan

dan

pergeseran

pemoderenan pada masa kebangunan kembali dan

ke

istilah
arah

renaisance.

Dalam masa ini muncul pemikiran-pemikiran besar tentang hubungan
antara penguasa atau negara di satu pihak dengan rakyatdi pihak lain.
Di antaranya pemikiran baru dan mengejutkan tentang kekuasaan
dari


Niccolo Machiavelli

(1469-1527), serta pemikiran tentang

kontrak sosial dan pembagian kekuasaan dari Thomas Hobbes (15881679), John Locke (1632-1704), Montesquieu (1689-1755), dan Jean
Jaques Rousseau

(1712-1778). Pemikiran-pemikiran dari sejumlah

nama besar tersebut telah memberikan sumbangan yang penting bagi
upaya pendefinisian kembali atau aktualisasi istilah demokrasi.
Pada pertengahan abad ke-20, wacana demokrasi muncul dalam
tiga pendekatan umum. Pendekatan itu terbagi dalam pendefinisian
demokrasi berdasarkan sumber wewenang bagi pemerintah, tujuan
yang dilayani oleh pemerintah dan prosedur untuk membentuk
pemerintah.

Dalam

kerangka


ini

dapat

ditelusuri

berbagai

pendefinisian demokrasi sebagai sebuah ide politik modern.
Robert A. Dahl (1985 : 10-11) memberikan lima kriteria bagi
demokrasi yaitu:

1) persamaan hak pilih dalam menentukan

keputusan kolektif yang mengikat.

2) partisipasi efektif, yaitu

kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses

pembuatan keputusan secara kolektif.

3) pembeberan kebenaran,

yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan
penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara
logis. 4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan
ekslusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus
dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk
mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang
mewakili masyarakat. 5) pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat
mencakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum.
Dalam

definisinya

ini

tampak

bahwa

Dahl

mementingkan

keterlibatan masyarakat dalam proses formulasi kebijakan, adanya
pengawasan

terhadap

kekuasaan

dan

dijaminnya

persamaan

Halaman | 3

perlakuan negara terhadap semua warga negara sebagai unsur-unsur
pokok demokrasi.
Selanjutnya pemaknaan demokrasi dalam tataran empiris,
menurut Afan Gaffar (1999) dapat dicermati melalui beberapa
indikator berikut: 1) akuntabilitas; 2) rotasi kekuasaan; 3) rekrutmen
politik yang terbuka; 4) pemilu yang demokratis; dan 5) warga negara
menikmati hak-hak dasarnya (HAM). Dalam pemerintahan demokratis,
akuntabilitas atau pertanggungjawaban dari setiap pemegang jabatan
merupakan hal yang esensial. Pertanggungjawaban yang diberikan itu
menyangkut kebijakan yang telah dan hendak ditempuh serta perilaku
diri dan anggota keluarganya. Sementara itu, rotasi kekuasaan terkait
dengan persoalan peluang bagi setiap orang untuk memegang
jabatan. Peluang yang diberikan itu harus dilakukan secara teratur
dan dengan cara yang damai. Sedangkan rekrutmen politik yang
terbuka memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang yang
memenuhi syarat untuk berkompetisi dalam mengisi jabatan politik.
Selanjutnya

pemilihan

umum

yang

demokratis

memberikan

penekanan kepada kebebasan setiap individu untuk berafiliasi dengan
partai politik manapun serta menggunakan hak pilih sesuai dengan
hati nuraninya. Disamping itu juga memberikan kesempatan bagi
mereka untuk bebas melakukan pemantauan terhadap segala aktifitas
pemilihan, mulai dari kampanye sampai pada penghitungan suara.
Akhirnya, dalam pemerintahan yang demokratis memberi peluang
bagi setiap warganya untuk menikmati hak-hak dasarnya seperti hak
untuk menyatakan pendapat, hak untuk berserikat dan berkumpul,
hak untuk menikmati pers yang bebas dan berbagai hak dasar lainnya.
Berangkat dari beberapa pemaknaan demokrasi dari tataran
ideal dan empiris, dapat dipahami bahwa demokrasi bukanlah sistem
yang mudah dan murah, karena dipenuhi oleh hal-hal paradoks
sebagaimana dikatakan oleh Eep Saefulloh Fatah (2000). Beberapa
paradoks yang ada dalam demokrasi adalah: 1) kebebasan dan
keteraturan

atau

keleluasaan

dan

kontrol;

2)

kompetisi

dan

persamaan; 3) pengawasan yang kuat dan pemerintahan yang efektif;
4) dinamika dan stabilitas; serta 5) kesejahteraan dan keadilan. Oleh

Halaman | 4

karena itu, proses demokratisasi selalu membutuhkan waktu dan
biaya.

B. Konsep HAM dan Demokrasi
HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan
relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di
seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga dapat dimaknai
sebagai hasil perjuangan

manusia

untuk

mempertahankan

dan

mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya
konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan
menjamin harkat kemanusiaan.
Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis
berupa relativitas manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya,
tidak ada manusia yang dianggap menempati posisi lebih tinggi,
karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk
mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki
oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka
semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara
relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak, dan
yang lain berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang
bertentangan dengan kemanusiaan dan ketuhanan.
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan
seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak
inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak
yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan
karunia

Sang

Pencipta.

Karena

setiap

manusia

diciptakan

kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka prinsip
persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi
sosial. Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup
dalam komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan
dan mencapai tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan
secara individual. Akibatnya, muncul struktur sosial. Dibutuhkan
kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial tersebut.
Kekuasaan dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan
legitimasi religius, legitimasi ideologis eliter atau pun legitimasi
pragmatis (Franz Magnis-Suseno (1999: 30-66). Namun kekuasaan

Halaman | 5

berdasarkan

legitimasi-legitimasi

mengingkari

kesamaan

dan

tersebut

dengan

kesederajatan

sendirinya

manusia,

karena

mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia
lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan ketiga legitimasi
diatas akan menjadi kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya
menempatkan

kelompok

yang

memerintah

sebagai

pihak

yang

berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan
kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga
legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang
otoriter.
Konsepsi
mekanisme

demokrasilah

kekuasaan

yang

memberikan

berdasarkan

prinsip

landasan

dan

persamaan

dan

kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai
pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan
rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial, untuk memenuhi hakhak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang
secara

individual,

tetapi

harus

bersama-sama.

Maka

dibuatlah

perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan
bersama,

batas-batas

bertanggungjawab

untuk

hak

individual,

pencapaian

dan

tujuan

siapa

yang

tersebut

dan

menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya.
Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai
hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang
kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan
negara. Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan
umum untuk memilih wakil rakyat dan pejabat publik lainnya (Sabine,
1961: 517-596).
Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat
terkait dengan konsepsi negara hukum. Dalam sebuah negara hukum,
sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia.
Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum
yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah
negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi
konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara
hukum,

sekaligus

merupakan

pelaksanaan

demokrasi

karena

konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi (Jimly Asshiddiqie,
2005: 152-162).

Halaman | 6

Selain itu, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat
menjamin

peran

serta

masyarakat

dalam

proses

pengambilan

keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang
diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan
keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak
oleh

dan

atau

hanya

untuk

kepentingan

penguasa.

Hal

ini

bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan
untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa,
melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan
demikian

negara

hukum

yang

dikembangkan

bukan

absolute

rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat (Jimly Asshiddiqie,
2005: 170-174).
Sebagaimana

telah

berhasil

dirumuskan

dalam

naskah

Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan mengenai hak-hak asasi
manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat
dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi Undang-Undang
Dasar ini sebenarnya berasal dari rumusan Undang-Undang yang
telah disahkan sebelumnya, yaitu UU tentang Hak Asasi Manusia. Jika
dirumuskan kembali, maka materi yang sudah diadopsikan ke dalam
rumusan Undang-Undang Dasar 1945 mencakup 27 materi berikut:
1. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya (Pasal 28A Perubahan Kedua UUD 1945).
2. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah (Pasal 28B ayat 2 Perubahan Kedua UUD
1945).
3. Setiap

anak

berhak

atas

kelangsungan

hidup,

tumbuh

dan

berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi (Pasal 28B ayat 2 Perubahan Kedua UUD 1945).
4. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu (Pasal 28 I ayat 2 Perubahan
Kedua UUD 1945).
5. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali (Pasal 28E ayat 1 Perubahan

Halaman | 7

Kedua UUD 1945).
6. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya (Pasal 28E ayat
2 Perubahan Kedua UUD 1945).
7. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat (Pasal 28E ayat 3 Perubahan Kedua UUD
1945).
8. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia (Pasal 28F Perubahan Kedua UUD 1945).
9. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta
berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi
(Pasal 28G ayat 1 Perubahan Kedua UUD 1945).
10.

Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan
yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh
suaka politik dari negara lain (Dari Pasal 28G ayat 2 Perubahan Kedua
UUD 1945).

11.

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan (berasal dari Pasal 28H ayat
1 Perubahan Kedua UUD 1945).

12.

Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan (Pasal 28H ayat 2 Perubahan Kedua
UUD 1945).

13.

Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat
(Pasal 28H ayat 3 Perubahan Kedua UUD 1945).

14.

Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapapun (Pasal 28H ayat 4 Perubahan Kedua UUD 1945).

15.

Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh

Halaman | 8

manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia (berasal dari Pasal 28C ayat 1 Perubahan Kedua UUD 1945).
16.

Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,
bangsa dan negaranya (Dari Pasal 28C ayat 2 Perubahan Kedua UUD
1945).

17.

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum (berasal dari Pasal 28D ayat 1 Perubahan Kedua UUD 1945).

18.

Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (berasal dari
Pasal 28D ayat 2 Perubahan Kedua UUD 1945).

19.

Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan (berasal dari
Pasal 28E ayat 4 Perubahan Kedua UUD 1945).

20.Negara, dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi hak setiap
orang untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut (berasal dari rumusan Pasal 28I
ayat 1 Perubahan Kedua UUD 1945).
21.

Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan
tingkat peradaban bangsa (Berasal dari Pasal 28I ayat 3 UUD 1945).

22.Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan
yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya (penyempurnaan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945).
23.Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan

hak

asasi

manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (berasal
dari Pasal 28I ayat 4 Perubahan Kedua 1945).
24.Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi hak asasi manusia
sesuai

dengan

prinsip

negara

hukum

yang

demokratis,

maka

pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan (berasal dari Pasal 28I ayat 5
Perubahan Kedua UUD 1945).
25.Untuk menjamin pelaksanaan penegakan HAM, dibentuklah Komisi

Halaman | 9

Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang bersifat independen
menurut ketentuan yang diatur dengan undang-undang.
26.Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
27.

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis (berasal dari Pasal 28J Perubahan Kedua UUD
1945).
Jika ke-27 ketentuan yang sudah diadopsikan ke dalam Undang-

Undang Dasar diperluas dengan memasukkan elemen baru yang bersifat

menyempurnakan

rumusan

yang

ada,

lalu

dikelompokkan

kembali sehingga mencakup ketentuan-ketentuan baru yang belum
dimuat di dalamnya, maka rumusan hak asasi manusia dalam UndangUndang Dasar dapat mencakup lima kelompok materi sebagai berikut:
1. Kelompok Hak-Hak Sipil yang dapat dirumuskan menjadi:
a. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
kehidupannya.
b. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau
penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan
martabat kemanusiaan.
c. Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan.
d. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya.
e. Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran dan
hati nurani.
f. Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum.
g. Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum
dan pemerintahan.
h. Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut.
i. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah.

Halaman | 10

j. Setiap orang berhak akan status kewarganegaraan.
k. Setiap orang berhak untuk bebas bertempat tinggal di wilayah
negaranya, meninggalkan dan kembali ke negaranya.
l. Setiap orang berhak memperoleh suaka politik.
m. Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.
Terhadap hak-hak sipil tersebut, dalam keadaan apapun atau bagaimanapun, negara tidak dapat mengurangi arti hak-hak yang ditentukan.
Namun, ketentuan tersebut tentu tidak dimaksud dan tidak dapat
diartikan atau digunakan sebagai dasar untuk membebaskan seseorang
dari penuntutan atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
diakui

menurut

ketentuan

hukum

Internasional.

Pembatasan

dan

penegasan ini penting untuk memastikan bahwa ketentuan tersebut tidak
dimanfaatkan secara semena-mena oleh pihak-pihak yang berusaha
membebaskan diri dari ancaman tuntutan.
2. Kelompok Hak-Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya
a. Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan
menyatakan pendapatnya secara damai.
b. Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam
rangka lembaga perwakilan rakyat.
c. Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatanjabatan publik.
d. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan
yang sah dan layak bagi kemanusiaan.
e. Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat

perlakuan

yang

layak

dalam

hubungan

kerja

yang

berkeadilan.
f. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi.
g. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan
untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya
sebagai manusia yang bermartabat.
h. Setiap

orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh

informasi.
i. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan
dan pengajaran.

Halaman | 11

j. Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk
peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia.
k. Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak
masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat
peradaban bangsa (berasal dari Pasal 28I ayat 3 UUD 1945).
l. Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan
nasional.
m. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan
yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran
agamanya (penyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945).
3. Kelompok Hak-Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan
a. Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk
kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan
terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan yang sama.
b. Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mencapai kesetaraan
gender dalam kehidupan nasional.
c. Hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dikarenakan
oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum.
d. Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian dan perlindungan
orangtua, keluarga, masyarakat dan negara bagi pertumbuhan fisik
dan mental serta perkembangan pribadinya.
e. Setiap

warga

negara

berhak

untuk

berperan

serta

dalam

pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari
pengelolaan kekayaan alam.
f. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
g. Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang bersifat sementara
dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan yang sah
yang dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat perkembangan
kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminasi
dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan
khusus sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal ini, tidak
termasuk dalam pengertian diskriminasi sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1 ayat (13).
4. Tanggungjawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia

Halaman | 12

a. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk
memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama,
moralitas dan kesusilaan, keamanan dan ketertiban umum dalam
masyarakat yang demokratis.
c. Negara

bertanggungjawab

atas

perlindungan,

pemajuan,

penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia.
d. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak
memihak yang pembentukan, susunan dan kedudukannya diatur
dengan undang-undang.
Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konstitusional
terhadap hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan dianggap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum
di suatu negara. Namun di samping hak-hak asasi manusia, harus pula
dipahami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggungjawab
yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama hidupnya sejak sebelum
kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai manusia.
Pembentukan negara dan pemerintahan, untuk alasan apapun, tidak
boleh menghilangkan prinsip hak dan kewajiban yang disandang oleh
setiap manusia. Karena itu, jaminan hak dan kewajiban itu tidak ditentukan oleh kedudukan orang sebagai warga suatu negara. Setiap
orang di manapun ia berada harus dijamin hak-hak dasarnya. Pada
saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia berada, juga wajib
menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagaimana mestinya.
Keseimbangan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban asasi ini
merupakan ciri penting pandangan dasar bangsa Indonesia mengenai
manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bangsa Indonesia memahami bahwa The Universal Declaration
of Human Rights yang dicetuskan pada tahun 1948 merupakan pernyataan umat manusia yang mengandung nilai-nilai universal yang
wajib dihormati. Bersamaan dengan itu, bangsa Indonesia juga

Halaman | 13

memandang

bahwa

The

Universal

Declaration

of

Human

Responsibility yang dicetuskan oleh Inter-Action Council pada tahun
1997 juga mengandung nilai universal yang wajib dijunjung tinggi untuk melengkapi The Universal Declaration of Human Rights tersebut.
Kesadaran umum mengenai hak-hak dan kewajiban asasi manusia itu
menjiwai keseluruhan sistem hukum dan konstitusi Indonesia, dan
karena itu, perlu diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang
Dasar atas dasar pengertian-pengertian dasar yang dikembangkan
sendiri oleh bangsa Indonesia. Karena itu, perumusannya dalam
Undang-Undang Dasar ini mencakup warisan-warisan pemikiran
mengenai hak asasi manusia di masa lalu dan mencakup pula pemikiran-pemikiran yang masih terus akan berkembang di masa-masa
yang akan datang.
C. Perkembangan Demokrasi dan HAM
Sejak awal abad ke-20, gelombang aspirasi ke arah kebebasan
dan kemerdekaan umat manusia dari penindasan penjajahan meningkat tajam dan terbuka dengan menggunakan pisau demokrasi dan
hak asasi manusia sebagai instrumen perjuangan yang efektif dan
membebaskan.

Puncak

perjuangan

kemanusiaan

itu

telah

menghasilkan perubahan yang sangat luas dan mendasar pada
pertengahan abad ke-20 dengan munculnya gelombang dekolonisasi
di seluruh dunia dan menghasilkan berdiri dan terbentuknya negaranegara baru yang merdeka dan berdaulat di berbagai belahan dunia.
Perkembangan demokratisasi kembali terjadi dan menguat pasca
perang dingin yang ditandai runtuhnya kekuasaan komunis Uni Soviet
dan Yugoslavia. Hal ini kemudian diikuti proses demokratisasi di
negara-negara dunia ketiga pada tahun 1990-an (Huntington, 1991:
141-208).
Semua

peristiwa

yang

mendorong

munculnya

gerakan

kebebasan dan kemerdekaan selalu mempunyai ciri-ciri hubungan
kekuasaan yang menindas dan tidak adil, baik dalam struktur
hubungan antara satu bangsa dengan bangsa yang lain maupun dalam
hubungan

antara

satu

pemerintahan

dengan

rakyatnya.

Dalam

wacana perjuangan untuk kemerdekaan dan hak asasi manusia pada
awal

sampai

pertengahan

abad

ke-20

yang

menonjol

adalah

perjuangan mondial bangsa-bangsa terjajah menghadapi bangsa-

Halaman | 14

bangsa penjajah. Karena itu, rakyat di semua negara yang terjajah
secara mudah terbangkitkan semangatnya untuk secara bersamasama menyatu dalam gerakan solidaritas perjuangan anti penjajahan.
Sedangkan yang lebih menonjol selama paruh kedua abad ke-20
adalah perjuangan rakyat melawan pemerintahan yang otoriter.
Wacana demokrasi dan kerakyatan di suatu negara, tidak mesti
identik dengan gagasan rakyat di negara lain yang lebih maju dan
menikmati kehidupan yang jauh lebih demokratis. Karena itu, wacana
demokrasi dan hak asasi manusia di zaman sekarang juga digunakan,
baik oleh kalangan rakyat yang merasa tertindas maupun oleh
pemerintahan negara-negara lain yang merasa berkepentingan untuk
mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia di negara-negara
lain yang dianggap tidak demokratis. Karena itu, pola hubungan
kekuasaan antar negara dan aliansi perjuangan di zaman dulu dan
sekarang mengalami perubahan struktural yang mendasar. Dulu,
hubungan internasional diperankan oleh pemerintah dan rakyat dalam
hubungan yang terbagi antara hubungan Government to Government
(G to G) dan hubungan People to People (P to P). Sekarang, pola
hubungan itu berubah menjadi bervariasi, baik G to G, P to P maupun
G to P atau P to G. Semua kemungkinan bisa terjadi, baik atas
prakarsa institusi pemerintahan ataupun atas prakarsa perseorangan
rakyat biasa. Bahkan suatu pemerintahan negara lain dapat bertindak
untuk melindungi warga-negara dari negara lain atas nama perlindungan hak asasi manusia (Jimly Asshiddiqie, 2005: 209-228).
Dengan perkataan lain, masalah pertama yang kita hadapi
dewasa ini adalah bahwa pemahaman terhadap konsep hak asasi
manusia

itu

perspectives

haruslah
of

power

dilihat
yang

dalam

tepat.

konteks

Bahkan,

relationalistic

konsep

hubungan

kekuasaan itu sendiripun juga mengalami perubahan berhubung
dengan kenyataan bahwa elemen-elemen kekuasaan itu dewasa ini
tidak saja terkait dengan kedudukan politik melainkan juga terkait
dengan kekuasaan-kekuasaan atas sumber-sumber ekonomi, dan
bahkan teknologi dan industri yang justru memperlihatkan peran yang
makin penting dewasa ini. Oleh karena itu, konsep dan prosedur-prosedur hak asasi manusia dewasa ini selain harus dilihat dalam konteks
hubungan kekuasaan politik, juga harus dikaitkan dengan konteks

Halaman | 15

hubungan

kekuasaan

ekonomi

dan

industri

(Giddens,

2003;

Fukuyama, 2005).
Dalam kaitan dengan itu, pola hubungan kekuasaan dalam arti
yang baru itu dapat dilihat sebagai hubungan produksi yang
menghubungkan antara kepentingan produsen dan kepentingan
konsumen. Dalam era industrialisasi yang terus meningkat dengan
bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat
dewasa ini, dinamika proses produksi dan konsumsi ini terus
berkembang

di

semua

sektor

kehidupan

kemasyarakatan

dan

kenegaraan umat manusia dewasa ini. Kebijakan politik, misalnya,
selain dapat dilihat dengan kacamata biasa, juga dapat dilihat dalam
konteks produksi. Negara, dalam hal ini merupakan produsen,
sedangkan rakyat adalah konsumennya. Karena itu, hak asasi manusia
di zaman sekarang dapt dipahami secara konseptual sebagai hak
konsumen yang harus dilindungi dari eksploitasi demi keuntungan
dan kepentingan sepihak kalangan produsen.
Dalam hubungan ini, Jimly Ashiddiqqie (2005) berpendapat
bahwa konsep dan prosedur hak asasi manusia mau tidak mau harus
dikaitkan dengan persoalan-persoalan:
1. Struktur kekuasaan dalam hubungan antar negara yang dewasa ini
dapat dikatakan sangat timpang, tidak adil, dan cenderung hanya
menguntungkan negara-negara maju ataupun negara-negara yang
menguasai

dan

mendominasi

proses-proses

pengambilan

keputusan dalam berbagai forum dan badan-badan internasional,
baik yang menyangkut kepentingan-kepentingan politik maupun
kepentingan-kepentingan ekonomi dan kebudayaan.
2. Struktur kekuasaan yang tidak demokratis di lingkungan internal
negara-negara yang menerapkan sistem otoritarianisme yang
hanya menguntungkan segelintir kelas penduduk yang berkuasa
ataupun kelas penduduk yang menguasai sumber-sumber ekonomi.
3. Struktur

hubungan

kekuasaan

yang

tidak

seimbang

antara

pemodal dengan pekerja dan antara pemodal beserta manajemen
produsen dengan konsumen di setiap lingkungan dunia usaha
industri, baik industri primer, industri manufaktur maupun industri
jasa.

Halaman | 16

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pola
hubungan “atas-bawah”, baik pada peringkat lokal, nasional, regional
maupun global antara lain adalah faktor kekayaan dan sumber-sumber
ekonomi, kewenangan politik, tingkat pendidikan atau kecerdasan
rata-rata, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, citra atau
nama baik, dan kekuatan fisik termasuk kekuatan militer. Makin
banyak faktor-faktor tersebut di atas dikuasai oleh seseorang, atau
sekelompok orang ataupun oleh suatu bangsa, makin tinggi pula
kedudukannya dalam stratifikasi atau peringkat pergaulan bersama.
Di pihak lain, makin tinggi peringkat seseorang, kelompok orang
ataupun suatu bangsa di atas orang lain atau kelompok lain atau
bangsa lain, makin besar pula kekuasaan yang dimilikinya serta makin
besar pula potensinya untuk memperlakukan orang lain itu secara
sewenang-wenang demi keuntungannya sendiri. Dalam hubunganhubungan

yang

timpang

antara

negara

maju

dengan

negara

berkembang, antara suatu pemerintahan dengan rakyatnya, dan
bahkan antara pemodal atau pengusaha dengan konsumennya inilah
dapat terjadi ketidakadilan yang pada gilirannya mendorongnya
munculnya gerakan perjuangan hak asasi manusia dimana-mana.
Karena itu, salah satu aspek penting yang tak dapat dipungkiri
berkenaan dengan persoalan hak asasi manusia adalah bahwa
persoalan ini berkaitan erat dengan dinamika perjuangan kelas
(meminjam istilah Karl Marx) yang menuntut keadilan.
Sering dikemukakan bahwa pengertian konseptual hak asasi
manusia itu dalam sejarah instrumen hukum internasional setidaktidaknya

telah

melampaui tiga

generasi

perkembangan.

Ketiga

generasi perkembangan konsepsi hak asasi manusia itu, sebagaimana
yang dijelaskan Jimly Asshiddiqie (2005) adalah: 1) Generasi Pertama,
pemikiran mengenai konsepsi hak asasi manusia yang sejak lama
berkembang dalam wacana para ilmuwan sejak era enlightenment di
Eropa, meningkat menjadi dokumen-dokumen hukum internasional
yang resmi. Puncak perkembangan generasi pertama hak asasi
manusia ini adalah pada persitiwa penandatanganan naskah Universal
Declaration of Human Rights Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun
1948 setelah sebelumnya ide-ide perlindungan hak asasi manusia itu
tercantum dalam naskah-naskah bersejarah di beberapa negara,
seperti di Inggris dengan Magna Charta dan Bill of Rights, di Amerika

Halaman | 17

Serikat dengan Declaration of Independence, dan di Perancis dengan
Declaration of Rights of Man and of the Citizens. Dalam konsepsi
generasi pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu
mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia,
dan prinsip kebebasan sipil dan politik. 2) Generasi Kedua, konsepsi
hak asasi manusia mencakup pula upaya menjamin pemenuhan
kebutuhan

untuk

mengejar

kemajuan

ekonomi,

sosial

dan

kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan
status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya. Puncak perkembangan kedua
ini tercapai dengan ditandatanganinya International Couvenant on
Economic, Social and Cultural Rights pada tahun 1966. 3) Kemudian
pada tahun 1986, muncul pula konsepsi baru hak asasi manusia yaitu
mencakup pengertian mengenai hak untuk pembangunan atau rights
to development. Hak atas atau untuk pembangunan ini mencakup
persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala
bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian
dari kehidupan bangsa tersebut. Hak untuk atau atas pembangunan
ini antara lain meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses
pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-hasil pembangunan
tersebut, menikmati hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial
dan

kebudayaan,

pendidikan,

kesehatan,

distribusi

pendapatan,

kesempatan kerja, dan lain-lain sebagainya. Konsepsi baru inilah yang
oleh para ahli disebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi
Ketiga. Namun demikian, ketiga generasi konsepsi hak asasi manusia
tersebut pada pokoknya mempunyai karakteristik yang sama, yaitu
dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal,
antara

rakyat

dan

pemerintahan

dalam

suatu

negara.

Setiap

pelanggaran terhadap hak asasi manusia mulai dari generasi pertama
sampai ketiga selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa
dikategorikan sebagai crime by government yang termasuk ke dalam
pengertian political crime (kejahatan politik) sebagai lawan dari
pengertian crime against government (kejahatan terhadap kekuasaan
resmi). Karena itu, yang selalu dijadikan sasaran perjuangan hak asasi
manusia adalah kekuasaan represif negara terhadap rakyatnya. Akan
tetapi, dalam perkembangan zaman sekarang dan di masa-masa
mendatang, sebagaimana diuraikan di atas dimensi-dimensi hak asasi

Halaman | 18

manusia itu akan berubah makin kompleks sifatnya. Persoalan hak
asasi manusia tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan
kekuasaan yang bersifat vertikal, tetapi mencakup pula hubunganhubungan

kekuasaan

yang

bersifat

horizontal,

antar

kelompok

masyarakat, antara golongan rakyat atau masyarakat, dan bahkan
antar satu kelompok masyarakat di suatu negara dengan kelompok
masyarakat di negara lain. 4) Konsepsi yang terakhir adalah konsepsi
HAM Generasi Keempat. Konsepsi hak asasi manusia yang terakhir
inilah yang justru tepat disebut sebagai Konsepsi HAM Generasi
Kedua, karena sifat hubungan kekuasaan yang diaturnya memang
berbeda dari konsepsi-konsep HAM sebelumnya. Sifat hubungan
kekuasaan dalam konsepsi Generasi Pertama bersifat vertikal, sedangkan sifat hubungan kekuasaan dalam konsepsi Generasi Kedua
bersifat horizontal. Dengan demikian, pengertian konsepsi HAM
generasi kedua dan generasi ketiga sebelumnya cukup dipahami
sebagai perkembangan varian yang sama dalam tahap pertumbuhan
konsepsi generasi pertama (Jimly Asshiddiqqie, 2005: 220-222).
Menjelang

berakhirnya

abad

ke-20,

kita

menyaksikan

munculnya beberapa fenomena baru yang tidak pernah ada ataupun
kurang mendapat perhatian di masa-masa sebelumnya.
Pertama, kita menyaksikan munculnya fenomena konglomerasi
berbagai perusahaan berskala besar dalam suatu negara yang
kemudian berkembang menjadi Multi National Corporations (MNC’s)
atau disebut juga Trans-National Corporations (TNC’s) dimana-mana
di dunia. Fenomena jaringan kekuasaan MNC atau TNC ini merambah
wilayah yang sangat luas, bahkan jauh lebih luas dari jangkauan
kekuasaan negara, apalagi suatu negara yang kecil yang jumlahnya
sangat banyak di dunia. Dalam kaitannya dengan kekuasaan perusahaan-perusahaan besar ini, yang lebih merupakan persoalan kita
adalah implikasi-implikasi yang ditimbulkan oleh kekuasaan modal
yang ada di balik perusahaan besar itu terhadap kepentingan
konsumen

produk

yang

hubungan

kekuasaan

dihasilkannya.

yang

dipersoalkan

Dengan
dalam

perkataan
hal

ini

lain,

adalah

hubungan kekuasaan antara produsen dan konsumen. Masalahnya
adalah bagaimana hak-hak atau kepentingan-kepentingan konsumen
tersebut dapat dijamin,

sehingga

proses produksi dapat terus

dikembangkan dengan tetap menjamin hak-hak konsumen yang juga

Halaman | 19

harus dipandang sebagai bagian yang penting dari pengertian kita
tentang hak asasi manusia.
Kedua, abad ke-20 juga telah memunculkan fenomena Nations
without State, seperti bangsa Kurdi yang tersebar di berbagai negara
Turki dan Irak; bangsa Cina Nasionalis yang tersebar dalam jumlah
yang sangat besar di hampir semua negara di dunia; bangsa Persia
(Iran), Irak, dan Bosnia yang terpaksa berkelana kemana-mana karena
masalah-masalah politik yang mereka hadapi di negeri asal mereka.
Persoalan

status

hukum

kewarganegaraan

bangsa-bangsa

yang

terpaksa berada di mana-mana tersebut, secara formal memang dapat
diatasi menurut ketentuan hukum yang lazim. Misalnya, bangsa Kurdi
yang tinggal di Irak Utara sudah tentu berkewar ganegaraan Irak,
mereka yang hidup dan menetap di Turki tentu berkewarganegaraan
Turki, dan demikian pula mereka yang hidup di negara-negara lain
dapat menikmati status keawarganegaraan di negara mana mereka
hidup. Akan tetapi, persoalan kebangsaan mereka tidak serta merta
terpecahkan karena pengaturan hukum secara formal tersebut.
Ketiga, dalam kaitannya dengan fenomena pertama dan kedua
di atas, mulai penghujung abad ke-20 telah pula berkembang suatu
lapisan sosial tertentu dalam setiap masyarakat di negara-negara
yang terlibat aktif dalam pergaulan internasional, yaitu kelompok
orang yang dapat disebut sebagai global citizens. Mereka ini mulamula berjumlah sedikit dan hanya terdiri dari kalangan korps
diplomatik yang membangun kelompok pergaulan tersendiri. Di
kalangan mereka ini berikut keluarganya, terutama para diplomat
karir yang tumbuh dalam karir diplomat yang berpindah-pindah dari
satu negara ke negara lain, terbentuk suatu jaringan pergaulan
tersendiri yang lama kelamaan menjadi suatu kelas sosial tersendiri
yang terpisah dari lingkungan masyarakat yang lebih luas. Sebagai
contoh, di setiap negara, terdapat apa yang disebut dengan diplomatic shop yang bebas pajak, yang secara khusus melayani kebutuhan
para

diplomat

untuk

berbelanja.

Semua

ini

memperkuat

kecenderungan munculnya kelas sosial tersendiri yang mendorong
munculnya kehidupan baru di kalangan sesama diplomat.
Bersamaan dengan itu, di kalangan para pengusaha asing yang
menanamkan modal sebagai investor usaha di berbagai negara, juga
terbentuk pula suatu kelas sosial tersendiri seperti halnya kalangan

Halaman | 20

korps diplomatik tersebut. Bahkan, banyak di antara para pekerja
ataupun pengusaha asing tugasnya terus menerus di luar negeri,
berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, yang jangkauan
pergaulan mereka lebih cocok untuk menyatu dengan dunia kalangan
diplomat seperti tersebut di atas, daripada bergaul dengan penduduk
asli dari negara-negara tempat mereka bekerja ataupun berusaha.
Dari kedua kelompok bisnis dan diplomatik inilah muncul fenomena
baru di kalangan banyak warga dunia, meskipun secara resmi
memiliki status kewarganegaraan tertentu, tetapi mobilitas mereka
sangat dinamis, seakan-akan menjadi semacam global citizens yang
bebas bergerak ke mana-mana di seluruh dunia.
Keempat, dalam berbagai literatur mengenai corporatisme
negara, terutama di beberapa negara yang menerapkan prosedur
federal arrangement, dikenal adanya konsep corporate federalism
sebagai sistem yang mengatur prinsip representasi politik atas dasar
pertimbangan-pertimbangan ras tertentu ataupun pengelompokan
kultural penduduk. Pembagian kelompok English speaking community
dan French speaking community di Kanada, kelompok Dutch speaking
community dan German speaking community di Belgia, dan prinsip
representasi politik suku-suku tertentu dalam kamar parlemen di
Austria, dapat disebut sebagai corporate federalism dalam arti luas.
Kelompok-kelompok etnis dan kultural tersebut diperlakukan sebagai
suatu entitas hukum tersendiri yang mempunyai hak politik yang
bersifat otonom dan karena itu berhak atas representasi yang demokratis dalam institusi parlemen. Pengaturan entitas yang bersifat
otonom ini, diperlukan seakan-akan sebagai suatu daerah otonom
ataupun sebagai suatu negara bagian yang bersifat tersendiri,
meskipun komunitas-komunitas tersebut tidak hidup dalam suatu
teritorial tertentu. Karena itu, pengaturan demikian ini biasa disebut
dengan corporate federalism.
Keempat fenomena yang bersifat sosio-kultural tersebut di atas
dapat

dikatakan

bersifat

sangat

khusus

dan

membangkitkan

kesadaran kita mengenai keragaman kultural yang kita warisi dari
masa

lalu,

tetapi

sekaligus

menimbulkan

persoalan

mengenai

kesadaran kebangsaan umat manusia yang selama ini secara resmi
dibatasi oleh batas-batas teoritorial satu negara. Sekarang, zaman
sudah berubah. Kita memasuki era globalisasi, di mana ikatan batas-

Halaman | 21

batas negara yang bersifat formal itu berkembang makin longgar. Di
samping ikatan-ikatan hukum kewarganegaraan yang bersifat formal
tersebut, kesadaran akan identitas yang dipengaruhi oleh faktorfaktor historis kultural juga harus turut dipertimbangkan dalam
memahami fenomena hubungan-hubungan kemanusiaan di masa
mendatang. Oleh karena itu, dimensi-dimensi hak asasi manusia di
zaman sekarang dan apalagi nanti juga tidak dapat dilepaskan begitu
saja

dari

perubahan

corak-corak

pengertian

dalam

pola-pola

hubungan yang baru itu.
Dengan perkataan lain, hubungan-hubungan kekuasaan di
zaman sekarang dan nanti, selain dapat dilihat dalam konteks yang
bersifat vertikal dalam suatu negara, yaitu antara pemerintah dan
rakyatnya, juga dapat dilihat dalam konteks hubungan yang bersifat
horizontal. Konteks hubungan yang bersifat horizontal itu dapat
terjadi antar kelompok masyarakat dalam satu negara dan antara
kelompok masyarakat antar negara. Di zaman industri sekarang ini,
corak hubungan yang bersifat horizontal tersebut untuk mudahnya
dapat dilihat sebagai proses produksi dalam arti yang seluas-luasnya,
yaitu mencakup pula pengertian produksi dalam konteks hubungan
kekuasaan

yang

bersifat

vertikal,

dimana

setiap

kebijakan

pemerintahan dapat disebut sebagai produk yang dikeluarkan oleh
pemerintah yang merupakan produsen, sedangkan rakyat banyak
merupakan

pihak

yang

mengkonsumsinya

atau

konsumennya.

Demikian pula setiap perusahaan adalah produsen, sedangkan produk
dibeli

dan

dikonsumsi

oleh

masyarakat

konsumennya.

Dengan

perkataan lain, hak konsumen dalam arti yang luas ini dapat disebut
sebagai dimensi baru hak asasi manusia yang tumbuh dan harus dilindungi dari kemungkinan penyalahgunaan atau tindakan-tindakan
sewenang-wenang

dalam

hubungan

kekuasaan

yang

bersifat

horizontal antara pihak produsen dengan konsumennya.
Perkembangan konsepsi yang terakhir ini dapat disebut sebagai
perkembangan konsepsi hak asasi manusia generasi kelima dengan
ciri pokok yang terletak dalam pemahaman mengenai struktur
hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen yang
memiliki segala potensi dan peluang untuk melakukan tindakantindakan sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin
diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil. Kita semua harus

Halaman | 22

menyadari perubahan struktur hubungan kekuasaan ini, sehingga
tidak hanya terpaku pada kemungkinan terjadinya pelanggaran hak
asasi manusia dalam pengertian konvensional saja. Hanya dengan
menyadari perubahan ini kita dapat menawarkan pemecahan dalam
perjuangan kolektif untuk menegakkan dan memajukan hak asasi
manusia di masa yang akan datang.
D. Kewajiban Perlindungan dan Pemajuan HAM
Konsepsi HAM yang pada awalnya menekankan pada hubungan
vertikal, terutama dipengaruhi oleh sejarah pelanggaran HAM yang
terutama dilakukan oleh negara, baik terhadap hak sipil-politik
maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sebagai konsekuensinya,
disamping karena sudah merupakan tugas pemerintahan, kewajiban
utama perlindungan dan pemajuan HAM ada pada pemerintah. Hal ini
dapat kita lihat dari rumusan-rumusan dalam Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik,
serta

Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya, yang merupakan pengakuan negara terhadap hak asasi
manusia sebagaimana menjadi substansi dari ketiga instrumen
tersebut.

Konsekuensinya,

perlindungan

dan

negara-lah

pemajuan

HAM.

yang

terbebani

Kewajiban

kewajiban

negara

tersebut

ditegaskan dalam konsideran “menimbang” baik dalam Konvenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik maupun Konvenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dalam hukum
nasional,

Pasal

28I

ayat

(4) UUD 1945

menyatakan

bahwa

perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah
tanggungjawab negara, terutama Pemerintah.
Dengan berkembangnya konsepsi HAM yang juga meliputi
hubungan-hubungan horisontal mengakibatkan perluasan kategori
pelanggaran HAM dan aktor pelanggarnya. Hak atas informasi dan
hak partisipasi dalam pembangunan misalnya tidak hanya menjadi
kewajiban negara, tetapi juga menjadi tanggungjawab korporasikorporasi yang dalam aktivitasnya bersinggungan dengan kehidupan
masyarakat. Keberadaan perusahaan-perusahaan mau tidak mau
membawa dampak dalam kehidupan masyarakat yang sering kali
mengakibatkan berkurangnya hak asasi manusia.

Halaman | 23

Persinggungan antara Korporasi dengan Hak Asasi Manu