TINJAUAN PUSTAKA Botani Kemenyan

  TINJAUAN PUSTAKA Botani Kemenyan

  Kemenyan toba termasuk dalam genus Styrax adalah jenis pohon yang tumbuh di lereng-lereng bukit dan pada tanah berpasir pada ketinggian 1000 − 5000 mdpl. Kedudukan tanaman kemenyan dalam sistematika adalah sebagai berikut:

  Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta SubDivisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Ebenales Famili : Styracaceae Genus : Styrax Spesies : Styrax sumatrana J. J. SM

  Syarat Tumbuh Kemenyan

  Di Sumatera Utara jenis tanaman ini umumnya tumbuh secara alami dengan jenis yang dimanfaatkan antara lain Haminjon toba (S. sumatrana), Hamijon durame (S. benzoin) dan Hamijon bulu (Styrax spp.). Dari ketiga jenis tersebut jenis yang paling banyak dimanfaatkan adalah Haminjon toba (S. sumatrana) karena menghasilkan getah dengan kualitas yang lebih tinggi dan kuantitas yang lebih banyak serta memiliki nilai ekonomis yang lebih baik (Jayusman, 1997). Akan tetapi S. sumatrana memerlukan tingkat kesuburan tanah yang lebih tinggi dan budidaya yang lebih intensif terutama pemeliharaan terhadap tanaman pesaing (Heyne, 1987).

  Tempat tumbuh pohon kemenyan cukup bervariasi yaitu dari dataran rendah sampai dataran tinggi yaitu pada ketinggian tempat 60 − 2100 mdpl. Di Palembang dan di daerah Tapanuli Selatan kemenyan ditemukan menyebar secara luas pada ketinggian 60 − 320 mdpl. Di daerah Tapanuli Utara kemenyan dibudidayakan secara luas dengan produksi getah yang sangat baik terutama pada daerah dengan ketinggian di atas 600 mdpl. Menurut Heyne (1987) pohon kemenyan dijumpai tumbuh secara alami pada tanah-tanah yang berpasir dan tanah lempung, tetapi secara umum kemenyan menghendaki tanah dengan kesuburan yang baik.

  Terhadap iklim, pohon kemenyan untuk dapat tumbuh dengan baik membutuhkan tipe iklim basah yaitu tipe hujan A – B menurut klasifikasi Scmidth – Ferguson, 1951 yang memiliki curah hujan berkisar 1916 – 2395

  o

  mm/tahun, suhu bulanan 17 – 29 C dan kelembaban rata-rata 85,04 persen (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

  Ciri Morfologis Kemenyan Pohon

  Kemenyan merupakan jenis pohon yang berukuran besar, tingginya dapat mencapai 40 m dengan diameter batang mencapai 100 cm. Batang berbentuk lurus dengan percabangan relatif sedikit dan kulit berwarna merah anggur. Batangnya mengandung resin yang bila dibakar berbau wangi. Daunnya tersusun spiral dan pada permukaan bagian bawah berambut putih. Bunganya berbentuk tandan dan berbau wangi, buah berbentuk bulati keras dan kulit tebal berbiji 1-2 atau kadang- kadang lebih (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

  Daun

  Kemenyan berdaun tunggal dan tersusun secara spiral, daun berbentuk oval bulat, bulat memanjang (ellips) dengan dasar daun bulat dan ujung runcing.

  Panjang daun dapat mencapai 4-15 cm dengan lebar daun 5-7,5 cm, tangkai daun 5-13 cm, helai daun mempunyai nervi 7-13 pasang. Helai daun halus, permukaan bawah agak mengkilap berwarna putih sampai abu-abu. Warna daun jenis toba lebih gelap kecoklatan. Daun kemenyan mengandung saponin, flavonoid dan polifenol. Getah kemenyan mengandung asam sinamat, asam benzoat, esternya (seperti koniferilbenzoat, koniferilsinamat, sinamilsinamat), Triterpenoid (berupa turunannya yaitu asam siaresinolik dan asam sumaresinolik) (Jayusman, dkk., 1999).

  Bunga

  Bunga kemenyan berkelamin dua dimana bunganya bertangkai panjang antara 6 − 11 cm, daun mahkota bunga 9 − 12 helai dengan ukuran 2 − 3,5 mm.

  Kemenyan berbunga secara teratur 1 kali setiap tahun. Waktu berbunga dimulai pada bulan November, Desember dan Januari. Bunga majemuk, berbentuk tandan atau malai pada ujung atau ketiak daun. Buah masak berbentuk bulat sampai agak gepeng, berdiameter 2 − 3,8 cm (Jayusman, dkk., 1999).

  Buah Buah kemenyan berbentuk bulat gepeng dan lonjong berukuran 2,5-3 cm.

  Biji kemenyan berukuran 15 − 19 mm, bijinya berwarna coklat keputihan. Biji kemenyan terdapat di dalam daging buah yang cukup tebal dan keras, hal ini dibuktikan buah kemenyan yang masih normal dan buah tidak rusak walaupun sudah beberapa bulan jatuh dari pohonnya. Bentuk buah dan biji kemenyan bervariasi sesuai dengan jenisnya. Biji kemenyan toba berwarna coklat tua dan lebih gelap dibandingkan jenis durame maupun bulu. Bentuk buah dan biji dapat digunakan untuk membedakan jenis kemenyan dibandingkan bagian tanaman kemenyan lainnya (daun, batang dan sebagainya) (Jayusman, dkk., 1999).

  Silvikultur Kemenyan

  Pengelolaan kebun kemenyan oleh rakyat dilakukan secara tradisional dan belum banyak menerapkan teknik budidaya. Hal ini terlihat dari kondisi mutu tegakan yang rendah dan kurang memuaskan. Keterbatasan tersebut mengakibatkan rendahnya produksi getah serta penghasilan petani kemenyan (Jayusman, dkk, 1999).

  Penyiapan bibit kemenyan dapat dilakukan secara vegetatif dan generatif. Penyiapan bibit secara vegetatif dapat dilakukan dengan stump dan cabutan anakan alam, stek pucuk dan kultur jaringan, serta secara generatif dari biji. Bibit kemenyan dengan teknik cabutan alam dan stump memiliki tingkat keberhasilan yang baik yaitu kemenyan toba mencapai 77,33% dengan cabutan dan 69,78% dengan stump. Sedangkan kemenyan durame memiliki tingkat keberhasilan 81.87% dengan cara cabutan dan 72% dengan stump (Jayusman, 1997)

  Pemanfaatan Kemenyan Getah kemenyan terdiri atas dua jenis yaitu Sumatra Benzoin dan Siam Benzoin.

  Sumatra Benzoin diperoleh dari S. benzoin Dryand. dan Siam Benzoin diperoleh dari S. tokinensis.

  Getah kemenyan memiliki banyak manfaat baik penggunaan lokal maupun sebagai komoditi ekspor. Kemenyan berguna untuk upacara ritual, campuran rokok, bahan pengawet, ekspektoran, antiseptik, industri kosmetik dan parfum (Pinyopusarerk, 1994).

  Menurut Waluyo (1996) pohon kemenyan berumur 5 tahun telah mampu menghasilkan getah dan terdapat hubungan linear positif antara umur tanaman dengan produksi getah (r = 0,59) sehingga semakin tua usia pohon semakin tinggi produksinya. Akan tetapi belum diketahui secara pasti sampai umur berapa masih menghasilkan getah. Menurut Heyne (1987) tanaman kemenyan mulai menghasilkan getah pada umur 6-7 tahun. Pada umur 8 produksi baik dan sampai umur 30 tahun. Menurut Waluyo (1993) hubungan antara diameter dengan

  2

  produksi memiliki korelasi yang kecil r = 0,35 (r =12,22%) sehingga produksi getah lebih ditentukan oleh sifat fisiologi pohon lainnya.

  Menurut Sasmuko (2003) pola penyadapan mempengaruhi produksi getah. Hasil penyadapan dengan pola sadap horizontal memiliki produktivitas getah yang lebih tinggi (15,64 g/takik) dibandingkan pola vertikal (11,85 g/takik). Akan tetapi pada tulisannya yang lain. Pola sadap vertikal, horizontal dan huruf V tidak berpengaruh terhadap produksi getah kemenyan dengan produksi rata-rata 15,64 g/takik.

  Pemanenan Getah Kemenyan Pemanenan dilakukan setelah 2-3 bulan dengan penampakan fisik pada

bongkahan getah di lubang koakan mengering sempurna. Pemanenan dilakukan

dengan mengelupas bongkahan pada bahagian kulit batang sehingga membentuk

koakan, umumnya diameter luka kering tersebut membentuk lingkaran dengan

diameter 5-7 cm. Menurut Sasmuko (1999), berdasarkan hasil penelitian rata-rata

produktivitas getah kemenyan perkoakan untuk jenis S. sumatrana (kemenyan

toba) berkisar rata-rata 5.48 – 19.86 gr/koakan a b c

  Gambar 1. Peralatan Yang Digunakan Untuk Penyadapan Kemenyan, (a) Guris, (b) Agat Panugi, dan (c) Agat Pangaluak

  Teknik penyadapan kemenyan yang dipakai oleh masyarakat dalam

menyadap getah kemenyan adalah pola penyadapan vertikal, yaitu menakik kulit

batang sampai batas kambium selebar 3 cm dan tinggi 4 cm, kemudian dipukul-

pukul hingga kulit agak lunak. Banyaknya takik disesuaikan dengan besarnya

diameter batang dan tidak sampai mengganggu pertumbuhan pohonnya. Diameter

batang minimal yang dapat ditakik adalah 10 cm dengan jumlah takik tidak lebih

dari 10 takik.

  Teknik lain yang telah dicoba yaitu pola penyadapan horizontal dan huruf

‘v’. Menurut Sasmuko (1999), pola horizontal menghasilkan getah relatif lebih

banyak (15,64 gr/takik) dibandingkan dengan pola vertikal (11,85 gr/takik) dan

pola huruf ‘v’ (8,85 gr/takik). Kurang lebih setelah tiga bulan penyadapan, getah

kemenyan dipanen kemudian dicuci/dibersihkan dan disortir menurut kulitasnya.

  Kegunaan Getah Kemenyan

  Penggunaan kemenyan sebagai bahan obat telah diketahui sejak abad ke- 14 tetapi di Eropa barulah pada abad ke-16 diketahui. Umumnya pemakaian kemenyan di Indonesia adalah sebagai dupa dan untuk campuran rokok kemenyan; disamping diekspor ke luar negeri. Kegunaan dalam bidang farmasi adalah sebagai ekspektoran pada penyakit bronchitis dan sebagai desinfektan pada luka. Di samping itu digunakan untuk campuran kosmetik. Zat yang dikandung kemenyan adalah asam sinamat, asam benzoate, styrol, styracin, vanillin, coniferil sinamat, coniferil benzoat dan suatu resin yang mengandung benzoresinol dan sumaresinotannol. Kemenyan dari daerah Tapanuli Utara terutama mengandung asam sinamat dimana senyawa ini memberikan bau yang spesifik pada kemenyan (Lubis, dkk., 1984).

  Saluran Getah Istilah saluran getah atau saluran damar sering dikacaukan. Biasanya

saluran getah bila terdapat pada kayu daun lebar dan disebut saluran damar bila

pada golongan kayu daun jarum. Saluran getah atau saluran damar sering juga

disebut sebagai sebagai saluran interseluller (interseluller canal) karena saluran saluran. Berdasarkan proses terbentuknya saluran ini terjadi dengan tiga cara yaitu:

  1. Lysigenous, dimana satu atau beberapa sel hancur sehingga menjadi saluran.

  2. Schizogenous, disini beberapa sel saling memisahkan diri atau menjauhkan diri

sehingga terbentuk saluran. Sel-sel yang mengelilingi rongga saluran ini

membelah-belah diri menjadi sel epitel dan mengeluarkan getah atau ke dalam

saluran yang bersangkutan.

  

3. Schizolysigenous, merupakan modifikasi dari kedua cara di atas yaitu

disamping penghancuran juga pemisahan. (Pandit dan Ramdan, 2002).

  Pada beberapa jenis kayu, terdapat rongga-rongga antar sel berupa saluran- saluran sempit yang dikelilingi oleh parenkim, serta selaput yang terdiri atas sel- sel epitel, parenkim mengeluarkan zat-zat damar, zat-zat balsam dan lain-lain ke dalam saluran interseluler ini. Ada dua macam saluran interseluler jika dilihat dari arah bentangannya. Saluran interseluler yang membentang searah dengan sumbu batang dinamakan saluran aksial, dan saluran yang membentang searah jari-jari dinamakan saluran radial. Kehadiran interseluler pada suatu jenis kayu mungkin akibat sifat keturunan, atau karena kombinasi faktor keturunan dengan faktor luar.

  Saluran yang hadir karena faktor keturunan dinamakan saluran normal sedangkan saluran yang timbul oleh faktor luar disebut saluran traumatik (Pandit dan Ramdan, 1997).

  Sutrian (1992) menyebutkan anggapan para ahli mengenai fungsi getah pada tumbuhan salah satunya adalah bahwa di dalam saluran getah terkandung zat-zat hormon dan enzim dapat berfungsi sebagai alat untuk menyembuhkan atau

  Pengenalan Fungi

  Menurut Gandjar, dkk (2006) secara umum pertumbuhan fungi dipengaruhi oleh substrat yang merupakan sumber unsur hara utama bagi fungi , kelembaban dimana fungi dapat hidup pada kisaran kelembaban udara 70 – 90 %., suhu, derajat keasaman substrat (pH) yang umumnya fungi dapat hidup pada pH di bawah 7, dan senyawa-senyawa kimia di lingkungannya.

  Semua jenis fungi bersifat heterotrof. Namun, berbeda dengan organisme lainnya, fungi tidak memangsa dan mencernakan makanan. Untuk memperoleh makanan, fungi menyerap zat organik dari lingkungan melalui hifa dan miseliumnya, kemudian menyimpannya dalam bentuk glikogen. Oleh karna fungi merupakan konsumen maka fungi bergantung pada substrat yang menyediakan karbohidrat, protein, vitamin, dan senyawa kimia lainnya. Semua zat tersebut diperoleh dari lingkungannya. Sebagai makhluk heterotrof, fungi dapat bersifat parasit obligat, parasit fakultatif, atau saprofit. Cara hidupnya bebas atau bersimbiosis, tumbuh sebagai saprofit atau parasit tanaman, hewan dan manusia (Sumarsih, 2003)

  Sebagian besar spora fungi disebarkan oleh aliran udara yang sabagai partikel inert (tidak memiliki tenaga) hingga mencapai jarak tertentu. Aliran udara akan melepaskan spora dari sporofor atau dapat juga terjadi ketika spora akan dikeluarkan secara paksa atau jatuh pada saat matang, dan tergantung pada turbulensi dan kecepatan aliran udara yang dapat menyebabkan spora terbawa ke atas secara horizontal dan akan menempel pada inang yang baru dan dapat tumbuh dan berkembang jika kondisi inang tersebut mendukung (Agrios, 1996).

  Fenomena yang disebut penggetahan (gummosis) merupakan hasil utama

dari metamorfosis organisasi bahan dinding sel ke senyawa terbentuk yang tidak

diorganisasikan, misalnya getah atau resin. Getah dihasilkan di dalam kulit kayu,

misalnya gom-arab (Gom arabic) dari Acacia senegal dan spesies Akasia yang

lain. Pada Citrus, getah dihasilkan oleh sel epitel, tepatnya oleh diktiosom.

Penggetahan seringkali disebabkan oleh penyakit, serangga, atau luka secara

mekanis dan kerusakan fisiologis pada tumubuhan (Mulyani, 2006).

  Pada sebuah penelitian ditemukan bahwa Ceratocystis merupakan fungi penyebab penyakit yang menimbulkan kerusakan pada bidang sadapan pohon karet sehingga pemulihan kulit terganggu. Bekas bidang sadapan menjadi bergelombang sehingga sangat mempersulit penyadapan berikutnya. Ada kalanya bidang sadap rusak sama sekali sehingga tidak mungkin lagi disadap. Pada bidang sadap dekat alur sadap mula-mula terlihat selaput tipis berwarna putih, kemudian berkembang membentuk lapisan seperti beludru berwarna kelabu, sejajar alur sadap, jamur mempunyai benang-benang hifa yang membentuk lapisan bewarna kelabu pada bagian yang terserang. Spora banyak dihasilkan pada bagian yang sakit, dan dapat bertahan hidup dalam keadaan kering. Bila lapisan kelabu ini dikerok akan tampak bintik-bintik bewarna cokelat atau hitam. Serangan ini meluas sampai ke kambium hingga ke bagian kayu. Penularan fungi berlangsung dengan penyebaran spora yang diterbangkan oleh angin dalam jarak jauh. Disamping itu fungi juga dapat ditularkan oleh pisau sadap yang membawa benih penyakit dari bidang sadap yang sakit.

  Mekanisme antagonisme jamur endofit dalam menekan perkembangan patogen sehingga tanaman menjadi tahan karena antibiosis. Petrini (1993) melaporkan bahwa jamur endofit menghasilkan alkaloid dan mikotoksin sehingga memungkinkan digunakan untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit. Menurut Dahlam, Eichenseer dan Siegel (1991), dan Brunner dan Petrini (1992), jamur endofit menghasilkan senyawa aktif biologis secara invitro antara lain alkaloid, paxillin, lolitrems dan tetranone steroid. Selain itu menurut Photita (2003 dalam Lumyong et al., 2004), jamur endofit antagonis mempunyai aktivitas tinggi dalam menghasilkan enzim yang dapat digunakan untuk mengendalikan patogen. Jamur endofit Neotyphodium sp. menghasilkan enzim β-1,6-glucanase yang menyerupai enzim yang sama yang dihasilkan oleh jamur Trichoderma harzianum dan T. virens (Moy et al., 2002).

  Trichoderma merupakan salah satu fungi yang dapat menjadi agen

  biokontrol karena bersifat antagonis bagi fungi lainnya, terutama yang bersifat patogen. Aktivitas antagonis yang dimaksud dapat meliputi persaingan, parasitisme, predasi, atau pembentukan toksin seperti antibiotik. Untuk keperluan bioteknologi, agen biokontrol ini dapat diisolasi dari Trichoderma dan digunakan untuk menangani masalah kerusakan tanaman akibat patogen. Potensi fungi

  

Trichoderma sebagai agensi pengendali hayati tidak terbantahkan lagi. Beberapa

  penyakit tanaman sudah dapat dikendalikan dengan menggunakan fungi

  

Trichoderma ini. Trichoderma sp. banyak mengandung enzim kitinase yang

  berpengaruh membunuh patogen. Sehingga fungi ini sangat menguntungkan bagi pengelola lahan bekas pertambangan untuk kembali melestarikannya. Mengacu fungi yang dapat menyebabkan penyakit pada kemenyan dapat dihambat perkembangannya oleh Trichoderma ini. Sehingga produksi getah kemenyan tidak terhambat (Tjandrawati et al 2003)