Etis dan Tidak Etis dalam Perjanjian Lam (1)

Nama

: Yane Octavia Rismawati Wainarisi

NIM

: 1400101

Data Buku

: Dell, Katharine. Ethical and Unethical In The Old Testament: God and
Humans In Dialogue. T&t Clark: New York, 2010. ISBN: 978-0-567-21709-7

11-33

The Ethics Of Eden : Truth Telling In Genesis 2-3 oleh Robert P. Gordon
Apa letak masalah sebenarnya dalam Kej 3? Kunci masalah itu terletak pada
“memakan buah yang dilarang”. Inilah bukti awal dari ketidaktaatan manusia dan
menjadi manifestasi ketidaktaatan-ketidaktaatan selanjutnya. Cerita tentang
sejarah kejatuhan manusia menyebar secara tradisi dalam masyarakat Yahudi. Ada
berbagai ahli yang mencoba mengungkap cerita tentang kejatuhan ini dari segi

etis. Bahkan tidak jarang timbul perdebatan tentang kebenaran dari kisah dalam
Kej 2-3 ini. Dalam teks ini Gordon membahas tentang perdebatan teologi antara
Barr dan Moberly tentang siapakah sesungguhnya “pembohong” dalam Kej 2-3
terutama tentang tulisan dalam Kej 2:17. Moberly berpandangan bahwa
sebenarnya terdapat fungsi paradigmatis dalam Kej 2-3 atau penjelasan secara
metafora terhadap peringatan “kematian” dalam Kej 2:17. Sedangkan Barr
menjelaskan

bahwa

dosa

atau

kematian

merupakan

konsekuensi


dari

ketidaktaatan. Ketidaktaatan hampir sama dengan tindakan tidak bermoral
manusia. Berbeda dengan Moberly, Barr menganggap bahwa “kematian” yang
dimaksud dalam teks ini merupakan kematian secara rohani. Barr menganggap
bahwa Moberly telah menjerat dirinya sendiri dalam kesulitan dengan
pernyataannya bahwa kematian yang dimaksud adalah kematian pikiran secara
metafora (p.22). Pertanyaannya adalah, mungkinkah ada faktor kesengajaan Allah
dalam peristiwa kejatuhan manusia ke dalam dosa? (p.24). Lalu siapa
sesungguhnya yang berkata benar? Allah bisa jadi berkata dalam bahasa metafora
kemudian mengurangi ancamannya. Namun ada kemungkinan bahwa ular juga
mengatakan kebenaran namun hanya sebatas kualitas rasa yang tinggi. Lalu siapa
yang patut dipersalahkan dalam hal ini? Hawa mempersalahkan ular karena sudah
memperdayanya. Namun sebenarnya sudah sejak awal timbul niat di hatinya
untuk menjadi sama dengan Allah. Sebagaimana penelitian Pitchard, dilihat dari
namanya, “pohon Pengetahuan dan Kehidupan”, kedua pohon dalam taman Eden
mewakili sifat ilah dalam kepercayaan Timur Dekat. Yaitu bahwa Allah memiliki
kebijaksanaan dan kekekalan hidup. Allah menciptakan taman Eden dan manusia
ditaruh ke dalamnya. Karena ada kehidupan dan pengetahuan dalam taman ini.


Jadi seharusnya, jika Adam dan Hawa tidak menyentuh atau memakan buah itu,
mereka tetap memiliki akses masuk ke taman dan untuk hidup selamanya. Ular
memakai kata-kata Allah sendiri “kamu pasti tidak akan mati” (3:4) untuk
mengelabui mereka yang memang telah menyimpan harapan lebih sebelumnya.
Padahal sebenarnya, Allah berkata bahwa mereka akan mati. Tawaran menarik
diberikan ular adalah bahwa mereka jauh dari kematian, mata mereka akan
terbuka, dan akan memiliki pengetahuan seperti Allah. Kata-kata ular ini jika
dilihat dari tinjauan Pitchard memang menunjukkan bahwa ular berhasil
memberikan cara agar manusia menjadi sama dengan Allah atau istilahnya salah
satu bagian dalam pengadilan Allah di surga (p. 26-28).
Berbeda dengan Barr dan Moberly, Mettinger muncul dengan idenya sendiri.
Mettinger

menggunakan

metode

komparasi

dalam


studinya.

Baginya,

kebijaksanaan atau kekekalan hanyalah ide baru dalam kisah Eden. Allah
mengatur Adam untuk masuk dalam sebuah tes dan memperhadapkan mereka
dengan pilihan yang radikal. Jika Adam berhasil melaluinya, ia akan mendapat
hadiah kekekalan. Keberadaan kedua pohon itu ternyata merupakan sarana untuk
menguji ketaatan mereka. Adam gagal untuk mengerti hati dan suara Tuhan
dengan lebih memilih untuk mendengar suara istrinya. Kematian dan kekekalan
merupakan konsekuensi dari ketidaktaatan (Kej 2-3). Ular hanyalah agen Allah
untuk menguji manusia. Dalam seluruh PL tergambar jelas tentang “Ujian” dan
“pilihan” yang menghasilkan ketaatan atau ketidaktaatan. (p.29-31)
Kita lihat, bagaimanapun juga, dosa selalu memiliki daya tariknya tersendiri. Dan
manusia acapkali begitu tidak berdaya dan terpikat olehnya. Anehnya, banyak
pengalaman dalam Alkitab yang menggambarkan kelemahan atau tindakan salah
manusia tidak disebutkan dengan kata “dosa”. Hal ini karena masyarakat Yahudi
telah paham benar bahwa “tindakan salah” merupakan dosa tanpa perlu
rekonfirmasi. Klaim bahwa manusia itu tidak sempurna


(Kej 2-3) sehingga

mereka bisa saja jatuh perlu dipertanyakan. Sepertinya telah ada kontradiksi
antara Kej 2-3 dengan Kej 1. Benarkah Allah telah menciptakan manusia sebagai
ciptaan yang “sungguh amat baik” dan Allah puas dengan ciptaan-Nya itu? Atau
Allah telah gagal dalam menciptakan manusia sehingga manusia melawan
kepada-Nya.
Di lain pihak sepertinya ular telah mengambil telah mengambil peran penting
dalam kejatuhan manusia. Ular dengan manisnya menggunakan peringatan Allah

kepada Adam tentang “kematian” menjadi memiliki makna yang kontradiksi
dengan makna sebelumnya. Dalam hal ini ular memprovokasi Hawa bahwa
sebenarnya Allah telah berbohong kepada mereka. Sikap seolah-olah netral yang
ditampilkan ular antara Allah dan manusia ternyata telah menjerumuskan manusia
kepada kejatuhan. Peringatan Allah dalam Kej 2:17 merupakan sebuah peringatan
yang serius. Tidak hanya makan, menyentuh pun dapat mengakibatkan kematian.
Keseriusan ini justru tergambar dalam kata-kata Hawa. Di lain pihak, sebenarnya,
ketika Hawa diprovokasi, Allah bisa saja secara langsung menghentikan ular,
namun di sinilah ketaatan Hawa diuji. Dan Hawa, terprovokasi.

Agustinus melihat tindakan ketidaktaatan Hawa ini sebagai bentuk rasa tidak puas
manusia terhadap diri sendiri. Karena itu, tawaran untuk menjadi sama dengan
Allah merupakan tawaran yang baik dan tentu sangat menyenangkan bagi mereka.
Kisah menyedihkan tentang efek dosa ini berlanjut. Dosa Adam dan Hawa
memiliki konsekuensi pada semua keturunan manusia dan kesadaran akan
keberdosaan disertai ratapan tergambar dalam seluruh PL. Mereka diusir dari
taman, mengalami permusuhan dengan lingkungan, kehilangan kesenangan dan
jaminan keamanan, lebih parah lagi mereka kehilangan harapan untuk dapat hidup
selamanya. Harapan bahwa mata mereka akan “terbuka” justru membawa mereka
pada fakta memalukan tentang ketelanjangan mereka. Yang jelas bahwa dalam
PL, dosa dan kematian seolah merupakan dua hal yang tidak terpisahkan seperti
yang tertera jelas dalam Kej 2-3. Banyak ahli menilai bahwa kejatuhan manusia
ke dalam dosa ini terjadi karena Hawa. Levison bahkan menegaskan bahwa Istri
yang bertabiat buruk akan membawa dampak buruk bagi suaminya. Bagi
Breugmann, PL dari kacamata PB memiliki arti ganda karena kekayaan rasa dan
kiasan yang ada di dalamnya. Karena itu kekayaan PL ini diterima walau mungkin
dalam cara yang berbeda dari penafsiran tradisional.
Allah itu kasih. Tidak semua efek dari kejatuhan ini bersifat negatif bagi
hubungan Allah dengan manusia. Ia sendiri yang mencari Adam dan memberi
kesempatan mereka untuk mau mengakui kesalahan, Allah juga yang memberi

pakaian dari kulit binatang bagi mereka. Apapun yang terjadi, Allah tetap
bertindak dalam kasih. Allah sendiri sepertinya telah mengurangi efek dari
ketidaktaatan ini. Allah mengambil inisiatif untuk membangun hubungan dengan
manusia dalam cara yang baru yaitu ibadah. Ibadah merupakan cara Allah
bersentuhan kembali dengan manusia (Kej 4:26) (p.16). Allah tetap membuktikan

kasih-Nya kepada manusia dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia. Ada
sebuah istilah menarik yang digunakan oleh Gordon, “Justru semakin dosa
34-55

menyebar, semakin menyebar pula kasih karunia Allah”.
Desire For Ethics atau Ethics Of Desire? By Diana Lipton
Dalam segala keterbatasan pemahaman bahasa, merupakan sebuah keterkejutan
tersendiri bagi pelapor ketika membaca judul ini. Kata “desire” dalam judul ini
memberi gambaran tentang adanya suatu keinginan kuat dari subjek terhadap
sesuatu. Keinginan kuat bagi pelapor merujuk kepada sebuah pemikiran tentang
nafsu. Tapi benarkah sub judul ini berkaitan dengan nafsu? Berdasarkan
pemahaman ini pelapor memperoleh judul dari sub-bab ini yaitu nafsu untuk
beretika atau etika nafsu. Lepas dari apakah penterjemahan judul ini salah atau
benar, isi dari bagian ini sepertinya justru telah lebih mengejutkan pelapor.

Beban dari penulis judul ini adalah bagi pengajaran anak. Hal ini penting,
mengingat perkembangan pengetahuan pada anak-anak dan pertanyaanpertanyaan yang kerap muncul dari mereka tentang peristiwa-peristiwa dalam
Alkitab. Menurut pelapor, tidak hanya anak, setiap orang yang membaca dan
mengkaji pun bertanya. Tapi bagaimana cara menyesuaikan fakta konteks di balik
narasi Alkitab terhadap setiap penanya dalam berbagai usia?
Lipton mendasarkan kasus untuk studinya tentang judul ini pada Kej 39. Bila
kurang awas, kita akan terjebak pada perasaan aneh ketika membaca tema ini dan
pelapor sendiri mengalaminya. Bisa jadi ini, masalah budaya.
Memasuki pembahasan awalnya, Lipton sendiri sudah memperingatkan bahwa
ada perbedaan etika antara konteks masa lalu yang terdapat dalam narasi Alkitab
dan para ahli kitab Ibrani dengan etika masa kini khususnya komunitas orang
beriman. Bahkan jika pelapor boleh menambahkan, bagaimana dengan
pembacanya dalam konteks Indonesia? Bahkan sebenarnya, narasi Alkitab sangat
jarang memberikan model baku tentang etika dan kebanyakan hanya bersifat
tipologis (p.37). Secara tipologis, ada berbagai macam pesan tersembunyi dalam
narasi Alkitab dan inilah yang sedang dikupas. Terdapat juga berbagai macam
metode untuk menginterpretasikan secara tipologis dan mereinterprasi narasi
dalam Alkitab secara etis bagi dunia masa kini berdasarkan budaya asli Israel.
Bukan suatu usaha yang mudah mengingat adanya celah budaya dan waktu antara
kita dan Israel kuno sehingga menghasilkan makna yang kompleks bahkan bisa

jadi ambigu. Selain itu, sepertinya, ada kaitan erat antara etika dan hukum yang

berlaku secara legal dalam masyarakat. Orang yang masuk dalam satu komunitas
tertentu harus juga taat terhadap norma atau hukum yang berlaku dalam
komunitas tersebut. Dengan kata lain, hukum bisa jadi merupakan tanda pengenal
dan bentuk ideal suatu kebudayaan. Hukum merupakan tema sentral dalam narasi
Alkitab meski dalam praktisnya sering bersifat fleksibel. Penerapan yang fleksibel
ini sepertinya memang telah menurunkan derajat dari hukum tersebut, namun
inilah bukti keterbatasan manusia. Apapun bentuknya, narasi Alkitab telah
mencoba dengan berbagai karakter yang kompleks agar poin utama dari kitab
Hukum tetap dapat tetap diterapkan. (p.39).
Ada berbagai isu penting yang muncul dalam narasi Alkitab tentang etika
kehidupan bangsa Israel yang perlu diperhatikan oleh orang percaya di zaman
sekarang, selain karena sepertinya bermakna yang ambigu, isu-isu yang dibahas
dalam narasi Alkitab ternyata bukanlah hal yang cukup layak untuk dijadikan
teladan. Hal ini terus dipertanyakan, dibahas dan diusahakan agar diperoleh
aplikasi yang tepat secara etis. (p.40). Pelapor sendiri sebenarnya, dan banyak
orang lain juga mulai mempertanyakan tentang peran tokoh-tokoh Alkitab dalam
PL yang memang dalam kasus-kasus mereka, tidak cukup layak untuk ditiru.
Abraham yang diakui sebagai bapa orang beriman contohnya atau Daud yang

namanya dikenang dan dibanggakan sampai saat ini. Secara moral apalagi dalam
kaitannya dengan etika Kristen masa kini, bagaimana mungkin orang-orang ini
dapat dijadikan model etika? Berbagai pertanyaan tentang PL diajukan dalam
kaitannya dengan etika dan ini menuntut tidak hanya penerapannya bagi masa kini
namun eksegesis berdasarkan konteks asli pada fakta Alkitab harus disampaikan
tanpa perlu ditutup-tutupi. Manusia Kristen saat ini perlu bersikap lebih dewasa,
bahwa bagaimanapun gelapnya, inilah fakta PL tentang perilaku normatif para
tokohnya. Pertanyaannya adalah bagaimana Kristen masa kini menentukan
tindakan apa yang harus ditempuh secara etis dalam menangani kasus yang
serupa?
Contoh kasus yang digunakan oleh Lipton sangat menarik. Peristiwa yang terjadi
antara Yusuf dan istri Potifar di rumah kediaman Potifar (Kej 39) ternyata
memiliki kaitan erat dengan berbagai masalah lain, secara etis. Pelapor sendiri dan
kebanyakan orang yang belum menyelidiki tentang hal ini dari sudut budaya
Indonesia tentu akan menyudutkan istri Potifar karena tindakannya. Tindakan ini
dalam benak pelapor, awalnya, tentu merupakan sebuah tindakan asusila;

mengajak orang lain yang bukan suaminya untuk tidur bersama. Lipton sendiri
menunjukkan tiga macam kesalahan dari nyonya Potifar dalam tindakannya itu;
menggoda Yusuf untuk bersetubuh, berzinah atau membuat suaminya cemburu

dengan menggoda Yusuf.
Sub judul ini sangat membuat pelapor pusing dan terkaget-kaget. Selama ini,
bagian-bagian ini memang menimbulkan pertanyaan namun tanpa ada tindak
lanjut dengan penelitian. Namun di lain pihak, Lipton mencoba mengungkap
kemungkinan lain di balik kasus ini, mungkin dari sisi feminis, yaitu adanya
keinginan istri Potifar untuk melanjutkan garis keturunan dari suaminya, Potifar.
Dan ini sama dengan tindakan donasi sperma atau rahim agar memiliki keturunan.
Nyonya Potifar dalam hal ini justru memiliki niat baik bagi suaminya, yaitu untuk
mengamankan atau berniat melestarikan nama suaminya. Tamar juga melakukan
hal yang sama agar garis keturunan dari sang suami tetap ada, maka ia tidur
dengan Yehuda, mertuanya. Tindakan yang diambil kedua perempuan ini sama,
namun hasilnya berbeda. Tamar berhasil mendekati Yehuda sementara Istri Potifar
tidak, karena pendekatan yang mereka lakukan juga berbeda. Ini juga yang terjadi
pada Abraham dan Sarah saat mereka menantikan anak. Sarah yang tidak sabar
akhirnya menyuruh Abraham suaminya untuk “tidur” dengan Hagar budak
mereka untuk memakai rahim Hagar sebagai tempat penitipan Sperma sehingga
dapat meneruskan garis keturunan mereka. (P.41-43). Jadi titik fokus mereka
terletak pada bagaimana garis keturunan mereka dapat berlanjut, bukan pada etis
tidaknya tindakan yang mereka lakukan. Ini masalah budaya, bahwa nama atau
silsilah memang sangat penting.
Selain itu, dari segi budaya, budaya kuno di Israel memakai budak tidak hanya
sebagai pelayan mereka namun juga memiliki hak atas tubuh mereka. Jadi jika
tuan mereka “tidak subur” dalam artian mandul, mereka dapat mengambil baik
budak laki-laki maupun perempuan untuk “tidur” dengan mereka dan melanjutkan
garis keturunan mereka. Sementara anak hasil dari hubungan tersebut, mutlak
merupakan milik tuannya. Melihat sistem kebudayaan ini, Yusuf yang telah dijual
oleh saudara-saudaranya itu merupakan budak di rumah Potifar dan tindakan istri
Potifar mengindikasikan dua; Pengaduan istri Potifar atas tindakan Yusuf si
“budak Ibrani” mengindikasikan hal ini (ay 14) bertujuan melindungi martabat
suaminya sebagai tuan dan bermaksud untuk mengusir Yusuf dari rumah mereka.
Memiliki kuasa dalam “rumah” mengarah tidak hanya kepada harta namun juga

kepada si istri.
Mungkin awalnya tidak ada ketertarikan dari istri Potifar karena Yusuf ketika
diambil menjadi budak masih muda belia. Namun pertambahan usia dan
pertumbuhan tubuh Yusuf sepertinya telah mempesona nyonya Potifar ini. Dan ia
menggoda Yusuf untuk tidur dengannya. Ajakan untuk tidur ini sendiri telah
dilihat Lipton dari berbagai segi: ia menggunakan kekuasaannya sebagai nyonya
rumah agar Yusuf mau memenuhi nafsunya atau ia hanya ingin mengajak Yusuf
tidur dan membuat kesepakatan dengan Yusuf. Apapun itu, yang jelas adalah
bahwa tindakan nyonya Potifar tidak hanya mengarah kepada tindakan asusila
namun juga melibatkan kepentingan ras dan politik. Selain itu, timbul pertanyaan,
kemana Potifar pergi? Mengapa ia meninggalkan istrinya? Mungkinkah istri
Potifar ini kesepian, ditinggalkan dan karena itu sulit mendapatkan keturunan
sehingga ia memutuskan untuk menggoda Yusuf?
Apapun alasannya, ada perbedaan budaya antara nyonya Potifar, Yusuf dan kita
pada masa kini. Bisa jadi nyonya Potifar justru telah bertindak berdasarkan
budayanya. Tapi kebanyakan kita menilai tindakan nyonya Potifar ini berdasarkan
budaya kita dan inilah yang menimbulkan tanggapan negatif terhadap beliau. Dan
menilai positif kepada Yusuf yang tetap bertahan pada budayanya dan menjadi
orang asing di tanah Mesir. Namun masih ada kemungkinan tafsiran lain. Yusuf
melakukan tugasnya sebagai budak berkaitan dengan upaya penerusan garis
keturunan, namun di tengah jalan, ia teringat dengan budayanya sendiri 1. Dan
inilah yang membuat Yusuf memutuskan untuk meninggalkan nyonya Potifar dan
bajunya.
Lalu bagaimana dengan perasaan nyonya Potifar? Kata “mempermainkan” dalam
bahasa Ibrani memiliki makna polisemi yang berarti tidak hanya mengejek,
menertawakan, menari, tetapi juga memiliki makna lain dalam kaitannya dengan
seks, yaitu bercumbu (peristiwa Ishak dan Ribka yang disaksikan oleh Abimelek
dalam Kej 26:8). Dalam benak istri Potifar, bisa jadi Yusuf yang memang telah
dibeli oleh Potifar memang dibeli bukan hanya untuk menjadi pelayan rumah,
dalam hal ini makanan, namun juga seks. Ketika istri Potifar mengadukan
tindakan Yusuf, ia telah memanipulasi kejadian yang sebenarnya. Bukan tentang
budaya, namun tentang hasratnya, tentang alasan mengapa ia berteriak. Teriakan
1 Nyonya Potifar berteriak dan teriakan ini ditafsirkan sebagai teriakan sukacita. Namun teriakan ini
justru malah mengagetkan Yusuf dan membuatnya sadar akan budayanya sendiri.

istri Potifar bukan karena ingin minta tolong kepada sida-sida lain karena kasus
perkosaan yang dilakukan oleh Yusuf. Namun karena sukacita yang ia rasakan.
Pirson mengkaji kata “teriakan” ini dan menemukan konotasi bahwa ternyata istri
Potifar ini sedang berada dalam keadaan hampir orgasme atau malah orgasme.
Atau tafsiran lain mengatakan bahwa tangisan ini terjadi karena istri Potifar malu
dan marah terhadap penolakan Yusuf. Tangisannya bermakna ambigu, antara sakit
hati atau sukacita (p.52-54). Bagaimanapun juga, untuk menutupi fakta ini, maka
harus ada korban. Kasus dimana Yusuf meninggalkan nyonya Potifar membuat
dia dikeluarkan dari rumah Potifar dan masuk ke dalam penjara, karena ia telah
menolak otoritas Potifar (p.52). Ini nafsu dalam beretika atau etika dalam
56-70

bernafsu?
Psalm 101 and The Ethics Of Kingship oleh Andrew Nein
Dalam kitab Ibrani, raja merupakan sumber perhatian. Pada mereka ada harapan
dan ketakutan, pemujaan, keadilan dan masa depan. Dan dalam Mazmur 72 dan
101 terdapat isu etis tentang standar terbaik bagi raja-raja. Lebih dari itu, Mazmur
101 menggambarkan tentang tanggung jawab moral orang Israel. Mazmur, kitab
yang terkenal dengan kitab puisi, selama tiga sampai empat dekade terakhir, oleh
para ahli lebih diselidiki sebagai kitab etika. Kitab ini juga ternyata memiliki
kontribusi besar bagi dunia Kristen masa kini.
Agar dapat diperoleh konstruksi dan relevansi yang jelas tentang teks Alkitab dan
dunia moral di dalamnya, Nein menyarankan untuk terlebih dahulu menjawab
pertanyaan-pertanyaan penting yang berkaitan dengan hal ini, yaitu apa itu dunia
moral, mengapa hal ini diperlukan dan siapa saja yang terlibat di dalamnya.
Kata “what” (apa) merupakan identifikasi norma-norma dan nilai-nilai yang ada
dalam teks secara eksplisit tepatnya tentang sikap yang benar atau salah. Namun,
sikap ‘benar’ atau ‘salah’ ini justru tidak muncul secara eksplisit, hanya bersifat
buram atau sindiran. John Barton memberi definisinya tentang etika dalam Yesaya
dengan mengaitkan etika dengan dosa yaitu kejahatan, dosa, dan kesalahan secara
spesifik. Dengan kata lain, etika merupakan sikap dan cara berpikir seseorang
yang dapat membawanya kepada dosa, serta rangkuman baik formulasi eksplisit,
metafora dan analogi yang menjadi dasar dalam melakukan dosa atau sikap yang
salah. Yang menjadi perhatian mendasar dari Barton adalah tentang mengapa
norma etika begitu mengikat dan seberapa baikkah sistem moral dilaksanakan?
Ide utama pikirannya adalah ketaatan kepada pewahyuan Allah, hukum alam dan

pencitraan Allah. Anderson mengkritisi tulisan Barton dengan mengatakan bahwa
pendekatan yang dilakukan Barton, kurang membebaskan. Barton telah
melanjutkan marginalisasi kaum perempuan, miskin dan orang asing. Apapun itu,
sebenarnya bagi Mein, Barton telah memberi perhatian khusu bagi pentingnya
kelompok sosial bagi etika.
Lepas dari Barton, Mein membagi Mazmur 101 dengan tiga pertanyaan: apa
norma etika yang ditemukan secara eksplisit pada bagian tersebut, apa dasar
rasionalnya, apa nilai yang dipromosikan? Mazmur 101 sebagai mazmur kerajaan
merupakan mazmur yang paling konsisten dalam menjawab pertanyaan moral.
Mazmur ini mengatur standar bersikap raja bagi pemerintahan yang baik. Penulis
dari Mazmur ini kelihatannya merupakan seseorang yang memiliki kekuatan
hukum kuat di Yerusalem, selain karena, suasana yang digambarkan dalam teks
ini sepertinya mengarah kepada upacara kerajaan Yehuda.
Terdapat beberapa penafsiran penting secara leksikal terhadap teks ini yang
mengindikasikan beberapa hal; bahwa Mazmur ini dibuka dengan pengertian
bahwa penulisnya memiliki sebuah pemahaman yang sangat baik terhadap
kemuliaan ilahi yang tercermin dalam peraturan-peraturan manusia. Mazmur ini
dibuka dengan pemahaman antara kualitas moral yang diperlihatkan oleh raja dan
ekspektasinya terhadap orang-orang yang melayaninya. Dilanjutkan dengan
penekanan bahwa raja adalah orang yang memiliki integritas hati dan pikiran.
Ayat 3 menghasilkan sedikit kebingungan tentang siapa sesungguhnya yang tidak
ingin dilihat raja, orang yang melakukan pelanggaran atau mereka yang jatuh
secara tidak sengaja dalam kesalahan. Ayat 4 menggambarkan tentang pandangan
raja terhadap dirinya sendiri yang tidak mentolerir orang-orang jahat (orang-orang
yang tidak murni hatinya). Ayat 5 menggambarkan tentang tindakan yang salah
secara spesifik. Ayat 6 dan 7 memberi penekanan tentang kejujuran dan integritas.
Ia menolak orang-orang yang munafik atau pendusta. Ayat 8 memberikan dua
penekanan penting yaitu tentang keadilan sebagaimana klaim raja bahwa ia akan
menghancurkan semua kejahatan di daratan dan memotong semua pelaku
kejahatan dari kota dan tanah itu yang dimulai dari dalam rumahnya sendiri, lalu
ke luar. Penafsiran singkat tersebut merupakan bukti dari kedalaman etika yaitu
cara untuk menjadi murni, hati yang jahat, dll.
Mazmur 101 ini memiliki keprihatinan terhadap keadilan sosial. Menjabarkan
tentang integritas dan kejujuran. Dosa digambarkan sebagai membicarakan orang

di belakang dan menipu, dan orang-orang yang melakukan ini ditolak sebagai
anggota dewan dalam pengadilan. Orang-orang yang diterima sebagai anggota
dewan adalah mereka yang jujur dan berintegritas. Dari sini, jawaban tentang
siapa pelaku etika dalam konteks pasal ini terjawab sudah.
Beberapa komentator melihat teks ini sebagai komitmen raja kepada Taurat.
Moller mendasarkan tesisnya pada ketaatan terhadap kehendak ilahi. Dibanding
pasal paralelnya, Mazmur 18, ada perbedaan menarik di antara keduanya. Pasal
ini merupakan bentuk ucapan syukur karena kekalahan musuh, namun di
pertengahan pasal diselingi dengan salah satu contoh moral dimana kesuksesan
keadilan raja ditentukan oleh kebajikannya. Dalam hal ini kebajikan raja
dihubungkan

langsung

dengan

ketaatannya.

Namun

dalam

pasal

110,

tanggungjawab secara resmi dituliskan lebih eksplisit. Sulit untuk mengetahui
substansi jelas, yang dimaksud dengan “ketaatan kepada pewahyuan keinginan
Allah”. Mazmur sendiri hanya sedikit memuat pengajaran yang memimpin
kepada kehidupan secara legalitas dan sesuai dengan peraturan berlaku. Sikap dari
pemimpin dalam pemerintahannya merupakan hal penentu bagi kepemimpinan
dalam pemerintahan mereka (p.63).
Ada juga yang menghubungkan raja sebagai gerbang liturgi (Ps 15 dan 24),
penjaga gerbang Taurat (Krauss), pengatus administrasi yang benar dalam
kenegaraan (Gunkel), dan imitasi dari Allah (Wenham). Sejalan dengan itu, maka
Mazmur memberikan pula penekanan terhadap cara untuk menjadi murni. Namun
sepertinya, integritas atau kemurnian tetap merupakan karakteristik ilahi. Pasal 18
ayat 30 menunjukkan bahwa kemurnian Allah itu ditransferkan kepada raja.
Kraus menafsirkan bahwa Mazmur 110, Allah juga merepresentasikan sistem
keadilan-Nya. Jadi, raja merupakan model bagi moral yaitu model kebajikan bagi
dewan pengadilannya, dan menjadi model refleksi karena sifat keilahiannya.
Dalam rumah tangga kerajaannya sebagai kaum elit di Yehuda, ia juga
menerapkan kejujuran dan kebenaran bagi para anggota kerajaan, baik dari segi
administrasi dan birokrasi kerajaan.
Agak sedikit aneh jika pasal 110 ini tidak menyinggung tentang tindakan yang
patut diambil bagi kaum miskin. Bukan tidak, namun sepertinya kemiskinan telah
dikaitkan dengan tindakan keliru atau pelanggaran, sehingga mereka berada
dalam keadaan itu. Penekanan hanya diberikan kepada karakteristik moral
kerajaan. Pasal ini memberi gambaran tentang raja sebagai figur ideal Allah di

dunia, namun juga bersifat sebagai pelayan Allah bagi sesamanya. Raja
merupakan simbol utama antara Allah dan manusia. Allah merupakan model bagi
raja yang adalah model bagi dewan pengadilannya dan dewan ini merupakan
model bagi orang Israel secara keseluruhan. Ada perbedaan antara dunia kerajaan
dan dunia luar. Kerajaan digambarkan sebagai dunia yang penuh dengan norma
moral dan kemurnian sementara dunia luar digambarkran sebagai dunia yang
tidak bermoral dan penuh kejahatan (p.66).
Tetap masih ada sedikit kebingungan tentang cara menangani kejahatan. Secara
teoritis, raja dengan kemurniannya menolak setiap pelaku kejahatan, meski pada
praktisnya tidak menyeluruh. Raja berharap bahwa ia dapat mempertahankan
integritasnya, walaupun terdapat perbedaan antara hareapan dengan fakta di
lapangan.
Mein mengutip penjelasan Lasine tentang sifat paradoks dalam kitab kehidupan
raja-raja tentang “siapa” sesungguhnya yang ada dalam pengadilan kerajaan.
Menurut Lasine terdapat sifat paradoks yang fundamental dalam diri seorang raja
antara dia sebagai figur yang selalu sendiri dan tidak pernah sendiri. Raja,
mungkin memiliki kekuatan pribadi yang unik, namun ia hanya dapat melatih
kekuatan itu melalui orang lain. Dan orang-orang itu pertama-tama adalah
anggota dari dewan pengadilan atau kerajaan itu sendiri. Dari sini harus diakui
bahwa, memang, mau tidak mau, kekuatan besar yang dimiliki oleh seorang raja
ternyata berasal dari sugesti para pelayannya. Kesuksesan seorang raja berasal
dari kesuksesan pegawai-pegawainya. Dia bisa saja adalah orang yang
mengetahui segalanya, namun semuanya ini diperoleh, hanya apabila ia dapat
merasa aman dan nyaman tinggal dalam kerajaannya itu.
Seorang raja selalu mengetahui di mana menemukan kejahatan dan para pelaku
kejahatan, baik di kota atau di tempat-tempat lain dengan kelebihan yang ia miliki
(ay 8). Namun ia perlu memperhatikan tiga hal penting dari setiap informasi yang
71-87

ia terima: Kejujuran, reliabilitas, dan transparansi.
The Ethics Of Warfare and The Holy War Tradition In The Book Of Judges By
Janet Tollington.
Dalam upaya mengirim bangsa Israel ke Kanaan, Allah sepertinya memang telah
mempersiapkan mereka sebagai umat yang tangguh dalam berperang. Bahkan
setelah Israel masuk ke negeri Kanaan, tetap saja sering terjadi peperangan antara
Israel dan bangsa di sekitarnya, entah itu dalam upaya perebutan wilayah atau

pertahanan. Kitab Hakim-hakim kebanyakan menggambarkan tentang kisah-kisah
peperangan ini. Oleh para ahli, perang yang ditulis dalam kisah ini kebanyakan
merupakan perang kudus karena dalam hal ini, Tuhanlah yang berperang bagi
Israel. Perang yang dimaksud di sini tidak hanya memiliki arti tindakan
penyerangan namun juga memiliki kesamaan arti dengan membinasakan (p.75).
Ini juga tidak juga secara keseluruhan, karena jika ditilik, terdapat begitu banyak
peristiwa jatuh bangun bangsa Israel sebagai suatu bangsa. Tidak digambarkan
sebuah peperangan yang mencakup bangsa Israel secara keseluruhan, hanya
berupa suku-suku di Israel. Menurut Tollington sendiri, kitab ini kemungkinan
sudah mengalami pengeditan oleh beberapa orang yang berkepentingan agar dapat
dipakai menjadi kitab bagi komunitas orang percaya. Hal ini terlihat dari adanya
dalam cara menggunakan bahasa dan mempresentasikan semua isu tentang peran
Allah dalam dengan perang. Ada juga kemungkinan bahwa penulis kitab ini
dengan sengaja telah menyembunyikan opini etisnya dan membiarkan para
pembacanya untuk menarik kesimpulan pribadi dari tulisan mereka (p. 73).
Yang jelas, dari sudut etis, kejatuhan Israel ke dalam penjajahan dan penderitaan
terjadi karena mereka melupakan Tuhan dengan menyembah berhala. Hal ini
merupakan tindakan yang dipandang jahat oleh Allah. Kitab Hakim-hakim
menghadirkan konsep tentang perang sebagai pengajaran Tuhan kepada Israel
dalam konteks mereka sebagai suatu bangsa. Perang digunakan Tuhan untuk
menguji apakah Israel taat atau tidak kepada-Nya.
Dilihat dari latarbelakangnya, Sosipater menjabarkan bahwa moralitas ini
merupakan pengaruh dari bangsa-bangsa kafir. Pada masa kepemimpinan Yosua,
Israel telah diperintahkan untuk mengusir bangsa-bangsa kafir dari negeri mereka.
Namun mereka sepertinya tidak menganggap peringatan ini sebagai sebuah
peringatan serius. Terjadi kawin campur, toleransi dengan kebudayaan kafir, dan
inilah yang mengakibatkan kemarahan Allah (p.259). Zuck juga memberi
pendapatnya bahwa akibat dari tindakan mereka, generasi baru yang berada di
Kanaan tidak memiliki pengenalan yang jelas tentang Allah. Para tua-tua kurang
memberi pengajaran kepada mereka, sehingga ada bagian sejarah yang hilang dari
diri mereka. Ketidaktaatan awal yang kelihatan sederhana ini berujung kepada
kemurtadan bangsa Israel. Kemurtadan ini tidak hanya berdampak pada sistem
keagamaan, namun juga pada kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Perang
bukan hanya terjadi karena mempertahankan diri dari bangsa lain namun juga

perang saudara. Ketaatan dimulai dari hal yang terkecil. (P.199-202).
Tangisan mereka membuat Allah melepaskan mereka. (p.75). Penderitaan itu akan
dilepaskan jika bangsa Israel berbalik lagi kepada Allah. Allah akan menolong
dan berperang bagi mereka dengan memakai seorang hakim sebagai pemimpin.
Intinya adalah, keamanan dan kenyamanan mereka sebagai suatu bangsa
ditentukan melalui hubungan mereka dengan Tuhan.
Pertanyaannya adalah benarkah Allah yang memiliki hakikat penuh kasih ternyata
merupakan Tuhan yang berperang? Jika perang identik dengan pembunuhan,
dimanakah letak kasih Allah? Para Teolog sendiri sempat kebingungan untuk
menemukan konsistensi ide tentang Allah yang penuh kasih dengan Tuhan yang
memiliki Roh perang, merancang perang bahkan berkeingininan untuk
menghancurkan musuh Israel demi membawa kedamaian bagi bangsa Israel (p.
72). Secara etis, tindakan Allah ini memiliki penekanan terhadap komitmen Allah
terhadap umat pilihan-Nya dalam masa politeistik di zaman Hakim-hakim itu.
Untuk itu, dalam berperang, Israel tidak membutuhkan mesin perang. Allah
sendiri akan menggunakan senjata alam untuk menghalau musuh Israel. Israel
hanya perlu bersifat pasif, tanpa menodai diri atau tangan mereka dengan darah.
Konsekuensi etisnya, mereka harus bertanggung jawab secara moral kepada
Allah.
Sayangnya, bangsa Israel tidak belajar dari kesalahan-kesalahan mereka
sebelumnya. Kejahatan mereka tetap sama, kembali, berulang-ulang jatuh dalam
penyembahan berhala. Mereka kuat ketika pemimpin mereka ada. Mereka masuk
dalam waktu tenang selama beberapa puluh tahun. Namun suasana tenang ini
sepertinya telah menjadi pemicu kejatuhan mereka ke dalam penyembahan
berhala.
Di lain pihak, Hakim yang dipilih Allah, bukanlah orang-orang yang memang
berasal dari tua-tua atau kepala suku di Israel. Menurut Blommendaal, hakim ini
dipilih dari satu atau dua suku untuk melakukan perang melawan bangsa-bangsa
musuh mereka. Hal ini tidak bergantung pada kharisma mereka ataupun garis
keturunan mereka (p.71). Mereka hadir dengan cirikhas dan gaya kepemimpinan
yang berbeda. Gideon yang meminta tanda, Yefta yang awalnya ditolak namun
dipanggil kembali untuk menjadi pemimpin, Simson yang seorang nazir, namun
dalam perjalanan ceritanya justru hanya melibatkan dia sebagai pelaku tunggal
dalam alur cerita tersebut, dll. Dari kesemua hal ini dapat dilihat bahwa Allah bisa

melakukan apa saja, melalui siapa saja, dengan cara apa saja, agar umat ini tetap
bertahan. Masa ini bisa jadi memang merupakan masa kekosongan Teokrasi, atau
masa gelap dalam keagamaan umat Israel. Sehingga berulang-ulang mereka dicap
“melakukan segala sesuatu menurut pandangannya sendiri”, tanpa pedoman.
Namun Allah tetap mempertahankan bangsa ini. Tujuan Allah tetap sama, Ia ingin
87 – 102

mempersiapkan satu umat yang taat kepada-Nya, bagaimanapun caranya.
Prophecy, Ethics, and The Divine Anger By Ronald E. Clements
Pemakaian istilah tentang kemarahan Allah dalam buku nubuatan Yesaya (5:25 –
30) sepertinya telah menimbulkan pertanyaan khusus terlebih-lebih dengan bukti
kedatangan Asyur untuk menyerang wilayah Israel dan Yehuda. Asyur dalam hal
ini dipakai oleh Allah untuk menghajar Israel. Namun perjalanan ini tidak sampai
di sini saja. Di balik pernyataan ini sepertinya telah menjadi tersisipi kepentingan.
Dalam Nubuatan disampaikan berbagai macam pengajaan dan peringatan secara
politis sebagai bentuk antisipasi dari pengalaman berikutnya. Tujuan keilahian
Allah bagi bangsa Israel sebenarnya adalah anugerah. Penderitaan, ketidakadilan,
dan kematian karena peperangan merupakan konsekuensi kemarahan Allah yang
disebabkan oleh sikap manusia. (p.89). Alasan sebenarnya simpel, Allah ingin
agar melalui nubuatan yang disampaikan oleh para nabi, bangsa Israel mau
memberi respon dengan berbalik kepada Allah.
Penjelasan tentang penyebab kemarahan Allah ini dapat dilihat dari beberapa segi,
antaralain: karena ketidakadilan dan kejahatan yang terjadi di Israel dan
penolakan Israel secara umum terhadap keadilan dan komitmen agama.
Ada kemungkinan besar menurut beberapa ahli bahwa nubuatan tentang
kemarahan Allah ini sebenarnya menekankan pada kasus kejahatan moral dan
keadilan. Tidak heran jika diabad ke-19, nubuatan ini dianggap telah memberi
penekanan yang besar pada isu etis yang berdampak pada semua umat manusia.
Harapan untuk hidup kudus sebagai suatu bangsa melahirkan masalah besar.
Kejahatan dan keterpurukan struktural dalam bangsa Israel telah menyebabkan
kemarahan Allah (p 90). Namun kita juga tidak boleh terlalu jauh masuk dalam
ide bahwa kemarahan Allah merupakan faktor penyebab dari kondisi buruk yang
dialami oleh manusia. Penjelasan ini malah menghasilkan kritik tersendiri. Yang
paling jelas dari tulisan nubuatan para nabi tentang kemarahan Allah adalah
bahwa kemarahan ini disebabkan oleh tindakan bangsa Israel yang meninggalkan
Allah dengan melakukan penyembahan berhala. Allah menginginkan kehormatan

dari manusia. Ia merancangkan satu umat yang memiliki kepercayaan monoteis,
hanya menyembah kepada-Nya, bukan politeis yang beribadat kepada banyak
dewa. Inilah yang sedang diusahakan oleh para nabi, yaitu agar bangsa Israel
bahkan segala bangsa dapat datang dan menyembah Allah. Kemarahan Allah
merupakan konsekuensi etis sebuah ketidaksetiaan kepada Allah (p.91).
Nabi-nabi merupakan pionir bagi etika monoteis di Israel. Peringatan tentang
kemarahan Allah kepada orang Israel dan keluarga bangsa-bangsa secara umum
sebagaimana diinterpretasikan oleh para nabi bermaksud untuk memberikan
prioritas etika bagi agama dan juga bagi reformasi masyarakat.
Memang terdapat kontradiksi antara sifat Allah yang penuh kasih karunia dengan
Allah yang penuh amarah dan dendam atau cemburu bahkan dapat
menghancurkan kehidupan manusia. Namun natur-natur Allah yang diterangkan
dalam Alkitab ini merupakan bentuk dari tindakan kasih sekaligus keadilan Allah
di dalam dunia. Para ahli teologi menggunakan pendekatan untuk menjembatani
PL dan PB dengan dunia kita masa kini. Memang perlu diakui bahwa terdapat
kesulitan dalam menganalogikan atau menjelaskan ulang natur Allah yang penuh
amarah

dalam

bahasa

manusia.

Pengalaman-pengalaman

buruk,

luka,

menghantarkan manusia pada pertanyaan tentang kasih Allah. Ini terjadi berulangulang dalam kehidupan manusia tanpa studi khusus. Namun pengkajian ulang
mulai menemukan bahwa fenomena “buruk” dalam kehidupan manusia bisa jadi
merupakan kejadian yang Allah izinkan terjadi, bisa jadi karena faktor diri sendiri
atau memang karena tindakan Iblis. Apapun itu, para ahli modern percaya bahwa
semuanya ada dalam providensia Allah (p.95).
Kemarahan Allah dalam PL pun bagaimanapun telah membawa ide tentang
gambaran Allah PL yang penuh dengan kekejaman. Dan ini membuat pengakuan
pada ke-Allahan PL sepertinya berkurang. Pihak-pihak tertentu bahkan menolak
keAllahan PL. Banyak penafsir masa kini mencoba juga untuk menafsirkan sifat
Allah yang satu ini dalam kaitannya dengan pengalaman-pengalaman buruk yang
dialami oleh manusia. Mungkinkah Allah yang penuh kasih itu menjadi Allah
yang demikian kejam atau penuh dengan kemarahan?
Satu hal menarik dapat penulis lihat dari kronologis lahirnya kemarahan Allah ini.
Manusia berbuat jahat sehingga Allah marah. Kejahatan yang dimaksud adalah
karena manusia telah tidak setia terhadap Allah dengan berpaling dan menyembah
Allah lain. Allah yang merasa bahwa kehormatan-Nya sebagai Allah pencipta dan

sebagai satu-satunya Oknum yang pantas untuk disembah, cemburu. Amarah itu
muncul karena rasa cemburu yang berasa di dalam diri Allah. Inilah hukum
pertama sampai keempat dan penekanannya dalam ayat ke-5 dan ke-6 dari
103-121

Keluaran 20.
Justice for Whom? Social and Environmental Ethics and The Hebrew Prophets by
Hilary Marlow.
Ada berbagai isu miring seputar perkembangan dunia masa kini. Pemanasan
Global yang mengakibatkan pencairan es di kutub, efek rumah kaca, dll. Sejajar
dengan itu, berbagai kepedulian terhadap lingkungan dan keselamatan bumi juga
mulai terus disebarluaskan. Semua orang di seluruh dunia bergumul tentang masa
depan planet bumi. Tidak ketinggalan, para ahli PL juga mencoba mengkaji ulang
tentang pandangan Alkitab terhadap bumi. Studi ini dilakukan dengan
mengemukakan isu-isu yang umum dilihat dari segi etisnya. Ada beberapa kitab
yang memang memiliki implikasi ke arah ekologi seperti Amos, Yesaya, Mikha.
Semuanya mengarahkan pada hubungan antara makhluk hidup dengan
lingkungannya. Tepatnya, teks Alkitab mengarahkan model relasi ini dalam tiga
rangkaian antara Allah, manusia dan lingkungan. Ada kaitan erat antara Allah dan
ciptaan-Nya, dan hubungan yang fundamental antara budaya, alam dan
masyarakat. Hubungan ini didasarkan pada keadilan dan kebenaran. Dalam
masyarakat Israel kuno, keadilan sosial bersumber pada keadilan dan kebenaran
(p.104). Berdasarkan bahasa aslinya, keadilan dan kebenaran ini merujuk kepada
pengambilan keputusan resmi atau praktis secara sosial terutama bagi kaum
marginal.
Secara ideal, keadilan dan kebenaran dalam perspektif etis tergambar dalam sikap
dan tindakan raja dalam Mazmur 72. Dalam teks ini, raja meminta keadilan dan
kebenaran sebagai permulaan doanya. Di dalamnya berisi kepedulian terhadap
kaum miskin dan tertekan, kesuburan alam baik biotik dan abiotik. Karena itu,
keadilan dan kebenaran dalam hal ini menunjukkan sebuah hubungan erat antara
kerajaan sebagai institusi ilahi dalam masyarakat dan ciptaan Allah yang lebih
luas.
Berbanding terbalik dengan hal ini, nabi-nabi justru dengan terang-terangan
mengutuk tindakan para bangsawan yang mengekploitasi kaum miskin.
Konteksnya, para nabi merefleksikan kehadiran Allah di antara umat. Nabi-nabi
menegaskan bahwa Allah menolak segala bentuk kemunafikan agama bahkan

dalam bentuk pengorbanan. Allah sendiri yang bertindak melawan kejahatan yang
terjadi dalam masyarakat. Tindakan Allah ini tidak jarang muncul dalam bentuk
penyakit dan kehancuran. Tidak hanya bagi lingkungan manusia, tapi juga alam
semesta. Untuk itu diperlukan pertobatan total. Hasil baik dari negeri akan mereka
terima hanya jika mereka taat kepada Allah. Konsekuensi ketidaktaatan adalah
kegagalan panen, bencana, kekeringan, hama, kerusakan, dll. konsekuensi
penolakan terhadap Allah adalah kehancuran yang dahsyat (p.109). Contoh paling
nyata dari hal ini adalah kejadian Sodom dan Gomora. Di tempat ini terjadi
pelanggaran keramahtamahan dan kejahatan homoseksual. Kehidupan di tempat
ini tidak terkontrol dan keadaan tanpa hukum. Dalam hal ini Abraham menjadi
model kebenaran. Bedanya dengan kitab para nabi, kasus Sodom dan Gomora ini
sepertinya memberi penekanan pada tindakan seksual yang salah di sana
sementara para nabi lebih memberi pehatiannya

pada sikap feodal kaum

bangsawan dan tekanan yang mereka berikan kepada kaum marginal. Apapun
bentuknya, tidak melakukan kebenaran dan keadilan berarti melakukan
pelanggaran serius kepada Allah. Sikap dan tindakan bangsa Israel terhadap
keadilan berdampak bagi kehidupan sosial dan ekologis mereka (p.111).
Keadilan ini sebenarnya berlaku bagi siapa saja. Namun karena faktor budaya,
para nabi sepertinya telah menyebut istilah “Orang Kaya” sebagai konotasi
negatif dan pelaku ketidakadilan sosial tetapi menyebut “orang miskin dan
tertekan” sebagai orang yang patut ditolong oleh Allah. Dalam hal ini Barton
menjelaskan bahwa kenabian klasik menggunakan cara retorika untuk
menjelaskan tentang tindakan Allah, bahwa Allah akan bertindak adil bukan
hanya kepada “orang kaya” tapi yang terutama dimaksudkan adalah kepada
semua orang yang melawan Allah. Sehingga “Kaya” dalam hal ini merupakan
konotasi terhadap tindakan perlawanan atau ketidaktaatan kepada Allah.
Tidak hanya bagi manusia, keadilan juga menyentuh bagian ekologis manusia,
bumi. Alkitab memperlihatkan bahwa dosa karena ketidaktaatan manusia
berdampak buruk juga bagi bumi. Belum lagi eksploitasi demi hasil panen yang
besar juga berdampak buruk bagi perkembangan ekosistem. Bumi menjadi
tambang uang bagi manusia. Karena itu, bisa jadi atau jika ini memang tujuan
Allah sejak semulanya, maka peristiwa pembuangan yang terjadi di Israel
merupakan saat di mana ekosistem atau tanah Israel dipulihkan kembali dari
kerusakannya. Allah menghukum bangsa Israel dengan memakai bangsa lain,

sekaligus juga memberikan kesempatan pada tanah untuk beristirahat dari
kerjapaksanya.
Tentu ada perbedaan konteks antara zaman para nabi dengan kita pada saat ini
meskipun keduanya mengarah pada keadilan sosial. Karena keduanya
menekankan bahwa tindakan apapun yang kita lakukan akan tidak hanya bagi
sesama kita manusia, namun juga bagi lingkungan sekitar kita, bumi. Jadi jika
ingin antara bumi dan kita manusia terus berada dalam keadaan harmonis,
hubungan ketiganya perlu terus dijaga, antara kita sesama manusia, terhadap
122-134

lingkungan, terutama kepada Allah sumber segala keadilan dan kebenaran.
The Dark Side Of God In The Old Testament By John Barton
Ada beberapa kejadian tindakan Allah dalam PL yang menggambarkan Allah
sebagai sosok yang kejam. Inilah yang kemudian disebut oleh para ahli sebagai
sisi gelap Allah dalam PL. Barton secara khusus mengkritisi tulisan Dietrich dan
Link tentang fenomena ini. Beberapa pertanyaan muncul seputar tindakan Allah
dalam kedaulatan-Nya bagi dunia. Jika Dia Allah, mengapa Ia mengizinkan
manusia jatuh ke dalam dosa? Mengapa Allah membedakan kasih kepada satu
orang dengan yang lain? Jika Dia Allah, mengapa Dia membiarkan umat-Nya
menderita? Pertanyaan-pertanyaan sejenis merujuk sebuah pertanyaan sentral
tentang hakikat Allah yang adil.
Paulus memandang hal ini sebagai bagian dari kedaulatan Allah (P.123) dan
menekankan pada fakta bahwa Israel memang sebenarnya tidak layak untuk
mendapat bagian dalam kasih Allah apalagi keselamatannya. Kasih merupakan
identitas nyata kedaulatan Allah. Israel didampuk tugas untuk menjadi simbol
hubungan Allah dengan dunia. Allah menolak mereka karena dosa yang mereka
lakukan. Dalam hal ini, sebagaimana Amos katakan, Israel menjadi gambaran
bagi orang-orang yang terpilih namun terbukti melakukan kejahatan. Allah
sebagai pemilik kedaulatan dunia dan penilik sejarah perjalanan sejarah dunia
sebenarnya bebas bertindak sesuai dengan kemauannya terhadap siapa saja.
Namun karena Israel merupakan bangsa yang Ia pilih dan memiliki hubungan
istimewa dengan Allah, maka Allah berhak untuk mengasihi, marah, dan
menghukum mereka. Semua ini dilakukan justru karena Israel memiliki hubungan
istimewa dengan Allah. Kecemburuan Allah merupakan indikasi utama adanya
hubungan istimewa antara Allah dan manusia.
Tindakan nyata Allah seperti membiarkan Israel berada dalam penderitaan karena

perang, penjajahan dan pembuangan karena kehangatan murka-Nya memang
menimbulkan pertanyaan, khususnya bagi para pemikir masa kini. Kekejaman
Allah yang meminta Israel untuk memusnahkan para musuh mereka juga
menimbulkan pertanyaan. Mereka menganggap tindakan nyata-nyata Allah
sebagai efek dari kemarahan-Nya ini merupakan sisi gelap dari pribadi Allah
dalam PL. Ini juga yang menjadi alasan banyak teolog untuk memilih
mengabaikan figur Allah PL. Von Rad memandang hal ini sebagai bukti
keesklusivan Allah (p.125). Barton meniliknya dari rasa cemburu yang dimiliki
oleh Allah dan menekankan bahwa perasaan cemburu ini timbul karena begitu
besarnya kasih yang Allah miliki bagi Israel (p.125). Allah yang penuh kasih ini
juga bahkan tidak segan-segan membalas dendam karena tangisan umat Israel
dalam PL akibat ketidakadilan yang menimpa mereka. Memang sedikit
membingungkan, Allah menurut pelapor seolah menjadi sosok yang serba tidak
konsisten. Maksudnya, ketika Allah cemburu kepada Israel, Ia membiarkan Israel
masuk dalam penderitaan hebat sampai mereka “merengek” kepada Allah. Lalu
Allah datang membela mereka dan menghancurkan bangsa yang sudah
memperlakukan Israel dengan buruk. Pertanyaannya, mengapa Allah tidak sejak
awal saja mendidik mereka dengan “cara lain” tanpa perlu melibatkan bangsa
lain? Atau jika Israel memang ditentukan untuk menjadi saksi Allah bagi bangsa
lain, dan jika mereka gagal, dan mengadu kepada Allah, mengapa Allah harus
menghukum bangsa Israel. Bukankah kegagalan itu terletak pada bangsa Israel.
Allah dalam satu waktu meminta bangsa Israel untuk menjadi saksi, di lain waktu
memaksa bangsa Israel untuk memusnahkan bangsa lain. Apa yang sesungguhnya
Allah inginkan dari bangsa Israel? Kesetiaan mungkin?
Dietrich dan Link memberi penilaian terhadap kehangatan amarah Allah sebagai
“sisi gelap” Allah ini dari sudut anthropomorpisme. Allah dalam sifat yang sama
seperti manusia. Allah yang sama bisa menjadi Allah yang demikian romantis dan
penuh cinta dalam tindakan-Nya namun bisa saja marah besar dan membalas
dendam karena kecemburuan-Nya. Inilah konsekuensi logis cinta. Allah yang
sangat kejam bisa menjadi Allah yang rela menderita bagi orang-orang yang
dikasihi-Nya. Tindakan Allah seperti dua sisi dalam mata uang. Allah bisa saja
menyelesaikan semua masalah dan penderitaan Israel karena kekuatan dashyat
yang Ia miliki, namun Ia memilih untuk ikut menderita bersama Israel. Segala hal
yang terjadi memang berada dalam perhatian Allah dan kawasan kedaulatan

Allah, namun Allah siap masuk untuk terlibat langsung di dalamnya. Bukan
karena Ia tidak mampu, namun karena Ia mau terlibat dalam sejarah hidup
manusia. Inilah gambaran Allah yang monoteistik. Allah yang sama namun
dengan sisi yang berbeda. Allah yang menciptakan semua kebaikan namun juga
menciptakan setan, bapa dari segala kejahatan. Dalam banyak kasus, Allah
jugalah yang kemudian dituduh dan diminta pertanggungjawaban atas semua
kesulitan yang menimpa kehidupan manusia. Karena Allahlah pencipta segala
sesuatunya, pemilik ide utama penciptaan dunia. Sulit dimengerti oleh akal
pikiran manusia. Akan tetapi, seperti yang dikutip Barton dalam tulisan Luther
bahwa kita tidak bisa berharap untuk mengerti jalan Allah yang tidak dapat
dimengerti oleh kita. Bagaimanapun, kita terbatas. Dua sisi Allah ini membawa
kita kepada pemahaman bahwa Allah yang tadinya bisa demikian kejam, pada
suatu waktu dapat menjadi Allah yang begitu baik bagi manusia. Ia bersama
manusia melewati penderitaan yang ada dan merancangkan kebaikan bagi
manusia. Kemahakuasaan-Nya ini sering muncul dalam tindakan yang tidak
terprediksi oleh manusia (p. 129).
Tidak hanya digambarkan sebagai Allah yang Maha Kuasa dan berdaulat atas
semua ciptaan, Dietrich dan Link sebagaimana dilaporkan Barton berdasarkan
teks Ibrani digambarkan juga sebagai Allah yang memiliki keterbatasan. Allah
sering digambarkan sebagai Allah yang terbatas dalam menanggapi pengalaman
hidup manusia, lamban dan seperti tidak punya kekuatan (p.129). Kontradiksi
penggambaran karakteristik Allah ini bagi para pemikir masa kini tentu
melahirkan polemik. Bagi penulis kitab-kitab Ibrani, ide tentang karakteristik
Allah ini bukanlah hal yang

aneh jika dilihat dari sisi anthropomospisme.

Masalahnya adalah bukan pada Allah yang terbatas, namun pada manusia yang
terbatas dalam membahasakannya. Orang Israel tidak begitu saja menaruh
kepercayaannya pada Allah karena kekuatan besar yang Ia miliki, namun juga
pada hal-hal konkrit yang ada di hadapan mereka hari lepas hari . (p.129). Allah
bagi orang Israel bukanlah Allah yang abstrak, Ia hidup di sepanjang perjalanan
sejarah kehidupan umat-Nya. Kita dapat menyaksikan bagaimana Allah dapat saja
“Menyesal” karena tindakan yang Ia lakukan kemudian mengubah pikiran-Nya
dan membuat rencana baru bagi umat-Nya. Bagi para ahli, bisa saja
ketidakkonsistenan Allah ini merupakan hal yang memalukan, namun seperti kata
Barton, Allah dalam PL adalah Allah bagi Abraham, Ishak, dan Yakub, bukan

Allah bagi para filsuf. (p.130). Keterbatasan Allah, kelemahan hati-Nya ini justru
bukti betapa Ia begitu mengasihi Israel, umat-Nya. Kekuatan kasih terletak pada
mengampuni, dan ini terjadi berkali-kali dalam perjalanan sejarah Israel.
Barton dalam tema ini secara khusus memberikan evaluasinya terhadap tulisan
Dietrich dan Link tentang “Sisi Gelap Allah dalam PL”. Sepertinya judul ini
memang menyudutkan Allah. N