Ibn Khaldun dan al Farabi Memilih Pemimp

Ibn Khaldun dan al Farabi Memilih Pemimpin
Jakarta pada 19 april ini mempunyai hajat besar. Mengapa dikatakan hajat besar ? ini berart
menyangkut urusan yang sangat pentng atau krusial. Hajat besar tersebut berupa pilkada.
pilkada untuk memilih gubenur Jakarta ini dilakukan secara langsung. Dan memang sudah
seharusnya dan sepantasnya.
Sebagai Negara yang demokrasi, Indonesia sudah seharusnya cara langsung dalam memilih
pemimpinnya. Artnya adalah setap warga Negara memiliki hak yang sama dalam menentukan
pilihannya. Dalam upayanya ini atau dalam pilkada kali ini, Jakarta diwarnai dengan berbagai isu
yang seakan mendekte semua warga Jakarta untuk memilih dengan paksa.
Mulai dari kasus Ahok yang dicurigai menistakan agama lewat pidatonya di Kepulauan Seribu
tersebut akhirnya bergulir ke ranah yang sangat sensitf, yaitu agama. Agama dalam pilkada
menjadi sebuah kajian yang sangat sering dibahas. Bahkan para petnggi agama baik ulama, kiai,
pendeta dan romo ikut turun tangan mengambil bagian dalam membahas masalah ini.
Ada satu kasus yang sangat kuat atau menjadi trend diakhir-akhir masa kampanye atau
setdaknya mendekat hari H pemilihan kepada daerah ibukota Jakarta ini. Mulai dari kasus
penolakan jenazah pendukung Ahok sampai pada pembagian sembako murah bahkan grats
oleh pasangan Anies-Sandi. Untuk Ahok, isu yang disebar masih soal rasnya yang china dan
agamanya yang non-muslim.
Sara piker dua isu ini sudah memenuhi kepala banyak orang untuk memilih mana yang layak
menjadi pemimpin Jakarta untuk lima tahun mendatang. Saya rasa juga, setap warga Jakarta
saat ini atau mungkin kemarin-kemarin sempat merasakan kebimbangan diantara keduanya ini.

Ahok yang Kristen, akan menimbulkan hal negatf bagi keimanan. Anies yang loyal tetapi dinilai
radikal juga akan menghantui Jakarta dengan dekengan FPI-nya.
Tentunya secara psikologis kegelisahan yang saya misalkan diatas benar-benar dialami oleh
minimal sebagian warga Jakarta. Diantara kebimbangan tersebut, tanggal 19 april adalah deathline bagi siapapun warga Jakarta untuk menentukan pilihannya. Dan sebelum itu, pastlah setap
warga Jakarta untuk memberikan satu indikator dalam menentukan pilihannya.
Dalam memilih, otak kita hanya akan menjadi alat bantu untuk membenar-benarkan apa yang
disukai atau tdak disukai sebelumnya. Semisal saya suka donat, maka suatu ketka akan saya
bela sepenuhnya dengan menggunakan otak saya mengapa donat layak untuk dinikmat. Hal ini
wajar, karena memang beginilah cara kerja otak kita.
Disukai atau tdak, Ahok dan Anies adalah satu-satunya calon gubenur yang harus dipilih. Nasib
seluruh warga Jakarta tergantung pada mayoritas pilihan warganya. Satu suara akan sangat
berart dalam menentuka nasib ini. Jika berfikir untuk tdak ke TPS karena suaranya tdak akan
berpengaruh, maka ini adalah salah. Ini karena peluang untuk ikut dalam satu pasangan calon
akan memperbanyak suara, meskipun itu satu suara. Dan jika seluruh warga Jakarta menjadi

sepaham, misalkan, maka mayoritas pemilih inilah yang akan memenangkan pasangan calon
tersebut.
Untuk menunjukan bahwa siapakah yang layak untuk dipilih, silakan ikut tulisan berikut. Tulisan
berikut memang tdak menaruh pembahasan yang panjang. Akan tetapi cukup untuk menaruh
indikator siapakah yang memang layak menjadi pemimpin.

Ibn Khaldun
Ibn Khaldun hidup dimasa dinast Abbasiyah. Hidup beliau melewat banyak masa
pemerintahan. Hingga akhir hidupnya setelah bosan dipolitk dan dipemerintahan, beliau
mendedikasikan dirinya untuk ilmu pengetahuan. Satu buku yang paling terkenal di Indonesia
adalah mukaddimah. Dan memang bukan hanya namanya, mukaddimah adalah pembukaan
(pembukaan atau pendahuluan) kitab yang terdiri dari berjilid-jilid bernama al-ibar.
Ibn Khaldun mendefinisikan pemimpin adalah sebagai seseorang yang memerintah. Atau
sekurang-kurangnya adalah seseorang yang memiliki kapasitas menjalankan seluruh roda
diwilayahnya. Kita sering dihadapkan untuk memilih yang bergelar doktor atau professor dalam
menjadikan wakil kita dipemerintakan atau menjadi pemimpin kita.
Jika memang benar demikian, maka sudah sepantasnya untuk kita hidup sezaman dengan
zaman lampau. Yaitu primus inter pares, bahwa untuk memilih pemimpin yang layak adalah
yang paling sakt, yang paling pintar, atau yang paling gagah. Ini dinilai mampu menyelesaikan
seluruh masalah dalam rentang wilayahnya.
Berbeda dengan ibn Khaldun, kata beliau, untuk memilih pemimpin pilihlah yang kurang pintar
secara akademik. Mengapa ? seseorang yang kurang akademik atau boleh dikatakan bodoh
dalam hal teori akan mampu bekerja dengan efektf dan efisien. Hal ini karena ia mampu
menjalankan seluruh roda pemerintakan tanpa berkaca pada teori yang ia pelajari sebelumnya.
Berbeda dengan yang mahir teori. Karena teori akan banyak memerlukan penyesuaian dengan
kondisi yang berbeda. Dan perlu untuk mereka-reka ketepatan kebijakan yang digunakan.

Dengan kata lain ia yang kurang pintar dalam hal teori akan menjadi berani mengambil
keputusan dengan cepat dalam menjalankan roda pemerintahan.
Ibn Khaldun menyarankan agar yang bukan akademisi yang memimpin rakyatnya melainkan
yang pandai dalam berpolitk. Orang yang pandai berpolitk akan mudah atau mampu
menjalankan segala usahanya untuk memakmurkan rakyat.
Al Farabi
Tidak jauh berbeda dengan ibn Khaldun, al Farabi juga hidup dizaman Abbasiyah. Dimana
pergolakan politk dan penguasaan terhadap wilayah baru juga mewarnai kehidupan
pemerintahan. Terlepas dari itu semua al Farabi memiliki kecerdasan yang luar biasa, terutama
kecerdasan dalam bidang bahasa. Oleh karena itulah beliau mampu untuk mengambil banyak
pelajaran dari buku-buku Yunani.

Yunani rupanya tdak hanya menyisakan puing-puing saja, bagi al Farabi, Yunani adalah gudang
ilmu yang harus digali lewat buku-bukunya. Terutama Plato. Pemikiran Plato-lah yang menurut
saya banyak mempengaruhi pikiran al Farabi, termasuk pemikiran tentang pemimpin dan
pemerintahan. Ini menjadi berharga untuk saat ini sebagai indikator suatu negara yang sedang
membangun atau memilih pemimpin.
Bagi al Farabi, kriteria pemimpin ada tga, pertama adalah ulama, kemudian adalah filsuf, dan
yang terakhir adalah ilmuan. Mengapa tga ini menjadi pentng untuk ikut ambil bagian dalam
pemerintahan ? karena ketganya memiliki karakter yang pas untuk memenuhi hajat hidup

masyakat.
Ulama dinilai sebagai orang yang mampu membentuk moralitas mayarakatnya dengan baik
lewat kitab suci. Sedangkan jika tdak bertemu dengan ulama, saran beliau adalah filsuf. Dengan
filsafat pemimpin dianggap mampu untuk mengambil kebijakan secara rasional dan tepat. Yang
ketga, jika tdak bertemu keduanya maka disarankan untuk memilih ilmuan. Ilmuan dianggap
mampu menjawab problematka suat Negara dengan ilmu yang dimilikinya.
Jika memang ketganya tdak ditemukan maka disarankan untuk memilih siapapun yang
memiliki kualifikasi diatas. Atau sekurang-kurangnya ikut mengambil bagian dalam
pemerintakan. Ini menjadi pentng karena dengan ketganya, semua masalah akan mudah
teratasi. Mengapa demikian ? karena ketganya ini adalah dasar didalam masyarakat. Seluruh
masalah ada dalam ketganya, dan ketganya akan mengambil keputusan serta kebijakan dalam
menjalankan dan menyelesaikan seluruhnya.
Refleksi
Dari kualifikasi yang dikatakan oleh ibn Khaldun dan al Farabi, saya pikir menuai kontra yang
cukup signifikan. Ibn Khaldun menganjurkan untuk memilih yang bukan akademisi, sedangkan al
Farabi menganjurkan untuk memilih yang ahli ilmu.
Diantara kedua saran sarjana besar ini. Perlu untuk direnungkan kembali dalam konteks kekinian
dan keindonesiaan. Hal ini menjadi pentng supaya tdak leterlek dalam membaca sebuah teks.
Perlunya kontekstualisasi ini menjadikan kita lebih bijak dalam mengambil pelajaran dari masa
lalu.

Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama islam moderat. Berbudaya
yang beribu ragam. Bahasa yang sangat kaya. Untuk itu kiranya pentng memilih pemimpin yang
tdak hanya pintar dalam akademisi, tetapi juga perlu yang kiranya berani mengambil keputusan
yang tepat dan cepat.
Pemimpin sepert inilah yang kiranya akan memberikan nuansa baru dan memberikan
kontribusi yang banyak bagi kemajuan Indonesia. Seseorang yang memang ahli dan berani serta
mampu secara politk untuk melancarkan segala rencana kepemimpinannya adalah idealnya
pemimpin untuk Indonesia.