Analisis Regulasi Stasiun TV Berjaringan

Analisis Regulasi Stasiun TV Berjaringan Di Indonesia
Rifqi Aji W.1
1

Jurusan Magister Elektro UMB
Jln. Menteng Jakarta INDONESIA
1

55415120018@mercubuana.ac.id

Dosen : DR Ir Iwan Krisnadi MBA

Intisari— Dalam mengembangkan usahanya stasiun TV swasta di Indonesia berlomba-lomba untuk
membangun perluasan stasiun TV di daerah-daerah . Untuk itu dibuatlah stasiun TV berjaringan
sebagai anak cabang dari perusahaan induk di pusat.
Peraturan menteri telah dibuat sebagai regulasi yang akan diusulkan untuk memberi
kekuatan hukum bagi lembaga penyiaran swasta untuk memiliki kekuatan hukum dalam menjalani
usahanya di bidang broadcasting.
Jurnal ini dibuat dengan tujuan menganalisis regulasi yang berkaitan dengan sistem TV
berjaringan .
Kata kunci— TV berjaringan, regulasi,peraturan menteri,lembaga penyiaran swasta.

I. PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi Broadcasting di Indonesia
semakin pesat. Stasiun TV swasta semakin memperluas
jangkauan siarannya.Hal ini dilakukan untuk memberikan
servis kepada pemirsa agar tetap dapat menikmati
program/acara dari stasiun TV meskipun berada di luar kota.
Selain itu semakin luasnya jaringan yang dimiliki oleh stasiun
TV swasta akan menaikkan penawaran pengiklan,sehingga
tarif yang ditawarkan pada pengiklan juga semakin tinggi.
Untuk saat ini induk-induk stasiun TV swasta terletak di
Jakarta. Untuk menambah jangkauan siaran di daerah lain
tentunya tidak bisa hanya mengandalkan perangkat, dalam
artian untuk penambahan gain antenna dan power transmitter
dapat dilakukan untuk memperluas jangkauan siaran,akan
tetapi dampak yang dihasilkan mungkin hanya menmbah
jangkauan siaran menjadi beberapa kilometer saja dengan
catatan tidak ada penghalang antara antenna transmitter
dengan antenna receiver.Dikarenakan kontur wilayah di
Indonesia yang luas dan datarannya pun tidak merata,ada
dataran rendah ,dataran tinggi dan ada pula yang berda daerah

pegunungan. Maka tidak mungkin menambah jangkauan
hanya dari penambahan gain antenna dan menambah power
transnmitter.
Untuk mengatasi masalah tersebut,perlunya dibangun
transmitter-transmitter di daerah-daerah. Akan tetapi penataan
frekuensi untuk broadcast di wilayah Indonesia kurang
bagus,sehingga kondisi ini tidak memungkinkan stasiun TV
menggunakan system SFN(single frequency Network).
Maksud dari SFN adalah dimana satu stasiun TV induk
menggunakan kanal 1 pada induk/pusat,maka pada anak
jaringannya pun menggunakan kanal 1 pula.
Untuk itu dengan adanya regulasi yang dikeluarkan oleh
Kominfo terkait dengan penataan frequensi untuk penyiaran
diharapkan menjadi solusi untuk kedepan.

II. METODOLOGI PENELITIAN
Untuk mengajukan sebuah naskah akademis maka dalam
penelitian ini perlu melakukan melakukan analisis terhadap
rancangan peraturan menteri, maka perlu dibuatlah
metodologi agar dapat memberikan urutan yang tepat dalam

melakukan kajian ini sehingga didapat hasil yang maksimal .
Metodologi untuk melaksanakan kajian ini dilakukan sebagai
berikut :
a) Melakukan persiapan pelaksanaan pekerjaan yang
meliputi studi literatur dengan mencari referensi dari
undang-undang penyiaran dan peraturan menteri yang
terkait dengan tema kajian ini.
b) Melakukan surve tentang hal-hal yang terkait dengan
regulasi penyiaran
c)

Melakukan analisis, Setelah dlakukan surve,maka akan
didapat data dimana ada poin-poin yang mendukung
regulasi ini, dan ada pula poin-poin yang menentang
adanya regulasi ini.
d) Pengajuan usulan naskah akademik,dengan membuat
laporan dari data yang telah terkumpul dan dianalisis.

Dalam industri penyiaran ada dua jenis jenis
penyiaran, yaitu jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran

televisi,sesuai dengan UU penyiaran pasal 13 ayat 1.[1]
Kemudian dijelaskan pada ayat selanjutnya bahwa
lembaga penyiaran dibagi menjadi 4 katagori,yaitu lembaga
penyiaran publik
, lembaga penyiaran swasta,lembaga
penyiaran
komunitas,
dan
lembaga
penyiaran
berlangganan.[1]
Dikarenakan
munculnya
Peraturan
Menteri
yangmana membuka peluang bagi lembaga penyiaran swasta
untuk melakukan perluasan wilayah siaran dengan
membentuk stasiun TV jaringan di ibukota provinsi seluruh
Indonesia.Maka pada jurnal ini akan lebih jauh dibahas
tentang lembaga penyiaran swasta.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Sistem Televisi berjaringan
Sistem televisi berjaringan adalah sistem penyiaran yang
diamanatkan oleh UU Penyiaran 2002, dengan ciri-ciri
sebagai berikut:
1.

2.

3.

4.

5.

Setiap stasiun televisi swasta memiliki jangkauan
siaran terbatas sesuai dengan wilayah jangkauan
siaran yang ditetapkan. Jadi, sebuah stasiun televisi
di Jakarta, jangkauan siarannya adalah Jakarta dan
sekitarnya.

Tidak ada lagi stasiun televisi swasta nasional yang
siarannya dapat menjangkau seluruh wilayah
indonesia secara langsung dengan menggunakan
stasiun relai/transmitter saja. Satu-satunya lembaga
penyiaran televisi yang diizinkan melakukan siaran
nasional secara langsung adalah TVRI.
Siaran sebuah stasiun televisi swasta dapat
menjangkau daerah di luar wilayah jangkauan
siarannya hanya dengan perantaraan stasiun televisi
yang berada di wilayah tersebut. Sebagai contoh:
agar siaran stasiun televisi RCTI yang berada di
Jakarta dapat ditangkap siarannya di Bandung, di
kota tersebut harus ada stasiun televisi yang
berfungsi sebagai anggota jaringan televisi RCTI.
Stasiun televisi swasta yang hendak melakukan
siaran nasional dapat melakukannya
dengan perantaraan rangkaian stasiun-stasiun
televisi yang terjalin dalam sebuah jaringan stasiun
televisi. Dengan demikian, agar siarannya dapat
menjangkau seluruh wilayah Indonesia, RCTI harus

memiliki jaringan stasiun televisi RCTI di seluruh
wilayah Indonesia tersebut
Sejalan dengan itu, tak ada lagi izin siaran nasional.
Yang ada izin penyelenggaraan penyiaran yang
hanya berlaku di wilayah jangkauan siaran yang
sudah ditetapkan. Dengan demikian, sebuah jaringan

televisi nasional harus memiliki izin
penyelenggaraan penyiaran di setiap daerah yang
dimasuki siarannya.
2. Permasalahan sistem pertelevisian saat ini
Sistem penyiaran tersentralisasi yang selama ini berlangsung
di Indonesia mengandung banyak masalah. Ada sepuluh
stasiun televisi di Jakarta yang dapat bersiaran secara nasional
dengan hanya menggunakan stasiun-stasiun relai/transmitter
di setiap daerah. Dalam sistem ini, siaran sepenuhnya
disiapkan, dibuat, dan dipancarkan dari Jakarta menuju
rumah-rumah penduduk di seluruh Indonesia dengan hanya
diperantarai stasiun relai di setiap daerah tersebut. Dengan
demikian, apa yang disaksikan oleh warga perumahan

Pondok Indah di Jakarta, sampai ke Bangkalan, Madura,
sampai ke Palangkaraya, Lubukpakam, Aceh, Ujung Pandang,
sampai ke Manokwari sepenuhnya ditentukan oleh segenap
stasiun yang berlokasi di Jakarta. Mengingat bahwa setiap
masyarakat yang menetap di berbagai daerah berbeda akan
memiliki konteks budaya, politik dan ekonomi berbeda,
penunggalan siaran yang datang dari sebuah Pusat pada
dasarnya
mengingkari keberagaman tersebut. Karena itu,
dalam sistem jaringan ini, setiap stasiun televisi yang menjadi
bagian dari jaringan nasional harus memuat program-program
lokal, misalnya program berita lokal atau program pendidikan
lokal, dan sebagainya. Namun yang terpenting dengan SSJ
bukan hanya soal muatan lokal. Yang sama penting aau lebih
penting lagi adalah manfaat ekonominya. Dengan sistem
siaran yang tersentralisasi, uang iklan hanya mengalir ke
Jakarta. Segenap keuntungan ekonomi hanya terpusat di
Jakarta. Di daerah di luar Jakarta, masyarakat hanya menjadi
penonton. Dalam sistem pertelevisian terpusat seperti
sekarang ini, tak mungkin ada stasiun televisi di luar Jakarta

yang dapat berkembang dengan sehat. Akibatnya tak
ada lapangan pekerjaan yang terkait dengan industry
pertelevisian terbuka. Tak ada dorongan untuk menumbuhkan
rumah produksi, biro iklan atau lembaga pendidikan yang
terkait dengan dunia penyiaran di daerah-daerah.
3. Pengalaman negara lain mengenai TV berjaringan
Sistem pertelevisian yang terpusat seperti yang terjadi di
Indonesia saat ini lazimnya terjadi hanya di negara-negara
dengan pemerintahan otoriter, yang memang dicirikan oleh
pemusatan kekuasaan. Ini pun umumnya hanya berlangsung di
negara-negara
yang
tidak
mengembangkan
sistem
pertelevisian komersial, dan tidak memiliki wilayah luas
dengan karakter budaya heterogen seperti yang dimiliki
Indonesia. Di umumnya negara lain yang juga memiliki
wilayah luas, yang diterapkan adalah sistem berjaringan. Ini
diterapkan di AS, Kanada, Cina, India, Korea Selatan, dan

sebagainya.
Ambillah contoh Amerika Serikat. Di sana ada empat jaringan
televisi besar: NBC, ABC, CBS dan Fox. Siaran dari jaringan

tersebut menjangkau seluruh AS melalui rantai stasiun-stasiun
lokal yang tergabung sebagai stasiun afiliasi jaringan.
Sebagian dari stasiun afiliasi tersebut dimiliki oleh jaringan,
tapi juga bisa berdiri sebagai perusahaan sendiri. Karena itu di
setiap daerah di AS, kita akan menemukan empat stasiun
televisi afiliasi yang isi siarannya merupakan kombinasi dari
isi siaran jaringan dan isi siaran lokal. Di sejumlah negara lain,
memang dikenal adanya stasiun televisi nasional, tapi itu
adalah stasiun televisi publik, seperti misalnya BBC di Inggris.
Di negara tersebut, siaran televisi komersial pun dibatasi
dalam jangkauan wilayah siaran tertentu.
4. Penataan penyiaran
Media penyiaran tidak dapat disejajarkan dengan media cetak.
Media penyiaran beroperasi dengan menggunakan frekuensi
yang jumlahnya terbatas. Frekuensi siaran tersebut adalah
ranah publik yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk

kesejahteraan masyarakat yang berdaulat atas frekuensi
tersebut. Jadi bila kita gunakan Indonesia sebagai
contoh, frekuensi siaran di Jawa Barat seharusnya
dimanfaatkan untuk kepentingan publik Jawa Barat yang
merupakan pemilik frekuensi tersebut. Demikian pula dengan
di Jakarta, Jawa Tengah, dan seterusnya. Apa yang terjadi di
Indonesia saat ini mengingkari asas manfaat tersebut. Stasiunstasiun televisi nasional di Jakarta dapat menjangkau lebih
dari seratus juta rakyat Indonesia dengan memanfaatkan
frekuensi siaran di berbagai wilayah tersebut tanpa membawa
manfaat apa-apa bagi masyarakat daerah tersebut, baik secara
ekonomi, politik, budaya dan sosial
5. Dampak sistem siaran yang ada saat ini secara ekonomi
Dengan sistem yang tersentralisasi sekarang ini, segenap
keuntungan ekonomi hanya terserap di Jakarta. Masyarakat
daerah tidak memperoleh manfaat ekonomi apa-apa dari
sistem sentralistik ini. Puluhan triliun rupiah belanja iklan
televisi setiap tahunnya hanya terserap di Jakarta. Bahkan
pengusaha daerah yang ingin beriklan di daerahnya melalui
televisi harus mengirimkan uang ke Jakarta. Segenap rumah
produksi, biro iklan, dan industri pendukung pertelevisian
lainnya hanya tumbuh di Jakarta. Lapangan pekerjaan
pertelevisian hanya ada di Jakarta. Mahasiswa yang
belajar disiplin ilmu komunikasi dan penyiaran di perguruan
tinggi luar Jakarta tidak akan memperoleh peluang bekerja
cukup luas di pertelevisian di daerahnya, dan harus pindah ke
Jakarta bila tetap ingin bekerja di dunia pertelevisian.

6. Efek politik dari system TV berjaringan
Secara politik, penonton di setiap daerah di luar Jakarta tidak
bisa melihat dirinya dan tidak bisa memperoleh informasi
yang relevan dengan kepentingan di daerah mereka di layar
televisi. Agenda setting (penetapam agenda) tentang apa yang

disebut sebagai berita atau bukan berita ditentukan dari
Jakarta. Penduduk seluruh Indonesia harus menyaksikan
berita tentang tawuran di Jakarta Pusat, kecelakaan di jalan tol
Jakarta-Bogor, pameran mode di Jakarta; sementara segenap
persoalan ekonomi-politik-sosial kedaerahan tersimpan
dalam-dalam. Lebih dari itu proses pemaknaan, pemberian
penafsiran terhadap peristiwa-peritiswa tersebut ditentukan
oleh kaum elit dari Jakarta. Yang tampil di perdebatan terbuka
adalah mereka yang tinggal dan berkembang di Jakarta.
Segenap masalah diteropong dari perspektif Jakarta. Talkshow televisi hanya menghadirkan pembicara dari Jakarta,
seolah-olah pakar daerah tidak ada yang berarti. Informasi
yang menyangkut kepentingan publik di daerah luar Jakarta
tidak akan diperoleh penonton dari stasiun televisi Jakarta.,
kecuali bila informasi tersebut bersifat sensasional dan
dramatis. Pengamatan tentang apa yang disebut sebagai berita
non-Jakarta menunjukkan bahwa berita daerah adalah berita
negatif. Penjelasannya sederhana. Mengingat stasiun televisi
bersiaran nasional, berita tentang ‘daerah’ yang mereka
sajikan haruslah yang menarik perhatian seluruh penduduk
indonesia. Karena itu, berita tentang perkembangan politik
atau kemajuan sebuah daerah tidak memperoleh tempat
karena dianggap hanya akan menarik perhatian masyarakat
lokal yang diberitakan. Yang dianggap bisa menarik perhatian
khalayak berbagai daerah sekaligus adalah berita-berita
negatif: kecelakaan, tawuran, skandal suap, dan informasiinfomasi sensasional lainnya. Tanpa informasi politik lokal,
televisi tak dapat dimanfaatkan sebagai media komunikasi
politik yang dibutuhkan dalam pembangunan demokrasi di
Indonesia. Sudah menjadi proposisi umum bahwa agar
demokrasi tetap terjaga di setiap daerah, publik harus
memperoleh informasi memadai tentang lingkungannya.
Dalam hal itu, masyarakat di sebuah daerah tentu
membutuhkan informasi tentang kondisi politik di daerah itu,
sementara informasi mengenai kondisi politik di daerah lain
akan dipandang sebagai ‘pelengkap’ semata. Dengan kata lain,
menggunakan contoh Indonesia lagi, masyarakat Jawa Barat
akan membutuhkan informasi mengenai perilaku gubernur
Jawa Barat, atau anggota DPRD Jawa Barat, sementara
informasi mengenai perilaku Gubernur DKI Jakarta lebih
bersifat ‘pelengkap’. Hal ini tak dapat disajikan oleh apa yang
disebut sebagai televisi nasional yang berada di Jakarta.
7. Efek Budaya dari system TV berjaringan
Demikian pula halnya dengan siaran kebudayaan dan hiburan.
Indonesia adalah sebuah negara luas dengan keragaman
budaya yang kaya. Karena itu, bisa dipahami, bila masyarakat
Sumatra Barat sebenarnya berharap menyaksikan di layar
televisi musik atau tarian atau komedi khas daerahnya,
menyaksikan remaja mereka tampil dengan serba neka
kreativitasnya, atau bahkan menyaksikan penyiar yang tampan
dan cantik membawa acara dengan bahasa Indonesia
berdialek Sumatra. Keragaman budaya semacam itu tak tampil
di televisi nasional yang berada di jakarta. Gaya hidup yang
ditampilkan sepenuhnya adalah gaya hidup Jakarta. Program
yang disajikan adalah yang sesuai dengan standard norma dan

nilai Jakarta. Gaya bicara Jakarta menjadi rujukan remaja di
seluruh Indonesia. Dominasi budaya Jawa bahkan sempat
terasa ketika untuk beberapa tahun salah satu program yang
nampaknya populer di beberapa stasiun televisi besar adalah
acara komedi Jawa, dalam beragam bentuknya: Ludruk,
Ketoprak, Srimulat dan beberapa epigon lainnya. Kadang
bahkan ada bagian-bagian yang sama sekali setia
menggunakan bahasa Jawa, meski dengan teks Indonesia.
Tentu saja, alasan di belakang pertumbuhan program-program
sejenis adalah soal popularitas di kalangan konsumen terbesar.
Namun ada persoalan serius ketika acara-acara budaya Jawa
tersebut – atau kemudian, Betawi — disiarkan ke masyarakat
Indonesia yang begitu beragam budayanya.

awal Orde Baru, stasiun radio beroperasi dengan jangkauan
daerah terbatas. Masing-masing daerah memiliki daftar nama
stasiun radio berbeda. Bila ada stasiun yang berupaya
menjangkau khalayak dengan wilayah luas, itu harus
dilakukan dengan sistem jaringan. Dalam hal pertelevisian,
TVRI juga mengembangkan sistem jaringan. Meskipun kita
mengenal adanya TVRI Pusat, di banyak daerah siaran yang
diterima khalayak datang dari stasiun TVRI regional di daerah
tersebut. Stasiun TVRI regional memang menyajikan siaran
dari TVRI Pusat selama beberapa jam, namun juga
menyajikan beberapa jam siaran daerah. Dengan demikian,
penonton di sana tetap dapat menyaksikan wajah-wajah
biduan dan biduanita lokal di layar televisi mereka. Bahkan
stasiun televisi swasta pun awalnya ditata dalam sistem
berjaringan. Di tahun-tahun awal kelahirannya, 1989-1990,
8. Efek social dari system TV berjaringan
stasiun televisi swasta juga melakukan siaran terbatas. Stasiun
televisi swasta pertama, RCTI hanya dapat bersiaran dengan
Sistem sentralisasi siaran ini tak senisitif dengan perbedaan
kondisi sosial. Muatan stasiun televisi swasta diarahkan untuk daya jangkau terbatas di daerah Jakarta dan sekitarnya.
menarik penonton yang cukup kaya untuk membeli barang- Penontonnya pun harus berlangganan dan membeli dekoder
untuk dapat menangkap siaran RCTI. Stasiun televisi kedua,
barang yang diiklankan di kota-kota besar. Siaran ini dari
SCTV, bersiaran di daerah Surabaya dengan isi yang sebagian
Jakarta dipancarkan ke seluruh Indonesia yang memiliki
besar sama dengan RCTI. Dengan kata lain ketika itu, SCTV
tingkat ekonomi sangat beragam. Bahkan petani di Gunung
sebenarnya merupakan semacam jaringan dari RCTI.
Kidul pun harus menyaksikan pameran kemewahan setiap hari,
meskipun itu barangkali hanya dilihatnya melalui pesawat Kemudian, RCTI mendirikan stasiun afiliasi di Bandung,
sementara SCTV mendirikan stasiun afiliasi di Denpasar.
televisi kepala desa.
Sistem penyiaran semacam itu dinamakan Siaran Saluran
Terbatas. Perubahan terjadi ketika kemudian TPI berdiri dan
9. Dampak sistem TV berjaringan bagi masyarakat
diizinkan melakukan siaran nasional. Stasiun televisi swasta
tersebut mendapat keistimewaan karena pemiliknya yang
Dalam sistem pertelevisian yang sentralistisi, tak ada hak adalah anak perempuan tertua dari Presiden Soeharto berdalih
masyarakat di setiap daerah di luar Jakarta untuk bahwa isi siarannya mengandung pendidikan yang penting
mengendalikan isi siaran yang beredar di daerahnya.. Bila untuk para siswa di seluruh Indonesia. Gara-gara TPI dapat
masyarakat merasa bahwa ada isi siaran dari televisi Jakarta melakukan siaran nasional, pemerintah terpaksa menerima
yang tidak serasi dengan budaya daerah, mereka tidak bisa desakan RCTI (yang dimiliki anak Presiden Soeharto yang
melakukan apa-apa karena kantor stasiun televisi itu ada di lain) agar mereka juga dapat bersiaran secara nasional
Jakarta. Kalau mereka protes, mereka harus berkirim surat ke langsung dan gratis (tanpa dekoder) dari Jakarta. Akibat
Jakarta. Di daerah masing-masing, yang ada hanyalah stasiun kekuatan para pengusaha stasiun televisi yang merupakan
relai/transmisi yang dijaga oleh segelintir teknisi.Dengan kerabat dekat Presiden, sistem pertelevisian Indonesia berubah
sistem siaran jaringan, di setiap daerah terdapat stasiun total. Sejak 1991, semua stasiun televisi swasta di Indonesia
televisi anggota jaringan yang dapat ditemui langsung oleh sudah diizinkan melakukan siaran nasional melalui jaringan
masyarakat. Saat memperoleh izin siaran di daerah tersebut transmisi teresterial. Ketika tahun 1999 lima stasiun televisi
pun, stasiun tersebut sudah harus menyatakan komitmen akan swasta kembali diizinkan berdiri oleh pemerintah pasca Orde
memperhatikan kepentingan nilai-nilai masyarakat setempat.
Baru, seluruh stasiun tersebut juga langsung beroperasi
dengan orientasi menjadi stasiun televisi nasional.
10. Latar belakang mengembangkan sistem berjaringan?
Dengan demikian, terlihat bahwa yang menyebabkan
Amanat sistem siaran berjaringan ini sudah ditetapkan sejak berlangsungnya sistem pertelevisian nasional terpusat ini
2002, tatkala UU Penyiaran diluncurkan. Bahkan, UU adalah perilaku para pemodal sendiri yang ingin memperoleh
Penyiaran menyatakan ada masa transisi dan penyesuaian keuntungan besar tanpa ingin berbagi dengan daerah. Karena
yang dapat berlangsung selama lima tahun. Jadi, seharusnya itulah, ketika reformasi berlangsung, berbagai kelompok
gagasan-gagasan
sistem berjaringan ini sudah tuntas dijalankan sejak akhir masyarakat berusaha mewujudkan
dan mengembalikan sistem
2007. Tapi karena sikap stasiun-stasiun televisi swasta yang demokratisasi penyiaran
keras, amanat tersebut tak kunjung bisa dijalankan. Di sisi lain, penyiaran ke rel yang benar dalam UU Penyiaran. Pada akhir
amanat UU 2002 tersebut juga sebenarnya sekadar 2002, setelah melalui perdebatan yang keras, UU Penyiaran
mengembalikan perjalanan pertelevisian swasta di Indonesia dilahirkan. Bila dipelajari isinya, UU Penyiaran 2002
ke arah yang semula. Coba saja kita lihat perkembangan radio sebenarnya berusaha mengubah secara mendasar sistem
dan televisi. Sejak awal kelahiran stasiun radio komersial di pertelevisian di Indonesia, dari yang bercorak sentralistis

menjadi desentralistis. Perubahan ini jelas terjadi karena
adanya kesadaran di kalangan para pembuat UU tersebut
bahwa apa yang diwariskan Orde Baru adalah sebuah pilihan
yang
menjauhkan bangsa ini dari prinsip keadilan serta
pelestarian dan pengembangan keberagaman budaya
yang merupakan kekayaan tak ternilai. Perkembangan sistem
pertelevisian komersial di Indonesia sejak awal periode
1990an pada dasarnya tidak memfasilitasi heterogenitas
budaya dan sebaliknya, justru melahirkan homogenisasi di
seluruh Indonesia.

jaringan di Padang. Jadi semua bergantung pada keputusan
masyarakat setempat. Nantinya akan ada stasiun afiliasi yang
menyiarkan begitu saja 90 persen program dari induk jaringan;
tapi ada juga stasiun yang, karena pertimbangan pasar dan
budaya setempat, menyiarkan jumlah program lokal
melampaui 20 persen.
14. Kendala dalam pelaksanaan TV berjaringan

UU Penyiaran memang tidak harus dijalankan segera sesudah
UU itu diluncurkan. Karena kesadaran akan rangkaian
11. Alasan stasiun televisi swasta yang memiliki
kesulitan yang mungkin dihadapi oleh pelaku industri, UU
jangkauan nasional hanya terdapat di Jakarta
Penyiaran 2002 sebenarnya memberi tenggang waktu lima
tahun bagi stasiun televisi untuk melakukan penyesuaian. Para
Di masa awal perkembangan televisi swasta, tatkala pembuat UU nampaknya percaya bahwa dalam waktu yang
pemerintah menetapkan bahwa jangkauan siaran televisi cukup lama tersebut, stasiun-stasiun televisi komersial dapat
bersifat terbatas, beberapa stasiun televisi swasta berdiri di membangun sistem jaringan yang diamanatkan UU secara
luar Jakarta. Sebagai contoh, SCTV semula berdiri di perlahan-lahan. Namun amanat ini terus menerus ditolak
Surabaya dan ANTV di Lampung. Namun ketika pemerintah industri penyiaran. Sejak kelahiran UU Penyiaran 2002,
mencabut ketetapan tentang jangkauan siaran terbatas tersebut, secara kolektif, stasiun-stasiun
tersebut berupaya agar
dengan segera stasiun-stasiun televisi swasta tersebut UU tersebut tidak dapat dijalankan. Mereka misalnya
memutuskan pindah ke Jakarta. Ini dilakukan mengingat berkampanye dengan menuduh UU tersebut sebagai ancaman
segenap industri pendukung penyiaran, seperti periklanan, terhadap kebebasan berekspresi dan
mengancam
terpusat di Jakarta. Belakangan pemerintah bahkan melarang kesehatan industri pertelevisian. Mereka juga mengajukan
pendirian stasiun-staiun televisi lokal di luar Jakarta, permohonan agar Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan
nampaknya dalam rangka mencegah persaingan yang dapat UU tersebut. Namun, bahkan ketika MK menolak permintaan
menghambat perkembangan stasiun-stasiun televisi swasta tersebut,
stasiun-stasiun
televisi
komersial
tetap
Jakarta yang memang dimiliki oleh kalangan dekat Presiden. menolak
untuk menjalankan kewajiban untuk
UU
Penyiaran
1997, setahun sebelum Soeharto menghentikan siaran nasional dan kewajiban mengembangkan
mengundurkan diri, bahkan menetapkan bahwa stasiun jaringan stasiun televisi di berbagai kota.Celakanya,
televisi swasta harus didirikan di Jakarta.
pemerintah sendiri nampak mudah sekali disetir oleh
kepentingan industri pertelevisian tersebut. Pada 2005
misalnya, Menkominfo mengeluarkan peraturan pemerintah
12. Masyarakat di luar Jakarta akan tetap menikmati
tentang lembaga penyiaran swasta yang tak mewajibkan
siaran dari Jakarta
berlangsungnya perubahan mendasar tersebut. Pemerintah
seperti membiarkan saja perkembangan tersebut. Ketika pada
Sistem televisi berjaringan ini tidak akan melarang stasiun
2007 disadari bahwa sebenarnya amanat UU tersebut sudah
televisi di Jakarta bersiaran ke daerah-daerah di luar Jakarta.
harus diterapkan, pemerintah kembaki mengeluarkan
Yang diwajibkan adalah siaran dari Jakarta tersebut tak bisa
dipancarkan langsung dari Jakarta untuk ditangkap warga di keputusan yang menyatakan menunda kewajiban pelaksanaan
luar Jakarta, namun harus melalui perantaraan stasiun televisi sistem televisi bejaringan sampai Desember 2009. Akhirnya,
di akhir 2009, Menkominfo Tifatul Sembiring menyatakan,
yang berdiri di daerah tersebut yang berposisi sebagai stasiun
amanat itu harus segera dijalankan. Masalahnya, kerangka
afiliasi.
waktunya juga tak ditetapkan secara tegas.
13. Alasan harus adanya siaran lokal
Tak ada paksaan sebenarnya. Dengan berkaca pada
pengalaman di banyak negara, pada kenyataannya nanti,
mayoritas program yang tersaji di stasiun-stasiun afiliasi
tersebut adalah program yang datang dari induk jaringan.
Hanya saja, seandainya ada program dari induk jaringan yang
mungkin saja tidak dapat diterima secara budaya oleh
masyarakat setempat, program tersebut bisa saja dihilangkan
dan diganti di daerah tersebut. Dengan kata lain, bisa saja
sebuah program gaya hidup yang sangat permisif bisa saja
ditayangkan di Jakarta dan di Bandung, tapi, karena
sensitivitas budaya, tak dapat ditayangkan di stasiun afiliasi

15. Dampak Keputusan sistem televisi berjaringan ini
cukup adil bagi para pemilik dan pengelola stasiun televisi
nasional di Jakarta yang selama ini sudah terlanjur
melakukan penyiaran nasional secara langsung dari
Jakarta
Tentu saja stasiun-stasiun televisi nasional di Jakarta harus
melakukan penyesuaian yang pasti memakan biaya ke dalam
sistem baru ini. Namun investasi tersebut memang tak
terelakkan agar sistem penyiaran dapat berlangsung secara
adil. Setiap tahun ada puluhan triliun belanja iklan yang
dikucurkan ke stasiun-stasiun televisi swasta di Jakarta.
Pemasukan iklan stasiun-stasiun televisi Indonesia terus

tumbuh pesat. Menurut data Media Scene (Volume 19:
2007/2008), pemasukan iklan stasiun televisi pada 2007
mencapai sekitar Rp. 23 triliun. Padahal pada 2003, angka itu
baru mencapai Rp. 11 triliun. Ini terjadi karena daya jangkau
siaran yang bersifat nasional. Masalahnya, setelah mengeruk
keuntungan begitu besar, tak ada sedikit pun keuntungan
ekonomi disalurkan ke daerah-daerah non-Jakarta tersebut.
Dengan demikian, justru keadilan akan tercipta kalau sistem
pertelevisian yang diterapkan adalah sistem pertelevisian
berjaringan. Dari sisi ekonomi saja, sistem penyiaran
berjaringan akan memaksa hadirnya stasiun-stasiun televisi
afliasi di setiap daerah yang akan mempekerjakan puluhan
pekerja media, akan mendorong lahirnya Rumah Produksi di
setiap daerah, mendorong lahirnya periklanan televisi lokal,
mendorong lahirnya lembaga pendidikan pertelevisian, dan
sebagainya. Ini semua pada gilirannya, akan turut mendorong
pergerakan roda ekeonomi daerah. Harus diakui ini memang
bukan hal yang mudah dan dapat segegara dilaksanakan di
seluruh Indonesia. Stasiun-stasiun televisi nasional di Jakarta
adalah pihak yang paling terkena dampaknya. Sistem
sentralistis sangat menguntungkan mereka secara ekonomi,
karena belanja iklan yang berjumlah lebih dari duapuluh
triliun rupiah tersebut dapat dikuasai sepenuhnya di Jakarta.
Dengan sistem desentralistis ini, stasiun-stasiun Jakarta harus
mulai mendirikan stasiun televisi di setiap daerah atau
mencari mitra stasiun televisi lokal yang bersedia menjadi
bagian dari jaringan. Di sisi lain, segenap keuntungan yang
diperoleh dari pemasukan iklan pun harus dibagi dengan
daerah.
16. Dampak penerapan sistem televisi berjaringan bagi
stasiun televisi nasional dari Jakarta?
Beban tambahan dengan infrastruktur TV berjaringan pasti
bertambah. Namun selama ini ada penggambaran yang akan
berlebihan mengenai beban tersebut. Sebagai contoh,
seringkali juru bicara industri menyatakan bahwa untuk
mendirikan stasiun televisi anggota jaringan di setiap daerah
diperlukan dana pendirian stasiun sampai puluhan miliar
rupiah.
Ini tentu berlebihan, karena sebenarnya pendirian stasiun
televisi afiliasi yang mayoritas isi siarannya sudah disediakan
oleh induk jaringan tidaklah terlalu besar. Apalagi,
transmitternya sudah tersedia. Pengeluaran terbesar dalam
pengoperasian stasiun televisi adalah dalam hal pembiayaan
program. Bila stasiun afiliasi tersebut hanya perlu mengisi 10
persen isi siaran, biaya yang diperlukan jauh lebih rendah.
Dan jangan lupa, sambil berjalannya waktu, akan ada
pemasukan iklan lokal. Namun harus jujur dikatakan, paling
tidak di masa-masa awal, stasiun-stasiun televisi swasta pusat
memang harus mengeluarkan biaya yang akan mengurangi
tingkat keuntungan mereka. Namun mengingat selama ini
stasiun-stasiun televisi tersebut sudah menikmati puluhan
triliunan rupiah setiap tahun, seharusnya tak menjadi masalah
bila stasiun-stasiun tersebut kini harus berbagi dengan daerah.

17. Kesiapan masyarakat non-Jakarta mendirikan
stasiun-stasiun lokal untuk menjadi anggota jaringan
Sumber daya di berbagai daerah di luar Jakarta tak kalah dari
sumber daya di Jakarta. Tentu saja harus ada penyesuaian, tapi
hanya dalam beberapa bulan standar kualitas yang diharapkan
pasti akan tercapai. Tatkala pertama kali lahir pun, kualitas
siaran RCTI pada 2009 masih sangat rendah. Namun sambil
berjalannya waktu terjadi perbaikan demi perbaikan.
18. Pihak berhak menjadi pemilik stasiun-stasiun televisi
anggota jaringan
UU Penyiaran 2002 tak mewajibkan stasiun televisi anggota
jaringan didirikan dengan modal lokal. Dengan kata lain,
sebenarnya bisa saja stasiun-stasiun anggota jaringan tersebut
didirikan oleh pemodal yang memiliki induk jaringan di
Jakarta. Satu-satunya pasal yang bicara tentang ini adalah
pasal 31 yang menyatakan “mayoritas pemilikan modal awal
dan pengelolaan stasiun penyiaran lokal diutamakan kepada
masyarakat di daerah tempat stasiun lokal itu berada”. Dalam
hal ini, penting dicatat bahwa pasal ini hanya menyatakan
“diutamakan kepada masyarakat di daerah tempat stasiun
lokal itu berada”. Dengan kata lain, tak ada kewajiban yang
melarang pemilik modal Jakarta mendirikan stasiun penyiaran
lokal. Kedua, UU ini juga sebenarnya membedakan antara
“stasiun penyiaran jaringan” dan/atau “stasiun penyiaran
lokal”. Dalam hal ini bisa saja interpretasi bahwa yang
pemilik modal awal dan pengelolaannya diutamakan kepada
masyarakat lokal adalah “stasiun lokal” dan bukan “stasiun
penyiaran jaringan”.
19. Efek positif TV berjaringan bagi daerah
Yang membedakan sistem penyiaran berjaringan dengan
sistem penyiaran sentralistis seperti sekarang ini dalam hal isi
siaran adalah dalam hal kewenangan bagi masyarakat untuk
memilih. Di sistem sentralistis, stasiun Jakarta akan
mengirimkan dan mencekoki masyakat non-Jakarta dengan isi
siaran yang sepenuhnya didikte dari Jakarta. Dalam sistem
berjaringan, masyarakat bisa memilih untuk meminta stasiun
televisi untuk menampilkan isi yang sesuai dengan kebutuhan
setempat serta menolak kalau ada isi siaran yang bertentangan
dengan konteks budaya-sosial setempat.
Mungkin saja ada masyarakat-masyarakat yang akhirnya tetap
menerima untuk menyaksikan 90 persen tayangan dari Jakarta,
tapi itu adalah pilihan mereka.
20. Alasan dukungan terhadap system TV berjaringan
Sejak reformasi, di berbagai provinsi memang sudah
berkembang stasiun-stasiun televisi lokal. Hanya saja stasiunstasiun lokal ini sebenarnya tak bisa berkembang dengan sehat.
Masalah utamanya, stasiun-stasiun televisi lokal ini harus
bersaing dengan stasiun-stasiun televisi dari Jakarta yang

memiliki jangkauan siaran nasional. Dapat dikatakan,
persaingan yang terjadi sangatlah tidak berimbang. Bila
stasiun televisi lokal diizinkan berdiri, tapi ia harus
berhadapan dengan stasiun televisi nasional sebagai
kompetitor di pasar yang sama, hampir bisa dipastikan stasiun
televisi lokal akan hancur atau setidaknya tidak akan bisa
berkembang dengan sehat. Penyebab utamanya adalah iklan.
Stasiun televisi swasta hidup dari pemasukan iklan. Bila ada
persaingan seperti yang digambarkan, pengiklan yang bisa
diharapkan stasiun lokal hanyalah pengusaha-pengusaha lokal
yang mengarahkan perhatian pada pasar lokal. Semua
pengiklan yang sedang berusaha mengkampanyekan produk
secara nasional akan memilih stasiun yang dapat bersiaran
nasional. Unilever misalnya akan enggan berhubungan dengan
stasiun lokal di Palembang, kalau mereka sudah menggunakan,
misalnya, SCTV Jakarta yang siarannya mencapai penonton
kota itu. Jangkauan siaran menjadi penting karena pengiklan
akan senantiasa menjadikan jumlah penonton sebagai
indikator utama penempatan iklan. Data 2007 menunjukkan
stasiun-stasiun televisi swasta nasional itu umumnya
menjangkau sekitar 100 juta penonton potensial di seluruh
Indonesia. Yang daya jangkaunya terluas adalah SCTV (117
juta), RCTI (115 juta) dan Indosiar (113 juta). Yang paling
rendah daya jangkaunya adalah ANTV (87,4 juta penonton).
Ini bisa tercapai karena stasiun-stasiun televisi nasional di
jakarta tersebut membangun puluhan stasiun transmisi di
seluruh Indonesia, dari Nangroe Aceh Darussalam sampai
Papua. Sebagai contoh RCTI memiliki 48 transmisi, SCTV 47
transmisi, Indosiar 34, dan Metro 53 transmisi. Akibatnya
jumlah penonton program-program yang mereka sajikan pun
tentu sangat menarik di mata para pengiklan yang sedang
berusaha memasarkan produk ke seluruh Indonesia. Kendati
harga tarif iklan yang ditetapkan bisa sangat mahal (misalnya
Rp. 10 juta per 30 detik iklan di jam-jam tayang utama), itu
tidak terasa terlalu mahal mengingat daya jangkaunya yang
sangat luas.
Sebagai contoh, acara unggulan di RCTI pada 2007 adalah
sinetron ‘Cahaya ’. Menurut data Media Scene, jumlah
penontonnya di sembilan kota besar yang diteliti mencapai
sekitar 2,5 juta orang. Ini baru di sembilan kota. Bila
digabungkan dengan daerah-daerah lainnya, jumlahnya akan
berlipat. Sekarang bandingkan dengan stasiun televisi lokal
terbesar, JTV di Surabaya. Program unggulannya pada 2007,
Pojok Kampung Berita Boso Surabaya , ‘hanya’ ditonton 38
ribu orang. Atau di Jakarta, O Channel. Program dengan
penonton
terbanyaknya
pada
2007
adalah
film
‘Godzilla’, yang disaksikan 69 ribu penonton saja. Yang
dikutip tersebut hanyalah program-program unggulan mereka.
Jumlah penonton untuk program-program lainnya akan jauh
lebih rendah lagi. Implikasinya sangat serius. Dengan jumlah
penonton yang terbatas, stasiun televisi lokal tidak bisa
menetapkan tarif iklan tinggi. Akibatnya, sebuah program
yang bisa mendatangkan pemasukan iklan Rp. 1-2 juta saja
sudah tergolong program yang membawa keuntungan yang
lumayan. Padahal stasiun tersebut harus membiayai sekitar 20
jam siaran, yang banyak di antaranya jumlah penontonnya

terlalu kecil untuk bisa menarik pengiklan. Sebagai
perbandingan,
bila
pengiklan
diperkirakan
hanya
mengeluarkan uang Rp. 5.770 untuk mencapai 1.000 penonton
di program unggulan RCTI dan Rp. 5.310 untuk mencapai
1.000 penonton di program unggulan SCTV; maka untuk
1.000 penonton program O Channel, uang yang harus
dikeluarkan adalah Rp. 66.140 (Media Scene 2008).
Pemasukan iklan total antara televisi nasional dan televisi
lokal pun menjadi tak sebanding. Pada 2007, pemasukan iklan
RCTI mencapai Rp. 3,4 triliun; SCTV Rp. 3,1 triliun; Trans
TV Rp. 2,8 triliun dan TPI Rp. 2,4 trilliun; sementara
JakTV Rp. 180,6 miliar; O Channel Rp. 117 miliar; JTV Rp.
52 miliar; Space Toon Rp. 48 miliar. Dengan demikian
terlihat pemasukan iklan RCTI sebulan saja jauh melampaui
pemasukan iklan stasiun-stasiun televisi lokal setahun. Satu
hal yang perlu dicatat dari data di atas, stasiun televisi lokal
yang memperoleh penghasilan cukup besar tersebut adalah
stasiun-stasiun yang bersiaran di kota yang cukup kaya seperti
Jakarta dan Surabaya. Bila perhatian dialihkan ke stasiun
televisi loal di kota lebih kecil, angka pemasukan iklan itu
akan jauh lebih rendah lagi. Sebagai contoh, pemasukan iklan
Jogja TV selama 2007 hanyalah Rp. 12 miliar. Di kota-kota
kecil lain kondisinya akan lebih memprihatinkan. Hasil
akhirnya adalah persaingan yang sama sekali tak seimbang.
Bila, seperti kasus Jogya TV, pemasukan iklan per hari
mereka ‘hanya’ mencapai Rp. 30 juta rupiah, hampir tak
mungkin mereka memiliki daya saing yang memadai.
Program-program harus diproduksi sendiri dengan biaya
murah, dengan menggunakan teknologi produksi dan
penyiaran yang terbatas, dengan memberi imbalan terbatas
pada para pekerja media.
Akibatnya yang tampil adalah
program-program ‘amatiran’ yang dibuat dengan dana,
keterampilan, fasilitas, dan waktu terbatas. Di awal,
barangkali saja penonton masih banyak karena faktor
antusiasme. Namun bila itu terus berlangsung, tak mungkin
stasiun lokal mencegah penonton beralih dan terpaku kembali
menyaksikan siaran televisi dari Jakarta. Ketika penonton
harus memilih antara menonton program yang datang
langsung dari Jakarta yang diproduksi dengan biaya tinggi
dan program stasiun lokal dengan segenap keterbatasannya,
hampir pasti mayoritas penonton memilih menyaksikan acara
dari Jakarta. Bila ini terjadi, bahkan pengiklan lokal akan
berhenti beriklan di televisi lokal. Pada titik itu, kebangkrutan
menjelang. Sistem televisi berjaringan menawarkan jalan
keluar yang saling menguntungkan. Idealnya, stasiun-stasiun
televisi lokal tersebut tak perlu menjadi stasiun-stasiun
independen yang membiayai diri sendiri. Sebagaimana di
banyak negara maju, stasiun-stasiun televisi lokal berposisi
sebagai stasiun televisi afiliasi jaringan nasional. Dengan
demikian, mayoritas program yang disiarkannya tidak berasal
dari stasiun televisi lokal itu, melainkan datang dari induk
jaringan. Hanya sekian puluh persen yang diproduksi sendiri
oleh stasiun lokal tersebut. Dengan cara ini, stasiun televisi
lokal dapat tumbuh sehat. Mereka membawa programprogram unggulan dari jaringan. Mereka bisa mengisi jamjam siaran lokal dengan program yang cukup berkualitas
karena dapat dibayai dengan cukup. Mereka bisa memperoleh

sebagian dari pemasukan iklan yang diperoleh induk jaringan.
Mereka juga bisa memperoleh pemasukan dari iklan lokal.
Halnya stasiun induk jaringan juga akan memperoleh
keuntungan dalam jangka panjang, terutama kalau mereka
juga memiliki setidaknya sebagian saham stasiun televisi lokal
yang menjadi bagian dari jaringan tersebut. Bila stasiunstasiun televisi lokal itu tumbuh yang berjalan seiring dengan
kondisi ekonomi lokal di setiap daerah, jaringan tersebut akan
memperoleh keuntungan bersama.
21. Peraturan yang lebih terperinci mengenai proses ke
arah pengembangan sistem televisi berjaringan
Sebenarnya pemerintah wajib mengeluarkan perturan yang
akan memfasilitasi perkembangan sistem televisi berjaringan.
Namun sayangnya peraturan yang dikeluarkannya justru
menghambat atau tidak mendorong berjalannya proses
tersebut. Sebagai contoh pada 2005, pemerintah mengeluarkan
ketetapan yang menyatakan bahwa seluruh stasiun televisi
swasta yang memiliki izin nasional harus melakukan
penyesuaian izin kepada Menteri. Ketetapan ini justru tidak
mendorong masing-masing stasiun televisi tersebut untuk
mengurus Izin Penyelenggaraan Penyiaran ke setiap daerah.
Akibatnya, stasiun-stasiun nasional tersebut dengan nyaman
tidak mengembangkan jaringan stasiun seperti yang
diperintahkan UU, melainkan sekadar melapor ke Menteri dan
melakukan penyesuaian izin.

2.
3.

Yang sulit dipahami di sini adalah alasan yang mendasari
ketetapan 75 persen tersebut. Bila peraturan ini diterapkan,
berarti ada 25% provinsi di Indonesia tak boleh dijangkau
oleh, misalnya, SCTV atau Trans atau Global atau yang
lainnya.
24. Peraturan yang lebih terperinci mengenai kepemilikan
saham
Dalam PP No. 50/2005 sebenarnya ada ketentuan mengenai
kepemilikan saham. Namun isinya justru tidak tidak realistis
dan tak dapat dipahami alasannya. Dalam Pasal 32 PP tersebut,
dinyatakan bahwa satu badan hukum:
1.
2.
3.
4.

Baru pada akhir 2009, Menkominfo mengeluarkan peraturan
yang menyatakan bahwa pengajuan permohonan pelaksanaan
Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) oleh Lembaga Penyiaran
Swasta Jasa Penyiaran Televisi (LPS TV) mulai dilakukan 28
Desember 2009. Ini pun tanpa kerangka waktu yang jelas.
22. Peraturan yang lebih terpeinci mengenai muatan lokal
yang wajib tersaji dalam stasiun televisi jaringan
Soal isi siaran lokal, baru diatur dalam Keputusan menteri
tahun 2009. Dalam Keputusan tersebut dinyatakan bahwa
stasiun jaringan wajib menyajikan muatan lokal 10 persen dari
keseluruhan jam siarannya. Secara bertahap, muatan lokal ini
harus dinaikkan menjadi 50%. Lagi-lagi, dalam hal ini, tak
ada kerangka waktu yang jelas.
23. Peraturan yang lebih terperinci mengenai daya
jangkau siaran
Dalam PP No. 50/2005 sebenarnya ada ketentuan mengenai
daya jangkau siaran. Namun isinya justru terkesan tidak
realistis dan tak dapat dipahami alasannya. Dalam PP (pasal
36) tersebut dinyatakan:
1.

Jangkauan wilayah siaran maksimal paling banyak
75% dari jumlah provinsi di Indonesia, … kecuali
yang telah mengoperasikan stasiun relai di lebih dari

75% provinsi di Indonesia (menjadi boleh mencapai
90%)
Maksimal 80% terletak di daerah ekonomi maju yang
lokasinya dapat dipilih sendiri
Minimal 20% berada di daerah ekonomi kurang maju
dan lokasinya ditetapkan oleh Menteri

Paling banyak memiliki saham 100 persen pada
badan hukum ke satu
Paling banyak memiliki saham sebesar 49 persen
pada badan hukum kedua
Paling banyak memiliki saham sebesar 20 persen
pada badan hukum ketiga
Paling banyak memiliki saham sebesar 5 persen pada
badan hukum keempat

Ketetepan semacam ini akan mempersulit stasiun televisi
mengembangkan sistem jaringannya. Sebagai contoh, stasiun
TPI misalnya bila memiliki 100% saham di TPI Jakarta,
ketika dia membuka stasiun televisi afiliasi di Bandung, TPI
hanya boleh memiliki saham 49 persen. Ketika membuka
stasiun televisi afiliasi di Semarang, sahamnya semakin turun
menjadi 20 persen. Dan ketika membuka stasiun televisi
afiliasi di Surabaya, sahamnya tinggal 5%. Penataan semacam
ini tak akan mendorong berkembangnya sistem berjaringan,
karena menghambat ruang gerak bisnis stasiun televisi
Jakarta tanpa perlu. Ketetapan semacam ini seperti memusuhi
pemodal-pemodal Jakarta. Di sisi lain, tidaklah mudah untuk
mencari pegusaha-pengusaha di setiap daerah untuk mengisi
kekurangan modal sebagaimana yang diatur tersebut.
25. Ancaman yang mungkin muncul dengan adanya
stasiun TV berjaringan
Adanya kemungkinan korupsi ataupun pemerasan saat
mengurus izin tiap masing-masing daerah. Karena itu proses
perizinan harus dilakukan secara setransparan mungkin.
Dalam hal ini, harus ada pemantauan untuk turut mengawal
berlangsungnya penegakan hukum secara benar. Stasiunstasiun televisi harus diberi hak untuk bertanya dalam proses
perizinan yang dijalani mereka.

IV. ANALISA
Dari hasil pembahasan yang telah dilakukan , bahwa dapat
dianalisis bahwa sebenarnya dari segi infrastruktur , stasiun
TV swasta di Indonesia sudah siap untuk mendirikan stasiun
TV berjaringan.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana stasiunstasiun TV swasta yang ada di Indonesia dapat memenuhi
persyaratan yang ada dalam regulasi TV jaringan [2].
Seperti yang telah dibahas , bahwasannya adanya regulasi
yang mana konten siaran yang diambil dari nasional atau
stasiun TV induk dibatasi paling banyak 90% per hari, dan
harus memuat siaran local paling sedikit 10 % per hari[2].
Hal ini perlu dipertimbangkan ulang mengingat untuk
pemasukan iklan semua masih terpusat di Jakarta, sedangkan
stasiun TV jaringan belum dapat menghasilkan provit sendiri.
Poin tersebut sebenarnya bisa diterapkan dengan catatan
stasiun TV jaringan telah mampu menghasilkan provit dari
iklan local yang berada pada daerah masing-masing.
Sehingga regulasi ini tetap dapat diterapkan, tapi dengan
memberikan waktu untuk stasiun TV jaringan berkembang
terlebih dahulu.

V. KESIMPULAN
Dari hasil pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa
regulasi memberikan dampak positif,baik bagi pelaksana
maupun bagi penyelenggara regulasi. Dari sisi pelaksana
regulasi, Lembaga penyiaran swasta dapat melakukan
perluasan wilayah hingga ke seluruh pelosok Indonesia
dengan memiliki slot frekuensi beserta kekuatan hukum
bedasarkan Izin Penyelenggara Penyiaran yang dimiliki oleh
masing-masing lembaga penyiaran swasta. Dari sisi pemberi
regulasi yaitu kominfo, dengan adanya regulasi tentang
stasiun berjaringan tentu memberikan dampak positif. Hal ini
dikarenakan dengan adanya regulasi ini, akan membuat
penataan frequensi di seluruh Indonesia untuk bidang
penyiaran menjadi lebih teratur. Selain itu dengan adanya
kebijakan pembayaran BHP untuk masing-masing stasiun
jaringan, maka BHP yang dibayarkan akan menjadi tambahan
untuk pemasukan devisa Negara.Untuk itu system TV
berjaringan sangat baik untuk terus dijalankan, dengan catatan
Lembaga penyiaran swasta diberikan waktu untuk dapat
menciptakan manajemen sehingga dapat menghasilkan provit
bagi daerah masing-masing.

REFERENSI
[1] UU no 32 tahun 2002
[2] Peraturan Menteri Kominfo no 43 tahun 2009

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63