Tugas Ekolinguistik dan Budaya dan

Ekolinguistik dan Kebudayaan
I.

Pendahuluan
Kajian interdisipliner yang mengkaitkan ekologi dan linguistik diawali pada

tahun 1970an ketika Einar Haugen (1972) menciptakan paradigma “ekologi bahasa”.
Dalam pandangan Haugen, ekologi bahasa adalah kajian tentang interaksi bahasa dan
lingkungannya. Dalam konteks ini, Haugen menggunakan konsep lingkungan bahasa
secara metaforis, yakni lingkungan dipahami sebagai masyarakat pengguna bahasa,
sebagai salah satu kode bahasa. Bahasa berada hanya dalam pikiran penuturnya, dan
oleh karenanya bahasa hanya berfungsi apabila digunakan untuk menghubungkan antar
penutur, dan menghubungkan penutur dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial
ataupun lingkungan alam. Dengan demikian, ekologi bahasa ditentukan oleh orangorang yang mempelajari, menggunakan, dan menyampaikan bahasa tersebut kepada
orang lain (Haugen, 2001:57).
Dua dekade setelah diciptakannya paradigma “ekologi bahasa”, barulah
muncul istilah ekolinguistik ketika Halliday (1990) memaparkan elemen-elemen dalam
sistem bahasa yang dianggap ekologis dan tidak ekologis. Berbeda dengan Haugen,
Halliday menggunakan konsep ekologi dalam pengertian non-metaforis, yakni ekologi
sebagai lingkungan biologis. Halliday mengkritisi bagaimana sistem bahasa
berpengaruh pada perilaku penggunanya dalam mengelola lingkungan. Dalam

tulisannya yang berjudul “New Ways of Meaning”, Halliday (2001) menjelaskan bahwa
bahasa dan lingkungan merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Perubahan
bahasa, baik di bidang leksikon maupun gramatika, tidak dapat dilepaskan dari
perubahan lingkungan alam dan sosial (kultural) masyarakatnya. Di satu sisi, perubahan
lingkungan berdampak pada perubahan bahasa, dan di sisi lain, perilaku masyarakat
terhadap lingkungannya dipengaruhi oleh bahasa yang mereka gunakan. Kajian
terhadap hubungan dialektika antara bahasa dan lingkungannya telah melahirkan topiktopik penelitian di bawah payung ekolinguistik, dan sejak saat itu pula cakupan aplikasi
konsep ekologi dalam linguistik berkembang dengan pesat, baik di bidang pragmatik,
analisis wacana, linguistik antropologi, linguistik teoretis, pengajaran bahasa, dan
berbagai cabang linguistik lainnya (Fill dan Muhlhausler, 2001:1).

1|ina

II. Ekolinguistik dan Kebudayaan
Secara etimologi, kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta “budhayah”
(merupakan bentuk jamak dari kata “budhi”) yang memiliki pengertian budi, akal, atau
hal yang berkaitan dengan akal. Adapun kata budaya merupakan bentuk jamak dari kata
“budi-daya”, yaitu daya dari budi yang berupa cipta, rasa, dan karsa. Maka, hasil dari
cipta, rasa, dan karsa tersebut diistilahkan dengan “kebudayaan”. (Koentjaraningrat,
2009: 146).

Secara terminologi, menurut Koentjaraningrat pengertian kebudayaan adalah
"keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar".
Koentjaraningrat (2009: 164) mengemukakan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang
bersifat universal yaitu bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem mata
pencaharian, organisasi sosial, dan sistem ilmu pengetahuan.
Bahasa merupakan unsur pertama dan utama dari suatu kebudayaan. Lebih
jauh, bahasa dapat pula dikatakan sebagai bentuk budaya manusia. Silverstein (dalam
Duranti,

1997:7)

mengungkapkan

bahwa

kemungkinan

gambaran-gambaran


kebudayaan (masyarakat tertentu) tergantung pada sejauh mana bahasa masyarakat
tersebut memungkinkan penuturnya mengujarkan apa yang dilakukan oleh kata dalam
kehidupan sehari-hari. Para ahli antropologi yang mempunyai perhatian terhadap ihwal
bahasa, seperti Boas, Malinowski, dan yang lain, berpendapat bahwa penafsiran bentuk,
nilai, dan peristiwa budaya dilakukan dengan cermat melalui bahasa. Tanpa bahasa tidak
akan ada peristiwa budaya yang dapat dilaporkan.
Sehubungan dengan itu, Duranti (1997) mengatakan bahwa kebudayaan juga
dipandang sebagai sesuatu yang dipelajari, dipindahkan, dan diwariskan dari generasi ke
generasi berikutnya melalui tindakan manusia; keseringannya dalam bentuk interaksi
langsung, dan tentu saja, melalui komunikasi linguistik. Dalam pemerolehan bahasa,
alam dan budaya berinteraksi sedemikian rupa untuk menghasilkan kekhasan bahasabahasa manusia.
Banyak ahli yang berpendapat bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua
hal yang tak dapat dipisahkan, dan saling mempengaruhi satu sama lain. Teori

2|ina

Sapir-Whorf menyatakan, “Jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan
atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya”. Sapir menekankan bahwa interelasi bahasa
dan lingkungan secara khusus tercermin dalam level kosakata. Hal ini membuktikan
bahwa kosakata merupakan refleksi yang paling jelas terlihat dari hubungan lingkungan

fisik, lingkungan sosial, dan penutur bahasa tersebut. Disamping itu, Piaget
menyebutkan bahwa budaya (pikiran) akan membentuk bahasa seseorang (dalam Chaer,
2003). Bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Bahasa itu dalam suatu
masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat, tergantung kultur daerah
yang bersangkutan.
Seperti yang dikemukakan oleh Bang dan Door yang dikutip dan
diterjemahkan oleh Steffensen (2007:24) berikut ini.
“There is always an anonymous third party present when we use language.
The anonymous third expresses the cultural dan social order that has preorganized the language use to a certain degree. This means that the child
learning a language is forced to consider the anonymous third. Often we do
not reflect on these matters, because it is so tempting to believe that our inner
speech in a conversation with ourselves and no-one else. We are tempted to
believe that we are in a ‘free’ conversation. But even the so-called monological
situation contains a number of subjects”
Kutipan di atas menjelaskan bahwa ketika kita menggunakan bahasa, selalu ada pihak
ketiga anonim yang hadir. Pihak ketiga tersebut menyatakan perintah sosial budaya
yang sebelumnya mengatur penggunaan bahasa kita. Dengan kata lain, bentuk bahasa
yang kita gunakan dipengaruhi oleh konstituen sosial budaya, namun hal ini sering tidak
kita sadari.

Dalam praksis sosial setiap individu berada dalam tiga dimensi saling
berhubungan, yakni dimensi ideologis, sosiologis, dan biologis. Ketiga dimensi tersebut
memiliki interrelasi dengan Bahasa. Bahasa mempengaruhi dan pada saat yang
bersamaan dipengaruhi oleh praksis sosial. Hubungan dialektika antara bahasa dan
praktek sosial ini telah melahirkan kajian ekolinguistik dialektikal, yang dikembangkan
oleh Bang dan Door (1993).
Jadi dapat disimpulkan bahwa, penggunaan bahasa sangat dipengaruhi oleh
lingkungan, baik itu lingkungan fisik (ekologi) maupun lingkungan sosial (budaya).

3|ina

Perubahan lingkungan berdampak pada perubahan bahasa. Di sisi lain, perilaku
masyarakat terhadap lingkungannya dipengaruhi oleh bahasa yang mereka gunakan.
* Praksis dipahami sebagai tindakan reflektif, yaitu praktek yang diinformasikan oleh refleksi teoretis;
atau sebaliknya, refleksi teoretis yang diinformasikan oleh praktek.

Leksikon-leksikon Ekolinguistik Kebudayaan dalam Masyarakat Ulakan
Kecamatan Ulakan Tapakis merupakan satu dari tujuh belas kecamatan yang
terdapat di Kabupaten Padang Pariaman, terletak di pantai barat Pulau Sumatera dengan
panjang garis pantai 7,5 km. Letaknya yang srategis menjadikan daerah ini sebagai jalur

perlintasan bagi orang yang akan menuju Kota Pariaman. Nagari Ulakan mempunyai
luas wilayah 4.150 Ha yang terdiri dari tanah persawahan, sawah tadah hujan/ladang,
perkebunan rakyat, perumahan dan prasarana sosial, jalan dan lain-lain.
Masyarakat Ulakan banyak memiliki budaya dan tradisi yang khas
dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Sumatra Barat. Keunikan tersebut dapat
dilihat dari adat istiadat yang berlaku, salah satunya tradisi perkawinan, dan tradisi
kegotongroyongan. Tradisi kegotongroyongan sangat kental dalam budaya masyarakat
Ulakan, terutama dalam memikul beban berat seperti membangun rumah, dan pesta
pernikahan masih bertahan hingga sekarang.
Dari berbagai tradisi unik yang berkembang di Ulakan tersebut, ada beberapa
leksikon yang hingga saat ini masih bertahan, antara lain:
1.

m(a)uluk

M(a)uluk disini maksudnya adalah maulid nabi. Jika lazimnya peringatan Maulid Nabi
dilakukan dengan ceramah dan tabligh akbar, berbeda dengan Ulakan, peringatan
Maulid Nabi dilakukan dengan cara yang khas dan sama sekali berbeda. Kegiatan ini
dilakukan secara bergiliran dari satu surau ke surau lainnya. Pelaksanaannya sendiri
dilakukan di surau selama dua hari, hari pertama hari menunya induak kopi (malam),

hari kedua (sore) menunya adalah lemang dan berbagai masakan lainnya (nasi dan
aneka lauknya).

4|ina

2.

basapa

Tradisi basapa adalah kegiatan ziarah ke Makam Syekh Burhanuddin. Kegiatan basapa
ini dilakukan masyarakat sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih terhadap
Syekh Burhanuddin atas jasanya mengembangkan ajaran Islam di Minangkabau. Orangorang dari daerah darek (bukittinggi, batusangkar, payakumbuh) banyak berdatangan
untuk melakukan ziarah, dan sumbayang ampek puluah. Keramaian ini dimanfaatkan
oleh para pedagang dari berbagai daerah untuk menawarkan barang-barang dagangan
mereka. tradisi basapa ini dilakukan pada bulan sapa (bulan safar pada kalender
hijriyah), tradisi ini terdiri dari dua sesi yang disebut dengan sapa gadang dan sapa
ketek. Sapa gadang jatuh pada hari rabu minggu kedua bulan sapa, sedangkan sapa
ketek seminggu setelah sapa gadang.
3.


balimau

Tradisi balimau dianggap masyarakat sebagai cara mensucikan diri sebelum melakukan
puasa Ramadhan. Ritualnya dilakukan saat mandi dengan menggunakan limau yang
telah dibuat. Limau merupakan air yang telah diberi irisan jeruk nipis, daun pandan, dan
berbagai macam bunga yang berbau wangi.
4.

makan bajamba

Makan bajamba adalah tradisi makan dengan cara makan bersama di surau (biasanya di
halaman depan), pada hari besar islam, atau upacara adat. Makanan dihidangkan dalam
bentuk jamba yang dimasak dan disajikan oleh ibu-ibu dari tiap-tiap rumah yang ada di
kampung tersebut.
5.

batagak kudo-kudo

Batagak kudo-kudo merupakan salah satu rangkaian panjang dari tradisi membangun
rumah, dilakukan saat sebuah rumah baru akan dipasang kuda-kuda (atap). Acara ini

mirip dengan ‘baralek’ dengan mengundang orang kampung dan sanak famili. Kado
yang biasanya dibawakan oleh tamu undangan adalah seng atau atap untuk rumah.
6.

badikie

Tradisi badikie ini merupakan ritual berzikir dan berdoa yang dilakukan dengan irama
tertentu (seperti berdendang). badikie dilakukan oleh beberapa orang secara bersama,
yang disebut dengan orang siak. Badikie bagi sebagian tetua disebut dengan bakayaik.
Tradisi ini dilakukan pada saat muluik, mando’a (syukuran), mangaji (ritual
memperingati hari kematian), dan ziarah kubur.

5|ina

7.

julo-julo umah

Julo-julo umah merupakan arisan jasa pembangunan rumah. Bagi anggota arisan yang
sedang membangun rumah, akan dibantu pengerjaannya oleh seluruh anggota arisan

yang lain. Selain julo-julo umah juga terdapat tradisi julo-julo simin, julo-julo ka sawah
dan julo-julo ameh yang dikocok setiap habis panen padi.
8.

malamang

Malamang merupakan suatu tradisi memasak lemang. Namun pada prakteknya tidak
hanya lemang yang saja yang dimasak, juga masakan-masakan lain dengan bahan baku
ikan laut yang berukuran bersar, ayam yang dimasak tanpa dipotong-potong dan makan
penutup (induak kopi). Tradisi ini biasanya dilakukan di saat hari-hari tertentu, seperti
hari besar keagamaan (menyambut Ramadhan, merayakan Maulid Nabi atau
memperingati hari kematian (mangaji 3, 7, 14, 40, 100 hari).
9.

induak kopi

induak kopi ini adalah makanan penutup yang terdiri dari buah-buahan, agar-agar, kue
bolu, kue basah, dan kue-kue kering lainnya. berbagai macam makanan ini disajikan
dalam piring. kemudian piring-piring yang telah diisi tersebut disusun sedemikian rupa,
pada posisi paling atas diletakkan kue bolu dengan berbagai macam bentuk.

10. jamba
Jamba merupakan hidangan aneka masakan yang terdiri nasi dan lauknya. Masingmasing masakan disajikan dalam piring, kemudian disusun dan sedemikian rupa, hingga
setinggi 1 meter atau lebih. Biasanya menu paling spesial diletakkan paling atas dan
dihias sedemikian rupa.
11. juadah
Juadah terdiri dari beberapa makanan tradisonal seperti wajik, aluo, kanji, jalabio,
kipang, kue sanko, ladu dan kareh-kareh. Makanan-makanan tersebut disusun
sedemikian rupa sehingga menjadi membentuk anjungan makanan, urutannya tidak
boleh sembarang, harus seperti yang telah ditentukan.
12. uang hilang
uang hilang adalah sejumlah uang yang diberikan oleh pihak perempuan kepada lakilaki dengan jumlah yang tergantung kesepakatan kedua belah pihak, tapi masih
mempertimbangkan titel si laki-laki yang akan menikah. Uang ini tidak akan

6|ina

dikembalikan kepada pihak perempuan. Biasanya uang ini digunakan oleh pihak
keluarga laki-laki untuk biaya dapur dan biaya pesta.
13. uang japuik
uang japuik adalah pemberian dari keluarga pihak perempuan kepada pihak laki-laki
yang diberikan pihak perempuan pada saat acara manjapuik marapulai dan akan
dikembalikan lagi pada saat mengunjungi mertua pada pertama kalinya (acara
manjalang). Uang Japuik ini sebagai tanda penghargaan kepada masing-masing pihak.
14. badantam
Badantam merupakan tradisi dalam sebuah prosesi perkawinan, dimana tujuannya
adalah untuk mengumpulkan dana terutama untuk pihak perempuan. Badantam adalah
salah satu bentuk arisan berupa uang, di saat malam bandantam semua anggota
persatuan wajib menyetorkan uang minimal sejumlah iuran wajib. Namun biasanya
masing-masing anggota, apalagi pihak keluarga berlomba untuk memberi lebih banyak,
karena setiap setoran diumumkan oleh ketua memakai mikrofon. Ketua mempunyai
cara tersendiri dalam memancing setiap orang untuk mendapatkan lebih banyak uang
yang terkumpul.
15. malapeh nieik
Malapeh nieik merupakan tradisi membayar nazar. Misalnya seseorang yang sedang
diberi cobaan anak sakit, dia baniaik jika anaknya sembuh akan berziarah ke tampeik
(makan Syeh Burhanuddin) . Maka ketika anaknya sembuh, ia wajib malapeh nieik
untuk kesembuhan anaknya.
16. mamakiah
Tradisi mengumpulkan beras dari rumah ke rumah buat bekal belajar agama di surau
bersama tuangku. Santri yang sedang menuntut ilmu ilmu ini disebut pakiah.
17. mancaliak bulan
tradisi mancaliak bulan dilakukan sebelum memulai puasa Ramadhan. Masyarakat
bersama-sama melihat hilal di pantai, jika belum terlihat dengan mata kepalanya sendiri,
maka mereka belum akan mulai berpuasa.
18. mancayi mangga
Aktivitas mancayi mangga ‘mencari mangga’ biasa dilakukan para ibu-ibu di saat badai
datang. Mangga yang dimaksudkan disini adalah pelepah pohon kelapa yang sudah
kering, sehingga di saat angin kencang berjatuhan dari pohonnya.

7|ina

Penamaan bulan dalam budaya masyarakat Ulakan juga terdapat keunikan,
yaitu bulan carai, bulan sambareh, bulan lamang, bulan puaso, bulan rayo, bulan adiak
rayo, bulan aji, bulan sura, bulan sapa, bulan m(a)uluk (3 bulan).
III. Penutup
Penggunaan dan perkembangan bahasa dipengaruhi oleh faktor lingkungan
(ekologi) dan budaya. Bahasa dan budaya merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan dan saling mempengaruhi. Budaya akan membentuk bahasa seseorang,
bahasa merupakan produk suatu budaya. Bahasa itu dalam suatu waktu tertentu
mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat, dengan kata lain budaya direkam dan
diwariskan melalui bahasa, baik secara lisan maupun tulisan.
Dalam praksis sosial setiap individu berada dalam tiga dimensi saling
berhubungan, yakni dimensi ideologis, sosiologis, dan biologis. Ketiga dimensi tersebut
memiliki interrelasi dengan Bahasa. Bahasa mempengaruhi dan pada saat yang
bersamaan dipengaruhi oleh praksis sosial.
Di daerah Ulakan ada beberapa leksikon ekolinguistik yang berhubungan
dengan kebudayaan yang masih bertahan hingga saat ini, seperti m(a)uluk, basapa,
balimau, makan bajamba, batagak kudo-kudo, badikie, julo-julo umah, malamang,
induak kopi, jamba, juadah, uang ilang, uang japuik, badantam, malapeh nieik,
mamakiah, mancaliak bulan, mancayi mangga.

DAFTAR PUSTAKA
Bang, J.Chr. dan Door, J. 1993. Eco-Linguistics: A Framework. diakses lewat
www.jcbang.dk/main/ecolinguistics/Ecoling_AFramework1993.pdf
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik, Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
Halliday, M.A.K. 2001. “New Ways of Meaning: The Challenge to Applied
Linguistics”. Dalam Fill, A. dan Muhlhausler, P. The Ecolinguistics Reader:
Language, Ecology, and Environment. London: Continuum
Haugen, E. (1972). “The Ecology of Language”. Dalam Fill, A. dan Muhlhausler, P. The
Ecolinguistics Reader: Language, Ecology, and Environment. London: Continuum.

8|ina

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Atropologi Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.
Steffensen, Sune Vork. (2007). “Language, Ecology and Society: An Introduction to
Dialectical Linguistics”. Dalam Steffensen, S.V dan J. Nash (Eds). Language,
Ecology and Society – a Dialectal Approach. London: Continuum.

9|ina