Postmodernisme dan Nilai Nilai Olimpiade

Raynald Santika
1406566413

Postmodernisme dan Nilai-Nilai Olimpiade
Apakah

ada

suatu

event

yang

dapat

menggambarkan gerakan postmodernisme yang lebih
baik lagi selain event yang diikuti oleh peserta multinasional?

Olimpiade


perhelatan

besar

merupakan

berskala

salah

satu

internasional

yang

mengundang atlet dari seluruh penjuru dunia,
berkumpul dalam suatu kota di suatu negara
penyelenggara, yang memiliki tujuan utama yaitu
mendapatkan medali emas bagi negaranya. Dibalik

semua
Barcelona 1992 Olympic Village (© Mimoa)

keglamoran

pertandingan

olahraganya,

Olimpiade pada zaman postmodern memiliki nilai-

nilai khusus yang ingin diangkat dalam proses menuju dunia yang lebih modern. Dalam hal
ini, arsitektur merupakan salah satu bidang yang tak luput dari pergerakan ini. Dalam proses
menuju

penyelenggaraan

Olimpiade,

pastinya


dibutuhkan

sarana/prasarana

dan

infrastruktur untuk mendukung acara ini. Sarana inilah yang kemudian secara implisit
mencerminkan nilai postmodernisme yang sedang ramai diperbincangkan pada saat itu.
Berbicara tentang nilai-nilai yang
dianut

pada

aliran

postmodernisme

sendiri yang bertolak belakang dengan
konsep yang sebelumnya dianut yakni

modernisme, nilai-nilai yang terkandung
pada penyelenggaraan Olimpiade sendiri
mengalami perubahan seiring dengan
waktu. Setelah melewati era pasca Perang
Dunia kedua, nilai-nilai kekeluargaan dan

Barcelona 1992 Olympic Village (© Manel Cantos)

kebersamaan yang hadir, terutama di Olympic Village dimana semua atlet bertinggal selama
penyelenggaraan sebuah Olimpiade, sangat menjadi perhatian utama untuk membangun
kondisi yang ideal ditengah kompetisi yang berlangsung. Dalam hal ini, prinsip pluralisme
yang menjadi landasan postmodernis sangat menjadi keprihatinan utama, dimana arsitektur

yang diusung pada masa itu didorong untuk mengedepankan jiwa emosional dan
subjektivitas dari penggunanya.
Contoh pertama yang coba kita perhatikan
adalah Olympic Village di Barcelona, kota
penyelenggara Olimpiade 1992. Komplek
ini terdiri dari dua bangunan linear dengan
menara pada perpotongannya. Bagian

selatan

dipenuhi

berhubungan
Barcelona 1992 Olympic Village- Aerial View (© Mimoa)

oleh

langsung

taman
degan

yang
tangga

menuju apartemen pada lantai pertama.

Bagian ini ditarik ke belakang untuk menghasilkan pemandangan yang lebih indah dengan

rencana asli berjarak 13 meter. Menara yang ada merepresentasikan sirkulasi vertikal dan
dua apartemen pada setiap lantai. Apartemen pada blok linear mempunyai sirkulasi vertikal
dan ruang servis pada pusat geometrinya, yang memisahkan bagian utara yang menghadap
dunia malam dan bagian selatan yang aktif pada siang hari. Perbedaan arah ini
menunjukkan adanya pengalaman emosional yang coba ditujukan pada setiap atlet,
sehingga masing-masing mempunyai ceritanya sendiri ketika pulang ke negaranya kembali.
Jika kita lihat pada desainnya, seperti Olympic Village pada umumnya, memiliki satu
arcade yang besar yang memotong bagian tengah dari daerah tersebut. Arcade ini yang
ditujukan untuk menjadi urat nadi Olympic Village dimana semua atlet dari seluruh penjuru
dunia dapat berkumpul dan berinteraksi tanpa ada segregasi. Dalam hal ini, prinsip
globalisme dari postmodernisme sangat diterapkan. Namun, berbeda dari prinsip tersebut,
terdapat pula prinsip lain yang ingin diterapkan sebagai bagian dari dunia modern, yakni
fragmentasi, yang terlihat pada pengalaman baru yang coba ingin diinjeksi ke dalam
keseluruhan komplek ini. Pojok-pojok seni, kebudayaan antar negara, bahkan coffee shop
atau mini café pada lantai dasar menjadi bagian baru dari Olympic Village yang sebelumnya
tidak pernah ada. Hal ini juga disebabkan oeh keperluan komersialisme yang mulai muncul
sejak perang bukan lagi menjadi masalah utama di dunia.

Dilihat dari detail arsitekturnya
sendiri, persyaratan tidak tertulis yang

selalu ada yang patut didapatkan oleh
setiap atlet pada setiap kamar adalah
ketersediaan balkon yang menghadap
keluar, baik itu ke arah arcade maupun ke
luar komplek. Selain aspek teknis untuk

London 2012 Olympic Village dipenuhi bendera tanda tempat
kediaman kontingen Australia (© Australian Times)

memberikan active cooling, balkon ini juga dijadikan sebagai sarana kebanggaan suatu
kontingen dengan cara menggantung bendera atau material kebudayaan negara mereka.
Hal ini menjadi sesuatu yang penting bagi Olympic Village di era sebelumnya, maka dari itu
prinsip ini diteruskan ke pembangunan selanjutnya. Namun, dengan adanya eclecticism
yang kental pada masa postmodern, susunan pembagian 113 kamar inilah yang diacak yang
kemudian menimbulkan bendera-bendera ini terpajang menjadi satu dan tidak tersegregasi.
Hal ini menimbulkan arcade yang penuh warna dan tidak lagi terfokus pada suatu negara
tertentu yang berimbas pada suasana yang lebih bersahabat dan atraktif.
Berjaya pada masanya tidak lalu jaya pula pada masa kini. Masterpiece Ricardo Baffil
ini pada masa pasca postmodern menjadi sangat sepi dan tidak atraktif lagi. Kafe-kafe yang
ada tinggal sedikit dikarenakan krisis ekonomi yang mengguncang Spanyol. Namun, lebih

dalam lagi, penyebab Olympic Village ini tidak bertahan lama adalah karena kurangnya
perhatian pada masalah urban pasca-olimpiade. Setelah Olimpiade bergulir, jumlah
penduduk yang mendiami residensial tersebut dinilai kurang untuk menjadikannya kota
yang hidup . Krisis demografi ini yang kemudian menjadikan Olympic Village kini seperti
kota mati.
Kegagalan Barcelona sebagai perencana
jangka

panjang

seharusnya

belajar

pada

preseden kita yang lain, yakni Los Angeles
sebagai

tuan


rumah

Olimpiade

1984.

Keseluruhan desain penyelenggaraan acara
(Look of the Games) ini diberikan tanggung
jawabnya kepada Jon Jerde Partnership. Jon

Horton Plaza San Diego (© Wild Nature Images)

Jerde merupakan arsitek postmodern yang sangat lekat dengan karya pertamanya yakni
Horton Plaza di San Diego, California, tak jauh dari Los Angeles. Prinsip perancangan Jerde
pada hakikatnya adalah ruang berkumpul diantara bangunan, lebih dari bangunan itu
sendiri, dimana dia membuat banyak destinasi berupa jalan yang berkelok dengan kafe di
kanan-kirinya dan penuh dengan penampil jalanan. (Ambry, 2015)
Dalam Horton Plaza, Jerde mendapatkan ilham dari kota di Eropa sebagai berikut,
After USC he went on a traveling fellowship to Europe, and was dazzled by the communal spaces of

old cities for shopping, dining, entertainment, promenading and people watching, fomenting in him
his pla e- aki g philosoph – creating memorable places that pulsed with life and community,
using entertainment and shopping as catalysts. (Ambry, 2015)

Horton Plaza San Diego - Aerial View (kiri) dan sepinya tenant saat ini (kanan) (© Jerde)

Hasilnya, Horton Plaza bersifat open-air dengan jalur terbuka, memiliki level yang bervariasi,
parapets, colonnades, menara, dan jembatan dengan penggunaan warna yang berani. Wrna
ini menggambarkan wajah Horton Plaza yang baru yang dulunya suram dan menjadi tempat
berkumpulnya gelandangan. Penggunaan level yang bervariasi dengan tampak yang tidak
monoton (bertolak belakang dengan prinsip modernisme yang terpaku pada hal-hal simple
dikarenakan kemudahan produksi) membuat pengalaman ruang lebih menarik dan berbeda
seperti sebelumnya pada mall retail yang hanya mementingkan produk, Horton Plaza yang
baru mementingkan pengalaman subjektif. Alhasil, seperti yang dikemukakan oleh Buket
Ergun Kocaili , perencana lansekap dari Turki, Horton Plaza meredefinisi pengalaman urban
retail dan menjadi katalis dalam regenerasi area pusat kota.
Sayangnya, kejayaan Horton Plaza tak lagi bersinar seperti pada tahun 1980an. Saat
ini Horton Plaza ditinggalkan oleh para tenant nya dikarenakan kebutuhan masyarakat yang
kian berganti. Komersialisme kini menjadi hal yang lebih penting dimana pengalaman pada


ruang publik menjadi kebutuhan sekunder. Alhasil, Horton Plaza kini makin sepi dan tidak
lagi diminati, kecuali untuk para pewisata sejarah dan penikmat ruang terbuka.
Kembali pada penyelenggaraan Olimpiade
Los Angeles 1984, Jon Jerde kali ini memiliki
partner Deborah Sussman (desainer grafis) dan
Paul Prejza (arsitek lansekap). Tetap berpegang
pada prinsip place-making, ditambah dengan nilainilai

postmodernisme

diusung

lebih

lanjut,

Olimpiade
mereka

yang

ingin

mengusulkan

kreativitas yang unik. Mereka menginginkan
Olimpiade sebagai pengalaman ruang pada seluruh
kota yang menarik pengunjung untuk datang,

Deborah Sussman, Paul Prejza, dan Jon Jerde
memperlihatkan rancangan mereka pada LA
Coliseum (© International Olympic Committee)

dibandingkan dengan membangun venue baru yang menguras uang. Alhasil, hanya dengan
trik warna dan instalasi khusus, Los Angeles dapat berhasil memukau dunia dan menjadi
salah satu Olimpiade yang desainnya paling dikenal.
Dalam salah satu wawancara Sussman dengan Los Angeles Magazine dirinya
mengakui inspirasi dari penggunaan warnanya sebagai berikut,
these warm reds, acid blues, and rich yellows were the colors I had observed in areas of celebration
along the Pacific Rim — Mexico, Japan, India, China — the colors of the Hispanic and Asian
communities that impact Los Angeles. (Sussman, 2014)

Pengakuan ini juga yang kemudian menjelaskan bahwa sikap postmodernis sangat
diimplementasikan disini dalam hal penggunaan prinsip-prinsip yang bersifat plural, dimana
konsep

pluralisme

sendiri

memungkinkan sebuah karya untuk
dinikmati oleh publik dari berbagai
latar

belakang

dengan

alasan.

Mengusung

dari

seluruh

menjadikannya

berbagai

warna-warna
dunia

sebuah

dan
kesatuan

yang tak terpecahkan dalam satu
Panduan penggunaan elemen grafis pada Olimpiade Los Angeles 1984
oleh Sussman-Prejza (© International Olympic Committee)

palet

warna

membawa

suasana

keberagaman yang positif. “uss a
of California

a g juga

e apa ka hal i i se agai multicultural melting pot

e do o g pe

a gu a kembali nilai-nilai Olimpiade yang dulu

sempat hilang. Warna-warna patriotik khas Amerika (biru, merah, dan putih) sangat
dihindari oleh Sussman karena postmodernis tentunya menghargai nilai-nilai universal.

Salah satu instalasi grafik temporer pada Olimpiade Los Angeles 1984 (© International Olympic Committee)
Los Angeles 1984 OG, Olympic Venues – The Olympic Village.

Palet warna ini kemudian tercermin dalam pembangunan instalasi dan infiltrasi yang
diterapkan pada venue Olimpiade Los Angeles 1984 itu sendiri. Pemerintah yang hanya
memberikan sedikit dana untuk perhelatan ini (dikarenakan overspend pada Olimpiade
Montreal 1976 dan sepinya pengunjung pada Olimpiade Moskwa 1980) menjadikan tidak
adanya pembangunan venue baru, melainkan hanya menggunakan venue yang sudah ada.
Hal ini kemudian disiasati oleh Jerde untuk membuat struktur-struktur sementara pada
bangunan tersebut. Mulai dari penggunaan scaffolding, sonotubes, kain, dan mesh paneling
seluruhnya dielaborasi dengan seksama pada 43 pusat pertunjukkan seni, 28 venue
pertandingan,

dan

3

Olympic

Village,

sehingga tidak timbul kasus overdesign
dalam

konsep

desain

Olimpiade

yang

mengacu pada town festival ini.
Melihat ketiga preseden di atas
mengenai penerapan nilai postmodernisme
yang kemudian berpengaruh pada nilai-nilai
Arena akuatik Olimpiade Rio 2016 kembali dibongkar setelah
event digelar untuk disumbangkan ke negara-negara Afrika
yang membutuhkan fasilitas olahraga (© Daily Mail)

yang

coba

didorong

oleh

Olimpiade,

terdapat beberapa konsekuensi yang harus

dihadapi pada era pasca postmodernisme. Hal yang menjadi keprihatinan utama adalah
bagaimana produk dari nilai-nilai tersebut dapat bertahan lama, baik dari segi fisik maupun
fungsi. Olympic Village, contohnya, dapat menjadi mimpi buruk city planner jika
perencanaannya tidak baik yang berimbas pada tidak dapat terpakainya kembali bangunan
tersebut. Hal serupa dapat ditemui dengan mudah di Athena, Roma, dan Berlin. Prinsip
temporer pada masa postmodernisme dapat diterapkan sebaik mungkin sehingga terdapat
pengeluaran biaya yang minim dan dapat juga untuk membangun daerah lain. Hal ini dapat
ditemui di Rio tahun lalu dan suksesornya di Tokyo dan Los Angeles tahun 2028.
Prinsip lain yakni pengalaman emosional dan universal dalam menikmati ruang juga
perlu dikedepankan dibandingkan dengan penggelontoran uang secara besar namun tidak
berarti dan hanya menimbulkan residual spaces. Untuk itu, diperlukan perencanaan yang
tidak hanya dari latar belakang arsitek, namun juga finansial bahkan psikologis untuk
membantu menjadikan nilai Olimpiade tertanam dengan baik tanpa adanya miskonsepsi
yang ditangkap oleh pengunjung dan kontingen.
Sebagai kesimpulan, postmodernisme banyak mempengaruhi nilai-nilai Olimpiade
yang ditanamkan, terutama pada era yang bersangkutan. Nilai ini kemudian menjadi
pembelajaran bagi suksesor di tahun selanjutnya untuk menjadikan Olimpiade yang lebih
bermakna dan sustainable baik dalam segi finansial maupun urban living.

Referensi:
A de to , F a es.

. Jo Je de, Design Czar for the 1984 Olympics Who Remade Retail Destinations, Dies

at 7 . KCRW, 9 February, accessed 1 November 2017. < http://blogs.kcrw.com/dna/jon-jerde-designczar-for-the-1984-olympics-who-remade-retail-destinations-dies-at-75>
Design Quarterly 127. 2013. 1984 Los Angeles Olympics, USA. Walker Arts Center, accessed 1 November 2017.

LUZ “. .l.

7. The T ue “pi it of the Ol

pi Ga es . a essed No e

e

7.


Postmodern architecture. (2017, October 21). In Wikipedia, The Free Encyclopedia, accessed 1 November 2017


Ri a do Boffil Talle de A uite tu a.

7. Ol

pi Village Housi g Co ple . Arch Case, accessed 1

November 2017.
‘o e, Pete .

7. San Diego's aging Horton Plaza, once a landmark of urban design, is losing luster and

tenants . Los A geles Ti es,

Ja ua , a essed No e

e

7. <

http://www.latimes.com/local/lanow/la-me-ln-horton-plaza-20170120-story.html>
Walker, Alissa. 2014. De o ah “uss a . Los Angeles Magazine, 16 July, accessed 1 November 2017.

Wai

ight, Oli e .

. More is more: the gaudy genius of the late Deborah Sussman . The Guardian, 27

August, accessed 1 November 2017. < https://www.theguardian.com/artanddesign/architecturedesign-blog/2014/aug/27/graphics-genius-deborah-sussman>