Mendorong Penganggaran Yang Pro Poor dan

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

Mendorong Penganggaran Yang Pro-Poor dan Demokratis :
Belajar Dari Keterlibatan Kritis Kelompok Masyarakat Sipil GAMPIL
Kebumen dan REWANG Bantul
Ashari Cahyo Edi 1, Dina Mariana2,
Peneliti di Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta
2
Peneliti di Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta
[email protected], [email protected]
1

Abstrak
Makalah ini berusaha menyoroti bagaimana masyarakat berpartisipasi dalam proses
penganggaran di dalam kebijakan pembangunan di Kabupaten Bantul dan Kebumen. Kajian ini
dianggap penting karena, di samping bahwa penganggaran bersifat sangat politis dan
prosesnya demikian tertutup, di dua daerah tersebut telah memiliki perda partisipasi,
transparansi, dan akuntabilitas. Di dua daerah tersebut juga telah lahir jaringan masyarakat
sipil—LSM, Ormas, kelompok masyarakat sektoral dan kewilayahan, serta organisasi
kemahasiswaan—yang aktif mengawal jalannya proses penganggaran: Rewang (Rembug

Warga Peduli Anggaran) di Bantul dan Gampil (Gabungan Masyarakat Sipil) di Kebumen.
Temuan di lapangan memperlihatkan, terdapat peningkatan yang positif dalam hal
keterlibatan masyarakat dalam proses penganggaran. Peran aktif NGOs dan organisasi sosial
lainnya turut membantu keterlibatan aktif masyarakat. Beberapa dampak positif lainnya
adalah semakin meningkatnya angka melek anggaran (budget liteacy) di masyarakat, beserta
semakin meningkatnya kesadaran pentingnya pengetahuan terhadap anggaran pembangunan:
bahwa anggaran adalah hak mereka (rights), demikian juga mengetahui proses
penganggaran, dan memastikan bahwa kebijakan tersebut ditujukan bagi kepentingan
mereka. Hambatan tentu saja masih ada. Utamanya, karena meningkatnya partisipasi
masyarakat ternyata belum cukup menjadi pemicu bagi keterbukaan pemerintah. Perspektif
zero-sum game rupanya masih melingkupi mindset pemerintah daerah, sehingga partisipasi,
keterbukaan, dan keterlibatan masyarakat masih diterima sebagai penghambat, misalnya,
bagi efisiensi proses penganggaran dan pengambilan keputusan maupun rival kebijakan. Dari
sini, dapat ditarik pelajaran penting, sekaligus tantangan bagi kita, yaitu, bagaimana
memperkuat perspektif semua pihak bahwa partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam
proses penganggaran pada khususnya, dan pembangunan pada umumnya, justru memberikan
insentif: mengarahkan keputusan kebijakan pembangunan dan penganggaran untuk
dapat menjawab persoalan masyarakat. Makalah ini fokus pada pola partisipasi masyarakat,
cakupannya, hambatannya, dan beberapa tawaran alternatif untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam penganggaran, sekaligus juga bagaimana meyakinkan berbagai bahwa

partisipasi dapat memberikan insentif bagi kebijakan penganggaran dan pembangunan.

Keywords: Transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan pro poor budgeting.
Konteks Yang Mengharuskan
Mengapa berpartisipasi dalam proses penganggaran penting?
Pertama, kebutuhan untuk menjawab peroblem tingginya tingkat kemiskinan dan
banyaknya kelompok masyarakat yang sebelumnya termarjinalkan dari “kue” anggaran
publik. Tingkat kemiskinan masih tinggi seiring dengan seringnya goncangan yang diderita
warga karena kenaikan BBM, sementara skema jaminan sosial sebagai “peredam kejut” belum
terlembaga dan merata ke semua lapisan masyarakat. Anggaran pro orang miskin penting
untuk pembangunan kesejahteraan.

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

Kedua, di tengah keterbatasan anggaran, selama ini belanja anggaran daerah masih
belum diprioritaskan untuk menjawab kebutuhan masyarakat (miskin) dan belum secara
maksimal ditujukan untuk peningkatan kualitas dan daya cakup pelayanan publik ke semua
lapisan masyarakat, terutama yang sebelumnya termarjinalkan. Cara pandang terhadap APBD
bersifat residual. Yang terjadi, pemerintah daerah di banyak tempat justru mengutamakan

belanja tidak langsung (birokrasi dan elit sebagai beneficiary) dan sisanya (residu) baru untuk
pembangunan dan pelayanan bagi masyarakat. Banyak daerah belum memenuhi
mengalokasikan secara cukup untuk sektor yang berhubungan dengan hak-hak dasar
warganya seperti pendidikan, kesehatan, dan sektor lain yang terkait dengan jaminan
kesejahteraan.
Ketiga, kuatnya kecenderungan birokrasi untuk memaksimalkan alokasi anggaran untuk
dirinya sendiri. Lay (2005: 27) merujuk Dunlvey (1991), menyebut istilah “bureu-shaping”
yakni kecenderungan bahwa birokrat berupaya memaksimalkan alokasi anggaran untuk
organisasinya sendiri. Para birokrat terlibat aktif dalam perebutan anggaran—yang
memunculkan fenomena “egoisme sektoral”—tetapi alpa terhadap kebutuhan publik
kebanyakan. Kecenderungan ini berdampak, antara lain, disintegrasi program internal
pemerintah di mana satu dinas saling overlapping, atau jika pun berbeda tidak signifikan.
Seorang birokrat di Kebumen pernah berujar, suatu dinas mendapatkan alokasi angaran
bukan karena programnya sesuai kebutuhan, melainkan hanya karena dinas tersebut terlanjur
dibentuk dan “birokratnya membutuhkan proyek”. Bahkan, guna menambah porsi alokasi
untuk organisasi dan personilnya, birokrasi tak segan menggunting belanja tidak langsung
(untuk pembangunan dan pelayanan publik) sebagai honorarium.
Jika diringkas, berpartisipasi dalam penganggaran sedemikian penting dilakukan karena
adanya pemandangan paradoksal di atas: di satu sisi ada kebutuhan mendesak
penanggulangan kemiskinan dan anggaran terbatas, namun di sisi lain birokrasi menempatkan

alokasi anggaran untuk publik secara residual dan cenderung memaksimalkan anggaran publik
untuk dirinya sendiri. Resources dan needs tidak bertemu.
Dorongan lain bagi partisipasi anggaran juga muncul dari konteks politik. Pertama,
kebijakan desentralisasi. Sejak lama desentralisasi digadang-gadang baik oleh donor maupun
teoretisi sebagai panacea bagi keburukan sentralisasi: (i) mendekatkan pelayanan publik lebih
dekat ke masyarakat sebab birokrat di level lokal lebih mengenal budaya dan kebutuhan
warga; (ii) memupus jarak politik sebab proses kebijakan menjadi sedemikian dekat sehingga
mudah diakses dan dipengaruhi publik. Jika relasi warga negara dengan legislatif dan
eksekutif (representative institutions) dalam sentralisasi dikritik terlalu jauh, maka
desentralisasi menjanjikan sebaliknya.
Kedua, konteks decentralized governance. Desentralisasi juga membawa konsekuensi
berupa perubahan model tata kelola (governance) yang semakin memungkinkan institusi non
negara berinetraksi dengan institusi negara (Pierre & Peters, 2000: 88). Pendekatan lama
yang tertutup dengan hanya pemerintah sebagai aktor dominan, dinilai oleh aktor-aktor di
luar negara (masyarakat sipil dan sektor swasta) menjadi biang malapraktik administrasi,
kebijakan yang tidak aspiratif, serta sistem yang rentan dibajak oleh rent seekers atau aparat
penjual rente. Titik beratnya pada bagaimana negara bisa secara luas menjalankan peran
pengaturan dan fasilitasi terhadap aktor-aktor penting lain di masyarakat. Karena itu, filosofi
dasar dari governance mencakup nilai kesetaraan, kooperasi, akomodasi, toleransi, serta
pembentukan konsensus di antara sektor negara, privat dan masyarakat sipil (UNDP, 1997).

Konteks desentralisasi maupun governance mengisyaratkan bahwa tata kelola pemerintahan
bukan semata proses penggunaan otoritas negara terhadap rakyat tapi juga penggunaan hakhak rakyat di hadapan negara (Santoso, 2003). Corak relasi diidealkan tidak lagi melulu
menggunakan instrumen kebijakan yang koersif, kendati negara masih menjadi pusat dari
kekuasaan politik. Implikasinya, sharing power tidak hanya di antara level organisasi pada
lembaga negara, melainkan juga memberikan akses voice terhadap societal actors di dlaam
proses kebijakan (Rondinelli & Cheema, 2007: 10-18). Partisipasi, dengan demikian, semakin
tegas sebagai bagian inheren dalam citizenships. Publik tak semata citizen state melainkan
punya atribut citizenships—a concept that describes an individual and his or her relationship
(rights and obligations) to the state. Adanya hak-hak politik warga negara ditujukan untuk

113

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

melindungi dan mempromosikan kemampuan rakyat untuk mempengaruhi kebijakan,
pengaturan, struktur, dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Dari konteks desentralisasi dan governance di aspek politik, dan penanggulangan
kemiskinan di aras ekonomi dan kesejahteraan, tulisan ini dalam memotret partisipasi warga
dalam proses penganggaran mendudukan partisipasi sebagai hak (rights), yang dioperasikan

dalam kerangka (democratic) co-governance. Co-governance, menurut Gaventa (2006: 15)
yang merujuk Ackerman (2004: 447), merupakan bentuk partisipasi di mana warga terlibat
langsung dengan lembaga negara (eksekutif dan legislatif) di dalam proses dan penentuan
substansi kebijakan. Inovasi co-governance ini menurut Stoker (2006: 187), merujuk best
pracitces Participatory Budgeting di Porto Alegre, Brazil, “not one-off opportunities to engage
citizens but on-going ooportunities to take apart in decicion making”. Namun dengan
prosesnya yang panjang mengikuti alur penganggaran daerah, demikian Stoker (2006: 188189) model partisipasi dalam co-gocernance ini membutuhkan komitmen baik dari warga
maupun pemegang otoritas publik. Negara dibutuhkan komitmennya untuk memfasilitasi
partisipasi warga baik dalam hal menyadarkan benefits partisipasi kendati time consuming;
komitmen keterbukaan untuk memberikan dokumen anggaran; hingga komitmen untuk duduk
bersama warga mengingat proses penganggaran bersifat sangat politis dan teknokratis.
Makalah ini akan mengupas praktik partisipasi oleh kelompok masyarakat sipil di Bantul
dan Kebumen. Sebelumnya, ada beberapa hal penting kenapa kami mengangkat dua daerah
ini sebagai studi kasus. Pertama, kedua daerah tersebut selama ini dikenal sebagai salah satu
“pelari cepat” dalam governnace reforms, setidaknya sebagaimana yang dikampanyekan oleh
media massa. Bantul dan Kebumen termausk dua dari 14 kabupaten di Indoesia yang terpilih
menjalankan Program “Initiative for Local Governance Reform” Bank Dunia (Program Prakarsa
Pembaharuan Tata Pemerintahan Daerah atau P2TPD) pada tahun 2002. Ringkasnya, daerah
mendapat tawaran skema investasi tapi dengan syarat harus membuat regulasi yang
menjamin partisipasi dan transparansi. Gagasan program P2TPD adalah mereformasi

pemerintah lokal agar memiliki tata kelola pemerintahan yang akuntabel dengan memfasilitasi
partisipasi warga di dalam proses kebijakan publik. Hasilnya, di Kebumen lahir PERDA No 53
Tahun 2004 Tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Kebijakan Publik dan di Bantul
lahir Perda PERDA No 7 Tahun 2005 tentang Transparansi dan Partisipasi Publik.
Kedua, di kedua Kabupaten itu telah terbentuk dua kelompok masyarakat sipil (KMS).
Yakni Rembug Warga Peduli Anggaran (REWANG-Bantul) dan Gabungan Masyarakat Sipil
1
(GAMPIL-Kebumen). Selama 21 bulan sejak 2006-2008, dengan didampingi Institute for
Research and Empowerment sebagai NGO Technical Asistance, dua KMS yang merupakan
jaringan NGO, CBO, ormas, organisasi mahasiswa, kelompok masyarakat sektoral, dan
sejumlah warga desa (spatial based) tersebut, aktif mengorganisir diri dan membangun
kapasitas, untuk kemudian terlibat aktif dalam proses perencanaan, penganggaran, hingga
tracking belanja daerah dan evaluasi pelayanan publik (survey). Tentu saja, untuk
kepentingan makalah ini, kami hanya akan mencuplik praktik partisipasi dalam prosesi
penganggaran.
Dengan asumsi telah terjadi reformasi di aras state, seiring lahirnya jaminan partisipasi
dan transparansi dari dua perda tersebut, menjadi menarik memotret praktik berikut dinamika
dari parisipasi kedua KMS di dua kabupaten tersebut. Tulisan ini dimulai dengan membahas
penganggaran dari kerangka normatif dan praksis, guna mengidentifikasi masalah bawaan di
dalam penganggaran di Bantul dan Kebumen. Sebagai respon terhadap problem yang ada,

bagian kedua membahas praktik partisipasi KMS REWANG dan GAMPIL berkit capaiannya.
Hambatan dan tantangan partitipasi warga tersebut—terutama resistensi stakeholder
pemerintah dan lemahnya jaminan regulasi—kami paparkan di bagian ketiga. Terkahir,
beranjak dari dampak positif dan masih adanya tantangan partisipasi, kami mengajukan
sejumlah gagasan sebagai alternatif solusi.

1

Kini REWANG beranggotakan 10 organisasi antara lain BKM Mitra Mandiri, KODAMA, Radio Swarakota, KIPP, LSKP,
APIKRI, Yayasan Projotamasari, Geenhill, JAMBUL, dan PALUMA. Sedangkan GAMPIL kini beranggotakan LSM Tanah Air,
IPNU, IPPNU, SMAPI, PMII, PPB, FPPKS, BKM P2KP, For B, LSM Brain.

114

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

I. Kondisi Existing Penganggaran di Dua Daerah
Tahapan
Secara normatif, tahapan penganggaran dimulai dari perumusan rancangan KUA-PPAS

2
yang disusun oleh Kepala Daerah dan dibantu Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).
KUA-PPAS ini kemudian dibahas di Panitia Anggaran Legislatif. Tahap berikutnya adalah
pembahasan anggaran oleh Panggar DPRD.
Dalam praktiknya, fase-fase penganggaran itu memiliki kelemahan bawaan sejak dari
aspek regulasinya. Regulasi yang ada membuat relasi antar masyarakat, legislatif, dan
eksekutif timpang di mana yang aktor terakhir memegang peran dominan. Dalam konteks
relasi eksekutif-legislatif, Permendagri 59/2007 yang sebenarnya merevisi Permendagri No
13/2006, masih mempersempit ruang gerak anggota DPRD lantaran otoritas pembahasan
anggaran hanya dimiliki Panggar DPRD. Komisi-komisi di tak punya kesempatan membahas
rancangan RKA SKPD. Alhasil, fungsi dan hak anggaran DPRD jadi lemah. Padahal, jika tak
terlibat, komisi sulit melakukan kontrol terutama perihal konsistensi APBD dengan KUA PPA.3

Aktor
Bupati

TAPD

Kepala
SKPD

Panggar
DPRD
Fraksi di
DPRD
KomisiKomisi di
DPRD
Masyarakat
Sipil

Peran Aktor Dalam Pembahasan APBD
Peran dalam pembahasan APBD
 Menyusun rancangan KUA dan PPAS berdasarkan
RKPD dan pedoman penyusunan APBD dan diajukan
ke DPRD paling lambat pertengahan bulan Juni.
 Membuat rancangan Perda dan menyampaikan
kepada DPRD paling lambat minggu pertama bulan
Oktober.
 Membantu kepala daerah menyusun rancangan KUA
dan PPAS yang diajukan kepada kepala daerah paling
lambat minggu pertama bulan Juni.

 Menyiapkan rancangan surat edaran kepala daerah
tentang pedoman penyusunan RKA-SKPD yang
diterbitkan paling lambat awal bulan Agustus.
 Melakukan pembahasan RKA-SKPD.
Menyusun RKA-SKPD dan RKA-PPKD.
Melakukan pembahasan terhadap rancangan KUA dan PPAS
yang diajukan oleh TAPD.
Tidak terdapat peran fraksi secara khusus dalam
pembahasan anggaran, dan ini tergantung dari tatib DPRD.
Tidak terdapat peran komisi secara khusus dalam
pembahasan anggaran dan ini tergantung pada tatib DPRD.
Masyarakat terlibat dari proses penyusunan dan penetapan
APBD (di tingkat eksekutif dan legislatif).

Sumber : Diolah dari pelaksanaan PBET di Bantul dan Kebumen.
Peran politik DPRD yang tereduksi ini berpotensi semakin menjauhkan peluang warga
dalam keterlibatannya menentukan kebijakan alokasi anggaran, sebab warga umumnya lebih
mudah menyampaikan keluhannya ketimbang ke eksekutif. Persoalan transparansi pun setali
tiga uang, pengaturannya juga masih belum mantab. Permendagri No 59/2007 Pasal 116 Ayat
(4a)
menyatakan,
"Untuk
memenuhi
asas
transparansi,
kepala
daerah
wajib
menginformasikan substansi Perda APBD kepada masyarakat yang telah diundangkan dalam
2
3

KUA adalah Kebijakan Umum Anggaran. Sedangkan PPAS adalah Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara. Otoritas yang
menyusunnya, diatur dalam Pasal 83 dan 84 Permendagri 59 Tahun 2007
Argumen ini dinyatakan Yuna Farhan, aktivis Jaringan Kerja Advokasi Anggaran Indonesia (Jangkar), FITRA. “Permendagri
59/2007 Pangkas Peran DPRD”, www.inilah.com, berita tanggal 19 Februari 2008.

115

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

lembaran daerah." Karena tak secara eksplisit menyatakan dokumen apa yang harus
diinformasikan, pasal ini berpotensi tidak mampu menjamin warga, untuk mengakses
dokumen tertentu yang justeru merupakan kunci dalam mempraktikkan penganggaran yang
4
baik. Persepsi antara pemerintah daerah dan masyarakat bisa berbeda terhadap pasal
tersebut. Bagi pemerintah daerah, pengumuman ringkasan APBD bisa saja dianggap telah
memenuhi amanat Permendagri tersebut. Dokumen kunci seperti RKA dan DPA SKPD yang
sangat informatif, malah tidak diperlihatkan atau tidak bisa diakses oleh publik. Permendagri
ini juga tidak secara khusus mengatur peluang partisipasi warga—mengabaikan UU No. 10
Tahun 2004.
Di tengah kelemahan legal framework penganggaran ini, nature penganggaran yang
bersifat politis semakin tak terkontrol. Seperti halnya di daerah lain, pembahasan RAPBD di
Bantul dan Kebumen menjadi arena transaksi politik antara eksekutif dengan legislatif. Trik
mengulur prosesi tahapan penganggaran adalah salah satu upaya bargaining politik yang acap
terjadi. Sejatinya, Permendagri No 59/2007 mengamanatkan bahwa rancangan KUA-PPAS
dirumuskan dengan berpedoman pada RKPD. Periode waktu untuk merancang dan membahas
dokumen ini telah diatur dengan ketat. Menurut permendagri ini, rancangan KUA PPAS
diserahkan TAPD ke DPRD pada medio Juni untuk dibahas smapai akhir Juli. Selain
memberikan jadwal perancangan dan pembahasan RKA SKPD, waktu pembahasan RAPBD
juga mendapat porsi waktu yang cukup panjang. Dimulai di minggu pertama Oktober hingga
proses penetapan APBD pada 31 Desember. Dari sini tampak, Permendagri No 59/2007 telah
sedemikian rupa mengatur waktu agar Panggar DPRD bisa menjaring aspirasi masyarakat.
Tapi faktanya, eksekutif sengaja mengulur waktu agar DPRD tak punya cukup waktu dalam
mebahas dokumen penganggaran baik KUA maupun RAPBD.
Hal ini, sebagai contoh, bisa kita lihat dari proses penganggaran di Bantul. Ketika DPRD
meminta Eksekutif lebih cepat membuat draf, respon yang muncul justru tidak tepat.
Eksekutif bekerja super kilat hingga masyarakat tak punya cukup waktu menelisik dan
memberi input dokumen RAPBD. Parahnya, kendati sepi partisipasi, Sekda Bantul Drs. Gendut
Sudarto, MMA di banyak kesempatan malah membanggakan Bantul sebagai salah satu daerah
tercepat yang menyelesaikan pembahasan APBD. Lain Bantul, lain Kebumen. Panggar DPRD di
Kabupaten Kebumen kadang sengaja mengulur waktu agar lebih leluasa menyerap aspirasi
dari lebih banyak masyarakat. Pernah dalam suatu sidang pleno DPRD, Bupati Rustriningsih
merasa kecewa terhadap jumlah kehadiran anggota dewan dalam sidang pleno pembahasan
5
APBD. Praktik transaksi seperti ini—kendati merupakan nature dari politik—bisa membuat
frustasi dan distrust masyarakat kepada proses dan institusi. Karena itu, baik Rewang maupun
Gampil mengupayakan untuk lebih memaksimalkan peran warga di dalam proses
yangdidominasi elit di dua lembaga tersebut.
Jika DPRD saja sulit mengontrol, posisi masyarakat lebih tidak menguntungkan lagi.
Dalam penyusunan KUA-PPAS, TAPD boleh dikata menutup rapat pintu partisipasi. Angin segar
sedikit masuk ketika DPRD membahas KUA. Walapun kerangka regulasi yang ada tidak tegas
mengatur, DPRD terkadang membuka ruang keterlibatan. Dan ketika ruang partisipasi
dibukan, tanpa membuang peluang masyarakat kerap hadir dan memberi input. Ruang
partisipasi lebih lebar lagi ketika penganggaran memasuki pembahasan RAPBD di DPRD.
Idealnya, sesuai UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, ada jaminan partisipasi masyarakat dalam pembuatan seperti Peraturan Daerah
(Perda) tentang APBD.
Bicara soal ruang partisipasi, di dalam Permendagri No. 30 Tahun 2007 tentang Pedoman
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2008 sebenarnya
juga sudah diatur jelas bahwa penyusunan APBD mensyaratkan 6 prinsip yakni: partisipasi
masyarakat, transparansi dan akuntabilitas anggaran, disiplin anggaran, keadilan anggaran,
efisiensi dan efektivitas anggaran, serta taat azas. Selain itu, seperti telah disebut di atas, UU
No. 10 Tahun 2004 yakni Pasal 53 sudah menjamin keterlibatan masyarakat dalam
4
5

Nurhidayat, ”Mencermati Permendagri 59/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah”, Jawa Pos, November 17,
2007.
Suara Merdeka, 29 Januari 2007.

116

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

pembahasan Perda. Bagian penjelasan UU ini memberikan kesempatan kepada tata tertib
DPRD untuk memberikan hak bagi masyarakat untuk terlibat dalam pembahasan Perda.
Termasuk, tentu saja, Raperda APBD.
Praktiknya, peluang dalam regulasi nasional tersebut nyaris tak ditindaklanjuti. Malahan,
banyak daerah justru lebih taat—terlalu patuh dan bahkan tergantung—kepada peraturan
teknis dari suatu kementerian. Kesannya, pemda lebih memperhatikan tuntutan yang bersifat
administratif-akuntasi (upward oriented) yang menentukan absah tidaknya rancangan
dokumen anggaran daripada mematuhi amanat memfasilitasi partisipasi.
II. Praktik Partisipasi Penganggaran oleh REWANG dan Bantul
Menempa Kapasitas
Selain bersifat politis, nature dari penganggaran adalah teknokratis. Pihak DPRD maupun
Pemerintah kerap meragukan: “apakah LSM mampu? Apakah warga mampu membuat
menelaah APBD?” Bukan saja mengedepankan tuntutan, masyarakat juga perlu
mengedepankan kapasitas teknokratis agar mampu berpartisipasi secara substansial.
Ringkasnya, partisipasi GAMPIL dan REWANG sebagai advokasi atas hak-hak masyarakat
dalam APBD adalah kerja politik sekaligus kerja teknokratik. REWANG dan GAMPIL berupaya
terlibat dan mempengaruhi tiap tahapan penganggaran dengan membawa substasi kebijakan
(Court et al, 2007). Ini penting, sebab partisipasi dalam pendekatan co-governance berada
dalam konteks “prtisipasi yang diundang” atau invited space dalam istilah Cornwall & Coelho
(2005) seperti konsultasi maupun hearing yang resmi disediakan oleh DPRD yang kerap masih
butuh diperdalam agar hasilnya maksimal.
Untuk itu, langkah pertama yang dilakukan GAMPIL dan REWANG adalah memperkuat
kapasitas. Melalui serangkaian workshop dan training, para pegiat GAMPIL dan REWANG mencharging kesadaran perihal posisi, peran warga, dalam kaitannya dengan hak-haknya
terhadap APBD. Kesadaran ini penting sebagai bagian dari upaya ideologisasi terhadap konsep
hubungan negara dan masyarakat warga. Masyarakat umum masih beranggapan bahwa
anggaran negara adalah milik negara. Setelah kesadaran dimiliki, warga membutuhkan
keterampilan untuk membaca dan menganalisis dokumen anggaran. Bagi orang kebanyakan,
membaca dokumen anggaran bisa menjadi pekerjaan yang sangat menyiksa: ukuran
kertasnya besar, halamannya tebal, lengkap dengan angka dan rumus matematis. Terlalu
sering dokumen anggaran tidak menyediakan, bahkan, sedikit tabel ringkasan, penjelasan
konteks historis, atau panduan sederhana yang mudah membantu orang awam memahaminya
(Fundar, IBP, IHRIP, 2004). 6
Kedua, setelah menempa kapasitas, GAMPIL dan REWANG membangun basis data
sebagai substansi partisipasi (evidence based). Analisis anggaran bukan semata untuk
mengenali apa yang telah dan sedang dilakukan pemerintah, tetapi menjangkau pula pilihanpilihan prioritas yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat. Karena itu, analisis anggaran
memerlukan dasar semangat pro poor, pro gender, serta prinsip kepatutan, efisiensi, dan
efektivitas. Dalam skema pro poor budgeting, misalnya, warga dilatih untuk bisa mengetahui
komponen sumber pendapatan dan alokasi belanja guna menilai keberpihakan APBD kepada
kaum miskin. Sumber pendapatan yang mengandalkan pemasukan dari masyarakat (pajak
rakyat, retribusi usaha kecil, retribusi RSUD, dan lain-lain), misalnya, tidak masuk kategori
pro poor. Namun jika alokasi belanja diarahkan untuk menjawab kebutuhan dasar warga
miskin melalui pelayanan dasar (infrastruktur, lingkungan, perumahan, air bersih, pendidikan
dan kesehatan) dan
memberi kesempatan (akses) bagi mereka untuk meningkatkan
produksi, maka APBD tersebut bisa disebut pro poor. Prinsip lain untuk memeriksa dokumen
anggaran adalah transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Prinsip-prinsip tersebut
dipergunakan untuk menilai proses penganggaran sejak pembahasan KUA PPAS, RKA SKPD,
sampai penetapan APBD. Terhadap pendekatan anggaran pemda yang berbasis kinerja
(performance based budget), warga dilatih menganalisis anggaran dengan menggunakan
indikator yang merefleksikan kinerja setiap program dan kegiatan.
Terlibat Pembahasan KUA
6

Fundar, IBP,IHRIP, Dignity Counts: A Guide to Using Budget Analysis to Advance Human Rights, 2004.

117

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

Penyusunan KUA-PPAS merupakan tahapan awal penganggaran di mana GAMPIL dan
REWANG terlibat. Salah satu pengalaman REWANG adalah pembahasan KU APBD 2007. Ketika
REWANG mengajukan diri untuk berpartisipasi. Panitia Khusus (Pansus) KUA DPRD Bantul pun
mengundang REWANG. Dibentuknya Pansu KUA ini oleh DPRD merupakan suatu terobosan
dalam menyerap aspirasi warga. Tahun-tahun sebelumnya Pansus semacam ini belum pernah
dibentuk. REWANG kala itu mengusung isu pemenuhan hak dasar yakni pelayanan pendidikan
dan kesehatan gratis Di sektor pendidikan, rancangan KUA yang diajukan TAPD hanya
memberi porsi alokasi anggaran sebesar 16 persen, di bawah amanat konstitusi sebesar 20
persen. Rewang pun mengusulkan agar porsinya dinaikkan. Ketua Pansus, Agus Effendi,
menerima usulan Rewang dan membawanya ke rapat Panggar DPRD. Hasil akhirnya,
dokumen KUA yang definitif menaruh angka 18 persen untuk sektor pendidikan atau naik
sebesar 2 persen. Kecil namun berarti.
Sedangkan di Kabupaten Kebumen, pembahasan KU APBD 2007 berlangsung tertutup,
hanya melibatkan TAPD dan Panggar DPRD. GAMPIL meminta agar pembahasan KUA dibuka
untuk publik tapi tidak mendapat respon berarti. GAMPIL tetap mendekati DPRD dan
mengampanyekan partisipasi masyarakat. Usaha terus menerus ini akhirnya ditanggapi DPRD.
Panggar DPRD Kebumen membahas KU APBD 2008 dengan mengundang elemen masyarakat.
Satu diantaranya adalah GAMPIL.
Kendati ruang partisipasi dalam pembahasan KU APBD 2008 di dua daerah tersebut sudah
dibuka, sayangnya belum ada kemauan baik dari legislatif untuk melembagakannya. Sehingga
di tahun mendatang, kiranya masyarakat harus tetap mendesak legislatif untuk membuka
ruang serupa.
Menganalisis RAPBD dan Menyusun Naskah Sanding APBD
Di Tahun 2007 GAMPIL terlibat dalam pembahasan RAPBD. Salah satu item yang GAMPIL
soroti adalah ”Penataan lingkungan alun-alun kota Kebumen” yang menelan anggaran Rp. 2
milyar. Ternyata, dari informasi yang didapat GAMPIL, program dan alokasi anggaran ini telah
mengantongi persetujuan politik dari DPRD. Melihat kondisi sebagian besar masyarakat yang
masih tergolong miskin, GAMPIL tak sepakat dengan program ini. Gampil menyimpulkan
Pemda belum menyusun alokasi anggaran yang pro poor untuk sektor infrastruktur mengingat
masih ada wilayah Kebumen yang masih minim infrastrukturnya. Secara umum GAMPIL
menilai alokasi anggaran infrastruktur lebih banyak diarahkan untukwilayah perkotaan
dibanding pedesaan. Namun dalam diskusi dengan DPRD Kebumen maupun eksekutif, kritisasi
tesebut hanya mendapat janji akan ditinjau ulang.
Langkah selanjutnya, dari serangkaian analisis terhadap sejumlah sektor, GAMPIL
menyusun naskah sanding atas RAPBD 2007. Naskah sanding yang disusun meliputi
konsistensi antar dokumen perencanaan, kepatutan, dan perbandingan antar komponen
belanja, serta penafsiran terhadap potensi pemborosan. Naskah sanding disusun secara
sistematis ke dalam format performance budgeting, dengan struktur dan komponen yang
sama dengan rancangan dokumen RAPBD 2007. Langkah penting yang dikedepankan GAMPIL
dalam analisisnya antara lain, pertama, membuat asumsi efisiensi dan efektivitas anggaran.
Tujuan dari asumsi ini adalah supaya bisa melihat sejauh mana tingkat efisiensi anggaran
telah terpenuhi. Melakukan efisiensi bisa dilakukan dengan asumsi mengurangi pos-pos
anggaran honor dalam proyek (misalnya, memotong honor pegawai sebesar 5 persen). Kedua,
mengurangi pos-pos anggaran yang doble account. Ketiga, membandingkan harga barang dan
jasa yang ada dalam SHBJ dengan anggaran yang ada di pasar umum yang normal.
Praktik menganalisis APBD juga dilaksanakan REWANG. Fokus analisis REWANG yakni
aspek inefisiensi anggaran, konsistensi, dan alokasi dari sisi penerima manfaat. Fokus yang
hanya pada sisi penerima manfaat sja disebabkan data RKA yang sulit diakses. Dan tidak
semua anggaran SKPD bisa dibedah. Tercatat hanya dinas Pertanian, Kesehatan, Pendidikan,
Disperindagkop dan Disparbud. Analisis dilakukan pada belanja langsung yang terdapat di unit
organisasi tertentu dengan memilahnya dalam 3 kategori: (1) fungsional pemenuhan hak
secara tidak langsung) yang merupakan pengeluaran rutin bagi SKPD; (2) fungsional
(Pemenuhan hak secara tidak langsung) untuk pelayanan publik yang sifatnya fisik namun

118

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

penerima manfaat terbesar adalah SKPD; (3) Substansi pemenuhan hak untuk pelayanan
publik yang sifatnya non fisik dan penerima manfaat yang terbesar adalah masyarakat.
Dari praktik analisis yang dilakukan, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dana yang
dialokasikan langsung ke masyarakat masih sangat kecil. Sayangnya, belanja langsung yang
kecil tersebut masih juga mengalir ke birokrasi dalam bentuk belanja dan honor pegawai.
Ketika hasil analisis disampaikan ke TAPD, respon yang muncul cukup menyakitkan.
Sekda Bantul, Gendut Sudharto, meragukan hasil analisis Rewang. Sekda mengatakan bahwa
menganalisis anggaran itu sangat sulit. Aturannya juga rumit. Ini menununjukkan pejabat ini
tidak berusaha mengapresiasi apa yang telah dilakukan masyarakat. Sikap arogan dan
cenderung paranoid atas gerakan masyarakat sipil sangat berkebalikan dengan jargon yang
selama ini dikumandangkan oleh pemerintah Kabupaten Bantul.
Capaian
Dihadapkan pada berbagai tantangan, sejauh ini partisipasi REWANG dan GAMPIL
memperoleh sejumlah capaian positif. Tentu saja, capaian ini memang masih sangat terbatas.
Pertama, dari segi awareness. Masyarakat kini menjadi lebih percaya diri dan memahami
bahwa proses penganggaran bukanlah domain pemerintah. Warga menjadi tahu bahwa,
secara hukum, sebenarnya regulasi menjamin partisipasi, kendati terjadi inkonsistensi antara
peraturan teknis dengan peraturan perundangan.
Kedua, semakin meningkatnya angka melek anggaran (budget liteacy) di masyarakat.
Tentu saja, pengetahuan ini masih sangat dasar. Dan ke depan, sudah barang tentu birokrasi
akan semakin lebih unggul lagi pengetahuannya terkait dengan perubahan regulasi—di mana
birokrasi menjadi pihak yang pertama mengetahui dan memahami. Menjadi tantangan bagi
warga yang aktif di dua KMS tersebut untuk terus meningkatkan kapasitasnya.
Ketiga, dari segi output, terdapat perubahan kebijakan kendati itu sangat kecil. Pesan
pentingnya, bagi warga, keterlibatan memberi dampak, dan keterlibatan dengan ketrampilan
yang lebih baik akan berdampak lebih banyak (participations makes a difference). Bahwa ada
benefits langsung kendati proses partisipasi model co-governance ini menyita waktu dan
tenaga.
III. Hambatan dan Tantangan Partisipasi Penganggaran
Pertama, legal framework partisipasi, transparansi, dan akses dokumen. Dari regulasi
yang ada, misalnya Permendagri 59, tidak jelas mengatur partisipasi warga. Bahkan, di perda
partisipasi masing-masing daerah, juga tidak secara ekplisit mengamanatkan hak warga untuk
mengakses dokumen inti anggaran. Sebaliknya, kedua perda itu justru “menjamin”
pemerintah daerah untuk mengeksklusi informasi penting yang dibutuhkan warga. Misalnya,
pemda hanya diwajibkan mempublikasikan ringkasan APBD. Tak mengherankan, ketika
REWANG dan GAMPIL meminta dokumen pelaksanaan anggaran, pemda kerap berdalih bahwa
dokumen tersebut adalah rahasia negara. REWANG dan GAMPIL REWANG sulit mengakses
draf dokumen sebab dua perda tersebut menyatakan bahwa draf yang belum disahkan bukan
termasuk dokumen publik. Padahal, semangat partisipasi yang diusung dua kelompon
masyarakat sipil adalah engaged di tiap tahapan di sepanjang proses penganggaran. REWANG
dan GAMPIL memang menemukan sejumlah aktor strategis yang sebenarnya memahami misi
dan manfaat partisipasi. Dan memang, orang-orang ini kerap memberikan dokumen yang jika
diakses secara formal surat-menyurat tidak mungkin didapatkan. Hanya saja, relasi yang
sifatnya personal ini tidak bermanfaat bagi reformasi sistemik. Dan jika person tersebut di
mutasi, maka hilanglah kesempatan mengakses dokumen-dokumen inti tersebut.
Kedua, mindset yang keliru mengenai peran DPRD dan eksekutif sebagai institusi
representatif. Seolah, eksekutif dan legislatif mengklaim: “sekali memilih, maka minggir dan
serahkan semuanya kepada kami”. Pandangan ini tampak, betapa Eksekutif dan Legislatif
(terutama parpol pendukung Bupati) kerap mengatakan bahwa urusan anggaran dan
penganggaran merupakan domain internal TAPD Eksekutif dan Panggar DPRD. Hal ini
sebenarnya keliru, sebab logika perwakilan adalah untuk memperjuangkan kepentingan yang
diwakili (Stoker, ). Dengan logika tersebut, yang seharusnya terjadi, menurut Stoker (2006),
adalah proses pertukaran ide, gagasan, dan saling berkomunikasi secara terus menerus

119

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

antara kedua pihak. Mindset ini yang membuat partisipasi dengan mudah diabaikan oleh
pemegang otoritas.
Ketiga, pemahaman yang keliru mengenai partisipasi. Para pegiat partisipasi anggaran
memiliki misi untuk membuat kinerja pemerintah lebih terarah, mencapai sasaran persoalan,
dan terutama meningkatkan kualitas hidup warga yang selama ini gagal dijangkau oleh APBD.
Bisa jadi ini merupakan warisan konteks adversarial era otoritarian di mana masyarakat sipil
memilih jalan konfrontasi terhadap negara. Pemahaman bahwa partisipasi memberi insentif
berupa meningkatnya efektivitas alokasi anggaran dan meningkatnya legitimasi pemerintah
dan legislatif di mata warga belum ada atau masih snagat minim.
Keempat, komitmen kepemimpinan. Di banyak kasus di Amerika Latin (Cheema, 2007)
kepemimpinan menunjukkan peran sentral dalam inovasi tata kelola pemerintahan. Seminar
IRE-Partnership 2007 juga menunjukkan bahwa inisiatif terobosan pelayanan publik di
Banjarnegara, Kutai Timur, Boalemo juga dimotori oleh sosok para bupati yang visioner. Di
dua daerah tersebut, upaya pendekatan terhadap dua kepala daerah, Idham Samawi (Bantul)
dan Rustriningsih (Kebumen) tak membawa perubahan di aras birokrasi. Dilihat dari substansi
dan masih belum partisipatifnya proses dan mekanisme penganggaran, tampak bahwa
berbagai kebijakan populis di kedua kabupaten tersebut tidak memiliki roadmap dan skema
besar yang terarah.
IV. Kesimpulan
Pendekatan partisipasi yang tidak konfrontatif namun “menempel” dan terlibat
langsung untuk memberi input guna mempengaruhi keputusan dalam proses penganggaran,
sebagaimana disinggung sebelumnya, menunjukkan sejumlah capaian positif. Awareness,
budget literacy, dan output perubahan kendati lebih bermakna bahwa “participation makes a
difference”. Pendekatan co-governance menunjukkan menjadi alternatif di tengah pesimisme
masyarakat terhadap perencanaan dan penganggaran daerah yang selama ini cenderung
formalitas, di mana warga hanya diundang, disuruh usul, tanpa memberi ruang untuk
mengawal dan memperjuangkan usulannya tersebut. Namun di sisi lain, pemerintah di dua
daerah yang sudah memiliki perda partisipasi tersebut tampak enggan dan resisten terhadap
partisipasi masyarakat. Di sepanjang proses penganggaran, kuatnya kepentingan politik
menghambat peluang kolaborasi.
Penulis sangat tidak sepakat ketika pemerintah menolak substansi warga dengan alasan
tidak berkualitas. Sepakat dengan pendapat Stoker (2006), warga adalah para “amatir” dalam
anggaran dan penganggaran. Amatir di sini tidak berkonotasi dengan seseorang yang
samasekali tidak paham apapun atau tak pernah mengikuti training atau jenis peningkatan
kapasitas yang lain. Amatir berimplikasi bahwa warga terlibat dalam proses penganggaran
karena tertarik, terpanggil, secara sukarela, tidak digaji, dan semata memperjuangkan hak
mereka (Stoker, 2006: 150). Menurut kami, pemda hendaknya memandang warga dalam
kerangka ini. Kebanyakan dari mereka, selain para aktivis, adalah warga kebanyakan yang
tidak setiap hari bergelut dengan urusan anggaran. Meskipun anggota REWANG dan GAMPIL
tak sepenuhnya masuk dalam kelompok amatir ini, sebab banyak anggota yang berprofesi
aktivis dan dosen (profesional di bidang politik). Warga umumnya memilih konsentrasi sesuai
dengan bidang hidupnya, misalnya petani memilih membahas isu pertanian dan turut hearing
ke dinas pertanian; pedagang memilih ke komisi perekonomian di DPRD dan turut berdiskusi
dengan Deperindakop; dan seterusnya.
Dari sana, ada poin yang kami tawarkan sebagai alternatif pengembangan partisipasi
penganggaran. Pertama, perlunya perubahan pada desain, struktur, dan dukungan dari sistem
sehingga warga biasa, “amatir” ini bisa terus terfasilitasi membangun ketrampilan dan terlibat
berpartisipasi dalam proses penganggaran. Ide untuk membuat pansus yang khusus
membahas KUA PPAS misalnya, sangat relasistis dan akan banyak memberi manfaat bagi
warga untuk menyampaikan aspirasinya. Kedua, perlunya untuk terus menciptakan dan
melembagakan “democratic arenas” yang telah dibuka oleh masyarakat. Mulanya, arena ini
merupakan ekspansi dari saluran formal yang kaku dan terbatas, semisal hearing maupun
visiting masyarakat ke DPRD maupun dinas pemerintah terkait. Ini penting untuk
melembagakan celah partisipasi yang mungkin mulanya terjadi akibat relasi personal. Dua

120

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

aspek tersebut menurut kami penting dikembangkan, agar benih aprtisipasi yang ditanamkan
oleh GAMPIL dan REWANG bisa terus melembaga.
Tentu saja, Kerja-kerja partisipasi yang terlibat aktif bersama pemerintah dan DPRD—
sebagai elit maupun lembaga—berpotensi memunculkan resiko suordinasi dan kooptasi.
Micropolitics dalam partisipasi, demikian Cornwall dan Coelho (2005: 11) penting untuk
diperhatikan. Sejarah interaksi antara negara dan masyarakat, budaya politik, tingkat
kapasitas dan pengalaman terhadap seluk beluk teknokrasi dan politik penganggaran, serta
konfigurasi politik perlu diobservasi secara teliti agar kiprah masyarakat tak mudah dibajak
untuk kepentingan politik elit atau kelompok tertentu. Implikasinya, hal-hal di atas menuntut
konsolidasi internal kelompok masyarakat yang solid serta upaya capacity building secara
berlanjut.

Bibiliografi
Ackerman, John, “Co-Governance for Accountability: Beyond ‘Exit’ and ‘Voice’”, World
Development, Vol. 32, No. 3, pp. 447–463, 2004.
Cornwall, A and Schattan Coelho, V (eds), Spaces for Change? The politics of Citizen
Participation in New Democratic Arenas, London, Zed Books, 2007.
Court, Julius, et al, Policy Engagement: How Civil Society Can be More Effective, ODI-RAPID,
2007
Fundar, IBP,IHRIP, Dignity Counts: A Guide to Using Budget Analysis to Advance Human
Rights, 2004.
Gaventa, J, ‘Triumph, deficit or contestation? Deepening the “deepening democracy” debate’,
IDS Working Paper 264 (Brighton: Institute of Development Studies, 2006).
Lay, Cornelis, “Negara, Sektor Publik, dan Governance”, dalam Ucuk Martanto dan Hasrul
Hanif (eds) Seri Manajemen Sektor Publik, Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM, 2005.
Stoker, Gerry, Why Politics Matters; Making Democracy Work, London: Palgrave MacMillan,
2007.
Rondinelli, Denis A, Shabir Cheema (eds), Decentralizing Governance: Emerging Concepts,
and Practices, Washington DC: Brookings Institution Press, 2007.
Peters, Guy & Jon Pierre, Governance, State, and Politics, NY: Macmillan, 2000.
Santoso, Purwo, “Pengelolaan Negara, Mekanisme Pasar dan Dinamika Ekosistem: tiga
Medium Interaksi Pemerintahan”, Jurnal TRANSFORMASI, Volume1, No. 1, 2003.
UNDP, Reconceptualising Governance; Discussion paper 2, Management Development and
Governance Divison Bureau for Policy and Programme Support, United Nations
Development Programme (NewYork, 1997).
Zamroni, Sunaji dan Zaenal Anwar, Menabur Benih Di Lahan Tandus (Yogyakarta: IRE Press,
2008).

121