Analisis Model Bisnis Penyelenggaraan Televisi Digital Free-to-Air di Indonesia The Analysis of Business Model for Digital Television Free-to-Air in Indonesia

Analisis Model Bisnis Penyelenggaraan Televisi Digital Free-to-Air di Indonesia The Analysis of Business Model for Digital Television Free-to-Air in Indonesia

Riza Azmi

Puslitbang Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Jl. Medan Merdeka Barat No.9 Jakarta 10110 riza.azmi@kominfo.go.id

Naskah diterima: 10 Oktober 2013; Direvisi: 28 November 2013 Disetujui: 3 Desember 2013

Abstract— Regulation of the Minister of ICT No. 22 of 2010 is act as the legal basis for the implements of digital broadcasting

I. P ENDAHULUAN

free-to-air in Indonesia. The regulation is set about the digital

broadcasting implementation and digital television busniness model. However, due to the Supreme Court Decision Number 38

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor P/HUM/2012, this legal basis for the digital broadcasting 22/PER/M.KOMINFO/11/2012 tentang Penyelenggaraan

implementation is canceled. Relevant to that, this study aims to Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak examine how the feasibility of the business model of digital Berbayar (Free-To-Air) merupakan dasar hukum dalam

television free-to-air in Indonesia. By using qualitative research,

pelaksanaan televisi digital. Peraturan ini dianggap menjadi this study saw that the current digital television business model dasar penylenggaraan siaran digital di Indonesia dikarenakan

is need to explicitly defining the role of infrastructure operator,

mengatur tentang pelaksanaan, model bisnis dan persyaratan advertisers and how to valuate the content. This study also umum perangkat terkait penyelenggaraan penyiaran digital di

proposes a new business model that comprehensively describes Indonesia(Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2012).

the definition and relationship of each element in today's digital TV migration.

Selain itu, peraturan ini merupakan peraturan perundang- undangan yang mengisi kekosongan peraturan

Keywords — digital television, business model, free-to-air

penyelenggaraan penyiaran digital dikarenakan di dalam

Undang-Undang Penyiaran istilah tentang teknologi televisi digital belum ada. Di dalam peraturan Menteri tersebut secara

umum diatur tentang penyelenggara siaran digital yang Abstrak—Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika dibagi menjadi content provider dan multiplexer.

Nomor 22 tahun 2010 merupakan dasar hukum dalam

Dalam penyelenggaraannya televisi digital, hak Lembaga dilaksanakannya penyiaran digital free-to-air di Indonesia. Di Penyiaran, baik content provider maupun multiplexer untuk dalam peraturan menteri tersebut, diatur mengenai pembagian menyiarkan siaran dibagi berdasarkan Zona Layanan dan peyelenggaraan televisi digital yang menjadi acuan model bisnis Wilayah Layanan (Kementerian Komunikasi dan Informatika, penyelenggaraan televisi digital. Dengan adanya Putusan 2011a). Zona Layanan pada dasarnya merujuk kepada Mahkamah Agung Nomor 38 P/HUM/2012, maka dasar hukum penggunaan infrastruktur frekuensi oleh

multiplexer

penyelenggaraan televisi digital menjadi hilang. Terkait dengan

hal itu, studi ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana sedangkan Wilayah Layanan merujuk kepada wilayah

administratif konten dapat disiarkan oleh content provider. Dengan menggunakan analisis kualitatif studi ini melihat bahwa Zona sendiri dibagi menjadi 15 yang melingkupi 1 sampai

kelayakan model bisnis televisi digital free-to-air di Indonesia.

model bisnis televisi digital saat ini perlu pendefinisian secara

dengan 2 provinsi. Dalam roadmap penyelenggaraan televisi tegas tentang pengelolaan infrastruktur, pengelolaan iklan serta digital (Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2009)

valuasi konten. Studi ini juga mengusulkan model bisnis baru Zona menjadi dasar dalam penyelenggaraan seleksi dengan yang komprehensif menjabarkan definisi dan hubungan masing- mempertimbangkan tingkat ekonomi suatu Provinsi.

masing elemen dalam migrasi televisi digital saat ini.

Terhadap Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 22/PER/M.KOMINFO/11/2012 tersebut, Asosiasi Kata kunci — televisi digital, bisnis model, siaran tidak berbayar Televisi Jaringan Indonesia (ATVJ) kemudian mengajuakn keberatannya dan mencatatkan gugatannya pada Nomor

Buletin Pos dan Telekomunikasi, Vol.11 No.4 Desember 2013 : 265-280

Gambar 1. Model Bisnis Penyiaran Televisi Digital Indonesia, Sumber: Ditjen PPI dalam (Idris et al., 2012) Register 38 P/HUM/2012 pada tanggal pada tanggal 17 Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial

September 2012. Di dalam amar putusan Putusan Mahkamah Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free-To-Air) Agung yang diputus tanggal 3 April 2013 terhadap register

Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Nomor 38 P/HUM/2012 mengabulkan permohonan keberatan Informatika Nomor 22/PER/M.KOMINFO/11/2012 tentang hak uji materiil dari pemohon ATVJI (Mahkamah Agung Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Republik Indonesia, 2012). Dengan dikabulkannya putusan Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free-To-Air) ini,

berdampak pada tidak adanya dasar hukum penyelenggaraan televisi digital di Indonesia dibagi menjadi 2 penyelenggaraan televisi digital yang secara otomatis akan Lembaga Penyelenggara yaitu Lembaga Penyiaran merubah seluruh model bisnis penyelenggaraan siaran televisi Penyelenggara Program Siaran (LPPPS) yang bertindak digital.

selaku

Content Provider dan Lembaga Penyiaran

Studi ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana kelayakan Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM) yang model bisnis televisi digital free-to-air di Indonesia saat ini bertindak selaku Multiplexer (Kementerian Komunikasi dan dipandang dari sisi pembiayaan dan penghasilan operator Informatika, 2011b). Berdasarkan pembagian kategori serta mengkaji model bisnis yang sesuai setelah perizinannya LPPPS kemudian dibagi menjadi 3 yaitu dikeluarkannya amar putusan Mahkamah Agung Nomor 38 Lembaga Penyiaran Publik TVRI atau Publik Lokal; . P/HUM/2012 yang membatalkan dasar hukum Lembaga Penyiaran Swasta; dan Lembaga Penyiaran penyelenggaraan televisi digital serta melihat perbandingan Komunitas. Sedangkan LP3M dibagi menjadi Lembaga dengan model bisnis dan migrasi televisi digital di beberapa Penyiaran Publik TVRI; dan Lembaga Penyiaran Swasta. negara.

Dalam model bisnis ini, TVRI mendapat hak lebih dimana di dalam Peraturan Menteri ini menunjuk langsung TVRI

II. T INJAUAN P USTAKA sebagai Multiplexer untuk seluruh Zona di Indonesia. Hal ini

A.

Siaran Televisi Digital di Indonesia berbeda dengan Lembaga Penyiaran Swasta dimana untuk

dapat terpilih menjadi Multiplexer harus mengajukan

1) Model Bisnis permohonan kepada Menteri dengan melihat ketersediaan

Gambar 1 menunjukkan model bisnis penyiaran televisi kanal frekuensi radio yang ditetapkan untuk penyelenggaraan digital di Indonesia. Model Bisnis penyiaran televisi digital penyiaran digital. pada dasarnya merevolusi penyiaran analog yang merupakan

Dari sisi konten siaran, Multiplexer TVRI selain memuat struktur vertikal menjadi struktur horizontal (Idris et al., 2012). konten dari lembaganya sendiri juga harus menyediakan

Struktur vertikal yaitu struktur dimana Lembaga Penyiaran konten dari Lembaga Penyiaran Komunitas. Hal ini berbeda memiliki semua aset yaitu hak siar, frekuensi, infrastruktur dengan Multiplexer Lembaga Penyiaran Swasta dimana dan menara. Sedangkan struktur horizontal merupakan peruntukannya ditujukan untuk siaran yang bersifat komersial. struktur yang berbasis kepada layanan, sehingga kedepannya Untuk menghindari persaingan yang tidak sehat, di dalam terbagi 2 Lembaga Penyiaran yaitu Penyelenggara Program Peraturan Menteri ini diatur bahwa dalam satu zona tidak Siaran atau Content Provider dan Penyelenggara Penyiaran terdapat kepemilikan silang (cross-ownership) antar Multipleksing atau Multipexer. Secara rinci, model bisnis ini Multiplexer Lembaga Penyiaran Swasta. Selain itu, ditetapkan dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan persyaratan untuk menjadi Multiplexer ditutup hanya untuk Informatika Nomor 22/PER/M.KOMINFO/11/2012 tentang lembaga yang telah memiliki Izin Penyelenggara Penyiaran,

Analisis Model Bisnis Penyelenggaraan Televisi Digital Free-to-Air di Indonesia (Riza Azmi) sehingga walaupun Lembaga ini merupakan bentukan baru

Pada kasus tertentu, Peraturan Menteri ini mengatur alokasi dari Peraturan Menteri ini dan fungsi utamanya sebagai khusus yaitu kanal 46 (670 – 678 MHz), kanal 47 (678 – 686 penyedia infrastruktur, namun keberadaannya haruslah MHz) dan/atau kanal 48 (686 - 694 MHz). Namun terdapat berasal dari lingkungan penyelenggara televisi yang sudah perbedaan peruntukan kanal khusus ini. Pada Peraturan ada.

Menteri sebelumnya (Peraturan Menteri Komunikasi dan

Ada beberapa model bisnis yang belum diatur dalam Informatika 23/PER/M.KOMINFO/11/2011), peruntukan Peraturan Menteri ini yaitu posisi pengiklan (Advertiser) dan khusus ini ditujukan untuk suatu daerah yang tidak tercakup pemanfaatan infrastruktur bersama dalam hal ini infrastruktur oleh wilayah layanan, namun dalam perubahan pertama fisik seperti menara dan backbone.

Peraturan Menteri ini yaitu Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8 Tahun 2013 tentang Perubahan

2) Penggunaan Frekuensi Televisi Digital Atas Peraturan Menteri Nomor 23/Per/M.KOMINFO/11/2011 Tentang Rencana Induk (Masterplan) Frekuensi Radio Untuk Keperluan Televisi Siaran Digital Terestrial Pada Pita Frekuensi Radio 478 - 694 MHz, peruntukan 3 kanal ini berubah menjadi hanya untuk dicadangkan untuk penyiaran televisi siaran digital terestrial penerimaan tetap tidak berbayar (free to air) dengan prinsip peruntukan yang tertib, efektif, dan efisien dimana peruntukannya secara khusus ditetapkan oleh Keputusan Menteri tersendiri.

Peraturan Menteri ini merupakan peraturan yang mengatur Master Plan frekuensi radio untuk penyiaran digital dimana terdapat peraturan turunan yang secara eksplisit mengatur secara rinci untuk zona-zona tertentu yaitu Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 22 tahun 2012 tentang Penggunaan Pita Spektrum Frekuensi Radio Ultra High Frequency Pada Zona Layanan IV, Zona Layanan V, Zona Layanan VI, Zona Layanan VII Dan Zona Layanan XV Untuk Keperluan Transisi Televisi Siaran Digital Terestrial; dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 17 tahun 2013 tentang Penggunaan Pita Spektrum Frekuensi Radio Ultra High Trequecy Pada Zona Layanan I Dan Zona Layanan XIV Untuk Keperluan Transisi Televisi Siaran Digital Terestrial.

3) Roadmap Televisi Digital Indonesia

Gambar 2. Alokasi Frekuensi pada Band UHF Menurut Buku Putih Komunikasi dan Informatika Indonesia tahun 2012 roadmap Televisi Digital di Indonesia

Penggunaan frekuensi untuk televisi digital diatur dalam dibagi menjadi 3 tahapan yaitu (Idris et al., 2012): Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika 1. Tahap I - Persiapan 2009-2013, yaitu tahap permulaan 23/PER/M.KOMINFO/11/2011 tentang Rencana Induk

transisi ke televisi digital yang ditandai dengan uji coba (Masterplan) Frekuensi Radio untuk Keperluan Televisi

lapangan (2009), mengeluarkan perizinan baru untuk TV Siaran Digital Terestrial Pada Pita Frekuensi Radio 478 – 694

digital (2010), moratorium izin baru TV analog (2009- Mhz. Dikarenakan adanya penghematan kanal untuk siaran

2010). Pada tahap ini juga merupakan awal periode digital, penggunaan frekuensi untuk keperluan digital pada

simulcast yang direncanakan tahun 2010-2017. Peraturan Menteri ini pada dasarnya bertujuan untuk 2. Tahap II - Simulcast 2014-2017, yaitu periode dimana

menyediakan kanal baru untuk penggunaan telekomunikasi perizinan siaran analog dan digital berjalan bersama-sama. dari sisa penggunaan kanal frekuensi radio untuk penyiaran

Hal ini ditandai dengan penghentian (cut off) operasional yang eksisting dari kanal 22 – 62 UHF atau yang disebut

TV analog di kota-kota besar (Daerah Ekonomi Maju Digital Dividend sebesar 112 MHz (Gambar 2).

/DEM), percepatan izin baru TV digital di Daerah Secara umum, penggunaan frekuensi televisi digital pada

Ekonomi Kurang Maju (DEKM) rentang 478 – 694 MHz atau kanal 22-49 sebesar 192 MHz 3. Tahap III - Analog Switch Off 2018 yaitu penghentian

dengan alokasi 1 kanal sebesar 8 MHz dibagi menjadi 2 TV Analog secara total di seluruh Indonesia peruntukan yaitu:

Pada tahap simulcast, Kementerian Komunikasi dan

1. Penggunaan kanal 478- 526 MHz (kanal 22 – 27) Informatika merencanakan pemberian izin untuk beberapa digunakan untuk penyiaran televisi siaran digital Zonayaitu:

terestrial yang akan diatur dalam Peraturan Menteri 1. 2012: Jawa dan Kepulauan Riau

tersendiri dan

2. 2013: Sumatera Utara dan Kalimantan Timur

2. Penggunaan kanal 526 - 694 MHz (kanal 28 – 49)

3. 2014: Seluruh Sumatera

yang digunakan untuk televisi siaran digital terestrial

4. 2015: Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan penerimaan tetap tidak berbayar (Free To Air) yang

Tengah, dan Kalimantan Barat alokasinya diatur dalam lampiran Peraturan Menteri 5. 2016: Kalimantan Selatan dan Seluruh Sulawesi

ini.

Buletin Pos dan Telekomunikasi, Vol.11 No.4 Desember 2013 : 265-280

6. 2017: Maluku dan Papua Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (free-to-air) di Zona Layanan 4 (DKI Jakarta dan Banten), 5 (Jawa Barat), 6 (Jawa

4) Pembagian Wilayah Administratif Penyelenggaraan Televisi Digital

Tengah dan Jogjakarta), 7 (Jawa Timur) dan 15 (Kepulauan Riau); dan Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika

Lembaga Penyiaran pada televisi digital dalam menyiarkan Nomor 121 tahun 2012 tentang Tim Seleksi Lembaga siaran dibagi berdasarkan wilayah administratif yaitu Zona Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing Dalam

Layanan dan Wilayah Layanan (Kementerian Komunikasi Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial dan Informatika, 2011a). Zona Layanan merujuk kepada hak Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (free-to-air). Lembaga penggunaan infrastruktur frekuensi oleh multiplexer Penyiaran tersebut terpilih dan terbagi di 5 Zona sebagai sedangkan Wilayah Layanan merupakan batas administratif berikut:

konten yang dapat disiarkan oleh content provider. Untuk 1. Zone Layanan 4 (DKI Jakarta dan Banten). penyelenggaraan televisi digital, Zona Layanan dan Wilayah

Di Zona ini terseleksi PT Banten Sinat Dunia Televisi Layanan diatur pada Peraturan Menteri Komunikasi dan

(BSTV), PT Lativi Media Karya (TVOne), PT Media Informatika Republik Indonesia Nomor Televisi Indonesia (Metro TV), PT Surya Citra Televisi

23/PER/M.KOMINFO/11/2011 tentang Rencana Induk (SCTV), dan PT Televisi Transformasi Indonesia (Trans (Masterplan) Frekuensi Radio untuk Keperluan Televisi

TV) sebagai Multiplexser yang berlaku sejak tahun 2012. Siaran Digital Terestrial Pada Pita Frekuensi Radio 478 – 694 2. Zone Layanan 5 (Jawa Barat).

Mhz. (Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2011a). Di Zona ini terseleksi PT Cakrawala Andalas Televisi Adapun Zona Layanan dan Wilayah Layanan (Tabel 1)

Bandung dan Bengkulu (ANTV Bandung), PT Indosiar T ABEL 1. P EMBAGIAN Z ONA L AYANAN DAN J UMLAH W ILAYAH L AYANAN

Bandung Televisi (Indosiar Bandung), PT Media Televisi BERDASARKAN P ROVINSI (K EMENTERIAN K OMUNIKASI DAN I NFORMATIKA , Bandung (Metro TV Jabar), PT RCTI Satu (RCTI

2011 A )

Network), dan PT Trans TV Yogyakarta Bandung (Trans

Zona Provinsi

Jumlah

TV Bandung) sebagai Multiplexser yang berlaku sejak

Wilayah

tahun 2012.

3. Zone Layanan 6 (Jawa Tengah dan Yogyakarta). Zona Layanan I

Layanan

Nanggro Aceh Darussalam

25 Di Zona ini terseleksi PT GTV Dua (Global TV), PT dan Sumatera Utara

Indosiar Televisi Semarang (Indosiar Semarang), PT Zona Layanan II

Sumatera Barat, Riau dan

28 Lativi Mediakarya Semarang-Padang (TVOne Semarang), Jambi

PT Media Televisi Semarang (Metro TV Jawa Tengah), Zona Layanan III

Sumatera Selatan, Bangka

22 dan PT Trans TV Semarang Makassar (Trans TV Belitung Bengkulu, dan Lampung

Semarang) sebagai Multiplexser yang berlaku sejak tahun Zona Layanan IV

Banten dan DKI Jakarta

11 4. Zone Layanan 7 (Jawa Timur).

Zona Layanan V Jawa Barat

Zona Layanan VI Jawa Tengah dan Daerah

9 Di Zona ini terseleksi PT Cakrawala Andalas Televisi Istimewa Yogyakarta

(ANTV), PT Global Informasi Bermutu (Global TV), PT Zona Layanan VII

10 Media Televisi Indonesia (Metro TV), PT Surya Citra Zona Layanan

Jawa Timur

19 Televisi (SCTV), dan PT Televisi Transformasi VIII

Bali, Nusa Tenggara Barat

dan Nusa Tenggara Timur Indonesia (Trans TV) sebagai Multiplexser yang berlaku Zona Layanan IX

Papua dan Papua Barat

12 sejak tahun 2012.

Zona Layanan X Maluku dan Maluku Utara

7 5. Zone Layanan 15 (Kepulauan Riau). Zona Layanan XI

Sulawesi Barat, Sulawesi

18 Di Zona ini terseleksi PT RCTI Sepuluh (RCTI Network), Selatan dan Sulawesi

PT Surya Citra Pesona Media (SCTV Batam), dan PT Tenggara

15 Trans TV Batam Kendari (Trans TV Batam) sebagai Gorontalo dan Sulawesi

Zona Layanan XII Sulawesi Tengah,

Multiplexser yang berlaku sejak tahun 2012. Utara

2) Perhitungan Tarif Dasar Sewa Multiplexer Zona Layanan

XIII Kalimantan Tengah Perhitungan tarif dasar sewa Multiplexer diatur dalam Zona Layanan

Kalimantan Barat dan

17 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik XIV

Kalimantan Timur dan

Kalimantan Selatan Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Zona Layanan XV

Kepulauan Riau

2 Perhitungan Tarif Sewa Saluran Siaran Pada Penyelenggaraan Penyiaran Multipleksing. Metode yang digunakan adalah

B. Penyelenggaraan Televisi Digital di Indonesia metode Fordward Looking – Long Run Increment Cost Plus (FL-LRIC+) dengan metode buttom-up

yang

1) Pemenang Seleksi Mux memperhitungkan biaya berorientasi ke depan. Metode ini

Dalam perjalanan penyelenggaraan televisi digital di memperhitungkan biaya yang diperlukan operator Multiplexer Indonesia, telah terseleksi Lembaga Penyiaran yang bertindak untuk membangun jaringan saat ini dan ke depan.dengan sebagai Multiplexer. Lembaga Penyiaran ini berhak menjadi pemodelan jangka panjang dimana semua input dapat berubah penyelenggara Multiplexer berdasarkan Keputusan Menteri tetapi teknologi produksi dasar tidak berubah (forward Komunikasi dan Informatika Nomor 95 tahun 2012 tentang looking ). Peluang Usaha Penyelenggaraan Penyiaran Multipleksing

Dalam mengantisipasi perubahan biaya di masa depan Pada Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial metode ini menerapkan biaya increment yaitu kenaikan biaya

Analisis Model Bisnis Penyelenggaraan Televisi Digital Free-to-Air di Indonesia (Riza Azmi)

Gambar 3. Model Tarif Dasar Sewa Multiplexer dengan FL-LRIC+ (Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2012) tambahan yang memberikan informasi biaya berbagai

tersebut tidak konsisten antara Peraturan Menteri dengan perangkat yang dibutuhkan untuk layanan LP3M. Dalam

Undang-Undang di atasnya. menetapkan biaya layanan, dalam Peraturan Menteri tersebut, 2. Di dalam Peraturan Menteri yang dimaksud diatur bahwa model ini melihat beberapa komponen biaya, yaitu Biaya

Lembaga Penyiaran yang memegang Izin Investasi, Biaya Modal, Biaya Tahunan, Margin, dan Service

Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) harus mengajukan (Gambar 3) Format FL-LRIC+ memasukkan tiga kategori

permohonan IPP nya kembali saat terpilih menjadi biaya yaitu (Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2012):

Lembaga Penyiaran (baik multiplexer maupun content

1. Biaya langsung (directly attribute costs) meliputi (1) provider ), dimana menurut keberatan ATVJ hal ini tidak biaya dari beberapa atribut input dengan tingkat keluaran

diatur dalam peraturan perundang-undangan di atasnya. dan (2) biaya aset dan operasional yang tetap

3. ATVJ berpandangan bahwa Lembaga Penyiaran

2. Biaya bersama (shared costs) jika operator LP3M Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LP3M) yang menggunakan infrastruktur bersama operator lain seperti

merupakan Lembaga Penyiaran baru bentukan dari penggunaan menara bersama, fiber optic bersama, dan

Peraturan Menteri ini berpotensi mematikan fungsi Izin sebagainya

Stasiun Radio (ISR) yang telah diatur di Undang-Undang

3. Biaya umum dan overhead (common costs) menyangkut

Penyiaran biaya operasional bulanan. Berdasarkan aturan yang 4. ATVJ berpandangan terjadi indikasi ISR disewakan ditetapkan pemerintah, model bisnis harus

kembali dengan adanya bentukan LP3M mengalokasikan biaya umum dengan memasukkan 5. ATVJ berpandangan bahwa dalam Peraturan Menteri kontribusi kewajiban universal (USO) dan biaya hak

yang dimaksud, model bisnis dengan adanya pemisahan penggunaan (BHP) jasa.

kewenangan lembaga penyiaran tidak diatur dalam

Undang Undang Penyiaran

6. ATVJ melihat bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI sebagai

3) Putusan Mahkamah Agung Nomor 38 P/HUM/2012

tidak dilibatkan dalam seleksi televisi digital padahal pihak pemohon uji materiil di dalam putusan Mahkamah

telah diamanatkan di dalam Undang Undang Penyiaran Agung mengajukan beberapa alasan dalam keberatannya

tentang keterlibatan KPI dalam perizinan terhadap Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika 7. ATVJ berpandangan bahwa Peraturan Menteri yang

Nomor 22/PER/M.KOMINFO/11/2012 tentang dimaksud melebihi kewenangan sebagaimana yang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial

didelegasikan dalam PP 50 tahun 2005 Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free-To-Air) yang tercatat

Mahkamah Agung kemudian melakukan penelitian dan tanggal 17 September 2012 yang secara umum meliputi sidang dimana di dalam amar putusan Putusan Mahkamah

keberatan sebagaimana (Mahkamah Agung Republik Agung yang diputus tanggal 3 April 2013 terhadap register Indonesia, 2012):

Nomor 38 P/HUM/2012 mengenai Permohonan Hak Uji

1. ATVJ berpandangan Lembaga Penyiaran kehilangan Materiil terhadap Peraturan Menteri Komunikasi dan haknya untuk menyelenggarakan penyiaran dikarenakan Informatika Nomor 22/PER/M.KOMINFO/11/2012 tentang

adanya kebijakan Analogue Switch Off (ASO) yang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial bertentangan terhadap Undang-Undanga Penyaran. ASO Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free-To-Air) mengadili sendiri merupakan periode dimana siaran analog untuk mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dihentikan dan diganti dengan siaran digital. ATVJ dari pemohon Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI) berpandangan bahwa saat diberikan hak untuk bersiaran, dan menyatakan Peraturan Menteri Komunikasi dan tidak serta merta dapat dibatalkan dengan adanya ASO, Informatika Nomor 22/PER/M.KOMINFO/11/2012 tersebut selain karena tidak diatur di dalam Undang-Undang dinyatakan tidak berlaku (Mahkamah Agung Republik Penyiaran, peraturan mengenai habisnya masa siaran ini Indonesia, 2012). Dengan dikabulkannya putusan ini, hanya diatur setingkat Peraturan Menteri. Sehingga, berdampak pada tidak adanya dasar hukum penyelenggaraan ATVJ berpandangan bahwa kebijakan ASO tersebut televisi digital yang secara otomatis akan merubah seluruh sebagai batasan akhir migrasi ke siaran televisi digital model bisnis penyelenggaraan siaran televisi digital.

Buletin Pos dan Telekomunikasi, Vol.11 No.4 Desember 2013 : 265-280

Terkait dengan amar putusan tersebut di dalam Siaran Pers layer ini terbagi kedalam 9 komponen yaitu: No. 87/PIH/KOMINFO/11/2013, secara umum menyebutkan

Pengaplikasian teknologi dan Standard, Design dan bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika menerima

Arsitektur Jaringan, Parameter Sistem, Interface putusan ini serta menghimbau agar pelaku penyiaran tidak

Jaringan, Transmisi, Perencanaan Peluncuran Jaringan, resah dikarenakan akan diterbitkan peraturan pengganti

Perencanaan Jaringan, Karakteristik Radiasi, dan sebagai payung hukum penyelenggaraan (Kementerian

Prinsip Infrastruktur Bersama. Sementara untuk Komunikasi dan Informatika, 2013).

televisi bergerak layer ini terbagi kedalam 6 komponen yaitu: Pengaplikasian teknologi dan Standard, Design

C. Transisi dan Model Bisnis Siaran Televisi Digital dan Arsitektur Jaringan, Parameter Sistem, Interface

Menurut ITU Jaringan, Transmisi, dan Perencanaan Peluncuran International Telecommunication Union atau ITU

Jaringan.

5. Layer Pengembangan Roadmap dari penyelenggaraan televisi analog ke penyelenggaraan

mengeluarkan framework panduan dalam rangka migarasi

Layer ini berhubungan dengan tahapan perencanaan televisi digital. Framework migrasi yang mereka sarankan

migrasi. Penanggung jawab pada layer ini yaitu dibagi menjadi 2 penanggung jawab yaitu Pemerintah dan

Pemerintah untuk Roadmap Nasional dan Pasar untuk Pasar. Framework ini terdiri dari 4 layer utama yaitu

Roadmap Bisnis Operator.

(International Telecommunication Union, 2012a):

1. Layer kebijakan dan regulasi;

III. M ETODOLOGI P ENELITIAN Layer ini berhubungan dengan fondasi dasar kebijakan

Untuk melihat gambaran kondisi dan kelayakan model dan regulasi baik dari sisi informasi, pendanaan, hak bisnis penyelenggaraan televisi

digital, penelitian dan lisensi yang berkaitan dengan penyelenggaraan menggunakan pendekatan kualitatif. Data dianalisis dengan televisi digital. Layer ini merupakan layer yang menggunakan Cost-Benefit-Analysis dengan analisis risiko

mendasari layer lainnya. Keseluruhan penanggung yaitu sensitivity analysis. Data pada variabel cost merupakan jawab pada layer ini berada di tangan pemerintah. ITU

cost-operator Multiplexer dalam penyelenggaraan televisi membagi lagi layer ini kedalam 13 komponen yaitu: digital. Selain dari aspek finansial, penelitian ini akan Regulasi Standar dan Teknologi; Struktur Lisensi; meninjau dari prospek penyiaran televisi digital kedepannya Regulasi dari ITU-R; Rencana Spektrum Nasional; dan aspek regulasi secara kualitatif. Prosedur Penetapan; Kondisi Lisensi; Perizinan Lokal

Adapun dari sisi finansial komponen yang dinilai dari sisi

(misalnya terkait bangunan); Perizinan Media; Model 1. Biaya Investasi

Bisnis dan Pendanaan Publik; Digital Dividend; Merupakan keseluruhan biaya investasi dibagi menjadi Undang-Undang Media. Telekomunikasi dan

biaya investasi televisi digital. Penyiaran; Eksekusi dan Penegakan Hukum; dan 2. Biaya Pra-Operasi

Informasi Konsumen dan Industri Merupakan keseluruhan biaya yang dibutuhkan sebelum

2. Layer ASO (ASO); beroperasi misalnya Site Acquisition (SITAC) untuk Layer ini menangani peralihan dari penyelenggaraan

survey, administrasi, transportasi dan lainnya; serta biaya televisi analog ke penyelenggaraan televisi digital.

design yaitu design untuk jaringan dan design untuk Keseluruhan penanggung jawab pada layer ini berada

sistem. di tangan pemerintah. ITU membagi lagi layer ini 3. Biaya Operasional

kedalam 5 komponen yaitu: Model Transisi; Struktur Biaya operasional yaitu biaya keseharian yang dibagi Organisasi dan Entitas; Perencanaan ASO dan

menjadi biaya tenaga kerja, operasional site, operasional Milestonenya; Transisi Spektrum; Informasi mengenai

kantor, biaya perizinan.

ASO.

4. Pendapatan

3. Layer Pengembangan Pasar dan Bisnis; Yaitu asumsi pendapatan yang di dapat dari tarif sewa Layer ini berhubungan dengan komersialisasi pasar

jaringan Multiplexer dan bisnis penyiaran digital. Layer ini berhubungan 5. Pinjaman

dengan pelaku pasar bagaimana pelaku pasar Keseluruhan biaya yang diperlukan untuk diberikan melakukan pemasaran serta penyampaian teknologi

asumsi pinjaman yang diperhitungkan berdasarkan baru ini ke tangan konsumen. Keseluruhan

Jumlah Pinjaman, Bunga pinjaman dan Jangka Waktu penanggung jawab pada layer ini berada di tangan 6. Penyusutan

Pasar. ITU membagi lagi layer ini kedalam 5 Biaya penyusutan dihitung dari biaya amortisasi dan komponen yaitu: Penelitian mengenai Wawasan

depresiasi dimana biaya tersebut diasumsikan dibagi Konsumen, Kemauan Dasar Konsumen, Perangkat

secara fixed selama tahun proyek.

Penerima, Business Planning dan Dukungan Analisis finansial penyelenggaraan televisi digital melihat Pelanggan.

seberapa feasible pembiayaan penyelenggaraan Multiplexer di

4. Layer Jaringan; Indonesia. Alasan dipilihnya analisis finansial pada Layer ini berhubungan dengan pembangunan penyelenggara multiplexer bukan kepada analisis content

infrastruktur televisi digital. Keseluruhan penanggung provider pertama bahwa penelitian ini melihat bahwa, titik jawab pada layer ini berada di tangan Pasar. ITU kritis dalam penyelenggaraan televisi digital terletak pada membagi 2 layer ini menjadi 2 yaitu infrastruktur penyelenggaraan multiplexer, sementara content provider untuk terestrial dan infrastruktur untuk televisi hanya bersifat sebagai penyokong konten yang bisnisnya telah bergerak (mobile television). Untuk televisi terestrial relatif lebih stabil dan telah mempunyai role model

Analisis Model Bisnis Penyelenggaraan Televisi Digital Free-to-Air di Indonesia (Riza Azmi)

Gambar 4. Biaya Asumsi Operational Expenditure Selama Proyek

penyelenggaraan bisnis untuk industri ini. Kedua, dikarenakan peminjaman, sedangkan Opportunity Cost Capital melihat struktur ini emrupakan struktur baru dalam penyelenggaraan dari suku bunga pinjaman. televisi digital, maka perlu ditelaah lebih lanjut bagaimana

Adapun umur proyek selama 25 tahun dengan masa lisensi feasibilitas bisnis ini kedepannya.

selama 10 tahun. Biaya untuk lisensi frekuensi mengambil Dari sisi prospek penyiaran televisi digital kedepannya dan

kondisi eksisting saat ini yaitu sebesar Rp.65.000.000 selama aspek regulasi penelitian ini akan melihat hal-hal yang belum setahun dengan asumsi proyek ini dilaksanakan di Daerah diatur dalam penyelenggaraan televisi digital baik dari sisi Ekonomi Maju, dimana besaran Biaya Hak Penggunaan teknologi, standar dan service yang diberikan.

Frekuensi (BHP Frek) pada daerah Jabodetabek sebesar Rp65.000.000. Adapun biaya STB dimasukkan sebagai biaya

IV. H ASIL P ENELITIAN DAN PEMBAHASAN variabel yang dapat dibebankan sebagai Shared Cost bukan

Terkait dengan model bisnis televisi digital di Indonesia sebagai biaya Corporate Social Responsibility atau biaya (Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2011b) dan sosial. Sehingga biaya ini diasumsikan sebagai biaya beban Putusan Mahkamah Agung (Mahkamah Agung Republik operator Multiplexer. Indonesia, 2012), studi ini akan menganalisis dan mengkritisi

kelayakan model bisnis televisi digital di Indonesia. Pada 2) Asumsi Parameter Layanan studi ini analisis ditinjau dari aspek finansial, prospek

Parameter layanan yang digunakan pada penelitian ini penyiaran televisi digital kedepannya, aspek jaringan dan adalah parameter paling tinggi yaitu 256 QAM dengan Code aspek regulasi.

Rate 5/6 sehingga menghasilkan bandwidth rata-rata sebesar

50.34 MBps. Dengan asumsi bahwa untuk siaran Standard

A. Analisis Finansial Penyelenggaraan Televisi Digital Definition (SDTV) berbasis layar Catode Ray Tube Asumsi pada analisis finansial dalam bisnis ini bahwa

(CRT/Televisi tabung) yang umumnya dipakai di rumah- bisnis yang ada merupakan start-up yaitu bisnis yang baru rumah dengan kompresi dasar MPEG-2 yang memakan

dirintis, dengan mempertimbangkan estimasi pengeluaran- bandwidth sekitar 4 MB (Tabel Lampiran B-1 dan Tabel pemasukan. Analisis finansial model bisnis menggunakan Lampiran B-2). Dari asumsi tersebut, penelitian ini melihat metode Forward Looking-Long Run Increment Cost Plus akan terdapat maksismum 12 Content Provider yang (FL-LRIC+) berdasarkan Permen No. 18 Tahun 2012 menyewa layanan ini. Asumsi parameter layanan ini (Kominfo, Permen Kominfo No. 18 Tahun 2012, 2012) merupakan asumsi pelayanan minimal, sehingga jika dengan pendekatan Cost Benefit Analysis (CBA).

parameter layanan lebih dari yang diasumsikan, maka akan

Analisis Biaya dan Manfaat (cost-benefit analysis) pada berdampak pada analisis biaya tarif sewa operator per MBps bagian ini untuk melihat seberapa layak bisnis Mux Operator per-bulan yang tentunya lebih mahal. jika dipandang dari kondisi eksisting Business Model saat ini.

3) Asumsi Biaya Pra-Operasi

Analisis mencakup seberapa besar biaya tarif sewa dengan memperhitungkan biaya Forward-Looking.

Asumsi ini didasarkan bahwa Operator Multiplesxer adalah penyelenggara layanan baru (start-up) sebagaimana

1) Asumsi Variabel rekomendasi yang terdapat dalam Lampiran 1

Asumsi Varibel yang dianalisis dapat dilihat pada Tabel A- Permenkominfo 18/2012. Adapun biaya Pra-Operasi untuk 1

1. Asumsi ini mempertimbangkan bahwa Ekuitas Modal site, terdiri dari 3 bagian yaitu biaya SITAC, Design, dan Izin berasal dari 70% modal sendiri dan 30% dari modal dengan perhitungan yang terlampir pada Tabel Lampiran A-2.

Buletin Pos dan Telekomunikasi, Vol.11 No.4 Desember 2013 : 265-280

Gambar 5. Asumsi Laba-Rugi Operator Multiplexer (setelah pajak) Selama Proyek

4. Asumsi Capital Expenditure (Capex) Performance Bond dilakukan pada tahun ke-2. Sedangkan Asumsi Capex didasarkan bahwa Operator Multiplesxer

biaya untuk komitmen set-top-box dibagi selama 10 tahun adalah penyelenggara layanan baru (start-up), sehingga proyek. Sehingga, secara detil biaya Opex dapat dilihat pada terdapat pembangunan infrastruktur baru. Adapun asumsi Gambar 4. Pada tahun ke-11 biaya Opex menurun drastis nilai harga Capex di dapat dari asumsi yang terdapat dalam dikarenakan tidak adanya beban biaya komitmen Set-Top- laporan ITU tentang migrasi penyelenggaraan Televisi Digital Box yang selesai pada tahun ke-10. Asumsi kenaikan di Sri Lanka (International Telecommunication Union, 2012b). berikutnya di dasarkan pada kenaikan biaya operasional, Asumsi ini secara detil dapat dilihat pada Tabel Lampiran A-1. kenaikan biaya maintenance, inflasi dan kenaikan gaji.

6. Asumsi Ekuitas, Amortisasi dan Depresiasi Asumsi Opex hanya memperkirakan biaya operasionalisasi

5. Asumsi Operational Expenditure (Opex)

Pada perhitungan nilai ekuitas, hanya dihitung berdasarkan

1 site, tanpa memperhitungkan biaya back-office keseluruhan pengembalian bunga, hal ini dikarenakan pokok pinjaman Operator Multiplesxer. Biaya Opex secara garis besar terdiri telah dimasukkan ke dalam perhitungan biaya modal. dari biaya karyawan yang menangani site (manajer teknis, Pinjaman disimulasikan untuk 8 tahun dengan asumsi bunga teknisi, maintenance, administratif, akuntan dan bonus), flat sebesar 7%. Sehingga dengan perhitungan biaya total Operasionalisasi dan pemeliharaan, Biaya Perizinan (BHP pembiayaan awal sebesar Rp76.525.125.000 (biaya pra- Frekuensi, perizinan site, biaya jaminan, dan komitmen STB). operasi dan investasi) maka di dapat angsuran pertahun Adapun perhitungan lebih detail terlampir pada Tabel sebesar Rp3,844,647,437. Lampiran A-.....

Amortisasi dan Depresiasi dihitung berdasarkan penurunan

Dengan asumsi bahwa pergelaran dapat dilaksanakan flat selama 25 tahun, dimana Amortisasi pertahun sebesar sesuai dengan jadwal yang ditetapkan pada Service Level Rp107,505,208.33 dan Biaya Depresi sebesar Rp Agreement, maka pengembalian Commitment Bond dan

3,081,041,666.67, sehingga total Amortisasi dan Depresiasi

Gambar 6. Arus cash-flow Operator Multiplexer dalam 25 tahun

Analisis Model Bisnis Penyelenggaraan Televisi Digital Free-to-Air di Indonesia (Riza Azmi) sebesar Rp 3,188,546,875.00 selama setahunnya.

Multiplexer hanya disewa oleh 7 Content Provider, maka perusahaan akan merugi, sehingga batasan Content Provider

7. Laba/Rugi Setelah Pajak harus diatas 7 operator penyewa. Dalam kondisi nyata,

Laba Rugi diperhitungkan berdasarkan Penerimaan, Biaya berdasarkan alokasi frekuensi yang dialokasikan untuk Operasi, laba/rugi Operasi, Amortisasi, Depresiasi, Bunga televisi digital hanya sebanyak 6 frekuensi per-Zona pinjaman, dan PPh (10%). Dengan memperhitungkan (Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2011a), dimana penerimaan dan biaya-biaya tersebut, maka secara umum alokasi ini dapat ditambah sampai dengan 9 penyelenggara perusahaan dapat dikatakan untung selama tahun proyek Multiplexer per Zona. Dengan melihat jumlah operator (Gambar 5), namun perhitungan ini tanpa melihat Net-Cash tersebut, maka dalam satu Zona minimal harus terdapat 42 Flow dengan memperhitungkan keseluruhan pengeluaran, Content Provider agar penyelenggaraan Televisi Digital dapat keseluruhan penerimaan dan rasio inflasi

berjalan lancar. Namun pada kondisi sekarang, pemain televisi digital, terutama untuk Daerah Ekonomi Maju seperti

8. Cashflow Zona IV, Jabodetabek dan Banten, maka jumlah tersebut Dengan memperhitungkan kas masuk (biaya investasi dan masuh jauh dari jumlah minimal Content Provider. pendapatan) dan pengeluaran (biaya operasi, pra-operasi dan

Di sisi lain, jika melihat kondisi tarif dasar dasar juga regulasi), maka didapat arus cash-flow sebagaimana pada memiliki nilai sensitivitas yang besar, dimana tarif sewa Gambar 6. Pada tahun pertama, cash-flow bernilai negatif, minimal sebesar Rp33.497.766 per Mbyte per Bulan. namun pada tahun kedua, cash-flow perusahaan menunjukkan Sehingga, jika dengan asumsi parameter minimal penyewa nilai positif. Pada tahun pertama nilai net-cash flow bernilai (Content Provider) harus menyewa sebesar 4 Mbyte negatif dikarenakan komponen beban investasi, biaya pra- sebagaimana disebutkan pada poin IV.A.2 maka harus operasi dan biaya perizinan. Namun pada tahun berikutnya membayar sekitar 120 juta selama sebulan. Angka ini dinilai net-cash flow bernilai positif, sehingga menunjukkan bisnis cukup besar bagi Content Provider yang memiliki modal kecil. ini cukup feasible dengan NPV sebesar Rp44,907,958,105 Potensi dari hal ini adalah, pertama konten-konten yang ada selama 25 tahun dan IRR sebesar 11.23% pertahun.

kedepannya tidak beragam, dan hanya diisi oleh Content Provider yang memiliki modal yang besar. Potensi kedua

9. Analisis Resiko Model Bisnis dan Kelemahan Model adalah biaya penyelenggaraan televisi digital terutama dari Bisnis Penyelenggaraan Televisi Digital

sisi konten akan tersedot kepada penyelenggaraan Analisis resiko melihat nilai sensitivitas dari suatu variabel

infrastruktur yang mahal. Jika atas permintaan pasar harga pengubah. Variabel yang berpotensi sensitif dalam ditrunkan maka akan berpengaruh pada keuntungan penyelenggaraan Multiplexer dapat dilihat pada Tabel 2. perusahaan perusahaan Multiplexer. Tingkat kesensitifitasan variabel ini dilihat dari nilai

Selain itu, biaya operasional sangat berpengaruh terhadap Switching Value , dimana saat prosentase nilai Switching

keuntungan perusahaan dimana, jika terjadi kenaikan biaya Value kecil berpotensi perusahaan mengalami NPV = 0 atau operasional

menjadi 8.35% maka perusahaan tidak mendapatkan keuntungan sama sekali. penyelenggaraan televisi digital tidak dapat berlangsung Kondisi NPV = 0 merupakan kondisi bottom-line dimana dengan baik. Faktor lain yang krusial adalah nilai tukar rupiah. perusahaan dapat untung.

perusahaan

Jika nilai tukar rupiah mencapai level Rp14.801, maka T ABEL 2. A NALISIS R ISIKO penyelenggaraan televisi digital tidak dapat berlangsung sehat.

Variabel Asumsi

NPV = 0

Switching Value

Jumlah

10 7 -30,0%

Penyewa (content provider ) Tarif Sewa

Content Provider Nilai Tukar

Rate Komitmen

Set-Top-Box Kenaikan

Biaya Operasional

Gambar 7. Komponen Biaya Multiplexer Komponen

Dikarenakan penyelenggaraan Multiplexer merupakan Gaji

faktor kunci dalam penyelenggaraan televisi digital, maka Bunga Bank

perlu diperhatikan sehat atau tidaknya bisnis televisi digital BHP Frek

ini. Faktor terbesar dari penyelenggaraan Multiplexer adalah

Jumlah Content Provider yang menyewa jaringan biaya operasional dan biaya investasi. Biaya investasi Multiplexer berpotensi sangat sensitif dimana jika jaringan

Buletin Pos dan Telekomunikasi, Vol.11 No.4 Desember 2013 : 265-280

mengambil porsi sebesar 12% dari biaya tarif dasar sewa 3. Biaya sewa tidak memperhitungkan valuasi konten yang Content Provider kepada Multiplexer (Gambar 7).

dapat meningkat seiring dengan meningkatnya rating T ABEL 3. S KENARIO T ARIF S EWA C ONTENT P ROVIDER siaran.

Skenario BHP

Tarif Sewa

2) Layanan yang Diberikan

Frekuensi Asumsi BHP

Dari sisi layanan yang diatur terdapat beberapa kelemahan Skenario 1

Content Provider

dalam model bisnis yang sekarang, yaitu belum mengatur (MUX=Analog)

secara rinci layanan yang diberikan. Model layanan yang Skenario 2 (20M) -

Rp65.000.000

Rp33.497.766

diberikan hanya dalam bentuk multi-channel yang terdiri dari DEM1

Rp20.000.000.000 Rp598.770.758 channel HDTV dan SDTV, padahal perlu diatur juga Skenario 3 (27jt) -

party lainnya seperti aplikasi Value Skenario 4 (MUXO dan

komponen bisnis 3

rd

DEKM4 Rp27.000.000

Rp32.421.655

Added Service seperti layanan informasi dan aplikasi. NO dipisah)

Konten yang terdapat pada televisi digital dapat dibagi Terdapat beberapa cara dalam mengurangi biaya ini. ITU

1. Broadcasting, yaitu siaran televisi pada umumnya menyarankan bahwa adanya pemisahan Multiplexer dengan

dalam (International Telecommunication Union, 2012a)

yang melibatkan audio dan video. Siaran yang juga Network Operator sehingga dapat mengurangi beban biaya

belum diatur dalam Model Bisnis yang sekarang infrastruktur. Di dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan

adalah siaran Audio melalui jaringan Multiplexer Informatika Nomor 22/PER/M.KOMINFO/11/2012 tentang

2. 3 rd Party : yaitu layanan tambahan pada siaran televisi Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial

seperti layanan Electronic Programme Guide, teletext, Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free-To-Air) juga belum

dan layanan tambahan lainnya

ditegaskan bagaimana posisi infrastruktur bersama. Dengan

3. Application and Middleware: yaitu layanan yang mensimulasikan pemisahan Multiplexer dengan Network

menyediakan siaran interaktif dua arah dengan bantuan Operator dapat menghemat tarif sewa perMbyte hampir

Return Channel .

setengahnya (Tabel 3).

3) Infrastruktur, Jaringan dan Administratif Layanan

B. Kelayakan Model Bisnis Saat Ini Dari sisi infrastruktur dan jaringan belum mengatur tentang infrastruktur bersama. Dari sisi penghematan, dikarenakan

1) Kelayakan Bisnis Televisi Digital terdapat 6 Multiplexer yang beroperasi pada Zona yang sama, Jika dilihat dari kelayakan model bisnis televisi digital

jika terdapat pemisahan antara penyelenggara Multiplexer dan sekarang melalui analisis sensitivitas, dapat dilihat bahwa penyedia infrastruktur, maka akan terjadi pengehematan biaya sewa jaringan pada penyelenggaraan televisi digital pembangunan infrastruktur menjadi 5/6 dari infrastruktur masih sangat tinggi per MBps. Hal ini menyebabkan yang ada. Selain itu, dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa besaran kedepannya pemain konten siaran merupakan perusahaan BHP tidak mempengaruhi secara signifikan kenaikan tarif yang padat modal, dan tidak memacu kearah content diversity. sewa, namun yang berpengaruh besar adalah pemakaian Hal ini bisa saja dilakukan dengan melakukan penerbitan infrastruktur bersama. Selain itu dikarenakan perencanaan aturan komposisi konten pada Mux Operator seperti dalam 1 pembangunan jaringan televisi biasanya pada satu lokasi agar kapasitas jaringan maksimal terdiri dari 30% kapasitas dari antena dapat menghadap ke arah yang sama, maka grup usaha yang sama; dengan menimbang 80% kapasitas infrastruktur lainnya dapat diabaikan. merupakan konten untuk bisnis, dan sisanya 20% untuk

Dari sisi jaringan, desain yang diatur oleh (Kementerian konten edukasi/komunitas/publik/lokal.

Komunikasi dan Informatika, 2011a) berbasis kepada

Penyelenggaraan Multiplexing merupakan hal inti dari Multiple Frequency Network , padahal dengan menggunakan penyelenggaraan televisi digital, dimana jika keuntungan dari Single Frequency Network dapat menghemat penggunaan sisi komersiilnya bagus, maka keberlangsungan kanal tanpa perlu melakukan frequency reuse. Selain itu, penyelenggaraan televisi digital dapat terjaga. Namun, jika konsep administratif layanan siaran membingungkan dari sisi dilihat dari perhitungan tarif dasar sewa jaringan untuk implementasi dilapangan. Zona Layanan diperuntukkan untuk Multiplexer , maka terdapat beberapa kekurangan yaitu:

Multiplexer sementara Wilayah Layanan diperuntukkan untuk

1. Metode FL-LRIC+ menurut Europian Union (Confraria, Content Provider. Dari sisi efisiensi, Multiplexer harus Noronha, Vala, & Amante, n.d.) pada dasarnya dipakai membangun masing-masing infrastruktur untuk untuk regulasi tarif dasar interkoneksi, namun dalam mengakomodasi izin Content Provider, sehingga sebagai penggunaannya di televisi digital digunakan untuk tarif contoh untuk Zona V Jawabarat terdapat 11 infrastruktur yang dasar sewa Muliplexer, sehingga tidak cocok digunakan harus dibangun, padahal jika wilayah administratif layanan ini dalam perhitungan tarif yang tidak melibatkan persaingan tidak dibedakan dan ditambah dengan sistem SFN, maka akan usaha dan hubungan end-to-end sistem jaringan.

menghemat pembangunan 11 infrastruktur yang berbeda

2. Metode ini hanya memperhitungkan perMByte tersewa untuk tiap-tiap wilayah layanan. dan tidak memperhitungkan biaya ekstensi waktu siaran, misalnya perbedaan tarif antara siaran dengan masa

4) Regulasi

waktu 10 jam dan 12 jam. Ekstensi waktu siaran ini Berkaca pada kasus industri televisi digital di China,

berguna untuk memberian konsumen dan juga pasar menurut (Feng, Lau, Atkin, & Lin, 2009), hambatan terkait dalam pemilihan waktu tonton (International dengan (1) perselisihan administratif, (2) proses pembuatan Telecommunication Union, 2012a)

kebijakan yang berat dan (3) keterlibatan negara yang terlalu besar. Sementara, di Indonesia pertikaian antara ATVJ dan

Analisis Model Bisnis Penyelenggaraan Televisi Digital Free-to-Air di Indonesia (Riza Azmi)

Kementerian Komunikasi dan Informatika yang diselesaikan 5. Informasi Publik seperti informasi kebencanaan, lalu- dengan adanya amar putusan Mahkamah Agung 38

lintas, cuaca dan lainnya

P/HUM/2012 mengenai Permohonan Hak Uji Materiil Dengan posisi pasar seperti tersebut, posisi konten menjadi terhadap Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika lebih dominan dibandingkan hanya pergelaran infrastruktur Nomor 22/PER/M.KOMINFO/11/2012 ini juga disebabkan multipleks itu sendiri. Walaupun dinilai jarang terjadi untuk juga salah satunya disebabkan oleh yang disebutkan oleh siaran

dimana penyelenggara Multiplexer (Feng et al., 2009) tersebut, yang salah satunya keterlibatan membayar Content Provider dalam hal ini LP3S, opsi ini Komisi Penyiaran Indonesia dalam proses selsksi televisi dapat dijadikan acuan agar penyelenggara Multiplekser dapat digital. Untuk menghindari konflik kedepannya, Komisi mengatur cost dan revenue sesuai dengan rating dari masing- Penyiaran Indonesia, selaku kedudukannya pada Undang- masing Content Provider. Jika penyelenggara Multiplexer undang Penyiaran, dalam penyelenggaraan televisi digital diberi kuasa untuk mengatur Advertiser maka akan terjadi kedepannya dapat dijadikan sebagai Content Body Rating persaingan konten agar dapat dibeli kontennya oleh yang dalam hal ini memberikan rekomendasi nilai valuasi Multiplexer. konten.

free-to-air

Dari hasil perhitungan analisis untung-rugi (Cost-Benefit Analysis ), terlihat bahwa model FL-LRAIC+ dengan metode

C. Usulan Model Bisnis Bottom Up yang diatur dalam Permenkominfo 18 tahun 2012,

Menurut (Teece, 2010) pengembangan Bisnis Model harus hanya menilai valuasi konten dari sisi per-Mega Byte memiliki konsep yang jelas tentang layanan yang diberikan terpasang. Padahal, valuasi konten dapat meningkat seiring kepada konsumen, nilai yang dibayar oleh konsumen dan dengan meningkatnya rating siaran. Model FL-LRAIC+ tidak keuntungan yang didapat dari pembayaran. Dikaitkan dengan memperhitungkan valuasi konten dimana konten ber-rating analisis regulasi dan finansial sebelumnya, model bisnis tinggi atau ber-rating rendah yang menyangkut kepada televisi digital di Indonesia terlihat belum secara rinci pendapatan iklan. Komponen yang terdapat dalam mengatur hal-hal tersebut.

perhitungan FL-LRAIC+ hanya komponen biaya langsung

Dengan melihat adaya konvergensi layanan TIK, maka (atribut input dan aset beserta operasionalnya), biaya bersama posisi pasar operator multipleks menuju kepada layanan yang (infrastructure sharing), dan biaya overhead (operasional ubiquitous, interaktif dan rich content. Terkait dengan hal bulanan dan biaya yang dibebankan pemerintah). Dengan tersebut, pasar operator multipleks sedikit banyak menggunakan metode ini pula, Operator Multipleks akan bersinggungan dengan pasar penyelenggara telekomunikasi. selalu menanggung beban operasional jaringan tanpa Adapun beberapa layanan kedepannya yang juga dapat menikmati valuasi konten dari sisi rating. disediakan oleh Operator Multipleks antara lain:

Dari hal tersebut di atas, maka model bisnis penyiaran

1. Konten Audio dan Video, seperti konten untuk berita, televisi digital dengan berbasis shared-revenue diusulkan

olahraga, bisnis, pendidikan, pemerintahan dan lain sebagai berikut: sebagainya

1. Hubungan antara Content Operator dan Mux Operator:

2. Konten Audio, seperti servis radio

a. Mux Operator membeli hak konten dari Content

3. Content on Demand Operator, valuasi dari nilai konten ditentukan oleh

4. Aplikasi Middleware, yaitu aplikasi TV interaktif yang Badan Rating dengan mempertimbangkan target dapat melibatkan pengguna dalam 2 arah seperti kuis,

konsumen dan permintaan terhadap konten pooling, rating TV, informasi siaran (EPG), dan

b. Content Operator memberikan konten kepada Mux sebagainya

Operator . Konten dapat berisi konten digital baik

Gambar 8. Usulan Model Bisnis Televisi Digital Indonesia

Buletin Pos dan Telekomunikasi, Vol.11 No.4 Desember 2013 : 265-280

Audio-Video, Radio, Data, dan Aplikasi Middleware. serta valuasi konten. Sehubungan dengan dikeluarkannya

2. Hubungan antara Mux Operator dan Network Operator: Amar Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan

Dokumen yang terkait

Analisis Migrasi Radio Trunking Analog ke Radio Trunking Digital di Indonesia The Analysis of Migrating Analog Trunked Radio to Digital Trunked Radio in Indonesia

0 1 18

Analisis Kualitas Layanan Perizinan Spektrum Frekuensi Radio Siaran Dengan Metode Importance Performance Analysis (IPA) Analysis of Quality of Service Radio Broadcast Frequency Spectrum Licensing Methods Importance Performance Analysis (IPA)

0 0 12

Studi Kesiapan Direktorat Standardisasi Dalam Menerapkan SNI ISOIEC 17065 Study of The Directorate of Standardization Readiness in Implementing SNI ISOIEC 17065

0 0 12

Studi Pemanfaatan Digital Dividend Untuk Layanan Long Term Evolution (LTE) Study Of Digital Dividend Usage For Long Term Evolution (LTE) Service

0 0 20

Analisis Quality of Experience Layanan Telekomunikasi Seluler Masyarakat Kabupaten Kepulauan Sangihe The Quality of Experience Analysis of Mobile Telecommunication Services In The Society of Kepulauan Sangihe Regency

0 0 16

Dampak Indeks Konektivitas Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) terhadap Pertumbuhan Perekonomian Impact of Connectivity Index of Information and Communication Technology (ICT) on Economic Growth

0 0 10

Potensi Pasar Sekunder Spektrum Frekuensi Radio di Indonesia The Potential of Secondary Market for Radio Frequency Spectrum in Indonesia

0 0 16

Pengaruh Infrastruktur Node-B Terhadap Persepsi Kinerja Kualitas Layanan Data pada Smartphone di Jakarta The Effect of Node-B Infrastructure in Perception of Smartphone Data Service Quality Performance in Jakarta

0 0 12

Evaluasi Pemanfaatan Infrastruktur Perangkat Monitor Spektrum Frekuensi Radio di Padang Evaluation of the Utilization of Radio Frequency Monitoring Device in Padang

0 0 14

Studi Pengukuran Digital Divide di Indonesia Study Of Digital Divide Measurement In Indonesia

0 0 12