SEJARAH MUSIK klasik barat JEPANG

SEJARAH MUSIK JEPANG
Musik Jepang merupakan gaya musik khas Jepang dari beragam artis, baik
tradisional maupun modern. Kata musik dalam
bahasa Jepang berarti ongaku (音楽?), menggabungkan on (音?, sound,
suara) dengan gaku (楽?, music, musik). Jepang merupakan pasar musik
terbesar kedua di dunia, dengan nilai total area penjualan mencapai 4,422.0 juta
dollar dan sebagian besar pasar didominasi oleh artis Jepang. Musik lokal sering
muncul di berbagai tempat karaoke, dari label rekaman. Musik tradisional
Jepang sangat berbeda dari Musik Barat.
Musik tradisional dan daerah
Ada dua jenis musik yang diakui sebagai jenis musik tradisional Jepang tertua,
yaitu shōmyō (声明 maupun 聲明), atau nyanyian Budha, dan gagaku (雅
楽?) musik istana, di mana keduanya berada pada
zaman Nara dan Heian Gagaku adalah jenis musik klasik yang telah ada pada
istana Kekaisaran sejak zaman Heian. Kagura-uta (神楽歌), Azuma-asobi(東
遊) dan Yamato-uta (大和歌) merupakan repertoar adat. Tōgaku (唐楽)
dan komagaku diperkenalkan dari Dinasti Tang, Tiongkok melalui Semenanjung
Korea. Gagaku dibagi menjadi kangen (管弦) (musik instrumen)
dan bugaku (舞楽) (tarian disertai dengan gagaku).
Berasal pada awal abad ke-13 honkyoku (本曲), merupakan singel
(solo) shakuhachi (尺八) imam Zen..Imam ini, disebut komusō ("biksu"), yang

memainkan honkyoku untuk sedekah dan pencerahan. Sekte Fuke tidak ada lagi
pada abad ke-19, tetapi garis keturunan verbal dan tertulis dari beberapa
honkyoku tetap berlanjut, meskipun musik ini saat ini sering dimainkan pada
sebuah konser.] Samurai sering mendengarkan dan memainkan dalam kegiatan
musik, dalam praktik memperkaya hidup dan pemahaman.
Musik tradisional
Biwa hōshi, Heike biwa, mōsō, dan goze
Biwa (bahasa Tionghoa: 琵琶 - pipa), lute, dimainkan oleh sekelompok pemain
keliling (biwa hōshi) (琵琶法師) yang digunakan untuk mengiringi sebuah
cerita. Yang paling terkenal dari cerita ini adalah sejarah The Tale of the Heike,
abad ke-12 dari kemenangan klan Minamoto atas Taira. Serikat ini akhirnya
menguasai sebagian besar budaya musik Jepang.Selain itu, banyak kelompok
musisi buta yang terbentuk khususnya di daerah Kyushu. Musisi tersebut, yang
dikenal sebagai mōsō (盲僧 biksu buta) berkeliling di daerah mereka dan

melakukan berbagai ritual agama untuk menyucikan rumah agar dapat
membawa kesehatan dan keberuntungan. Biwa yang mereka mainkan jauh lebih
kecil dari Heike biwa (平家琵琶) yang dimainkan oleh biwa hōshi.
Terkait Lafcadio Hearn dalam bukunya yang berjudul Kwaidan: Stories and
Studies of Strange Things "Mimi-nashi Hoichi" (Hoichi the Earless), cerita

hantu Jepang tentang seorang biwa hōshi buta yang memainkan "The Tale of the
Heike"
Seorang wanita buta, yang dikenal sebagai goze (瞽女), juga berkeliling di
negeri tersebut sejak zaman abad pertengahan. Dia menyanyikan lagu dan
bermain musik dengan pukulan drum yang dibawanya.Sejak abad ketujuh belas
mereka sering memainkan koto atau shamisen. Organisasi Goze bermunculan di
seluruh negeri, dan ada hingga saat ini di prefektur Niigata.
Taiko

Penampilan Taiko
Taiko merupakan drum Jepang dalam berbagai ukuran dan digunakan untuk
memainkan berbagai genre musik.] Taiko ini telah menjadi sangat populer
dalam beberapa tahun terakhir sebagai instrumen utama perkusi yang
didasarkan pada berbagai daerah dan musik festival masa lalu. Musik taiko
tersebut dimainkan dengan gendang besar yang disebut kumi-daiko. Asal
usulnya tidak pasti, tetapi dapat diperkirakan sejak abad ke-7.
Negara Tiongkok telah mengikuti budaya ini, tetapi instrumen dan musiknya
tetap khas Jepang. Drum Taiko pada zaman ini digunakan saat pertempuran
untuk menakuti musuh dan untuk mengkomunikasikan perintah. Taiko selalu
digunakan dalam musik religius Buddha dan Shinto. Taiko ini hanya dimainkan

pada saat acara-acara khusus dalam kelompok kecil. Tidak hanya laki-laki,
kaum wanita juga memainkan taiko dalam festival semi-agama seperti tarian
bon.

Taiko modern konon ditemukan oleh Daihachi Oguchi pada tahun 1951.Pemain
genderang jazz, Oguchi menggabungkan latar musik ini ke dalam ansembel.
Gaya energik ini membuat kelompoknya populer di seluruh Jepang, dan
membuat Wilayah Hokuriku sebagai pusat musik taiko. Popularitas beberapa
musisi muncul dari musik ini termasuk Sukeroku Daiko dan rekan band
nya Seido Kobayashi. Pada tahun 1969 ada sebuah kelompok yang disebut Za
Ondekoza yang didirikan oleh Tagayasu Den; Za Ondekoza dikumpulkan
bersama-sama pemain muda yang berinovasi membangun kembali versi baru
dari taiko, yang dipakai sebagai cara hidup dalam gaya hidup komunal. Selama
tahun 1970-an, pemerintah Jepang mengalokasikan dana untuk melestarikan
budaya Jepang, dan banyak kelompok komunitas taiko dibentuk. Pada abad ini,
kelompok taiko sudah tersebar di seluruh dunia, terutama di Amerika
Serikat.Permainan video Taiko Drum Master juga didasarkan pada budaya ini.
Salah satu contoh Band Taiko modern adalah Gocoo.

Min'yō


Pemain shamisen, foto tahun 1904
Lagu daerah Jepang (min'yō) dapat dikelompokkan dan diklasifikasikan dalam
banyak jenis, tetapi sering kali dikelompokkan dari empat kategori utama
seperti: nyanyian kerja, lagu religius (seperti sato kagura, sejenis musik Shinto),
lagu yang digunakan untuk acara pernikahan, pemakaman, dan festival (matsuri,
terutama Obon), dan lagu anak-anak (warabe uta).
Pada musik min'yō, penyanyi biasanya disertai dengan alat musik
petik shamisen bersama taiko dan seruling bambu yang disebut shakuhachi.

Instrumen lainnya adalah seruling melintang yang dikenal sebagai shinobue,
sebuah bel yang dikenal sebagai kane, drum tangan yang disebut tsuzumi atau
kecapi 13 senar yang dikenal sebagai koto. Di Okinawa, instrumen utamanya
adalah sanshin. Ini adalah instrumen tradisional Jepang, tapi dengan
instrumentasi yang modern, seperti gitar listrik dan penyintesis.[6]
Banyak sekali peristilahan ketika membicarakan musik min'yō seperti ondo,
bushi, bon uta, dan komori uta. Ondo pada umumnya menjelaskan beberapa
lagu daerah dengan ayunan khasnya. Lagu khas daerah ini pada umumnya dapat
didengarkan pada festival tarian Obon. Fushi adalah lagu dengan melodi yang
khas. Komori uta adalah lagu pengantar tidur anak. Nama-nama pada lagu

min'yo biasanya meliputi peristilahan deskriptif dibagian akhir. Contoh: Tokyo
Ondo, Kushimoto Bushi, Hokkai Bon Uta, dan Itsuki no Komoriuta.
Banyak di antara lagu-lagu ini biasanya memerlukan penekanan yang lebih pada
beberapa suku kata tertentu serta teriakan bernada (kakegoe). Kakegoe pada
umumnya merupakan teriakan kegembiraan dalam musik min'yō, Kakegoe
sendiri sering dimasukkan sebagai bagian paduan suara. Ada banyak sekali
variasi kakegoe dari satu wilayah ke wilayah lainnya. DI Okinawa sendiri
sebagai contoh, teriakan itu berupa "ha iya sasa!" Di daratan Jepang sendiri
teriakan itu berupa "a yoisho!," "sate!," atau "a sore!" serta "a donto koi!," dan
"dokoisho!"
Baru-baru ini sistem berbasis serikat dikenal sebagai sistem iemoto telah
diterapkan untuk beberapa jenis min'yō. Sistem ini awalnya dikembangkan
untuk mentransmisikan genre klasik seperti nagauta, shakuhachi, atau musik
koto, tapi karena terbukti menguntungkan untuk para guru dan didukung oleh
siswa yang ingin memperoleh sertifikat kemahiran serta nama-nama artis terus
menyebar ke genre seperti min'yō, Tsugaru-jamisen dan jenis-jenis musik
tradisional lainnya ditularkan dengan cara yang lebih resmi. Saat ini, beberapa
min'yō diwariskan dalam organisasi keluarga pseudo.

Alat musik jepang

Koto

Minasan tahu alat musik tradisional asal Tanah Air kita tercinta yang
disebut ‘Kecapi’? Nah, ternyata ada alat musik tradisional jepang
yang serupa dengan sebutan ‘Koto’. Seperti halnya Kecapi di
Indonesia, Koto juga memiliki tali senar, hanya dengan jumlah lebih
sedikit, yakni 13 buah dawai. Bahkan, cara memainkan Koto juga
terbilang mirip dengan Kecapi, yaitu dipetik menggunakan jari
tangan.
Meski terlihat mirip, Koto agak berbeda dengan Kecapi. Nada yang
dihasilkan oleh musik tradisional Jepang tersebut memiliki ciri khas
sendiri, sehingga terbilang bisa dibedakan dengan nada dari Kecapi.
Selain itu, Koto memanfaatkan tiga jari tangan kanan yang sudah
dipasangkan alat bernama ‘Tsume’. Sedangkan tangan kiri dipakai
untuk mengatur suara nada dengan cara menahan tali senar, hal ini
sama seperti memainkan gitar.

Nihon Buyo

Nihon Buyo dikenal sebagai ‘Japanese Dance’ di ranah internasional

dan dipentaskan sebagai hiburan. Tarian satu ini menggunakan gerak
tubuh yang sangat pelan dan cenderung anggun. Para penari biasanya
memanfaatkan kipas, tali, dan benda-benda semacamnya untuk
membuat tarian menjadi lebih berseni.
Tidak sembarang orang dapat menarikan Nihon Buyo. Mengingat,
tarian tersebut sangatlah sulit dan memerlukan pengetahuan yang
cukup dalam. Biasanya, pada sekolah-sekolah formal di Jepang
(terutama setingkat SD dan SMP), ada guru seni yang mengajarkan
Nihon Buyo. Hal ini dimaksudkan untuk mengenalkan kebudayaan
lokal kepada generasi muda di sana.

Shamisen

Jika Koto agak mirip dengan Kecapi, maka Shamisen sedikit
menyerupai Biola. Bagi Minasan yang hobi sekali menonton film
Jepang, maka tidak asing lagi dengan alat musik tradisional jepang ini
karena sering ditampilkan dalam cerita. Shamisen memiliki tiga tali
senar dengan pendamping sebatang kayu yang disebut ‘Batchi’. Alat
musik tersebut acap kali ikut andil dalam berbagai acara tradisional di
Jepang. Nada yang dihasilkan Shamisen pun terbilang cukup unik.


kabuki

Jika Minasan suka menonton teater, maka cobalah menyaksikan
pertunjukan Kabuki ketika sedang berada di Jepang. Tarian tradisional
ini dikenal sarat akan makna dan filsafat tentang kehidupan. Dengan
menggabungkan unsur tari dan drama, pementasan Kabuki sering kali
menghipnotis para penontonnya. Gerak tubuh yang agresif dan alur
yang tak mudah ditebak pun menjadi ciri khas pementasan Kabuki.
Pada awalnya, Kabuki hanya dibawakan oleh seniman wanita. Namun
pada masa rezim penguasa terdahulu di Jepang, pertunjukan Kabuki
yang diperankan oleh perempuan dilarang karena dianggap vulgar dan
tidak senonoh. Penduduk pun kemudian berinisiatif untuk kembali
menghidupkan kesenian satu ini dengan seniman pria sebagai
pelakon. Cerita yang diangkat dalam Kabuki pun terbilang bermacammacam, mulai dari sejarah, sebuah peristiwa, dongeng, perilaku
masyarakat, hingga gaya hidup.

Bon Odori

Tarian tradisional satu ini sangatlah terkenal. Biasanya

dipertunjukkan ketika musim panas di Jepang sedang berlangsung.
Hal unik dari Bon Odori adalah orang-orang akan menari sambil
berkeliling menggunakan yukata atau kimono. Gerakan yang diambil
pun berbeda-beda. Tarian tersebut dilakukan semata-mata untuk
menghormati jasa para leluhur. Agustus merupakan bulan
diselenggarakannya Festival Bon dimana tarian Bon Odori bakal
diadakan.

wakaiso

Wadaiko atau Taiko merupakan alat musik tradisional jepang yang konon
dibawa dari Cina saat ajaran Buddha masuk ke Jepang. Ada berbagai macam
tipe dan bentuk dari Wadaiko. Mulai dari bulat pipih seperti drum, lonjong
panjang seperti gendang, hingga ke yang paling besar seperti beduk. Biasanya,
Wadaiko digunakan dalam festival-festival tahunan, upacara keagamaan yang
sakral, dan semacamnya. Dibanding Shamisen, Wadaiko lebih sering muncul
dalam berbagai franchise hiburan asal Jepang, seperti manga, anime, game,
film, dan bahkan iklan televisi.

Shakuhachi


Shakuhachi merupakan sebuah alat musik tradisional jepang yang berupa
suling. Biasanya terbuat dari bambu, dengan lima buah lubang, dimana empat
lubang berada di bagian depan dan satu lubang di bagian belakang. Alat musik
ini sering digunakan sebagai alat meditasi para biksu, pengiring acara-acara
tarian tradisional seperti Noh Mai dan Kabuki, atau upacara keagamaan lainnya.
Meski begitu, Shakuhachi juga digunakan dalam musik modern, tentunya
dengan sentuhan modifikasi pada alatnya.

Penyanyi terkenal jepang
Kokoro no Tomo, First Love, La La La Love Song

Kokoro no Tomo - Mayumi Itsuwa
Tak perlu ditanya lagi, Kokoro no Tomo yang dinyanyikan oleh
Mayumi Itsuwa memiliki notasi lembut yang indah dengan lirik dan
refrain yang mudah dihapal. Bait "Ai wa itsumo Lullaby" juga sulit
untuk dihilangkan dari kepala.
Wanita kelahiran 24 Januari 1951 pertama kali mempopulerkan
Kokoro no Tomo pada 1987 yang akhirnya diakui sebagai salah satu
tembang Negeri Sakura paling populer di Indonesia.


True Love

True Love - Fumiya Fujii
Kerap menghasilkan lagu-lagu berirama lembut, nama Fumiya Fujii
cukup disegani di kancah industri musik Jepang. Single True Love
yang rilis pada 1993 sukses terjual 2 juta kopi.
Ditambah lagi, lagu ini sangat disukai di Indonesia berkat notasi, lirik
dan suara Fujii yang terdengar kebapakan. Lirik reffrainnya yang
singkat memang sangat menyayat hati.
"Kimi dake wo shinjite, kimi dake wo kizutsukete. Bokura wa itsumo
haruka haruka tooi mirai wo. Yume miteta hazu sa," begitu bunyi
reffrain lagunya.

Fukai Mori - Do As Infinity
Bertindak sebagai pengisi soundtrack anime Inuyasha, Fukai Mori
awalnya terkenal di kalangan pemirsa televisi Indosiar yang
menyiarkan anime ini di tanah air.
Barulah kemudian fans berat anime menyanyikan lagunya hampir
setiap hari dan pecinta musik umum di Indonesia pun tak dapat
menyangkal keberadaan lagu ini.
Do As Infinity memang harus diakui sukses menciptakan reffrain lagu
sangat kuat di lagu ini. Mari kita mengingat lagi lirik reffrain bagian
pertama: "Bokutachi wa ikiru hodo ni, nakushiteku sukoshi zutsu,
itsuwari ya uso wo matoi, tachisukumu koe mo naku."

Sobakasu - Judy and Mary
Terkenal berkat perannya sebagai lagu pembuka anime Rurouni
Kenshin alias Samurai X yang pernah mengudara di SCTV, Sobakasu
berhasil memikat para pecinta musik di Indonesia berkat komposisi
musik dan suara penyanyinya yang unik.
Bagi yang awam dengan Judy and Mary selaku band yang
mempopulerkan lagu ini, tentunya akan menyangka kalau Sobakasu
dinyanyikan oleh anak-anak. Namun begitu diteliti, ternyata
vokalisnya yang notabene seorang wanita, sudah berusia sekitar 23-24
tahun saat menyanyikannya.
Ingin nostalgia dengan masa-masa keemasan Samurai X di Indonesia
sekaligus mengenang Judy and Mary yang sudah bubar? Mari kita
ingat kembali sepenggal reffrain lagu ini, "Omoide wa itsumo kirei
dakedo, Sore dake ja onaka ga suku wa, Hontou wa setsunai yoru na
no ni, Doushite kashira? Ano hito no egao mo omoidasenai no."

I For You - Luna Sea
Nama Luna Sea dianggap tak asing lagi bagi para pecinta musik
Jepang di Indonesia. Lagu mereka yang pertama kali muncul di
Indonesia melalui stasiun TV swasta adalah Love Song.
Namun begitu serial drama bertajuk Kamisama, mou Sukoshi dake
diputar di Indosiar, lagu bertajuk I For You yang menjadi soundtrack
pun otomatis diputar. Alhasil, lagu ciptaan band rock legendaris ini
pun langsung mendapat tempat di hati.
Lupa dengan lirik reffrain yang nada lagunya menyayat hati itu? Mari
kita ingat kembali: "Kokoro kara kimi ni tsutaetai, kizutsukisugi
dakedo mada ma ni au yo, kokoro kara kimi wo aishiteru, kimi ni furu
itami wo nugutteagetai subete I for You."

Mirai e - Kiroro
Lagu Mirai e yang diciptakan duet wanita Kiroro ini, tentu tak bisa
luput dari ingatan siapapun yang telah mendengarnya. Liriknya yang
memiliki arti penyesalan seorang anak yang menyia-nyiakan kasih
sayang ibunya, kerap membuat lagu berirama sedih ini dijadikan
sebagai lagu pengiring perpisahan.
Intro lagunya yang juga menjadi reffrain pun gampang diingat: "Hora
ashimoto wo mite goran, Kore ga anata no ayumu michi, Hora mae
wo mite goran, Are ga anata no mirai." Maka tak salah jika pendengar
musik di Indonesia sangat mengenal lagu satu ini.

Forever - Takashi Sorimachi
Satu judul lagu Jepang yang rasanya sulit dilupakan adalah Forever
milik aktor Takashi Sorimachi. Suaranya yang berat dan musiknya
yang lembut, menggambarkan suasana pantai layaknya serial drama
Beach Boys yang soundtracknya diisi lagu ini.
Ketika drama Beach Boys yang juga dibintangi Sorimachi tayang di
Indosiar, otomatis Forever menjadi salah satu lagu yang membuat
beberapa pemirsa mendendangkannya. Coba kita ingat liriknya di
bagian reffrain: "Kawarazu ni nagarete yuku toki wa tomerarenai (no,
you can't stop time), kore kara no michi de nani ga attemo ima wo
wasurenai sa (forever your friend)." (Rul/Ade)

Tangga nada musik jepang

Tangga nada di Jepang sangat mirip dengan tangga nada di Jawa.
Tangga nada Jepang adalah tangga nada pentatonik. Pentatonik
berasal dari gabungan kata penta ( lima ) dan tonik ( nada ), sehingga
pentatonik dapat diartikan sebagai tangga nada yang terdiri dari lima
nada. Dari tangga nada diatonik mayor ( c - d - e - f - g - a - b - c' )
yang jumlahnya 7 nada, dapat diperoleh tangga nada pentatonik
dengan mengurangi 2 nada, dalam hal ini terdapat dua macam tangga
nada pentatonik : 1. c - d - e - g - a - c' ( tanpa f dan b ) 2. c - e - f - g b - c' ( tanpa d dan a ) Tangga nada pentatonik pada umumnya
digunakan pada musik tradisional ( China, Jepang ) termasuk di
Indonesia pada musik gamelan ( Jawa ). Khusus pada Gamelan Jawa,
dua macam tangga nada pentatonik tersebut dinamakan titi laras
slendro dan titi laras pelog.

TUGAS SBK

Nama kelompok :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Arjuna Nayasilana
Arneza diva z
Fuad Alfan
Hilwa azzahra
Muhammad firzy
Qusnul chotimah