Aceh Situs Perang dan Kenangan

Aceh, Situs Perang dan Kenangan
Oleh: Lilianne Fan
Sembilan tahun lalu, 15 Agustus 2005, Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) menandatangani sebuah perjanjian yang bersejarah di Helsinki, Finlandia.
Perjanjian ini telah mengakhir konflik selama 30 tahun lebih di provinsi paling ujung
pulau Sumatera, Indonesia. Nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) yang
telah ditandatangani, tepatnya delapan bulan pasca musibah Tsunami yang menghantam
wilayah Samudera Hindia, telah membuka pintu masyarakat dunia terhadap Aceh.
Dimana setelah sekian lama provinsi yang terletak di ujung Indonesia ini tertutup dari
pandangan masyarakat luar.
Saat ini, Aceh sudah dianggap sebagai kisah yang terbilang langka, baik dari segi
perdamaian maupun segi pemulihan yang luar biasa pasca terjadinya musibah tsunami.
Bahkan sampai saat ini saja, sangat sedikit sekali masyarakat Aceh yang mengetahui
tentang kondisi konflik itu sendiri. Dimana sebagian besar masih berada di balik tirai
gelap masa orde baru di bawah kepemimpinan Suharto, ataupun tentang dampak dari
konflik yang dialami oleh masyarakat Aceh itu sendiri selama bertahun-tahun lamanya.
Hal ini tidak hanya berlaku saja bagi masyarakat internasional, namun juga lebih
tragisnya bagi masyarakat Aceh itu sendiri. Bagaimana keadaan selama konflik di Aceh,
masihkah Anda ingat? Ini adalah satu pertanyaan yang memiliki implikasi yang
memungkinkan untuk membayangkan arti sebuah perdamaian yang bisa diceritakan oleh
semua rakyat Aceh.

Arsip Kekerasan
Secara fakta, tidak mengherankan jika sebagian besar orang tidak banyak yang
mengetahui tentang dampak dari konflik itu sendiri. Operasi melawan GAM dengan dalih
menumpas pemberontakan yang dilontarkan oleh Jakarta telah berjalan selama bertahuntahun. Alasan ini sengaja dikobarkan sebagai ajang untuk mengkampanyekan teror,
banyak mayat-mayat tergeletak di sepanjang tepi jalan atau di sawah-sawah yang sengaja
dilakukan untuk menakut-nakuti penduduk lokal dengan dalih sebagai ganjaran hukuman
bagi siapa saja yang mendukung GAM.
Sementara itu, sebagian besar dari tindak kekerasan yang secara jelas jika ditelusuri
pelaku baik itu dari pihak Tentara Indonesia (TNI) atau GAM, ada juga banyak tindakan
kekerasan yang dilakukan secara misterius, seperti pembunuhan tanpa alasan yang jelas
terhadap kepala desa, petani dan pedagang oleh orang tak dikenal (OTK). Hal ini akan
memicu fase ketakutan, konspirasi dan ragu-ragu antar sesama warga. Sejumlah
informasi pun tidak bisa beredar dengan mudah di masa-masa kelam saat itu, baik itu segi
ancaman kekerasan yang secara langsung serta keberadaan para intelijen dan informan.
Beberapa mereka yang dicurigai atau ditangkap karena dituduh sebagai informan (‘cuak’)
seringkali mendapat perlakuan kejam dan bahkan dibunuh.

Apa yang diketahui tentang kekerasan selama konflik, terutama sekali sejumlah laporan
yang berasal dari beberapa lembaga Hak Asasi Manusia, kebanyakan dari mereka bahkan
rela mempertaruhkan nyawa mereka sendiri untuk membeberkan sejumlah dokumentasi

pelanggaran HAM yang berlangsung di provinsi Aceh. Sejumlah informasi terhadap
jumlah serta peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi selama konflik, diantaranya 10.000
hingga 30.000 orang yang tewas, sebagian besar mereka memilih untuk melarikan diri ke
negara-negara tetangga. Banyak warga Aceh, pejuang maupun warga sipil yang menjadi
sasaran korban pelanggaran Hak Asasi Manusia, seperti penyiksaan, pemerkosaan,
penculikan serta penahanan yang sewenang-wenang tanpa alasan yang jelas.
Pelanggaran HAM mencapai puncaknya antara tahun 1989 hingga 1998, ketika itu Aceh
dinyatakan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), serta pasca jeda kemanusiaan setelah
lengsernya Suharto dari kursi kepresidenan ketika operasi melawan GAM mulai
diterapkan. Beberapa kasus yang paling menonjol dari tindakan brutal ini menandakan
perilaku kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti peristiwa Simpang KKA pada tahun
1999 di Aceh Utara. Dimana 21 pengunjuk rasa ditembak mati oleh tentara militer
Indonesia, serta pembantaian ulama kharismatik, Teungku Bantaqiah beserta 57 muridnya
tewas di sebuah desa terpencil di Beutong Ateuh, Aceh Barat.
Ketika Soeharto lengser dari kursi presiden pada tahun 1998 dan status DOM dicabut,
cerita tentang kekerasan mulai tersebar di daerah Aceh yang disebut zona hitam tersebut.
Dimana kebanyakan masyarakat Aceh yang berasal dari semua kalangan masih tetap
menyisakan sejuta kenangan pahit dari tindak kekerasan. Banyak warga Aceh
dimobilisasi untuk membantu menanggapi segala cara dalam bentuk apapun yang mampu
mereka lakukan. Banyak siswa yang putus sekolah ataupun mahasiswa yang putus kuliah

mendirikan organisasi untuk mendukung korban kekerasan serta para pengungsi yang
berasal dari wilayah pedesaan untuk memantau sejumlah pelanggaran HAM.
Sebuah gerakan anti-kekerasan yang dipimpin oleh sejumlah mahasiswa muncul dengan
menuntut diakhirinya operasi militer dan menyerukan referendum yang berjalan secara
demokratis. Organisasi-organisasi perempuan mendokumentasikan beberapa kasus-kasus
kekerasan seksual serta meminta para pelaku untuk diseret ke pengadilan. Sementara itu,
para tokoh agama dan intelektual meminta kekerasan segera diakhiri dan dilakukan
dengan dialog. Gerakan sipil ini telah mengubah lanskap konflik di Aceh dengan
memainkan sejumlah peranan penting dalam mempengaruhi GAM untuk terlibat dalam
proses jeda kemanusiaan yang kemudian dilakukan dengan proses negosiasi damai
dengan pemerintah pusat di Jakarta. Namun sayang, gerakan ini tidak diakui secara resmi
dalam proses perdamaian Aceh.
Selama periode ini berlangsung, warga Aceh untuk pertama kalinya menjadi saksi pro
aktif sebagai dokumenter di masa konflik serta melakukan berbagai macam upaya secara
bersama-sama untuk merekam jejak pelanggaran dan mengumpulkan sejumlah barang
bukti. Sejumlah korban diwawancarai, kuburan massal mulai ditemukan, insiden baru
mulai dilaporkan dan akhirnya menjadi sorotan sejumlah media lokal maupun nasional.
Namun, setiap kasus yang telah dilaporkan dan dikumpulkan dalam satu arsip, selebihnya

tidak pernah dilaporkan sama sekali dan hanya menjadi sejumlah berita yang tidak pernah

didokumentasikan.
Secara reflek, masalah ini tidak hanya mengumpulkan sejumlah barang bukti yang cukup
memadai, namun juga adanya perbedaan karakter secara tidak jelas dari banyaknya kasus
kekerasan yang terjadi di Aceh, khususnya pada awal-awal dicabutnya DOM yang telah
menyisakan banyak efek seperti korban hilang dan trauma. Secara lebih luas, itu
mencerminkan terjadinya hubungan yang sangat rumit antara tindakan terhadap
pengakuan dari sejumlah saksi korban kekerasan maupun sejumlah barang bukti lainnya.
Seorang pakar teoritikus politik, Giorgio Agamben yang telah menulis sejumlah catatan
penting dalam bukunya yang berjudul "Remnants of Auschwitz: The Witness and the
Archive” (Bekas-bekas Auschwitz: Saksi dan Arsip), melihat bahawa dalam menjadi
saksi "posisi manusia terbelah… manusia ini berada dalam fraktur antara makhluk hidup
dan makhluk yang mampu berbicara, di antara kondisi bersifat manusiawi dan tidak
manusiawi".
Antara Sejarah dan Memori
Dengan demikian, tanpa mengesimpangan betapa pentingnya melanjutkan penggalian
dan analisistentang fakta-fakta terbaru tentang konflik Aceh sebanyak mungkin, soalan
‘mengetahui’ maupun ‘mengenang’ konflik Aceh merupakan sebuah soalan rumit.
Bahkan jika informasi yang lebih akurat diperoleh dari hasil analisis yang telah dilakukan
dengan baik mengingat konfil ini tidak terjadi dengan mudah membalikkan telapak
tangan. Hal ini dikarenakan seperti semua peringatan dalam bentuk ulang tahun

perjanjian damai Aceh yang tidak hanya sekedar mengingat sebuah peristiwa bersejarah
tertentu, namun juga ia menampakkan ketegangan yang tak dapat didamaikan antara
peristiwa sejarah dan memori.
Sejarawan budaya asal Perancis, Pierre Nora dalam sebuah catatan essainya yang
berjudul Antara Memory dan Sejarah: Les Lieux de Mémoire, sejauh mungkin untuk
menyatakan bahwa sejarah dan memori itu secara fundamental bertentangan antara satu
sama lain, bahkan akan saling menghapus. Sementara itu, sejarah merupakan sebuah
upaya untuk mendokumentasikan serta merekonstruksikan ulang tentang fakta kejadian
yang terjadi di masa lalu, sedangkan memori adalah sebuah kehidupan dan evolusi
permanen yang dapat mengingatkan serta dapat melupakan segala peristiwa itu kembali.
Sejarah itu merupakan sebuah bentuk cita-cita untuk mencapai totalitas dan objektivitas
yang selalu tidak lengkap. Sedangkan memori secara pribadi ini akan rapuh dan hilang
sehingga mampu membawakan suatu perasaan yang lebih mendalam dan permanen
dimana secara karakter masing-masing kita sendiri yang mengalaminya.
Untuk mengingat kembali tentang perdamaian yang sangat berharga bagi rakyat Aceh,
maka yang paling dibutuhkan adalah dengan membuka kembali ruang untuk melakukan
refleksi ulang serta ekpresi dalam memori kehidupan. Hal ini membutuhkan sosok
pemimpin Aceh yang menerima bahwa tidak memiliki narasi untuk melawan dari segala

bentuk penderitaan serta mendorong semua rakyat Aceh untuk terus belajar antara satu

sama lain sehingga nantinya mendapatkan pemahaman tentang segala cara dimana
konflik ini telah mempengaruhi kehidupan setiap orang. Melalui cara pendekatan seperti
ini, setiap pengalaman itu sangatlah masuk akal, setiap pengakuan mulai diakui.
Selama 15 tahun bekerja di Aceh, saya telah belajar banyak dengan hanya mendengarkan
sejumlah kisah-kisah dari masyarakat Aceh, termasuk diantara pengungsi serta para
pencari suaka politik. Mereka telah banyak mengajarkan saya tentang realitas perang,
ketakutan, dan ketabahan; kesedihan, trauma dan memori; pengorbanan, iman dan
penolakan menjadi korban; mulai dari hubungan persahabatan yang berujung kepada
pengkhianatan hingga bagaimana sejarah ini dapat kembali terjalin dari masa kini hingga
ke masa yang akan datang dalam tatanan kehidupan sehari-hari.
Saya belajar bahwa Aceh telah banyak disalahpahami selama berabad-abad. Dimana
adanya kesalahpahaman politik dalam masyarakat sehingga telah mengarah pada sejarah
terjadinya perpecahan dan konflik antar sesama. Yang lebih penting lagi, saya telah
belajar bahwa konflik telah mempengaruhi semua orang dimana perang tidak pernah
memandang bulu siapapun. Untuk semua keragaman politik, budaya dan intelektual
Aceh, perang merupakan sebuah warisan utama masyarakat Aceh, namun sebagian besar
masih belum bisa diselidiki sampai sekarang.
Jalan menuju MoU Helsinki tidaklah mudah, dan jalan dari MoU itu sendiri juga sangat
menyakitkan. Perdamaian itu tidak terjadi dengan penandatanganan pada selembar kertas,
dan ini akan memakan waktu selama bertahun-tahun atau bahkan generasi Aceh harus

membangun kembali masyarakatnya yang sudah terluka, membangun kembali dasardasar kepercayaan serta mencegah segala bentuk konflik yang memungkinkan ini akan
kembali terjadi.
Namun, seiring berjalannya waktu, Aceh kini telah memiliki kesempatan untuk
mempelajari dan merefleksi ulang tentang pengalaman yang mereka alami sendiri dengan
cara mendengarkan satu sama lain dan belajar tentang konflik dengan cara yang berbedabeda yang telah mereka alami masing-masing. Dalam tatanan kehidupan masyarakat
telah terkoyak akibat perang dan sekarang ini menjadi tantangan sendiri akibat
perpecahan yang terjadi pasca konflik, tindakan yang sederhana ialah dengan
mendengarkan antara satu sama lain sehingga nantinya bisa menjadi subversif dan
transformatif.
Melalui cara mendengarkan satu sama lain dengan mengingat masa lalu, suatu hari Aceh
mungkin akan dapat membayangkan masa depannya yang benar-benar menjadi milik
semua orang sehingga mampu membawa selangkah lebih dekat bagi perdamaian yang
sangat sulit sekali dipahami serta keadilan yang belum sepenuhnya mereka dapatkan.
Artikel ini ditulis oleh Lilianne Fan, seorang pakar antropolog dan peneliti yang telah
sekian lama terlibat langsung di Aceh sejak tahun 1998 silam. Saat ini ia sedang menulis
sebuah buku tentang sejarah, konflik, dan memori Aceh.