KONTEMPORALITAS SEBAGAI ANGSA HITAM BAGI

KONTEMPORALITAS SEBAGAI ANGSA HITAM BAGI
SAINS HUBUNGAN INTERNASIONAL:
Serius dengan tuntutan interdisiplinaritas1
Hizkia Yosie Polimpung
Jaringan Riset Kolektif (JeRK)
dan
PACIVIS Center for Global Civil Society Studies
Universitas Indonesia

“No number of sightings of white swans can prove the theory that all swans are white. The
sighting of just one black one may disprove it.”
—Karl Popper

Beberapa waktu yang lalu, seorang teman mengirimkan sebuah gambar foto yang
diambilnya di sebuah taman di sub-urban London. Di foto itu tergambar sebuah coretan
pylox berbunyi “Positivism is not so bad, it is your theory that sucks!”. Kalimat ini punya arti

penting bagi sains pada umumnya, terutama dalam kaitannya dengan filsafat ilmu
pengetahuan positivisme. Hari ini, di dalam diskusi ilmu sosial, setidaknya yang terjadi di
sekitar dan dalam jangkauan amatan saya, menjadi positivis seakan adalah sesuatu yang
buruk, bahkan jahat. (Teori Kritis, terutama mazhab Frakfurt, telah sukses meyakinkan

banyak orang bahwa menjadi positivis berarti turut berpartisipasi dalam eksploitasi
kapitalistik). Akhirnya, banyak orang yang menafikan positivisme begitu saja dan
mengulum pemikiran-pemikiran kritis. Sekali lagi, ini punya implikasi erat dengan nasib
sains. Semenjak imaji positivisme lekat dengan sains, maka sains pun ikut kena getahnya.
Ia mendapat citra buruk di kalangan saintis sosial.
Umumnya positivisme ditolak oleh kalangan ilmuwan sosial karena pretensinya
akan obyektivitas dan kepongahannya terhadap proseduralisme dalam penelitian.
Tuntutan bebas-nilai positivis juga membuat, misalnya, kalangan etnografis dan feminis
geram. Klaim universal dari positivisme pun dituduh (dan memang terbukti!) justru
menyembunyikan dan menormalkan idiologi dominan—kapitalis, patriarki, Barat. Sebagai
1 Makalah disiapkan untuk Simposium “Menjawab Tantangan Ilmu HI dalam Sketsa Kontemporer,” Universitas
Paramadina, Jakarta, 7-8 November 2013. Makalah ini berhutang pada diskusi konstruktif dengan Dodi Mantra yang
untuknya saya sampaikan terima kasih. Selain itu, makalah ini juga berhutang pada diskusi-diskusi dengan banyak
mahasiswa di kelas-kelas Teori HI dan Metodologi Penelitian HI yang saya ampu. Namun demikian, argumentasi
yang dikemukakan di sini adalah tanggung jawab saya pribadi.

gantinya,

mereka


menawarkan

pendekatan-pendekatan

yang

subyektif

dan/atau

intersubyektif. Di studi Hubungan Internasional (HI) juga tidak terkecuali. Tahun 1980-an,
muncul penstudi-penstudi yang mendakwa positivisme,2 bahkan juga mulai terangterangan memerangi sains dan saintisme.3 Hal ini bukan tanpa taruhan tentunya.
Teruhan pertama adalah status disipliner dari HI itu sendiri. Saat sains dimusuhi,
maka predikat-predikat sains seperti obyektivitas, empirisisme, universalitas dan
proseduralisme menjadi ikut ditanggalkan. Dengan beralih kepada aspek subyektivitas
semata, studi HI hanya akan menjadi studi selalu membicarakan manusia, membicarakan
spesiesnya sendiri, singkatnya: narsis. Kedua, aktivitas disipliner dari HI itu menjadi
sekedar kritik dan refleksi, tanpa ada tawaran-tawaran kongkrit untuk problem
dilapangan—selain anjuran-anjuran normatif etis (saling menyayangi, saling menghargai,
saling introspeksi, saling mengakui, dst.).4 Aktivitas teorisasi pun akhirnya menjadi pesta

pora “perayaan perbedaan.”5 Ketiga, relasi intra-disipliner dengan kubu-kubu lain menjadi
semakin bercorak saling mengasingkan-diri,6 dan akhirnya dialog menjadi tidak ada, atau,
sekalipun ada, hanya akan menjadi olok-olok.7
Inilah nasib studi HI: mereka yang sadar akan basis filsafat keilmuan menjadi
dismisif, sementara mereka yang tidak, tetap acuh tak acuh dengan perdebatan filosofis
sembari melanjutkan riset-riset pesanan negara dan korporasi. Seorang penstudi pernah
mengungkapkan ini dengan manis, “[l]et us not deceive ourselves. The vast majority of
scholarship in international relations (and the social sciences for that matter) proceeds without
conscious reflection on its philosophical bases or premises.”8 Tapi, apakah sains memang seburuk

itu sehingga harus ditinggalkan bagi mereka yang “melek” filsafat keilmuan?

Robert Cox, “Social Forces, States and World Orders: Beyond International Relations Theory,” Millennium, 10, 2,
1981; Richard Ashley, “Political Realism and Human Interest,” International Studies Quarterly, 25, 2, 1981; Richard
Ashley, “The Poverty of Neorealism,” International Organization, 38, 2, 1984.
3 James Der Derian, “Post-theory: The eternal return of ethics in international relations,” dlm. M. Doyle & J.
Ikkenberry, peny., New Thinking in International Relations Theory (New York: Westview Press, 1997): 55-75.
4 Diantaranya: Roxanne Lynn Doty, “Fronteras Compasivas and the Ethics of Unconditional Hospitality,”
Millennium, 35, 1, 2006: 53–74; Elizabeth Dauphinée, “The Politics of the Body in Pain: Reading the Ethics of
Imagery,” Security Dialogue, 38, 2, 2007: 139-155; David Campbell & Michael J. Shapiro, Moral Spaces: Rethinking Ethics

and World Politics (Minneapolis: Univ. of Minnesota Press, 1999).
5 Jim George & David Campbell, “Patterns of Dissent and the Celebration of Difference: Critical Social Theory
and International Relations,” International Studies Quarterly, 34, 3, 1990: 269-293.
6 Marysia Zalewski, Ann Tickner, Christine Sylvester, et.al., “Roundtable Discussion; Reflections on the Past,
Prospects for the Future in Gender and International Relations,” Millennium, 37, 1, 2008:153-179.
7 Paling culas adalah saat Keohane menyudutkan pendekatan pasca-positivisme sebagai “memalukan” (shame).
Robert O. Keohane, “International Institutions: Two Approaches,” International Studies Quarterly, 32, 4, 1998: 392.
8 Thomas Biersteker, “Critical Reflections on Post-Positivism in International Relations,” International Studies
Quarterly, 33, 3, 1989: 265.
2

Sebelum menjawab ini, ada baiknya melihat perkembangan peristiwa-peristiwa
global kontemporer, di luar menara gading disipliner HI, yang menyita perhatian penstudipenstudi HI. Siklus krisis ekonomi yang selalu berulang, dan memakan korban tentunya.
Krisis finansial global 2008 dan ekstensinya ke krisis zona Euro 2011. Krisis harga pangan
global tahun 2008 dan 2011. Naiknya ektrimisme bernuansa relijius dan rasial hampir di
seluruh dunia. Maraknya bajak dan perompak laut. Merebaknya protes, mulai dari #Occupy
Wall Street sampai Arab Spring. Eksploitasi habis-habisan atas alam, kekayaan hayati,
bahkan genetika. Opresi pemerintah-pemerintah diktator sampai dengan pengintaian
seluruh dunia oleh negara-negara besar. Singkatnya: krisis. Krisis telah menjadi kosakata
lumrah di hari-hari ini. Daftar ini tentu masih bisa bertambah.

Apabila diperhatikan, peristiwa-peristiwa ini memiliki corak yang kurang lebih
sama: memiliki dampak berskala global dan kejadiannya tidak terprediksikan. Corak
pertama tentu saja merupakan akibat dari proses integrasi global akan seluruh aspek
kehidupan yang difasilitasi oleh terobosan teknologi komunikasi dan informasi mutakhir.
Kini semua saling terkoneksi dalam suatu jejaring berskala global. Kata ”koneksi” ini harus
dibingkai baik secara abstrak (relasi sosial),9 maupun kongrit-material (teknologi fiber dan
satelit).10 Corak kedua merupakan implikasi dari corak pertama: saat dunia semakin
terintegrasi dan terjejaring, maka kompleksitas hubungan sosial mengikuti. Kompleksitas
ini pada gilirannya juga menelurkan resiko-resikonya sendiri.11 Semakin canggih tingkat
peradaban global, maka semakin canggih pula resiko-resiko yang mengintai kehidupan
masyarakat. Semakin canggih suatu resiko maka semakin tidak terprediksi pula ia. Inilah
yang menggoda dua filsuf matematika yang sedang naik daun saat ini untuk
mengkarakterisasikan era kontemporer sebagai era Angsa Hitam. Angsa Hitam adalah
metafora bagi suatu kejadian yang tak terduga yang mampu menghancurkan pandangan
dan tatanan yang sudah terbangun sejak lama.12 Akhirnya, corak peristiwa di era
kontemporer bisa dikatakan terdapat dua pasang: terjejaring dan contagious; kompleksitas
dan ketidakpastian.
Nah, terhadap krisis dengan corak kontemporer semacam ini, apa tawaran
penjelasan dan solusi atasnya? Pertanyaan ini apabila diajukan kepada kedua kelompok
Saskia Sassen, peny., Global Networkes, Linked Cities (London New York: Routledge, 2002)

Steven Shaviro, Connected, or What It Means to Live in the Network Society (London, Minneapolis: University of
Minnesota Press, 2003).
11 Ulrich Beck, World Risk Society (Cambridge: Polity Press, 1998); Ulrich Beck, World at Risk (Cambridge: Polity
Press, 2009).
12 Nassim N. Taleb, The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable, edisi kedua (NY: Random House, 2010);
Ayache, Elie, The BLANK Swan: The End of Probability (West Sussex: Wiley, 2010).
9

10

penstudi di atas—yang melek filsafat ilmu dan tidak, akan menghasilkan sesuatu yang
sama mengkhawatirkannya. Mereka yang tidak “melek” filsafat ilmu, atau yang sengaja
mengacuhkannya, akan terus meneliti dengan pendekatan yang ia warisi turun-temurun
dari profesor-profesornya tanpa pernah memeriksa langgam-langgam teorinya (asumsi,
metdologi, epsitemolgi, ontologi). Bahkan, mereka yang terang-terangan oportunis, justru
menggunakan krisis-krisis ini untuk meraup keuntungan melalui riset-riset konsultasinya.
Sebaliknya, bagi mereka yang “melek” filsafat ilmu, apa yang mereka punya selain analisisanalisis dramatis, etis dan moralis (yi., misalnya, krisis terjadi karena kurg kas sayang dan
rasa saling menghargai), dan/atau analisis yang mencari kambing hitam (yi., mulai dari
antek kapitalis serakah sampai konspiras Yahudi). Lalu saat ditanyakan tawaran, yang bisa
mereka berikan hanyalah nasihat-nasihat etis moralis untuk saling menyayangi, saling

menghargai, saling introspeksi, saling mengakui, dst.
Gambaran ini, dalam pengalaman saya bergelut di studi HI, bisa jadi lebih parah.
Tidak sedikit penstudi HI yang dipenghujung analisis “kritis”-nya membubuhkan seruanseruan dramatis bernuansa motivasional, normatif, moralis, bahkan relijius. Problemnya
adalah tawaran ini sama sekali tidak akan menjelaskan apa-apa. “Don’t moralize the problem,
because if you moralize it, you can say whatever you want,” kata Zizek. Bahkan, ia juga tidak

akan mengubah keadaan: “[n]o amount of dialogue or moral preaching will ever convince the
ruling class to give up its power,” seru Mouffe.13 Padahal inilah taruhan terbesar dari suatu

sains: tidak hanya menjelaskan dunia, melainkan mengubahnya. Klaim makalah ini adalah,
satu-satunya cara untuk keluar dari lumpur moralisme, etikalisme dan dramatisme ini
adalah dengan merehabilitasi sains. Studi HI harus dikembalikan predikatnya sebagai
suatu sains: “sains HI.”14 Proyek rehabilitasi ini, namun demikian, tetap harus
memperhatikan kritik dari teori-teori kritis, dan kemudian harus mampu untuk tidak
mengulangi tuduhan-tuduhan kritis tadi. Sehingga pertanyaan besarnya kemudian adalah
pada bagaimana mengembalikan predikat sains di HI tanpa mengulangi keterbatasanketerbatasan sains yang dikritik oleh teori kritis? Apa saja syarat yang harus dipenuhi oleh
sains HI ini untuk mampu menjawab kontemporalitas krisis?

Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London: Verso, 2000): 15.
Saya mempergunakan kata “sains” secara sengaja dengan tujuan untuk membedakan dari kata “studi” dan

“ilmu” yang umumnya dipergunakan terkait HI sebagai disiplin. Kata “sains HI” cenderung jarang dipergunakan,
dan kejarangan ini yang saya manfaatkan untuk mengasosiasikan nuansanya dengan positivisme. Sekali lagi, saya
tidak melihat ada perbedaan substansial dari makna semantiknya; penamaan ini hanyalah strategi retorik semata.
13

14

Garis Besar Pembahasan
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, makalah ini terbagi pada beberapa
bagian. Pertama, diskusi berfokus pada upaya merehabilitasi sains dari kritik-kritik teori
kritis. Upaya ini juga diteruskan dengan merekonseptualisasikan sains yang mampu
menjawab tantangan kontemporer. Di sini, diskusi juga akan membahas mengenai
konsepsi “kontemporer” itu sendiri dan implikasi-implikasinya. Bagian kedua akan
memeriksa perkembangan disipliner HI dalam, setidaknya, 10 tahun terakhir. Ada dua
tendensi yang dihasilkan dalam penelusuran ini, yaitu meningkatnya kesadaran
interdisipliner dari penstudi-penstudi HI untuk berdialog dan mengimpor pendekatanpendekatan yang sama sekali, tadinya, asing bagi HI; dan lainnya, semakin diterimanya
konsesi “pluralisme metodologis” sebagai solusi deadlock Debat Akbar di studi HI. Pada
bagian ketiga, refleksi kritis atas keduanya akan disajikan terhadap kedua tendensi dengan
cara mengevaluasinya berdasarkan kriteria sains HI yang sudah digariskan di bagian
pertama. Bagian keempat akan ditutup dengan simpulan dan sedikit ekskursus tekait

upaya kampanye sains HI melalui pedagogi.
Secara garis besar, argumentasi yang diusung di makalah ini adalah bahwa adalah
krusial untuk mengembalikan HI ke predikat sainsnya apabila ia benar-benar
mendedikasikan dirinya untuk menawarkan pemecahan bagi problem-problem kongkrit di
lapangan. Untuk ini, predikat-predikat sains yang tadinya dimusuhi, wajib hukumnya
untuk

direhabilitasi.

Tiga

yang

menjadi

fokus:

obyektivitas,

universalitas


dan

proseduralisme. Obyektivitas penting untuk direhab untuk memanfaatkan potensinya
dalam memahami suatu dunia yang berjalan tanpa mensyaratkan campur tangan manusia,
atau yang berjalan dengan logika internalnya sendiri. Universalitas perlu untuk
mengembalikan kewibawaan dan keberanian sains untuk mengatakan kebenaran—dan
bertanggungjawab atasnya—tentang penyebab suatu masalah, tentang hal-hal yang
“mendeterminasi pada pokok paling akhir” (determination in the last instance).
Proseduralisme penting untuk mempertanggungjawabkan klaim-klaim kebenaran tadi.
Dalam rekonseptualisasi ini, subyektivitas justru akan tetap dipertahankan.
Subyektivitas menjelma dalam bentuk keberpihakan peneliti dalam riset-risetnya, yang
kemudian memanifestasi dalam formulasi problem dan orientasi risetnya. Klaim ambisius
yang ingin penulis ajukan: hanya melalui subyektivitas inilah ketiga fitur sains yang
dibahas bisa diaktifkan. Karena hanya keberpihakan subyektif inilah yang mampu menjaga
sains untuk tidak terperosok ke kubangan kritik teori-teori kritis. Keberpihakan subyektif

ini melindungi sains selama ia konsisten untuk menjawab permasalahan bagi sesuatu yang
dipihakinya; sains HI ini dengan demikian adalah berbasis-masalah (problem-based).
Di sisi lain, ketiga predikat sains ini lah yang dibutuhkan oleh sains HI untuk

menjawab tantangan kontemporer. Salah satu upaya menjawab ini, yang penulis lihat
sebagai

yang

paling

penting,

adalah

kesiapannya

untuk

menerima

tantangan

interdisiplinaritas. Tantangan interdisiplinaritas ini akan sangat beresiko bagi identitas
almamater/disipliner HI, sedemikian rupa sehingga membuat sang penstudi harus suatu
saat berani untuk keluar dari zona nyaman teoritiknya untuk mempelajari teori dari
disiplin lain dari 0. Teori HI-pun, pada akhirnya, harus direlakan menjadi “mutan.”
Semuanya demi menyelesaikan masalah kongkrit subyek/obyek keberpihakan sang
peneliti, ketimbang peneguhan identitas disiplinernya sendiri. Untuk ini, alih-alih
mempromosikan “pluralisme teoritis” atas nama kebebasan berpikir (artes libéral), makalah
ini mengusulkan suatu syarat ketat baginya: yaitu bahwa ia harus melayani “monisme
ontologis.” Dengan kata lain, sains HI bisa saja, bahkan amat dianjurkan, mengadopsi
pendekatan metodologis yang beragam, atau berangkat dari posisi paradigmatik beragam,
asal semua itu ditujukan untuk mencapai suatu jawaban fundamental yang hanya tunggal.
Monisme ontologis adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan HI dan bahkan umat
manusia dari serbuan angsa-angsa hitam hari ini (baca: bencana sistemik).
Sains Berbasis-Problem
Sebagaimana diketahui pada umumnya, serangan pertama kepada status sains HI
dilancarkan oleh Robert Cox pada 1981 melalui artikel fenomenalnya “Social Forces, States
and World Orders: Beyond International Relations Theory” di jurnal Millennium. Lebih
spesifiknya, aspek yang diserang Cox adalah naturnya yang adalah pemecah-masalah
(problem-solving) semata.

Positivisme, yang menjadi corak saintifik teorisasi HI pada

umumnya saat itu—terutama neorealisme—dipandang Cox sebagai kedok untuk
menyamarkan hegemoni penguasa. Demikian Cox,

The strength of the problem-solving approach lies in its ability to fix limits or parameters to a
problem area and to reduce the statement of a particular problem to a limited number of
variables which are amenable to relatively close and precise examination. The ceteris paribus
assumption, upon which such theorising is based, makes it possible to arrive at statements of
laws or regularities which appear to have general validity.15

15

Cox, “Social Forces,” h. 129.

Nampak jelas bagi Cox yang bermasalah dari teori-teori pemecah masalah adalah aspek
reduksionis dan simplifikasi demi semata-mata mengkonstruksikan teori. Sasarannya jelas,
neorealisme. Kenneth Waltz adalah salah seorang pemuka neorealis yang menekankan
aspek parsimonious dalam melakukan suatu teorisasi. Maksudnya, saat mengkonstruksi
sebuah teori, sang peneliti harus memilih satu aspek sementara mengabaikan yang lainnya.
Saat berteori tentang prilaku negara, Waltz mengatakan,
“In a microtheory, whether of international politics or of economics, the motivation of the
actors is assumed rather than realistically described, I assume that states seek to ensure their
survival. The assumption is a radical simplification made for the sake of constructing a
theory.”16

Inilah yang dimaksudkan ceteris paribus oleh Cox: yang lain diasumsikan tetap.
Gestur ini berbahaya menurut Cox karena ia justru menerima begitu saja struktur dan
tatanan sosial-politik yang ada. Alih-alih mempertanyakannya, peneliti pemecah-masalah
dengan acuh membangun klaim-klaim teoritik berdasarkan landasan tatanan tersebut.
Akhirnya tatanan menjadi tidak pernah dipermasalahkan, dan pada akhirnya, tidak akan
pernah bisa diubah. Hampir 30 tahun semenjak artikel seminalnya, Cox masih belum
berubah pikiran:
"Problem solving takes the world as it is and focuses on correcting certain dysfunctions,
certain specific problems. Critical theory is concerned with how the world, that is all the
conditions that problem solving theory takes as the given framework, may be changing.
Because problem solving theory has to take the basic existing power relationships as given, it
will be biased towards perpetuating those relationships, thus tending to make the existing
order hegemonic."17

Implikasinya, tidak akan pernah terbayangkan suatu kemungkinan akan perubahan
struktur internasional—sistem negara berdaulat Westphalia dan/atau kapitalisme global.
Perubahan sistem internasional pun akhirnya menjadi suatu perubahan intra-struktur
ketimbang dari struktur satu ke struktur lainnya yang sama sekali baru. Hanya posisi unitunitnya (baca: negara) yang berubah, melainkan struktur yang membingkai posisi-posisi
tersebut tidak. Akhirnya, neorealisme dan bahkan sains HI secara umum menjadi pelayan

Kenneth Waltz, Theory of International Politics (Reading, Massachusetts: Addison-Wesley, 1979): 91.
Peter Schouten, ‘Theory Talk #37: Robert Cox on World Orders, Historical Change, and the Purpose of Theory
in International Relations’, Theory Talks,2009, http://www.theory-talks.org/2010/03/theory-talk-37.html.
16

17

bagi kepentingan yang empunya struktur. Seperti ucapan Cox yang telah menjadi mantra,
“theory is always for someone and for some purpose.”18

Merefleksikan kritik Cox ke sains secara umum, maka dapat disimpulkan tuduhantuduhannya terhadap tiga prinsip penting sains—obyektivitas, universalitas dan
proseduralisme. Yaitu bahwa ketiganya ini hanyalah kedok bagi keberpihakan teori
tersebut pada golongan tertentu. Tapi apakah kritik ini cukup? Bagi penulis, tidak.
Mengatakan bahwa teori pemecah-masalah melayani kepentingan penguasa begitu saja
tidak serta merta membuat teori-kritis yang diusung Cox juga kebal terhadap distorsi
keberpihakan, atau sebaliknya, teori pemecah-masalah menjadi tidak bisa melayani
kepentingan kelas tertindas. Contoh fenomenalnya adalah filsafat Friedrich Nietzsche
tentang übermensch: di tangan Hitler ia menjadi justifikasi fasisme dan totalitarianisme, tapi
di tangan filsuf-filsuf Perancis tahun 1968 (mis., Foucault dan Deleuze), ia menjadi inspirasi
revolusi melawan totalitarianisme negara dan pasar. Di sini bisa disimpulkan bahwa teori
tidak bisa begitu saja disalahkan saat ia dipakai untuk sesuatu yang dianggap abusive.
Memetik hikmah dari kritik Cox, dengan demikian, yang harus dibuang adalah
sifatnya yang tidak mawas-diri terhadap asumsi-asumsi dasarnya sehingga ia malah
mereifikasi struktur dominan. Terkait sifat pemecah-masalah, penulis melihat bahwa yang
bermasalah bukanlah aktivitas memecahkan masalahnya, melainkan masalah siapa yang mau
dipecahkan, dan seberapa jauh komitmen saintifik terhadap pemecahan masalah tersebut. Saat suatu

pihak sudah dipihaki oleh seorang peneliti, maka adalah komitmen saintifik yang harus
dijunjung tinggi: yaitu menyelesaikan masalah seacara obyektif, mendapatkan jawaban
universal, dan melakukannya secara prosedural sehingga bisa dipertanggungjawabkan.
Komitmen saintifik ini juga mensyaratkan untuk terus bermawas-diri terhadap langgamlanggam teoritiknya, mulai dari asumsi sampai basis filosofisnya. Sekali lagi, yang menjadi
pandu di sini adalah terpecahkannya masalah. Inilah praktik saintifik. Ia selalu berbasiskan
suatu masalah, lalu mengerahkan seluruh upaya saintifik untuk memecahkan masalah
tersebut.
Sampai di sini beberapa mungkin akan segera mendakwa bias subyektif dalam
penentuan masalah siapa yang hendak dipecahkan. Memang demikian adanya. Bersikeras
mengatakan bahwa sains bebas-nilai sama saja dengan mengatakan bahwa matahari tidak
boleh bersinar. Ini adalah fitur tak terelakkan. Namun demikian, hal ini tidak lantas
mencegah suatu sains menjadi obyektif. Obyektivitas di sini harus diklarifikasi. Dan

18

Cox, “Social Forces,” h. 128.

bahkan, mengikuti Collier, ia harus dibela.19 Obyektivitas adalah suatu komitmen untuk
senantiasa melihat suatu obyek kajian pada dirinya sendiri (as it is; in their own term). Kant
akan menyebutnya “benda pada dirinya sendiri” (das ding an sich). Untuk melakukan ini,
maka peneliti harus mendedikasikan dirinya untuk memahami sang obyek kajian tanpa
melibatkan anasir-anasir subyektifnya. Adalah logika internal dari sang obyek yang
dikejar peneliti di sini. Logika internal mengacu pada suatu kondisi dimana sang obyek
berjalan dengan mekanismenya sendiri tanpa mensyaratkan kehadiran manusia atau subyek.
Obyek sains, dengan kata lain, harus bisa dilihat sebagai tak bersubyek (subjectless).20
Lalu universalitas. Universalitas yang dimaksud adalah suatu jawaban tunggal dan
final, mengenai logika internal suatu peristiwa. Semisal, pertanyaan “mengapa AS
menginvasi Irak?” dijawab “karena minyak.” Jawaban ini bukanlah jawaban final, karena ia
masih menyisakan banyak pertanyaan, seperti mengapa AS membutuhkan minyak?—
karena krisis energi; kenapa krisis energi terjadi?—karena peningkatan konsumsi; kenapa
peningkatan konsumsi terjadi?—karena intensifikasi kapitalisme global; dst. Untuk
mendapatkan kebenaran final mengenai mengapa AS menginvasi Irak, dengan demikian,
tidak pernah sesederhana itu. Ia harus mempertimbangkan banyak aspek yang
memungkinkan Invasi AS ke Irak. Secara umum, pertanyaannya dengan demikian, “apa
yang harus terjadi pada dunia untuk invasi AS ke Irak bisa terjadi?”
Pencarian jawaban obyektif dan universal ini, misalnya, yang sudah diperjuangkan
Marx dari dahulu dengan konsep “determinasi pada pokok terakhir”-nya (determination in
the last instance).21 Bagi Marx (dan Engels), misalnya, determinasi pada pokok terakhir

adalah “produksi dan reproduksi kehidupan riil.”22 Dengan demikian, apabila Marx
ditanya mengapa AS menginvasi Irak, maka jawaban finalnya akan bernuansa kental
dengan sistem relasi “produksi dan reproduksi kehidupan riil.” François Laruelle
meneruskan konsep ini dengan menisbatkan predikat “riil”pada konsep ini.23 Hal ini bisa
dengan sederhana dibayangkan saat orang bertanya, “apa sebenar-benarnya yang membuat
AS menginvasi Irak?” Tepat di sinilah orang ini beranjak dari penyebab superfisial, menuju

19 Andrew Collier, In Defence of Objectivity and Other Essays: On realism, existentialism and politics (London, New
York: Routledge, 2003).
20 Levi R. Bryant, The Democracy of Object (Ann Arbor: Open Humanities Press, 2011): 13-33.
21 Sebenarnya konsep ini dipopulerkan oleh Engels. Lih. Etienne Balibar, The Philosophy of Marx, terj., Chris
Turner (London: Verso, 2007): 93.
22 Ibid.
23 François Laruelle, Introduction au non-marxisme (Paris: Presses universitaires de France, 2000): 43.

ke penyebab riil. Laruelle juga menyebutnya “kausalitas asali” (causalité originale).

24

Yang

universal, dengan demikian adalah yang riil, yang asali.
Lalu apakah ini kita bisa sampai pada jawaban final ini? Laruelle dengan tegas
mengatakan: tidak! Ini penting untuk ditekankan mengenai posisi filosofisnya. “Il
n’appartient pas à la pensée-monde ou au Monde—c’est le sens de la ‘dernière instance’”25 (ia tidak

dimiliki oleh pemikiran-duniawi atau Dunia—inilah makna dari ‘pokok terakhir’). Dengan
kata lain, peneliti, yang berada di dunia, tidak memiliki peluang untuk mengakses itu.
Namun demikian, justru inilah yang membuat riset maju terus. Saat seorang peneliti telah
sampai pada suatu kesimpulan tertentu, ia kemudian perlu merefleksikan penelitiannya
lagi berdasarkan ketiga kriteria obyektivitas, universalitas dan proseduralisme tadi. Ia juga
harus berdialog dengan peneliti lainnya. Karena jawaban final hanya dan akan selalu
sementara. Dialog dan eksperimentasi keilmuan, dengan demikian, menjadi motor untuk
terus menerus mengupayakan sains untuk sampai ke determinan pokok terakhir.
Hal ini mirip dengan posisi Milja Kurki, seorang proponen realisme kritis HI, saat
mengajukan tesisnya yang berupaya merehabilitasi kausalitas. Baginya, penyebab/kausa
adalah "a notion that refers to the real ontological structures, forces or relations that generate and
bring about events."26 Kurki juga memperluas konsepsinya mengenai kausa tidak hanya

mengenai fakta-fakta yang bisa diobservasi semata, melainkan juga yang tidak terobservasi
seperti ise, aspirasi, wacana,27 dan juga “relasi sosial dan struktur sosial.”28 Menariknya,
Kurki mengaitkan kausa dengan bahasa Yunaninya, aition, yang diterjemahkannya sebagai
“anything that contributes in anyway to the producing or maintaining of a certain reality.”29
Sampai di sini bisa dirangkumkan sains HI yang sudah diformulasikan. Yaitu
pertama-tama ia memiliki natur yang selalu berbasis-masalah (problem-based). Saintis HI,
dengan demikian, adalah mereka yang mengajukan problem yang ia temukan sendiri di
dalam praksis kesehariannya dalam memperjuangkan keberpihakannya. Sains HI,

dengan demikian menjunjung tinggi obyektivitas demi upayanya untuk terus memahami
logika internal obyek kajiannya. Ia juga dengan tegas menggariskan usahanya sebagai
pencarian kebenaran universal yang mendeterminasi pada pokok terakhir. Suatu sikap
Ibid., h. 46.
Ibid., h. 43.
26 Milja Kurki, Causation in International Relations: Reclaiming Causal Analysis (Cambridge: Cambridge Univ. Press,
2008): 97.
27 Benjamin Banta, “Analysing discourse as a causal mechanism,” European Journal of International Relations, 19, 2,
2013: 379–402.
28 Ibid., 295.
29 Ibid., 220.
24

25

keberanian yang telah sebelumnya dilumpuhkan oleh pengusung pasca-modernisme yang
selalu menolak untuk berposisi tegas terhadap kebenaran.
Kontemporalitas dan Angsa Hitam
Fashion is made to become unfashionable
—Coco Chanel

Sains selalu didedikasikan untuk pemecahan suatu masalah. Masalah, sebagaimana
diketahui, tentu tidak muncul di ruang hampa. Masalah selalu memiliki dimensi ruang dan
waktu karenanya. Hal ini membuat relevan untuk berbicara mengenai suatu irisan ruangwaktu bernama ‘kontemporer’. Apa itu yang kontemporer? Apa syarat sesuatu disebut
kontemporer? Apa saja kareakteristik kontemporalitas? Kebanyakan orang memahami
kontemporer sebagai sesuatu yang kekinian, ke-hari-ini-an, bahkan sekarang. Tapi
pertanyaannya, kapankah itu yang “sekarang?” Logika sederhana. Saat seseorang
mengatakan “sekarang”, sebenaranya ia telah selalu dan akan selalu merujuk pada waktu
yang baru saja berlalu. Dengan demikian, kita tidak akan pernah berada pada “sekarang.”
Persis seperti dalam fashion. Saat seseorang berkata “I am in the mode” maka secara logis
sebenarnya ia telah demodée, karena in the mode adalah beberapa waktu yang lalu saat ia
mengatakan kalimat itu. Setelah itu, ia usang. Mungkin itu yang dimaksudkan salah
seorang punggawa mode dari Perancis, Coco Chanel, dengan petikan epigraf di atas.
Lalu bagaimana memahami kontemporalitas? Satu cara yang terbukti manjur adalah
dengan mempertimbangkan bahasa Yunaninya.30 Bahasa Yunani mengenal dua kata untuk
waktu, chronos dan kairos. Chronos lebih bernuansa linier, sementara kairos tidak. Negri
menyebut chronos ini sebagai waktu-sebagai-ukuran: sebagai penanda umur, penanda
kalender, penanda jam kerja, dst. Kairos, sebaliknya, ia adalah suatu moment, suatu
patahan linearitas dan pembetotan kemewaktuan.31 Kairos adalah “sekarang!” Singkatnya,
kairos adalah waktu yang lepas dan keluar dari lintasan linear kemewaktuan. Lalu
bagaimana hubungan keduanya? Tidak terpisahkan. Setiap kairos akan selalu berlalu dan
masuk berjajar dalam chronos. Setiap momen kairotik terjadi, maka ia akan segera tersapu
dan terdomestifikasi oleh garis waktu chronos. Dari sini, tantangan memahami
kontemporalitas dengan demikian adalah dengan menunjukkan kedua dimensi waktu
yang membingkai sutau kejadian.
30 Cara ini juga yang ditempuh oleh Kimberly Hutchings, Time and Politics: Thinking the Present (Manchester and
New York: Manchester University Press, 2008); Antonio Negri, Time for Revolution (London & New York: Continuum,
2003); Giorgio Agamben, “What is the contemporary?” dlm. What is an apparatus, terj., D. Kishik & S. Pedatella
(Stanford & California: Stanford Uni Press, 2009).
31 Negri, Time, 152.

Semenjak kejadian “As menginvasi Irak” selalu terjadi dalam titik ruang-waktu
tertentu, dengan kata lain pertautan chronos dan kairos, maka suatu analisis yang
berkomitmen terhadap kontemporalitas harus mampu menangkap aspek kronologisnya
(historis & kontekstualnya; kausalitas linier), tapi ia juga harus menyingkapkan aspek
kairologisnya (kebaruan, keunikan, singularitas; non-kausal). Pertanyaan yang perlu
diajukan terkait kausalitas, apabila dipandang secara kairologis, adalah seperti ini:
mengapa untuk alasan kausalitas A, si penyebab B harus menyebabkan efek C—dan bukan
D, E, F, dst.? Penggalian aspek kairos ini mensyaratkan analisis untuk bernar-benar jeli dan
sensitif terhadap singularitas dan spesifisitas. Dengan demikian, inilah analisis
kontemporer : suatu analisis yang berkomitmen untuk selalu melihat aspek historis dan
kebaruan dari setiap kejadian.
Hal ini akan mencegah dua sikap analisis yang sama sekali kehilangan
kontemporalitasnya: nostalgis dan presentis.32 Nostalgis akan selalu terperangkap pada
masa lalu. Semua kejadian masa kini akan selalu direferensikan dengan masa lalu. Seperti
ungkapan mengenai sejarah berulang, bahwa yang hari ini hanyalah mengulang yang lalu.
Ini pandangan nostalgis romantis. Seperti teori-teori siklus (Kondratiev, Organski,
Modelski, Wallerstein, dst.) mereka gagal melihat kebaruan dalam setiap pengulanganpengulangan sejarah. Sikap lainnya yang juga kehilangan kontemporalitas adalah
presentis. Presentis akan selalu terbutakan dengan euforia dan gegap gempita masa kini.
Bak majalah gadget, selalu akan dibahas hal-hal mendetil dan terkini dari gadgetry. Tapi
mengapa gadget tersebut bisa ada dan mungkin, apa penyebab riil evolusinya, dst., tidak
akan mampu dilihat mata buta si analis. Analisis kontemporalitas dengan demikian harus
mampu menggandekan (ko-) dua aspek temporal: masa lalu dan masa kini; linearitas dan
non-linearitas; timeliness dan untimeliness; historical dan ahistorical.
Popper punya nama untuk kairos ini, yaitu angsa hitam. Dalam Logic of Scientific
Discovery ia mencoba mengilustrasikan problem induksi logis dengan analogi angsa.33

Premis "semua angsa putih” tidak serta-merta benar. Jangan karena mentang-mentang kita
belum menemukan angsa hitam lantas premis “semua angsa putih” adalah benar. Premis
ini hanya “benar” untuk sementara, sampai suatu hari ditemukan angsa hitam. Dalam
teorisasi Popper ini, angsa hitam memainkan peran yang penting, yaitu sebagai sesuatu
yang berpotensi menghancurkan suatu proposisi yang sudah tersusun rapi dalam waktu
yang lama. Jika dulu Popper mengarahkan sains untuk mencari angsa hitam demi
menginisiasi kebaruan teoritis, kini zaman sudah berubah. Angsa hitam dimana-mana.
32
33

Agamben, “What is the contemporary, ” 41.
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London & NY: Routledge, 2002 [1959]): 4, 82-83n*1.

Inilah yang berusaha ditunjukkan oleh dua filsuf matematika: Nassim Taleb & Elie
Ayache.34 Kedua filsuf ini menarik perhatian internasional karena keduanya adalah juga
konsultan finansial (instrumen derivatif). Keduanya banyak menulis dan mengomentari
peristiwa krisis finansial. Bahkan, Taleb pun juga menjadi komentator isu HI dengan
teorinya.35
Kompleksitas dunia yang terintegrasi hari ini telah membuat dunia semakin rentan
diserbu angsa hitam. Banyak kejadian-kejadian tak terduga yang bisa terjadi kapan saja.
Mulai dari bencana alam sampai krisis finansial. Mulai dari protes sampai perang. Di dunia
dimana angsa hitam di mana-mana saat ini “makes what you don't know far more relevant than
what you do know."36 Ketidak-pastian serba meraja-lela. Ketidak-pastian iklim, ketidak-

pastian pekerjaan, instabilitas ekonomi dan politik, terorisme yang selalu menghantui, dst.
Kita harus senantiasa bersiap untuk menghadapi suatu, meminjam istilah Donald Rumsfeld
yang terkenal, “unknown unknowns”—suatu hal yang tidak kita ketahui bahwa kita tidak
tahu.37 Atau kutipan terkenal dari Alexis de Tocqueville: “events can move from the impossible
to the inevitable without ever stopping at the probable.” Ayache bahkan lebih jauh dengan

mengemukan bagaimana even terjadi mengikuti logika kontingensi absolut (sama sekali
diluar prediksi), “their Swan bird, or the event that gives them wings, is BLANK. It is
neither Black nor White; it is neither loaded with improbability nor with probability. It can
only be filled with writing, as when we say ‘to fill in the blanks’.”38
Sampai di sini, nosi mengenai kontemporer sudah bisa dipahami. Yaitu bahwa ia
selalu merupakan persimpangan antara aspek linear waktu (chronos) dan aspek non-linear
waktu (kairos). Analisis yang berkomitmen untuk membedah kontemporalitas dengan
demikian dihadapkan pada tantangan untuk mampu menjelaskan keterkaitan kedua aspek
suatu even, yaitu aspek krononologisnya dan aspek kairologisnya, atau dengan kata lain,
aspek historis kontekstual dan aspek ahistoris singularnya. Tantangan kontemporalitas
lainnya adalah kompleksitas dan ketidak-pastian. Seperti angsa hitam Popperian,
mengkonfrontir kontemporalitas mensyaratkan suatu kesiapan untuk menghadapi suatu

34 Nassim Nicholas Taleb, The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable (Random House, 2007); Elie Ayache
The Blank Swan: The End of Probability (Wiley, 2010).
35 Nassim Nicholas Taleb & Mark Blyth, “The Black Swan of Cairo: How Suppressing Volatility Makes the World
Less Predictable and More Dangerous,” Foreign Affairs, 90, 3, 2011.
36 Taleb, Black Swan,
37
John Ezard, “Rumsfeld’s unknown unknowns take prize,” Guardian, 2 Desember 2003.
http://www.theguardian.com/world/2003/dec/02/usa.johnezard.
38 Ayache, BLANK Swan, h. xv.

kejadian yang benar-benar tidak terprediksi dan lepas dari, bahkan, rasionalitas. Sains HI,
dengan demikian, harus punya strategi untuk menghadapi ini.
Lalu, apa strategi yang cocok bagi sains HI untuk menghadapi tantangan
kontemporalitas angsa hitam? Taruhan makalah ini ada pada konsep interdisiplineritas.
Sains Interdisipliner: dialog pluralis?
Sebelum melangkah lebih jauh dalam mengusulkan interdisiplinaritas sebagai
tawaran, tentu perlu diklarifikasi konsep ini beserta dengan konsep-konsep lainnya yang
mirip. Pendefinisian yang penulis dapati cukup berguna untuk ini adalah dari van den
Besselaar dan Heimeriks.39 Kedua ilmuwan informatika ini membedakan interdisipliner,
multidisipliner dan transdisipliner berdasarkan tingat integrasi suatu disiplin terhadap
disiplin lainnya. Pada multidisipliner, suatu obyek kajian dilihat dari sudut pandang
disipliner yang berbeda. Tidak ada integrasi teoritis atau metodologis di sini. Pada
interdisipliner, telah terjadi sintesis (dengan derajat yang bervariasi) antara disiplin satu

dengan disiplin lainnya sehingga menciptakan konsep, teori, dan metodologi sendiri yang
baru. Interdisiplinaritas, dengan demikian, membuka jalan untuk sintesis-sintesis, jika
bukan mutasi, baru teoritik demi upaya pemecahan masalah. Pada transdisipliner, level
integrasi sudah masuk ke aspek-aspek filosofis yang melandasi disiplin-disiplin tersebut
mulai dari epistemologi bahkan sampai ontologi. Semenjak HI tidak mempunyai filsafat
yang khusus HI, maka dengan sendirinya HI bersifat transdisipliner karena sudah pasti ia
berbagi dengan disiplin lain.
Penting untuk digaris-bawahi di sini adalah bahwa interdisiplinaritas merupakan
suatu fitur disipliner yang terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan dialog dengan
disiplin lain yang dirasa mampu berkontribusi sesutau pada proses pemecahan suatu
masalah tertentu. Hal penting lain juga harus disadari bahwa dalam proses interdisipliner,
terdapat kemunginan munculnya sebuah teori yang benar-benar merupakan hasil
persilangan dua atau tiga disiplinyang dengan demikian memungkinkannya menjadi
disiplin sendiri yang baru. Namun demikian, apa pun hasilnya, itu adalah hal belakangan.
Yang

penting

untuk

ditekankan

di

sini

adalah

inisiatif-inisiatif

apakah

yang

memungkinkan terjadinya dorongan dialog interdisipliner?

39 Peter van den Besselaar & Gaston Heimeriks, “Disciplinary, Multidisciplinary, Interdisciplinary: Concepts and
Indicators,” dlm. M. Davis & C.S. Wilso, peny., 8th international conference of the Society for Scientometrics and
Informetrics (Sydney: UNSW 2001): 705-716. Lihat juga Lucian M. Ashworth, “Interdisciplinarity and International
Relations,” European Political Science, 8, 2009: 16-25.

Di sinilah penting untuk melihat dialog interdisipliner juga sebagai tanda kemajuan
suatu sains. Manuvernya untuk keluar dari disiplinnya sendiri dan mencari rekan diskusi
dengan disiplin lain menandakan bahwa terdapat suatu keterbatasan internal suatu
disiplin yang dapat diisi oleh disiplin lainnya. Keterbatasan internal ini tidak lain adalah
kegagalannya dalam memberikan jawaban bagi problem-problem yang dijumpai di
lapangan. Dengan kata lain, sang peneliti sudah sampai pada deadlock disipliner yang
membuatnya mulai beralih, berpaling, atau setidaknya melirik disiplin lain untuk mulai
berdialog. Suatu dialog interdisipliner, dengan demikian, selalu berisi dengan banyak
peralihan-peralihan (turn) teoritis. ‘Pendekatan peralihan’ inilah yang ditawarkan makalah
ini untuk melihat sejarah perkembangan interdisiplinaritas sains HI. Akhirnya, pendekatan
peralihan mengacu pada suatu pendekatan dalam melihat kemajuan sains dengan
menekankan pada upayanya untuk merefleksikan batasan-batasan internal disiplinnya
untuk kemudian mencari partner dialog dari disiplin lain demi terpecahkannya suatu
problem risetnya.

Dengan melihat sejarah sains HI melalui pendekatan peralihan, maka bisa kita lihat
bahwa fitur interdisipliner sudah selalu menjadi fitur studi ini. Kita bisa melacaknya
melalui peralihan realis, peralihan positivis/behavioral, peralihan transnasional, peralihan
linguistik, peralihan kritis, peralihan kultural,40 peralihan praktik,41 peralihan historis,42
peralihan konstruktivis,43 peralihan normatif,44 peralihan agama,45 peralihan emosi,46

Peter Jackson, “Pierre Bourdieu, the ‘cultural turn’ and the practice of international history,” Review of
International Studies, 34, 2008: 155-181;
41 Iver B. Neumann, “Returning Practice to the Linguistic Turn: The Case of Diplomacy,” Millennium, 31, 3, 2002:
627-651.
42 David M. McCourt, “What’s at Stake in the Historical Turn? Theory, Practice and Phronēsis in International
Relations,” Millennium, 41, 1, 2012: 23-42; Thierry Lapointe & Frédérick Guillaume Dufour, “Assessing the historical
turn in IR: an anatomy of second wave historical sociology,” Cambridge Review of International Affairs, 25, 1, 2012.
43 Jeffrey T. Checkel, “The Constructivist Turn in International Relations Theory,” World Politics, 50, 2, 1998: 324348.
44 Steve Smith, “The Forty Years’ Detour: The Resurgence of Normative Theory in International Relations,”
Millennium, 21, 3 1992: 489-506; Chris Brown, International Relations Theory: New Normative Approach (NY : Columbia
Univ Press, 1992); Mervyn Frost,A turn not taken: Ethics in IR at the millennium', Review of International Studies, 24,
1998: 119-32.
45 Scott M. Thomas, “Taking Religious and Cultural Pluralism Seriously: The Global Resurgence of Religion and
the Transformation of International Society,” Millennium, 29, 3, 2000: 815-841; Stephen Chan, Peter Mandaville &
Roland Bleiker, peny., The Zen of International Relations: IR Theory from East to West (Hampshier & NY: Palgrave,
2001).
46 Neta C. Crawford, “The Passion of World Politics: Propositions on Emotions and Emotional Relationships,”
International Security, 24, 4, 2000: 116-156; Roland Bleiker & Kimberly Hutchings, “Fear no more: emotions and wolrd
politics,” Review of International Studies, 34, 2008: 115-135.
40

peralihan

estetik,47

peralihan

etonografis,48

dan

yang

terbaru,

peralihan

biologis/kompleksitas .
49

Melihat

peralihan-peralihan

ini

semua,

para

proponen

interdisiplineritas,

sebagaimana halnya dengan penulis sendiri, bisa tersenyum bangga. Namun demikian,
yang perlu diperhatikan di sini adalah semangat masing-masing peralihan, dan bukan
proliferasi peralihannya! Sayangnya, adalah yang terakhir yang menjadi ketertarikan para
saintis HI. Proliferasi dan multiplikasi peralihan-peralihan ini semata-mata dilihat sebagai
“perayaan perbedaan” dalam bingkai “pluralisme teoritis.” Hampir seantero penstudi sains
HI bersepakat pada konsesis pluralisme teoritis sebagai solusi jalan tengah bagi deadlock
Debat Akbar.50 Ungkapan-ungkapan seperti “let thousands theories bloom in the garden of IR”
atau “it’s time to ourselves to be open to dialogical imagination” dan seruan-seruan serupa
lainnya sudah sering terdengar di simposium-simposium, buku-buku dan jurnal-jurnal HI.
Posisi makalah ini terhadap pluralisme teoritis ini adalah sikap negasi total! Demi
tegaknya sains HI, pandangan pluralisme teoritis ini harus ditolak! Euforia proliferasi ini
benar-benar mengkonfirmasi sinisme Jean Baudrillard terhadap masyarakat hypermodern
yang berpesta-pora dalam banalitas dengan selebrasi dan liberasi, yaitu sebagai suatu
orgy.51 Pluralisme teoritis di HI, di mata para pengamat dan sejarawan teori HI, tidak lebih

dari suatu orgy. Yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa representasi perkembangan
sains HI dalam suatu frase “pluralisme teoritis” sama sekali menafikan upaya saintifik
mereka-mereka yang berupaya menjawab tantangan kontemporalitas demi memecahkan

Roland Bleiker, “The Aesthetic Turn in International Political Theory,” Millennium, 30, 3, 2001: 509-533.
Wanda Vrasti, “The Strange Case of Ethnography and International Relations,” Millennium, 37, 2, 2008: 279301; Jon Harald Sande Lie, “Challenging Anthropology: Anthropological Reflections on the Ethnographic Turn in
International Relations,” Millennium, 41, 2, 213: 201–220; Anna Leander, “Strong Objectivity” in Security Studies:
Ethnographic Contributions to Method Development, Carlo Alberto Notebook Working Papers, no. 301, 2013.
49James Rosenau, Distant proximities (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 2003); Robert Geyer,
“European integration, the problem of complexity and the revision of theory,” Journal of Common Market Studies, 41, 1,
2003a, 15–35; Robert Geyer, “Globalisation, Europeanisation, complexity,” Governance, 16, 4, 2003b: 559–576; Emilian
Kavalski, “The fifth debate and the emergence of complex international relations theory: notes on the application of
complexity theory to the study of international life,” Cambridge Review of International Affairs, 20, 3, 2007: 435-454;
Antoine Bousquet & Simon Curtis, “Beyond models and metaphors: complexity theory, systems thinking and
international relations,” Cambridge Review of International Affairs, 24, 01, 2011: 43-62.
50 Dua buku yang menurut pengalaman penulis pribadi sebagai yang paling bertanggung-jawab akan
mewabahkan pluralisme metodologis adalah Tim Dunne, Milja Kurki & Steve Smith, peny., International Relations
Theories: Discipline and Diversity, edisi kedua (Oxford: Oxford University Press, 2010) dan Patrick Thaddeus Jackson,
The Conduct of Inquiry in International Relations: Philosophy of science and its implications for the study of world politics
(London & New York: Routledge, 2011).
51 Jean Baudrillard, “Beyond Vanishing Point of Art,” terj., Paul Foss, dlm. P. Taylor, peny., Post-Pop Art
(Cambridge: MIT, 1987): 182. Cat: orgy adalah semacam pesta seks di mana partisipannya saling bertukar pasangan
secara acak.
47

48

problemnya. Geliat kreativitas dan keberanian untuk memulai dialog dengan partner
dialog yang baru, oleh para komentator teori HI ini, langsung seenak jidat dimasukkan
dalam Debat 1, Debat 2, Debat A, Debat X, atau –isme O, -isme P, dst. Pada saat mereka
gagal mengabstrasikan perdebatan dalam suatu tema besar, langsung saja mereka namai,
“oh…sekarang HI sudah masuk fase incommensurability”, jadi kita harus saling menghargai
pluralisme teoritis ini.52 Tepatlah kritik Wanda Vrasti ke komentator-komentator ini sebagai
“theoriphilia.”53
Interdisipliner tidak sama dengan pluralisme! Pluralisme HARUS disertai dengan
monisme di level ontologi! Proliferasi teori, konsep, pendekatan, metode, dst.,
dimungkinkan sepanjang dan hanya sepanjang semuanya berkontribusi dalam upaya
dialektis untuk mencapai suatu jawaban universal, suatu jawaban final, suatu determinasi
pada pokok terakhir. Sebagai sains, eksperimentasi apapun yang dicoba, peralihan apapun
yang dijajaki, dan penelitian apapun yang dilakukan, ia haruslah mengabdi pada upayaupaya untuk menyelesaikan suatu problem. Dan semenjak problem adalah selalu
bergantung pada subyektivitas peneliti, maka keberpihakan menjadi sentral dalam setiap
aktivitas saintifik. [HYP]

Lihat pengantar Steve Smith, di Dunne, Kurki & Smith, 2011.
Vrasti, “The Strange Case of Ethnography,” 290. Vrasti sebenarnya menggunakan kata “ethnographilia”.
Namun semangat kritik saya sama dengan Vrasti, yaitu terhadap sikap-sikap yang melihat teori dan teoritisi sebagai
mainan yang fancy yang bisa dicoba satu-satu.
52

53