Memahami Pemaknaan Diri dan Integritas

Memahami Pemaknaan Diri dan Integritas Diri Orang
Indonesia
Oleh Bagus Takwin
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Abstrak
Tulisan ini membahas mengenai pemaknaan diri dan integritas orang Indonesia dengan
menggunakan kerangka pikir teori psikologi budaya. Teori yang digunakan adalah teori
self-construal yang pertama kali dikemukakan oleh Markus dan Kitayama (1991). Data
yang digunakan adalah informasi dari literatur dan hasil survey mengenai self-construal
orang Indonesia di Jawa dan Sumatera, ditambah dengan data kualitatif yang diperoleh
dari wawancara mendalam terhadap 15 orang Indonesia. Berangkat dari dugaan
mengenai tidak jelasnya pesan budaya yang disampaikan masyarakat Indonesia kepada
individunya sehingga menghasilkan kebingungan untuk memaknai dan mendefinisikan
diri pada mereka, penulis mencoba mengenali self-schemata dan sistem-diri serta
kaitanya dengan integritas diri orang Indonesia. Hipotesis yang diajukan adalah
kebingunan dalam pemaknaan dan pendefinisian diri menghasilkan kebingungan dalam
merumuskan konsep integritas karena dalam praktek sosial sehari-hari gejala perilaku
atau praktek yang disebut integritas tidak jelas wujudnya. Implikasinya, representasi
gejala integritas diri tidak utuh dalam self-schemata orang Indonesia. Di bagian akhir,
diajukan rekomendasi mengenai apa yang perlu dilakukan masyarakat Indonesia untuk
memperjelas konsep integritas dan penerapannya dalam praktek sosial sehari-hari orang

Indonesia.

Bagaimana orang Indonesia memahami integritas? Bagaimana kita memahami integritas
orang Indonesia? Apa pengertian integritas dalam budaya Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab oleh masyarakat Indonesia dalam rangka
menghasilkan orang-orang yang berintegritas. Tanpa jawaban yang jelas kita tidak bisa
merumuskan pengertian integritas dan orang Indonesia yang berintegritas. Mengapa demikian?
Karena secara umum kata integritas yang diterakan pada seseorang merujuk pada istilah
integritas diri dan dengan demikian tak dapat dilepaskan dari pemaknaan dan pemahaman orang
itu terhadap dirinya. Integritas diri baru dapat diupayakan dan dicapai setelah orang
mendefinisikan dirinya lewat pemaknaan dan pemahaman terhadap dirinya dalam konteks
budaya tempat mereka berada.
Dalam tulisan ini saya berusaha memahami konsep integritas orang Indonesia dan
kaitannya dengan pendefinisian diri menggunakan kerangka pikir self-construal yang
dikemukakan oleh Markus dan Kitayama (1991). Untuk keperluan ini, saya terlebih dahulu
membahas konsep self-construal dan hubungannya dengan integritas diri. Lalu saya membahas
beberapa temuan mengenai hubungan antara konsistensi diri dan self-construal serta
1

implikasinya terhadap konsep integritas diri. Kemudian saya mengemukakan analisis saya

mengenai self-construal orang Indonesia dan implikasinya terhadap konsep integritas diri orang
Indonesia berdasarkan data yang diperoleh melalui survei di Jawa dan Sumatera.
Tulisan ini didasari dugaan mengenai tidak jelasnya pesan budaya yang disampaikan
masyarakat Indonesia kepada individunya sehingga menghasilkan kebingungan untuk memaknai
dan mendefinisikan diri pada mereka. Kebingunan dalam pemaknaan dan pendefinisian diri
menghasilkan kebingungan dalam merumuskan konsep integritas karena dalam praktek sosial
sehari-hari gejala perilaku atau praktek yang disebut integritas tidak jelas wujudnya.
Implikasinya, representasi gejala integritas diri tidak utuh dalam self-schemata orang Indonesia.
Di bagian akhir, saya mengajukan rekomendasi mengenai apa yang perlu dilakukan masyarakat
Indonesia untuk memperjelas konsep integritas dan penerapannya dalam praktek sosial seharihari orang Indonesia.
Tulisan ini bukan hasil kajian empirik yang sistematis dan ketat, melainkan lebih
semacam gugahan untuk komunitas psikologi Indonesia memikirkan kembali mengenai identitas
orang Indonesia dan implikasinya terhadap konsep integritas diri. Ini dapat dimaknai sebagai
sebuah ekplorasi awal untuk studi lebih lanjut. Di sini, saya hanya menawarkan sebuah jalan
berpikir yang mungkin dapat ditempuh untuk memperjelas pemahaman kita mengenai identitas
dan integritas orang Indonesia.
Integritas Diri dan Self-Construal
Kata integritas berasal dari bahasa Latin, integritas, yang artinya (1) setia pada prinsip
moral; dan (2) keadaan utuh, menyeluruh, atau tak tergoyahkan. Ini berarti integritas tak dapat
dipisahkan dari prinsip moral dan etis yang pada intinya merupakan perwujudan dari nilai moral.

Nilai moral merupakan nilai yang dianut oleh kelompok orang atau masyarakat tertentu. Nilai
moral menjadi standar, panduan dan pendorong bagi orang dalam bertingkahlaku. Nilai menjadi
dasar dan kriteria evaluasi terhadap diri individu dalam masyarakat. Orang yang bertindak sesuai
dengan nilai moral dianggap sebagai orang yang berintegritas, sebaliknya orang yang bertindak
tidak sesuai dengan nilai moral dianggap tidak berintegritas. Lalu, untuk dapat dikatakan
berintegritas, seseorang harus menempilkan kesesuaian antara tindakannya dengan nilai moral
itu secara terus-menerus. Orang yang sepeti ini dikatakan memiliki keutuhan diri, tidak
tergoyahkan.
Dengan dasar ini, dapat dipahami bahwa pengertian integritas tak dapat dilepaskan dari
nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Kriteria seseorang berintegritas atau tidak juga
dipengaruhi oleh budaya tempat orang itu hidup. Pesan budaya yang disampaikan kepada
2

individu akan menentukan bagaimana individu memaknai, memahami, dan kemudian
mendefinisikan dirinya. Berdasarkan definisi diri itu individu kemudian dievaluasi integritasnya.
Penjelasan mengenai self-construal yang dikemukakan Markus dan Kitayama (1991)
memberi pemahaman mengenai peran pesan budaya terhadap diri individu. Lebih jauh lagi,
konsep ini menjelaskan pengaruh budaya terhadap konsep tentang diri. Self-construal dapat
diartikan sebagai pengenalan atau pemaknaan terhadap diri. Konsep ini menambahkan
penjelasan mengenai pengaruh budaya terhadap self-concept (konsep diri) yang lazim digunakan

dalam psikologi. Konsep-diri didefinisikan sebagai cara kita mengerti atau memaknai rasa
kedirian kita. Dengan konsep self-construal dapat dijelaskan lebih jauh bahwa konsep-diri
seseorang dipengaruhi oleh budaya tempat ia berada. Self-construals merujuk pada persepsi yang
dimiliki individu tentang pikiran, perasaan dan tindakan mereka dalam hubungannya dengan
orang lain. Self-construal dapat didefinisikan juga sebagai konstelasi pikiran, perasaan, dan
tindakan yang menyangkut hubungan diri dengan orang lain dan diri sebagai yang berbeda
dengan orang lain.
Dengan konsep self-construal, Markus dan Kitayama (1991) menjelaskan pengaruh
budaya terhadap emosi, kognisi, dan motivasi. Ambil contoh satu sifat diri, misalnya baik hati.
Jika seseorang mendefinisikan dirinya sebagai orang yang baik hati, berarti konsep baik hati itu
“mengakar”, “didukung” dan “diperkuat” dalam skema kognisi tentang dirinya dan
mempengaruhi pikiran, perasaan, dan

tindakannya. Definisi diri seseorang bukan hanya

mempengaruhi bagaimana ia memandang dirinya, tapi juga bagaimana ia memandang dunia
(hubungan dengan orang lain, tempat, peristiwa yang terjadi). Definisi seseorang tentang dirinya
adalah inti dari keberadaannya, secara sadar maupun tidak dan secara otomatis mempengaruhi
tingkah lakunya.
Budaya berperan besar dalam membentuk definisi seseorang tentang diri dan

identitasnya. Setiap orang tumbuh dalam lingkungan budaya yang unik. Lingkungan itu
membentuk, mengikat, dan mencetak definisi seseorang mengenai dirinya. Setiap budaya
memiliki tugas budaya dan individu disosialisasikan agar memenuhi tugas itu. Budaya yang
berbeda akan menghasilkan konsep-diri yang berbeda. Dengan kata lain, definisi orang tentang
dirinya pada satu budaya bisa berbeda dengan budaya lain.
Konsep self-construal berkembang dari perbandingan konseptualisasi diri menurut orang
Barat dan orang Timur (Markus & Kitayama, 1991). Orang Asia dan orang Barat memiliki
pandangan yang berbeda terhadap dirinya. Markus dan Kitayama (1991) mengenali bahwa
budaya Barat cenderung memaknai diri sebagai hal yang terpisah dari konteks sosial dan dengan
demikian menekankan otonomi dan independensi, yang kemudian membentuk representasi self3

construal independen. Orang barat memiliki definisi diri yang bercorak independen
(independent construal of self). Sedangkan budaya Timur secara konvensional memaknai diri
sebagai bagian dari konteks sosial yang lebih luas. Konsep diri dalam budaya Timur mencakup
karakteristik dan kualitas dari lingkungan sosial, yang kemudian membentuk representasi selfconstrual interdependen. Orang Non-Barat atau Timur memiliki definisi diri yang bercorak
interdependen (interdependent construal of self). Konsep dan temuan Markus dan Kitayama
kemudian diperkuat oleh temuan dari Trafimow, Triandis dan Goto (1991), lalu Singelis (1994)
yang berhasil mengukur kecenderungan self-construal secara kuantitatif, dan juga van Baaren et
al. (2003, 2004, 2004a).
Berdasarkan uraian pada bagian ini dapat dipahami bahwa integritas diri yang

mensyaratkan adanya definisi diri tidak dapat dilepaskan dari budaya. Isi pikiran dari konsep
integritas diri mencakup isi pikiran dari konsep-diri dan nilai-nilai budaya. Hal ini pun berlaku
untuk pendefinisian integritas diri orang Indonesia. Kita perlu memahami bagaimana pemaknaan
dan pendefinisian diri orang Indonesia, apa isi dari definisi itu, serta bagaimana budaya
mempengaruhi pemaknaan dan pendefinisian diri orang Indonesia. Dari situ, baru kita dapat
memahami bagaimana orang Indonesia memaknai dan memahami integritas diri dan bagaimana
integritas diri orang Indonesia dapat ditingkatkan.
Tipologi Self-Construal
Seperti yang sudah disebutkan terdahulu, pada pokoknya ada dua tipe self-construal: selfconstrual independen dan self-construal interdependen (Markus & Kitayama, 1991). Pada
awalnya ada dua jenis self-construal, yaitu self-construal independen dan self-construal
interdependen. Self-construal independen merujuk pada persepsi yang dimiliki seseorang tentang
dirinya yang memiliki batas yang jelas dan memisahkan dirinya dari orang lain, serta
memberikan prioritas yang lebih tinggi untuk tujuan pribadi daripada tujuan kelompok. Selfconstrual interdependen merujuk pada pendefinisian diri seseorang berdasarkan hubungannya
dengan orang lain dan memberikan prioritas yang lebih tinggi untuk tujuan kelompok daripada
tujuan pribadi. Kemudian, self-construal interdependen dibagi menjadi dua: relationalinterdependent self-construal (disingkat menjadi relational self-construal) dan collectiveinterdependent self-construal (Cross, Bacon, & Morris, 2000). Kita bahas rinciannya masingmasing.
Pemaknaan diri independen (Independent construal of the self) mengandung kepercayaan
dasar dalam budaya Barat tentang keterpisahan dari setiap individu yang berbeda dari individu
lain. Setiap individu dianggap otonom dan mandiri. Pesan budaya yang disampaikan kepada
4


individunya adalah individu perlu dan harus menjadi mandiri, menemukan dan mengekspresikan
karakteristiknya yang unik. Untuk itu, individu perlu dan harus membangun dirinya dengan
merujuk kepada pemikiran, perasaan dan tindakannya sendiri; bukan merujuk orang lain. Untuk
dapat membangun dirinya agar otonom dan mandiri, individu perlu melalui serangkaian proses
yang menguatkan dan mengembangkan dirinya sebagai entitas yang terpisah dari yang lain.
Proses itu mencakup aktualisasi diri, konfigurasi unik kebutuhan, hak dan kapasitas, membangun
potensi diri yang berbeda, dsb.
Pemaknaan diri interdependen (interdependent construal of the self) mengandung
kepercayaan dalam budaya non-barat. Pesan budaya yang disampaikan kepada individunya
adalah setiap individu mengalami saling ketergantungan. Bukan inner self yang penting,
melainkan hubungan antar individu. Asumsi dasar mengenai keberadaan manusia adalah bahwa
setiap orang memiliki ketergantungan kepada orang lain. Kebersamaan dengan orang lain yang
saling tergantung dianggap merupakan keberadaan dasar manusia. Makna dari saling
ketergantungan antara individu adalah setiap orang merupakan bagian dari kebersamaan yang tak
dapat dipisahkan dan hanya dapat hidup dalam kebersamaan. Saling tergantung antar individu
berimplikasi bahwa setiap orang harus melihat dirinya sebagai bagian dari hubungan sosial yang
meluas. Tingkahlaku individu ditentukan, bergantung, dan hingga derajat tertentu diorganisasi
oleh apa yang dipercaya individu merupakan pemikiran, perasaan dan tindakan orang lain dalam
suatu hubungan. Makna dari keberadaan individu dalam pemaknaan diri interdependen adalah
individu menjadi bagian integral dari situasi atau konteks, disesuaikan dan diasimilasi.

Singkatnya, individu tidak terpisah dari individu lain, melainkan dihubungkan oleh relasi-relasi
sosialnya.
Tabel Perbedaan Self-construal Independepen dan Self-construal Interdependen

__________________________________________________________________
Komponen
SC Independen
SC Interdependen
__________________________________________________________________
Definisi

Terpisah dari konteks sosial

Terhubung dengan konteks sosial

Struktur

Membatasi, independen, stabil

Fleksibel, berubah-ubah


Ciri-ciri penting

Internal, pribadi (kemampuan,
pemikiran, perasaan)

Eksternal, publik (status, peran,
hubungan)

Tugas

Menjadi unik
Mengekspresikan diri
Merealisasikan sifat internal
Mempertimbangkan tujuan
sendiri
Terus terang, “mengatakan apa
yang dipikirkan

Terlibat, menjadi sesuai

Menempati tempat yang tepat
Menggunakan aksi yang tepat
Mempertimbangkan tujuan orang
lain
Tidak terus terang, “membaca
apa yang dipikirkan orang

Peran orang lain

Evaluasi diri: orang lain penting
untuk perbandingan sosial,

Pendefinisian diri: berhubungan
dengan orang lain dalam kon teks

5

merendahkan penilaian
Penentu harga diri


Kemampuan untuk mengekspresikan
diri, membenarkan atibusi diri

khusus
Kemampuan untuk menyesuaikan
diri, menahan diri, menjaga harmoni
dengan sosial.

_______________________________________________________________________________
Sumber: Markus dan Kitayama (1991)

Penjelasan mengenai dasar tipologi self-construal diambil oleh Markus dan Kitayama
(1991) dari pemikir-pemikir terdahulu mengenai hubungan psikologi dan budaya. Dari Neisser
(1976) dipahami bahwa makna diri dikonseptualisasi sebagai bagian dari self-schemata yang
dipergunakan untuk mengevaluasi, mengorganisasi dan meregulasi pengalaman dan tindakan.
Makna diri sebagai schemata adalah pola-pola tingkahlaku masa kini dan masa depan (Neisser,
1976). Self-schemata menurut Markus (1977) adalah generalisasi kognitif mengenai diri,
diturunkan dari pengalaman masa lalu, yang mengorganisasi dan memandu pengolahan
informasi terkait-diri yang dikandung dalam pengalaman sosial individu. Dari definisi ini kita
bisa memahami bahwa pengalaman sosial menentukan self-schemata yang kemudian memberi
dan membentuk kesadaran diri individu. Jika pengalaman sosial dalam budaya memberikan
informasi atau pesan kepada individu bahwa ia adalah entitas terpisah dari yang lain, maka ia
akan memaknai dirinya dengan pemaknaan diri independen. Di pihak lain, jika pengalaman
sosial dalam budaya memberikan informasi atau pesan kepada individu bahwa dirinya adalah
bagian dari relasi dengan orang lain, maka ia akan memaknai dirinya dengan pemaknaan diri
interdependen. Markus juga mengemukakan istilah aschematic yang artinya tidak memiliki
skema atau bukan merupakan skema. Ini untuk menyebut atribut, sifat atau karakteristik yang
tidak penting bagi individu sehingga tidak menjadi bagian dari self-schemata. Atribut yang
masuk kategori aschematic tidak berpengaruh terhadap tingkah laku individu.
Markus dan Wurf (1987) menyebut makna diri itu sebagai self-system (sistem-diri) yang
bersifat instrumental dalam meregulasi proses-proses dalam diri. Dengan dasar ini dapat
dipahami bahwa self-construal memiliki konsekuensi terhadap regulasi-diri dan tingkah laku
individu. Kitayama, Markus, Tummala, Kurokawa, and Kato (1990) mengkaji ide ini dalam
sebuah studi yang meminta partisiapan membuat putusan mengenai persamaan dan perbedaan
antara diri sendiri dan orang lain pada mahasiswa Amerika dan India. Hasilnya, ditemukan
bahwa mahasiswa Amerika menilai dirinya lebih berbeda dengan orang lain daripada orang lain
dengan dirinya. Sedang mahasiswa India cenderung menilai orang lain lebih berbeda dengan
dirinya daripada dirinya dengan orang lain. Artinya, mahasiswa Amerikan cenderung lebih
mengenali dirinya daripada orang lain, sedangkan mahasiswa India cenderung lebih mengenali
orang lain daripada dirinya. Kecenderungan itu disimpulkan sebagai konsekuensi dari self6

construal yang berbeda. Orang dengan self-construal independen (dari Budaya Barat) mengenali
pengetahuan tentang diri mereka secara lebih distinktif dan terelaborasi daripada pengetahuan
tentang orang lain, sedangkan orang dengan self-construal interdependen (dari Budaya NonBarat) mengenali pengetahuan tentang orang lain lebih terelaborasi dan distinktif daripada
pengetahuan tentang diri sendiri.
Perbedaan pendefinisian diri juga dapat terjadi dalam satu budaya (Cross, Bacon, &
Morris, 2000). Bahkan dalam budaya yang lebih menekankan pentingnya otonomi dan
independensi bisa terdapat orang-orang yang mementingkan hubungan dekat dengan sesama
anggota kelompoknya dan menyertakan hubungan itu dalam pendefinisian-diri. Pendefinisian
dengan dasar pemaknaan semacam ini yang disebut self-construal relasional. Berbeda dengan
self-construal interdependen-kolektif, self-construal relasional lebih sedikit memasukkan
karakteristik kelompok dalam pendefinisian diri, tetapi lebih banyak memasukkan orang lain ke
dalam pendefinisian diri daripada self-construal independen. Individu dengan self-construal
relasional yang tinggi juga lebih besar kemungkinannya memiliki jejaring kognitif yang teratur
dari informasi mengenai hubungan dan kedekatan dengan orang lain Cross, Morris, & Gore,
2002). Mereka juga cenderung memberi perhatian kepada pengungkapan diri pasangan dan mitra
hubungan mereka, serta dapat menghasilkan deskripsi yang secara relatif akurat mengenai nilai
dan kepercayaan teman serumah mereka (Cross, Gore, & Morris, 2003a).
Cross et al. (2003) mengkaji hubungan antara konsistensi diri dengan well-being. Hasil
studi itu memberikan pemahaman kepada kita bahwa orang bisa saja mengorbankan konsistensi
dirinya demi menjaga hubungan baik dengan orang lain dan mencapai well-being. Studi yang
dilakukan Cross et al. itu menunjukkan bahwa konsistensi konsep-diri tidak berhubungan secara
kuat dengan well-being bagi orang yang memiliki self-construal relasional tinggi. Studi mereka
menyimpulkan bahwa kepuasan mereka lebih banyak diperoleh melalui pemenuhan kebutuhan
mereka untuk berhubungan dengan orang lain daripada usaha untuk bertingkahlaku konsisten
dalam hubungan mereka dengan orang lain. Temuan Cross et al. (2003) diperkuat dan diperluas
oleh Gore dan Cross (2010). Mereka menunjukkan bahwa asosiasi antara koherensi tujuan
akademik dan well-being positif pada orang yang memiliki skor relasional yang rendah, tetapi
tidak signifikan atau negatif pada orang yang memiliki skor relasional tinggi. Hasil studi itu
menyimpulkan bahwa pendefinisian-diri berperan dalam menentukan manfaat dari beberapa
bentuk konsistensi kognitif. Pengkarakterisasian diri seseorang secara konsisten dalam berbagai
hubungan bisa jadi penting bagi orang yang menekankan pentingnya menampilkan “diri inti” dan
bagi mereka yang termotivasi untuk memelihara konsistensi diri untuk tujuan manajemen kesan.

7

Namun konsistensi diri melalui pencapaian tujuan yang koheren dengan konsep-diri tidak terkait
dengan dengan well-being pada individu yang self-construal relasionalnya tinggi.

Konsistensi Diri dan Implikasinya Terhadap Integritas Diri
Studi-studi tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa pendefinisian-diri
dipengaruhi oleh budaya dan dengan demikian konsep integritas diri pun dipengaruhi oleh
budaya. Oleh karena itu dalam usaha memahami integritas diri orang Indonesia kita perlu
memahami pengaruh budaya Indonesia terhadap proses pendefinisian-diri orang Indonesia.
Pesan-pesan apa yang disampaikan budaya Indonesia kepada individu Indonesia? Sejauh mana
pesan itu ditangkap dan ditanggapi oleh individu Indonesia? Bagaimana pengaruh proses
komunikasi individu Indonesia dengan budaya terhadap pendefinisian-diri dan pembentukan
integritas diri mereka?
Terkait dengan integritas diri yang didasari oleh konsistensi diri, kita mendapatkan
pemahaman dari studi mengenai pengaruh budaya terhadap konsistensi diri. Studi mengenai
konsistensi diri di beberapa budaya menunjukkan hasil yang mendukung bahwa pendefinisiandiri memberi pengaruh terhadap konsistensi diri dan kemudian terhadap konsep integritas diri.
Beberapa studi menunjukkan bahwa pada orang Timur hubungan baik dengan orang lain lebih
dinilai penting daripada konsistensi diri (di antaranya Suh, 2002; Spencer-Rodgers et al., 2009;
English & Chen, 2007, 2011). Orang Timur lebih mau mengorbankan konsistensi dirinya
daripada hubungan baiknya dengan orang lain. Demi hubungan baik dengan orang lain mereka
bersedia bertingkahlaku tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dirinya. Yang lebih dijaga
konsistensinya pada orang Timur adalah hubungan baik dengan orang lain.
Dengan dasar ini saya mencoba memahami identitas dan konsep integritas orang
Indonesia untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan bagaimana orang Indonesia memahami
integritas dan apa pengertian integritas dalam budaya Indonesia.
Self-Construal Orang Indonesia
Survei yang kami lakukan di Jawa dan Sumatera (N = 1251) untuk mengukur selfconstrual dengan teknik sampling multi-stage random sampling memberikan hasil yang
mengindikasikan

menduanya

orang

Indonesia

memaknai

dirinya.

Hasil

umumnya

memperlihatkan bahwa proporsi orang Indonesia memaknai dirinya sebagai independen selfconstrual relatif sebanding dengan mereka yang memaknai dirinya sebagai interdependent selfconstrual (self-construal independen = 45%; self-construal interdependen = 51%; tidak ada
8

kecenderung = 4%). Jika kita begitu saja menafsirkan hasil ini, maka masyarakat Indonesia tidak
dapat begitu saja dikategorikan sebagai masyarakat yang cenderung memandang individu
otonom dan mandiri atau masyarakat yang memandang individu terhubung dengan yang lain
karena dua kecenderungan itu ada di Indonesia.
Dari hasil survey ada indikasi bahwa makna hidup orang Indonesia terkait baik dengan
keberhasilan diri sendiri maupun keterlibatan dalam hubungan dengan orang lain. Hubungan
sosial dibutuhkan oleh orang Indonesia meski tidak selalu memberikan perasaan yang baik dan
nyaman. Mereka merasa nyaman disapa dengan nama panggilan tanpa tambahan kata sapaan
bapak/ibu/mas/mbak/kakak, dsb. Mereka menganggap usaha dan kesuksesan pribadi penting
tetapi tetap mempertimbangkan nama baik keluarga. Mereka berusaha menjaga harmoni
kelompok tetapi tetap ingin dirinya sukses dan merasa bertanggung-jawab atas susah dan
senangnya diri sendiri. Mereka menghormati keputusan kelompok tetapi juga merasa nyaman
menjadi pribadi yang unik. Mereka menganggap penting ekspresi pribadi tetapi juga beradaptasi
dengan kelompok dan menjaga agar tingkah laku mereka tidak mengecewakan kelompok.
Jika hasil ini dipahami dengan kerangka tipologi self-construal, tampaknya tipe selfconstrual relasional yang dominan di Indonesia. Orang Indonesia, berdasarkan responden survey
ini, melibatkan orang-orang dari kelompoknya dan orang signifikan lainnya dalam
mendefinisikan diri mereka. Tetapi mereka melakukan itu tidak atas dasar pesan budaya yang
mereka terima secara umum, melainkan tergantung pada situasi di mana mereka berada. Ada
indikasi mereka menganggap tidak mesti melibatkan karakteristik masyarakat Indonesia dalam
pendefinisian mereka. Situasi tempat mereka berada lebih berpengaruh terhadap pendefinisian
diri mereka. Perubahan situasi bisa jadi mempengaruhi perubahan definisi diri. Diri orang
Indonesia lebih bersifat situasional dan bergantung pada interaksi yang intensif pada tempat dan
waktu tertentu.
Jika hasil survey ini dapat diandalkan, bagaimana kita memahami integritas orang
Indonesia? Apakah perubahan definisi diri itu merupakan indikasi tidak adanya konsep integritas
diri pada orang Indonesia? Atau integritas diri harus dipahami secara khusus pada orang
Indonesia? Ini perlu didiskusikan secara khusus.
Hasil survey ini memicu munculnya pertanyaan-pertanyaan berikut pada benak saya:
Pesan budaya apa yang disampaikan Masyarakat Indonesia kepada individunya? Bagaimana
self-schemata orang Indonesia? Sistem-diri seperti apa yang bekerja pada orang Indonesia?
Apakah integritas merupakan bagian dari self-schemata orang Indonesia atau masuk dalam
kategori aschematic pada diri orang Indonesia? Apakah menjadi orang yang berintegritas

9

merupakan bagian dari sistem-diri orang Indonesia? Saya berusaha menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut satu persatu.
Pesan Budaya Yang Diterima Oleh Orang Indonesia
Berdasarkan data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap 15
orang Indonesia diperoleh pemahaman mengenai beragamnya pesan budaya yang diterima oleh
individu Indonesia. Secara umum dalam ranah hubungan sosial, partisipan mendapatkan pesan
untuk menghormati orang yang lebih tua, seperti orang tua, kakak, dan tokoh yang dituakan
dalam masyarakat.
Di ranah pendidikan, para partisipan mengakui didorong untuk bersaing dengan orang
lain untuk mendapatkan prestasi yang baik. Mereka didorong untuk belajar dan mampu
menyelesaikan studi tepat waktu. Tetapi, mereka juga dinasihati untuk menjaga hubungan baik
dengan orang lain, seperti guru, dosen dan teman-teman di sekolah dan di kampus mereka. Dua
partisipan mengaku bahwa orang tuanya mengupayakan mereka masing-masing untuk dapat
diterima di universitas yang baik dengan menghubungi orang-orang yang mungkin dapat
membantu mereka diterima di universitas yang baik. Bahkan orang tua mereka mau membayar
lebih agar mereka dapat diterima kuliah di sana. Menurut keduanya, dari kecil orang tuanya
berupaya sedemikian rupa agar mereka mendapat sekolah yang baik.
Di ranah pekerjaan, hormat dan patuh kepada atasan dinilai penting, tetapi persaingan
dengan sesama rekan kerja juga dinilai penting. Seorang partisipan mengatakan bahwa orang tua
dan orang-orang yang signifikan baginya memberi pesan, “Sekarang ini semua orang bersaing.
Kalau kamu kalah bersaing, kamu akan ketinggalan, tidak dapat apa-apa. Orang semakin banyak,
persaingan makin ketat. Kamu harus punya keahlian khusus supaya selalu dipakai dan dapat
pekerjaan (yang penghasilannya) baik.”
Ketika ditanya apakah pesan budaya yang mereka diterima melalui pertanyaan apa yang
diharuskan oleh masyarakat terhadap mereka, partisipan mengaku tidak begitu pasti apakah
mereka dituntut jadi orang otonom dan independen atau mereka harus membina hubungan yang
baik dengan orang lain. Mereka mengaku diminta melakukan keduanya. Mereka tidak sering
memikirkan apa yang diharapkan masyarakat kepada mereka. Semua partisipan mengaku
berusaha untuk mengikuti contoh orang yang dianggap sukses di lingkungan mereka. Satu
partisipan menjelaskan, “Kalau saya pikir-pikir terus mesti jadi apa, saya malah bingung. Saya
harus mandiri atau tidak? Mestinya iya. Tapi saya biasa dibantu orang tua untuk bisa berhasil.
Kalau saya mesti bersaing dengan orang lain, saya juga mesti menghargai dan menghormati

10

orang lain juga. Saya harus jaga perasaan orang lain. Jadinya saya lihat situasi saja, tergantung
situasi saya harus seperti apa.”
Ada indikasi partisipan mengalami kebingungan dalam menafsirkan mereka harus
menjadi apa. Apakah mereka harus menjadi orang yang fokus pada keberhasilannya atau mereka
peduli kepada orang lain dan mempertimbangkan orang lain dalam membuat keputusan. Seorang
partisipan menyatakan, “Sebenarnya saya bingung kita orang Indonesia itu individualistik atau
tidak. Kalau kita lihat di jalan di Jakarta, sepertinya individualistik. Orang berebutan dapat jalan.
Kalau jam makan di food court atau di mal, orang rebutan tempat duduk. Tapi kita juga tidak
enak dan tidak suka melihat orang lain mementingkan dirinya sendiri. Kalau ada yang berani
ngomong sembarangan atau frontal, kita menilai mereka kurang tahun sopan santun atau kurang
luwes. Terus kita tidak bisa sukses sendiri, mesti bagi-bagi, maksudnya mesti bantu orang lain
juga, keluarga, teman. Tapi kalau susah, sepertinya ya mesti dijalani sendirian susahnya.”
Para partisipan juga mengakui adanya ketaksaan dalam praktek sosial di Indonesia.
Misalnya, ada tindakan yang dinilai baik tetapi tidak dilakukan. Ada nilai yang diakui dianut
oleh orang Indonesia, tetapi tidak diterapkan dalam perilaku sehari-hari. Sebaliknya ada tindakan
yang dinilai buruk tetapi dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan diajarkan. Mereka
mengaku kadang terpaksa melakukan juga tindakan yang dinilai tidak baik itu sebab situasi
menuntut demikian.
Dari hasil wawancara ini, ada indikasi ketidakjelasan pesan budaya Indonesia untuk
individunya. Apa yang diharapkan kepada mereka tidka didasari oleh nilai dan prinsip yang
koheren dan konsisten. Apa yang harus mereka lakukan tergantung situasi. Mereka
menyimpulkan pesan yang mereka terima secara jelas hanya menyesuaikan diri dengan situasi
tempat mereka berada dan pandai-pandailah membaca situasi. Lalu, ada nilai yang diterima dan
dianggap baik oleh hampir semua orang tetapi pada prakteknya nilai itu tidak diterapkan. Di sisi
lain ada tingkah laku yang dianggap tidak baik namun pada prakteknya itu ditampilkan,
disosialisasikan dan diajarkan kepada individu.
Berdasarkan observasi terhadap praktek sosial sehari-hari, saya mendapatkan pemahaman
yang sejalan dengan hasil wawancara tersebut. Jika dilihat dari pesan preskriptif (apa yang
dianggap benar dan baik oleh semua orang di masyarakat serta dianggap seharusnya dilakukan),
masyarakat Indonesia menganjurkan bahkan mengharuskan individunya untuk menghargai orang
lain,

bekerjasama,

bergotong-royong,

menghargai

relasi

sosial

dengan

hierarkinya,

mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi, peduli pada orang lain,
saling menghormati dan menghargai, menjadi harmoni dan kerukunan, dan sebagainya. Namun,
pesan deskriptif (apa yang pada kenyataannnya terjadi), yaitu pesan yang ditampilkan dalam
11

perilaku sehari-hari yang dapat diamati, masyarakat Indonesia menampilkan persaingan yang
keras antar individu, kecenderungan lebih mementingkan kepentingan dan pencapaian pribadi
daripada kepentingan bersama, mengabaikan aturan tertulis dan lebih mengikuti “aturan” yang
berlaku di lapangan, mendorong individu untuk memperoleh keuntungan pribadi sebanyak
mungkin, lebih menghargai pencapaian individual terutama dalam hal penghasilan dan kekayaan,
serta mencari cara-cara singkat untuk memperoleh keberhasilan.
Tidak jelasnya pesan budaya yang disampaikan masyarakat Indonesia kepada
individunya mengakibatkan kebingungan dalam memaknai diri pada sebagian individunya.
Tetapi ada juga yang berusaha menafsirkan pesan budaya secara lebih positif, partisipan dalam
wawancara mengatakan bahwa keharusan kita bergantung pada situasi dan kemampuan
membaca situasi penting sebab dalam kenyataannya segala sesuatu berubah terus. Menyesuaikan
diri dengan situasi menjadi makin penting saat ini karena negara-negara di dunia ini bisa
berhubungan dengan mudah dan saling mempengaruhi. Kita berinteraksi dengan banyak orang
yang mungkin berbeda latar belakangnya sehingga untuk bisa membina interaksi yang baik kita
perlu memahami mereka dan situasi tempat kita berinteraksi dengan mereka. Jawaban ini sejalan
dengan temuan studi yang saya sebutkan terdahulu bahwa ada kecenderungan orang Timur untuk
mengorbankan konsistensi diri demi menjaga hubungan baik dengan orang lain. Tetapi, dalam
wawancara diperoleh juga tambahan pemahaman bahwa menjaga hubungan baik dengan orang
lain itu menjadi semacam instrumen untuk mencapai keberhasilan diri. Seorang partisipan
mengatakan, “Hubungan baik perlu dijaga supaya kita bisa dapat bantuan dari orang lain, tidak
dijauhi. Di pekerjaan itu penting. Kita tidak boleh cari musuh. Kita harus paham orang lain
supaya bisa berhasil.”
Self-schemata dan Sistem-Diri Orang Indonesia
Saya tidak melakukan penelitian khusus mengenai self-schemata dan sistem-diri orang
Indonesia. Apa yang saya kemukakan di sini merupakan dugaan atau hipotesis yang saya peroleh
dari penalaran menggunakan informasi dari studi yang ada dan pengamatan sehari-hari
berinteraksi dengan orang Indonesia.
Dengan pengertian self-schemata dari Markus (1977), kita bisa menduga bahwa orang
Indonesia menggeneralisasi dirinya sebagai orang yang harus pandai membaca dan
menyesuaikan diri dengan situasi. Dari data wawancara diperoleh indikasi itu. Sebagian besar
partisipan menyatakan mereka harus dapat membaca situasi untuk dapat menyesuaikan diri
dengan situasi. Lalu ada partisipan yang berpendapat bahwa ia memahami dirinya selalu berada
dalam lingkungan yang berubah sehingga ia selalu perlu menyesuaikan diri. Menggunakan
12

rumusan diri yang ajek membuatnya sulit menyesuaikan diri. Fleksibilitas menjadi penting
baginya.
Pengalaman-pengalaman masa lalu orang Indonesia menjadi bahan generalisasi diri.
Selain itu juga adanya maksim dan pepatah dalam suku-suku di Indonesia memberikan bahan
bagi generalisasi diri orang Indonesia, seperti pepatah “Di mana bumi dipijak, di situ langit
dijunjung,” “ngono ya ngono, ning ojo ngono (begitu yang begitu, tapi jangan begitu),” dan
“ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.” Dalam pengalaman sosial individu Indonesia,
membaca dan menyesuaikan diri dengan situasi dan mementingkan keberadaan orang lain
merupakan muatan yang sering ditemui. Namun, bisa juga kita amati bahwa persaingan,
kecenderungan mementingkan diri sendiri, keinginan menjadi lebih baik, lebih kaya, dan lebih
sukses dari orang lain kini juga banyak ditayangkan dalam media massa, terutama televisi. Bisa
jadi perpaduan itu semua menghasilkan self-schemata yang berisi kesadaran diri untuk
menyesuaikan diri dengan situasi untuk mencapai keberhasilan diri sendiri. Tentunya dugaan ini
perlu dikaji lebih lanjut dalam studi yang lebih sistematis, ketat dan mendalam.
Berdasarkan hipotesis mengenai self-schemata, saya menduga sistem-diri orang
Indonesia didasari oleh keyakinan bahwa atribut dan sifat yang dimiliki seseorang itu selalu
berubah. Mereka percaya bahwa orang dapat mengubah atribut dan sifat yang ada pada dirinya.
Setiap penampilan diri merupakan ajang untuk belajar, bukan penampilan hasil akhir dari
perkembangan diri, sehingga mereka menampilkan diri sesuai dengan apa yang dituntut situasi,
bukan apa yang meneka anggap ajek sesuai dengan definisi diri. Mereka didorong oleh tuntutan
situasi bukan oleh keinginan menjaga konsistensi diri. Dengan demikian, definisi dirinya pun
berubah. Penampilan prima bukan tujuan utama. Tujuan mereka adalah belajar menyesuaikan
diri. Ini juga mengingatkan kita pada kecenderungan banyak budaya di Indonesia yang
menganggap bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara sehingga tidak perlu “ngotot” untuk
mencapai semuanya dalam hidup. Sistem-diri tentu saja tidak bisa lepas dari budaya tempat
individu berada. Budaya Indonesia ikut menentukan pendefinisian diri yang didasari oleh selfschemata dan sistem-diri. Kajian serius dan mendalam mengenai gejala-gejala ini di Indonesia
dalam hemat saya sangat perlu dilakukan.
Makna Integritas Diri Bagi Orang Indonesia
Lalu dengan self-schemata dan sistem-diri demikian, apa makna integritas bagi orang
Indonesia? Sekali lagi, apakah integritas merupakan bagian dari self-schemata orang Indonesia
atau masuk dalam kategori aschematic pada diri orang Indonesia? Apakah menjadi orang yang
berintegritas merupakan bagian dari sistem-diri orang Indonesia?
13

Ada kemungkinan bahwa integritas diri dalam pengertian konsistensi antara konsep-diri
dan tingkah laku tidak masuk dalam self-schemata kebanyakan orang Indonesia. Dengan sistemdiri yang mendorong orang Indonesia berubah-ubah mengikuti situasi yang ditempatinya,
konsistensi diri tidak menjadi penting. Integritas bisa jadi lebih dimaknai dalam pengertian
integritas sosial, harmoni yang dibangun dari hubungan yang baik dengan orang lain.
Jika dugaan ini dapat diandalkan, maka kita bisa menyimpulkan lebih jauh bahwa untuk
menghasilkan integritas diri pada orang Indonesia, kita perlu mengupayakan terlebih dahulu
integritas sosial. Sistem dan struktur sosial perlu ditata dan dijaga agar memiliki integritas. Jika
sistem dan struktur sosial Indonesia tidak memiliki integritas, maka individunya pun tidak dapat
mencapai integritas diri. Kekacauan struktur dan sistem sosial membuat individu sulit
menentukan perannya. Individu jadi cenderung kembali mengikuti dorongan instinktif
mempertahankan diri dengan mengikuti emosi dan intuisi menghindari kesakitan dan mendekati
kenikmatan. Persaingan yang dilakukan dengan dasar “siapa kuat, dia menang” akan
mengemukakan jika strutur dan sistem sosial tidak memiliki integritas dan tak mampu
memberikan pesan yang jelas kepada para individunya.
Tetapi ini baru dugaan saya. Kita perlu kajian lebih serius dan mendalam untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih tepat. Ada dua jalan yang perlu dilakukan oleh masyarakat
Indonesia (dan ini menurut saya menjadi tugas penting komunitas psikologi Indonesia). Yang
pertama memikirkan ulang pengertian integritas diri, khususnya dalam konteks Masyarakat
Indonesia. Yang kedua, memikirkan dan mencari cara mengubah pendefinisian diri orang
Indonesia yang sangat terkait dengan budaya Indonesia.
Apa yg perlu dilakukan oleh masyarakat Indonesia?
Indonesia perlu memperjelas pesan budaya lewat kejelasan struktur dan sistem sosial,
sosialisasi nilai dan pengejawantahannya dalam praktik kehidupan sehari-hari. Praktek yang
ditampilkan dan dapat diamati langsung oleh individu memiliki pengaruh yang jauh lebih kuat
daripada representasi tertulis atau verbal. Norma preskriptif (norma yang diterima benar oleh
masyarakat) harus sesuai dengan norma deskriptif (norma yang berlaku dan dipraktekkan dalam
kehidupan sosial sehari-hari). Kesenjangan antara keduanya akan menghasilkan kekacauan
struktur dan sistem sosial. Norma deskriptif akan lebih berpengaruh terhadap pikiran, perasaan
dan tingkah laku individu daripada norma preskriptif. Usaha untuk menyesuaikan keduanya
merupakan usaha yang sangat perlu dilakukan di Indonesia.

14

Sosialisasi nilai dan penerapannya perlu dilakukan secara mendasar dan menyeluruh.
Mendasar dalam arti itu dilakukan terhadap individu sejak usia dini. Pembiasaan, pembelajaran,
dan peneladanan yang merupakan komponen inti pendidikan menjadi kunci penting. Individu
perlu difasilitasi untuk memaknai pentingnya nilai-nilai itu dan penerapannya. Bukan berarti itu
menjadi satu mata pelajaran tertentu, tetapi jauh lebih penting memfasilitasi individu untuk
menerapkan nilai-nilai itu dalam praktek sosial dan memaknai bahwa penerapan itu merupakan
hal yang penting untuk dilakukan demi mencapai kehidupan yang baik. Orang yang dapat
diteladani perlu terdistribusi di semua ranah kehidupan tempat individu menjalani aktivitas
sosial. Orang yang teladan itu semestinya adalah orang yang kongkret, hadir di hadapan individu,
memiliki kesamaan dalam beberapa hal dan keteladannya realistik untuk ditiru dan diikuti.
Upaya lain yang penting untuk dilakukan terkait dengan membangun struktur dan sistem
sosial yang jelas dan berintegritas adalah pemberian tanda yang jelas untuk apa yang baik/boleh
dilakukan dan buruk/tak boleh dilakukan. Hukum perlu bekerja secara memadai. Ini sudah
banyak dikemukakan oleh berbagai pihak. Dalam prosesnya saat ini, kita bisa berharap bahwa
penerapan hukum di Indonesia semakin hari semakin baik.
Masyarakat Indonesia perlu memfasilitasi pemaknaan diri yang konstruktif dan sejalan
dengan cita-cita/arah perkembangan Indonesia yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia.
Pemaknaan ini dapat dilakukan melalui rekonstruksi ingatan kolektif. Halbswachs (1952|1992)
mendefininisikan ingatan kolektif sebagai kumpulan ingatan yang ada pada sebuah masyarakat
dan dapat direkonstruksi dalam kerangka rujukan masa kini. Ingatan kolektif dapat dipahami
penampungan bersama informasi yang terdapat pada ingatan dua atau lebih anggota kelompok.
Ingatan episodik individu perlu dilibatkan dalam membangun ingatan kolektif Indonesia.
Setidaknya lewat keterlibatan dalam proses pemaknaan masa lalu Indonesia, individu dapat ikut
mengalami secara mental apa yang terjadi di masa lalu. Mereka perlu difasilitasi untuk dapat
melakukan perjalanan mental lebih jauh lagi ke masa lalu Indonesia. Dengan cara itu mereka
dapat difasilitasi untuk memiliki identitas bangsa sebagai identitas sosial mereka.
Masyarakat Indonesia perlu menata kembali ingatan kolektif. Penataan itu perlu
dilakukan dengan melibatkan orang-orang muda. Di sini menata kembali ingatan sosial berarti
memverifikasi hipotesis pengingat, membangun kembali makna dengan melihat masa lalu dan
memberi pembenaran akan harapan yang lebih baik di masa depan. Dengan tindakan menata itu,
maka ingatan kolektif masyarakat Indonesia bisa diperiksa dan diverifikasi melalui ingataningatan lain yang telah diabaikan, dilupakan dan dihilangkan oleh para pengingat, juga diperkaya
dengan ingatan-ingatan baru yang mungkin dimiliki oleh para individu baru.

15

Adanya verifikasi ingatan ini akan membangun makna baru tentang masa lalu. Di sini
fungsi produktif dari menata ingatan bekerja. Konsep menata ingatan sesungguhnya
mempersoalkan bahwa ingatan seseorang atau suatu kelompok masyarakat tak pernah sempurna.
Tak ada yang bisa mengklaim, ingatannya yang paling lengkap, paling benar.
Pewarisan ingatan kolektif kepada individu baru tidak dapat dilakukan dengan menyuruh
mereka menghafal dan menerima sejarah Indonesia apa adanya. Manusia bukan seperti gelas
yang pasif diisi air, melainkan makhluk pengolah dan pencipta informasi yang aktif. Pikiran,
perasaan dan tindakan manusia dipengaruhi oleh pengolahan dan penciptaan informasi dalam
kognisinya. Begitu juga dengan tindakan sebagai warga negara atau sebagai anggota sebuah
bangsa. Individu mengolah dan menciptakan informasi yang bermakna baginya dan
memudahkannya bertindak. Informasi yang diperlukan untuk membentuk identitas bangsa pun
perlu diolah oleh setiap individu. Dari pengolahan itu, mereka memperoleh makna dan dengan
makna itu mereka menentukan tindakan. Ingatan kolektif pun perlu dipahami sebagai informasi
yang perlu diolah dan diciptakan kembali dengan makna baru yang lebih kaya. Dengan begitu
ingatan kolektif menjadi selalu relevan, begitu juga identitas bangsa.
Di hadapan begitu banyak tawaran ingatan yang ada di lingkungan, kebermaknaan
ingatan kolektif tentang Indonesia menjadi kekuatan dan daya tarik yang membuat individu
Indonesia lebih memilih untuk ikut memilikinya dan membaginya dengan orang lain. Individu
perlu dilibatkan sebagai peserta dialog antar ingatan. Ingatan dan pemaknaan mereka perlu
terjalin dengan ingatan kolektif Indonesia. Dengan cara demikian, kita bisa berharap menemukan
identitas yang lebih jelas sehingga kemudian integritas sosial dan integritas diri individu dapat
dibangun secara lebih jelas dan terjaga terus.
***
Daftar Pustaka
Cross, S. E., Bacon, P. L., & Morris, M. L. (2000). The relational-interdependent self-construal
and relationships. Journal of Personality and Social Psychology, 78, 791-808.
Cross, S. E., Gore, J. S., & Morris, M. L. (2003). The relational-interdependent self-construal,
self-concept consistency, and well-being. Journal of Personality and Social
Psychology, 85, 933–944.
Cross, S. E., & Morris, M. L. (2003a). Getting to know you: Relational self-construal, relational
cognition, and well-being. Personality and Social Psychology Bulletin, 29, 512523.
Cross, S. E., Morris, M. L., & Gore, J. S. (2002). Thinking about oneself and others: The
relational-interdependent self-construal and social cognition. Journal of Personality
and Social Psychology, 82, 399–418.

16

English, T., & Chen, S. (2007). Culture and self-concept stability: consistency across and within
contexts among Asian Americans and European Americans. Journal of
Personality and Social Psychology, 93, 478–490.
English, T., & Chen, S. (2011). Self-concept consistency and culture: The differential impact of
two forms of consistency. Personality and Social Psychology Bulletin, 37, 838849. doi:10.1177/0146167211400621
Gore dan Cross (2010). Relational self-construal moderates the link between goal coherence and
well-being. Self and Identity, 9: 41–61, 2010.
Halbwachs, M. (1952|1992). On collective memory, Chicago (IL), The University of Chicago
Press.
Kitayama, Markus, Tummala, Kurokawa, and Kato (1990). Culture and self-cognition.
Unpublish manuscript.
Markus, H. (1977). Self-schemata and processing information about the self. Journal of
Personality and Social Psychology, 35(2), 63-78. doi: 10.1037/0022-3514.35.2.63
Markus, H. R., & Kitayama, S. (1991). Culture and the self: Implications for cognition, emotion,
and motivation. Psychological Review, 98, 224-253.
Markus, H. & Wurf, E. (1987). The Dynamic Self-Concept: A Social Psychological Perspective.
Annual. Review of Psychology, 38:299-337.
Neisser, U. (1976). Cognition and Reality. San Francisco: W.H. Freeman.
Singelis, T. M. (1994). The measurement of independent and interdependent self-construals.
Personality and Social Psychology Bulletin, 20, 580-591.
Spencer-Rodgers, J., Boucher, H.C., Sumi C. Mori, S.C., Wang, L., & Peng, K. (2009). The
dialectical self-concept: contradiction, change, and holism in east asian cultures.
Personality And Social Psychology Bulletin, 35(1): 29–44. Doi:
10.1177/0146167208325772
Suh, E., M. (2002). Culture, Identity Consistency, and Subjective Well-Being.Journal of
Personality and Social Psychology, 2002, Vol. 83, No. 6, 1378–1391. DOI:
10.1037//0022-3514.83.6.1378
Trafimow, D., Triandis, H. C., & Goto, S. G. (1991). Some tests of the distinction between the
private self and the collective self. Journal of Personality and Social Psychology,
60, 649-655.
Van Baaren, R. B., Holland, R. W., Kawakami, K., & van Knippenberg, A. (2004). Mimicry and
prosocial behavior. Psychological Science, 15, 71-74.
Van Baaren, R. B., Horgan, T. G., Chartrand, T. L., & Dijkmans, M. (2004a). The forest, the
trees, and the Chameleon: Context dependency and mimicry. Journal of
Personality and Social Psychology, 86, 453-459.
Van Baaren, R. B., Maddux, W. W., Chartrand, T. L., de Bouter, C. & van Knippenberg, A.
(2003). It takes two to mimic: Behavioural consequences of self-construals.
Journal of Personality and Social Psychology, 84, 1093-1102.

17