Makalah Pemanfaatan Kekayaan laut Indone
Makalah Pemanfaatan Kekayaan laut Indonesia untuk Mewujudkan Ketahanan
Ekonomi Nasional
PEMANFAATAN KEKAYAAN LAUT INDONESIA
1.
Latar Belakang
Sejak dahulu kala Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia. Dengan luasnya lautan yang dimiliki banyak potensi
kekayaan laut yang dapat kita manfaatkan untuk kesejahteraan rakyat
Indonesia.
Indonesia memiliki potensi sumber daya laut yang sangat besar. Selain ikan,
berbagai sumber daya lain terdapat di sini, seperti pertambangan, rumput laut,
terumbu karang, dan sebagainya. Semuanya memiliki nilai ekonomi yang sangat
besar untuk kesejahterakan rakyat, terutama kaum nelayan. Nelayan memiliki
posisi yang cukup strategis mengingat dua pertiga wilayah Nusantara adalah laut.
Namun seringkali nelayan tidak berdaya secara ekonomi dan terjerat kemiskinan.
Karena itu perlu upaya untuk memberdayakan nelayan demi meningkatkan
kesejahterannya. Sumber daya laut yang ada di Indonesia memang sangat besar,
jika dikelola dengan baik, maka bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat,
khususnya nelayan dan masyarakat pesisir. Sehingga ketahanan ekonomi akan
terwujud.
Laut Indonensia memiliki kekayaan sumber daya berlimpah. Namun
pengelolaan dan regulasi yang mengatur penggunaan kekayaan laut tersebut dinilai
masih kurang memberi keuntungan bagi negara. Sehingga perlu upaya-upaya dari
berbagai pihak untuk bekerjasama dalam pemanfaatan kekayaan laut secara
optimal dan terarah. Karena itulah saya tertarik untuk membuat makalah berjudul
“Pemanfaatan Kekayaan Laut Indonesia untuk Mewujudkan Ketahanan Ekonomi
Nasional.”
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1. Profl Laut Inooneiaa
Laut Indonesia memiliki luas lebih kurang 5,6 juta km 2 dengan
garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan potensi sumberdaya, terutama
perikanan laut yang cukup besar, baik dari segi kuantitas maupun
diversitasnya. Selain itu Indonesia tetap berhak untuk berpartisipasi
dalam pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam di laut lepas di luar
batas 200 mil laut ZEE, serta pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan
alam dasar laut perairan internasional di luar batas landas
kontinen.Nampak bahwa kepentingan pembangunan ekonomi di
Indonesia lebih memanfaatkan potensi sumberdaya daratan daripada
potensi sumberdaya perairan laut.
Memperhatikan konfigurasi Kepulauan Indonesia serta letaknya
pada posisi silang yang sangat strategis, juga dilihat dari kondisi
lingkungan serta kondisi geologinya, Indonesia memiliki 5 (lima)
keunggulan komparatif dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia,
yaitu:
•
Marine Mega Biodiversity; wilayah perairan Indonesia memiliki
keragaman hayati yang tidak ternilai baik dari segi komersial maupun
saintifiknya yang harus dikelola dengan bijaksana.
•
Plate Tectonic; Indonesia merupakan tempat pertemuan tiga lempeng
tektonik, sehingga wilayah tersebut kaya akan kandungan sumberdaya
alam dasar laut, namun juga merupakan wilayah yang relatif rawan
terhadap terjadinya bencana alam.
•
Dynamic Oceanographic and Climate Variability , perairan Indonesia
merupakan tempat melintasnya aliran arus lintas antara samudera Pasifik
dan samudera Indonesia, sehingga merupakan wilayah yang memegang
peranan penting dalam sistem arus global yang menentukan variabilitas
iklim nasional, regional dan global dan berpengaruh terhadap distibusi
dan kelimpahan sumberdaya hayati.
Indonesia dengan konsep Wawasan Nusantara, sebagaimana
diakui dunia internasional sesuai dengan hukum laut internasional
(UNCLOS 82), memberikan konsekuensi kepada negara dan rakyat
Indonesia untuk mampu mengelola dan memanfaatkannya secara
optimal dengan tetap memperhatikan hak-hak tradisional dan
internasional.
Indonesia sebagai negara kepulauan telah menetapkan alur
perlintasan pelayaran internasional, yaitu yang dikenal dengan Alur Lintas
Kepulauan Indonesia (ALKI), hal ini mengharuskan kita untuk
mengembangkan kemampuan teknik pemantauannya serta kemampuan
untuk menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya.
Pembangunan kelautan dan perikanan dimasa datang diharapkan menjadi
sektor andalan dalam menopang perekonomian negara dalam pemberdayaan
masyarakat yang bergerak di sektor kelautan dan perikanan. Menyadari hal
tersebut, maka peran ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan dan perikanan
menjadi sangat penting dan perlu dioptimalkan serta diarahkan agar mampu
melaksanakan riset yang bersifat strategis yang dapat diaplikasikan oleh
masyarakat luas terutama oleh para pelaku industri dan masyarakat pesisir pada
umumnya.
2. Kekayaan Laut Inooneiaa
Tiga per empat dari keseluruhan wilayah Indonesia adalah lautan.
Di dalamnya terdapat lebih dari 17.500 pulau dengan garis pantai
sepanjang 81.000 km yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di
dunia setelah Kanada. Banyak sekali kekayaan laut yang dimiliki negara
kita.
Laut kita mengandung banyak sumber daya yang beragam baik
yang dapat diperbaharui seperti perikanan, terumbu karang, hutan
mangrove, rumput laut, dan plasma nutfah lainnya atau pun sumber daya
yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak dan gas bumi, barang
tambang, mineral, serta energi kelautan seperti gelombang, angin, dan
OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) yang sedang giat
dikembangkan saat ini.
Terdapat 7,5% (6,4 juta ton/tahun) dari potensi lestari total ikan
laut dunia berada di Indonesia. Kurang lebih 24 juta hektar perairan laut
dangkal Indonesia cocok untuk usaha budi daya laut (marine culture) ikan
kerapu, kakap, baronang, kerang mutiara, dan biota laut lainnya yang
bernilai ekonomis tinggi dengan potensi produksi 47 ton/tahun.
Selain itu lahan pesisir (coastal land) yang sesuai untuk usaha
budidaya tambak udang, bandeng, kerapu, kepiting, rajungan, rumput
laut, dan biota perairan lainnya diperkirakan 1,2 juta hektar dengan
potensi produksi sebesar 5 juta per tahun. Hampir 70% produksi minyak
dan gas bumi Indonesia berasal dari kawasan pesisir dan laut.
Selain itu, Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati laut
pada tingkatan genetik, spesies, maupun ekosistem tertinggi di dunia.
Akan tetapi, saat ini baru 4 juta ton kekayaan laut Indonesia yang
dimanfaatkan. Jika kita telusuri kembali sebenarnya masih banyak potensi
kekayaan laut yang dimiliki Indonesia.
Prakiraan nilai ekonomi potensi dan kekayaan laut Indonesia yang
telah dihitung para pakar dan lembaga terkait dalam setahun mencapai
149,94 miliar dollar AS atau sekitar Rp 14.994 triliun.
Potensi ekonomi kekayaan laut tersebut meliputi perikanan senilai
31,94 miliar dollar AS, wilayah pesisir lestari 56 miliar dollar AS,
bioteknologi laut total 40 miliar dollar AS, wisata bahari 2 miliar dollar AS,
minyak bumi sebesar 6,64 miliar dollar AS dan transportasi laut sebesar
20 miliar dollar AS.
3. Maialah-maialah yang oa haoapa oalam Pemanfaatan Kekayaan Laut
Dengan kekayaan laut yang melimpah ini, sayangnya belum
termanfaatkan secara optimal. Sumber daya kelautan yang begitu
melimpah ini hanya dipandang “sebelah mata”, Kalaupun ada kegiataan
pemanfaatan sumber daya kelautan, maka dilakukan kurang profesional
dan ekstraktif, kurang mengindahakan aspek kelestariannya. Bangsa
Indonesia kurang siap dalam menghadapi segala konsekuensi jati dirinya
sebagai bangsa nusantara atau negara kepulauan terbesar di dunia
karena tidak disertai dengan kesadaran dan kapasitas yang sepadan
dalam mengelola kekayaannya.
Di satu sisi Indonesia memposisikan diri sebagai negara kepulauan
dengan kekayaan lautnya yang melimpah, tetapi di sisi lain Indonesia
juga memposisikan diri secara kultural sebagai bangsa agraris dengan
puluhan juta petani yang masih berada di bawah garis kemiskinan,
sedangkan dalam industri modern, negara kita kalah bersaing dengan
negara lain. Semua ini berdampak juga terhadap sektor industri kelautan
sehingga menimbulkan banyak masalah berkaitan dengan pemanfaatan
kekayaan laut. Diantaranya para nelayan Indonesia masih miskin dan
tertinggal dalam perkembangan teknologi kelautan. Kemiskinan dan
kemiskinan yang menyelimuti mereka karena sistem yang sangat
menekan seperti pembelian perlengkapan untuk menangkap ikan yang
masih harus lewat rentenir karena jika melalui Bank, prosesnya yang
berbelit-belit dan terlalu birokrasi. Juga dengan produksi industri kelautan
yang keadaannya setali tiga uang, terlihat dari rendahnya peranan
industri domestik seperti nelayan.
Selain itu, banyak nelayan asing yang mencuri ikan di wilayah
perairan kita, tiap tahunnya jutaan ton ikan di perairan kita dicuri oleh
nelayan asing yang rata-rata peralatan tangkapan ikan mereka jauh lebih
canggih dibandingkan para nelayan tradisional kita. Kerugian yang
diderita negara kita mencapai Rp 18 trilyun-Rp36 trilyun tiap tahunnya.
Hal ini memang kurang bisa dicegah oleh TNI AL sebagai lembaga yang
berwenang dalam mengamankan wilayah laut Indonesia, karena seperti
kita ketahui keadaan alut sista (alat utama sistem senjata) seperti kapal
perang yang dimiliki TNI AL jauh dari mencukupi. Untuk mengamankan
seluruh wilayah perairan Indonesia yang mencapai 5,8 km 2, TNI AL
setidaknya harus memiliki 500 unit kapal perang berbagai jenis. Memang
jika kita menengok kembali sejarah, di zaman Presiden Soekarno
Angkatan Laut kita pernah menjadi keempat terbesar di dunia setelah
Amerika Serikat, Uni Soviet,dan Iran. Akan tetapi semuanya hanya
bersifat sementara karena tidak dibangun atas kemampuan sendiri,
namun karena bantuan Uni Soviet dalam rangka permainan geopolitik.
Sebenarnya apa yang salah dari pengelolaan laut Indonesia. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan pemanfaatan laut sebagai potensi
bangsa yang dahsyat itu terabaikan di antaranya yaitu lemah
pengamanan, lemah pengawasan, dan lemah koordinasi dari negara.
Sebenarnya Indonesia memiliki Maritime Surveillance System (sistem
pengamatan maritim) pada sebuah institusi militer yang domainnya
memang laut.
Maritime Surveillance System dititikberatkan pada pembangunan
stasiun radar pantai dan pemasangan peralatan surveillance di kapal
patroli, untuk kemudian data-data hasil pengamatan dari peralatan yang
terpasang tersebut dikirim ke pusat data melalui media komunikasi data
tertentu untuk ditampilkan sebagai monitoring dan untuk diolah lebih
lanjut. Karena itu, sistem ini lebih cenderung berlaku sebagai alat bantu
penegakan keamanan di laut, meski sangat mungkin dikembangkan lebih
lanjut sebagai alat bantu pertahanan.
4. Upaya Pemanfaatan kekayaan Laut Inooneiaa
Pemerintah hendaknya harus bekerja lebih keras dalam mencari
penyelesaian masalah ini agar eksplorasi serta pemanfaatan kekayaan
laut kita dapat dilaksanakan secara optimal dan terarah. Negara kita
perlu mempunyai kebijakan kelautan yang jelas dan bervisi ke depan
karena menyangkut geopolitik dan kebijakan-kebijakan dasar tentang
pengelolaan sumber daya kelautan. Kebijakan mengenai berbagai
terobosan untuk mendayagunakan sumber daya kelautan secara optimal
dan lestari sebagai keunggulan kompetitif bangsa.
Mengingat potensi sumber daya laut yang kita miliki sangat besar,
maka kekayaan laut ini harus menjadi keunggualan kompetitif Indonesia,
yang dapat menghantarkan bangsa kita menuju bangsa yang adil,
makmur, dan mandiri. Memang untuk mewujudkan cita-cita tersebut
perlu adanya koordinasi berbagai pihak dan dukungan dari masyarakat.
Seyogyanya harus ada perubahan paradigma pembangunan nasional di
masyarakat kita dari land-based development menjadi ocen-based
development. Pembangunan di darat harus disinergikan dan
diintegrasikan secara proporsional dengan pembangunan sosial-ekonomi
di laut. Perlu adanya peningkatan produksi kelautan kita dengan cara
memberikan penyuluhan kepada para nelayan, pemberian kredit ringan
guna membeli perlengkapan untuk menangkap ikan yang lebih memadai,
serta pembangunan pelabuhan laut yang besar guna bersandarnya kapalkapal ikan yang lebih besar.
Peningkatan produksi juga meliputi sektor bioteknologi perairan,
mulai dari proses produksi (penangkapan ikan dan budidaya),
penanganan dan pengolahan hasil, serta pemasarannya. Selain itu, harus
ada perhatian terhadap sektor wisata bahari dengan adanya perbaikan
mencakup penguatan dan pengembangan obyek wisata bahari dan
pantai, pelayanan, pengemasan serta promosi yang gencar dan efektif.
Dengan berbagai kebijakan kelautan yang ditempuh ini, diharapkan
adanya pembangunan kelautan yang sinergis dan terarah serta
menyeluruh, sehingga tidak mustahil dengan pemanfaatan kekayan laut
yang optimal akan menumbuhkan pertumbuhan ekonomi secara
berkelanjutan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia
menuju Indonesia yang adil, makmur, dan mandiri.
Dibutuhkan kesinergisan dari banyak pihak (institusi) yang
memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam pengembangan kelautan.
Baik secara langsung maupun tidak langsung, agar manajemen
pengelolaan laut ini dapat berhasil dengan optimal.
Institusi tersebut di antaranya DKP, Departemen Perhubungan khususnya
Dirjen Perhubungan Laut, Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla),
Departemen Tenaga Kerja, Departemen Kehutanan, Departemen Pariwisata dan
Budaya, Departemen Perdagangan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral,
Ditjen Bea Cukai, Pelindo, TNI AL, Kepolisian RepublikIndonesia, Kejaksaaan, dan
sebagainya.
5. Pemanfaatan Kekayaan Laut Untuk Ketahanan Ekonoma Inooneiaa
Ketahanan ekonomi adalah merupakan suatu kondisi dinamis
kehidupan perekonomian bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan,
kekuatan nasional dalam meghadapi serta mengatasi segala tantangan
dan dinamika perekonomian baik yang datang dari dalam maupun luar
negara Indonesia, dan secara langsung maupun tidak langsung menjamin
kelangsungan dan penigkatan perekonomian bangsa dan negara republik
Indonesia yang telah diatur berdasarkan UUD 1945.
Wujud ketahanan ekonomi tercermin dalam kondisi kehidupan
perekonomian bangsa yang mampu memelihara stabilitas ekonomi yang
sehat dan dinamis, menciptakan kemandirian ekonomi nasional yang
berdaya saing tinggi, dan mewujudkan perekonomian rakyat yang secara
adil dan merata. Dengan demikian, pembangunan ekonomi diarahkan
kepada mantapnya ketahanan ekonomi melalui suatu iklim usaha yang
sehat serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, tersedianya
barang dan jasa, terpeliharanya fungsi lingkungan hidup serta
menigkatnya daya saing dalam lingkup perekonomian global.
Ketahanan ekonomi hakikatnya merupakan suatu kondisi
kehidupan perekonomian bangsa berlandaskan UUD 1945 dan dasar
filosofi Pancasila, yang menekankan kesejahteraan bersama, dan mampu
memelihara stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis serta
menciptakan kemandirian perekonomian nasional dengan daya saing
yang tinggi.
Potensi bidang kelautan cukup besar meliputi sektor perikanan,
pelayaran, pariwisata bahari, perkapalan, jasa pelabuhan serta
sumberdaya mineral bawah laut. Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan ekonomi kelautan akan tetapi diperlukan keterpaduan
kebijakan publik di bidang kelautan. Karena sektor kelautan menjadi
potensi yang sangat strategis untuk didorong sebagai mainstream
pembangunan perekonomian nasional.
Kekayaan sumberdaya pesisir dikuasai oleh Negara untuk dikelola
sedemikian rupa guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat,
memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan
kebutuhan generasi yang akan datang. Ironisnya, sebagian besar tingkat
kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir justru
menempati strata ekonomi yang paling rendah bila dibandingkan dengan
masyarakat darat lainnya. Dengan upaya peningkatan SDM masyarakat
pesisir (nelayan) maka perekonomian akan meningkat, sehingga
ketahanan ekonomi akan semakin baik.
Melihat semakin besarnya peran ekonomi kelautan (marine
economy) dalam pembangunan nasional maka diperlukan adanya agenda
kebijakan bidang kelautan dalam upaya menjadikan Indonesia sebagai
negara kepulauan bercirikan nusantara yang sejalan dengan amanat
Undang-Undang No.17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) 2005- 2025, yakni misi mewujudkan Indonesia
sebagai negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan makmur yang
berbasis kepentingan nasional sebagaimana tersirat dalam misi ketujuh
undang-undang tersebut.
Misi tersebut setidaknya memiliki 3 (tiga) agenda ke depan yang
harus segera dilakukan: Pertama, membuat payung hukum Kebijakan
Kelautan Nasional (National Ocean Policy) untuk arah pembangunan
nasional sektor kelautan; Kedua, menyiapkan roadmap penggunaan dan
pemanfaatan (sumberdaya kelautan) yang didedikasikan untuk
kepentingan nasional dan bermuara pada peningkatan kesejahteraan
rakyat dalam Kebijakan Ekonomi Kelautan Nasional (National Ocean
Economic Policy); dan ketiga, adalah Tata Kelola kelautan yang baik
(Ocean Governance) sebagai panduan atau code of conduct dalam
pengelolaan kelautan secara holistik.
Jika Indonesia berhasil memanfaatkan kekayaan laut yang
dimilikinya dengan optimal dan terarah, maka keadaan ekonomi indoesia
akan semakin baik, sehingga ketahanan ekonomi nasional akan terwujud.
BAB III
PENUTUP
1. Keiampulan
Indonesia memiliki 5 (lima) keunggulan komparatif dibandingkan dengan
negara-negara lain di dunia, yaitu: Marine Mega Biodiversity, Plate
Tectonic, dan Dynamic Oceanographic and Climate Variability.
Laut kita mengandung banyak sumber daya yang beragam baik yang dapat
diperbaharui seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan
plasma nutfah lainnya atau pun sumber daya yang tidak dapat diperbaharui seperti
minyak dan gas bumi, barang tambang, mineral, serta energi kelautan seperti
gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) yang sedang giat
dikembangkan saat ini.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan pemanfaatan laut
sebagai potensi bangsa yang dahsyat itu terabaikan di antaranya yaitu
lemah pengamanan, lemah pengawasan, dan lemah koordinasi dari
negara. Sebenarnya Indonesia memiliki Maritime Surveillance System
(sistem pengamatan maritim) pada sebuah institusi militer yang
domainnya memang laut.
Negara kita perlu mempunyai kebijakan kelautan yang jelas dan
bervisi ke depan karena menyangkut geopolitik dan kebijakan-kebijakan
dasar tentang pengelolaan sumber daya kelautan.Kebijakan mengenai
berbagai terobosan untuk mendayagunakan sumber daya kelautan
secara optimal dan lestari sebagai keunggulan kompetitif bangsa.
Sektor kelautan menjadi potensi yang sangat strategis untuk
didorong sebagai mainstream pembangunan perekonomian nasional
2. Saran
Pemerintah dan masyarakat harus selalu bekerjasama agar dapat
memanfaatkan kekayaan laut secara optimal dan terarah. Sehingga
dapat meningkatkan ekonomi kelautan, yang juga akan meningkatkan
ketahanan ekonomi nasional.
makalah dampak dinamika sosial budaya terhadap
pengelolaan SDL
MAKALAH DAMPAK DINAMIKA SOSIAL BUDAYA
TERHADAP PENGELOLAAN SDL (SUMBER DAYA LAUT)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya atau kebudayaan berasal dari sansekerta yaitu budhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal diartikan sebagai hal-hal dengan budi dan akal
manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin
Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah
atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa
Indonesia.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai,
norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain,
tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu
masyarakat.
Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks,
yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat.
Manusia semakin lama semakin meningkat karena manusia sebagai pelaku aktivitas
tersebut memiliki kebudayaan dan pola pikir yang berbeda satu sama lainnya. Tatanan
sosial baru-pun akhirnya membawa dampak pada berkurangnya kepercayaan, pandangan
dan nilai-nilai lama yang bersumber pada ajaran leluhur dan nenek moyang.
Kepercayaan lama yang bersifat pribadi dan cenderung tidak pasti telah digantikan
oleh kehidupan beragama yang lebih formal. Kehidupan ini berkembang dengan cepat di
kalangan generasi muda yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik. Hal ini banyak
dipengaruhi oleh perkembangan dunia pendidikan, informasi dan komunikasi yang
memberikan peranan besar pada pergeseran budaya, cara pandang dan pola pikir yang
selama ini berkembang di masyarakat.
Jadi ada sejumlah kekuatan yang mendorong terjadinya perkembangan sosial
budaya masyarakat Indonesia. Secara kategorikal ada 2 kekuatan yang memicu perubahan
social. Petama, adalah kekuatan dari dalam masyarakat sendiri (internal factor), seperti
pergantian generasi dan berbagai penemuan dan rekayasa setempat. Kedua, adalah
kekuatan dari luar masyarakat (external factor), seperti pengaruh kontak-kontak antar
budaya (culture contact) secara langsung maupun persebaran (unsur) kebudayaan serta
perubahan lingkungan hidup yang pada gilirannya dapat memacu perkembangan sosial
dan kebudayaan masyarakat yang harus menata kembali kehidupan mereka.
Perubahan ini juga membawa dampak negatif pada kehancuran moral (moral
damage) yang dapat dijumpai di daerah perkotaan yang sebagian besar masyarakat
menganggap bahwa dampak negatif ini merupakan hal yang wajar. Padahal apabila
dampak negatif ini tidak segera diatasi mungkin dampak negatif pembangunan dan
perubahan sosial akan lebih berkembang dibandingkan dampak positif yang diperoleh.
Perubahan social budaya ini juga berdampak pada pengelolaan SDL (Sumber Daya
Laut). Ini menjadi masalah yang cukup besar bagi bangsa Indonesia, karena semua
kekayaan hayati dan berbagai manfaat yang di dapatkan dari laut dan jika ini mengalami
perubahan maka apa yang akan terjadi?
Masalah-masalah inilah sehingga kami memilih judul ini untuk makalah kami. Dan
kami memberikan suatu informasi tentang dinamika social budaya, dan dampaknya
terhadap pengelolaan sumber daya laut.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang terrdapat di dalam makalah ini yaitu:
1. Apa itu dinamika social?
2. Apa itu SDL (Sumber daya Laut)?
3. Apa pengaruh dari dinamika social budaya terhadap pengelolaan SDL?
C. Tujuan
Adapun tujuan yang terdapat di dalam makalah ini, yaitu:
1. Agar kita mengetahui tentang dinamika social budaya
2. Agar kita mengetahui apa itu SDL (Sumber Daya Laut)
3. Agar kita mengetahui pengaruh dari dinamika social budaya terhadap pengelolaan SDL.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dinamika Sosial Budaya
1. Pengertian Perubahan Sosial Budaya
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya
dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi
sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan
sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan.
2. Faktor – Faktor Perubahan Sosial Budaya
Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi,cara dan
pola pikir masyarakat.
Faktor
internal
seperti
perubahan
jumlah
penduduk,
penemuan
baru,
terjadinya konflik atau revolusi.
Faktor
eksternal
seperti
bencana
alam
dan
perubahan
iklim, peperangan,
pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Faktor yang menghambat terjadinya perubahan sosial budaya, yaitu :
1. Kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain.
2. Perkembangan IPTEK yang lambat.
3. Sifat masyarakat yang sangat tradisional.
4. Adanya kepentingan-kepentingan tertentu yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat.
5. Prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru.
6. Rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan.
7. Hambatan ideologis dan
dan
8.
B.
1.
Pengaruh adat atau kebiasaan.
Sumber Daya Laut
Pengertian Sumber Daya Laut
Sumber daya kelautan adalah sumber daya yang meliputi, ruang lingkup yang luasnya
mencakup kehidupan laut (flora dan fauna, mulai dari organisme mikroskopis hingga paus pembunuh, dan
habitat laut) mulai dari perairan dalam hingga ke daerah pasang surut di pantai dataran
tinggi dan daerah muara yang luas. Berbagai orang memanfaatkan dan berinteraksi dengan
lingkungan laut mulai dari pelaut, nelayan komersial, pemanen kerang, ilmuwan Dll. Juga
digunakan untuk berbagai kegiatan baik rekreasi, penelitian, industri, dan kegitan lain
yang bersifat komersial.
2.
Macam-MacamSumber Daya Laut
Secara umum, sumber daya kelautan terdiri atas :
a. Sumber daya dapat pulih (renewableresources), Sumberdaya dapat pulih terdiri dari berbagai jenis
ikan, udang, rumput laut, termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (mariculture).
b. Sumber
daya
tidak
dapat
pulih
meliputi
mineral,
bahan
tambang/galian,
minyak bumi dan gas.
c. Jasa-jasa lingkungan kelautan adalah pariwisata dan perhubungan laut. Potensi
sumberdaya kelautan ini belum banyak digarap secara optimal, karena selama ini upaya kita lebih
banyak terkuras untuk mengelola sumber daya yang ada di daratan yang hanya sepertiga dari luas
negeri ini.
3. Contoh Kebiasaan-Kebiasaan Masyarakat Pesisir
Beberapa contoh kebiasaan kebiasaan masyarakat pesisir yang kami dapat dari
beberapa sumber yaitu:
a. Desa Pantai Harapan
Masyarakat nelayan Desa Pantai Harapan memiliki ritual yang berhubungan dengan usaha
mereka sebagai nelayan dalam memanfaat akan sumberdaya laut. Ritual yang biasa dilakukan
oleh masyarakat nelayan setempat yakni (Stefanus Stanis, 2005):
1) Bito Berue, merupakan suatu tradisi adat yang dilakukan oleh nelayan setempat sebelum
menggunakan sampan/juku baru. Acara ini biasanya dilakukan di pantai dengan menggunakan
bahan-bahan seperti ayam jantan yang jenggernya masih utuh. Jengger ayam dipotong oleh
tua adat laut (Aho Male), lalu darahnya dioles disekeling sampan/juku baru.
2) Lepa Nua Dewe, tradisi ini dilakukan untuk melepas pukat yang ukurannya kecil yang dalam
bahasa setempat disebut noro. Jenis pukat ini merupakan alat tangkap tradisional masyarakat
setempat untuk menangkap ikan serdin dan tembang biasanya pada musim-musim tertentu
selalu muncul diperairan laut daerah setempat dalam jumlah yang sangat banyak.
3) Bruhu Brito, merupakan suatu tradsi oleh masyarakat nelayan setempat sebelum melepas
pukat baru untuk menangkap jenis ikan selain tembang.
4) Tula Lou Wate, upacara ini merupakan tradisi dalam memberi makan kepada ”leluhur di laut”
dengan maksud memanggil ikan agar ikan dapat berkumpul dan memberikan hasil tangkapan
yang banyak. Semua jenis upacara adat tersebut di atas dilakukan oleh tua adat laut yang
dalam bahasa masyarakat setempat disebut Aho Male. Masyarakat setempat tampaknya
sangat patuh dan taat terhadap sistem nilai setempat. Hal yang menarik di sini adalah meskipun
tradisi-tradisi setempat lebih banyak pada usaha penangkapan, namun dalam ritual tersebut
diwanti-wanti oleh Aho Male bahwa tidak boleh menangkap dalam jumlah yang sangat banyak.
Jika hasil tangkapan terlalu banyak, maka akan membawa resiko berupa sakit atau bencana
lainnya di laut. Selain itu, adanya tradisi tersebut, masyarakat nelayan setempat selalu tercipta
hubungan kerjasama yang harmonis dalam semangat gotong royong, tidak saling bersaing
dalam usaha penangkapan, termasuk tidak saling merusak atau mencuri alat-alat tangkap yang
dimiliki oleh sesama nelayan. Juga diakui bahwa adanya tradsi ini dapat menciptakan adanya
kesadaran masyarakat nelayan untuk tidak menangkap dan memanfaatkan hasil-hasil laut
secara bebas, berlebihan dan merusak sumberdaya laut.
b. Desa Wulandoni
Dalam hal usaha penangkapan masyarakat nelayan tradisional di Desa Wulandoni
selalu melaksanakan acara ritual. Ritual biasanya dilakukan sebelum melepas pukat baru.
Sebelum melepas pukat baru ke laut umumnya nelayan melakukan acara ritual terlebih dahulu
dengan acara toto. Ritual, tradisi toto biasanya dilakukan di pinggir pantai dan dipimpin oleh
tuan tanah (tua adat) setempat yang disapah dengan Lewo Tanah Alap (Stefanus Stanis,
2005).
Dalam acara ritual toto Tua Adat (Lewo Tanah Alap) akan melakukan penyembelian
ayam jantan merah dan darah ayam dipercik atau dioles pada pukat dengan berjalan melingkari
pukat. Kemudian ayam jantan merah yang sudah disembeli dimasak dengan cara dibakar, dan
bersama dengan material lainnya (pisang, jangung titi, dan tuak) untuk selanjutnya dilakukan
sesajen sebelum dimakan bersama. Makna penting dari ritual ini adalah agar alat tangkap
(pukat) dapat memberikan hasil yang baik bagi usaha mereka (Stefanus Stanis, 2005).
Melalui dari sumber (Stefanus Stanis, 2005) diperoleh gambaran bahwa keraifan yang
dimiliki oleh masyarakat setempat tidak semata-mata bermakna untuk mendapat hasil yang
berlimpah, namun ritual semacamini biasa dilakukan untuk menjaga keselamatan nelayan dan
alat tangkap itu sendiri.
Makna lainnya adalah dalam acara semacam ini mencerminkan ikatan sosial dan
kebersamaan antara nelayan. Sebagai perwujudan dari kebersamaan dan ikatan sosial diantara
masyarakat, maka hasil tangkapan untuk pertama kali dari pukat baru tersebut harus dibagi dan
diberikan kepada para janda-janda dan jumpo-jumpo (Stefanus Stanis, 2005).
Penghargaan dan penghormatan terhadap Lewo Tanah Alap (Tua Adat) sangat tinggi,
karena hasil tangkapan tua adat selalu mendapat kebagian. Tua Adat juga dihargai, jika
sewaktu-waktu ditemukan ikan jenis besar yang terdampar seperti lumba-lumba, pari, penyu
dan paus yang terdampar, sebelum ikan tersebut dipotong, nelayan yang menemukan harus
terlebih dahulu menghubungi Lewo Tanah Alap, selanjutnya ikan tersebut dibagi-bagi dengan
syarat Lewo Tanah Alap harus mendapat kebagian bagian kepala dan jantung dari ikan
tersebut (Stefanus Stanis, 2005).
c. Di Lamalera
Menurut Stefanus Stanis, 2005., adapun kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di Lamarela
yaitu:
1) Upacara Tobu Nama Fatta’ ; adalah upacara di mana para Tua Adat Lamalera berkumpul
bersama dengan semua nelayan di sebuah Kapel (Kne’) sejenis rumah ibadat orang Katolik
yang berukuran kecil yang dibangun persis di pinggir pantai Lamalera. Dalam upacara Tobu
Nama Fatta dibicarakan hal-hal yang prinsip yang berkaitan dengan aturan melaut. Selain itu
juga dalam upacara Tobu Nama Fatta, dapat dijadikan semacam forum evaluasi terhadap
berbagai kegiatan, hambatan para nelayan Lamalera pada musim penangkapan sebelumnya
serta upaya-upaya dan strategi yang harus diantisipasi dan dihadapi nelayan pada musim
penangkapan sekarang. Setelah upacara ini para Tua Adat akan mengahdap Tuan Tanah
Lamalera untuk meminta restu sehingga Leffa Nuang dapat dimulai.
2) Misa Arwah; merupakan kebaktian secara Katolik yang dipimpin oleh Pastor (Pendeta Katolik)
yang bertujuan untuk mendoakan semua arwah leluhur yang meninggal di laut dan upacara
misa ini dilaksanakan sehari sebelum kegiatan melaut (biasanya dilaksanakan pada setiap
tanggal 30 April).
3) Misa Leffa; adalah upacara kebaktian yang bertujuan untuk memohon berkat serta
perlindungan dari Tuhan Allah Yang Mahakuasa (Ama rera wulan tana ekan) selama Leffa
Nuang berlangsung. Pastor akan mereciki dan memberkati semua perahu (tena/peledang),
perlengkapan perahu serta semua nelayan yang siap melaut. Upacara ini biasanya
dilaksanakan pada setiap tanggal 1 Mei.
4) Tena Fulle; adalah upacara di mana salah satu perahu (peledang) tertentu yang dipercayakan
untuk pertama kali melaut pada hari pertama yang didahuli dengan upacara ritual adat memberi
makan kepada arwah leluhur bertempat di pinggir pantai dan dilakukan oleh Tua Adat (Ata
Molang). Bagi masyarakat nelayan Lamalera aktivitas Leffa Nuangmerupakan suatu aktivitas
yang sangat sakral dan memiliki resiko yang sangat tinggi, oleh karena itu dalam kehidupan
sehari-hari hubungan antara personal dalam komunitas masyarakat harus dijaga agar tetap
harmonis. Tidak boleh terdapat perselisihan antara nelayan atau kelompok masyarakat bahkan
dalam keluarga tidak boleh terjadi pertengkaran antara suami – istri maupun dengan anak.
Keharmonisan tersebut diwujudkan dengan saling maaf memaafkan sebelum melaut, karena
mereka sangat percaya bahwa jika terjadi perselisihan atau pertengkaran Arwah Leluhur dan
Allah Yang Mahakuasa tidak berkenan dan tidak akan memberikan berkat dan rahmat serta
rezeki yang berlimpah. Mereka juga sangat percaya jika semua tahapan-tahap secara adat
maupun agama tidak dilakukan dengan sempurna serta terjadi pertengakaran atau perselisihan
maka dalam aktivitas melaut akan mengalami resiko yang dapat bersifat fatal, karena yang
mereka hadapi ikan paus yang merupakan makhluk paling besar penghuni laut. Suasana
kerjasama antara nelayan, pantangan seperti tidak boleh maki, mencuri menjadi tabu bagi
nelayan Lamalera.
d. Desa Wailolong
Desa Wailolong merupakan salah satu desa pesisir di Kecamatan Omesuri dan memiliki
kearifan atau tradisi adat dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut maupun di darat. Di desa ini,
terdapat sistem kepercayaan tradisional, yakni menurut mereka bahwa di laut ada penguasanya
yang disebut ”hari” dan penguasa di darat yang disebut ”neda ”. Adanya sistem kepercayaan ini
mendorong pemangku adat ”lemaq ” untuk melakukan ritual ’kolo umen bale lamaq” yakni
upacara memberi makan kepada penguasa di laut sebelum mereka melakukan penangkapan,
budidaya rumput laut maupun pengelolaan sumberdaya pesisir seperti penanaman bakau.
Namun demikian tradisi ini hanya dilakukan oleh orang tertentu dan sifatnya perorangan, belum
merupakan suatu kesepakatan bersama. Melalui wawancara mendalam dengan tokoh kunci
dan wawancara kelompok dengan masyarakat diperoleh gambaran informasi bahwa hasil-hasil
usaha nelayan saat ini mengalami penurunan, sebagai akibat dari banyaknya hasil-hasil laut
yang sudah hilang seperti agar-agar, bakau dan teripang. Terdapat aspirasi masyarakat desa
ini khususnya masyarakat nelayan yang hidupnya sangat bergantung pada hasil-hasil laut,
menghendaki agar ritual semacam ini perlu dilakukan secara bersama dan terusmenerus
sehingga merupakan aturan atau norma serta tradisi yang mempunyai makna dapat mengatur
tindakan-tindakan manusia terhadap pemanfaatan sumberdaya alam pesirsir dan laut di tempat
itu (Stefanus Stanis, 2005).
e. Desa Lebewala
Masyarakat
pesisir
Desa
Lebewala
Kecamatan
Omesuri
Kabupaten
Lembata
mempunyai tradisi dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir.
Dalam pemanfaatan sumberdaya teripang sistem nilai yang mengatur masyarakat setempat
adalah ”poan kemer puru larang” yakni suatu tradisi larangan secara adat bagi masyarakat
untuk tidak mengambil hasil-hasil laut secara bebas (Stefanus Stanis, 2005).
Penangkapan teripang hanya boleh dilakukan jika tuan tanah, tua adat dan dukundukun
melakukan ritual terlebih dahulu. Dukun (Ata Molang) akan melakukan ritual dan selanjutnya
masyarakat boleh mengambil teripang. Setelah kurang lebih 2 tau 3 hari, Ata Molang akan
melakukan ritual pelarangan kembali wilayah perairan tersebut. (Stefanus Stanis, 2005).
Selain Ata Molang melakukan tradisi pelarangan secara ritual, Pemerintah Desa
Lebewala juga memiliki Kesepakatan Desa yang sifatnya mengikat secara hukum yakni berupa
sanksi denda dalam bentuk uang tunai satu juta rupiah dan kambing jantan besar senilai satu
juta rupiah. Dengan adanya sanksi secara adat dan atauran pemerintah tampaknya membuat
masyarakat kawasan pesisir desa ini cukup jerah dalam melakukan tindakan pengurasakan
atau pengambilan teripang secara bebas. (Stefanus Stanis, 2005)
C. Pengaruh Dinamika Sosial budaya masyarakat terhadap pengelolaan SDL
Setiap kebudayaan dan masyarakat di dunia, tidak terkecuali kebudayaan dan
masyarakat bahari, cepat atau lambat pasti mengalami perubahan sebagai fenomena
sosial.
Realitasnya
sosial budaya yang
fenomena
sangat
sosial
kompleks.
itu
sesungguhnya
Kompleksitas
menunjukkan
fenomena
fenomena
sosial budaya bahari
ditunjukkan dalam proses dinamikanya.
Di sana ada perubahan sepenuhnya seperti motorisasi perahu nelayan yang
menggantikan fungsi layar dan dayung, ada proses transformasi struktural mengenai
kelompok-kelompok kerja nelayan dan pelaut serta jaringan pemasaran, ada proses
perkembangan internal seperti perubahan tipe bagang tancap ke bagang perahu melalui
bentuk-bentuk transisi bagang rakit/apung di Sinjai (Sulawesi Selatan), dan proses difusi
(persebaran) yang menyolok seperti persebaran rumpon dari Majenne (Sulawesi
Selatan), bubu dari Buton (Sulawesi Tenggara), sebuah bentuk perahu tradisional dari
Kalimantan dimodifikasi menjadi tipe jolloro’ di Bira (Bulukumba) kurang lebih dua dekade
terakhir,dan bahkan seringkali ada manipulasi identitas etnis secara sementara atau per
manen seperti dilakukan oleh sebagian besar kelompok-kelompok masyarakat Bajo di
mana-mana dalam rangka adaptasi sosial budayanya, bertahannya tradisi seperti
pengetahuan kelautan, pembuatan perahu, dan aturan bagi hasil. (J. Supriatni, 2008)
Lebih lanjut dalam konteks Indonesia misalnya, di sana ada wacana tentang kearifan
lokal (local indigenious) tetapi banyak kali kontradiksi dengan fenomena eksploitasi
sumberdaya secara berlebih dan komersialisasi dengan segala dampak negatifnya bagi
kondisi sosial ekonomi, lingkungan dan sumberdaya laut (berdasarkan pandangan etik dan
emik). Konteks birokrasi melalui pelaksanaan kebijakan pemerintah juga menyumbang
kepada perubahan-perubahan keputusan dan prilaku nelayan melalui respons-respons ide
dan sikap-sikap (menerima atau menolak). Motorisasi perahu dan adopsi gae (istilah Bugis)
atau rengge (istilah Makassar) sejenis pukat apung raksasa (purse seine) yang merupakan
teknik tangkap andalan untuk ikan pelagik (terutama layang) di Sulawesi Selatan.
Sebetulnya diperkenalkan oleh dan melalui jalur promosi pemerintah di tahun 1970-an. (J.
Supriatni, 2008)
Selanjutnya,
mengarahkan dinamika budaya bahari
Indonesia.
Meskipun dinamika budaya bahari komuniti-komuniti nelayan di Indonesia selama ini tidak
atau masih sangat kurang mendapat pengarahan dari pemerintah, namun tampak di manamana suatu proses dinamika berlangsung cukup pesat. Tanpa memandang rendah
beberapa kearifan lokal masih tersisa, antara lain seperti sasi (Maluku), panglima laut di
Aceh, pengelolaan komunal tradisional di Kapuas Hulu (Kalimantan), teknik rumpon
nelayan Mandar (Sulawesi Selatan), lembaga kerjasama pengelolaan modal ponggawa-
sawi (Sulawesi Selatan), ternyata bahwa proses dinamika, modernisasi dan globalisasi
banyak membawa dampak-dampak negatif berupa kemiskinan ekonomi sebagian terbesar
penduduk nelayan tradisional skala kecil, konflik-konflik antar kelompok-kelompok nelayan,
terkurasnya populasi sumberdaya laut, kerusakan ekosistem laut, terutama terumbu
karang. (J. Supriatni, 2008)
Hal ini adalah akibat dari suatu proses dinamika komuniti-komuniti nelayan yang
kurang terarahkan secara bijak, mereka itu “closed to the stone, far from the throne”
menurut Pujo Semedi (2000) atau untuk nelayan Bugis, Makassar. Selanjutnya apa yang
perlu dilakukan oleh pihak-pihak berkepentingan seperti pemerintah, kalangan akademisi,
LSM, tokoh masyarakat, dan lembaga donor? ialah menemukan arah-arah pengelolaan
pemanfaatan
sumberdaya
dan
lingkungan laut secara
berkelanjutan,
berwawasan
lingkungan, untuk kesejahteraan bersama masyarakat. (J. Supriatni, 2008)
Tumbuhkan
pandangan
dan
kesadaran
bahwa
sumberdaya laut rentan terhadap ancaman perilaku-perilaku tertentu, jadi tanpa perlakuan
bijak kondisi sumberdaya laut akan menjadi semakin berkurang/terbatas, manusia harus
arif dan bertanggung jawab dalam perilaku pemanfaatan sumber daya laut, mengubah
pandangan budaya dan praktek akses terbuka/bebas ke penguatan hak-hak pemilikan. (J.
Supriatni, 2008)
Menumbuhkan
dan
revitalisasi
kelembagaan-kelembagaan
tradisional
yang
menekankan moral pemerataan atau keadilan dalam kesempatan berusaha dan pembagian
hasil, pembentukan institusi baru, penguatan atau revitalisasi sistem-sistem tradisional yang
potensil berkaitan dengan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa laut. Dalam
wujud
teknologi
perlu pengembangan teknologi
perikanan
tangkap
ramah
lingkungan, pengembangan teknologi budidaya dan semi-budidaya, teknologi pascapanen,
serta membangun institusi pasar lokal, regional, nasional dan global yang tidak semata
dikendalikan kekuatan-kekuatan eksternal. Karena budaya bahari adalah pragmatis, segala
contoh nyata yang memberikan makna praktis bagi mereka niscaya akan dinilai tinggi dan
diperebutkan. (J. Supriatni, 2008)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini, yaitu:
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya
dalam suatu masyarakat.
Sumber daya kelautan adalah sumber daya yang meliputi, ruang lingkup yang luasnya
mencakup kehidupan laut (flora dan fauna, mulai dari organisme mikroskopis hingga paus pembunuh, dan
habitat laut) mulai dari perairan dalam hingga ke daerah pasang surut di pantai dataran
tinggi dan daerah muara yang luas.
Perubahan sepenuhnya seperti motorisasi perahu nelayan yang menggantikan fungsi layar
dan dayung, ada proses transformasi struktural mengenai kelompok-kelompok kerja nelayan
dan pelaut serta jaringan pemasaran, ada proses perkembangan internal seperti perubahan tipe
bagang tancap ke bagang perahu melalui bentuk-bentuk transisi bagang rakit/apung di Sinjai
(Sulawesi Selatan), dan proses difusi (persebaran) yang menyolok seperti persebaran rumpon
dari Majenne (Sulawesi Selatan), bubu dari Buton (Sulawesi Tenggara),
B. Saran
Adapun saran kami dalam makalah ini, yaitu:
1. Pemerintah lebih menyadari tentang pengaruh dinamika social budaya terhadap pengelolaan
SDL (sumber Daya Laut)
2. Masyarakat khususnya yang berada di pinggir laut lebih memahami dan mengetahui pengaruhpengaruh apa saja yang dapat mempengaruhi pengelolaan SDL.
3. Makalah ini menjadi sumber referensi bagi peneliti lain yang mengangkat judul yang sama.
ESSAY KEHUTANAN
NEGARA REPUBLIK MASYARAKAT ADAT
Banyak sekali permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat sekitar
hutan, contohnya konfik tenurial antara masyarakat adat dan perusahaanperusahaan yang mengambil manfaat dari hutan. Masyarakat adat memperebutkan
lahan mereka dengan perusahaan yang mengambil manfaat dari hasil hutan,
sehingga terjadilah konfik yang berkepanjangan antara masyarakat adat dan
perusahaan pengusaha hutan.
Masyarakat adat sudah lama menduduki wilayah mereka sebelum Negara ini lahir,
namun selama ini masih abu-abu karena wilayah mereka tidak diakui oleh
pemerintah. Konfik pun terjadi ketika pengusaha hutan datang berbekal surat
izin, dan masyarakat adat yang menganggap bahwa “Ina
aoalah
Negara
kama” maka mereka tidak menerima tanah mereka, wilayah mereka yang sudah
lama mereka singgahi diganggu gugat. Jika pengusaha pengembangan hutan
mengambil lahan hutan yang demi kepentingan mereka, terus bagaimana nasib
masyarakat adat?
Itu salah satu tanda tanya yang paling besar, dan tidak pernah ada tanda serunya.
Mungkin itu kata-kata yang sepele namun sangat bermakna bagi masyarakat adat.
Bagaimana mungkin lahan yang menjadi titik kehidupan mereka dari zaman dahulu
diambil oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab yang hanya mementingkan
kehidupan mereka sendiri tanpa memedulikan kehidupan yang mereka rebut.
Siapa yang patut disalahkan? Sangat menggelikan memang melihat orang-orang
saling menyalahkan satu sama lain, antara masyarakat adat yang mempertahankan
wilayah mereka dengan perusahaan pengusaha hutan yang juga mempertahankan
wilayah pengelolaan mereka. Ini karena faktor dari tidak adanya pengakuan
pemerintah atas wilayah masyarakat adat. Padahal masyarakat adat adalah
masyarakat yang sudah lama tinggal di wilayah sekitar hutan. Namun mereka tidak
mendapatkan pengakuan atas wilayah mereka.
Terus,
apa
tindakan
pemerintah? Data
Kementrian
Kehutanan
tahun
2009
mencatat bahwa diseluruh Indonesia, ada sekitar 31957 buah desa yang seluruh
atau sebagian wilayahnya berada di dalam kawasan hutan miskin. Hutan ini
merupakan jaringan pengaman ekonomi ketika panen gagal atau pekerjaan upahan
tidak ada. Bagi banyak keluarga, berjual hasil hutan dan hasil wanatani (agroforest)
merupakan sumber uang utama untuk dapat membiayai sarana produksi pertanian,
sekolah dan kesehatan. Masyarakat yang tingal di hutan cenderung miskin secara
menahun. Tidak adanya prasarana, sulitnya komunikasi dan jauhnya jarak hutan
dari pasar, sarana kesehatan dan pendidikan sangat membatasi pilihan sumber
penghidupan. Tumpang-tindih wilayah kelola dan tekanan ekonomi, akan memicu
konfik antara masyarakat, pengusaha dan aparatur negara.
Konfik ini misalnya terjadi di Desa Seruat Dua, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu
Raya, yang melibatkan warga dan PT Sintang Raya. Masyarakat mengklaim, hutan
adat seluas 700 hektar dari total 900 hektar diserobot PT SR. Hutan adat yang
bersebelahan dengan kawasan kelola PT SR kini sudah gundul dan ditanami bibit
kelapa sawit. Namun, Manajer PT SR membantahnya, bahwa pihaknya telah
menyerobot hutan adat milik desa itu.
Data Badan Peratanahan Nasional (BPN) sendiri telah menyebutkan, sampai 2011
terdapat 14.337 sengketa pertanahan dengan berbagai tingkatan. Satuan tugas
pemberantasan Mafia Hukum juga mencatat, pada September 2009-April 2011 ada
910 perkara sengketa tanah yang dilaporkan. Sengketa lahan yang setiap saat bisa
meledak menjadi aksi kekerasan dan anarkisme, bahkan gangguan sosial terjadi di
seluruh Indonesia. Di Kalimantan misalnya, keributan-keributan yang terjadi
biasanya
mengakibatkan
terjadinya
pembakaran
kamp-kamp,
pengrusakan
peralatan dan pemukulan terahadap para pegawai perusahaan. Di Riau kekerasan
tingkat rendah terjadi secara merata dan semakin meningkat antara para
pendukung perusahaan pupl dan kertas dengan masyarakat setempat.
Pemerintah
seakan
tutup
telinga
atas
konfik
yang
terus
terjadi.
Mereka
memberikan izin kepada Pengusaha Hutan untuk mengelola (konsensasi) sehingga
ini menjadi kunci Pengusaha Hutan untuk memasuki areal hutan yang menjadi
sumber kehidupan masyarakat adat. Ini membuktikan masyarakat adat kalah akan
selembar kertas dan menjadi titik awal terjadinya konfik. Masyarakat seakan terusir
dari Negaranya sendiri yang sudah lama ia duduki dan pengusaha hutan merasa
berkuasa mengelola hutan dengan surat izin tersebut.
Dengan surat izin tersebut pengusaha hutan bersembunyi dibawah ketiak hukum
serta aparat Negara. Masyarakat adat menjadi terusir. Jika difikirkan kembali
dimana janji pemerintah yang kembali ke rakyat? Kemana pemerintah menjinjing
tujuan Negara kita yaitu mensejahterakan rakyatnya. Harusnya pemerintah
memikirkan nasib masyarakat adat karena masyarakat adat adalah rakyatnya juga
dan memberikan kebijakan dan aturan yang ditujukan kepada rakyatnya.
Masalah konfik sumberdaya alam sebenarnya bukan sesuatu yang baru baik di
Indonesia maupun di kawasan Asia Tenggara lainnya, masalah ini telah muncul
sejak abad ke 18 yang lalu ketika bangsa Eropa melakukan ekspansi dalam rangka
mencari
bahan
baku
untuk
memenuhi
kebutuhan
pengembangan
industri.
Bersamaan dengan ekspansi itu terbangun konsep bahwa sumberdaya alam adalah
faktor produksi yang dengan menggunakan teknologi tertentu dapat dieksploitasi
untuk menjadi barang komoditi.
Konsep itu kemudian dialihkan ke kawasan Asia Tenggara melalui penetrasi
kolonialisme. Sejak saat itu eksploitasi sumberdaya alam bukan hanya menjadi
semakin intensif dan sistimatis, melainkan juga telah menempatkan ekonomi
kawasan ini menjadi bagian dari sistim kapitalisme dunia. Selain itu proses
eksploitasi mengesampingkan kehidupan masyarakat. Setiap kali masyarakat
mengajukan tuntutan agar memperoleh akses justru dianggap sebagai penghambat
atau pengacau, karena itu masyarakat hampir tidak pernah menikmati hasil
eksploitasi alam di daerah sendiri. Warisan kearifan dan nilai-nilai sosial yang
dipergunakan untuk menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dan alam
juga
ikut rusak
terkoyak
oleh
kepentingan
ekonomi.
Akhirnya konfik
tak
terbendung lagi.
Bukankah citra Indonesia semakin buruk atas ketidak adilan dari Hak Asasi Manusia.
Selain itu, akibat dari konfik tersebut akan menimbulkan kerugian material dari
masyarakat
adat
mempertahankan
dan
pengusaha
wilayahnya
maka
hutan.
Jika
masyarakat
investor
akan
berpikir
dua
adat
terus
kali
untuk
mengadakan investasi. Maka dari itu seharusnya pemerintah maupun pemerintah
daerah mengambil titik tengah dalam menangani masalah ini. Pemerintah
setidaknya memberikan kemerdekaan kepada masyarakat adat atas wilayah yang
mereka tinggali sejak dahulu. Ataupun mempertemukan ketiga stakeholders yaitu
pemerintah daerah, masyarakat sekitar hutan dan pengusaha hutan. Apabila
keharmonisan antara ketiga stakeholders tetap terjaga maka konfik tidak akan
terjadi lagi. Pertemuan ini sangat penting untuk merundingkan konfik yang terjadi
dan bagaimana kesepakatan yang mereka inginkan. Dan yang paling penting
adalah jika pemerintah ingin mengelola hutan sebaiknya dilakukan pemetaan
ataupun melibatkan masyarakat adat dalam pengelolaan hutannya.
MAKALAH HUKUM HUMANITER
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Humaniter Internasional memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa.
Untuk menghindari penderitaan akibat perang maka baru pada pertengahan abad ke-19
negara-negara melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan internasional dalam
suatu konvensi yang mereka setujui sendiri (Lembar Fakta HAM, 1998: 172). Sejak saat itu,
perubahan
sifat
pertikaian
bersenjata
dan
daya
merusak
persenjataan
modern
menyadarkan perlunya banyak perbaiakan dan perluasan hukum humaniter melalui
negosiasi–negosiasi panjang yang membutuhkan kesabaran.
Perkembangan Hukum Humaniter Internasional yang berhubungan dengan perlindungan
bagi korban perang dan hukum perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum
perlindungan Hak Asasi Manusia setelah Perang Dunia Kedua. Penetapan instrumen
internasional yang penting dalam bidang Hak Asasi Manusia seperti Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan
Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
Ekonomi Nasional
PEMANFAATAN KEKAYAAN LAUT INDONESIA
1.
Latar Belakang
Sejak dahulu kala Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia. Dengan luasnya lautan yang dimiliki banyak potensi
kekayaan laut yang dapat kita manfaatkan untuk kesejahteraan rakyat
Indonesia.
Indonesia memiliki potensi sumber daya laut yang sangat besar. Selain ikan,
berbagai sumber daya lain terdapat di sini, seperti pertambangan, rumput laut,
terumbu karang, dan sebagainya. Semuanya memiliki nilai ekonomi yang sangat
besar untuk kesejahterakan rakyat, terutama kaum nelayan. Nelayan memiliki
posisi yang cukup strategis mengingat dua pertiga wilayah Nusantara adalah laut.
Namun seringkali nelayan tidak berdaya secara ekonomi dan terjerat kemiskinan.
Karena itu perlu upaya untuk memberdayakan nelayan demi meningkatkan
kesejahterannya. Sumber daya laut yang ada di Indonesia memang sangat besar,
jika dikelola dengan baik, maka bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat,
khususnya nelayan dan masyarakat pesisir. Sehingga ketahanan ekonomi akan
terwujud.
Laut Indonensia memiliki kekayaan sumber daya berlimpah. Namun
pengelolaan dan regulasi yang mengatur penggunaan kekayaan laut tersebut dinilai
masih kurang memberi keuntungan bagi negara. Sehingga perlu upaya-upaya dari
berbagai pihak untuk bekerjasama dalam pemanfaatan kekayaan laut secara
optimal dan terarah. Karena itulah saya tertarik untuk membuat makalah berjudul
“Pemanfaatan Kekayaan Laut Indonesia untuk Mewujudkan Ketahanan Ekonomi
Nasional.”
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1. Profl Laut Inooneiaa
Laut Indonesia memiliki luas lebih kurang 5,6 juta km 2 dengan
garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan potensi sumberdaya, terutama
perikanan laut yang cukup besar, baik dari segi kuantitas maupun
diversitasnya. Selain itu Indonesia tetap berhak untuk berpartisipasi
dalam pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam di laut lepas di luar
batas 200 mil laut ZEE, serta pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan
alam dasar laut perairan internasional di luar batas landas
kontinen.Nampak bahwa kepentingan pembangunan ekonomi di
Indonesia lebih memanfaatkan potensi sumberdaya daratan daripada
potensi sumberdaya perairan laut.
Memperhatikan konfigurasi Kepulauan Indonesia serta letaknya
pada posisi silang yang sangat strategis, juga dilihat dari kondisi
lingkungan serta kondisi geologinya, Indonesia memiliki 5 (lima)
keunggulan komparatif dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia,
yaitu:
•
Marine Mega Biodiversity; wilayah perairan Indonesia memiliki
keragaman hayati yang tidak ternilai baik dari segi komersial maupun
saintifiknya yang harus dikelola dengan bijaksana.
•
Plate Tectonic; Indonesia merupakan tempat pertemuan tiga lempeng
tektonik, sehingga wilayah tersebut kaya akan kandungan sumberdaya
alam dasar laut, namun juga merupakan wilayah yang relatif rawan
terhadap terjadinya bencana alam.
•
Dynamic Oceanographic and Climate Variability , perairan Indonesia
merupakan tempat melintasnya aliran arus lintas antara samudera Pasifik
dan samudera Indonesia, sehingga merupakan wilayah yang memegang
peranan penting dalam sistem arus global yang menentukan variabilitas
iklim nasional, regional dan global dan berpengaruh terhadap distibusi
dan kelimpahan sumberdaya hayati.
Indonesia dengan konsep Wawasan Nusantara, sebagaimana
diakui dunia internasional sesuai dengan hukum laut internasional
(UNCLOS 82), memberikan konsekuensi kepada negara dan rakyat
Indonesia untuk mampu mengelola dan memanfaatkannya secara
optimal dengan tetap memperhatikan hak-hak tradisional dan
internasional.
Indonesia sebagai negara kepulauan telah menetapkan alur
perlintasan pelayaran internasional, yaitu yang dikenal dengan Alur Lintas
Kepulauan Indonesia (ALKI), hal ini mengharuskan kita untuk
mengembangkan kemampuan teknik pemantauannya serta kemampuan
untuk menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya.
Pembangunan kelautan dan perikanan dimasa datang diharapkan menjadi
sektor andalan dalam menopang perekonomian negara dalam pemberdayaan
masyarakat yang bergerak di sektor kelautan dan perikanan. Menyadari hal
tersebut, maka peran ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan dan perikanan
menjadi sangat penting dan perlu dioptimalkan serta diarahkan agar mampu
melaksanakan riset yang bersifat strategis yang dapat diaplikasikan oleh
masyarakat luas terutama oleh para pelaku industri dan masyarakat pesisir pada
umumnya.
2. Kekayaan Laut Inooneiaa
Tiga per empat dari keseluruhan wilayah Indonesia adalah lautan.
Di dalamnya terdapat lebih dari 17.500 pulau dengan garis pantai
sepanjang 81.000 km yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di
dunia setelah Kanada. Banyak sekali kekayaan laut yang dimiliki negara
kita.
Laut kita mengandung banyak sumber daya yang beragam baik
yang dapat diperbaharui seperti perikanan, terumbu karang, hutan
mangrove, rumput laut, dan plasma nutfah lainnya atau pun sumber daya
yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak dan gas bumi, barang
tambang, mineral, serta energi kelautan seperti gelombang, angin, dan
OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) yang sedang giat
dikembangkan saat ini.
Terdapat 7,5% (6,4 juta ton/tahun) dari potensi lestari total ikan
laut dunia berada di Indonesia. Kurang lebih 24 juta hektar perairan laut
dangkal Indonesia cocok untuk usaha budi daya laut (marine culture) ikan
kerapu, kakap, baronang, kerang mutiara, dan biota laut lainnya yang
bernilai ekonomis tinggi dengan potensi produksi 47 ton/tahun.
Selain itu lahan pesisir (coastal land) yang sesuai untuk usaha
budidaya tambak udang, bandeng, kerapu, kepiting, rajungan, rumput
laut, dan biota perairan lainnya diperkirakan 1,2 juta hektar dengan
potensi produksi sebesar 5 juta per tahun. Hampir 70% produksi minyak
dan gas bumi Indonesia berasal dari kawasan pesisir dan laut.
Selain itu, Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati laut
pada tingkatan genetik, spesies, maupun ekosistem tertinggi di dunia.
Akan tetapi, saat ini baru 4 juta ton kekayaan laut Indonesia yang
dimanfaatkan. Jika kita telusuri kembali sebenarnya masih banyak potensi
kekayaan laut yang dimiliki Indonesia.
Prakiraan nilai ekonomi potensi dan kekayaan laut Indonesia yang
telah dihitung para pakar dan lembaga terkait dalam setahun mencapai
149,94 miliar dollar AS atau sekitar Rp 14.994 triliun.
Potensi ekonomi kekayaan laut tersebut meliputi perikanan senilai
31,94 miliar dollar AS, wilayah pesisir lestari 56 miliar dollar AS,
bioteknologi laut total 40 miliar dollar AS, wisata bahari 2 miliar dollar AS,
minyak bumi sebesar 6,64 miliar dollar AS dan transportasi laut sebesar
20 miliar dollar AS.
3. Maialah-maialah yang oa haoapa oalam Pemanfaatan Kekayaan Laut
Dengan kekayaan laut yang melimpah ini, sayangnya belum
termanfaatkan secara optimal. Sumber daya kelautan yang begitu
melimpah ini hanya dipandang “sebelah mata”, Kalaupun ada kegiataan
pemanfaatan sumber daya kelautan, maka dilakukan kurang profesional
dan ekstraktif, kurang mengindahakan aspek kelestariannya. Bangsa
Indonesia kurang siap dalam menghadapi segala konsekuensi jati dirinya
sebagai bangsa nusantara atau negara kepulauan terbesar di dunia
karena tidak disertai dengan kesadaran dan kapasitas yang sepadan
dalam mengelola kekayaannya.
Di satu sisi Indonesia memposisikan diri sebagai negara kepulauan
dengan kekayaan lautnya yang melimpah, tetapi di sisi lain Indonesia
juga memposisikan diri secara kultural sebagai bangsa agraris dengan
puluhan juta petani yang masih berada di bawah garis kemiskinan,
sedangkan dalam industri modern, negara kita kalah bersaing dengan
negara lain. Semua ini berdampak juga terhadap sektor industri kelautan
sehingga menimbulkan banyak masalah berkaitan dengan pemanfaatan
kekayaan laut. Diantaranya para nelayan Indonesia masih miskin dan
tertinggal dalam perkembangan teknologi kelautan. Kemiskinan dan
kemiskinan yang menyelimuti mereka karena sistem yang sangat
menekan seperti pembelian perlengkapan untuk menangkap ikan yang
masih harus lewat rentenir karena jika melalui Bank, prosesnya yang
berbelit-belit dan terlalu birokrasi. Juga dengan produksi industri kelautan
yang keadaannya setali tiga uang, terlihat dari rendahnya peranan
industri domestik seperti nelayan.
Selain itu, banyak nelayan asing yang mencuri ikan di wilayah
perairan kita, tiap tahunnya jutaan ton ikan di perairan kita dicuri oleh
nelayan asing yang rata-rata peralatan tangkapan ikan mereka jauh lebih
canggih dibandingkan para nelayan tradisional kita. Kerugian yang
diderita negara kita mencapai Rp 18 trilyun-Rp36 trilyun tiap tahunnya.
Hal ini memang kurang bisa dicegah oleh TNI AL sebagai lembaga yang
berwenang dalam mengamankan wilayah laut Indonesia, karena seperti
kita ketahui keadaan alut sista (alat utama sistem senjata) seperti kapal
perang yang dimiliki TNI AL jauh dari mencukupi. Untuk mengamankan
seluruh wilayah perairan Indonesia yang mencapai 5,8 km 2, TNI AL
setidaknya harus memiliki 500 unit kapal perang berbagai jenis. Memang
jika kita menengok kembali sejarah, di zaman Presiden Soekarno
Angkatan Laut kita pernah menjadi keempat terbesar di dunia setelah
Amerika Serikat, Uni Soviet,dan Iran. Akan tetapi semuanya hanya
bersifat sementara karena tidak dibangun atas kemampuan sendiri,
namun karena bantuan Uni Soviet dalam rangka permainan geopolitik.
Sebenarnya apa yang salah dari pengelolaan laut Indonesia. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan pemanfaatan laut sebagai potensi
bangsa yang dahsyat itu terabaikan di antaranya yaitu lemah
pengamanan, lemah pengawasan, dan lemah koordinasi dari negara.
Sebenarnya Indonesia memiliki Maritime Surveillance System (sistem
pengamatan maritim) pada sebuah institusi militer yang domainnya
memang laut.
Maritime Surveillance System dititikberatkan pada pembangunan
stasiun radar pantai dan pemasangan peralatan surveillance di kapal
patroli, untuk kemudian data-data hasil pengamatan dari peralatan yang
terpasang tersebut dikirim ke pusat data melalui media komunikasi data
tertentu untuk ditampilkan sebagai monitoring dan untuk diolah lebih
lanjut. Karena itu, sistem ini lebih cenderung berlaku sebagai alat bantu
penegakan keamanan di laut, meski sangat mungkin dikembangkan lebih
lanjut sebagai alat bantu pertahanan.
4. Upaya Pemanfaatan kekayaan Laut Inooneiaa
Pemerintah hendaknya harus bekerja lebih keras dalam mencari
penyelesaian masalah ini agar eksplorasi serta pemanfaatan kekayaan
laut kita dapat dilaksanakan secara optimal dan terarah. Negara kita
perlu mempunyai kebijakan kelautan yang jelas dan bervisi ke depan
karena menyangkut geopolitik dan kebijakan-kebijakan dasar tentang
pengelolaan sumber daya kelautan. Kebijakan mengenai berbagai
terobosan untuk mendayagunakan sumber daya kelautan secara optimal
dan lestari sebagai keunggulan kompetitif bangsa.
Mengingat potensi sumber daya laut yang kita miliki sangat besar,
maka kekayaan laut ini harus menjadi keunggualan kompetitif Indonesia,
yang dapat menghantarkan bangsa kita menuju bangsa yang adil,
makmur, dan mandiri. Memang untuk mewujudkan cita-cita tersebut
perlu adanya koordinasi berbagai pihak dan dukungan dari masyarakat.
Seyogyanya harus ada perubahan paradigma pembangunan nasional di
masyarakat kita dari land-based development menjadi ocen-based
development. Pembangunan di darat harus disinergikan dan
diintegrasikan secara proporsional dengan pembangunan sosial-ekonomi
di laut. Perlu adanya peningkatan produksi kelautan kita dengan cara
memberikan penyuluhan kepada para nelayan, pemberian kredit ringan
guna membeli perlengkapan untuk menangkap ikan yang lebih memadai,
serta pembangunan pelabuhan laut yang besar guna bersandarnya kapalkapal ikan yang lebih besar.
Peningkatan produksi juga meliputi sektor bioteknologi perairan,
mulai dari proses produksi (penangkapan ikan dan budidaya),
penanganan dan pengolahan hasil, serta pemasarannya. Selain itu, harus
ada perhatian terhadap sektor wisata bahari dengan adanya perbaikan
mencakup penguatan dan pengembangan obyek wisata bahari dan
pantai, pelayanan, pengemasan serta promosi yang gencar dan efektif.
Dengan berbagai kebijakan kelautan yang ditempuh ini, diharapkan
adanya pembangunan kelautan yang sinergis dan terarah serta
menyeluruh, sehingga tidak mustahil dengan pemanfaatan kekayan laut
yang optimal akan menumbuhkan pertumbuhan ekonomi secara
berkelanjutan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia
menuju Indonesia yang adil, makmur, dan mandiri.
Dibutuhkan kesinergisan dari banyak pihak (institusi) yang
memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam pengembangan kelautan.
Baik secara langsung maupun tidak langsung, agar manajemen
pengelolaan laut ini dapat berhasil dengan optimal.
Institusi tersebut di antaranya DKP, Departemen Perhubungan khususnya
Dirjen Perhubungan Laut, Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla),
Departemen Tenaga Kerja, Departemen Kehutanan, Departemen Pariwisata dan
Budaya, Departemen Perdagangan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral,
Ditjen Bea Cukai, Pelindo, TNI AL, Kepolisian RepublikIndonesia, Kejaksaaan, dan
sebagainya.
5. Pemanfaatan Kekayaan Laut Untuk Ketahanan Ekonoma Inooneiaa
Ketahanan ekonomi adalah merupakan suatu kondisi dinamis
kehidupan perekonomian bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan,
kekuatan nasional dalam meghadapi serta mengatasi segala tantangan
dan dinamika perekonomian baik yang datang dari dalam maupun luar
negara Indonesia, dan secara langsung maupun tidak langsung menjamin
kelangsungan dan penigkatan perekonomian bangsa dan negara republik
Indonesia yang telah diatur berdasarkan UUD 1945.
Wujud ketahanan ekonomi tercermin dalam kondisi kehidupan
perekonomian bangsa yang mampu memelihara stabilitas ekonomi yang
sehat dan dinamis, menciptakan kemandirian ekonomi nasional yang
berdaya saing tinggi, dan mewujudkan perekonomian rakyat yang secara
adil dan merata. Dengan demikian, pembangunan ekonomi diarahkan
kepada mantapnya ketahanan ekonomi melalui suatu iklim usaha yang
sehat serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, tersedianya
barang dan jasa, terpeliharanya fungsi lingkungan hidup serta
menigkatnya daya saing dalam lingkup perekonomian global.
Ketahanan ekonomi hakikatnya merupakan suatu kondisi
kehidupan perekonomian bangsa berlandaskan UUD 1945 dan dasar
filosofi Pancasila, yang menekankan kesejahteraan bersama, dan mampu
memelihara stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis serta
menciptakan kemandirian perekonomian nasional dengan daya saing
yang tinggi.
Potensi bidang kelautan cukup besar meliputi sektor perikanan,
pelayaran, pariwisata bahari, perkapalan, jasa pelabuhan serta
sumberdaya mineral bawah laut. Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan ekonomi kelautan akan tetapi diperlukan keterpaduan
kebijakan publik di bidang kelautan. Karena sektor kelautan menjadi
potensi yang sangat strategis untuk didorong sebagai mainstream
pembangunan perekonomian nasional.
Kekayaan sumberdaya pesisir dikuasai oleh Negara untuk dikelola
sedemikian rupa guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat,
memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan
kebutuhan generasi yang akan datang. Ironisnya, sebagian besar tingkat
kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir justru
menempati strata ekonomi yang paling rendah bila dibandingkan dengan
masyarakat darat lainnya. Dengan upaya peningkatan SDM masyarakat
pesisir (nelayan) maka perekonomian akan meningkat, sehingga
ketahanan ekonomi akan semakin baik.
Melihat semakin besarnya peran ekonomi kelautan (marine
economy) dalam pembangunan nasional maka diperlukan adanya agenda
kebijakan bidang kelautan dalam upaya menjadikan Indonesia sebagai
negara kepulauan bercirikan nusantara yang sejalan dengan amanat
Undang-Undang No.17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) 2005- 2025, yakni misi mewujudkan Indonesia
sebagai negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan makmur yang
berbasis kepentingan nasional sebagaimana tersirat dalam misi ketujuh
undang-undang tersebut.
Misi tersebut setidaknya memiliki 3 (tiga) agenda ke depan yang
harus segera dilakukan: Pertama, membuat payung hukum Kebijakan
Kelautan Nasional (National Ocean Policy) untuk arah pembangunan
nasional sektor kelautan; Kedua, menyiapkan roadmap penggunaan dan
pemanfaatan (sumberdaya kelautan) yang didedikasikan untuk
kepentingan nasional dan bermuara pada peningkatan kesejahteraan
rakyat dalam Kebijakan Ekonomi Kelautan Nasional (National Ocean
Economic Policy); dan ketiga, adalah Tata Kelola kelautan yang baik
(Ocean Governance) sebagai panduan atau code of conduct dalam
pengelolaan kelautan secara holistik.
Jika Indonesia berhasil memanfaatkan kekayaan laut yang
dimilikinya dengan optimal dan terarah, maka keadaan ekonomi indoesia
akan semakin baik, sehingga ketahanan ekonomi nasional akan terwujud.
BAB III
PENUTUP
1. Keiampulan
Indonesia memiliki 5 (lima) keunggulan komparatif dibandingkan dengan
negara-negara lain di dunia, yaitu: Marine Mega Biodiversity, Plate
Tectonic, dan Dynamic Oceanographic and Climate Variability.
Laut kita mengandung banyak sumber daya yang beragam baik yang dapat
diperbaharui seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan
plasma nutfah lainnya atau pun sumber daya yang tidak dapat diperbaharui seperti
minyak dan gas bumi, barang tambang, mineral, serta energi kelautan seperti
gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) yang sedang giat
dikembangkan saat ini.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan pemanfaatan laut
sebagai potensi bangsa yang dahsyat itu terabaikan di antaranya yaitu
lemah pengamanan, lemah pengawasan, dan lemah koordinasi dari
negara. Sebenarnya Indonesia memiliki Maritime Surveillance System
(sistem pengamatan maritim) pada sebuah institusi militer yang
domainnya memang laut.
Negara kita perlu mempunyai kebijakan kelautan yang jelas dan
bervisi ke depan karena menyangkut geopolitik dan kebijakan-kebijakan
dasar tentang pengelolaan sumber daya kelautan.Kebijakan mengenai
berbagai terobosan untuk mendayagunakan sumber daya kelautan
secara optimal dan lestari sebagai keunggulan kompetitif bangsa.
Sektor kelautan menjadi potensi yang sangat strategis untuk
didorong sebagai mainstream pembangunan perekonomian nasional
2. Saran
Pemerintah dan masyarakat harus selalu bekerjasama agar dapat
memanfaatkan kekayaan laut secara optimal dan terarah. Sehingga
dapat meningkatkan ekonomi kelautan, yang juga akan meningkatkan
ketahanan ekonomi nasional.
makalah dampak dinamika sosial budaya terhadap
pengelolaan SDL
MAKALAH DAMPAK DINAMIKA SOSIAL BUDAYA
TERHADAP PENGELOLAAN SDL (SUMBER DAYA LAUT)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya atau kebudayaan berasal dari sansekerta yaitu budhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal diartikan sebagai hal-hal dengan budi dan akal
manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin
Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah
atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa
Indonesia.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai,
norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain,
tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu
masyarakat.
Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks,
yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat.
Manusia semakin lama semakin meningkat karena manusia sebagai pelaku aktivitas
tersebut memiliki kebudayaan dan pola pikir yang berbeda satu sama lainnya. Tatanan
sosial baru-pun akhirnya membawa dampak pada berkurangnya kepercayaan, pandangan
dan nilai-nilai lama yang bersumber pada ajaran leluhur dan nenek moyang.
Kepercayaan lama yang bersifat pribadi dan cenderung tidak pasti telah digantikan
oleh kehidupan beragama yang lebih formal. Kehidupan ini berkembang dengan cepat di
kalangan generasi muda yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik. Hal ini banyak
dipengaruhi oleh perkembangan dunia pendidikan, informasi dan komunikasi yang
memberikan peranan besar pada pergeseran budaya, cara pandang dan pola pikir yang
selama ini berkembang di masyarakat.
Jadi ada sejumlah kekuatan yang mendorong terjadinya perkembangan sosial
budaya masyarakat Indonesia. Secara kategorikal ada 2 kekuatan yang memicu perubahan
social. Petama, adalah kekuatan dari dalam masyarakat sendiri (internal factor), seperti
pergantian generasi dan berbagai penemuan dan rekayasa setempat. Kedua, adalah
kekuatan dari luar masyarakat (external factor), seperti pengaruh kontak-kontak antar
budaya (culture contact) secara langsung maupun persebaran (unsur) kebudayaan serta
perubahan lingkungan hidup yang pada gilirannya dapat memacu perkembangan sosial
dan kebudayaan masyarakat yang harus menata kembali kehidupan mereka.
Perubahan ini juga membawa dampak negatif pada kehancuran moral (moral
damage) yang dapat dijumpai di daerah perkotaan yang sebagian besar masyarakat
menganggap bahwa dampak negatif ini merupakan hal yang wajar. Padahal apabila
dampak negatif ini tidak segera diatasi mungkin dampak negatif pembangunan dan
perubahan sosial akan lebih berkembang dibandingkan dampak positif yang diperoleh.
Perubahan social budaya ini juga berdampak pada pengelolaan SDL (Sumber Daya
Laut). Ini menjadi masalah yang cukup besar bagi bangsa Indonesia, karena semua
kekayaan hayati dan berbagai manfaat yang di dapatkan dari laut dan jika ini mengalami
perubahan maka apa yang akan terjadi?
Masalah-masalah inilah sehingga kami memilih judul ini untuk makalah kami. Dan
kami memberikan suatu informasi tentang dinamika social budaya, dan dampaknya
terhadap pengelolaan sumber daya laut.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang terrdapat di dalam makalah ini yaitu:
1. Apa itu dinamika social?
2. Apa itu SDL (Sumber daya Laut)?
3. Apa pengaruh dari dinamika social budaya terhadap pengelolaan SDL?
C. Tujuan
Adapun tujuan yang terdapat di dalam makalah ini, yaitu:
1. Agar kita mengetahui tentang dinamika social budaya
2. Agar kita mengetahui apa itu SDL (Sumber Daya Laut)
3. Agar kita mengetahui pengaruh dari dinamika social budaya terhadap pengelolaan SDL.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dinamika Sosial Budaya
1. Pengertian Perubahan Sosial Budaya
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya
dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi
sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan
sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan.
2. Faktor – Faktor Perubahan Sosial Budaya
Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi,cara dan
pola pikir masyarakat.
Faktor
internal
seperti
perubahan
jumlah
penduduk,
penemuan
baru,
terjadinya konflik atau revolusi.
Faktor
eksternal
seperti
bencana
alam
dan
perubahan
iklim, peperangan,
pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Faktor yang menghambat terjadinya perubahan sosial budaya, yaitu :
1. Kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain.
2. Perkembangan IPTEK yang lambat.
3. Sifat masyarakat yang sangat tradisional.
4. Adanya kepentingan-kepentingan tertentu yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat.
5. Prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru.
6. Rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan.
7. Hambatan ideologis dan
dan
8.
B.
1.
Pengaruh adat atau kebiasaan.
Sumber Daya Laut
Pengertian Sumber Daya Laut
Sumber daya kelautan adalah sumber daya yang meliputi, ruang lingkup yang luasnya
mencakup kehidupan laut (flora dan fauna, mulai dari organisme mikroskopis hingga paus pembunuh, dan
habitat laut) mulai dari perairan dalam hingga ke daerah pasang surut di pantai dataran
tinggi dan daerah muara yang luas. Berbagai orang memanfaatkan dan berinteraksi dengan
lingkungan laut mulai dari pelaut, nelayan komersial, pemanen kerang, ilmuwan Dll. Juga
digunakan untuk berbagai kegiatan baik rekreasi, penelitian, industri, dan kegitan lain
yang bersifat komersial.
2.
Macam-MacamSumber Daya Laut
Secara umum, sumber daya kelautan terdiri atas :
a. Sumber daya dapat pulih (renewableresources), Sumberdaya dapat pulih terdiri dari berbagai jenis
ikan, udang, rumput laut, termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (mariculture).
b. Sumber
daya
tidak
dapat
pulih
meliputi
mineral,
bahan
tambang/galian,
minyak bumi dan gas.
c. Jasa-jasa lingkungan kelautan adalah pariwisata dan perhubungan laut. Potensi
sumberdaya kelautan ini belum banyak digarap secara optimal, karena selama ini upaya kita lebih
banyak terkuras untuk mengelola sumber daya yang ada di daratan yang hanya sepertiga dari luas
negeri ini.
3. Contoh Kebiasaan-Kebiasaan Masyarakat Pesisir
Beberapa contoh kebiasaan kebiasaan masyarakat pesisir yang kami dapat dari
beberapa sumber yaitu:
a. Desa Pantai Harapan
Masyarakat nelayan Desa Pantai Harapan memiliki ritual yang berhubungan dengan usaha
mereka sebagai nelayan dalam memanfaat akan sumberdaya laut. Ritual yang biasa dilakukan
oleh masyarakat nelayan setempat yakni (Stefanus Stanis, 2005):
1) Bito Berue, merupakan suatu tradisi adat yang dilakukan oleh nelayan setempat sebelum
menggunakan sampan/juku baru. Acara ini biasanya dilakukan di pantai dengan menggunakan
bahan-bahan seperti ayam jantan yang jenggernya masih utuh. Jengger ayam dipotong oleh
tua adat laut (Aho Male), lalu darahnya dioles disekeling sampan/juku baru.
2) Lepa Nua Dewe, tradisi ini dilakukan untuk melepas pukat yang ukurannya kecil yang dalam
bahasa setempat disebut noro. Jenis pukat ini merupakan alat tangkap tradisional masyarakat
setempat untuk menangkap ikan serdin dan tembang biasanya pada musim-musim tertentu
selalu muncul diperairan laut daerah setempat dalam jumlah yang sangat banyak.
3) Bruhu Brito, merupakan suatu tradsi oleh masyarakat nelayan setempat sebelum melepas
pukat baru untuk menangkap jenis ikan selain tembang.
4) Tula Lou Wate, upacara ini merupakan tradisi dalam memberi makan kepada ”leluhur di laut”
dengan maksud memanggil ikan agar ikan dapat berkumpul dan memberikan hasil tangkapan
yang banyak. Semua jenis upacara adat tersebut di atas dilakukan oleh tua adat laut yang
dalam bahasa masyarakat setempat disebut Aho Male. Masyarakat setempat tampaknya
sangat patuh dan taat terhadap sistem nilai setempat. Hal yang menarik di sini adalah meskipun
tradisi-tradisi setempat lebih banyak pada usaha penangkapan, namun dalam ritual tersebut
diwanti-wanti oleh Aho Male bahwa tidak boleh menangkap dalam jumlah yang sangat banyak.
Jika hasil tangkapan terlalu banyak, maka akan membawa resiko berupa sakit atau bencana
lainnya di laut. Selain itu, adanya tradisi tersebut, masyarakat nelayan setempat selalu tercipta
hubungan kerjasama yang harmonis dalam semangat gotong royong, tidak saling bersaing
dalam usaha penangkapan, termasuk tidak saling merusak atau mencuri alat-alat tangkap yang
dimiliki oleh sesama nelayan. Juga diakui bahwa adanya tradsi ini dapat menciptakan adanya
kesadaran masyarakat nelayan untuk tidak menangkap dan memanfaatkan hasil-hasil laut
secara bebas, berlebihan dan merusak sumberdaya laut.
b. Desa Wulandoni
Dalam hal usaha penangkapan masyarakat nelayan tradisional di Desa Wulandoni
selalu melaksanakan acara ritual. Ritual biasanya dilakukan sebelum melepas pukat baru.
Sebelum melepas pukat baru ke laut umumnya nelayan melakukan acara ritual terlebih dahulu
dengan acara toto. Ritual, tradisi toto biasanya dilakukan di pinggir pantai dan dipimpin oleh
tuan tanah (tua adat) setempat yang disapah dengan Lewo Tanah Alap (Stefanus Stanis,
2005).
Dalam acara ritual toto Tua Adat (Lewo Tanah Alap) akan melakukan penyembelian
ayam jantan merah dan darah ayam dipercik atau dioles pada pukat dengan berjalan melingkari
pukat. Kemudian ayam jantan merah yang sudah disembeli dimasak dengan cara dibakar, dan
bersama dengan material lainnya (pisang, jangung titi, dan tuak) untuk selanjutnya dilakukan
sesajen sebelum dimakan bersama. Makna penting dari ritual ini adalah agar alat tangkap
(pukat) dapat memberikan hasil yang baik bagi usaha mereka (Stefanus Stanis, 2005).
Melalui dari sumber (Stefanus Stanis, 2005) diperoleh gambaran bahwa keraifan yang
dimiliki oleh masyarakat setempat tidak semata-mata bermakna untuk mendapat hasil yang
berlimpah, namun ritual semacamini biasa dilakukan untuk menjaga keselamatan nelayan dan
alat tangkap itu sendiri.
Makna lainnya adalah dalam acara semacam ini mencerminkan ikatan sosial dan
kebersamaan antara nelayan. Sebagai perwujudan dari kebersamaan dan ikatan sosial diantara
masyarakat, maka hasil tangkapan untuk pertama kali dari pukat baru tersebut harus dibagi dan
diberikan kepada para janda-janda dan jumpo-jumpo (Stefanus Stanis, 2005).
Penghargaan dan penghormatan terhadap Lewo Tanah Alap (Tua Adat) sangat tinggi,
karena hasil tangkapan tua adat selalu mendapat kebagian. Tua Adat juga dihargai, jika
sewaktu-waktu ditemukan ikan jenis besar yang terdampar seperti lumba-lumba, pari, penyu
dan paus yang terdampar, sebelum ikan tersebut dipotong, nelayan yang menemukan harus
terlebih dahulu menghubungi Lewo Tanah Alap, selanjutnya ikan tersebut dibagi-bagi dengan
syarat Lewo Tanah Alap harus mendapat kebagian bagian kepala dan jantung dari ikan
tersebut (Stefanus Stanis, 2005).
c. Di Lamalera
Menurut Stefanus Stanis, 2005., adapun kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di Lamarela
yaitu:
1) Upacara Tobu Nama Fatta’ ; adalah upacara di mana para Tua Adat Lamalera berkumpul
bersama dengan semua nelayan di sebuah Kapel (Kne’) sejenis rumah ibadat orang Katolik
yang berukuran kecil yang dibangun persis di pinggir pantai Lamalera. Dalam upacara Tobu
Nama Fatta dibicarakan hal-hal yang prinsip yang berkaitan dengan aturan melaut. Selain itu
juga dalam upacara Tobu Nama Fatta, dapat dijadikan semacam forum evaluasi terhadap
berbagai kegiatan, hambatan para nelayan Lamalera pada musim penangkapan sebelumnya
serta upaya-upaya dan strategi yang harus diantisipasi dan dihadapi nelayan pada musim
penangkapan sekarang. Setelah upacara ini para Tua Adat akan mengahdap Tuan Tanah
Lamalera untuk meminta restu sehingga Leffa Nuang dapat dimulai.
2) Misa Arwah; merupakan kebaktian secara Katolik yang dipimpin oleh Pastor (Pendeta Katolik)
yang bertujuan untuk mendoakan semua arwah leluhur yang meninggal di laut dan upacara
misa ini dilaksanakan sehari sebelum kegiatan melaut (biasanya dilaksanakan pada setiap
tanggal 30 April).
3) Misa Leffa; adalah upacara kebaktian yang bertujuan untuk memohon berkat serta
perlindungan dari Tuhan Allah Yang Mahakuasa (Ama rera wulan tana ekan) selama Leffa
Nuang berlangsung. Pastor akan mereciki dan memberkati semua perahu (tena/peledang),
perlengkapan perahu serta semua nelayan yang siap melaut. Upacara ini biasanya
dilaksanakan pada setiap tanggal 1 Mei.
4) Tena Fulle; adalah upacara di mana salah satu perahu (peledang) tertentu yang dipercayakan
untuk pertama kali melaut pada hari pertama yang didahuli dengan upacara ritual adat memberi
makan kepada arwah leluhur bertempat di pinggir pantai dan dilakukan oleh Tua Adat (Ata
Molang). Bagi masyarakat nelayan Lamalera aktivitas Leffa Nuangmerupakan suatu aktivitas
yang sangat sakral dan memiliki resiko yang sangat tinggi, oleh karena itu dalam kehidupan
sehari-hari hubungan antara personal dalam komunitas masyarakat harus dijaga agar tetap
harmonis. Tidak boleh terdapat perselisihan antara nelayan atau kelompok masyarakat bahkan
dalam keluarga tidak boleh terjadi pertengkaran antara suami – istri maupun dengan anak.
Keharmonisan tersebut diwujudkan dengan saling maaf memaafkan sebelum melaut, karena
mereka sangat percaya bahwa jika terjadi perselisihan atau pertengkaran Arwah Leluhur dan
Allah Yang Mahakuasa tidak berkenan dan tidak akan memberikan berkat dan rahmat serta
rezeki yang berlimpah. Mereka juga sangat percaya jika semua tahapan-tahap secara adat
maupun agama tidak dilakukan dengan sempurna serta terjadi pertengakaran atau perselisihan
maka dalam aktivitas melaut akan mengalami resiko yang dapat bersifat fatal, karena yang
mereka hadapi ikan paus yang merupakan makhluk paling besar penghuni laut. Suasana
kerjasama antara nelayan, pantangan seperti tidak boleh maki, mencuri menjadi tabu bagi
nelayan Lamalera.
d. Desa Wailolong
Desa Wailolong merupakan salah satu desa pesisir di Kecamatan Omesuri dan memiliki
kearifan atau tradisi adat dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut maupun di darat. Di desa ini,
terdapat sistem kepercayaan tradisional, yakni menurut mereka bahwa di laut ada penguasanya
yang disebut ”hari” dan penguasa di darat yang disebut ”neda ”. Adanya sistem kepercayaan ini
mendorong pemangku adat ”lemaq ” untuk melakukan ritual ’kolo umen bale lamaq” yakni
upacara memberi makan kepada penguasa di laut sebelum mereka melakukan penangkapan,
budidaya rumput laut maupun pengelolaan sumberdaya pesisir seperti penanaman bakau.
Namun demikian tradisi ini hanya dilakukan oleh orang tertentu dan sifatnya perorangan, belum
merupakan suatu kesepakatan bersama. Melalui wawancara mendalam dengan tokoh kunci
dan wawancara kelompok dengan masyarakat diperoleh gambaran informasi bahwa hasil-hasil
usaha nelayan saat ini mengalami penurunan, sebagai akibat dari banyaknya hasil-hasil laut
yang sudah hilang seperti agar-agar, bakau dan teripang. Terdapat aspirasi masyarakat desa
ini khususnya masyarakat nelayan yang hidupnya sangat bergantung pada hasil-hasil laut,
menghendaki agar ritual semacam ini perlu dilakukan secara bersama dan terusmenerus
sehingga merupakan aturan atau norma serta tradisi yang mempunyai makna dapat mengatur
tindakan-tindakan manusia terhadap pemanfaatan sumberdaya alam pesirsir dan laut di tempat
itu (Stefanus Stanis, 2005).
e. Desa Lebewala
Masyarakat
pesisir
Desa
Lebewala
Kecamatan
Omesuri
Kabupaten
Lembata
mempunyai tradisi dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir.
Dalam pemanfaatan sumberdaya teripang sistem nilai yang mengatur masyarakat setempat
adalah ”poan kemer puru larang” yakni suatu tradisi larangan secara adat bagi masyarakat
untuk tidak mengambil hasil-hasil laut secara bebas (Stefanus Stanis, 2005).
Penangkapan teripang hanya boleh dilakukan jika tuan tanah, tua adat dan dukundukun
melakukan ritual terlebih dahulu. Dukun (Ata Molang) akan melakukan ritual dan selanjutnya
masyarakat boleh mengambil teripang. Setelah kurang lebih 2 tau 3 hari, Ata Molang akan
melakukan ritual pelarangan kembali wilayah perairan tersebut. (Stefanus Stanis, 2005).
Selain Ata Molang melakukan tradisi pelarangan secara ritual, Pemerintah Desa
Lebewala juga memiliki Kesepakatan Desa yang sifatnya mengikat secara hukum yakni berupa
sanksi denda dalam bentuk uang tunai satu juta rupiah dan kambing jantan besar senilai satu
juta rupiah. Dengan adanya sanksi secara adat dan atauran pemerintah tampaknya membuat
masyarakat kawasan pesisir desa ini cukup jerah dalam melakukan tindakan pengurasakan
atau pengambilan teripang secara bebas. (Stefanus Stanis, 2005)
C. Pengaruh Dinamika Sosial budaya masyarakat terhadap pengelolaan SDL
Setiap kebudayaan dan masyarakat di dunia, tidak terkecuali kebudayaan dan
masyarakat bahari, cepat atau lambat pasti mengalami perubahan sebagai fenomena
sosial.
Realitasnya
sosial budaya yang
fenomena
sangat
sosial
kompleks.
itu
sesungguhnya
Kompleksitas
menunjukkan
fenomena
fenomena
sosial budaya bahari
ditunjukkan dalam proses dinamikanya.
Di sana ada perubahan sepenuhnya seperti motorisasi perahu nelayan yang
menggantikan fungsi layar dan dayung, ada proses transformasi struktural mengenai
kelompok-kelompok kerja nelayan dan pelaut serta jaringan pemasaran, ada proses
perkembangan internal seperti perubahan tipe bagang tancap ke bagang perahu melalui
bentuk-bentuk transisi bagang rakit/apung di Sinjai (Sulawesi Selatan), dan proses difusi
(persebaran) yang menyolok seperti persebaran rumpon dari Majenne (Sulawesi
Selatan), bubu dari Buton (Sulawesi Tenggara), sebuah bentuk perahu tradisional dari
Kalimantan dimodifikasi menjadi tipe jolloro’ di Bira (Bulukumba) kurang lebih dua dekade
terakhir,dan bahkan seringkali ada manipulasi identitas etnis secara sementara atau per
manen seperti dilakukan oleh sebagian besar kelompok-kelompok masyarakat Bajo di
mana-mana dalam rangka adaptasi sosial budayanya, bertahannya tradisi seperti
pengetahuan kelautan, pembuatan perahu, dan aturan bagi hasil. (J. Supriatni, 2008)
Lebih lanjut dalam konteks Indonesia misalnya, di sana ada wacana tentang kearifan
lokal (local indigenious) tetapi banyak kali kontradiksi dengan fenomena eksploitasi
sumberdaya secara berlebih dan komersialisasi dengan segala dampak negatifnya bagi
kondisi sosial ekonomi, lingkungan dan sumberdaya laut (berdasarkan pandangan etik dan
emik). Konteks birokrasi melalui pelaksanaan kebijakan pemerintah juga menyumbang
kepada perubahan-perubahan keputusan dan prilaku nelayan melalui respons-respons ide
dan sikap-sikap (menerima atau menolak). Motorisasi perahu dan adopsi gae (istilah Bugis)
atau rengge (istilah Makassar) sejenis pukat apung raksasa (purse seine) yang merupakan
teknik tangkap andalan untuk ikan pelagik (terutama layang) di Sulawesi Selatan.
Sebetulnya diperkenalkan oleh dan melalui jalur promosi pemerintah di tahun 1970-an. (J.
Supriatni, 2008)
Selanjutnya,
mengarahkan dinamika budaya bahari
Indonesia.
Meskipun dinamika budaya bahari komuniti-komuniti nelayan di Indonesia selama ini tidak
atau masih sangat kurang mendapat pengarahan dari pemerintah, namun tampak di manamana suatu proses dinamika berlangsung cukup pesat. Tanpa memandang rendah
beberapa kearifan lokal masih tersisa, antara lain seperti sasi (Maluku), panglima laut di
Aceh, pengelolaan komunal tradisional di Kapuas Hulu (Kalimantan), teknik rumpon
nelayan Mandar (Sulawesi Selatan), lembaga kerjasama pengelolaan modal ponggawa-
sawi (Sulawesi Selatan), ternyata bahwa proses dinamika, modernisasi dan globalisasi
banyak membawa dampak-dampak negatif berupa kemiskinan ekonomi sebagian terbesar
penduduk nelayan tradisional skala kecil, konflik-konflik antar kelompok-kelompok nelayan,
terkurasnya populasi sumberdaya laut, kerusakan ekosistem laut, terutama terumbu
karang. (J. Supriatni, 2008)
Hal ini adalah akibat dari suatu proses dinamika komuniti-komuniti nelayan yang
kurang terarahkan secara bijak, mereka itu “closed to the stone, far from the throne”
menurut Pujo Semedi (2000) atau untuk nelayan Bugis, Makassar. Selanjutnya apa yang
perlu dilakukan oleh pihak-pihak berkepentingan seperti pemerintah, kalangan akademisi,
LSM, tokoh masyarakat, dan lembaga donor? ialah menemukan arah-arah pengelolaan
pemanfaatan
sumberdaya
dan
lingkungan laut secara
berkelanjutan,
berwawasan
lingkungan, untuk kesejahteraan bersama masyarakat. (J. Supriatni, 2008)
Tumbuhkan
pandangan
dan
kesadaran
bahwa
sumberdaya laut rentan terhadap ancaman perilaku-perilaku tertentu, jadi tanpa perlakuan
bijak kondisi sumberdaya laut akan menjadi semakin berkurang/terbatas, manusia harus
arif dan bertanggung jawab dalam perilaku pemanfaatan sumber daya laut, mengubah
pandangan budaya dan praktek akses terbuka/bebas ke penguatan hak-hak pemilikan. (J.
Supriatni, 2008)
Menumbuhkan
dan
revitalisasi
kelembagaan-kelembagaan
tradisional
yang
menekankan moral pemerataan atau keadilan dalam kesempatan berusaha dan pembagian
hasil, pembentukan institusi baru, penguatan atau revitalisasi sistem-sistem tradisional yang
potensil berkaitan dengan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa laut. Dalam
wujud
teknologi
perlu pengembangan teknologi
perikanan
tangkap
ramah
lingkungan, pengembangan teknologi budidaya dan semi-budidaya, teknologi pascapanen,
serta membangun institusi pasar lokal, regional, nasional dan global yang tidak semata
dikendalikan kekuatan-kekuatan eksternal. Karena budaya bahari adalah pragmatis, segala
contoh nyata yang memberikan makna praktis bagi mereka niscaya akan dinilai tinggi dan
diperebutkan. (J. Supriatni, 2008)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini, yaitu:
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya
dalam suatu masyarakat.
Sumber daya kelautan adalah sumber daya yang meliputi, ruang lingkup yang luasnya
mencakup kehidupan laut (flora dan fauna, mulai dari organisme mikroskopis hingga paus pembunuh, dan
habitat laut) mulai dari perairan dalam hingga ke daerah pasang surut di pantai dataran
tinggi dan daerah muara yang luas.
Perubahan sepenuhnya seperti motorisasi perahu nelayan yang menggantikan fungsi layar
dan dayung, ada proses transformasi struktural mengenai kelompok-kelompok kerja nelayan
dan pelaut serta jaringan pemasaran, ada proses perkembangan internal seperti perubahan tipe
bagang tancap ke bagang perahu melalui bentuk-bentuk transisi bagang rakit/apung di Sinjai
(Sulawesi Selatan), dan proses difusi (persebaran) yang menyolok seperti persebaran rumpon
dari Majenne (Sulawesi Selatan), bubu dari Buton (Sulawesi Tenggara),
B. Saran
Adapun saran kami dalam makalah ini, yaitu:
1. Pemerintah lebih menyadari tentang pengaruh dinamika social budaya terhadap pengelolaan
SDL (sumber Daya Laut)
2. Masyarakat khususnya yang berada di pinggir laut lebih memahami dan mengetahui pengaruhpengaruh apa saja yang dapat mempengaruhi pengelolaan SDL.
3. Makalah ini menjadi sumber referensi bagi peneliti lain yang mengangkat judul yang sama.
ESSAY KEHUTANAN
NEGARA REPUBLIK MASYARAKAT ADAT
Banyak sekali permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat sekitar
hutan, contohnya konfik tenurial antara masyarakat adat dan perusahaanperusahaan yang mengambil manfaat dari hutan. Masyarakat adat memperebutkan
lahan mereka dengan perusahaan yang mengambil manfaat dari hasil hutan,
sehingga terjadilah konfik yang berkepanjangan antara masyarakat adat dan
perusahaan pengusaha hutan.
Masyarakat adat sudah lama menduduki wilayah mereka sebelum Negara ini lahir,
namun selama ini masih abu-abu karena wilayah mereka tidak diakui oleh
pemerintah. Konfik pun terjadi ketika pengusaha hutan datang berbekal surat
izin, dan masyarakat adat yang menganggap bahwa “Ina
aoalah
Negara
kama” maka mereka tidak menerima tanah mereka, wilayah mereka yang sudah
lama mereka singgahi diganggu gugat. Jika pengusaha pengembangan hutan
mengambil lahan hutan yang demi kepentingan mereka, terus bagaimana nasib
masyarakat adat?
Itu salah satu tanda tanya yang paling besar, dan tidak pernah ada tanda serunya.
Mungkin itu kata-kata yang sepele namun sangat bermakna bagi masyarakat adat.
Bagaimana mungkin lahan yang menjadi titik kehidupan mereka dari zaman dahulu
diambil oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab yang hanya mementingkan
kehidupan mereka sendiri tanpa memedulikan kehidupan yang mereka rebut.
Siapa yang patut disalahkan? Sangat menggelikan memang melihat orang-orang
saling menyalahkan satu sama lain, antara masyarakat adat yang mempertahankan
wilayah mereka dengan perusahaan pengusaha hutan yang juga mempertahankan
wilayah pengelolaan mereka. Ini karena faktor dari tidak adanya pengakuan
pemerintah atas wilayah masyarakat adat. Padahal masyarakat adat adalah
masyarakat yang sudah lama tinggal di wilayah sekitar hutan. Namun mereka tidak
mendapatkan pengakuan atas wilayah mereka.
Terus,
apa
tindakan
pemerintah? Data
Kementrian
Kehutanan
tahun
2009
mencatat bahwa diseluruh Indonesia, ada sekitar 31957 buah desa yang seluruh
atau sebagian wilayahnya berada di dalam kawasan hutan miskin. Hutan ini
merupakan jaringan pengaman ekonomi ketika panen gagal atau pekerjaan upahan
tidak ada. Bagi banyak keluarga, berjual hasil hutan dan hasil wanatani (agroforest)
merupakan sumber uang utama untuk dapat membiayai sarana produksi pertanian,
sekolah dan kesehatan. Masyarakat yang tingal di hutan cenderung miskin secara
menahun. Tidak adanya prasarana, sulitnya komunikasi dan jauhnya jarak hutan
dari pasar, sarana kesehatan dan pendidikan sangat membatasi pilihan sumber
penghidupan. Tumpang-tindih wilayah kelola dan tekanan ekonomi, akan memicu
konfik antara masyarakat, pengusaha dan aparatur negara.
Konfik ini misalnya terjadi di Desa Seruat Dua, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu
Raya, yang melibatkan warga dan PT Sintang Raya. Masyarakat mengklaim, hutan
adat seluas 700 hektar dari total 900 hektar diserobot PT SR. Hutan adat yang
bersebelahan dengan kawasan kelola PT SR kini sudah gundul dan ditanami bibit
kelapa sawit. Namun, Manajer PT SR membantahnya, bahwa pihaknya telah
menyerobot hutan adat milik desa itu.
Data Badan Peratanahan Nasional (BPN) sendiri telah menyebutkan, sampai 2011
terdapat 14.337 sengketa pertanahan dengan berbagai tingkatan. Satuan tugas
pemberantasan Mafia Hukum juga mencatat, pada September 2009-April 2011 ada
910 perkara sengketa tanah yang dilaporkan. Sengketa lahan yang setiap saat bisa
meledak menjadi aksi kekerasan dan anarkisme, bahkan gangguan sosial terjadi di
seluruh Indonesia. Di Kalimantan misalnya, keributan-keributan yang terjadi
biasanya
mengakibatkan
terjadinya
pembakaran
kamp-kamp,
pengrusakan
peralatan dan pemukulan terahadap para pegawai perusahaan. Di Riau kekerasan
tingkat rendah terjadi secara merata dan semakin meningkat antara para
pendukung perusahaan pupl dan kertas dengan masyarakat setempat.
Pemerintah
seakan
tutup
telinga
atas
konfik
yang
terus
terjadi.
Mereka
memberikan izin kepada Pengusaha Hutan untuk mengelola (konsensasi) sehingga
ini menjadi kunci Pengusaha Hutan untuk memasuki areal hutan yang menjadi
sumber kehidupan masyarakat adat. Ini membuktikan masyarakat adat kalah akan
selembar kertas dan menjadi titik awal terjadinya konfik. Masyarakat seakan terusir
dari Negaranya sendiri yang sudah lama ia duduki dan pengusaha hutan merasa
berkuasa mengelola hutan dengan surat izin tersebut.
Dengan surat izin tersebut pengusaha hutan bersembunyi dibawah ketiak hukum
serta aparat Negara. Masyarakat adat menjadi terusir. Jika difikirkan kembali
dimana janji pemerintah yang kembali ke rakyat? Kemana pemerintah menjinjing
tujuan Negara kita yaitu mensejahterakan rakyatnya. Harusnya pemerintah
memikirkan nasib masyarakat adat karena masyarakat adat adalah rakyatnya juga
dan memberikan kebijakan dan aturan yang ditujukan kepada rakyatnya.
Masalah konfik sumberdaya alam sebenarnya bukan sesuatu yang baru baik di
Indonesia maupun di kawasan Asia Tenggara lainnya, masalah ini telah muncul
sejak abad ke 18 yang lalu ketika bangsa Eropa melakukan ekspansi dalam rangka
mencari
bahan
baku
untuk
memenuhi
kebutuhan
pengembangan
industri.
Bersamaan dengan ekspansi itu terbangun konsep bahwa sumberdaya alam adalah
faktor produksi yang dengan menggunakan teknologi tertentu dapat dieksploitasi
untuk menjadi barang komoditi.
Konsep itu kemudian dialihkan ke kawasan Asia Tenggara melalui penetrasi
kolonialisme. Sejak saat itu eksploitasi sumberdaya alam bukan hanya menjadi
semakin intensif dan sistimatis, melainkan juga telah menempatkan ekonomi
kawasan ini menjadi bagian dari sistim kapitalisme dunia. Selain itu proses
eksploitasi mengesampingkan kehidupan masyarakat. Setiap kali masyarakat
mengajukan tuntutan agar memperoleh akses justru dianggap sebagai penghambat
atau pengacau, karena itu masyarakat hampir tidak pernah menikmati hasil
eksploitasi alam di daerah sendiri. Warisan kearifan dan nilai-nilai sosial yang
dipergunakan untuk menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dan alam
juga
ikut rusak
terkoyak
oleh
kepentingan
ekonomi.
Akhirnya konfik
tak
terbendung lagi.
Bukankah citra Indonesia semakin buruk atas ketidak adilan dari Hak Asasi Manusia.
Selain itu, akibat dari konfik tersebut akan menimbulkan kerugian material dari
masyarakat
adat
mempertahankan
dan
pengusaha
wilayahnya
maka
hutan.
Jika
masyarakat
investor
akan
berpikir
dua
adat
terus
kali
untuk
mengadakan investasi. Maka dari itu seharusnya pemerintah maupun pemerintah
daerah mengambil titik tengah dalam menangani masalah ini. Pemerintah
setidaknya memberikan kemerdekaan kepada masyarakat adat atas wilayah yang
mereka tinggali sejak dahulu. Ataupun mempertemukan ketiga stakeholders yaitu
pemerintah daerah, masyarakat sekitar hutan dan pengusaha hutan. Apabila
keharmonisan antara ketiga stakeholders tetap terjaga maka konfik tidak akan
terjadi lagi. Pertemuan ini sangat penting untuk merundingkan konfik yang terjadi
dan bagaimana kesepakatan yang mereka inginkan. Dan yang paling penting
adalah jika pemerintah ingin mengelola hutan sebaiknya dilakukan pemetaan
ataupun melibatkan masyarakat adat dalam pengelolaan hutannya.
MAKALAH HUKUM HUMANITER
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Humaniter Internasional memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa.
Untuk menghindari penderitaan akibat perang maka baru pada pertengahan abad ke-19
negara-negara melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan internasional dalam
suatu konvensi yang mereka setujui sendiri (Lembar Fakta HAM, 1998: 172). Sejak saat itu,
perubahan
sifat
pertikaian
bersenjata
dan
daya
merusak
persenjataan
modern
menyadarkan perlunya banyak perbaiakan dan perluasan hukum humaniter melalui
negosiasi–negosiasi panjang yang membutuhkan kesabaran.
Perkembangan Hukum Humaniter Internasional yang berhubungan dengan perlindungan
bagi korban perang dan hukum perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum
perlindungan Hak Asasi Manusia setelah Perang Dunia Kedua. Penetapan instrumen
internasional yang penting dalam bidang Hak Asasi Manusia seperti Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan
Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik