Pendidikan dan Kebudayaan Untuk Revolusi

Nama: Vikri Pramana Putra
Alamat: Kp. Pasirandu RT 05 RW 03 Desa Sukasari Kec. Serang Baru Kab. Bekasi Prov.
Jawa Barat
Pendidikan Terakhir: Strata 1
Spesialis: Pendidikan
No. Hp: 081314263994
Tujuan:
Dengan segala hormat, kami sebagai penulis bermaksud untuk mengirimkan opini kami yang
berjudul “Pendidikan dan Kebudayaan Untuk Revolusi Karakter Bangsa dan Kebinekaan”,
dengan segala kerendahan hati, kami memohon izin kepada pengelola/manajer media/surat
kabar/koran/berita/tabloid/majalah dengan sudi kiranya untuk mempublikasikannya/dimuat
dalam media yang bersangkutan, guna dibaca dan menjadi bahan referensi bagi para peneliti,
sehingga bermanfaat bagi seluruh pembaca dan pengunjung situs web yang bersangkutan.
Atas ridho Allah, semoga apa yang dipublikasikan dapat menjadi pelita bagi kemajuan
bangsa dan negara kita tercinta Indonesia, dan dapat menjadi sebuah amalan yang baik dan
bermanfaat, sehingga mendapatkan ganjaran dari apa yang kita lakukan, dan apa yang kita
publikasikan. Baik dari segi penulis, dan segi pengelola media, beserta seluruh staff
jajarannya. Semoga kita dapat kembali disatukan di dalam surga-Nya atas apa yang telah kita
kerjakan di dunia. Jazaakumullah Khoir.
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNTUK REVOLUSI KARAKTER
BANGSA DAN KEBINEKAAN

Kondisi persatuan dan kesatuan bangsa indonesia, kualitas perkembangan mutu
pendidikan, serta penyimpangan sosial dewasa ini menimbulkan banyak poblema yang sangat
kompleks terutama terkait masalah yang berhubungan dengan dekadensi moral dan akhlak
serta isu-isu yang berbau unsur SARA.
Coba kita melihat ke dunia Internasional yang memiliki cakrawala yang luas, bahwa
kebanyakan negara yang tidak maju dan berkembang serta memiliki kekerasan, kriminalisasi,
dan keterpurukan akhlak itu semuanya disebabkan fasilitas pendidikan yang sangat minim.
Sehingga banyak sekali warga negaranya yang tidak mendapatkan ajaran tentang norma-

norma positif serta muatan lokal yang berlaku dan disetujui oleh masyarakat di sekolah
maupun dimasyarakat, hasilnya, hal-hal yang mereka anggap itu baik bagi dirinya sendiri
untuk dilakukan ternyata itu semua tidak baik dan sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat. Maka wajar saja itu semua merupakan suatu hal yang lumrah-lumrah saja dalam
kehidupan mereka, sehingga hidup di negara dalam keterpurukan dan keterbelakangan juga
adalah hal yang sudah biasa.
Kemudian, cobalah kita memandang dunia makro-kosmos yang lebih global dan
universal. Jika bumi diibaratkan sebagai suatu negara, benua Eropa, Asia, Afrika, Amerika,
dan Australia adalah pulau-pulaunya, iklim, cuaca, letak geografis, bahasa, dan budaya yang
berbeda adalah keanekaragamannya, kemudian benua-benua tersebut tidak mau menerima
akan keanakearagaman tersebut dan menuntut supaya bumi bisa menjadikannya dalam satu

budaya saja, padahal apabila benua tersebut melihat ke planet lain seperti Merkurius, Venus,
dan yang lainnya, maka pastilah mereka tidak akan menemukan keanekaragaman, identitas,
bahkan kehidupan sekalipun. Mewujudkan itu semua adalah hal yang sangat mustahil.
Karena, itu adalah sebuah realita yang fakta dan merupakan pemberian dari Tuhan yang
Maha Kuasa. Bahkan kita dapat menyebutnya sebagai suatu tanda keistimewaan yang Tuhan
berikan kepada suatu bangsa.
Pendidikan berlaku bagi semua warga negara Indonesia tanpa terkecuali, dan tidak
ditujukan hanya kepada para miliyader, dan pejabat yang memiliki finansial saja. Namun
sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional bagian kesatu tentang hak dan kewajiban warga negara pasal 5 ayat 1
bahwa, setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu. Bahkan dalam ayat berikutnya dijelaskan bahwa warga negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, sosial, mental, yang berada di tempat terpencil, bahkan adat yang
terbelakang juga memiliki hak yang sama dalam memperoleh kesempatan pendidikan. Maka
sangat jelas bahwa tidak ada intervensi ataupun diskriminasi apapun dari pihak manapun
untuk menahan hak tersebut, karena itu semua sudah tertulis dan menjadi legitimasi hukum
positif yang dilindungi oleh pemerintah sebagai suatu langkah untuk menciptakan generasi
bangsa yang unggul dan berkarakter.
Proyek membangun kembali Indonesia yang makmur dan sejahtera serta bermoral
berkarakter tidak dapat dilakukan hanya dengan melalui satu bidang kehidupan saja. Karena,

hal itu merupakan proses bersinergi, simultan, dan konsisten. Oleh karena itu pendidikan

akan sangat baik apabila melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan
tindakan (action). Pengetahuan di dapatkan dalam sekolah, orang tua, dan lingkungan,
perasaan di asah melalui interaksi sosial, dan tindakan di implementasikan dalam kehidupan
yang berlandaskan norma dan etika. Maka sangat jelas bahwa yang mengatakan pendidikan
adalah tugas bagi guru saja itu adalah statement yang salah, karena pendidikan ditujukan
untuk percapaian perubahan tingkah laku dari suatu keadaan menuju keadaan yang lebih baik
seperti, dari tidak tahu menjadi berpengetahuan, jahat menjadi baik, tidak berinteraksi
menjadi bersosialisasi, enggan berteman menjadi sahabat yang baik bagi teman lainnya, dan
lain sebagainya.
Kita ingin menegaskan setegas-tegasnya bahwa, masalah moral dan karakter yang
paling serius adalah menjadikan pendidikan sama dengan persekolahan. Dan masalah
kebinekaan yang sangat besar adalah menjadikan budaya dan kebudayaan sebagai perbedaan
dan bukan sebagai kebanggaan. Mengapa pendidikan bukan persekolahan? Karena
pendidikan bukanlah suatu proses yang bersifat hafalan, ataupun pengetahuan kognitif saja.
Tapi pendidikan adalah proses pembudayaan untuk mencetak generasi unggul dan
bermartabat sebagai pemimpin masyarakat yang mampu merubah karakter dan kepribadian
menuju masyarakat yang madani dan robbani yang terbentuk melalui habitual action. Lalu
mengapa kebinekaan adalah kebanggaan bukan perbedaan? Karena kebinekaan adalah sama

halnya dengan identitas yang membedakan kita dengan bangsa lainnya. Semakin banyak
kebudayaan yang ada, maka semakin banyak sistem kultur yang kita punya, semakin banyak
kultur yang berbeda maka semakin kaya pula keberagaman yang ada. Maka dari
keberagaman inilah yang menjadikan suatu negara memiliki identitas yang dapat di
banggakan. Bayangkan apabila suatu negara tidak memiliki bahasa nasional, tidak memiliki
budaya nasional, tidak memiliki makanan nasional yang di ciptakan, bahkan lebih parahnya
lagi apabila kita mungkin menemukan suatu negara tanpa adanya sebuah nama, dan apabila
ditemukan pastilah negara tersebut tidak memiliki identitas, jika demikian pastilah negara
tersebut tidak memiliki kebanggaan, baik bagi internal mereka sendiri, terutama yang diakui
dunia internasional.
Dewasa ini kita selalu berfikir untuk selalu mencari alternatif baru dalam
menanggulangi masalah yang baru, sesuai dengan perkembangan zaman dan permasalahan
yang ada. Tanpa sedikitnya kita untuk memikirkan bagaimana mematenkan dan
mematangkan alternatif yang sudah ada kemudian memodifikasinya dan menerapkannya
dalam suatu sistem yang utuh sehingga dapat survive hingga saat ini, bahkan sampai di masa
yang akan datang. Maksudnya, kehancuran peradaban suatu bangsa dikarenakan hilangnya

identitas dan lupa akan sejarah. Yang dinyinyir perihal identitas adalah bahwa Indonesia sejak
zaman sebelum kemerdekaan sudah memiliki budaya yang sudah melekat dalam diri setiap
individu, dan kita ketahui bahwa kemerdekaan Indonesia tidak hanya didominasi oleh suku

Sunda saja misalnya, suku Jawa saja, suku Dayak saja, tetapi semuanya bersatu dalam
kebinnekaan untuk menggapai satu tujuan, yaitu kemerdekaan dan kedaulatan bersama.
Memang mereka berbeda dalam kebudayaan, tetapi mereka bekerja dan berjuang dengan
perbedaannya itu untuk bersama-sama mencapai tujuan dan visi yang sama.
Jika dianalogikan layaknya organ tubuh seperti kaki yang menginjak rem, tangan
untuk menarik gas, mata untuk melihat rambu-rambu dalam berkendara motor. Dan
semuanya memiliki maksud dan tujuan yang sama yaitu ingin menuju pasar misalnya.
Sehingga sangat tidak mungkin sekali kita akan sampai pada tujuan (pasar) dengan motor
apabila kita hanya mengandalkan tangan saja untuk menarik gas, tanpa adanya mata yang
mengarahkan jalan, dan kaki yang menginjak rem ketika ada lampu merah. Maka semuanya
saling melengkapi kekurangan satu sama lain, dan bukan mengurangi kelengkapan satu
kesatuan kebersamaan. Jika motor yang memberikan wadah dan pranata untuk mencapai
tujuan tersebut, maka kebinnekaanlah yang sebenernya menjadi wadah rahasia dari
kemerdekaan Indonesia tersebut, disamping keikhlasan dan ketulusan pahlawan, seperti;
Pattimura yang berjuang di Maluku, Bendara Pangeran Harya Dipanegara yang berjuang
melawan pemerintah Hindia Belanda di perang jawa, dan pahlawan lainnya yang membela
tanah air ini, serta ditambah lagi dengan keterbukaan pahlawan kita dalam menerima dan
menyikapi dengan positif kearifan lokal yang berbeda ini untuk mencapai suatu tujuan
bersama dalam kebinekaan.
Maka sangat jelas bahwa kebinnekaan bukanlah suatu masalah besar yang sering

diusung sebagai aspek yang menyebabkan perpecahan bangsa dan negara, kita bukan negara
kesatuan dalam perbedaan (unity in diversity) tetapi perbedaan yang bersatu dalam
kebudayaan (united differences in culture). Maksudnya adalah, perbedaan yang ada itu
tidaklah menjadi alasan dari suatu kenyataan perpecahan yang ada, tetapi kenyataan budaya
yang ada dan berbeda itu telah menjadi bukti bahwa Indonesia bisa bersatu dalam
keberagaman.
Kembali lagi ke pendidikan, banyak sekali para pemimpin dunia dan visioner
terkemuka serta berpengaruh menyatakan bahwa; pendidikanlah faktor terbesar yang
menentukan kemajuan suatu bangsa. Salah satunya adalah presiden Afrika Selatan yaitu

Nelson Mandela yang menyatakan bahwa “Education is the most powerful weapon which
you can use to change the world.” Yang memiliki arti dan makna bahwa pendidikan adalah
senjata yang paling ampuh yang dapat kita gunakan untuk mengubah dunia. Selain Nelson,
ada juga Plato yang mengatakan “Directions were given the education to start one's life will
determine his future.” Yang juga memiliki arti bahwa, arah yang diberikan pendidikan untuk
mengawali hidup seseorang akan menentukan masa depannya. Dari dua pernyataan tersebut
kita dapat menyimpulkan bahwa, pendidikan adalah senjata yang ampuh untuk merubah
peradaban suatu bangsa, yang sekaligus memberikan jalan terang bagi bangsa tersebut. Dan
tidak dapat diragukan lagi, bahwa perkembangan peradaban suatu bangsa pasti dimulai dari
suatu pendidikan.

Apabila kembali ke paragraf keenam, yang menyatakan bahwa pendidikan bukanlah
persekolahan, maka, lagi-lagi jelas bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama bagi
seluruh elemen masyarakat yang di capai dan di wadahi melalui persepsi bersama atau
kesepakatan bersama untuk sama-sama berperan dalam menciptakan suasana dan euphoria
pendidikan yang kondusif, yang dimana persepsi bersama ini hanya akan dilahirkan dari
suatu kebersamaan atau ukhuwah, dan sama sekali tidak akan lahir dari orang-orang yang
individualisme. Jadi dapat disimpulkan, bahwa suatu bangsa yang terpecah secara entitas,
etnis, budaya, maupun ras dan lebih bersifat individualisme dan tidak bersatu dalam
kebinekaan itu sama sekali tidak akan pernah mencapai suatu tujuan bersama. Dan bangsa
yang dapat menerima perbedaan serta menyikapinya sebagai suatu budaya positif, mereka
dapat bergotong-royong dan berjibaku bersama dalam membangun negara, dan dapat
berjuang bersama dalam menciptakan keharmonisan dunia. Dan disinilah dapat dilihat
pentingnya hubungan yang sangat erat antara pendidikan dan kebudayaan untuk mencapai
tujuan bersama.
Pendidikan yang garda utamanya adalah keluarga, perlu juga meningkatkan efektifitas
kemitraan dengan bersama membina dan mendidik melewati bantuan dari komunitas dan
makro sosial yang lebih luas seperti sekolah, organisasi masyarakat, lembaga keagamaan,
pemerintah, dan media. Terutama dalam memprakarsai pembangunan karakter. Karena, tema
besar dalam pendidikan adalah “gerakan” (movement), namun bukan hanya sekedar gerakan
saja, namun lebih ke “gerakan bersama” (joint motion). Mengapa gerakan bersama bukan

gerakan yang dijunjung oleh sekolah saja? Karena, pendidikan harus dipandang sebagai
ikhtiar kolektif seluruh bangsa, bukan hanya tugas lembaga pendidikan saja seperti yang kita
pahami saat ini. Oleh karena itu, pendidikan tidak bisa dipandang sebagai sebuah program

semata, namun lebih ke gerakan bersama seperti yang diuraikan diatas. Maka kita harus
mengajak semua elemen masyarakat untuk terlibat dan berperan penting dalam mewujudkan
cita yang mulia ini.
Gerakan pencerdasan dan penumbuhan generasi berkarakter adalah sebuah ikhtiar
mengembalikan kesadaran tentang pentingnya karakter dalam pendidikan kita. Pendidikan
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman,
bertaqwa kepada tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
warga negara yang demokratis, bertanggung jawab, dan sehat jasmani, rohani. Yang dimana
semuanya itu merupakan kristalisasi dari ciri-ciri karakter mulia seperti yang kita harapkan.
Pergeseran nilai dalam tata pergaulan masyarakat ditambah lagi oleh modernisasi dan
intelektualitas yang salah penempatan, tidak berdasarkan nilai kemanusiaan, ide dan
penemuan baru hanya untuk kemajuan semata, cepat memberi respon, namun lemah dalam
moral. Hasilnya kemudian, mengikis sifat empati terhadap yang dirasakan orang lain,
sehingga muncul perlombaan yang tidak sehat untuk mengejar keterbelakangan dan
ketertinggalan teknologi, yang pada gilirannya hanya terjadi diskriminasi dan kesenjangan
sosial dalam tatanan kehidupan, yang juga akhirnya menyebabkan hukum seleksi alam dan

hukum rimba, yang kuatlah nanti yang berkuasa, dan yang lemahlah yang akan musnah. Dari
itu semua sangatlah jelas, bahwa dehumanisasi sangat terlihat dalam seleksi alam, dan hukum
rimba yang terjadi di masyarakat dewasa ini.
Maka itu semua ternyata dapat dibenarkan dengan pernyataan Dr. Hamid Fahmi
Zarkasyi dalam bukunya “Peradaban Islam” bahwa “faktor yang mengarahkan seseorang
untuk memberi respon terhadap situasi yang sedang dihadapinya adalah faktor ilmu
pengetahuan. Lebih penting dari itu adalah intelektualitas, karena perubahan masyarakat
sangat ditentukan oleh ide dan pemikiran para intelektual”. Maka dari manakah kita
mendapati ilmu pengetahuan dan intelektualitas yang dapat membimbing masyarakat menuju
perubahan dan perkembangan? Tidak lain hanya bisa didapatkan dalam dunia pendidikan.
Namun intelek tanpa adanya internalisasi serta refleksi nilai dan norma kebudayaanyang
tidak bertentangan, hanya akan sebagai beban dan malapetaka bersama tanpa arah dan tujuan.
Karakter harus dibina dan dibimbing sejak dini, layaknya seperti anak kecil
perempuan yang memakai celana pendek saat bermain, ataupun berjalan-jalan bersama
keluarga. Dikarenakan orang tua nya tidak melarang, dan membiarkannya begitu saja, maka
akan mengakibatkan anak tersebut tidak mendengarkan apa yang temannya sarankan, di

karenakan orang tuanya saja yang melahirkan dan membesarkannya saja tidak melarang, lalu
mengapa si fulan yang hanya sekedar teman yang di kenal saja melarang-larang saya? Maka,
apabila kembali merujuk paragraf kesepuluh, yang mengatakan bahwa orang tua, atau

keluarga adalah garda utamanya pendidikan, itu adalah konsep yang tepat dan efektif, karena,
seperti yang kita ketahui bahwa ibu adalah Madrasah ‘Ula bagi anaknya. Dan ternyata, ini
didukung oleh personal statementnya Brigham Young yang mengatakan bahwa “You educate
a man; you educate a man. You educate a woman; you educate a generation.” Bahkan,
bukan hanya mendidik personality saja, namun dampak dari apa yang diajarkan orang tua,
khususnya ibu, akan memberikan suatu gambaran sketsa kehidupan (sketch illustration life)
suatu generasi di masa yang akan datang.
Kata “kebinekaan” pasti sering disandingkan dan identik dengan kebudayaan. Karena,
frasa Bhinneka tunggal ika sendiri yang berasal dari Jawa Kuno ini, merupakan semboyan
bangsa Indonesia, sekaligus merupakan suatu gambaran persatuan dan kesatuan Bangsa dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa
daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.
Kebudayaan merupakan hasil dari suatu kegiatan yang terjadi di dalam masyarakat
dalam suatu daerah sebagai makhluk sosial yang memiliki pengetahuan untuk memahami
lingkungan serta pengalamannya sebagai pedoman tingkah lakunya yang bersatu dalam satu
sintesa dan pada gilirannya justru memperkaya sifat dan makna persatuan bangsa dan negara
Indonesia.
Merujuk kepada perkataan C. JoyBell “We are all equal in the fact that we are all
different. We are all the same in the fact that we will never be the same. We are united by
the reality that all colours and all cultures are distinct & individual. We are harmonious in

the reality that we are all held to this earth by the same gravity. We don't share blood, but
we share the air that keeps us alive. I will not blind myself and say that my black brother is
not different from me. I will not blind myself and say that my brown sister is not different
from me. But my black brother is he as much as I am me. But my brown sister is she as
much as I am me.” Yang dimana inti dan makna yang dapat diambil sebagai sebuah
pelajaran dari perkataan ini adalah, bahwa bangsa Indonesia yang memiliki banyak budaya,
“sama” dalam kenyataan bahwa kita semua berbeda, dan “tidak akan” pernah “sama”
seutuhnya secara menyeluruh. Tapi perlu dipahami pula, bahwa kita patut bersyukur dapat

“dipersatukan” dalam “kenyataan” bahwa kita memang berbeda. Dan itulah kebanggan yang
kami maksudkan sebagaimana termaktub dalam paragraf keenam.
Kemudian, dari kalimat “We don't share blood, but we share the air that keeps us
alive” dari perkataan C. JoyBell diatas yang memiliki arti “Kami tidak berbagi darah, tapi
kami berbagi udara yang membuat kita tetap hidup”, dapat kita analisa bahwa, janganlah kita
yang memiliki banyak kebudayaan ini saling menuntut supaya budaya lain (misalnya; Jawa),
mau memasukan budaya lainnya (misalnya; Sunda), untuk menerapkannya dalam kehidupan
budaya lainnya, yang dimana itu sudah mengakar dan mendarah daging dalam diri setiap
individu tersebut. Karena, hal tersebut hanya akan saling menyakiti perasaan satu sama lain,
dan pada gilirannya hanya akan mengakibatkan permusuhan dan perpecahan. Namun, yang
harus kita lakukan adalah, jangan terlalu memikirkan titik temu cara supaya keberagaman
yang nyata ini dapat disatukan, akan tetapi yang harus kita lakukan, yaitu; mencari satu titik
temu dan persamaan yang dapat membuat kita sama-sama tersatukan dalam sebuah nilai dan
manfaat yang nyata.
Maksud dari “tersatukan” dalam sebuah nilai dan manfaat yang nyata disini adalah,
tersatukan dalam sebuah wadah universal dari berbagai macam sintesa, yang akan menjadi
nilai atau identitas serta jadi diri dari suatu bangsa, yang akhirnya bermanfaat bagi bangsa
tersebut untuk menyatukan semua keberagamannya itu dalam suatu rasa (sense). Yaitu, rasa
kebanggan (pride) terhadap negaranya sendiri yang merupakan bukti dari bentuk
nasionalisme, dan rasa kejayaan, atau keagungan (glory) bagi negara tersebut, yang dapat
bersatu dalam perbedaan untuk sama-sama meraih kemerdekaan. Sehingga, dapat menjadi
negara yang besar dan kuat dalam menghadapi tantangan global, serta memiliki jiwa yang
besar dalam meraih dan mengarungi visi dan misi negara yang luhur, yang merupakan
manifestasi dari lambang burung Garuda yang kuat dan mampu terbang tinggi ke angkasa.
Revolusi adalah kembali ke tempat semula layaknya matahari yang berputar
mengelilingi orbitnya dan akan kembali ke tempat awalnya. Mengingat kata revolusi, pasti
tidak jauh-jauh dari kata evolusi. Namun keduanya sangat memiliki makna yang berbeda.
Revolusi memiliki tendensi kepada perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung
secara cepat, dan singkat serta menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat.
Dan evolusi, lebih menekankan kepada perubahan yang terencana secara perlahan.
Sebagian dari masyarakat kita mungkin ada yang merasa putus asa alam melihat
pergeseran karakter di bangsa dan negara ini karena terpedaya oleh modernisasi ini. Dan

pastilah sebagian dari masyarakat kita pun ada juga yang terpesona dan terbuai bergelimang
dalam kebebasan yang mereka lakukan dikarenakan sifatnya yang individualisme dan
karakternya yang rusak, sehingga pada akhirnya lupa diri dan menyakiti orang lain beserta
dirinya sendiri. Walaupun Indonesia dengan semua permasalahannya yang carut-marut
tetaplah negara kita yang harus kita bela, dan kita junjung tinggi dalam sanubari kita. Maka
itu semua adalah tugas dan kewajiban bagi kita baik dari kalangan akademisi, pemerintahan,
pejabat, pengusaha, bahkan masyarakat biasa sekalipun untuk memperbaiki dan
membenahinya sesuai dengan ide dan cita-cita founding father kita.
Sejalan dengan itu, pendidikan dan kebudayaan sebagai suatu revolusi karakter dan
kebinekaan tidak hanya mengajarkan etika dan persatuan saja, tetapi juga meminta seluruh
elemen warga dan masyarakat melaksanakannya sebagai akumulasi dari perkataan dan
perbuatan itu. Maka, jangan mengaku orang Indonesia apabila dalam praktik kehidupannya
tidak menjaga persatuan dan kesatuan berbangsa dan bernegara serta hanya menebar fitnah
dan menyulut api perpecahan, dan jangan mengaku orang yang baik dan berpendidikan jika
dalam praktik kehidupannya memancarkan akhlak, moral, karakter yang tidak sesuai dengan
ajaran, nilai, dan normanya yang positif serta berlaku di masyarakat. Layaknya bagaimana
kita ingin mengetahui keimanan pemeluk agama tertentu apabila jauh dari ajarannya?
Intinya, menjadi warga negara Indonesia yang berkarakter dan menjaga persatuan
jangan hanya dipahami sebatas melengkapi identitas diri saja. Atau itu belum menjadi
kebutuhan substansial, tetapi lebih dimaknai sebagai identifikasi sosial. Maka wujud dari
bangsa yang berkarakter juga harus terpancar dan terlihat dari praktek kehidupannya seharihari. Karena, tingkah laku seseorang itu memancarkan tentang rahasia hidupnya.
Hegemoni era teknologi dan informasi atau lebih kita kenal dengan era modern,
secara tidak langsung sudah mengakar perlahan dan telah merubah mindset, pola pikir dan
paradigma kita menjadi individu yang individualisme. Yang pada hakikatnya bertentangan
dengan budaya Indonesia yang bergotong royong dan bersosialisasi. Dan pastilah bahwa
evolusi perubahan mindset, pola pikir, dan paradigma tadi tidak akan disadari secara
langsung pada zaman pra-modern. Yang dimana pada zaman itu sudah mulai terjadi erosi
akhlak dan mental secara perlahan. Dan pada akhirnya akan menyadari hal tersebut telah
mengakar dalam diri dan jiwanya setelah mengalami kegelisahan dan keresahan. Evolusi
tersebut yang secara langsung tidak kita sadari bisa terkalahkan oleh sesuatu yang kita sadari

sebagai suatu perubahan yang dinanti yaitu revolusi. Maka kembali kepada pengertian yang
tertulis dalam UU SisDikNas tentang pendidikan, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana. Maka merujuk kepada paragraf yang kelima, bahwa revolusi karakter dan
kebinekaan ini harus disadari secara bersama sebagai suatu kebutuhan yang terencana dan
sebagai suatu gerakan bersama.
Biodata :
Nama: Vikri Pramana Putra
Institusi: Universitas Darussalam Gontor
Kategori: Kategori Umum
Alamat: Kp. Pasirandu RT 05 RW 03 Desa Sukasari Kec. Serang Baru Kab. Bekasi Prov.
Jawa Barat
E-mail: vikripramana90@gmail.com
No. Hp: 081314263994