TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Tanaman caisim (Brassica juncea L.)

  

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Umum Tanaman caisim (Brassica juncea L.)

  Tanaman Caisim atau Brassica juncea L. memiliki klasifikasi sebagai berikut : Divisi Spermathophyta, sub division Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Ordo Brassicales, Famili Brasicaceaae, Genus Brassica, Spesies

  

Brassica juncea (Rubatzky, 1998). Tanaman sawi berakar serabut dan

  berkembang secara menyebar ke semua arah, perakarannya sangat dangkal pada kedalaman sekitar 5 cm. Tanaman ini sangat cocok ditanam pada tanah gembur, subur, dan mudah menyerap air (Cahyono, 2003).

  Caisim merupakan tanaman semusim, berbatang pendek hingga hampir tidak terlihat. Daunnya bulat panjang, halus dan tidak berbulu. Urat (tulang) daun utamanya lebar dan berwarna putih. Caisim cenderung tidak berkrop (Hendro, 2010). Wahyudi (2009), menambahkan bentuk daun caisim berbentuk oval agak bulat, tebal dan agak berserat, warna daun hijau, sedangkan tangkai daun hijau muda.

  Dalam perdagangan internasional caisim disebut dengan green mustard,

  

Chinese mustard , Indian mustard ataupun sarepta mustard. Tanaman ini sangat

  cocok ditanam pada tanah gembur yang bertektur lempung dan banyak mengandung humus, subur, serta memiliki drainase yang baik. Syarat tumbuhnya adalah 5-1200 m dpl sehingga dapat ditanam pada dataran tinggi maupun dataran rendah. Derajat kemasaman optimum untuk pertumbuhan Brassica juncea L. berkisar antara pH 6–7 (Haryanto et al. 2003). Tanaman Brassica juncea L. tumbuh optimum pada suhu antara 15 C- 20 C (Williams et al. 1993).

  Produktifitas Lahan

  Produktifitas lahan adalah kemampuan atau daya dukung lahan tersebut untuk didapatkan nilai bobot hasil tertinggi per satuan luas dalam satuan waktu tertentu. Dalam penentuan produktivitas lahan sangatlah dipengaruhi oleh manusia sebagai “manager”. Manusia sebagai manajer akan menentukan sistem pertanian yang akan dilaksanakan dari kegiatan usahataninya. Berdasarkan hal tersebut di atas maka produktivitas usaha (lahan pertanian) adalah kemampuan manusia untuk mengelola semua sumberdaya yang ada agar didapatkan nilai tukar uang optimal dari satuan luas lahan pertanian yang diusahakannya dalam suatu sistem pertanian (Sjechnadarfuddin & Indrayanti, 2005).

  Produktifitas tanah adalah kapasitas tanah untuk memproduksi hasil (yield) tertentu dengan pengelolaan optimum hal ini lebih luas dibandingkan dengan kesuburan tanah ditambah dengan faktor-faktor lain yang terkait praktik- praktik pengelolaan. Tanah dapat saja mengandung unsur hara dalam jumlah cukup dan seimbang serta mempunyai sifat-sifat lainnya. Tetapi, jika tanah tersebut dibiarkan tidak dikelola, ia tidak akan mampu menghasilkan tanaman sesuai yang diinginkan (Munawar, 2011). Sutedjo (2008), menambahkan produktifitas tanah selain kesanggupan tanah untuk menyediakan unsur hara juga menyangkut pengelolaannya. Jadi produktifitas tanah adalah kesuburan tanah ditambah dengan manajemen (pengelolaannya).

  Tanah yang produktif ialah tanah yang dapat menghasilkan produksi tanaman dengan baik dan menguntungkan. Produktifitas merupakan perwujudan dari seluruh faktor-faktor (tanah dan non tanah) yang berpengaruh terhadap hasil tanaman yang lebih berdasarkan pada pertimbangan ekonomi (Tati et al. 2012).

  Pupuk Organik

  Kecenderungan semakin intensifnya penggunaan pupuk anorganik menyebabkan turunnya kandungan bahan organik tanah dan kemampuan tanah menyimpan dan melepaskan hara dan air bagi tanaman. Akibatnya, efisiensi penggunaan pupuk dan air irigasi serta produktivitas lahan semakin menurun, sehingga berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan, terutama perairan. (Irsal, 2006).

  Menurut Menteri Pertanian (2005) dalam Ceppy (2010), kelebihan pupuk organik adalah mampu menyediakan unsur hara, baik makro maupun makro dalam jumlah cukup sesuai kebutuhan tanaman. Artinya pupuk organik mampu mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah. Meningkatkan jumlah dan aktifitas metabolik jasad mikro di tanah serta memperbaiki penampilan tanaman.

  Bahan organik yang telah mengalami penguraian, akan terjadi humifikasi dan mineralisasi. Pada humifikasi terbentuk humus yang relatif stabil, warna coklat sampai kehitam-hitaman dan bersifat koloidal. Sedangkan pada mineralisasi dilepaskan berbagai senyawa dan unsur-unsur yang berperan sebagai unsur hara tanaman. Di dalam tanah bahan organik dan humus bercampur dengan bagian-bagian mineral tanah. Maka bahan organik ini memegang peranan ; a.

Terhadap sifat-sifat tanah :

  Bahan organik berperan mempengaruhi warna tanah menjadi coklat-hitam, merangsang granulasi, menurunkan plastisitas dan kohesi tanah, memperbaiki struktur tanah menjadi lebih remah, dan meningkatkan daya tahan tanah menahan air sehingga drainase tidak berlebihan, kelembapan dan temperatur tanah menjadi stabil (Kemas, 2009). b.

Pengaruh bahan organik pada kimia tanah

  Bahan organik meningkatkan kapasitas tukar kation tanah, berfungsi sebagai cadangan sekaligus sumber hara makro dan mikro, meningkatkan kation yang mudah tersedia bagi tanaman tetapi menahan kehilangan hara akibat pencucian (leaching), berfungsi didalam pembentukan chelat (ikatan organik) terhadap unsur mikro Fe, Zn, Mn, sehingga tetap tersedia bagi tanaman (Tisdate et al, 1993). Irsal, et al., (2006) juga menegaskan, pupuk organik berfungsi untuk menyediakan hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan mikro (Zn, Cu, Mo, Co, B, Mn, dan Fe), mencegah kahat unsur hara mikro pada tanah marginal atau tanah yang telah diusahakan secara intensif dengan pemupukan yang kurang seimbang, meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah, dan membentuk senyawa kompleks dengan ion logam beracun seperti Al, Fe, dan Mn sehingga logam-logam tersebut tidak meracuni tanaman.

  c.

Mempengaruhi kehidupan jasad hidup tanah

  Pentingnya bahan organik tanah sebagai pemasok dan pendaur hara tanaman dipraktikkan dengan jalan meninggalkan residu tanaman diatas permukaan tanah dan akar di dalam tanah, dan penanaman jenis tanaman pupuk hijau (legum). Meningkatnya produksi pupuk hijau atau biomassa tanaman di atas dan di bawah tanah meningkatkan sumber pakan bagi populasi mikroba tanah, sehingga merangsang perkembangan dan populasi mikroba tanah, sehingga merangsang perkembangan dan aktifitas organisme tersebut. Akar tanaman yang terinfeksi mikoriza dapat meningkatkan luas permukaan akar untuk menyerap hara dari tanah. Residu tanaman merangsang cacing tanah datang kepermukaan tanah dan mengangkat lapisan tanah bawah, sehingga dapat terjadi pencampuran residu dengan tanah. Cacing juga menciptakan saluran-saluran air dan udara yang akan bermanfaat untuk aerasi tanah (Munawar, 2011).

  Pengomposan Anaerob

  Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari bahan, seperti hijauan (jerami, batang pisang, dan hijauan lainnya) dan kotoran hewan (kotoran kambing, sapi, ayam, kelinci, kerbau, dan sebagainya). Sebelum digunakan bahan organik tersebut terlebih dahulu difermentasikan (Ceppy, 2010). Didi, et al., (2004) juga menegaskan, pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan atau manusia antara lain pupuk kandang, pupuk hijau dan kompos (humus) berbentuk padat atau cair yang telah mengalami dekomposisi.

  Permentan Nomor 70/Permentan/Sr.140/10/2011 menyatakan pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari tumbuhan mati, kotoran hewan dan/atau bagian hewan dan/atau limbah organik lainnya yang telah melalui proses rekayasa, berbentuk padat atau cair, dapat diperkaya dengan bahan mineral dan/atau mikroba, yang bermanfaat untuk meningkatkan kandungan hara dan bahan organik tanah serta memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Dan untuk menjamin standar mutu pupuk organik maka ditetapkan persyaratan teknis minimal pupuk organik disajikan yang pada Tabel 2.

  Jika dilihat dari bentuknya, pupuk organik dibedakan menjadi dua yakni pupuk organik padat dan cair. Pupuk organik padat adalah pupuk yang sebahagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari sisa-sisa tanaman, kotoran hewan dan manusia berbentuk padat. Sedangkan pupuk organik cair adalah larutan dari hasil pembusukan bahan-bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan, dan manusia yang kandungan haranya lebih dari satu unsur (Sukamto, 2012).

  Selain itu pupuk organik cair memiliki beberapa keuntungan antara lain; pengaplikasian pupuk cair lebih mudah jika dibandingkan dengan aplikasi pupuk padat, unsur hara yang terdapat di dalam pupuk cair mudah diserap tanaman, pupuk organik cair mengandung mikroorganisme yang jarang terdapat dalam pupuk padat, pencampuran pupuk cair organik dan pupuk organik padat dapat mengaktifkan unsur hara yang ada dalam pupuk organik padat tersebut.

  (Simamora et al., 2005).

  Hasil penelitian Hastuti (2008), pupuk orgaik cair kombinasi dari cairan rumen dari perut sapi yang ke-2 sebanyak 2 liter ditambah bekatul 2 kg, tetes tebu 10 ml dan air leri 2 liter dan diinkubasi selama 15 hari dalam 15 liter air. Dan pengaplikasian pupuk organik cair tersebut sebanyak 20 ml/tanaman atau 2000 l/ha memberikan pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai yang lebih baik dari pada pupuk anorganik (urea 50 kg/ha, SP-36 50 kg/ha, dan KCL 75 kg/Ha).

  Pemberian pupuk cair 2000 l/ha menghasilkan kandungan lemak kedelai yang tertinggi dan sama dengan pemberian pupuk anorganik.

  Tabel 2. Persyaratan standar mutu pupuk organik cair Parameter Satuan Standar mutu

  C-organik % Min 6 Bahan ikutan : % Maks 2 (plastic, kaca, kerikil) Logam berat

  • As ppm Maks 2,5
  • Hg ppm Maks 0,25
  • Pb ppm Maks 12,5
  • Cd ppm Maks 0,5 pH

  4 – 9 Hara makro

  • N % 3 – 6
  • P205 % 3 – 6
  • K2O % 3 – 6 Mikroba Kontaminan

  2

  • E. coli, MPN/ml < 10

  2

  • - Salmonella sp MPN/ml < 10

  Hara Mikro

  • Fe total atau ppm 90 – 900
  • Fe tersedia ppm 5 – 50
  • Mn ppm 250 – 5000
  • Cu ppm 250 – 5000
  • Zn ppm 250 – 5000
  • B ppm 125 – 2500
  • Co ppm 5 – 20
  • Mo ppm 2 – 10 Unsur lain :
  • La ppm
  • Ce ppm

  Sumber : Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/Sr.140/10/2011

  Pengomposan merupakan proses yang dinamis yang dapat berlangsung cepat atau lambat tergantung kepada bahan atau material yang diproses. Pada prinsipnya pengomposan adalah memperkecil rasio C/N (Suharwaji, 2010). Setiap bahan organik mengandung unsur C (Karbon) dan N (Nitrogen) dengan perbandingan (komposisi) yang berbeda-beda antara bahan yang satu dengan yang lainnya. Perbandingan unsur C dan N dalam suatu bahan dinyatakan dengan C/N Ratio. Suatu bahan yang mengandung unsur C tinggi maka nilai C/N Ratio-nya akan tinggi, sebaliknya bahan yang mengandung unsur Nitrogen yang tinggi nilai C/N Ratio-nya akan rendah. Nilai C/N Ratio tersebut akan berpengaruh terhadap proses pengomposan.

  Semakin tinggi C/N Ratio suatu bahan maka semakin lambat untuk diubah menjadi kompos. Sebaliknya bahan dengan C/N Ratio yang rendah akan mempercepat proses pengomposan, tetapi apabila nilai C/N Ratio terlalu rendah maka pengomposan akan menghasilkan produk sampingan yaitu gas amoniak yang berbau busuk.

  Idealnya bahan-bahan yang akan dikomposkan bernilai C/N Ratio 30:1. pada nilai tersebut diperlukan waktu lebih-kurang satu bulan untuk mengubah bahan menjadi kompos. Namun demikian, di alam tidaklah begitu mudah memperoleh bahan yang memiliki C/N Ratio 30:1. Untuk memperoleh bahan- bahan dengan C/N Ratio mendekati angka tersebut, disarankan mencampur beberapa bahan. Bahan-bahan dengan kandungan C tinggi dicampur dengan bahan-bahan yang mengandung N tinggi sehingga diperoleh campuran bahan yang nilai C/N rationya mendekati 30:1. Dengan demikian diharapkan proses pengomposan dapat berlangsung lebih cepat. Sebagai contoh, untuk mempercepat pengomposan dedaunan dapat ditambahkan kotoran hewan atau pupuk urea ke dalam campuran (Syarifah et al., 2003).

  Proses pengomposan dapat berlangsung secara aerobic dan anaerobik. Degradasi anaerob adalah rangkaian proses dimana mikroorganisme menguraikan material yang bersifat biodegradable (bisa teruraikan) dalam kondisi tanpa oksigen (Winda & Chaerul, 2009). Keuntungan penerapan pengolahan limbah secara anaerobik adalah menghasilkan energi dalam bentuk biogas, lumpur yang dihasilkan sedikit, tidak memerlukan lahan yang besar dan tidak membutuhkan energi untuk aerasi. Kekurangannya dalam sistem anaerobik adalah proses pertumbuhan mikroorganismenya lambat dibandingkan mikroorganisme yang tumbuh pada proses aerob (Indriyati, 2002).

  Ikbal (2005) menambahkan, dibandingkan dengan biologi aerobik, proses anaerobik mempunyai beberapa keunggulan, diantaranya ;

  • Hemat energi. Pada pengolahan anerobik, proses penguraian polutan- polutan organik oleh mikroba berlangsung pada kondisi tanpa udara, sehingga tidak diperlukan energi untuk menyuplai udara.
  • Menghasilkan biogas (gas metana). Salah satu produk akhir hasil penguraian polutan organik adalah gas metana (CH

  4

  ) yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar gas.

  • Mampu mengolah limbah organik berkonsentrasi tinggi, yaitu Biological Oxygen Demand (BOD) 80.000 mg.
  • Lumpur organik (surplus sludge) yang dihasilkan lebih sedikit dan dengan mudah dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk organik (kompos).

  Proses anaerobik yang terjadi secara umum dibagi menjadi 3 tahap, yaitu tahap hidrolasi dan fermentasi, tahap pembentukan asam asetat dan tahap pembentukan metana.

  a.

Hidrolisis dan Fermentasi (Asidogenik)

  Hidrolisis dan fermentasi adalah pengubahan senyawa organik yang bersifat kompleks menjadi bentuk sederhana dan bersifat organik terlarut.

  Pengubahan senyawa ini dilakukan oleh bakteri fermentatif dengan menggunakan enzym yang diproduksi-nya. Senyawa organik yang bersifat kompleks, seperti polisakarida dihidrolisa menjadi monosakarida, protein menjadi asam amino dan lemak (lipid) menjadi gliserol dan asam lemak.

  b.

  Asetogenik (Pembentukan asam Asetat) Dalam proses hidrolisis dan asidogenik, selain dihasilkan asam lemak juga terbentuk senyawa-senyawa lain seperti senyawa alkohol, asam organik rantai panjang lain, senyawa unikarbon (HCOOH), dan senyawa multi karbon. Senyawa-senyawa dalam fasa ini diubah menjadi asam asetat oleh bakteri asetogenik sebelum memasuki tahap pembentukan metana.

  c.

Metanogenik (Pembentukan Gas Metana)

  Dalam tahapan pembentukan asetat diatas juga dihasilkan hidrogen. Kedua macam senyawa tersebut merupakan bahan utama pembentuk gas metana. Pembentukan gas metana ini dilakukan oleh bakteri metanogen (Djoko, 2003).

  Pada proses pengomposan bekerja berbagai mikroba, semakin banyak mikroba semakin cepat pengomposan berlangsung. Umumnya mikroba dapat bekerja secara optimal pada kelembapan ± 60%. Kelembapan yang tidak sesuai menyebabkan tidak berkembangnya atau bahkan matinya mikroba. Aerasi dapat dilakukan dengan pembalikan, misalnya sekali dalam seminggu tergantung kondisi pengomposan, aerobik atau anaerobik (Suharwaji, 2010)

  Pengomposan akan berjalan optimal pada suhu yang sesuai dengan suhu optimum pertumbuhan mikroorganisme perombak. Suhu optimum pengomposan berkisar antara 35–55°C, akan tetapi setiap kelompok mikroorganisme mempunyai suhu optimum yang berbeda sehingga suhu optimum pengomposan merupakan integrasi dari berbagai jenis mikroorganisme (Murbandono, 1993).

  Identifikasi proses degradasi bahan organik pada proses pengomposan dapat dilakukan dengan mengamati terjadinya perubahan pH kompos. Menurut Center for Policy and Implementation Study (1992) dalam Dedy (2011), derajat keasaman (pH) yang dituju adalah 6 – 8,5, yaitu kisaran pH yang pada umumnya ideal bagi tanaman. Hasil dekomposisi bahan organik ini menghasilkan kompos yang bersifat netral sebagai akibat dari sifat-sifat basa bahan organik yang difermentasikan.

  Isi Rumen

  Ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, domba dan kambing mempunyai lambung yang hampir sama dengan ternak non ruminansia pada saat dilahirkan yaitu abomasums (lambung sejati) masih mendominasi dari total lambung. Akan tetapi setelah bertambahnya umur ternak maka lambung depan pada ternak ruminansia akan lebih cepat dibandingkan dengan abomasumnya. Setelah kelahiran, rumen, reticulum dan omasum berkembang sampai mencapai kesempurnaan dalam fungsinya. Sapi ataupun kerbau yang dewasa maka berat rumennya kurang lebih 80%, reticulum 5%, omasum 7% dan abomasums sebesar 7% dari seluruh lambung yang dimilikinya (Limbang, 2002)

  Retikulum mempunyai tiga kutub penghubung, pertama menuju rumen, kedua menghubungkan dengan oesofagus dan retikuloomasal. Fungsi utama retikulum adalah mengontrol perintah aliran pakan dan membentuk jalan pakan kembali ke oesofagus selama proses ruminasi. Rumen merupakan bagian terbesar perut ruminansia yang merupakan tempat terjadinya proses fermentasi. Omasum berperan dalam penyerapan air dan beberapa asam lemak. Omasum memiliki penghubung bagian depan dengan retikulum dan bagian belakang dengan

  Sebagian besar bakteri rumen berbentuk cocci kecil, morfologinya tidak dapat dipakai sebagai dasar klasifikasi untuk membedakan species. Sebagai gantinya bakteri rumen diklasifikasikan atas dasar macam substrat yang digunakan sebagai sumber energi utama yaitu:

  

16.19

  Bakteri Rumen

  Sumber : a

Sihombing dan Simamora (1979) sapi dan kerbau dari RPH Bogor dalam Abbas (1987)

b Suwandyastuti (1980) sapi dan domba dari RPH Purwokerto dalam Abbas (1987) c Rasyid et al. (1981) sapi dari RPH Ujung Padang dalam Abbas (1987) d Delmukhlis et al. (1984) sapi dari RPH Padang dalam Abbas (1987) e Brata et al. (1985) sapi dari RPH Den pasar dalam Abbas (1987) f Suhermiyati et al. (1984) sapi an Domba dari RPH Bandung dalam Abbas (1987).

  24,38 32,97 16,37 0,68 1,08

  23,10 36,10 23,49 0,62 0,58

  18,12 0,27 0,45

  17,16 0,26 0,54

  

0.45

  

0.20

  

32.53

  abomasum. Digesta dipompa dari omasum langsung ke abomasum. Abomasum berhubungan dengan omasum di bagian depan dan usus halus di bagian belakang.

  

31.60

  

1.23

  

8.16

  13,62 1,12 0,31

  28,76 41,24 18,54 0,53 0,55

  8,80 9,64 1,81 24,60 38,40 16,76 1,22 0,29 0,39

  Zat makan Sapi Sapi a Sapi b Sapi c

Sapi

d Sapi e e Sapi (padat) f Kerbau Domba a Domba b Air f Protein kasar Lemak kasar Serat kasar BETN Abu Kalsium (Ca) Fospor (P) Besi Silika Energi Brutto (kk/Kg)

  Tabel 3. Kandungan zat-zat makanan isi rumen beberapa daerah di Indonesia (%)

  Abomasum memproduksi asam dan merupakan bagian saluran pencernaan tempat awal proteolisis. Hasil pencernaan tersebut akhirnya masuk ke dalam sistem peredaran darah (Collier et all., 1984). Abbas (1987), Kandungan zat-zat makanan isi rumen beberapa daerah di Indonesia (%) dapat dilihat pada Tabel 3.

  • 0,27 0,49
  • 0,68 0,80
  • 3380 10,92 8,86 2,60
  • -

    12,71

  • 13,24
  • 3118 7,52 7,37 1,72
  • 3650 8,20 14,41 3,59
  • 3577
  • 9,61 2,03 30,59 28,76
  • 9,11 10,55 1,75 27,35 37,62
  • 10.29

  • -

    10,30 7,70 2,62 35,79 26,43
  • 14,63 7,11 1,53 30,84 27,77
  • 13,38 4,35 33,98 20,31
a. Bakteri selulolitik Bakteri ini menghasilkan enzim yang dapat menghidrolisis ikatan glukosida β 1,4, selulosa dan dimer selobiosa. Sepanjang yang diketahui tak satupun hewan yang mampu memproduksi enzim selulosa sehingga pencernaan selulosa sangat tergantung pada bakteri yang terdapat di sepanjang saluran pencernaan. Beberapa bakteri selulolitik antara lain adalah Bacteriodes succinogenes, Ruminicoccus flavefaciens,

  Ruminicoccus albus , Cillobacterium cellulosolvens (Sumatera, 2011).

  b. Bakteri hemiselulolitik Hemiselulosa merupakan struktur polisakarida yang penting dalam dinding sel tanaman. Mikroorganisme yang dapat menghidrolisa selulosa biasanya juga dapat menghidrolisa hemiselulosa. meskipun demikian ada beberapa species yang dapat menghidrolisa hemiselulosa tetapi tidak dapat menghidrolisa selulosa. Contoh bakteri hemiselulosa antara lain; Butyrivibrio fibriosolven dan Bacteriodes ruminicola (Sumatera, 2011).

  c. Bakteri pemakai asam Beberapa jenis bakteri dalam rumen dapat menggunakan asam laktat meskipun jenis bakteri ini umumnya tidak terdapat dalam jumlah yang berarti. Beberapa jenis bakteri asam laktat yang dapat dijumpai dalam jumlah yang banyak setelah mendapatkan tambahan jumlah makanan butiran adalah Peptostreptococcus bacterium, Propioni bacterium, Selemonas lactilytica (Sumatera, 2011). d. Bakteri amilolitik Beberapa bakteri selulotik juga dapat memfermentasi pati, meskipun demikian beberapa jenis bakteri amilolitik tidak dapat menggunakan atau memfermentasi selulosa. Bakteri amilolitik akan menjadi dominan dalam jumlahnya apabila makanan mengandung pati tinggi. Bakteri amilolitik yang terdapat dalam rumen antara lain, Bakteri amylophilus, Butyrivibrio

  fibriosolven dan Bacteriodes ruminicola. Beberapa kelompok bakteri lain

  berdasarkan substratnya adalah kelompok bakteri pemakai gula, bakteri

  proteolitik , bakteri methanogenik, bakteri lipolitik, dan bakteri ureolitik (Sumatera, 2011).

  Protozoa Rumen

  Sebagian besar protozoa yang terdapat dalam rumen adalah ciliate meskipun flagellate juga banyak dijumpai. Ciliata merupakan non pathogen dan

  

anaerobic michroorganism . Dari hasil serangkaian studi, diperoleh informasi

  bahwa diduga ciliate mempunyai peranan sebagai sumber protein dengan keseimbangan kandungan asam amino yang lebih baik dibandingkan dengan bakteri sebagai makanan ternak ruminansia (Sumatera, 2011).

  Jamur Rumen

  Salah satu ciri khas jamur rumen bila dibandingkan dengan jenis jamur lainnya adalah kebutuhannya akan absolute anaerobic (strictily anaerobic) untuk pertumbuhan dan terbentuknya senyawa hydrogen (H) dalam proses fermentasi selulosa. Siklus kehidupan mikroorganisme dilaporkan berlangsung antara 24-30 jam menandakan bahwa jamur rumen sangat erat kaitannya dengan material yang sukar dicerna. Sampai saat ini telah dikenal lebih dari 20 species yang berbeda, meskipun sebagian belum mempunyai nama (Sumatera, 2011).

  Air Kelapa

  Buah kelapa merupakan komoditas yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Namun air kelapa belum banyak dimanfaatkan. Air kelapa tua hanya mengandung beberapa vitamin dalam jumlah kecil. Kandungan vitamin C hanya 0,7-3,7 mg/100 g air buah, asam nikotinat 0,64 mg/100 ml asam panthonet 0,52 mg/100 ml, biotin 0,02 mg/100 ml, riboflavin 0,01 mg/100 ml, dan asam folat hanya 0,003 mg/100 ml (Palungkun, 2004). Berdasarkan Hasil analisis kimia limbah cair air kelapa disajikan pada Tabel 4. dibawah ini.

  Tabel 4. Hasil analisis limbah cair air kelapa Komposisi Konsentrasi (%) Air

  92,70 Protein

  0,17 Lemak

  0,09 Karbohidrat

  6,97

  • Serat Abu

  0,45

  Sumber : Lilis, dkk., (1996)

  Sebutir Kelapa dalam dan hibrida mengandung air kelapa masing-masing 300 dan 230 ml dengan berat jenis rata-rata 1.02 dan pH agak masam, air kelapa dapat digunakan sebagai media pertumbuhan mikroba, misalnya acetobacter untuk produksi nata de coco (Hasbullah, 2001).

  xylinum

  Laju proses fermentasi anaeraob sangat ditetukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi mikroorganisme, salah faktor-faktor tersebut adalah bahan baku isian. Bakteri anaerob membutuhkan nutrisi sebegai sumber energi. Level nutrisi harus lebih dari konsentrasi optimal yang dibutuhkan oleh bakteri metanogenik, karena apabila terjadi kekurangan nutrisi akan menjadi pnghambat bagi pertumbuhan bakteri (Yesung dkk., 2011).

  Simon (2005) menambahkan bahwa pertumbuhan mikroba, khususnya mikroba rumen membutuhkan berbagai zat nutrisi dalam jumlah, komposisi dan waktu yang tepat. Seyawa N, karbohidrat, vitamin, mineral, merupakan unsur pertumbuhan mikroba rumen, namun senyawa N dan kabohidrat dibutuhkan dalam jumlah terbesar, dan harus tersedia secara simultan untuk mendorong pertumbuhan mikroba dengan cepat (Simon, 2005). Nutrsi yang terdapat pada air kelapa diharapkan dapat dimafaatkan untuk pertumbuhan mikroorganisme dalam proses fermentasi.

  Penambahan ekstrak kamir (0,025 dan 0,075%) ke medium air kelapa hijau muda dapat meningkatkan pertumbuhan biomassa (37,12 dan 49,18 g/l), kecepatan pertumbuhan biomassa (0,061 dan 0,074/jam), produksi total astaxanthin (4,871 dan 9,442 mg/l), konsentrasi spesifik astaxanthin (118,99 dan 176,56 mg/g biomassa), kecepatan produksi astaxanthin (0,042 dan 0,088/jam), bati astaxanthin (0,236 dan 0,342 mg/g glukosa) dan konsumsi total glukosa (19,84 dan 26,95 g/l) (Timotius, dkk., 2003). Dan dari hasil penelitian Kapahang (2010) juga dihasilkan isolasi bakteri yang berpotensi untuk memproduksi gas metan dari limbah air kelapa.

  .