BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Evaluasi Dampak Kebijakan Pemekaran Wilayah di Kabupaten Batu Bara

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Dalam Undang – Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan kesejahteraan secara merata disegala aspek kehidupan. Kebijakan desentralisasi melalui otonomi daerah yang diikuti dengan kebijakan pemekaran daerah mengakibatkan perubahan pola perkembangan wilayah.   Sehubungan dengan ditetapkannya Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, dan pada dasarnya merupakan revisi dari Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mengatur tentang hal yang sama. Revisi atas Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini bertujuan untuk menyegarkan pelaksanaan otonomi daerah yang mengandalkan kemandirian dan kemajuan daerah. Hal paling awal yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus, dimana pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.

  Otonomi daerah dipandang perlu dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik dalam maupun diluar negeri, serta tantangan persaingan global.

  Otonomi Daerah memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan peraturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Itu semua harus dilakukan sesuai dengan prinsip – prinsip

    demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman Daerah yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  Sebagai konsekuensi dari ditetapkannya Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004, dimana Pemerintah Daerah diberikan kewenangan yang demikian luas oleh Pemerintah Pusat untuk mengatur rumah tangga daerahnya sendiri, termasuk didalamnya adalah pemberian pelayanan kepada masyarakat di daerahnya. Besarnya keinginan daerah untuk membentuk daerah otonom disebabkan oleh keinginan daerah untuk ikut serta dalam memajukan dan mengembangkan potensi wilayahnya berdasarkan prakasa dan aspirasi sendiri.

  Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang “Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah” disebutkan bahwa tujuan pemekaran daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui: (1) peningkatan pelayanan kepada masyarakat, (2) percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, (3) percepatan pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah, (4) peningkatan keamanan dan ketertiban, serta (5) peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah.

  Pemekaran daerah diasumsikan mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah melalui pemanfaatan potensi lokal. Dengan dikembangkannya daerah baru, pemerintah setempat memiliki peluang untuk menggali berbagai potensi ekonomi daerah yang selama ini tidak tergali. Pemekaran daerah juga memungkinkan terciptanya usaha-usaha baru yang mampu menyerap tenaga kerja baik dari sektor formal maupun informal. Penciptaan usaha-usaha baru

    diharapkan mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mendukung proses pemerataan dalam pembangunan Namun, pemekaran yang terjadi seringkali di nilai tidak dapat mencapai tujuan pemekaran bahkan berdasarkan kajian Kementerian Dalam Negeri terkait dengan pemekaran daerah menyebutkan, sekitar 70 persen dari 57 daerah baru masuk dalam pemerintahan gagal berkembang, yang setidaknya di lihat dalam tiga tahun pertama pemisahan. Oleh karena itu dengan pemekaran daerah diharapkan meningkatkan dinamika kemandirian daerah yang pada akhirnya bermanfaat pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan utama otonomi. Bukan sebaliknya bahwa pemekaran daerah telah menguras energi pemerintah Provinsi dan prosesnya sering menimbulkan ketidakstabilan di daerah (Suara APPSI, 2007).

  Seperti halnya dengan Kabupaten Asahan di Provinsi Umatera Utara yang hendak mengembangkan daerahnya dengan melakukan pemekaran Kabupaten menjadi kabupaten Batu Bara. Hal ini dibenarkan dengan adanya Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Kabupaten Batu Bara Di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Batubara merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Asahan dan beribukota di Kecamatan Limapuluh yang merupakan salah satu dari 16 kabupaten dan kota baru yang dimekarkan dalam kurun tahun 2006. Pada pertengahan tahun 2007 berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2007 tanggal 15 Juni 2007 tentang pembentukan Kabupaten Batu Bara, Kabupaten Asahan dimekarkan menjadi dua Kabupaten yaitu Asahan dan Batu Bara. Wilayah Asahan terdiri atas 13 kecamatan sedangkan Batu Bara 7 kecamatan. Tanggal 15 Juni 2007 juga

    dikeluarkan keputusan Bupati Asahan Nomor 196-Pem/2007 mengenai penetapan Desa Air Putih, Suka Makmur dan Desa Gajah masuk dalam wilayah Kecamatan Meranti Kabupaten Asahan. Sebelumnya ketiga desa tersebut masuk dalam wilayah kecamatan Sei Balai Kabupaten Batu Bara, namun mereka memilih bergabung dengan Kabupaten Asahan.

  Melihat potensi yang ada di Kabupaten Batu Bara, pemerintah daerah harus mampu mengembangkan potensi – potensi tersebut terutama dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam seperti kawasan pariwisata dan perusahaan tambang yang sangat terkenal bahkan sudah ke mancanegara sebagai pengekspor aluminium dari PT.Inalum yang menjadi keunggulan kabupaten ini. Alasan ini juga menjadi salah satu faktor Kabupaten Batu Bara ingin mengembangkan daerahnya dengan menjadi daerah otonom dan memisahkan diri dari Kabupaten Asahan karena memang Kabupaten Bara mempunya banyak potensi alam yang bisa dikembangkan dan mensejahterakan masyarakatnya.  

  Sejak dicetuskannya kembali pada tahun 1999 usaha dan keinginan masyarakat Batu Bara ini di tolak oleh Pemerintah Kabupaten Asahan melalui Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2001 tentang Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat dan peraturan Pemerintah yang lebih tinggi. Isi PROPEDA tersebut tertuang pada angka 2 (dua) pada kegiatan pokok program pembangunan daerah menyebutkan “ Upaya rasional pola berfikir masyarakat melalui pendekatan persuasive, khususnya terhadap provokasi memisahkan diri dari wilayah kabupaten Asahan, serta sosialisasi kepada masyarakat bahwa sampai pada tahun 2005 tidak akan pernah ada yaitu apa yang disebut dengan pemekaran. PDRB per kapita dan pertumbuhan

    ekonomi yang terjadi pasca otonomi daerah memang menunjukkan perubahan ke arah yang lebih positif.

  Memperhatikan hal tersebut, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai dampak kebijakan pemekaran wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Bata Bara. Sehingga peneliti ingin melihat apakah tujuan awal dari pemekaran wilayah tersebut berhasil atau belum berhasil.

  Sehingga peneliti tertarik untuk mengambil judul “evaluasi dampak kebijakan pemekaran wilayah di Kabupaten Batu Bara”.

1.2 Rumusan Masalah

  Pemekaran wilayah selalu dibayangi oleh tingginya tuntutan dan harapan masyarakat akan tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Hal tersebut tidak lepas dari tujuan pemekaran wilayah yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui indikator percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas pelayanan publik, dan pendapatan daerah.

  Dalam penelitian ini, peneliti membatasi ruang lingkup permasalahan pada indikator evaluasi kebijakan pemekaran wilayah di Kabupaten Batu Bara.

  Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana keberhasilan pemekaran daerah di Kabupaten Batu Bara?”

   

  1.3 Tujuan Penelitian

  Setiap penelitian yang dilakukan tentu mempunyai tujuan yang hendak dicapai dalam proses penyelenggaraannya. Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: a.

  Secara Umum yaitu untuk mengevaluasi kebijakan pemekaran wilayah yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Batu Bara.

  b.

  Secara Khusus yaitu :  Peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

   Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah.  Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi.  Percepatan pengelolahan potensi daerah.

  1.4 Manfaat Penelitian

  Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Secara Subjektif, penelitian ini berguna sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis, dan kemampuan untuk menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah melalui sebuah kajian literatur sehingga diperoleh kesimpulan yang teruji dan bermanfaat.

  2. Secara Akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan referensi terhadap mahasiswa konsentrasi Kebijakan di Departemen Ilmu Administrasi Negara Universitas Sumatera Utara yang tertarik dalam bidang Penelitian Evaluasi.

   

  3. Secara praktis, penelitian ini berguna untuk menambah pengalaman, pengetahuan, dan mengevaluasi bagaimana kebijakan pemekaran wilayah di Kabupaten Batu Bara.

1.5 Kerangka Teori

  Menurut Singarimbun teori merupakan serangkaian asumsi, konsepsi, konstruksi, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara hubungan antar konsep.

  Dengan adanya teori, peneliti dapat memahami secara jelas masalah yang akan diteliti. Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.5.1 Kebijakan Publik

1.5.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

  Secara etimologi, istilah kebijakan berasal dari bahasa Yunani “polis” berarti negara, kota yang kemudian masuk kedalam bahasa Latin menjadi “politia” yang berarti negara. Kemudian masuk kedalam bahasa Inggrispolicy” yang artinya berkenaan dengan pengendalian masalah – masalah publik atau administrasi pemerintahan. Kebijakan (policy) adalah istilah yang tampaknya banyak disepakati bersama. Wilson (1887) makna modern gagasan “kebijakan” dalam Bahasa Inggris ini adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik yang berbeda dengan makna “administrasi”. Sejak pasca Perang Dunia II, kata policy mengandung makna kebijakan sebagai sebuah rationale, sebuah manifestasi dari penilaian yang penuh pertimbangan. Jadi sebuah

    kebijakan adalah usaha untuk mendefenisikan dan menyusun basis rsional untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.

  Chandler & Plano (1988) berpendapat bahwa “kebijakan publik adalah

  pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah – masalah publik atau pemerintahan”.

  Easton (1969) memberikan pengertian kebijakan publik sebagai “pengalokasian nilai – nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang

  keberadaannya mengikat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan suatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai – nilai kepada masyarakat”.

  Sedangkan menurut James E. Anderson kebijakan publik sebagai “kebijakan – kebijakan yang dibangun oleh badan – badan dan pejabat – pejabat

  pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah: 1) kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan – tindakan yang berorientasi pada tujuan; 2) kebijakan publik berisi tindakan – tindakan pemerintah; 3) kebijakan publik merupakan apa yang dimaksud untuk dilakukan; 4) kebijakan publik yang diambil bisa diambil dipositif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan pemerintah setidak – tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundang – undangan yang bersifat mengikat dan memaksa.”

   

   

  Berbagai implikasi dari pengertian diatas ini adalah bahwa kebijakan publik memiliki karakteristik sebagai berikut :

  1. Selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan suatu tindakan yang berorientasi tujuan.

  2. Berisi tindakan – tindakan atau pola tindakan pejabat pemerintah.

  3. Merupakan apa yang benar – benar dilakukan oleh pemerintah.

  4. Bersifat positif dalam arti suatu tindakan hanya dilakukan dan negatif dalam arti kepuasan itu bermaksud untuk tidak melakukan sesuatu.

  5. Kebijakan itu didasarkan pada peraturan atau perundang – undangan yang bersifat memaksa.

  Jones (1997) menekankan studi Kebijakan Publik ini pada 2 (dua) proses, yaitu : a.

  Proses – proses dalam ilmu politik, seperti bagaimana masalah – masalah itu sampai pada pemerintah, bagaimana pemerintah mendefinisikan masalah, dan bagaimana tindakan pemerintah.

  b.

  Refleksi tentang bagaimana seorang bereaksi terhadap masalah – masalah, terhadap kebijakan negara, dan memecahkannya.

  Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik (public

  policy ) adalah “usaha untuk mendefenisikan dan menyusun basis rasional untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat”.

1.5.1.2 Proses Analisis Kebijakan Publik

  Proses analaisis kebijakan secara umum merupakan suatu proses kerja yang meliputi lima komponen informasi kebijakan yang saling berkaitan dan dilakukan secara bertahap dengan menggunakan berbagai teknik analisis kebijakan (Dunn, 1994).

  Tahapan analisis kebijakan publik menurut Dunn, yaitu : 1.

  Agenda Setting, tahapan penetapan agenda kebijakan ini, yang harus dilakukan kali adalah menentukan masalah publik yang akan dipecahkan.

  Pada hakekatnya permasalahan ditemukan melalui proses problem

  

structuring. Apa masalahnya? Apa yang membuat hal tersebut menjadi

  masalah kebijakan? 2. Policy Formulation, pengembangan sebuah mekanisme untuk menyelesaikan masalah publik, dimana pada tahap para analisis kebijakan publik mulai menerapkan beberapa teknik untuk menjustifikasikan bahwa sebuah pilihan kebijakan merupakan pilihan yang terbaik dari kebijakan yang lain. Bagaimana mengembangkan pilihan – pilihan atau alternatif – alternatif untuk memecahkan masalah tersebut? Siapa – siapa saja yang berpsrtisipasi dalam formulasi kebijakan? 3. Policy Adoption, tahap untuk menentukan pilihan kebijakan melalui dukungan para stakeholders atau pelaku yang terlibat. Bagaimna alternatif ditetapkan? Persyaratan atau criteria apa yang harus dipersiapkan? Siapa yang melaksanakan kebijakan? Apa isi dari kebijakan yang telah ditetapkan?

   

  4. Policy Implementation, pada tahap ini suatu kebijakan telah dilaksanakan oleh unit – unit eksekutor (birokrasi pemerintah) tertentu dengan memobilisikan sumber dana dan sumber daya lainnya ( teknologi dan manajemen ) dan pada tahap ini monitoring dapat dilakukan. Siapa yang terlibat dalam implementasi kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? 5. Policy Evaluation, tahap akhir dari proses pembuatan kebijakan adalah penilaian terhadap kebijakan yang telah diambil dan dilakukan. Dalam penilaian ini semua proses implementasi dinilai apakah telah sesuai dengan yang telah ditentukan atau direncanakan dalam program kebijakan dengan ukuran yang telah ditentukan. Bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak kebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi dari adanya evaluasi kebijakan? Adakah tuntutan untuk melakukan pembatalan atau perubahan?

1.5.2 Implementasi Kebijakan

1.5.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan

  Implementasi Kebijakan merupakan rangkaian kegiatan setelah suatu kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu implementsai maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan sia – sia belaka. Oleh karena itulah implementasi kebijakan mempunyai kedudukan yang penting didalam Kebijakan Publik.

  Jones (1977) menganalisis masalah pelaksanaan Kebijakan dengan mendasarkan pada konsepsi kegiatan – kegiatan fungsional. Jones mengemukakan bebrapa dimensi dari implementasi pemerintahan mengenai program – program yang sudah disahkan, kemudian menentukan implementasi, juga membahas aktor

   

  • – aktor yang terkait, dengan memfokuskan pada birokrasi yang merupakan lembaga eksekutor. Jadi implementasi merupakan suatu proses yang dinamis yang melibatkan secara terus menerus usaha – usaha untuk mencari apa yang akan dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi mengatur kegiatan – kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program ke dalam tujuan kebijakan yang diinginkan.

  Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi keputusan adalah :

  1. Penafsiran yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.

  2. Organisasi yaitu merupakan unit – unit atau wadah untuk menempatkan program ke dalam tujuan kebijakan.

  3. Penerapan yaitu berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain – lainnya.

1.5.2.2 Model Implementasi Kebijakan

  Dalam rangka mengimplementasikan kebijakan publik ini dikenal dengan beberapa model, antara lain : a.

  Model Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (1975) Menurut Meter dan Horn, ada 6 faktor yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan, yakni :

  1. Standard kebijakan dan sasaran yang menjelaskan rincian tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh,

   

    2.

  Sumberdaya kebijakan berupa dana pendukung implementasi, 3. Komunikasi inter organisasi dan kegiatan pengukuran digunakan oleh pelaksana untuk memakai tujuan yang hendak dicapai,

  4. Karakteristik pelaksanaan artinya karakteristik organisasi merupakan faktor krusial yang akan menentukan berhasil tidaknya suatu program, 5. Kondisi sosial ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi hasil kebijakan, dan

6. Sikap pelaksanaan dalam memahami kebijakan yang akan ditetapkan.

Gambar 1.1. Model Implementasi Van Meter dan Van Horn Komunikasi

  

 antar 

organisasi

 dan kegiatan 

pelaksanaan

  Ukuran  dan  tujuan  kebijakan 

  Ciri  badan pelaksana  Sumber  – sumber  kebijakan  

  Lingk.

   Enonomi,sosial,  dan  politik

  Prestasi   kerja  

  Sikap  para  pelaksana   b.

  Model George Edward Pendekatan yang digunakan terhadap studi implementasi kebijakan, dari sebuah intisari dan menanyakan:

  1) Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan? 2) Apakah yang menjadi faktor utama dalam keberhasilan implementasi kebijakan?

  Guna menjawab pertanyaan tersebut, Edward mengajukan empat faktor yang berperan penting dalam pencapaian keberhasilan implementasi. Faktor- faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan yaitu faktor communication, resources, disposition, dan bureucratic structure.

Gambar 1.2. : Model implementasi George Edwards

  a) Komunikasi

  Agar implementasi menjadi efektif, maka mereka yang tanggungjawabnya adalah untuk mengimplementasikan sebuah keputusan mesti tahu apa yang mereka kerjakan. Jika para pembuat keputusan kebijakan ini berkehendak untuk melihat yang diimplementasikan tidak jelas dan bagaimana rinciannya, maka mungkin akan timbul kesalah pahaman diantara pembuat kebijakan dan implementornya.

    Komunikasi yang tidak cukup juga memberikan implementor dengan kewenangan ketika mereka mencoba untuk membalik kebijakan umum untuk menjadi kebijakan khusus

  b) Sumberdaya

  Sumber daya memiliki peranan penting dalam implementasi kebijakan. Edward mengemukakan bahwa:

  Bagaimanapun jelas dan konsistensinya ketentuan-ketentuan dan aturan- aturan serta bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk melaksanakan kebijakan secara efektif maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif.

  Sumber daya di sini berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya ini mencakup sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi dan kewenangan.

  c) Disposisi

  Disposisi atau sikap dari implementor adalah faktor kritis ketiga didalam pendekatan terhadap studi implementasi kebijakan publik. Jika implementasi adalah untuk melanjutkan secara efektif, bukan saja mesti para implementor tahu apa yang harus dikerjakan dan memiliki kapasitas untuk melakukan hal ini melainkan juga mereka mesti berkehendak untuk melakukan suatu kebijakan. Sikap dari pelaksana kebijakan akan sangat berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Apabila implementator memiliki sikap yang baik maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat

    kebijakan, sebaliknya apabila sikapnya tidak mendukung maka implementasi tidak akan terlaksana dengan baik.

  d) Struktur Birokrasi

  Struktur organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Aspek struktur organisasi ini melingkupi dua hal yaitu mekanisme dan struktur birokrasi itu sendiri. Aspek pertama adalah mekanisme, dalam implementasi kebijakan biasanya sudah dibuat standart operation procedur (SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak agar dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran kebijakan.

  Aspek kedua adalah struktur birokrasi, struktur birokrasi yang terlalu panjang dan terfragmentasi akan cenderung melemahkan pengawasan dan menyebabkan prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel.

1.5.3 Evaluasi Kebijakan

1.5.3.1 Pengertian Evaluasi Kebijakan

  Evaluasi kebijakan merupakan salah satu tahapan penting dalam siklus kebijakan. Pada umumnya evaluasi kebijakan dilakukan setelah kebijakan public tersebut diimplementasikan. Ini tentunya dalam rangka menguji tingkat keberhasilan dan kegagalan keefektifan dan keefisienannya.

  Badjuri dan Yuwono (2002) mengemukakan bahwa tahapan yang cukup

  penting dan sering terlupakan efektivitasnya dalam konteks kebijakan publik Indonesia adalah evaluasi kebijakan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa

  sebagian besar kebijakan publik di Indonesia secara formal telah dilakukan

    evaluasi dengan baik. Namun dmikian substansi kebijakan tersebut ternyata tidak tersapai secara efektif, bahkan sebagian lagi mengalami kegagalan. Oleh karena itu, studi evaluasi ini penting khususnya dalam rangka penanaman urgensi pencapaian tujuan substansial dari sebuah kebijakan, dan bukan formalitas semata.

  Dalam melakukan evaluasi kebijakan publik secara umum ada tiga aspek yang diharapkan dari seorang evaluator jkebijakan, yaitu:

  1. Aspek perumusan kebijakan, dimana analis atau evaluator berupaya untuk menemukan jawaban bagaimana kebijakan tersebut dibuat dan dirumuskan.

2. Aspek implementasi kebijakan, dimana analis atau evaluator berupaya mencari jawaban bagaimana kebijakan itu dilakukan.

  3. Aspek evaluasi dimana analis atau evaluator berusaha untuk mengetahui apa dampak yang ditimbulkan oleh suatu tindakan kebijakan, baik dampak yang diinginkan maupun dampak yang tidak diinginkan. Berbicara mengenai jenis atau tipe kebijakan, Heath (1997) membedakan evaluasi kebijakan publik atas tiga bagian, yaitu sebagai berikut :

  1. Tipe evaluasi proses, dimana evaluasi ini dilakukan dengan memusatkan perhatian pada pertanyaan bagaimana program dilaksanakan?

  2. Tipe evaluasi dampak, dimana evaluasi ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan mengenai apa yang telah dicapai dari program?

  3. Tipe evaluasi strategi, dimana evaluasi ini bertujuan untuk mencari jawaban atas pertanyaan bagaimana program dapat dilaksnakan secara efektif, untuk memecahkan persoalan – persoalan masyarakat dibanding

    dengan program – program lain yang ditujukan pada masalah yang sama sesuai dengan topik mengenai kebijakan publik.

  Menurut Finsterbusch dan Motz (1980) ada empat jenis evaluasi berdasarkan kekuatan kesimpulan yang diperolehnya yaitu :

  1. Evaluasi Single Program after – only, dimana dalam hal ini evaluator langsung membuat penilaian terhadap tindakan kebijakan.

  2. Evaluai Single program before – after, dimana evaluasi ini dilakukan untuk menutupi kelemahan dari evaluasi single program after – only.

  3. Evaluasi comparative after – before, dimana evaluasi didesain untuk melakukan evaluasi dari dampak kebijakan.

1.5.3.2 Tujuan Evaluasi

  Evaluasi memiliki beberapa tujuan yang dapat dirinci sebagai berikut : 1. Menetukan tingkat kerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi maka dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan

2. Mengukur tingkat efisiensi kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat diketahui beberapa biaya dan manfaat dari suatu kebijakan.

  3. Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan. Salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur beberapa besar dan kualitas pengeluaran atau output dari suatu kebijakan.

  4. Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih lanjut, evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif.

   

    5.

  Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan. Evaluasi juga bertujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan – penyimpangan yang mungkin terjadi dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian target.

1.5.3.3 Indikator Evaluasi

  Menurut Subarsono, untuk menilai keberhasilan suatu kebijakan perlu dikembangkan beberapa indikator, karena penggunaan indikator yang tunggal akan membahayakan, dalam arti hasil penilaiannya dapat bias dari yang sesungguhnya. Indikator atau kriteria evaluasi yang dikembangkan oleh Dunn mencakup lima indikator sebagai berikut :

  a. Efektivitas : penilaian terhadap efektivitas ditujukan untuk menjawab ketetpatan waktu pencapaian hasil/tujuan. Parameternya adalah ketepatan waktu. Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai? b. Kecukupan : penilaian terhadap kecukupan ditujukan untuk melihat sejauh mana tingkat pencapaian hasil dapat memcahkan masalah.

  Seberapa jauh hasil yang telah tercapai dapat memecahkan masalah? c. Pemerataan : penilaian terhadap pemerataan ditujukan untuk melihat manfaat dan biaya dari kegiatan terdistribusi secara proporsional untuk aktor – aktor yang terlibat. Apakah biaya dan manfaat didistribusikan merata kepada kelompok yang berbeda? d. Responsivitas : penilaian terhadap responsivitas ditujukan untuk melihat hasil rencana atau kegiatan dsesuai dengan keinginan target grup.

  Apakah hasil kebijakan memuat preferensi atau nilai kelompok dan dapat memuaskan mereka? e. Ketepatan : penilaian terhadap ketepatan ditujukan untuk mengetahui kegiatan atau rencana tersebut memberikan hasil dan manfaat pada target grup apakah hasil yang dicapai bermanfaat?

1.5.3.4 Evaluasi Dampak Kebijakan

  Untuk keperluan jangka panjang dan kepentingan berkelanjutan suatu program, evaluasi sangat diperlukan. Dengan evaluasi kebijakan – kebijakan kedepan akan lebih baik dan tidak mengurangi kesalahan yang sama. Evaluasi dampak memberikan perhatian yang lebih besar kepada output dan dampak kebijakan dibandingkan kepada proses pelaksanaannya, sekalipun yang terakhir ini tidak dikesampingkan dari penelitian evaluatif. Dalam kaitannya dengan dampak, perlu dipahami adanya dampak yang diharapkan dan dampak yang tidak diharapkan. Dampak yang diharapkan mengandung pengertian bahwa ketika kebijakan dibuat, pemerintah telah menentukan atau memetakan dampak apa saja yang terjadi. Diantara dampak – dampak yang diduga akan terjadi, ada dampak yang diharapkan dan tidak diharapkan.

  Sehingga dapat disimpulakan bahwa evaluasi dampak kebijakan

  merupakan suatu proses untuk menilai atau mengukur tingkat kinerja sebuah kebijakan termasuk isi, implentasi dan dampaknya.

  Dampak dari suatu kebijakan mempunyai beberapa dimensi yang semuanya harus diperhitungkan dalam melakukan evaluasi terhadap suatu kebijakan, yaitu :

   

  1. Dampak pada masalah publik yang merupakan tujuan dari dampak kelompok sasaran.

  2. Kebijakan mungkin mempunyai dampak pada kelompok lainnya, diluar kelompok sasaran.

  3. Dampak kebijakan pada dimensi waktu sekarang dan waktu yang akan dating.

1.5.3.5 Pendekatan terhadap Evaluasi

  Menurut Dunn (1994) ada tiga jenis pendekatan terhadap evaluasi : 1. Evaluasi formal, adalah pendekatan evaluasi yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil – hasil kebijakan berdasarkan sasaran program kebijakan yang telah ditetapkan secara formal.

  2. Evaluasi semu, adalah pendekatan evaluasi yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil – hasil kebijakan, tanpa menanyakan manfaat atau nilai dari hasil kebijakan tersebut pada individu, kelompok, atau masyarakat.

  3. Evaluasi proses keputusan teoritis, adalah pendekatan evaluasi yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang dapat dipercaya dan valid mengenai hasil – hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai stakeholders.

   

1.5.4 Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah

1.5.4.1 Pengertian Otonomi Daerah

  Otonomi daerah berasal dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat dikatakan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah.

  Pengertian otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  Pengertian otonomi daerah menurut Vincent Lemius, adalah: “Kebebasan (kewenangan) untuk mengambil atau membuat suatu keputusan politik maupun administasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di dalam otonomi daerah tedapat kebebasan yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah namun apa yang menjadi kebutuhan daerah tersebut senantiasa harus disesuaikan dengan kepentingan nasional sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi” Dalam otonomi daerah ada prinsip desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang dijelaskan dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai berikut:

   

    1.

  Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh

  Pemerinta kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

  3. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

  Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu : Pada dasarnya, prinsip otonomi daerah harus mencerminkan tiga hal, yaitu (1) harus serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa, (2) dapat menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan, (3) harus dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah (Andi, 2007). Jadi dalam konteks otonomi daerah, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan peraturan negara yang berlaku. Artinya daerah otonom tetap berhak menjalankan wewenang dan mengurus urusannya tanpa mengabaikan kepentingan negara atau merusak bingkai dasar kesatuan negara.

  Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :

   Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan sendiri.

   Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.  Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.  Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.

1.5.4.2 Pengertian pemekaran wilayah

  Wilayah adalah bagian dari permukaan bumi yang memiliki karakteristik tertentu dan berbeda dengan wilayah yang lain. Istilah lain dari wilayah yang umum digunakan dalam memahami konsep wilayah adalah region.    Berikut ini beberapa pengertian wilayah yang diungkapkan oleh para ahli geografi:

  

Menurut Cressey : Wilayah (region) adalah keseluruhan dari lahan, air,

  udara, dan manusia dalam hubungan yang saling menguntungkan. Setiap region merupakan satu keutuhan (entity) yang batasnya jarang ditentukan secara tepat.

  

Menurut A. I. Herbertson : Wilayah adalah suatu kesatuan yang

  kompleks dan tanah, air, udara, tumbuhan, hewan, dan manusia yang dipandang dari hubungan mereka yang khusus yang secara bersama-sama membentuk suatu ciri tertentu di atas permukaan bumi.

  

Menurut Taylor : Wilayah dapat didefinisikan sebagai suatu satuan area

  di permukaan bumi yang dapat dibedakan dengan area lain melalui sifat- sifat seragam yang terlihat padanya.

   

  

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang

Rencana: Tata Ruang Wilayah Nasional: Wilayah adalah ruang yang

  merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya, yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/aspek fungsional. Berbicara mengenai pemekaran wilayah, tentu saja tidak terlepas dari wacana desentralisasi khususnya, desenralisasi politik. Menurut Kamus Besar

  Bahasa Indonesia Edisi ke empat (2008) desentralisasi dapat diartkan sebagai : sistem pemerntahan yang lebih banyak memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah, penyerahan sebagian wewenang pimpinan kepada bawahan (atau pusat kepada cabang, dsb). Dari sisi fungsional, pengakuan adanya hak kepada seseorang atau golongan untuk mengurus hal-hal tertentu di daerah ; kebudayaan, pengakuan adanya hak kepada golongan kecil dalam masyarakat untuk menyelenggarakan budaya sendiri di daerah ; politik, pengakuan adanya hak untuk mengurus kepentingan rumah tangga sendiri pada badan politik di daerah yang dipilih oleh rakyat di daerah tertentu”.

  Berdasarkan sejarah perkembangannya, pemekaran wilayah di Indonesia sesungguhnya telah terjadi sejak lama yaitu ketika munculnya zaman kerajaan- kerajaan di nusantara. Pada saat itu, wilayah kekuasaan suatu kerajaan akan dimekarkan lebih disebabkan karena terjadi konflik ditubuh kerajaan induk atau yang biasa disebut konflik antar keluarga karajaan maupun karena kalah dalam peperangan. Pemekaran wilayah semakin marak tatkala penjajah Belanda mulai masuk. Wilayah-wilayah di Jawa dan sekitarnya, dibagi menjadi beberapa

   

   

  25

  2

  49

  6. 2004

  1 - -

  1

  7. 2005 - - - 8. 2006 - - - 9. 2007 -

  21

  4

  10. 2008 -

  5. 2003 0

  27

  3

  30

  11. 2009 -

  2 -

  2 DOHP pasca UU 22/1999 7 164

  34 205

  Total Pemda (2009)

  47

  38

  karesidenan maupun district (setingkat kabupaten)1 yang ditujukan sebagai alat kontrol kekuasaan sekaligus memperkecil ruang gerak tentara Indonesia.

  45

  Pemekaran daerah berarti pengembangan dari satu daerah otonom menjadi dua atau lebih daerah otonom. Pemekaran daerah dilandasi oleh Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 5 ayat 2 dinyatakan daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, namun setelah Undang - Undang Nomor 22 tahun 1999 diganti dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, maka materi pemekaran wilayah tercantum pada pasal 4 ayat 3 dan ayat 4, namun istilah yang dipakai adalah Pemekaran Daerah.

Tabel 1.1 Perkembangan Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP) setelah Berlakunya UU No. 22/1999

  No. Tahun Provinsi Kabupaten Kota Prov/kab/kota

  DOHP

  Sebelum 1999 26 234 59 319

  1. 1999 2

  34

  9

  2. 2000

  4

  3 - -

  3

  3. 2001 - -

  12

  12

  4. 2002

  1

  33

  33 398 93 524 Alasan mendasar terjadi pemekaran daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat lokal. Selama ini sumber daya cenderung ditarik ke daerah induk hingga daerah yang jauh dari pusat kekuasaan tertinggal. Realitas yang terjadi seringkali karena pemekaran daerah sebab kepentingan elite untuk mendapatkn kekuasaan karena mereka kalah dalam suatu pilkada. Ketidakpuasan terhadap kepemimpinan yang didominasi oleh etnis tertentu seringkali dijadikan alasan.

  Menurut Sumodiningrat, berkaitan dengan pemberian otonomi kepada daerah maka perlu memperhatikan unsur – unsur sebagai berikut, yakni : (1) Kemantapan lembaga, (2) Ketersediaan sumber daya manusia yang memadai, khususnya aparat pemerintah daerah dan (3) Potensi ekonomi daerah untuk menggali sumber pendapatannya sendiri.

  Pembentukan Kabupaten Batu Bara berawal dari keinginan masyarakat di wilayah eks Kewedanan Batu Bara untuk membentuk sebuah kabupaten Otonom.

  Upaya dimaksud sudah dirintis sejak tahun 1957, namun akibat dinamika politik nasional hingga akhir tahun 60-an (1969) masyarakat Batu Bara kembali mengaspirasikan bergabungnya 5 (lima) kecamatan yang ada dalam sebuah kabupaten Batu Bara, maka dibentuklah Panitia Pembentukan Otonom Batu Bara (PPOB) yang di prakarsai oleh salah seorang tokoh masyarakat yang pernah menjadi anggota DPRD Asahan. PPOB ini berkedudukan di jalan Merdeka Kecamatan Tanjung Tiram. Karena Undang-undang Otonom belum di keluarkan oleh Pemerintah, perjuangan ini pun tertunda.

    Kegiatan perekonomian di Kabupaten Batubara yang ditunjukan dengan PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000, pada tahun 2002 menunjukkan peningkatan sebesar 4,05%. Angka ini menunjukkan bahwa dibandingkan tahun sebelumnya terjadi kenaikan angka PDRB sebesar 4,05% dengan menganggap harga konstan pada tahun 2000.Kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 4.57%, tahun2004 dan 2005 pertumbuhan ekonomi cenderung melambat dari 3,97 menurun menjadi 2,30% dipengaruhi adanya penebangan/konversi tanaman perkebunan di beberapa wilayah.Namun pada berikutnya yakni 2006- 2007 kembali naik menjadi 3,73% sampai 4,01%. Selanjut pada tahun2008 terus meningkat mencapai 4,55%.

1.5.4.2.1 Latar Belakang terjadinya Pemekaran Wilayah

  Menurut hasil kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah – Lembaga Administrasi Negara (2005) terhadap 14 propinsi dan 28 kabupaten/kota, ada beberapa alasan yang mendasari dilaksanakannya pemekaran daerah, diantaranya:

  a) Alasan pelayanan, pemekaran daerah dianggap mampu meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat karena sistem birokrasi yang lebih kecil dibanding daerah induk yang memiliki cakupan pelayanan yang lebih luas.

  b) Alasan ekonomi, pemekaran daerah diharapkan dapat mempercepat pembangunan ekonomi daerah melalui pemanfaatan potensi lokal yang selama ini belum dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah induk.

  c) Alasan keadilan, pemekaran daerah dianggap mampu mendukung proses pemerataan pembangunan dalam hal ekonomi maupun pengisian jabatan

    publik sehingga suara masyarakat di daerah yang bersangkutan dapat terakomodasi dan tersampaikan dengan baik.

  d) Alasan anggaran, pemekaran daerah diharapkan dapat memberikan anggaran yang besar bagi daerah otonom baru untuk melakukan pembangunan di daerahnya.

e) Alasan historis dan kultural.

  Secara umum, pemekaran wilayah merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan .

  Tarigan (2005) mengatakan bahwa suatu wilayah dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan dari pembentukan wilayah itu sendiri. Dasar dari perwilayahan dapat dibedakan sebagai berikut : 1.

  Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, di Indonesia dikenal wilayah kekuasaan pemerintahan, seperti provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, desa/keluarahan dan dusun/lingkungan.

  2. Berdasarkan kesamaan kondisi (homogenity), yang paling umum adalah kesamaan lokasi fisik. Misal, adanya klasifikasi desa berupa desa pantai, desa pendalaman dan desa pegunungan. Bisa juga pembagian berupa wilayah pertanian dan wilayah industri, wilayah perkotaan dengan daerah pedalaman. Cara pembagian lainnya juga berdasarkan kesamaan sosial budaya. Misalnya, daerah-daerah dibagi menurut suku mayoritas, agama, adat istiadat, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan mayoritas masayarakat yang mendiami wilayah tersebut.

   

  3. Berdasarkan ruang lingkup pengaruh ekonomi, perlu ditetapkan terlebih dahulu beberpa pusat pertumbuhan yang kira-kira sama besar rankingnya, kemudian ditetapkan batas-batas pengaruh dari setiap pusat pertumbuhan. Batas pengaruh antara satu kota dengan kota lainnya hanya dapat dilakukan untuk kota-kota yang sama rankingnya, kota yang lebih kecil itu senantiasa berada dibawah pengaruh kota yang lebih besar.

  4. Berdasarkan wilayah perencanaan/program. Dalam hal ini ditetapkan batas-batas wilayah ataupun daerah-daerah yang terkena suatu program atau proyek dimana wilayah tersebut termasuk kedalam suatu perencanaan untuk tujuan khusus. Suatu wilayah perencanaan dapat menebus beberapa wilayah administrasi berdasarkan kebutuhan dari perencanaan tersebut.

1.5.4.2.2 Syarat – syarat Pemekaran Wilayah

  Undang-Undang No.32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa dalam pembentukan daerah baru, setiap daerah harus mampu memenuhi tiga syarat yaitu: 1.

  Syarat administratif. Syarat administratif meliputi persetujuan DPRD Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.

  2. Syarat teknis. Syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, kemampuan

    keuangan, luas daerah, pertahanan, keamanan serta faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

  3. Syarat fisik kewilayahan. Syarat ini berhubungan dengan wilayah yang akan dimekarkan, lokasi calon ibu kota serta sarana dan prasarana pemerintahan. Dalam pembentukan Provinsi, wilayah baru harus meliputi minimal lima kabupaten/kota dan dalam pembentukan Kota, wilayah baru harus meliputi minimal empat kecamatan. Selain syarat diatas, Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 juga mencantumkan syarat-syarat pembentukan daerah dengan aspek penilaian sebagai berikut :

   Kemampuan ekonomi, merupakan cerminan hasil kegiatan usaha perekonomian yang berlangsung di suatu Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota yang dapat diukur dari produk domestik regional bruto (PDRB) dan penerimaan daerah.

   Potensi daerah, merupakan cerminan tersedianya sumber daya yang dapat dimanfaatkan dan memberikan sumbangan terhadap penerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dari: (1) lembaga keuangan, (2) sarana ekonomi, (3) sarana pendidikan, (4) sarana kesehatan, (5) sarana transportasi dan komunikasi, (6) sarana pariwisata, dan (7) ketenagakerjaan.

   Sosial budaya, berkaitan dengan struktur sosial dan pola budaya masyarakat, kondisi sosial budaya masyarakat yang dapat diukur dari tempat peribadatan, tempat kegiatan institusi sosial dan budaya dan sarana olah raga.

   

   Sosial politik, merupakan cerminan kondisis sosial politik masyarakat yang dapat diukur dari partisipasi masyarakat dalam berpolitik dan organisasi kemasyarakatan.

   Jumlah penduduk, berkaitan dengan jumlah penduduk daerah yang bersangkutan.

   Luas daerah, berkaitan dengan luas daerah yang bersangkutan.  Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah

1.5.4.2.3 Indikator evaluasi pemekaran wilayah

  Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang “Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan” dijelaskan bahwa definisi evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan standard. Evaluasi dilakukan berdasarkan sumberdaya yang digunakan serta indikator dan sasaran kinerja keluaran untuk kegiatan dan atau indikator/sasaran kinerja hasil untuk program.