BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Garcinia Mangostana Terhadap Paparan Bising Yang Dinilai Dari Pemeriksaan Scanning Electron Microscope (SEM) Pada Rattus norvegicus

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Perhatian dunia kini semakin tertuju pada salah satu faktor penyebab menurunnya kualitas hidup seseorang yaitu gangguan pendengaran. Berdasarkan data yang dilansir oleh World Health Organization (WHO), dikisarkan 360 juta (5.3%) jiwa di dunia menderita gangguan pendengaran, dimana 328 juta (91%) adalah orang dewasa dan 32 juta (9%) diderita oleh anak-anak. Disimpulkan bahwa peningkatan prevalensi gangguan pendengaran berbanding lurus dengan laju pertambahan usia (Kemenkes,2013).

  Permasalahan yang sama juga terjadi di Indonesia, didapati kelompok usia 75 tahun ke atas (36,6%) menduduki posisi tertinggi prevalensi gangguan pendengaran, kemudian dilanjutkan oleh usia 65-74 tahun (17,1%) ; usia 55-64 tahun (5,7%) ; usia 45-54 tahun (2.3%). Sedangkan kelompok usia 5-14 tahun dan 15-24 tahun memiliki angka prevalensi terkecil yakni masing-masing 0,8%. Dari data tersebut Provinsi Sumatera Utara (2,6%) menduduki posisi 10 besar provinsi di Indonesia yang memiliki prevalensi gangguan pendengaran tertinggi (Riskesdas,2013).

  Kebisingan merupakan polutan lingkungan yang memiliki efek secara global. Tentu saja hal ini berdampak khusus pada kualitas kesehatan individu, terutama di negara-negara industri. Menurut hasil penelitian mengenai gangguan pendengaran akibat bising (GPAB), stres oksidatif diyakini menjadi kausa utama yang mampu menimbulkan gangguan pada telinga sehingga berdampak buruk pada kualitas hidup seseorang (Seidman&Standring, 2010). Kerusakan yang timbul lebih sering mengenai kedua telinga, bersifat tidak dapat kembali ke keadaan semula, serta semakin memburuk bila terpapar bising secara kontinu (Metidieri et al.,2013).

  Gejala utama yang dikeluhkan oleh penderita GPAB adalah kesulitan dalam hal komunikasi sehingga mengganggu kehidupan sosialnya. Ketidakmampuan dalam menentukan sumber suara, lokasi, dan jarak dari sumber suara menjadi suatu keterbatasan yang bermakna bila dialami oleh seseorang dengan profesi yang berhubungan dengan penyelamatan dan keamanan. Sehingga gangguan pendengaran dapat berdampak buruk pada individualjuga melibatkan keluarga dan komunitas sosialnya (Hong et al.,2013).

  Menurut The Occupational Safety and Health Administration (OSHA) intensitas bising yang diizinkan bagi seseorang yang tidak menggunakan alat pelindung pendengaran adalah 90dB selama 8 jam. Akan tetapi untuk intensitas bising 90dB, di Brazil hanya diperbolehkan selama 4jam dan waktu 8jam hanya diizinkan jika intensitas bising mencapai 85dB (Metidieri,2013). Di Indonesia ketetapan intensitas bising yang termasuk kategori aman adalah 85dB selama 8 jam per hari atau setara dengan 40jam seminggu (Bashiruddin,2010).

  Paparan bising yang berlebihan dari ambang batas aman memicu terjadinya stres oksidatif pada organ pendengaran. Sel rambut terluar koklea menjadi kehilangan integritasnya terhadap spiral ganglional neuron. Perubahan anatomi juga dialami oleh neuron auditori piramidal dimana dijumpai pemanjangan dendrit dan penurunan densitas tulang belakang di apeks dan basal lapisan neuron piramidal II-III dan V-VI di daerah korteks. Penilaian status redoks koklea menunjukkan peningkatan produksi superoksida dan lipid peroksidase di sel rambut dan spiral ganglional neuron (Fetoni et al.,2013).

  GPAB merupakan penyakit yang dapat dicegah. Upaya deteksi dini dengan melakukan pemeriksaan audiometri secara berkala memiliki peranan penting dalam menjaga kualitas pendengaran, terutama pada pekerja di lingkungan yang memiliki tingkat kebisingan tinggi. The Occupational Safety and Health

  

Administration (OSHA) juga menetapkan beberapa program konservasi bagi

  pekerja di lingkungan bising dengan intensitas diatas 85dB untuk waktu yang lebih dari 8 jam yaitu pengawasan paparan bising secara berkala, pengawasan teknisi dan administrasi, alat proteksi pendengaran, evaluasi melalui audiometri, serta program edukasi dan pelatihan (Hong et al.,2013).

  Sound Hearing 2030 merupakan program penanggulangan gangguan

  pendengaran rancangan WHO yang diresmikan pada 4 Oktober 2005. Dalam menanggapi program tersebut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia membentuk Komite Pusat Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT). Salah satu strategi yang menjadi prioritas utama adalah penguatan advokasi, komunikasi, dan sosialisasi dengan semua sektor untuk upaya penanggulangan gangguan pendengaran sehingga tujuan mengurangi prevalensi gangguan pendengaran sebesar 90% pada tahun 2030 dapat diwujudkan (KNPGPKT,2008).

  Berbagai program konservasi yang bermaksud untuk mencegah terjadinya GPAB sudah seharusnya dilaksanakan secara maksimal. Tentu saja bila program tersebut berjalan secara optimal, maka penurunan prevalensi pun bukanlah merupakan hal yang mustahil. Sementara itu, kurangnya fungsi kontrol oleh pihak-pihak yang berwenang menimbulkan kendala pada upaya pelaksanaan program-program tersebut misalnya, di lingkungan pemadam kebakaran, proyek pembangunan, dan industri pertanian. (Hong et al.,2013).

  Pemanfaatan potensi dari berbagai sektor diharapkan dapat mendukung upaya pencegahan GPAB, termasuk dalam melibatkan sumber daya alam. Sebagai negara yang dikenal kaya akan hutan hujan tropis, Indonesia memiliki sumber daya alam yang luar biasa dan sudah seharusnya menjadi ladang ilmu bagi para akademisi. Garcinia mangostana atau lebih sering dikenal dengan sebutan buah manggis, sangat mudah dijumpai di seluruh wilayah Indonesia. Biasanya buah ini lebih sering dijadikan sebagai panganan sehat dan kulitnya dimanfaatkan sebagai pewarna alami (Valadez et al.,2009).

  Xanthone merupakan kandungan utama yang terdapat pada kulit Garcinia

mangostana . Setelah melalui proses isolasi, dapat diidentifikasi beberapa jenis

  turunan xanthone yaitu α-mangostin, β-mangostin, γ-mangostin, dan gartanin.

  Mangostin merupakan senyawa yang paling banyak dipelajari karena mempunyai banyak aktivitas farmakologis, selain memiliki efek antiinflamasi juga sebagai analgetik, antioksidan, antitumor, dan efek vasorelaksan. Saat ini pemakaian produk ekstrak buah-buahan dan sayur-sayuran semakin digemari untuk digunakan sebagai pencegahan berbagai kondisi gangguan kesehatan. Hal ini disebabkan karena produk organik lebih dapat ditoleransi oleh tubuh walaupun dalam konsentrasi yang tinggi (Reanmongkol & Wattanapiromsakul,2008).

  Pada penelitian in vitro, γ-mangostin bekerja sebagai COX-inhibitor kompetitif. Aktivitas penurunan kuantitas lipopolisakarida yang menginduksi ekspresi gen COX-2 juga dapat dijumpai pada penelitian tersebut. Proses ini tentu sangat mempengaruhi peranan ekstrak Garcinia mangostana sebagai antiinflamasi (Reanmongkol & Wattanapiromsakul,2008). Hal yang serupa juga ditemukan dalam peranan α-mangostin sebagai antiinflamasi. Zat aktif ini mampu menurunkan aktivitas IL-1, mitogen-activated protein kinase (MEK), c-Jun N-

  

Terminal Kinase (JNK), Extracellular signal-regulated kinase (ERK), signal

transducer and activator of transcription 1 (STAT-1), dan activator protein 1

  (AP-1) (Orozco et al.,2013).

  Aktivitas antioksidan dari ekstrak kulit Garcinia Mangostana juga melibatkan kandungan polifenolik seperti epikatekin dan tannin. Kandungan ini memperlihatkan efek yang sensitif terhadap radikal bebas. Kinerja yang sama juga ditunjukkan oleh mangostin. Disimpulkan bahwa ekstrak berbahan pelarut air memiliki efek antioksidan lebih baik dibandingkan dengan ekstrak berpelarut etanol (Ngawirhunpat et al.,2010).

  Mekanisme antioksidan spesifik juga ditunjukkan oleh α-mangostin. Kemampuannya untuk mencegah proses peroksidasi lipid yang dipengaruhi oleh ROS semakin menguatkan potensinya dalam mencegah disfungsi pada mitokondria sel. Beberapa jenis toksin peroksida seperti: FeSO

  4 , asam quinolat,

  dan asam 3-nitropropionat telah diujikan pada hewan coba dan diteliti bagaimana peranan antioksidan yang diberikan. Terbukti bah wa α-mangostin mampu menetralkanradikal bebas tersebut dan menimbulkan efek proteksi secara luas (Valadez et al.,2009).

  Pengembangan potensi xanthone dalam menghambat proses karsinogenesis mengalami banyak kemajuan. Kemampuannya untuk bisa menginhibisi target- target molekuler pada sel tumor termasuk kinase, COX, ribonukleotida reduktase, dan DNA polimerase, penghentian siklus sel, menekan laju proliferasi, menghambat metastasis, invasi, dan adesi, serta menginduksi proses apoptosis dan differensiasi menjadikannya istimewa dalam hal pemanfaatan sebagai antikanker. Turunan xanthoneyang memiliki aktivitas antikanker merupakan golongan tetraoksigen dengan dua unit C5 pada cincin A dan C (Shanet al.,2011).

  Rattus norvegicus digunakan sebagai hewan coba karena memiliki struktur

  telinga yang mirip dengan manusia, sehingga dapat digunakan sebagai model penelitian. Selain itu jenis tikus ini juga mempunyai kesamaan >70% gen dan sekuensnya, maka studi mengenai ketulian genetik dapat dilakukan (Haryuna, 2013).

  Efek proteksi ekstrak kulitGarcinia mangostana terhadap paparan bising sampai sekarang belum banyak diteliti. Pemeriksaan sel rambut luar koklea dengan menggunakan Scanning Electrone Microscope (SEM) diperkirakan dapat menilai pengaruh antar dua perlakuan tersebut secara kualitatif. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian ekstrak kulitGarcinia mangostana terhadap organ korti tikus putih yang terpapar bising dan diperiksa melalui SEM.

1.2 Rumusan Masalah

  Apakah ada hubungan antara pemberian ekstrak kulitGarcinia

  

mangostana dengan paparan bising secara terus menerus pada upaya pencegahan

  kerusakan organ korti koklea?

1.3 Tujuan Penelitian

  1.3.1 Tujuan Umum

  Mengetahui hubungan antara pemberian ekstrak kulitGarcinia

  

mangostana dengan paparan bising secara terus menerus sebagai proteksi dari

kerusakan organ korti koklea.

  1.3.2 Tujuan Khusus

  1. Membuktikan ekstrak kulitGarcinia mangostana dapat mencegah kerusakan organ korti koklea.

  2. Menilai perbedaan secara kualitatif kerusakan organ korti koklea akibat paparan bising tanpa diberi ekstrak kulitGarcinia mangostana dengan paparan bising yang diberi ekstrak kulitGarcinia mangostana.

1.4 Manfaat Penelitian

  1. Mendapatkan penjelasan mengenai perbedaan kerusakan organ korti koklea secara kualitatif akibat paparan bising tanpa diberi ekstrak kulitGarcinia mangostana dengan paparan bising yang diberi ekstrak kulitGarcinia mangostana.

  2. Apabila berhasil dilakukan pada hewan coba, diharapkan ekstrak kulitGarcinia mangostana bisa menjadi salah satu topik yang dapat dijadikan bahan penelitian lanjutan.

  3. Memberi informasi kepada pengampu kebijakan dan masyarakat untuk memanfaatkan ekstrak kulitGarcinia mangostana sebagai salah satu pilihan untuk meminimalisasi kerusakan sel rambut luar koklea pada kejadian GPAB.