BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Anatomi Sistem Pendengaran - Pengaruh Garcinia Mangostana Terhadap Paparan Bising Yang Dinilai Dari Pemeriksaan Scanning Electron Microscope (SEM) Pada Rattus norvegicus

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Anatomi Sistem Pendengaran

  Telinga merupakan organ pendengaran yang menjadi salah satu indra khusus pada manusia. Memahami struktur telinga secara keseluruhan dapat membantu kita dalam menilai suatu keadaan abnormal, menegakkan diagnosis, serta penatalaksanaan yang tepat (Harkin & Kelleher, 2011). Secara umum telinga dapat dibagi menjadi 3 regio utama yaitu: telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Pada bagian terluar terdapat daun telinga (pinna) dan lubang telinga luar (external acoustic meatus). Struktur daun telinga menyerupai bentuk oval dan sisi lateralnya merupakan daerah cekung yang tidak beraturan dengan memiliki beberapa lekukan menonjol yang disebut helix. Tulang rawan adalah materi penyusun dominan dari daun telinga, selain otot, ligamen, dan jaringan fibrosa. Daerah yang memanjang hingga membran timpani disebut lubang telinga luar dengan karakteristik panjang sekitar 4cm dari tragus, berbentuk seperti huruf S, dilapisi oleh kulit, mempunyai kelenjar serumen, dan seperti tabung silindris. Daerah ini sebagian dibentuk oleh kartilago, sedangkan sisi yang lebih medial disusun oleh tulang. Dijumpai penyempitan pada bagian ujung saluran ini yang mana membentuk daerah miring atau disebut sebagai sulkus timpanikus. Di tempat tersebut menempel suatu membran yang dinamakan membran timpani telinga (Gray, 2000).

  Regio tengah dari telinga atau lebih dikenal sebagai kavum timpani terdiri dari membran timpani, tuba eustachius serta tiga buah tulang pendengaran yaitu malleus, inkus, dan stapes yang masing-masing membentuk suatu persendian sinovial (Harkin & Kelleher, 2011). Suatu membran yang tipis dan semitransparan, berbentuk oval dengan bagian atas lebih luas daripada bagian bawah, posisi oblik terhadap kedudukan dasarnya dinamakan sebagai membran timpani. Sisi medial dari membran ini menjadi tempat perlengketan manubrium malleus, adapun sisi lateralnya yang berbentuk cekung dikenal sebagai umbo. Tulang-tulang kecil penyusun kavum timpani merupakan kelompok tulang yang dapat membentuk gerakan berupa getaran yang dihantar dari membran timpani dengan bantuan otot-otot di kavum timpani. Posisi tulang pendengaran malleus, inkus, dan stapes terbentuk sedemikian rupa sehingga menyusun pola persendian yang khas. Sendi yang dibentuk oleh inkudomalleolar adalah sendi pelana yang diarthrosis, akan tetapi hubungan inkudostapedial dibentuk oleh sendi yang enarthrosis(Gray, 2000).

  Keistimewaan dari telinga terdapat pada kedudukan fungsi gandanya, tidak hanya dapat digunakan sebagai fungsi pendengaran, telinga juga mengatur fungsi keseimbangan tubuh manusia. Organ-organ sensori tersebut berada di bagian telinga dalam, yang dibentuk oleh kanalis semisirkularis yang mampu mendeteksi pergerakan angular dan makula untuk pergerakan linear. Secara garis besar fungsi keseimbangan juga dipengaruhi oleh kerja otot, sendi, tendon, dan ligamen yang saling memberikan respon sinergis terhadap stimulus dari organ lain, misalnya mata(Harkin & Kelleher, 2011).

Gambar 2.1. Anatomi Telinga (Harkin & Kelleher, 2011)

  2.1.1 Anatomi Koklea

  Susunan koklea terdiri dari tulang berbentuk saluran melingkar yang simetris dan berisi cairan. Panjang keseluruhan saluran tersebut berkisar 3-4 cm dan koklea terletak di petrous pyramid pada tulang temporal. Secara keseluruhan koklea dikelilingi oleh tulang yang keras dan kapsul otik. Tulang tersebut terdiri atas susunan trilamellar, dengan modifikasi oleh tulang rawan dan kandungan mineral yang tinggi sehingga meningkatkan kekakuan pada tulang labirin. Hal ini sangat mempengaruhi penyaluran getaran suara dari tulang-tulang pendengaran agar tidak diserap oleh tulang temporal. Membran basilaris dan membran reissner membagi saluran koklea menjadi beberapa ruangan yaitu skala vestibuli, skala media, dan skala timpani. Perilimfe adalah cairan yang berada di dalam skala vestibuli dan timpani. Cairan ini terhubung dengan cairan serebrospinal melalui

  

cochlear aqueduct dan dengan apeks koklea melalui helikotrema, sedangkan pada

  skala media diisi oleh cairan endolimfe yang sebagian besar komposisinya adalah kalium (Andersen, et al., 2012).

Tabel 2.1. Komposisi Cairan Koklea

  KOMPONEN ENDOLIMFE SKALA SKALA

  VESTIBULI TIMPANI Na (mM) 1,3 141 148 K (mM) 157 6 4,2 Ca (mM) 0,023 0,6 1,3 HCO

  3 (mM)

  31

  21

  21 Cl (mM) 132 121 119 Protein (mg/dl) 38 242 178 pH 7,4 7,3 7,3

  Sumber: (Gillespie,2006; Haryuna,2013)

  Membran basilaris terdiri atas susunan serat elastik yang menyerupai seperti trampolin, membran ini terletak diantara modiolus dan dinding lateral. Susunan kolagen, proteoglikan, dan fibronektin dijumpai pada matriksnya. Bagian basis membran tersebut sempit dan memiliki ketebalan sekitar 0,1mm, sedangkan apeksnya memiliki struktur yang lebih tebal yakni 0,5 mm. Terdapat ligamen spiralis yang menguatkan (anchor) posisi membran basilaris pada bagian lateral kapsul otik. Ligamen ini juga berfungsi untuk suplai dan drainase cairan perilimfe, hal tersebut dapat berlangsung karena ligamen spiralis mampu

  mengatur keseimbangan ion melalui gap junction dan pompa Na /K -ATPase (Andersen, et al., 2012).

  Lapisan sel epitel pada skala media dan sel mesotelial pada skala vestibuli disebut sebagai membran reissner, membran ini membentuk sebuah sawar antara dua cairan yang berbeda komposisi ion penyusunnya. Membran reissener menjaga fungsi homestasis dan distribusi cairan. Integritas dari membran ini penting untuk pendengaran karena dapat menjaga potensial dari endokoklea (+80mV). Stria vaskularis terdiri dari tiga jenis sel yaitu: sel marginal, sel intermediate, dan sel basal. Ketiga jenis sel tersebut merupakan jaringan yang memiliki metabolisme tinggi berbentuk anyaman kapiler dan terletak diantara skala media dan membran reissner. Peranan penting dari stria vaskularis adalah fungsi pengaturan dari potensial endokoklea (Andersen et al., 2012).

  Matriks ekstraseluler yang dapat menyebabkan pergerakan dari stereosilia saat getaran dihantarkan ke koklea disebut sebagai membran tektorial. Komposisinya terdiri dari kolagen tipe II dan tipe IX yang tidak bercabang dan kolagen tipe V yang bercabang. Matriks penyusunnya menyerupai gel disebabkan karena terdapat beberapa jenis glikoprotein, misalnya tektorin dan otogelin (Andersen et al., 2012).

Gambar 2.2. Anatomi Koklea (Despopoulos & Silbernagl, 2008)

  Keistimewaan fungsi koklea sebagai organ pendengaran dipengaruhi karena adanya struktur organ korti yang terletak di membran basilaris koklea. Penyusun organ korti adalah sel-sel mekanoreseptor yang terdiri dari satu baris sel rambut dalam dan tiga sampai empat baris sel rambut luar. Terdapat sekitar 3.400 sel dan 12.000 sel masing-masing untuk sel rambut dalam dan sel rambut luar. Sel-sel rambut dikelilingi oleh beberapa sel penyokong yang memperkuat hubungan sel- sel rambut dengan membran basilaris. Sel merupakan sel pillar yang mengandung susuran filamen tubular (tonofibril) sehingga membentuk saluran dari organ korti. Terdapat juga kumparan rambut-rambut halus pada daerah apikal dari reseptor sel sensori yang disebut sebagai stereosilia. Posisi stereosilia pada membran tektorial adalah berpasangan sehingga getaran dari membran basilar menyebabkan defleksi dari kumparan rambut. Gerakan tersebut tidak berjalan secara seragam untuk keseluruhan sel-sel rambut sepanjang koklea spiral, dikarenakan membran ini semakin menyempit dan agak kaku pada bagian dasarnya akan tetapi pada daerah yang mendekati apeks saluran koklea, membran basillaris menjadi lebih lebar (Andersen et al., 2012).

  Sel rambut dalam merupakan sel sensori aferen primer dalam proses pendengaran yang memiliki 50-70 stereosilia di daerah basal dan 100 di apeksnya. Inervasi sel rambut luar diambil alih oleh neuron di spinal ganglion, dimana maksimal terdapat 15 serabut saraf untuk tiap-tiap sel rambut dalam. Secara keseluruhan densitas inervasi aferen adalah 1.400 serabut saraf/mm. Masing- masing terminal saraf membentuk sinaps dengan satu sel rambut luar. Serabut terminal eferen hanya membentuk sinaps dengan dendrit aferen, sehingga hanya sedikit dari serabut terminal eferen yang mencapai sel rambut dalam (Andersen et

  al ., 2012).

  Pada sel rambut luar sangat sedikit dijumpai serabut saraf aferen atau serabut saraf basilaris. Pada bagian bawah sel rambut luar ditemukan serabut spiral luar yang berorientasi pada serabut saraf dari kelompokan antara sel deiter, tersusun atas neurokanalikuli yang memiliki ketebalan 0,1 µm. Beberapa serabut saraf eferen melalui kumparan sel ini. Jumlah serabut saraf spiral meningkat pada daerah apeks yaitu sebanyak 300. Basis sel rambut luar, terdapat ujung saraf aferen yang kecil. Hal tersebut memungkinkan untuk terjadi sinkronisasi antara serabut spiral luar dengan organ korti dalam merespon stimulus pendengaran (Andersen et al., 2012).

2.2 Fisiologi Pendengaran

  Gelombang suara yang ada dilingkungan akan ditangkap dan dikumpulkan oleh telinga luar untuk seterusnya dihantarkan menuju telinga tengah melalui membran timpani. Getaran yang disebabkan oleh gelombang suara tadi akan menggerakkan membran timpani, selanjutnya diikuti oleh pergerakan tulang- tulang pendengaran. Muskulus stapedius yang menempel pada bagian posterior stapes akan berkontraksi pada suara yang kuat dan secara efektif akan menurunkan frekuensinya saat gelombang ditransmisi ke telinga dalam, hal ini bertujuan untuk menjaga keutuhan organ-organ pendengaran. Pada manusia rentang pendengarannya adalah 20-20.000 Hz dan mencapai 10 oktaf (R.Baiduc et

  al ,.2013).

Gambar 2.3. Transmisi Suara ke Koklea (Despopoulos & Silbernagl, 2008)

  2.2.1 Mekanoelektrik Transduksi Koklea Stimulus pendengaran akan dihantarkan dari stapes dan foramen ovale menuju telinga dalam atau koklea. Perpindahan stimulus ini berlangsung secara mekanik karena getaran yang dihantarkan oleh tulang-tulang pendengaran akan ditangkap oleh cairan yang berada di dalam koklea, sehingga menghasilkan gelombang disepanjang membran basilaris. Tonotopik adalah sifat mekanik dari membran basilaris yangmana bila mendapat rangsangan-rangsangan dengan berbagai frekuensi berbeda akan menghasilkan getaran gelombang maksimal pada lokasi tertentu di membran basilaris. Frekuensi tertinggi gelombang bunyi dapat dideteksi di daerah yang sangat dekat dengan stapes. Kecepatan dan panjang gelombang yang masuk melalui oval window secara kontinu akan semakin mengalami penurunan ketika merambat di koklea, sedangkan amplitudo dari gelombang tersebut mencapai nilai maksimal (Despopoulos & Silbernagl, 2008).

Gambar 2.4. Stimulasi Sel Rambut (Despopoulos & Silbernagl, 2008)

  Pergeseran antara membran basilaris dan membran tektorial yang disebabkan oleh getaran di saluran koklea akan mendorong pergerakan stereosilia di sel-sel rambut luar. Gerakan searah dari stereosilia yang pendek menuju stereosilia yang paling tinggi akan mengaktifkan tip link (Despopoulos & Silbernagl, 2008). Tip link merupakan jalinan filamen aktin yang terdapat di ujung stereosilia (Gillespie, 2006 ; Haryuna, 2013). Proses aktivasi tersebut akan merangsang kanal kation mekanosensitif di membran stereosilia untuk terbuka

  • sehingga terjadi peningkatan konsentrasi K (Despopoulos & Silbernagl, 2008).

  2+ +

  Hal ini akan memicu pergerakan ion K dan Ca menuju membran dan sel-sel rambut luar akan memendek sehingga timbul proses depolarisasi. Sel rambut dalam terhubung dengan saraf aferen dan saat proses depolarisasi berlangsung, glutamat akan dilepaskan dan sinyal auditorik akan ditransmisikan menuju otak (R.Baiduc et al,.2013).

  • Terbukanya kanal K tension-dependent (KCNQ4) di perilimfe, maka proses repolarisasi pada membran berlangsung. Aliran ion K+ yang keluar akan ditangkap oleh K-Cl kotransporter (KCC4) di sel penyokong dan selanjutnya di resirkulasi melalui gap junction yang terdapat di stria vaskularis. Gerakan defleksi dari stereosilia yang mendekati modiolus, ekstensi dari sel rambut luar, serta penutupan dari kanal transduksi mekanoelektrik menandakan terjadinya hiperpolarisasi di koklea (Despopoulos & Silbernagl, 2008).

2.3 Gangguan Pendengaran Akibat Bising (GPAB)

  2.3.1 Definisi Bising adalah suatu bunyi yang tidak dikehendaki, bersifat mengganggu, serta secara fisik berupa susunan bunyi yang kompleks dan tidak beraturan

  (Seidman, 2010). Klasifikasi bising menurut Buchari (2007) dapat dibedakan menurut sifat dan spektrum frekuensi bunyi, yakni:

  1. Bising Kontinu yang memiliki spektrum frekuensi yang lebar. Karakteristiknya terbatas pada intensitas 5dB untuk periode 0,5 detik berturut-turut.

  2. Bising Kontinu yang memiliki spektrum frekuensi yang sempit. Bersifat tetap pada frekuensi tertentu seperti 500, 1000, dan 4000Hz.

  3. Bising Intermitten yang digambarkan sebagai bising dengan periode tenang.

  Bising jenis ini tidak secara terus menerus terjadi, terdapat fase tenang diantaranya.

  4. Bising Impulsif yang karakteristiknya berlangsung sangat cepat, bersifat mengejutkan dengan intensitas bunyi lebih dari 40 dB.

  5. Bising Impulsif Berulang memiliki mekanisme yang sama dengan bising impulsif, akan tetapi jenis ini berlangsung secara berulang-ulang.

  Gangguan pendengaran akibat bising adalah bentuk menurunnya fungsi pendengaran sensorineural, disebabkan oleh paparan bising yang merusak sel rambut koklea. Paparan bising berulang dan sering tidak disadari akan berakumulasi sehingga menambah risiko terjadinya GPAB (Boger et al,.2009). Jumlah kejadian GPAB semakin meningkat seiring dengan fenomena krisis ekonomi dan penurunan kualitas kehidupan manusia (Li et al,.2011). Munculnya efek perubahan struktur organ pendengaran yang diakibatkan oleh kasus ini, menimbulkan banyak spekulasi berbeda dan hipotesis yang berkembang, salah satunya adalah teori stres oksidatif (Fetoni et al,. 2013).

  Banyak literatur yang mengatakan bahwa durasi dari pajanan bising sangat berhubungan dengan onset dari GPAB. Merujuk kepada WHO (World Health

  Organization ), masalah-masalah kesehatan yang dapat disebabkan oleh pajanan

  bising berulang dalam durasi yang lama adalah stres oksidatif pada organ pendengaran, peningkatan tekanan darah, denyut jantung dan kontraksi otot, peningkatan produksi adrenalin, iritabilitas, stres, insomnia, serta kecemasan. Fenomena tersebut berdasarkan studi epidemiologi sering ditemukan pada pekerja-pekerja yang memiliki jam kerja yang lama dengan tingkat kebisingan lingkungan kerja yang tinggi seperti pabrik besi, pabrik tekstil, pabrik bahan kimia, transportasi umum, dan industri yang memiliki tingkat bising yang tinggi (Boger et al,.2009).

  GPAB merupakan penurunan fungsi pendengaran yang bersifat progresif, biasanya dimulai dari frekuensi 3, 4, dan 6 kHz dan berlanjut hingga 0,25 kHz. Peristiwa ini bisa mencapai rentang plateu kira-kira selama 10-15 tahun (Metidieri

  

et al ,.2013). Sebagai klinisi sangat penting untuk kita membedakan kejadian

  GPAB dengan kejadian patologi telinga lainnya, hal yang patut diingat adalah efek dari bising yaitu menyebabkan trauma akustik, perubahan ambang batas pendengaran secara temporer, serta menurunnya fungsi pendengaran (Maia, 2006 ; Metidieri et al,.2013).

  Kunci utama untuk menurunkan kejadian GPAB adalah mencegah munculnya kerusakan yang ditimbulkan oleh bising yang lama dan berulang. Proses evaluasi yang dilakukan secara berkala mulai dari perekrutan pekerja dan dalam masa bekerjapun harus dilakukan, upaya ini bertujuan untuk memonitoring bila muncul tanda-tanda kecendrungan GPAB di tempat kerja. Analisa harus dilakukan secara hati-hati agar pekerja yang terjaring evaluasi GPAB dapat di rehabilitasi dengan tepat. Aksi yang tepat sasaran untuk mengontrol jumlah bising di lingkungan merupakan langkah preventif yang sangat disarankan untuk dilakukan oleh pemegang kebijakan di tempat-tempat yang rawan dengan paparan bising berfrekuensi tinggi (Metidieri et al,.2013).

Tabel 2.2. Bising NR (Noise Reduction)-15

  Bising (dB) Pajanan Maksimum/Hari 85 8 jam 86 7 jam 87 6 jam 88 5 jam 89 4 jam 30 menit 90 4 jam 91 3 jam 30 menit 92 3 jam 93 2 jam 40 menit

  94 2 jam 15 menit 95 2 jam 96 1 jam 45 menit 98 1 jam 15 menit 100 1 jam 102 45 menit 104 35 menit 106 30 menit 108 20 menit 110 15 menit 112 10 menit 114 8 menit 115 7 menit

  Sumber: (Metidieri et al,. 2013) Menurut National Institute of Safety and Health (NIOSH), untuk pencegahan GPAB dimulai dari membatasi intensitas waktu paparan terhadap tingkat bising yang tinggi. Pada tingkatan bising yang mencapai intensitas 85 dB, waktu pajanan yang diperbolehkan maksimal adalah 8 jam. Penurunan setengah durasi waktu pajanan sebanding dengan peningkatan tiap 3dB intensitas bising. Faktor-faktor lain juga diyakini dapat memperburuk kondisi dan keparahan GPAB yaitu: terpapar bahan kimia berbahaya, intoksikasi obat-obatan, merokok, penyakit kardiovaskuler, gangguan ginjal, serta gangguan imunitas tubuh. Faktor genetik juga berperan penting dalam munculnya GPAB, tidak semua orang yang terpapar intensitas bunyi yang tinggi menderita penyakit ini, beberapa peneliti meyakini bahwa terdapat beberapa varian genetik yang terlibat (Philips et.al., 2010).

  Cedera pada telinga dalam yang disebabkan karena trauma bising dapat menyebabkan pergeseran ambang batas pendengaran yaitu secara sementara atau

  

temporary treshold shift (TTS) dan permanent treshold shift (PTS). Pada TTS

  kondisi GPAB dapat reversibel dalam waktu 24 – 48 jam. Akan tetapi TTS yang dialami oleh anak usia muda akan mempercepat resiko munculnya ketulian. Kehilangan pendengaran ringan (15 – 20 dB) pada penderita GPAB jenis PTS tidak terlalu memiliki dampak yang signifikan terhadap aktivitas harian, akantetapi secara umum bisa mengganggu bila melakukan percakapan di lingkungan yang ramai. Pada tingkatan yang lebih parah, gangguan yang terjadi bisa melibatkan kelainan persepsi bicara dan ketulian (Oishi & Schacht, 2011).

  2.3.2 Stres Intraseluler Stres lingkungan yang dipicu oleh intensitas bising yang tinggi akan menimbulkan respon tubuh untuk mempertahankan diri atau lebih sering disebut sebagai heat shock response (HSR), salah satunya melalui sintesis protein asing

  heat shock protein (HSP). Protein ini merupakan jenis molekul chaperon yang

  pada keadaan fisiologis berfungsi untuk melindungi protein dari proses denaturasi akibat stres, sintesis dan transport protein (Gong et al., 2012). Terdapat beberapa jenis HSP yang telah diidentifikasi, yakni: HSP 60, HSP 70, dan HSP 90, yangmana secara keseluruhan memiliki peranan penting dalam aktivasi makrofag dan limfosit (Tsan & Gao, 2009). HSP 70 merupakan protein chaperon yang berperan dominan dalam menjaga fungsi kontrol sel. Bila terdapat stimulasi akustik yang berlebihan, maka koklea akan menginduksi pembentukan HSP untuk melindungi koklea dari kerusakan. Salah satu molekul yang membantu dalam hal pelepasan HSP adalah geranylacetone (Konings, 2009).

  Proses transkripsi gen HSP melibatkan aktivasi heat shock factor 1(HSF-1). Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi mekanisme pengaktifan HSF-1 yaitu kesalahan dalam pelipatan protein sel, kelainan homeostasi sintesis protein, dan perubahan potensial redoks intraselular akibat stres. Akantetapi proses ini dapat diinhibisi bila HSF-1 telah berikatan dengan HSP-70 dan HSP-90 dan mencapai kadar tertentu di dalam darah. Pada keadaan patologis dimana terjadi peningkatan pada ekspresi HSP-70 dan HSP-90 akan mengakibatkan pemberhentian ekspresi gen heat shock. Keterlibatan jalur fosforilasi juga mampu menghambat aktivasi HSF-1 melalui mekanisme umpan balik via jalur protein kinase (Haryuna, 2013).

  Terbentuknya radikal bebas reactive oxygen species (ROS) akibat paparan bising intensitas tinggi merupakan akibat dari stres metabolik dan mekanik dari telinga yang memicu terjadinya kerusakan sel. Pada umumnya, pembentukan ROS akan diikuti dengan aktivasi sinyal apoptosis dan kematian sel (Oishi & Schacht, 2011). ROS yang telah berinteraksi dengan DNA, protein, dan lemak akan merangsang respon HSF dan pelepasan HSP-70. Protein yang telah teroksidasi oleh ROS akan berkompetisi dengan HSF-1 untuk mengikat protein chaperon (Gong et al,. 2012). ROS mampu bertahan 7-10 hari setelah pajanan bising yang lama dan menyebar dari daerah basal organ korti, sehingga menimbulkan kerusakan yang luas. Salah satu kemampuan radikal bebas yang merugikan tubuh adalah kemampuan membuat vasokonstriksi. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh kandungan peroksidase lemak yang bersifat vasoaktif, misalnya isoprostan. Apabila terjadi pada koklea, tentu saja akan mengurangi aliran darah dan mengganggu proses perfusi jaringan (Oishi & Schacht, 2011).

  Kerusakan juga dialami khususnya oleh sel rambut luar diakibatkan

  2+

  terjadinya peningkatan kadar Ca secara tiba-tiba setelah mendapatkan

  2+

  rangsangan akustik secara berlebihan. Berlebihnya kadar Ca mampu merangsang apoptosis dan kematian sel yang independen terhadap pembentukan

  2+

  ROS. Calcineurin merupakan golongan Ca atau calmodulin dependen protein fosfatase yang aktif setelah terpapar bising dan juga bisa mengaktifkan

  mitochondria-mediated cell death pathway via Bcl-2 associated death promoter

  (BAD) di sel rambut luar. Faktor lain yang menyebabkan kerusakan sel berasal dari segi neurotransmitter yang terlibat. Produksi glutamat di sel rambut dalam yang berlebihan dapat memicu timbulnya eksotoksisitas yang merusak sinaps di serabut saraf auditori (ganglion spinal). Adanya perubahan pada sensitivitas akustik setelah pajanan bising intensitas tinggi dapat menurunkan ekspresi dari reseptor glutamat (AMPA) (Oishi & Schacht, 2011).

Gambar 2.5. Stres Oksidatif (Silbernagl & Lang, 2010)

  2.3.3 Pengaruh Bising terhadap Organ Pendengaran Kerusakan yang disebabkan karena paparan bising intensitas tinggi

  (>130dB) tidak hanya dijumpai pada sel rambut, melainkan juga terjadi pada membran reissner, memban tektorial dan sel-sel penyokong. Penumpukan radikal bebas dan neurotransmitter di cairan perilimfe dan endolimfe mengakibatkan degenarasi sel saraf auditori dan kerusakan jaringan, khususnya telinga dalam. Stereosilia merupakan struktur jaringan yang sangat rentan mengalami kerusakan secara mekanik bila terpapar stres yang kontinu. Kelelahan metabolik dapat timbul akibat kerja mitokondria untuk menghasilkan energi secara berlebihan dan meningkatnya produksi vakuola retikulum endoplasma akibat rendahnya sintesis protein. Perubahan struktur pada sel rambut luar terjadi ketika diberi paparan bising 130 dB selama 1jam. Hal serupa juga ditemukan pada serabut aferen yang mengalami pembengkakan akibat hipoksia dan peningkatan jumlah granul lisosom. Paparan yang berat akan merangsang sinyal apoptosis sehingga sel akan degenerasi secara keseluruhan. Pada keadaan fisiologis, sel stereosilia secara utuh tersusun di membran tektorial. Hubungan antar sel membentuk persilangan pada ujungnya dan mengokohkan posisi sel rambut luar . Trauma akustik yang diterima oleh sel ini mengakibatkan kerusakan struktur, sehingga posisinya bisa terlepas dari membran tektorial. Filamen aktin yang terdapat di ujung stereosilia mengalami denaturasi dan menjadi kaku (Harrison, 2012).

  Pengamatan lebih baik dilakukan pada daerah 10-30mm dari foramen ovale atau tingkap bundar. Hal ini disebabkan karena pada daerah tersebut frekuensi suara 3-6kHz diterima dan gambaran kerusakan dapat dengan mudah dijumpai setelah terpapar bising (Maltby, 2005).

Gambar 2.6 Sel rambut luar normal (a) dan sel rambut luar setelah diberi paparan bising (Harrison, 2012)

  Salah satu mekanisme yang terlibat dalam proses perubahan struktur organ pendengaran akibat trauma akustik adalah mekanisme hidrodinamika. Sebaran gelombang bunyi dari pajanan bising akan dijumpai di membran basilaris secara merata dan radial, sehingga terjadi regangan sepanjang tepi ligamentum spiralis yang memicu timbulnya fleksi pada membran tersebut. Ketiadaan struktur yang menompang daerah tengah membran spiralis menghasilkan getaran yang lebih kuat dibandingkan dengan daerah lain. Padahal pada daerah yang sama banyak ditemukan bagian basal sel rambut, sehingga kerusakan struktur setelah mendapat pajanan bising intensitas tinggi tidak dapat dielakkan (Haryuna, 2013).

2.4 Garcinia mangostana

  Garcinia mangostana atau yang lebih dikenal dengan sebutan manggis

  adalah salah satu jenis buah-buahan yang banyak tumbuh di wilayah Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Sri Lanka, Filipina, dan Thailand. Buah ini termasuk jenis tumbuh-tumbuhan tropis yang kaya akan nutrisi dan rasa. Manfaat yang dimilikinya tidak terbatas pada daging buahnya saja, akantetapi sejak zaman dahulu pemanfaat kulit Garcinia mangostana telah banyak dilakukan, misalnya untuk pengobatan tradisional (Xu et al.,2014).

  Menurut Tjitrosoepomo (1994), dalam taksonomi Garcinia mangostana diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Guttiferanales Famili : Guttiferae Genus : Garcinia Spesies : Garcinia mangostana Linn.

  Gambar 2.7.Garcinia mangostana (Shibata et al,. 2011)

  2.4.1 Sifat Kimia, Fisika, dan Zat Aktif Saat ini penelitian mengenai potensi dari ekstrak kulit Garcinia mangostana sangat berkembang pesat. Beberapa studi berhasil membuktikan bahwa ekstrak tersebut memiliki potensi sebagai antimikroba, antiproliferatif, antioksidan dan antiinflamasi. Kesimpulan tersebut didasari atas hasil studi fitokemikal yang menemukan beberapa zat aktif seperti xanthone, flavonoid, dan vitamin c (Ngawhirunpat et al,. 2010).

  Manfaat xanthone juga dibuktikan dalam pengembangan potensinya sebagai antidiabetes. Zat aktif yang terkandung dalam kulit Garcinia mangostana ini dapat menurunkan kadar glukosa darah pada tikus percobaan yang dikondisikan untuk mengidap penyakit diabetes mellitus tipe II. Hal ini bisa terjadi karena

  

xanthone dapat menetralkan radikal bebas sehingga bisa mencegah kerusakan

pada sel β pankreas akibat proses oksidasi (Pasaribu et al,.2012).

  2.4.2 Manfaat xanthone Pada ekstrak kulit Garcinia mangostana terdapat lebih dari 68 jenis

  xanthone

  , akantetapi α-, β-, dan γ-mangostin, garcinon E, 8-deoxygartanin dan gartanin adalah konstituen yang banyak dikembangkan (Xu, 2014). Diantara semua golongan xanthone

  , α-mangostin merupakan zat aktif yang kadarnya paling banyak ditemukan pada ekstrak non- polar. Karakteristik dari α-mangostin adalah tidak larut dalam air dan memiliki perbedaan tingkat kelarutan pada pelarut nonpolar (Ngawhirunpat et a,. 2010). Kemampuan antioksidan menjadi potensi utama dari zat aktif α-mangostin. Diketahui bahwa α-mangostin dapat menurunkan kadar oksidasi LDL yang dipicu oleh radikal bebas, menurunkan konsumsi tocopherol sel, mampu menghambat oksidasi karena anion peroksinitrit (Valadez et al.. 2009). Upaya menghambat aktivitas peroksidasi lemak adalah mekanisme utama sebagai antioksidan, hal ini dapat terjadi karena secara tidak langsung ROS memulai lipid peroksidasi sebagai prekursor untuk molekul oksigen bebas dan OH (Ngawhirunpat et al ,. 2010).

Gambar 2.8. Struktur Kimia Xanthone (Shan et al,.2011)

24 H

  26 O 6 ) yang diekstrak dari kulit Garcinia

  Kandungan α-mangostin (C

  

mangostana juga menunjukkan peranannya dalam mempengaruhi siklus sel dan

  proses apoptosis pada sel kanker. Jaras yang mengatur proses apoptosis dibedakan menjadi dua jalur yakni jalur ekstrinsik yang dieksekusi oleh caspase-8 dan jalur intrinsik atau jalur mitokondria dengan caspase-9 sebagai eksekutornya. Pada retikulum endoplasma terdapat caspase-12 yang bisa mengubah arah sinyal dari jalur pro-survival ke pro-apoptosis, sedangkan caspase-3 adalah eksekutor terakhir dalam rangkaian proses apoptosis. Pemberian α-mangostin setelah 24 jam terbukti meningkatkan kadar caspase-3, caspase-8, caspase-9, dan sitokrom c.

  Selanjutnya melalui jalur mitokondria atau instrinsik, sitokrom c akan berikatan dengan apoptosis protease activating factor-1 (Apaf-1) dan caspase-9 akan teraktifkan (Shibata et al,. 2011).

  Adanya hubungan antara jalur inflamasi dengan karsinogenesis meningkatkan rasa keingintahuan peneliti dalam mengetahui lebih lanjut efek dari α-mangostin. Beberapa tahapan penelitian mendapatkan bahwa zat aktif α- mangostin dapat menurunkan ekspresi gen LPS-induced inflammatory dari TNF,

  IL-1b, IL-6, IL-8, monosit kemoattraktan protein-1, Toll-like receptor-2 (TLR-2), secara keseluruhan efek hambatan tersebut dipengaruhi oleh keterlibatan mitogen-

  activated kinase (MAPK), c-jun NH2-terminal kinase (JNK), extracellular signal-

  (ERK), p38, activator protein (AP)-1, dan NF-

  related kinase

  κB (Shan et al .,2011).

  Efek proteksi yang dijumpai pada ekstrak kulit Garcinia mangostana juga dikonfirmasi oleh Sattayasai (2013) yang melakukan percobaan efek proteksi ekstrak kulit Garcinia mangostana terhadap kultur sel yang diberi toksin β- amiloid peptida. Kadar ROS dan aktivitas dari caspase-3 dapat diturunkan oleh ekstrak tersebut. Hasil yang konsisten dengan percobaan sebelumnya juga ditemukan pada percobaan yang menggunakan toksin H O . Zat kimia yang dapat

  2

  2

  memicu proses apoptosis tersebut secara signifikan dapat dicegah oleh ekstrak

  

Garcinia mangostana . Data tersebut berhasil menunjukkan potensi efek proteksi

yang kuat dari ekstrak kulit Garcinia mangostana.

  2.4.4 Dosis Terapi xanthone

  Pemberian α-mangostin selama 6 hari dengan dosis 200mg/kg menunjukkan

efek proteksi terhadap enzim lipid peroksidase dan berperan sebagai antioksidan

terhadap kerusakan yang mempengaruhi infark miokardiak pada tikus (Ibrahim et

al ., 2014). Ekstrak Garcinia mangostana yang diberikan pada tikus mencapai 84

hari dengan dosis 50 sampai 500 mg/kg tidak menampakkan efek toksisitas yang

signifikan. Hasil tersebut juga dikuatkan melalui percobaan dengan memberikan

ekstrak secara intragastrik dengan dosis 2 – 5 gr/kg berat badan. Penelitian yang

dipublikasikan ini menyatakan bahwa pada dosis tersebut tidak dijumpai

toksisitas, mortalitas, bahkan efek samping pada laju pertumbuhan tikus

(Sattayasaiet al., 2013).

  Penelitian pada tikus selama 14 hari, dimana tikus diberikan α-mangostin

dengan dosis 20 mg/kg/hari melalui bantuan alat pompa osmotik mini memiliki

efek klinis yaitu peningkatan efek apoptosis yang signifikan pada tikus yang

dikondisikan menderita tumor payudara. Hal ini berkaitan dengan peningkatan

ekspresi caspase-3 dan caspase-9 dan penekanan aktivitas siklus sel yang

dimediasi oleh mitokondria sehingga fase G1 dan fase S dari siklus sel dapat

diberhentikan (Shibataet al., 2011).

  Penelitian mengenai ekstrak Garcinia mangostana menunjukkan bahwa toksisitas Garcinia mangostana tidak signifikan. Pada tikus yang diberikan ekstrak

secara oral dengan dosis 1-3 gr/kg berat badan dan diobservasi setiap jam untuk

24 jam pertama dan setiap hari untuk 14 hari berikutnya, tidak memberi

perubahan pada aktivitas dan mortalitas. Pemeriksaan darah dan serum juga

dilakukan untuk dilihat secara biokimia dan analisis enzim. Tidak ada efek yang

berubah pada penampilan klinis, pertumbuhan, konsumsi makanan dan air, berat

  

organ, pemeriksaan histopatologi, serta pemeriksaan hematologi bila sampel

dibandingkan dengan kontrol (Priya et al., 2010).

2.5 Scanning Electron Microscope (SEM)

  SEM adalah salah satu mikroskop elektron yang memiliki resolusi lebih

tinggi bila dibandingkan dengan mikroskop optik. SEM bekerja dengan cara

menembakkan elektron pada permukaan obyek dan menangkap elektron sekunder

yang dipantulkan kembali dari segala arah, serta menentukan derajat pantulan

yang berintensitas tinggi untuk menangkap sinyal kemiringan obyek. Gambaran

yang ditangkap oleh detektor pada SEM dapat diolah melalui suatu komputer

khusus. Bayangan yang jelas digambarkan oleh SEM minimal berukuran 0,5 nm

namun, bila ukurannya lebih kecil maka bayangan yang tampak akan tidak jelas.

Permukaan obyek yang diamati haruslah mampu untuk memantulkan elektron

sekunder ke detektor SEM, biasanya kekhasan ini dimiliki oleh logam. Pada

obyek yang bukan termasuk jenis logam, maka sebelum diamati terlebih dahulu

sediaan dilapisi oleh logam pelapis misalnya emas. (Abdullah & Khairurrijal,

2009).

  Sinyal elektron yang dipantulkan oleh obyek dinamakan elektron sekunder yang akan diterima oleh scintillator. Sinyal ini akan dikonversikan menjadi sinyal

foton (cahaya tampak) kemudian dihantarkan menuju Photon Multiplier Tube

(PMT) yang akan mengonversikan kembali sinyal tersebut menjadi elektron.

Lingkungan pemeriksaan SEM haruslah merupakan suatu lingkungan yang

terisolasi atau vakum, hal tersebut bertujuan agar elektron tidak menyebar ke

udara. (Zhou et al., 2007).

Gambar 2.9. Scanning Microscope Electron (Nano, 2014) Pengamatan yang bertujuan untuk melihat struktur mikro-morfologi

  membutuhkan alat yang dapat menghasilkan gambar dengan resolusi yang sangat tinggi. Bila dibandingkan dengan mikroskop optik, kelebihan yang mendasar dari

SEM adalah kemampuan pembesaran gambarnya. Penggunaan SEM dapat

  

5

menggunakan pembesaran mencapai 2x10 kali. Hal ini dipengaruhi oleh panjang

gelombang de Broglie dari elektron. Diketahui bahwa elektron mempunyai

panjang gelombang yang lebih pendek dari gelombang optik, sehingga resolusi

gambar akan semakin tinggi apabila kita menggunakan panjang gelombang yang

pendek (Nasution, W., et al., 2013).