Pengaruh Garcinia Mangostana Terhadap Paparan Bising Yang Dinilai Dari Pemeriksaan Scanning Electron Microscope (SEM) Pada Rattus norvegicus

(1)

PENGARUH Garcinia mangostana TERHADAP PAPARAN BISING YANG DINILAI DARI PEMERIKSAAN SCANNING ELECTRON MICROSCOPE

(SEM) PADA Rattus norvegicus

OLEH: FUJI RAMADHANI

110100081

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

PENGARUH Garcinia mangostana TERHADAP PAPARAN BISING YANG DINILAI DARI PEMERIKSAAN SCANNING ELECTRON MICROSCOPE

(SEM) PADA Rattus norvegicus

KARYA TULIS ILMIAH

“Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”

OLEH: FUJI RAMADHANI

110100081

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

PENGARUH Garcinia mangostana TERHADAP PAPARAN BISING YANG DINILAI DARI PEMERIKSAAN SCANNING ELECTRON MICROSCOPE

(SEM) PADA Rattus norvegicus

NAMA : Fuji Ramadhani

NIM : 110100081

Pembimbing

dr. H. R. Yusa Herwanto, Sp.THT-KL.MKed (ORL-HNS) NIP. 196701261997071001

Penguji I Penguji II

dr. Savita Handayani, Sp.PD dr. Feby Yanti Harahap, Sp.PA NIP. 196805291997032001 NIP. 197501202003122001

Medan,Januari 2015 Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH NIP. 1954022021980111001


(5)

ABSTRAK

Bising merupakan salah satu etiologi yang dapat menimbulkan kondisi gangguan pendengaran. Target organ yang sering mengalami kerusakan adalah organ korti di koklea. Perubahan struktur yang terjadi diyakini melibatkan proses oksidasi dari radikal bebas.

Tujuan penelitian ini untuk membuktikan efek ekstrak kulit Garcinia mangostana sebagai antioksidan yang efektif dan aman untuk mencegah kerusakan organ korti koklea yang dapat mengakibatkan GPAB ditinjau dari gambaran ultrasttukturnya.

Penelitian merupakan studi eksperimental in vivo dengan rancangan post test only group dengan menggunakan hewan coba tikus putih Rattus norvegicus galur Wistar. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 ekor tikus yang dibagi menjadi 6 kelompok, 3 kelompok memperoleh aquadest dan selebih nya mendapatkan ekstrak selama 16 hari. Masing-masing kelompok diberikan intensitas bising yang berbeda yakni, 25-50 dB, 55-80 dB, dan 85-110 dB dengan durasi 8 jam selama 8 hari secara kontinu. Semua sampel dilakukan pemeriksaan ultrastuktur melalui SEM.

Hasil Pemeriksaan diperoleh tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05) untuk semua kelompok perlakuan.

Pemberian ekstrak kulit Garcinia Mangostana dengan dosis 21,6 mg selama 16 hari secara per oral tidak memberikan efek pencegahan yang signifikan dalam mengurangi kerusakan organ korti koklea, terutama pada pemberian intensitas bising 85-110 dB selama 8 hari (p=0,127).


(6)

ABSTRACT

Noise is one of etiology that may cause hearing loss. Target organ which usually become damage are organ of corti in cochlear. Structural changes that occur are believed to involve oxidation of free radicals.

The purpose of this study is to prove the effect of pericarp extract of Garcinia mangostana as an effective antioxidant and secure to prevent the damage to the cochlear organ of corti which may lead to NIHL viewed from its SEM examination.

An in vivo laboratory experimental study with post test only group design used Wistar strain of white rats (Rattus norvegicus). The samples were 24 rats divided into 6 groups: 3 groups had aquadest and the others had pericarp extract of Garcinia mangostana for 16 days. In every 8 hours, each groups had exposed by different intensity of noise exposure (25-50 dB, 55-80 dB, and 85-110 dB) for next 8 days continually. All samples were examined for the ultrastructure image of organ corti by SEM.

Examination result obtained showed no significant difference (p>0,05) between experiment groups.

The oral administration of pericarp extract of Garcinia mangostana at doses 21.6 mg for 16 days per day showed no significant effect in the way to prevent damage of organ corti, especially in 85-110 dB intensity for 8 days (p=0,127).


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya tulis ilmiah (KTI) ini. Sebagai salah satu area kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang dokter umum, penyusunan karya tulis ilmiah merupakan rangkaian tugas akhir yang menjadi kewajiban dalam menyelesaikan pendidikan di program studi Sarjana Kedokteran, Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan KTI ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan masukan dari berbagai pihak, untuk itu perkenankan penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya

kepada yang terhormat:

1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku DekanFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Dosen pembimbing dalam penulisan proposal KTI ini, dr. H. R. Yusa Herwanto, Sp.THT-KL.Mked (ORL-HNS) yang dengan sepenuh hati telah meluangkan segenap waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis. 3. Prof. Dr.SyafruddinIlyas, M.Biomed, selaku Dosen jurusan Biologi

Universitas Sumatera Utara yang juga merupakan narasumber dari penelitian ini.

4. dr. Savita Handayani, Sp.PD, dr. M. Fahdy, Sp.OG, dan dr. Feby Yanti Harahap, Sp.PA selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dalam memperbaiki penelitian ini.

5. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas bimbingan selama perkuliahan hingga penyelesaian studi.

6. Orang tua dan keluarga besar penulis yang senantiasa selalu memberikan doa, semangat, serta dukungan yang luar biasa kepada penulis terutama dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.


(8)

7. Yayasan Beasiswa Penelitian Medica Carita dan SCORE PEMA FK USU yang telah memberikan beasiswa dalam menunjang keberhasilan penelitian ini.

8. Teman-teman penulis yang senantiasa mendukung, menginspirasi, dan memberikan bantuan dalam menyelesaikan KTI ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan berbagai kritik dan saran dari pembaca sebagai sarana evaluasi kedepannya.

Medan, 10Desember 2014


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN ... 7

2.1 Anatomi Sistem Pendengaran ... 7

2.1.1 Anatomi Koklea ... 9

2.2 Fisiologi Pendengaran ... 12

2.2.1 Mekanoelektrik Transduksi Koklea ... 13

2.3 Gangguan Pendengaran Akibat Bising (GPAB) ... 15


(10)

2.3.2 Stres Intraseluler ... 19

2.3.3 Pengaruh Bising terhadap Organ Pendengaran ... 21

2.4 Garcinia mangostana ... 23

2.4.1 Sifat Kimia, Fisika, dan Zat Aktif ... 24

2.4.2 Manfaat xanthone ... 25

2.4.3 Dosis Terapi xanthone ... 27

2.5 Scanning Electron Microscope (SEM) ... 28

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL ... 30

3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 30

3.2 Variabel dan Defenisi Operasional ... 30

3.3 Hipotesis ... 33

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 34

4.1 Jenis Penelitian ... 34

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 35

4.3 Populasi dan Sampel ... 35

4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 35

4.4.1 Kriteria Inklusi ... 35

4.4.2 Kriteria Eksklusi ... 35

4.5 Besar Sampel ... 36

4.6 Alat dan Bahan Penelitian ... 36

4.7 Prosedur Penelitian ... 37

4.7.1 Tahap Persiapan ... 37

4.7.2 Tahap Pemeriksaan OAE ... 37

4.7.3 Tahan Pembuatan Ekstrak KulitGarcinia mangostana ... 38

4.7.4 Tahap Perlakuan pada Tikus ... 39


(11)

4.7.6 Tahap Pembuatan Sediaan ... 39

4.7.7 Tahap Pemeriksaan SEM ... 39

4.8 Metode Pengolahan dan Analisa Data ... 39

4.9 Alur Penelitian ... 40

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

5.1 Hasil Penelitian ... 41

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 41

5.1.2 Karakteristik Sampel ... 41

5.1.3 Gambaran Ultrastruktur Jaringan Koklea ... 41

5.1.4 Hasil Analisis Statistik ... 47

5.2 Pembahasan ... 49

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

6.1 Kesimpulan ... 54

6.2 Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56


(12)

DAFTAR TABEL

Judul Halaman

Tabel 2.1 Komposisi Cairan Koklea ... 9

Tabel 2.2 Bising NR-15 ... 17

Tabel 4.1 Konversi Dosis ... 38

Tabel 5.1 Perbandingan Kelompok P0 dan P3 ... 42

Tabel 5.2 Perbandingan Kelompok P1 dan P4 ... 42

Tabel 5.3 Perbandingan Kelompok P2 dan P5 ... 43


(13)

DAFTAR GAMBAR

Judul Halaman

Gambar 2.1 Anatomi Telinga ... 8

Gambar 2.2 Anatomi Koklea ... 11

Gambar 2.3 Transmisi Suara ke Koklea ... 13

Gambar 2.4 Stimulasi Sel Rambut ... 14

Gambar 2.5 Stres Oksidatif ... 21

Gambar 2.6 Sel Rambut Luar Koklea ... 22

Gambar 2.7 Garcinia mangostana ... 24

Gambar 2.8 Struktur Kimia Xanthone ... 26

Gambar 2.9 Scanning Electron Microscope ... 29

Gambar 5.1 Ultrastruktur kelompok P0 ... 44

Gambar 5.2 Ultrastruktur kelompok P3 ... 44

Gambar 5.3 Ultrastruktur kelompok P1 ... 45

Gambar 5.4 Ultrastruktur kelompok P4 ... 45

Gambar 5.5 Ultrastruktur kelompok P2 ... 46

Gambar 5.6 Ultrastruktur kelompok P5 ... 46


(14)

DAFTAR SINGKATAN

dB : Desibel

GPAB : Gangguan Pendengaran Akibat Bising

PTS : Permanent Treshold Shift

ROS : Reactive Oxygen Species

SEM : Scanning Electron Microscope

TTS : Temporary Treshold Shift

HSR : Heat Shock Response

HSP : Heat Shock Protein


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Riwayat Hidup Peneliti Lampiran 2 Surat Izin Penelitian Lampiran 3 Ethical Clearance

Lampiran 4 Hasil Output Lampiran 5 Dokumentasi


(16)

ABSTRAK

Bising merupakan salah satu etiologi yang dapat menimbulkan kondisi gangguan pendengaran. Target organ yang sering mengalami kerusakan adalah organ korti di koklea. Perubahan struktur yang terjadi diyakini melibatkan proses oksidasi dari radikal bebas.

Tujuan penelitian ini untuk membuktikan efek ekstrak kulit Garcinia mangostana sebagai antioksidan yang efektif dan aman untuk mencegah kerusakan organ korti koklea yang dapat mengakibatkan GPAB ditinjau dari gambaran ultrasttukturnya.

Penelitian merupakan studi eksperimental in vivo dengan rancangan post test only group dengan menggunakan hewan coba tikus putih Rattus norvegicus galur Wistar. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 ekor tikus yang dibagi menjadi 6 kelompok, 3 kelompok memperoleh aquadest dan selebih nya mendapatkan ekstrak selama 16 hari. Masing-masing kelompok diberikan intensitas bising yang berbeda yakni, 25-50 dB, 55-80 dB, dan 85-110 dB dengan durasi 8 jam selama 8 hari secara kontinu. Semua sampel dilakukan pemeriksaan ultrastuktur melalui SEM.

Hasil Pemeriksaan diperoleh tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05) untuk semua kelompok perlakuan.

Pemberian ekstrak kulit Garcinia Mangostana dengan dosis 21,6 mg selama 16 hari secara per oral tidak memberikan efek pencegahan yang signifikan dalam mengurangi kerusakan organ korti koklea, terutama pada pemberian intensitas bising 85-110 dB selama 8 hari (p=0,127).


(17)

ABSTRACT

Noise is one of etiology that may cause hearing loss. Target organ which usually become damage are organ of corti in cochlear. Structural changes that occur are believed to involve oxidation of free radicals.

The purpose of this study is to prove the effect of pericarp extract of Garcinia mangostana as an effective antioxidant and secure to prevent the damage to the cochlear organ of corti which may lead to NIHL viewed from its SEM examination.

An in vivo laboratory experimental study with post test only group design used Wistar strain of white rats (Rattus norvegicus). The samples were 24 rats divided into 6 groups: 3 groups had aquadest and the others had pericarp extract of Garcinia mangostana for 16 days. In every 8 hours, each groups had exposed by different intensity of noise exposure (25-50 dB, 55-80 dB, and 85-110 dB) for next 8 days continually. All samples were examined for the ultrastructure image of organ corti by SEM.

Examination result obtained showed no significant difference (p>0,05) between experiment groups.

The oral administration of pericarp extract of Garcinia mangostana at doses 21.6 mg for 16 days per day showed no significant effect in the way to prevent damage of organ corti, especially in 85-110 dB intensity for 8 days (p=0,127).


(18)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perhatian dunia kini semakin tertuju pada salah satu faktor penyebab menurunnya kualitas hidup seseorang yaitu gangguan pendengaran. Berdasarkan data yang dilansir oleh World Health Organization (WHO), dikisarkan 360 juta (5.3%) jiwa di dunia menderita gangguan pendengaran, dimana 328 juta (91%) adalah orang dewasa dan 32 juta (9%) diderita oleh anak-anak. Disimpulkan bahwa peningkatan prevalensi gangguan pendengaran berbanding lurus dengan laju pertambahan usia (Kemenkes,2013).

Permasalahan yang sama juga terjadi di Indonesia, didapati kelompok usia 75 tahun ke atas (36,6%) menduduki posisi tertinggi prevalensi gangguan pendengaran, kemudian dilanjutkan oleh usia 65-74 tahun (17,1%) ; usia 55-64 tahun (5,7%) ; usia 45-54 tahun (2.3%). Sedangkan kelompok usia 5-14 tahun dan 15-24 tahun memiliki angka prevalensi terkecil yakni masing-masing 0,8%. Dari data tersebut Provinsi Sumatera Utara (2,6%) menduduki posisi 10 besar provinsi di Indonesia yang memiliki prevalensi gangguan pendengaran tertinggi (Riskesdas,2013).

Kebisingan merupakan polutan lingkungan yang memiliki efek secara global. Tentu saja hal ini berdampak khusus pada kualitas kesehatan individu, terutama di negara-negara industri. Menurut hasil penelitian mengenai gangguan pendengaran akibat bising (GPAB), stres oksidatif diyakini menjadi kausa utama yang mampu menimbulkan gangguan pada telinga sehingga berdampak buruk pada kualitas hidup seseorang (Seidman&Standring, 2010). Kerusakan yang timbul lebih sering mengenai kedua telinga, bersifat tidak dapat kembali ke keadaan semula, serta semakin memburuk bila terpapar bising secara kontinu (Metidieri et al.,2013).


(19)

Gejala utama yang dikeluhkan oleh penderita GPAB adalah kesulitan dalam hal komunikasi sehingga mengganggu kehidupan sosialnya. Ketidakmampuan dalam menentukan sumber suara, lokasi, dan jarak dari sumber suara menjadi suatu keterbatasan yang bermakna bila dialami oleh seseorang dengan profesi yang berhubungan dengan penyelamatan dan keamanan. Sehingga gangguan pendengaran dapat berdampak buruk pada individualjuga melibatkan keluarga dan komunitas sosialnya (Hong et al.,2013).

Menurut The Occupational Safety and Health Administration (OSHA) intensitas bising yang diizinkan bagi seseorang yang tidak menggunakan alat pelindung pendengaran adalah 90dB selama 8 jam. Akan tetapi untuk intensitas bising 90dB, di Brazil hanya diperbolehkan selama 4jam dan waktu 8jam hanya diizinkan jika intensitas bising mencapai 85dB (Metidieri,2013). Di Indonesia ketetapan intensitas bising yang termasuk kategori aman adalah 85dB selama 8 jam per hari atau setara dengan 40jam seminggu (Bashiruddin,2010).

Paparan bising yang berlebihan dari ambang batas aman memicu terjadinya stres oksidatif pada organ pendengaran. Sel rambut terluar koklea menjadi kehilangan integritasnya terhadap spiral ganglional neuron. Perubahan anatomi juga dialami oleh neuron auditori piramidal dimana dijumpai pemanjangan dendrit dan penurunan densitas tulang belakang di apeks dan basal lapisan neuron piramidal II-III dan V-VI di daerah korteks. Penilaian status redoks koklea menunjukkan peningkatan produksi superoksida dan lipid peroksidase di sel rambut dan spiral ganglional neuron (Fetoni et al.,2013).

GPAB merupakan penyakit yang dapat dicegah. Upaya deteksi dini dengan melakukan pemeriksaan audiometri secara berkala memiliki peranan penting dalam menjaga kualitas pendengaran, terutama pada pekerja di lingkungan yang memiliki tingkat kebisingan tinggi. The Occupational Safety and Health Administration (OSHA) juga menetapkan beberapa program konservasi bagi pekerja di lingkungan bising dengan intensitas diatas 85dB untuk waktu yang lebih dari 8 jam yaitu pengawasan paparan bising secara berkala, pengawasan


(20)

teknisi dan administrasi, alat proteksi pendengaran, evaluasi melalui audiometri, serta program edukasi dan pelatihan (Hong et al.,2013).

Sound Hearing 2030 merupakan program penanggulangan gangguan pendengaran rancangan WHO yang diresmikan pada 4 Oktober 2005. Dalam menanggapi program tersebut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia membentuk Komite Pusat Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT). Salah satu strategi yang menjadi prioritas utama adalah penguatan advokasi, komunikasi, dan sosialisasi dengan semua sektor untuk upaya penanggulangan gangguan pendengaran sehingga tujuan mengurangi prevalensi gangguan pendengaran sebesar 90% pada tahun 2030 dapat diwujudkan (KNPGPKT,2008).

Berbagai program konservasi yang bermaksud untuk mencegah terjadinya GPAB sudah seharusnya dilaksanakan secara maksimal. Tentu saja bila program tersebut berjalan secara optimal, maka penurunan prevalensi pun bukanlah merupakan hal yang mustahil. Sementara itu, kurangnya fungsi kontrol oleh pihak-pihak yang berwenang menimbulkan kendala pada upaya pelaksanaan program-program tersebut misalnya, di lingkungan pemadam kebakaran, proyek pembangunan, dan industri pertanian. (Hong et al.,2013).

Pemanfaatan potensi dari berbagai sektor diharapkan dapat mendukung upaya pencegahan GPAB, termasuk dalam melibatkan sumber daya alam. Sebagai negara yang dikenal kaya akan hutan hujan tropis, Indonesia memiliki sumber daya alam yang luar biasa dan sudah seharusnya menjadi ladang ilmu bagi para akademisi. Garcinia mangostana atau lebih sering dikenal dengan sebutan buah manggis, sangat mudah dijumpai di seluruh wilayah Indonesia. Biasanya buah ini lebih sering dijadikan sebagai panganan sehat dan kulitnya dimanfaatkan sebagai pewarna alami (Valadez et al.,2009).

Xanthone merupakan kandungan utama yang terdapat pada kulit Garcinia mangostana. Setelah melalui proses isolasi, dapat diidentifikasi beberapa jenis turunan xanthone yaitu α-mangostin, β-mangostin, γ-mangostin, dan gartanin.


(21)

Mangostin merupakan senyawa yang paling banyak dipelajari karena mempunyai banyak aktivitas farmakologis, selain memiliki efek antiinflamasi juga sebagai analgetik, antioksidan, antitumor, dan efek vasorelaksan. Saat ini pemakaian produk ekstrak buah-buahan dan sayur-sayuran semakin digemari untuk digunakan sebagai pencegahan berbagai kondisi gangguan kesehatan. Hal ini disebabkan karena produk organik lebih dapat ditoleransi oleh tubuh walaupun dalam konsentrasi yang tinggi (Reanmongkol & Wattanapiromsakul,2008).

Pada penelitian in vitro, γ-mangostin bekerja sebagai COX-inhibitor kompetitif. Aktivitas penurunan kuantitas lipopolisakarida yang menginduksi ekspresi gen COX-2 juga dapat dijumpai pada penelitian tersebut. Proses ini tentu sangat mempengaruhi peranan ekstrak Garcinia mangostana sebagai antiinflamasi (Reanmongkol & Wattanapiromsakul,2008). Hal yang serupa juga ditemukan dalam peranan α-mangostin sebagai antiinflamasi. Zat aktif ini mampu menurunkan aktivitas IL-1, mitogen-activated protein kinase (MEK), c-Jun N-Terminal Kinase (JNK), Extracellular signal-regulated kinase (ERK), signal transducer and activator of transcription 1 (STAT-1), dan activator protein 1 (AP-1) (Orozco et al.,2013).

Aktivitas antioksidan dari ekstrak kulit Garcinia Mangostana juga melibatkan kandungan polifenolik seperti epikatekin dan tannin. Kandungan ini memperlihatkan efek yang sensitif terhadap radikal bebas. Kinerja yang sama juga ditunjukkan oleh mangostin. Disimpulkan bahwa ekstrak berbahan pelarut air memiliki efek antioksidan lebih baik dibandingkan dengan ekstrak berpelarut etanol (Ngawirhunpat et al.,2010).

Mekanisme antioksidan spesifik juga ditunjukkan oleh α-mangostin. Kemampuannya untuk mencegah proses peroksidasi lipid yang dipengaruhi oleh ROS semakin menguatkan potensinya dalam mencegah disfungsi pada mitokondria sel. Beberapa jenis toksin peroksida seperti: FeSO4, asam quinolat,

dan asam 3-nitropropionat telah diujikan pada hewan coba dan diteliti bagaimana peranan antioksidan yang diberikan. Terbukti bahwa α-mangostin mampu


(22)

menetralkanradikal bebas tersebut dan menimbulkan efek proteksi secara luas (Valadez et al.,2009).

Pengembangan potensi xanthone dalam menghambat proses karsinogenesis mengalami banyak kemajuan. Kemampuannya untuk bisa menginhibisi target-target molekuler pada sel tumor termasuk kinase, COX, ribonukleotida reduktase, dan DNA polimerase, penghentian siklus sel, menekan laju proliferasi, menghambat metastasis, invasi, dan adesi, serta menginduksi proses apoptosis dan differensiasi menjadikannya istimewa dalam hal pemanfaatan sebagai antikanker. Turunan xanthoneyang memiliki aktivitas antikanker merupakan golongan tetraoksigen dengan dua unit C5 pada cincin A dan C (Shanet al.,2011).

Rattus norvegicus digunakan sebagai hewan coba karena memiliki struktur telinga yang mirip dengan manusia, sehingga dapat digunakan sebagai model penelitian. Selain itu jenis tikus ini juga mempunyai kesamaan >70% gen dan sekuensnya, maka studi mengenai ketulian genetik dapat dilakukan (Haryuna, 2013).

Efek proteksi ekstrak kulitGarcinia mangostana terhadap paparan bising sampai sekarang belum banyak diteliti. Pemeriksaan sel rambut luar koklea dengan menggunakan Scanning Electrone Microscope (SEM) diperkirakan dapat menilai pengaruh antar dua perlakuan tersebut secara kualitatif. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian ekstrak kulitGarcinia mangostana terhadap organ korti tikus putih yang terpapar bising dan diperiksa melalui SEM.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara pemberian ekstrak kulitGarcinia mangostanadengan paparan bising secara terus menerus pada upaya pencegahan kerusakan organ korti koklea?


(23)

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara pemberian ekstrak kulitGarcinia mangostanadengan paparan bising secara terus menerus sebagai proteksi dari kerusakan organ korti koklea.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Membuktikan ekstrak kulitGarcinia mangostana dapat mencegah kerusakan organ korti koklea.

2. Menilai perbedaan secara kualitatif kerusakan organ korti koklea akibat paparan bising tanpa diberi ekstrak kulitGarcinia mangostana dengan paparan bising yang diberi ekstrak kulitGarcinia mangostana.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Mendapatkan penjelasan mengenai perbedaan kerusakan organ korti koklea secara kualitatif akibat paparan bising tanpa diberi ekstrak kulitGarcinia mangostana dengan paparan bising yang diberi ekstrak kulitGarcinia mangostana.

2. Apabila berhasil dilakukan pada hewan coba, diharapkan ekstrak kulitGarcinia mangostana bisa menjadi salah satu topik yang dapat dijadikan bahan penelitian lanjutan.

3. Memberi informasi kepada pengampu kebijakan dan masyarakat untuk memanfaatkan ekstrak kulitGarcinia mangostana sebagai salah satu pilihan untuk meminimalisasi kerusakan sel rambut luar koklea pada kejadian GPAB.


(24)

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Anatomi Sistem Pendengaran

Telinga merupakan organ pendengaran yang menjadi salah satu indra khusus pada manusia. Memahami struktur telinga secara keseluruhan dapat membantu kita dalam menilai suatu keadaan abnormal, menegakkan diagnosis, serta penatalaksanaan yang tepat (Harkin & Kelleher, 2011). Secara umum telinga dapat dibagi menjadi 3 regio utama yaitu: telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Pada bagian terluar terdapat daun telinga (pinna) dan lubang telinga luar (external acoustic meatus). Struktur daun telinga menyerupai bentuk oval dan sisi lateralnya merupakan daerah cekung yang tidak beraturan dengan memiliki beberapa lekukan menonjol yang disebut helix. Tulang rawan adalah materi penyusun dominan dari daun telinga, selain otot, ligamen, dan jaringan fibrosa. Daerah yang memanjang hingga membran timpani disebut lubang telinga luar dengan karakteristik panjang sekitar 4cm dari tragus, berbentuk seperti huruf S, dilapisi oleh kulit, mempunyai kelenjar serumen, dan seperti tabung silindris. Daerah ini sebagian dibentuk oleh kartilago, sedangkan sisi yang lebih medial disusun oleh tulang. Dijumpai penyempitan pada bagian ujung saluran ini yang mana membentuk daerah miring atau disebut sebagai sulkus timpanikus. Di tempat tersebut menempel suatu membran yang dinamakan membran timpani telinga (Gray, 2000).

Regio tengah dari telinga atau lebih dikenal sebagai kavum timpani terdiri dari membran timpani, tuba eustachius serta tiga buah tulang pendengaran yaitu malleus, inkus, dan stapes yang masing-masing membentuk suatu persendian sinovial (Harkin & Kelleher, 2011). Suatu membran yang tipis dan semitransparan, berbentuk oval dengan bagian atas lebih luas daripada bagian bawah, posisi oblik terhadap kedudukan dasarnya dinamakan sebagai membran timpani. Sisi medial dari membran ini menjadi tempat perlengketan manubrium


(25)

malleus, adapun sisi lateralnya yang berbentuk cekung dikenal sebagai umbo. Tulang-tulang kecil penyusun kavum timpani merupakan kelompok tulang yang dapat membentuk gerakan berupa getaran yang dihantar dari membran timpani dengan bantuan otot-otot di kavum timpani. Posisi tulang pendengaran malleus, inkus, dan stapes terbentuk sedemikian rupa sehingga menyusun pola persendian yang khas. Sendi yang dibentuk oleh inkudomalleolar adalah sendi pelana yang diarthrosis, akan tetapi hubungan inkudostapedial dibentuk oleh sendi yang enarthrosis(Gray, 2000).

Keistimewaan dari telinga terdapat pada kedudukan fungsi gandanya, tidak hanya dapat digunakan sebagai fungsi pendengaran, telinga juga mengatur fungsi keseimbangan tubuh manusia. Organ-organ sensori tersebut berada di bagian telinga dalam, yang dibentuk oleh kanalis semisirkularis yang mampu mendeteksi pergerakan angular dan makula untuk pergerakan linear. Secara garis besar fungsi keseimbangan juga dipengaruhi oleh kerja otot, sendi, tendon, dan ligamen yang saling memberikan respon sinergis terhadap stimulus dari organ lain, misalnya mata(Harkin & Kelleher, 2011).

Gambar 2.1. Anatomi Telinga (Harkin & Kelleher, 2011)


(26)

Susunan koklea terdiri dari tulang berbentuk saluran melingkar yang simetris dan berisi cairan. Panjang keseluruhan saluran tersebut berkisar 3-4 cm dan koklea terletak di petrous pyramid pada tulang temporal. Secara keseluruhan koklea dikelilingi oleh tulang yang keras dan kapsul otik. Tulang tersebut terdiri atas susunan trilamellar, dengan modifikasi oleh tulang rawan dan kandungan mineral yang tinggi sehingga meningkatkan kekakuan pada tulang labirin. Hal ini sangat mempengaruhi penyaluran getaran suara dari tulang-tulang pendengaran agar tidak diserap oleh tulang temporal. Membran basilaris dan membran reissner membagi saluran koklea menjadi beberapa ruangan yaitu skala vestibuli, skala media, dan skala timpani. Perilimfe adalah cairan yang berada di dalam skala vestibuli dan timpani. Cairan ini terhubung dengan cairan serebrospinal melalui cochlear aqueduct dan dengan apeks koklea melalui helikotrema, sedangkan pada skala media diisi oleh cairan endolimfe yang sebagian besar komposisinya adalah kalium (Andersen, et al., 2012).

Tabel 2.1. Komposisi Cairan Koklea

KOMPONEN ENDOLIMFE SKALA

VESTIBULI

SKALA TIMPANI

Na (mM) 1,3 141 148

K (mM) 157 6 4,2

Ca (mM) 0,023 0,6 1,3

HCO3 (mM) 31 21 21

Cl (mM) 132 121 119

Protein (mg/dl) 38 242 178

pH 7,4 7,3 7,3


(27)

Membran basilaris terdiri atas susunan serat elastik yang menyerupai seperti trampolin, membran ini terletak diantara modiolus dan dinding lateral. Susunan kolagen, proteoglikan, dan fibronektin dijumpai pada matriksnya. Bagian basis membran tersebut sempit dan memiliki ketebalan sekitar 0,1mm, sedangkan apeksnya memiliki struktur yang lebih tebal yakni 0,5 mm. Terdapat ligamen spiralis yang menguatkan (anchor) posisi membran basilaris pada bagian lateral kapsul otik. Ligamen ini juga berfungsi untuk suplai dan drainase cairan perilimfe, hal tersebut dapat berlangsung karena ligamen spiralis mampu mengatur keseimbangan ion melalui gap junction dan pompa Na+/K+-ATPase (Andersen, et al., 2012).

Lapisan sel epitel pada skala media dan sel mesotelial pada skala vestibuli disebut sebagai membran reissner, membran ini membentuk sebuah sawar antara dua cairan yang berbeda komposisi ion penyusunnya. Membran reissener menjaga fungsi homestasis dan distribusi cairan. Integritas dari membran ini penting untuk pendengaran karena dapat menjaga potensial dari endokoklea (+80mV). Stria vaskularis terdiri dari tiga jenis sel yaitu: sel marginal, sel intermediate, dan sel basal. Ketiga jenis sel tersebut merupakan jaringan yang memiliki metabolisme tinggi berbentuk anyaman kapiler dan terletak diantara skala media dan membran reissner. Peranan penting dari stria vaskularis adalah fungsi pengaturan dari potensial endokoklea (Andersen et al., 2012).

Matriks ekstraseluler yang dapat menyebabkan pergerakan dari stereosilia saat getaran dihantarkan ke koklea disebut sebagai membran tektorial. Komposisinya terdiri dari kolagen tipe II dan tipe IX yang tidak bercabang dan kolagen tipe V yang bercabang. Matriks penyusunnya menyerupai gel disebabkan karena terdapat beberapa jenis glikoprotein, misalnya tektorin dan otogelin (Andersen et al., 2012).


(28)

Gambar 2.2. Anatomi Koklea (Despopoulos & Silbernagl, 2008)

Keistimewaan fungsi koklea sebagai organ pendengaran dipengaruhi karena adanya struktur organ korti yang terletak di membran basilaris koklea. Penyusun organ korti adalah sel-sel mekanoreseptor yang terdiri dari satu baris sel rambut dalam dan tiga sampai empat baris sel rambut luar. Terdapat sekitar 3.400 sel dan 12.000 sel masing-masing untuk sel rambut dalam dan sel rambut luar. Sel-sel rambut dikelilingi oleh beberapa sel penyokong yang memperkuat hubungan sel-sel rambut dengan membran basilaris. Sel merupakan sel-sel pillar yang mengandung susuran filamen tubular (tonofibril) sehingga membentuk saluran dari organ korti. Terdapat juga kumparan rambut-rambut halus pada daerah apikal dari reseptor sel sensori yang disebut sebagai stereosilia. Posisi stereosilia pada membran tektorial adalah berpasangan sehingga getaran dari membran basilar menyebabkan defleksi dari kumparan rambut. Gerakan tersebut tidak berjalan secara seragam untuk keseluruhan sel-sel rambut sepanjang koklea spiral, dikarenakan membran ini


(29)

semakin menyempit dan agak kaku pada bagian dasarnya akan tetapi pada daerah yang mendekati apeks saluran koklea, membran basillaris menjadi lebih lebar (Andersen et al., 2012).

Sel rambut dalam merupakan sel sensori aferen primer dalam proses pendengaran yang memiliki 50-70 stereosilia di daerah basal dan 100 di apeksnya. Inervasi sel rambut luar diambil alih oleh neuron di spinal ganglion, dimana maksimal terdapat 15 serabut saraf untuk tiap-tiap sel rambut dalam. Secara keseluruhan densitas inervasi aferen adalah 1.400 serabut saraf/mm. Masing-masing terminal saraf membentuk sinaps dengan satu sel rambut luar. Serabut terminal eferen hanya membentuk sinaps dengan dendrit aferen, sehingga hanya sedikit dari serabut terminal eferen yang mencapai sel rambut dalam (Andersen et al., 2012).

Pada sel rambut luar sangat sedikit dijumpai serabut saraf aferen atau serabut saraf basilaris. Pada bagian bawah sel rambut luar ditemukan serabut spiral luar yang berorientasi pada serabut saraf dari kelompokan antara sel deiter, tersusun atas neurokanalikuli yang memiliki ketebalan 0,1 µm. Beberapa serabut saraf eferen melalui kumparan sel ini. Jumlah serabut saraf spiral meningkat pada daerah apeks yaitu sebanyak 300. Basis sel rambut luar, terdapat ujung saraf aferen yang kecil. Hal tersebut memungkinkan untuk terjadi sinkronisasi antara serabut spiral luar dengan organ korti dalam merespon stimulus pendengaran (Andersen et al., 2012).

2.2 Fisiologi Pendengaran

Gelombang suara yang ada dilingkungan akan ditangkap dan dikumpulkan oleh telinga luar untuk seterusnya dihantarkan menuju telinga tengah melalui membran timpani. Getaran yang disebabkan oleh gelombang suara tadi akan menggerakkan membran timpani, selanjutnya diikuti oleh pergerakan tulang-tulang pendengaran. Muskulus stapedius yang menempel pada bagian posterior


(30)

stapes akan berkontraksi pada suara yang kuat dan secara efektif akan menurunkan frekuensinya saat gelombang ditransmisi ke telinga dalam, hal ini bertujuan untuk menjaga keutuhan organ-organ pendengaran. Pada manusia rentang pendengarannya adalah 20-20.000 Hz dan mencapai 10 oktaf (R.Baiduc et al,.2013).

Gambar 2.3. Transmisi Suara ke Koklea (Despopoulos & Silbernagl, 2008)

2.2.1 Mekanoelektrik Transduksi Koklea

Stimulus pendengaran akan dihantarkan dari stapes dan foramen ovale menuju telinga dalam atau koklea. Perpindahan stimulus ini berlangsung secara mekanik karena getaran yang dihantarkan oleh tulang-tulang pendengaran akan ditangkap oleh cairan yang berada di dalam koklea, sehingga menghasilkan gelombang disepanjang membran basilaris. Tonotopik adalah sifat mekanik dari membran basilaris yangmana bila mendapat rangsangan-rangsangan dengan berbagai frekuensi berbeda akan menghasilkan getaran gelombang maksimal pada


(31)

lokasi tertentu di membran basilaris. Frekuensi tertinggi gelombang bunyi dapat dideteksi di daerah yang sangat dekat dengan stapes. Kecepatan dan panjang gelombang yang masuk melalui oval window secara kontinu akan semakin mengalami penurunan ketika merambat di koklea, sedangkan amplitudo dari gelombang tersebut mencapai nilai maksimal (Despopoulos & Silbernagl, 2008).

Gambar 2.4. Stimulasi Sel Rambut (Despopoulos & Silbernagl, 2008)

Pergeseran antara membran basilaris dan membran tektorial yang disebabkan oleh getaran di saluran koklea akan mendorong pergerakan stereosilia di sel-sel rambut luar. Gerakan searah dari stereosilia yang pendek menuju stereosilia yang paling tinggi akan mengaktifkan tip link (Despopoulos & Silbernagl, 2008). Tip link merupakan jalinan filamen aktin yang terdapat di ujung stereosilia (Gillespie, 2006 ; Haryuna, 2013). Proses aktivasi tersebut akan merangsang kanal kation mekanosensitif di membran stereosilia untuk terbuka


(32)

sehingga terjadi peningkatan konsentrasi K+ (Despopoulos & Silbernagl, 2008). Hal ini akan memicu pergerakan ion K+ dan Ca2+ menuju membran dan sel-sel rambut luar akan memendek sehingga timbul proses depolarisasi. Sel rambut dalam terhubung dengan saraf aferen dan saat proses depolarisasi berlangsung, glutamat akan dilepaskan dan sinyal auditorik akan ditransmisikan menuju otak (R.Baiduc et al,.2013).

Terbukanya kanal K+tension-dependent (KCNQ4) di perilimfe, maka proses repolarisasi pada membran berlangsung. Aliran ion K+ yang keluar akan ditangkap oleh K-Cl kotransporter (KCC4) di sel penyokong dan selanjutnya di resirkulasi melalui gap junction yang terdapat di stria vaskularis. Gerakan defleksi dari stereosilia yang mendekati modiolus, ekstensi dari sel rambut luar, serta penutupan dari kanal transduksi mekanoelektrik menandakan terjadinya hiperpolarisasi di koklea (Despopoulos & Silbernagl, 2008).

2.3 Gangguan Pendengaran Akibat Bising (GPAB)

2.3.1 Definisi

Bising adalah suatu bunyi yang tidak dikehendaki, bersifat mengganggu, serta secara fisik berupa susunan bunyi yang kompleks dan tidak beraturan (Seidman, 2010). Klasifikasi bising menurut Buchari (2007) dapat dibedakan menurut sifat dan spektrum frekuensi bunyi, yakni:

1. Bising Kontinu yang memiliki spektrum frekuensi yang lebar. Karakteristiknya terbatas pada intensitas 5dB untuk periode 0,5 detik berturut-turut.

2. Bising Kontinu yang memiliki spektrum frekuensi yang sempit. Bersifat tetap pada frekuensi tertentu seperti 500, 1000, dan 4000Hz.

3. Bising Intermitten yang digambarkan sebagai bising dengan periode tenang. Bising jenis ini tidak secara terus menerus terjadi, terdapat fase tenang diantaranya.


(33)

4. Bising Impulsif yang karakteristiknya berlangsung sangat cepat, bersifat mengejutkan dengan intensitas bunyi lebih dari 40 dB.

5. Bising Impulsif Berulang memiliki mekanisme yang sama dengan bising impulsif, akan tetapi jenis ini berlangsung secara berulang-ulang.

Gangguan pendengaran akibat bising adalah bentuk menurunnya fungsi pendengaran sensorineural, disebabkan oleh paparan bising yang merusak sel rambut koklea. Paparan bising berulang dan sering tidak disadari akan berakumulasi sehingga menambah risiko terjadinya GPAB (Boger et al,.2009). Jumlah kejadian GPAB semakin meningkat seiring dengan fenomena krisis ekonomi dan penurunan kualitas kehidupan manusia (Li et al,.2011). Munculnya efek perubahan struktur organ pendengaran yang diakibatkan oleh kasus ini, menimbulkan banyak spekulasi berbeda dan hipotesis yang berkembang, salah satunya adalah teori stres oksidatif (Fetoni et al,. 2013).

Banyak literatur yang mengatakan bahwa durasi dari pajanan bising sangat berhubungan dengan onset dari GPAB. Merujuk kepada WHO (World Health Organization), masalah-masalah kesehatan yang dapat disebabkan oleh pajanan bising berulang dalam durasi yang lama adalah stres oksidatif pada organ pendengaran, peningkatan tekanan darah, denyut jantung dan kontraksi otot, peningkatan produksi adrenalin, iritabilitas, stres, insomnia, serta kecemasan. Fenomena tersebut berdasarkan studi epidemiologi sering ditemukan pada pekerja-pekerja yang memiliki jam kerja yang lama dengan tingkat kebisingan lingkungan kerja yang tinggi seperti pabrik besi, pabrik tekstil, pabrik bahan kimia, transportasi umum, dan industri yang memiliki tingkat bising yang tinggi (Boger et al,.2009).

GPAB merupakan penurunan fungsi pendengaran yang bersifat progresif, biasanya dimulai dari frekuensi 3, 4, dan 6 kHz dan berlanjut hingga 0,25 kHz. Peristiwa ini bisa mencapai rentang plateu kira-kira selama 10-15 tahun (Metidieri et al,.2013). Sebagai klinisi sangat penting untuk kita membedakan kejadian GPAB dengan kejadian patologi telinga lainnya, hal yang patut diingat adalah


(34)

efek dari bising yaitu menyebabkan trauma akustik, perubahan ambang batas pendengaran secara temporer, serta menurunnya fungsi pendengaran (Maia, 2006 ; Metidieri et al,.2013).

Kunci utama untuk menurunkan kejadian GPAB adalah mencegah munculnya kerusakan yang ditimbulkan oleh bising yang lama dan berulang. Proses evaluasi yang dilakukan secara berkala mulai dari perekrutan pekerja dan dalam masa bekerjapun harus dilakukan, upaya ini bertujuan untuk memonitoring bila muncul tanda-tanda kecendrungan GPAB di tempat kerja. Analisa harus dilakukan secara hati-hati agar pekerja yang terjaring evaluasi GPAB dapat di rehabilitasi dengan tepat. Aksi yang tepat sasaran untuk mengontrol jumlah bising di lingkungan merupakan langkah preventif yang sangat disarankan untuk dilakukan oleh pemegang kebijakan di tempat-tempat yang rawan dengan paparan bising berfrekuensi tinggi (Metidieri et al,.2013).

Tabel 2.2. Bising NR (Noise Reduction)-15

Bising (dB) Pajanan Maksimum/Hari

85 8 jam

86 7 jam

87 6 jam

88 5 jam

89 4 jam 30 menit

90 4 jam

91 3 jam 30 menit

92 3 jam


(35)

94 2 jam 15 menit

95 2 jam

96 1 jam 45 menit

98 1 jam 15 menit

100 1 jam

102 45 menit

104 35 menit

106 30 menit

108 20 menit

110 15 menit

112 10 menit

114 8 menit

115 7 menit

Sumber: (Metidieri et al,. 2013)

Menurut National Institute of Safety and Health (NIOSH), untuk pencegahan GPAB dimulai dari membatasi intensitas waktu paparan terhadap tingkat bising yang tinggi. Pada tingkatan bising yang mencapai intensitas 85 dB, waktu pajanan yang diperbolehkan maksimal adalah 8 jam. Penurunan setengah durasi waktu pajanan sebanding dengan peningkatan tiap 3dB intensitas bising. Faktor-faktor lain juga diyakini dapat memperburuk kondisi dan keparahan GPAB yaitu: terpapar bahan kimia berbahaya, intoksikasi obat-obatan, merokok, penyakit kardiovaskuler, gangguan ginjal, serta gangguan imunitas tubuh. Faktor genetik juga berperan penting dalam munculnya GPAB, tidak semua orang yang


(36)

terpapar intensitas bunyi yang tinggi menderita penyakit ini, beberapa peneliti meyakini bahwa terdapat beberapa varian genetik yang terlibat (Philips et.al., 2010).

Cedera pada telinga dalam yang disebabkan karena trauma bising dapat menyebabkan pergeseran ambang batas pendengaran yaitu secara sementara atau temporary treshold shift (TTS) dan permanent treshold shift (PTS). Pada TTS kondisi GPAB dapat reversibel dalam waktu 24 – 48 jam. Akan tetapi TTS yang dialami oleh anak usia muda akan mempercepat resiko munculnya ketulian. Kehilangan pendengaran ringan (15 – 20 dB) pada penderita GPAB jenis PTS tidak terlalu memiliki dampak yang signifikan terhadap aktivitas harian, akantetapi secara umum bisa mengganggu bila melakukan percakapan di lingkungan yang ramai. Pada tingkatan yang lebih parah, gangguan yang terjadi bisa melibatkan kelainan persepsi bicara dan ketulian (Oishi & Schacht, 2011). 2.3.2 Stres Intraseluler

Stres lingkungan yang dipicu oleh intensitas bising yang tinggi akan menimbulkan respon tubuh untuk mempertahankan diri atau lebih sering disebut sebagai heat shock response (HSR), salah satunya melalui sintesis protein asing heat shock protein (HSP). Protein ini merupakan jenis molekul chaperon yang pada keadaan fisiologis berfungsi untuk melindungi protein dari proses denaturasi akibat stres, sintesis dan transport protein (Gong et al., 2012). Terdapat beberapa jenis HSP yang telah diidentifikasi, yakni: HSP 60, HSP 70, dan HSP 90, yangmana secara keseluruhan memiliki peranan penting dalam aktivasi makrofag dan limfosit (Tsan & Gao, 2009). HSP 70 merupakan protein chaperon yang berperan dominan dalam menjaga fungsi kontrol sel. Bila terdapat stimulasi akustik yang berlebihan, maka koklea akan menginduksi pembentukan HSP untuk melindungi koklea dari kerusakan. Salah satu molekul yang membantu dalam hal pelepasan HSP adalah geranylacetone (Konings, 2009).

Proses transkripsi gen HSP melibatkan aktivasi heat shock factor 1(HSF-1). Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi mekanisme pengaktifan HSF-1


(37)

yaitu kesalahan dalam pelipatan protein sel, kelainan homeostasi sintesis protein, dan perubahan potensial redoks intraselular akibat stres. Akantetapi proses ini dapat diinhibisi bila HSF-1 telah berikatan dengan HSP-70 dan HSP-90 dan mencapai kadar tertentu di dalam darah. Pada keadaan patologis dimana terjadi peningkatan pada ekspresi HSP-70 dan HSP-90 akan mengakibatkan pemberhentian ekspresi gen heat shock. Keterlibatan jalur fosforilasi juga mampu menghambat aktivasi HSF-1 melalui mekanisme umpan balik via jalur protein kinase (Haryuna, 2013).

Terbentuknya radikal bebas reactive oxygen species (ROS) akibat paparan bising intensitas tinggi merupakan akibat dari stres metabolik dan mekanik dari telinga yang memicu terjadinya kerusakan sel. Pada umumnya, pembentukan ROS akan diikuti dengan aktivasi sinyal apoptosis dan kematian sel (Oishi & Schacht, 2011). ROS yang telah berinteraksi dengan DNA, protein, dan lemak akan merangsang respon HSF dan pelepasan HSP-70. Protein yang telah teroksidasi oleh ROS akan berkompetisi dengan HSF-1 untuk mengikat protein chaperon (Gong et al,. 2012). ROS mampu bertahan 7-10 hari setelah pajanan bising yang lama dan menyebar dari daerah basal organ korti, sehingga menimbulkan kerusakan yang luas. Salah satu kemampuan radikal bebas yang merugikan tubuh adalah kemampuan membuat vasokonstriksi. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh kandungan peroksidase lemak yang bersifat vasoaktif, misalnya isoprostan. Apabila terjadi pada koklea, tentu saja akan mengurangi aliran darah dan mengganggu proses perfusi jaringan (Oishi & Schacht, 2011).

Kerusakan juga dialami khususnya oleh sel rambut luar diakibatkan terjadinya peningkatan kadar Ca2+ secara tiba-tiba setelah mendapatkan rangsangan akustik secara berlebihan. Berlebihnya kadar Ca2+ mampu merangsang apoptosis dan kematian sel yang independen terhadap pembentukan ROS. Calcineurin merupakan golongan Ca2+ atau calmodulin dependen protein fosfatase yang aktif setelah terpapar bising dan juga bisa mengaktifkan mitochondria-mediated cell death pathway via Bcl-2 associated death promoter (BAD) di sel rambut luar. Faktor lain yang menyebabkan kerusakan sel berasal


(38)

dari segi neurotransmitter yang terlibat. Produksi glutamat di sel rambut dalam yang berlebihan dapat memicu timbulnya eksotoksisitas yang merusak sinaps di serabut saraf auditori (ganglion spinal). Adanya perubahan pada sensitivitas akustik setelah pajanan bising intensitas tinggi dapat menurunkan ekspresi dari reseptor glutamat (AMPA) (Oishi & Schacht, 2011).

Gambar 2.5. Stres Oksidatif (Silbernagl & Lang, 2010)

2.3.3 Pengaruh Bising terhadap Organ Pendengaran

Kerusakan yang disebabkan karena paparan bising intensitas tinggi (>130dB) tidak hanya dijumpai pada sel rambut, melainkan juga terjadi pada membran reissner, memban tektorial dan sel-sel penyokong. Penumpukan radikal bebas dan neurotransmitter di cairan perilimfe dan endolimfe mengakibatkan degenarasi sel saraf auditori dan kerusakan jaringan, khususnya telinga dalam. Stereosilia merupakan struktur jaringan yang sangat rentan mengalami kerusakan


(39)

secara mekanik bila terpapar stres yang kontinu. Kelelahan metabolik dapat timbul akibat kerja mitokondria untuk menghasilkan energi secara berlebihan dan meningkatnya produksi vakuola retikulum endoplasma akibat rendahnya sintesis protein. Perubahan struktur pada sel rambut luar terjadi ketika diberi paparan bising 130 dB selama 1jam. Hal serupa juga ditemukan pada serabut aferen yang mengalami pembengkakan akibat hipoksia dan peningkatan jumlah granul lisosom. Paparan yang berat akan merangsang sinyal apoptosis sehingga sel akan degenerasi secara keseluruhan. Pada keadaan fisiologis, sel stereosilia secara utuh tersusun di membran tektorial. Hubungan antar sel membentuk persilangan pada ujungnya dan mengokohkan posisi sel rambut luar . Trauma akustik yang diterima oleh sel ini mengakibatkan kerusakan struktur, sehingga posisinya bisa terlepas dari membran tektorial. Filamen aktin yang terdapat di ujung stereosilia mengalami denaturasi dan menjadi kaku (Harrison, 2012).

Pengamatan lebih baik dilakukan pada daerah 10-30mm dari foramen ovale atau tingkap bundar. Hal ini disebabkan karena pada daerah tersebut frekuensi suara 3-6kHz diterima dan gambaran kerusakan dapat dengan mudah dijumpai setelah terpapar bising (Maltby, 2005).

Gambar 2.6 Sel rambut luar normal (a) dan sel rambut luar setelah diberi paparan bising (Harrison, 2012)


(40)

Salah satu mekanisme yang terlibat dalam proses perubahan struktur organ pendengaran akibat trauma akustik adalah mekanisme hidrodinamika. Sebaran gelombang bunyi dari pajanan bising akan dijumpai di membran basilaris secara merata dan radial, sehingga terjadi regangan sepanjang tepi ligamentum spiralis yang memicu timbulnya fleksi pada membran tersebut. Ketiadaan struktur yang menompang daerah tengah membran spiralis menghasilkan getaran yang lebih kuat dibandingkan dengan daerah lain. Padahal pada daerah yang sama banyak ditemukan bagian basal sel rambut, sehingga kerusakan struktur setelah mendapat pajanan bising intensitas tinggi tidak dapat dielakkan (Haryuna, 2013).

2.4 Garcinia mangostana

Garcinia mangostana atau yang lebih dikenal dengan sebutan manggis adalah salah satu jenis buah-buahan yang banyak tumbuh di wilayah Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Sri Lanka, Filipina, dan Thailand. Buah ini termasuk jenis tumbuh-tumbuhan tropis yang kaya akan nutrisi dan rasa. Manfaat yang dimilikinya tidak terbatas pada daging buahnya saja, akantetapi sejak zaman dahulu pemanfaat kulit Garcinia mangostana telah banyak dilakukan, misalnya untuk pengobatan tradisional (Xu et al.,2014).

Menurut Tjitrosoepomo (1994), dalam taksonomi Garcinia mangostana diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Guttiferanales


(41)

Genus : Garcinia

Spesies : Garcinia mangostana Linn.

Gambar 2.7.Garcinia mangostana (Shibata et al,. 2011)

2.4.1 Sifat Kimia, Fisika, dan Zat Aktif

Saat ini penelitian mengenai potensi dari ekstrak kulit Garcinia mangostana sangat berkembang pesat. Beberapa studi berhasil membuktikan bahwa ekstrak tersebut memiliki potensi sebagai antimikroba, antiproliferatif, antioksidan dan antiinflamasi. Kesimpulan tersebut didasari atas hasil studi fitokemikal yang menemukan beberapa zat aktif seperti xanthone, flavonoid, dan vitamin c (Ngawhirunpat et al,. 2010).

Manfaat xanthone juga dibuktikan dalam pengembangan potensinya sebagai antidiabetes. Zat aktif yang terkandung dalam kulit Garcinia mangostana ini dapat menurunkan kadar glukosa darah pada tikus percobaan yang dikondisikan untuk mengidap penyakit diabetes mellitus tipe II. Hal ini bisa terjadi karena xanthone dapat menetralkan radikal bebas sehingga bisa mencegah kerusakan pada sel β pankreas akibat proses oksidasi (Pasaribu et al,.2012).


(42)

2.4.2 Manfaat xanthone

Pada ekstrak kulit Garcinia mangostana terdapat lebih dari 68 jenis xanthone, akantetapi α-, β-, dan γ-mangostin, garcinon E, 8-deoxygartanin dan gartanin adalah konstituen yang banyak dikembangkan (Xu, 2014). Diantara semua golongan xanthone, α-mangostin merupakan zat aktif yang kadarnya paling banyak ditemukan pada ekstrak non-polar. Karakteristik dari α-mangostin adalah tidak larut dalam air dan memiliki perbedaan tingkat kelarutan pada pelarut nonpolar (Ngawhirunpat et a,. 2010). Kemampuan antioksidan menjadi potensi utama dari zat aktif α-mangostin. Diketahui bahwa α-mangostin dapat menurunkan kadar oksidasi LDL yang dipicu oleh radikal bebas, menurunkan konsumsi tocopherol sel, mampu menghambat oksidasi karena anion peroksinitrit (Valadez et al.. 2009). Upaya menghambat aktivitas peroksidasi lemak adalah mekanisme utama sebagai antioksidan, hal ini dapat terjadi karena secara tidak langsung ROS memulai lipid peroksidasi sebagai prekursor untuk molekul oksigen bebas dan OH (Ngawhirunpat et al ,. 2010).


(43)

Kandungan α-mangostin (C24H26O6) yang diekstrak dari kulit Garcinia

mangostana juga menunjukkan peranannya dalam mempengaruhi siklus sel dan proses apoptosis pada sel kanker. Jaras yang mengatur proses apoptosis dibedakan menjadi dua jalur yakni jalur ekstrinsik yang dieksekusi oleh caspase-8 dan jalur intrinsik atau jalur mitokondria dengan caspase-9 sebagai eksekutornya. Pada retikulum endoplasma terdapat caspase-12 yang bisa mengubah arah sinyal dari jalur pro-survival ke pro-apoptosis, sedangkan caspase-3 adalah eksekutor terakhir dalam rangkaian proses apoptosis. Pemberian α-mangostin setelah 24 jam terbukti meningkatkan kadar caspase-3, caspase-8, caspase-9, dan sitokrom c. Selanjutnya melalui jalur mitokondria atau instrinsik, sitokrom c akan berikatan dengan apoptosis protease activating factor-1 (Apaf-1) dan caspase-9 akan teraktifkan (Shibata et al,. 2011).

Adanya hubungan antara jalur inflamasi dengan karsinogenesis meningkatkan rasa keingintahuan peneliti dalam mengetahui lebih lanjut efek dari α-mangostin. Beberapa tahapan penelitian mendapatkan bahwa zat aktif α -mangostin dapat menurunkan ekspresi gen LPS-induced inflammatory dari TNF, IL-1b, IL-6, IL-8, monosit kemoattraktan protein-1, Toll-like receptor-2 (TLR-2), secara keseluruhan efek hambatan tersebut dipengaruhi oleh keterlibatan mitogen-activated kinase (MAPK), c-jun NH2-terminal kinase (JNK), extracellular signal-related kinase (ERK), p38, activator protein (AP)-1, dan NF-κB (Shan et al.,2011).

Efek proteksi yang dijumpai pada ekstrak kulit Garcinia mangostana juga dikonfirmasi oleh Sattayasai (2013) yang melakukan percobaan efek proteksi ekstrak kulit Garcinia mangostana terhadap kultur sel yang diberi toksin β -amiloid peptida. Kadar ROS dan aktivitas dari caspase-3 dapat diturunkan oleh ekstrak tersebut. Hasil yang konsisten dengan percobaan sebelumnya juga ditemukan pada percobaan yang menggunakan toksin H2O2. Zat kimia yang dapat

memicu proses apoptosis tersebut secara signifikan dapat dicegah oleh ekstrak Garcinia mangostana. Data tersebut berhasil menunjukkan potensi efek proteksi yang kuat dari ekstrak kulit Garcinia mangostana.


(44)

2.4.4 Dosis Terapi xanthone

Pemberian α-mangostin selama 6 hari dengan dosis 200mg/kg menunjukkan efek proteksi terhadap enzim lipid peroksidase dan berperan sebagai antioksidan terhadap kerusakan yang mempengaruhi infark miokardiak pada tikus (Ibrahim et al., 2014). Ekstrak Garcinia mangostana yang diberikan pada tikus mencapai 84 hari dengan dosis 50 sampai 500 mg/kg tidak menampakkan efek toksisitas yang signifikan. Hasil tersebut juga dikuatkan melalui percobaan dengan memberikan ekstrak secara intragastrik dengan dosis 2 – 5 gr/kg berat badan. Penelitian yang dipublikasikan ini menyatakan bahwa pada dosis tersebut tidak dijumpai toksisitas, mortalitas, bahkan efek samping pada laju pertumbuhan tikus (Sattayasaiet al., 2013).

Penelitian pada tikus selama 14 hari, dimana tikus diberikan α-mangostin dengan dosis 20 mg/kg/hari melalui bantuan alat pompa osmotik mini memiliki efek klinis yaitu peningkatan efek apoptosis yang signifikan pada tikus yang dikondisikan menderita tumor payudara. Hal ini berkaitan dengan peningkatan

ekspresi caspase-3 dan caspase-9 dan penekanan aktivitas siklus sel yang

dimediasi oleh mitokondria sehingga fase G1 dan fase S dari siklus sel dapat diberhentikan (Shibataet al., 2011).

Penelitian mengenai ekstrak Garcinia mangostana menunjukkan bahwa

toksisitas Garcinia mangostana tidak signifikan. Pada tikus yang diberikan ekstrak secara oral dengan dosis 1-3 gr/kg berat badan dan diobservasi setiap jam untuk 24 jam pertama dan setiap hari untuk 14 hari berikutnya, tidak memberi perubahan pada aktivitas dan mortalitas. Pemeriksaan darah dan serum juga dilakukan untuk dilihat secara biokimia dan analisis enzim. Tidak ada efek yang berubah pada penampilan klinis, pertumbuhan, konsumsi makanan dan air, berat


(45)

organ, pemeriksaan histopatologi, serta pemeriksaan hematologi bila sampel dibandingkan dengan kontrol (Priya et al., 2010).

2.5 Scanning Electron Microscope (SEM)

SEM adalah salah satu mikroskop elektron yang memiliki resolusi lebih tinggi bila dibandingkan dengan mikroskop optik. SEM bekerja dengan cara menembakkan elektron pada permukaan obyek dan menangkap elektron sekunder yang dipantulkan kembali dari segala arah, serta menentukan derajat pantulan yang berintensitas tinggi untuk menangkap sinyal kemiringan obyek. Gambaran yang ditangkap oleh detektor pada SEM dapat diolah melalui suatu komputer khusus. Bayangan yang jelas digambarkan oleh SEM minimal berukuran 0,5 nm namun, bila ukurannya lebih kecil maka bayangan yang tampak akan tidak jelas. Permukaan obyek yang diamati haruslah mampu untuk memantulkan elektron sekunder ke detektor SEM, biasanya kekhasan ini dimiliki oleh logam. Pada obyek yang bukan termasuk jenis logam, maka sebelum diamati terlebih dahulu sediaan dilapisi oleh logam pelapis misalnya emas. (Abdullah & Khairurrijal, 2009).

Sinyal elektron yang dipantulkan oleh obyek dinamakan elektron sekunder yang akan diterima oleh scintillator. Sinyal ini akan dikonversikan menjadi sinyal

foton (cahaya tampak) kemudian dihantarkan menuju Photon Multiplier Tube

(PMT) yang akan mengonversikan kembali sinyal tersebut menjadi elektron. Lingkungan pemeriksaan SEM haruslah merupakan suatu lingkungan yang terisolasi atau vakum, hal tersebut bertujuan agar elektron tidak menyebar ke udara. (Zhou et al., 2007).


(46)

Gambar 2.9. Scanning Microscope Electron (Nano, 2014)

Pengamatan yang bertujuan untuk melihat struktur mikro-morfologi membutuhkan alat yang dapat menghasilkan gambar dengan resolusi yang sangat tinggi. Bila dibandingkan dengan mikroskop optik, kelebihan yang mendasar dari SEM adalah kemampuan pembesaran gambarnya. Penggunaan SEM dapat menggunakan pembesaran mencapai 2x105 kali. Hal ini dipengaruhi oleh panjang

gelombang de Broglie dari elektron. Diketahui bahwa elektron mempunyai

panjang gelombang yang lebih pendek dari gelombang optik, sehingga resolusi gambar akan semakin tinggi apabila kita menggunakan panjang gelombang yang pendek (Nasution, W., et al., 2013).


(47)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan tinjauan pustaka penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

3.2 Variabel dan Definisi Operasional

3.2.1 Variabel

a. Variabel Dependen

 Gambaran SEMorgan korti koklea b. Variabel Independen

 Bising selama 8 jam

 Ekstrak kulitGarcinia mangostana dosis 21,6 mg per hari

Variabel Independen Variabel Dependen

Bising selama 8 jam

o 25-50 dB o 55-80 dB o 85-110 dB

Ekstrak kulitGarcinia

mangostana dosis 21,6

Gambaran SEM


(48)

c. Variabel Terkendali

 Tikus galur wistar

 Jenis kelamin tikus

 Kandang tikus terpisah

 Berat badan tikus

 Makanan dan minuman tikus

 Cara pemberian perlakuan pajanan bising

 Cara pemberian Garcinia mangostana

 Prosedur penelitian

 Cara pemeliharaan hewan coba 3.2.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional N

o

Variabel Definisi Operasional

Alat Ukur

Hasil Pengukuran Skala

1 Skrining Fungsi Pendeng aran Menilai kondisi fungsi pendengaran dari sampel dengan cara mendeteksi sinyal bunyi dari sel rambut luar.

OAE Pass : bila SNR ≥ 6 pada 3 frekuensi yaitu: 2000 Hz, 3000 Hz, dan 4000 Hz.

Refer : SNR < 6 pada 3 frekuensi tersebut

Numerik

2 Paparan Bising Bising adalah bunyi yang tidak Sound Level

25-50dB, 55-80 dB, dan 85-110 dB


(49)

diinginkan bersifat tidak teratur dan memiliki berbagai frekuensi. Pemberian pajanan bising dengan intensitas tertentu selama 8 jam sehari dan dilakukan sampai 8 hari lamanya.

Meter

3 Organ Korti Koklea Mengamati gambaran kondisi sel rambut luar koklea pada sampel yang sudah diberi perlakuan.

SEM •Normal= tidak ada kerusakan struktur. •Kerusakan<50% =

struktur masih bisa dikenali, patahan pada sel rambut luar, membran basal intak.

•Kerusakan >50% =

struktur sulit dibedakan, sel rambut rusak, membran basal


(50)

rusak.

3.3 Hipotesis

Adanya pengaruh pemberian ekstrak kulitGarcinia mangostanasebagai faktor proteksi terhadap penurunan derajat kerusakan organ korti koklea Rattus norvegicus yang diberi paparan bising.

BAB 4


(51)

4.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan studi eksperimental murni in vivo yang dikerjakan di laboratorium dengan disain mengikuti rancangan penelitian post test only group laboratory experimental design. Terdapat 6 (lima) kelompok perlakuan dan 24 ekor tikus jenis Rattus norvegicus, yakni:

a. Kelompok I (P0) = terdiri dari 4 ekor tikus jantan dewasa yang diberikan Aquadest selama 8 hari, kemudian 8 hari berikutnya diberi Aquadest dan paparan bising sebesar 25-50 dB

b. Kelompok II (P1) = terdiri dari 4 ekor tikus jantan dewasa yang diberikan Aquadest selama 8 hari, kemudian 8 hari berikutnya diberi Aquadest dan paparan bising sebesar 55-80 dB

c. Kelompok III (P2) = terdiri dari 4 ekor tikus jantan dewasa yang diberikan Aquadest selama 8 hari, kemudian 8 hari berikutnya diberi Aquadest dan paparan bising sebesar 85-110 dB

d. Kelompok IV (P3) = terdiri dari 4 ekor tikus jantan dewasa yang diberikan ekstrak kulit Garcinia mangostana selama 8 hari, kemudian 8 hari berikutnya diberi paparan bising sebesar 25-50dB bersamaan pemberian ekstrak kulit Garcinia mangostana

e. Kelompok IV (P4) = terdiri dari 4 ekor tikus jantan dewasa yang diberikan ekstrak kulit Garcinia mangostana selama 8 hari, kemudian 8 hari berikutnya diberi paparan bising sebesar 55-80dB bersamaan pemberian ekstrak kulit Garcinia mangostana

f. Kelompok V (P5) = terdiri dari 4 ekor tikus jantan dewasa yang diberikan ekstrak kulit Garcinia mangostana selama 8 hari, kemudian 8 hari berikutnya diberi paparan bising sebesar 85-110dB bersamaan pemberian ekstrak kulit Garcinia mangostana


(52)

Penelitian dilakukan di laboratorium yang memiliki peralatan lengkap dan fasilitas pemeliharaan hewan coba yaitu di laboratorium FMIPA Biologi Universitas Sumatera Utara dan pemeriksaan sampel dilakukan di laboratorium FMIPA Biologi Universitas Negeri Padang dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Penelitian direncanakan mulai Juli 2014 s/d November 2014.

4.3 Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah tikus jenis Rattus norvegicus galur wistar. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dan ada kontrol pembanding serta bersifat double blind.

4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

4.4.1 Kriteria Inklusi: a. Galur wistar

b. Berat badan 150-250 gram c. Jenis kelamin jantan

d. Pass pada hasil skrining OAE e. Umur 2-3 bulan.

4.4.2 Kriteria eksklusi a. Hewan berpenyakit.

b. Hewan memiliki kelainan bawaan.

c. Hewan berperilaku agresif dan sering menyerang anggota kelompok lain.


(53)

Pengambilan sampel dilakukan secara random sederhana dan jumlahnya dihitung dengan menggunakan rumus Ferderer yaitu (k-1)(n-1) ≥ 15, dengan k=jumlah perlakuan, n=jumlah sampel tiap perlakuan.

(k-1)(n-1) ≥ 15 (6-1)(n-1) ≥ 15 5n – 5 ≥ 15

N ≥ 4(minimal)

Jadi jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 24 ekor tikus.

4.6 Alat dan Bahan Penelitian

4.6.1 Alat

a. Kotak perlakuan sampel yang terbuat dari gabus dilapisi busa serta triplek polywood yang kedap suara. Pada atap kotak ditempeli speaker yang mengarah ke bawah. Permukaan kotak dilubangi sebagai tempat ventilasi dan mengukur intensitas bising. Pengukuran intensitas akan dilakukan di dua tempat yang berbeda dan perbedaan intensitas tidak boleh melebihi 1dB.

b. Sound level meter Luxtron S1-4001 buatan Taiwan

c. Multi player 3 yang berisi rekaman bising dengan frekuensi 1 – 110 kHZ d. Amplifier

e. Timer

f. Timbangan digital g. Jarum oral (gavage) h. Pisau bedah

i. Syringe j. Bak bedah


(54)

l. Cawan petri m. Mikrotom n. Object glass o. Cover glass p. SEM

q. Automated OAE Grason-Stadler GSI 70 buatan USA

4.6.2 Bahan

- Ekstrak kulit Garcinia mangostana yang berupa serbuk, diberikan dengan dosis 21,6 mg perhari perekor tikus.

4.6.3 Hewan Coba yang Dikenai Perlakuan

Dilakukan pengawasan terhadap sampel yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Hal-hal yang diawasi yaitu: prilaku makan dan minum, kondisi mental, tanda klinis, kondisi lingkungan, persediaan makanan, efek samping setelah pemberian perlakuan.


(55)

4.7.1 Tahap Persiapan

Memastikan bahwa penelitian telah mendapat persetujuan oleh komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

4.7.2 Tahap Pemeriksaan OAE

Dilakukan pemeriksaan OAE pada sampel sebagai proses skrining untuk memastikan kondisi pendengarannya berada dalam keadaan baik atau “pass”.

4.7.3 Tahap Pembuatan Larutan Ekstrak Kulit Garcinia mangostana

Ekstrak Garcinia mangostana yang berbentuk bubuk terlebih dahulu ditentukan jumlah dosisnya dengan menggunakan tabel konversi (Laurence & Bacharach, 1964) dosis berdasarkan luas permukaan tubuh. Diketahui bahwa dosis ekstrak harian untuk manusia yaitu 1200 mg, jadi bila dikalikan dengan faktor konversi untuk tikus galur wistar yakni 0,018 diperoleh dosis 21,6 mg per ekor per hari. Setelah itu, ekstrak dilarutkan dalam 0,5 ml aquadest untuk mempermudah pemberian ekstrak melalui gavage atau jarum oral. Pemberian ekstrak pada sampel dilakukan pada sore hari.

Tabel 4.1. Perbandingan luas permukaan tubuh hewan percobaan untuk konversi dosis 20g mencit 200g tikus 400g marmot 1,5Kg kelinci 2Kg kucing 4Kg kera 12Kg anjing 70Kg manusia

20g mencit 1,0 7,0 12,29 27,8 29,7 64,1 124,2 387,9 200g tikus 0,14 1,0 1,74 3,3 4,2 9,2 17,8 56,0

400g


(56)

1,5Kg

kelinci 0,04 0,25 0,44 1,0 1,06 2,4 4,5 14,2 2,0Kg

kucing 0,03 0,23 0,42 0,92 1,0 2,2 4,1 13,0 4,0Kg kera 0,01

6 0,11 0,19 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1 12,0Kg

anjing

0,00

8 0,06 0,10 0,022 0,24 0,52 1,0 3,1 70Kg

manusia

0,00 26

0,01

8 0,031 0,07

0,01

3 0,16 0,32 1,0 Sumber: (Laurence & Bacharach, 1964)

4.7.4 Tahap Perlakuan pada tikus

2 minggu setelah proses adaptasi di lingkungan laboratorium, tikus putih dapat diberi perlakuan sesuai dengan kelompok yang direncanakan.

4.7.5 Tahap Pengambilan Jaringan Koklea Tikus

Sebelum dilakukan pembedahan, tikus diberikan inhalasi eter. Selanjutnya dilakukan nekropsi jaringan tulang temporal. Setelah sampel jaringan diambil, maka segera dilakukan fiksasi dengan larutan buffer formalin 10%.

4.7.6 Tahap Pembuatan Sediaan

Sediaan terlebih dahulu difiksasi menggunakan larutan formalin selama lebih dari 48 jam. Proses selanjutnya yaitu dehidrasi, kandungan air pada sediaan diganti dengan pelarut organik seperti etanol atau aseton. Dilakukan secara bertahap mulai dari konsentrasi 60%, 70%, 80%, 90%, 95%, 100% selama 4-6 jam. Lalu sediaan dikeringkan dengan metode “Air Drying”. Kryoprotektan


(57)

dibutuhkan pada proses berikutnya yaitu “Freeze Drying” yang akan mengurangi pembentukan kristal es selama pendinginan. Sediaan disimpan dalam tabung sampel yang terbuat dari plastik.

4.7.7 Tahap Pemeriksaan Scanning Electron Microscope

Pemeriksaan sampel dilakukan di laboratorium FMIPA Biologi Universitas Negeri Padang dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Gambaran yang akan diamati yaitu struktur mikro morfologi sel rambut luar koklea dari sampel yang telah diberi perlakuan.

4.8 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Pada penelitian ini, hasil dari pemeriksaan Scanning Electron Microscope (SEM) dianalisa secara statistik dengan program SPSS 17 dan disajikan dalam bentuk tabel, narasi serta gambar.

4.9 Alur Penelitian


(58)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

RANDOMISASI

KELOMPOK KONTROL P0= Aquadest (+) 8 hari 

Bising 25-50 dB(+) 8 hari, Aquadest (+) 8

hari

P1= Aquadest (+) 8 hari  Bising 55-80 dB(+) 8 hari, Aquadest

(+) 8 hari

P2= Aquadest (+) 8 hari  Bising 85-110 dB(+) 8 hari, Aquadest

(+) 8 hari

POPULASI HEWAN

P2 = Garcinia mangostan a (+) 8 hari  Bising

25-50 dB (+) Garcinia mangostan a (+) 8

hari

TERMINASI

ORGAN KORTI

P3 = Garcinia mangostan a (+) 8 hari

 Bising 55-80 dB

(+) Garcinia mangostan a (+) 8 hari

P4 = Garcinia mangostana

(+) 8 hari

 Bising 85-110 dB

(+) Garcinia mangostana

(+) 8 hari


(59)

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara dan Laboratorium Biologi FMIPA Universitas Negeri Padang. 5.1.2. Karakteristik Sampel

Populasi penelitian ini adalah tikus jenis Rattus norvegicus galur wistar. Berjenis kelamin jantan, umur 2-3 bulan dengan berat badan 150-250 gram, serta menunjukkan hasil normal pada pemeriksaan skrining pendengaran dengan menggunakan alat OAE. Sampel dalam kondisi yang sehat dan dikembang biakkan di Laboratorium Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara. Total sampel yang digunakan adalah sebanyak 24 ekor yang terbagi dalam enam kelompok perlakuan.

5.1.3. Gambaran Ultrastruktur Jaringan Koklea

Gambaran Scanning Electron Microscope (SEM) koklea Rattus norvegicus galur wistar setelah pemberian paparan bising intensitas rendah (25-50 dB), sedang (55-80 dB), dan tinggi (85-110) selama 8 hari sekaligus ditambah perlakuan pemberian aquadest atau ekstrak kulitGarcinia mangostana selama 16 hari.


(60)

Tabel 5.1. Perbandingan Ultrastruktur Koklea pada Kelompok P0 dan P3

Kelompok Bising (dB)

Gambaran Koklea

P0 (Aquadest) P3 (Ekstrak)

U1 25-50 Normal Normal

U2 25-50 Normal Normal

U3 25-50 Normal Normal

U4 25-50 Normal Normal

Berdasarkan pengamatan pada kelompok P0 secara ultrastruktur terlihat bahwa tidak terjadi kerusakan pada organ korti koklea tikus. Pada gambaran dijumpai posisi organ korti yang masih intak. Hal serupa juga dijumpai pada kelompok P3. Ditemukan gambaran khas yang masih sama dengan kelompok P0. Tidak dijumpai kerusakan yang bermakna pada struktur organ korti dari koklea tikus.


(61)

Kelompok Bising (dB)

Gambaran Koklea

P1 (Aquadest) P4 (Ekstrak)

U1 55-80 Kerusakan <50% Kerusakan <50%

U2 55-80 Kerusakan <50% Kerusakan <50%

U3 55-80 Kerusakan <50% Kerusakan <50%

U4 55-80 Kerusakan <50% Kerusakan <50%

Pada kelompok perlakuan P1 dan P4 dijumpai struktur organ korti koklea tikus yang mengalami sedikit kerusakan pada sel rambut dan membrane basilaris.

Tabel 5.3. Perbandingan Ultrastruktur Koklea pada Kelompok P2 dan P5

Kelompok Bising (dB)

Gambaran Koklea

P2 (Aquadest) P5 (Ekstrak)

U1 85-110 Rusak > 50% Rusak < 50%

U2 85-110 Rusak > 50% Rusak > 50%

U3 85-110 Rusak > 50% Rusak > 50%

U4 85-110 Rusak > 50% Rusak < 50%

Pengamatan pada kelompok P2 yang diberi aquadest selama 8 hari pertama kemudian dilanjutkan dengan pemberian aquadest serta paparan bising


(62)

85-110dB selama 8 hari tidak terjadi variasi hasil. Sebanyak 100% atau keseluruhan sampel mengalami derajat kerusakan >50%. Pada derajat kerusakan >50% organ korti pada koklea mengalami kerusakan total sehingga sulit untuk diidentifikasi.

Untuk kelompok P5, diberikan perlakuan bising intensitas tinggi (85-110 dB) selama 8 hari dan disertai juga dengan pemberian ekstrak Garcinia mangostana pada 8 hari sebelum paparan bising dan 8 hari bersamaan dengan perlakuan tersebut. Hasil yang dijumpai cukup bervariasi, dari 4 sampel pada kelompok P5, 50% menunjukkan gambaran derajat kerusakan <50% dan sisanya dengan derajat kerusakan >50%. Pada hasil pengamatan yang menunjukkan terjadinya derajat kerusakan<50%, sebagian kecil dari struktur organ korti masih bida diidentifikasi. Hal tersebut bertolak belakang dengan derajat kerusakan >50%.


(63)

Gambar 5.1 Ultrastruktur organ korti pada kebisingan rendah dengan gambaran normal pada kelompok P0 dengan SEM pembesaran 20x1000

Gambar 5.2 Ultrastruktur organ korti pada kebisingan rendah dengan gambaran normal pada kelompok P3 dengan SEM pembesaran 20x1000

25-50 dB (Aqua)


(64)

Gambar 5.3 Ultrastruktur organ korti pada kebisingan sedang dengan gambaran normal pada kelompok P1 dengan SEM pembesaran 20x1000

Gambar 5.4 Ultrastruktur organ korti pada kebisingan sedang dengan gambaran normal pada kelompok P4 dengan SEM pembesaran 20x1000

55-80 dB (Aqua)


(65)

Gambar 5.5 Ultrastruktur organ korti pada kebisingan tinggi pada kelompok P2 dengan SEM pembesaran 20x1000. Tampak kerusakan pada jaringan organ korti

Gambar 5.6 Ultrastruktur organ korti pada kebisingan tinggi pada kelompok P5 dengan SEM pembesaran 20x1000. Tampak kerusakan jaringan organ korti.

85-110 dB (Aqua)


(66)

Gambar 5.7(a) Perbandingan ultrastruktur organ korti koklea yang bersifat sebagai kontrol (tanpa ekstrak) dari paparan bising rendah ke bising tinggi (kiri ke kanan) ; (b) perbandingan ultrastruktur organ korti koklea yang diberi ekstrak dari paparan bising rendah ke bising tinggi (kiri ke kanan).

5.1.4. Hasil Analisis Statistik

Data yang diperoleh dari interpretasi gambaran koklea pada masing-masing perlakuan kemudian diuji secara analisa statistik dengan menggunakan program spss 17.0. Terlebih dahulu dilakukan uji normalitas pada keseluruhan data, dikarenakan jumlah sampel yang kurang dari 30 maka data diolah dengan uji Shapiro-Wilk. Hasil yang didapatkan dari uji normalitas berupa nilai p = 0,0001, sehingga dapat diartikan bahwa data tersebut tidak terdistribusi secara normal karena nilai p yang diperoleh kecil dari 0,05.

a


(67)

Tabel 5.4. Hasil Uji Mann-Whitney U terhadap Gambaran Ultrastruktur Koklea

Kelompok Perlakuan p

P0 vs P3 P1 vs P4 P2 vs P5

1,000 1,000 0,127

Merujuk dari hasil uji normalitas dapat disimpulkan bahwa analisis statistik yang digunakan yaitu statistika non parametrik. Kemudian dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney U untuk melihat perbedaan diantara dua kelompok yang memiliki tingkat intensitas bising yang sama secara independen. Proses pengolahan data yang dilakukan terhadap tiga kelompok intensitas yang berbeda dengan masing-masing dua perlakuan menunjukkan hasilyaitu p>0,05. Maka menurut uji statistik, pada uji coba perbandingan ultrastruktur koklea tidak dijumpai perbedaan yang bermakna diantara masing-masing kelompok yang berintensitas bising sama (p>0,05).


(68)

5.2 Pembahasan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adakah potensi antioksidan yang dimiliki oleh ekstrak kulit manggis. Berdasarkan studi literatur diketahui bahwa zat tersebut dapat mempengaruhi proses radikal bebas yang terjadi pada jaringan koklea tikus yang diberi perlakuan bising. Pemberian bising dilakukan secara kontinu dan diharapkan terjadi proses pencegahan terhadap kerusakan yang masif setelah diberikan ekstrak. Dengan alat Scanning Electron Microscope (SEM) diamati gambaran mikro dari organ korti koklea tikus baik yang berasal dari kelompok kontrol maupun pembanding.

Pada pengamatan ultrastruktur jaringan koklea didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa kerusakan organ korti dapat diamati dengan jelas pada kelompok perlakuan bising yang dikategorikan berintensitas tinggi yaitu 85 – 110 dB. Bila dibandingkan dengan dua kelompok lain, gambaran yang tampak berbeda secara signifikan. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Metidieri (2013) bahwa pemaparan intensitas yang lebih dari 85 dB dengan 8 jam dapat menimbulkan kerusakan pada koklea bila dibandingkan dengan intensitas yang lebih rendah.

Pada penelitian ini diberikan tiga intensitas bising yang berbeda untuk kelompok sampel yang sudah dibagi secara merata, yakni intensitas 25-50 dB, 55-80 dB dan 85-110 dB. Durasi yang diberikan adalah selama 8 jam secara kontinu. Hal ini didasari karena pada waktu tersebut diyakini akan menimbulkan dampak kerusakan yang jelas pada kategori bising lebih dari 85 dB. Menurut penelitian Ewert (2012), pada tikus yang diberi perlakuan bising dengan alat simulator berintensitas diatas 100 dB selama 21 hari dan dilakukan pemeriksaan histopatologi didapatkan gambaran terbentuknya jaringan parut pada daerah sel rambut yang rusak, stereosilia mengalami kerusakan, serta terpisahnya organ korti dari membran basilar.

Proses terjadinya reaksi stres oksidatif pada koklea yang diberi perlakuan bising juga dapat dibuktikan dengan mengukur kadar NADPH. Pada keadaan


(69)

normal NADPH dibutuhkan untuk proses penghantaran sinyal neuronal, regulasi kardiovaskular, serta fungsi memori. Pada keadaan dimana terjadi peningkatan jumlah ROS, hal tersebut akan mempengaruhi peningkatan jumlah NADPH secara berlebihan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya neurotoksisitas dan degenerasi neuronal. Perlakuan bising 100 – 110 dB diberikan untuk tikus galur wistar dan selanjutnya dalam waktu 24 jam setelah pajanan jaringan koklea diambil untuk diperiksa melalui imunohistokimia dan ekspresi gen. Hasil yang dijumpai adalah peningkatan kadar ROS ditemukan di daerah sensori dan sel penunjang dari organ korti koklea (Vlajkovic et al,. 2013).

Faktor imunitas yang berperan saat terjadinya stres seluler akibat lingkungan luar seperti pajanan bising yaitu Heat Shock Protein (HSP). HSP merupakan bagian dari sistem Heat Shock Response (HSR) yang aktif sebagai respon tubuh untuk mempertahankan diri. Protein tersebut merupakan jenis protein chaperon. Pada keadaan aktivitas HSP yang normal bila terjadi stres intraseluler, protein tersebut langsung mengambil peranan untuk mencegah agar tidak terjadi proses denaturasi (Gong et al., 2012)

Pada kejadian sel yang mengalami pajanan stimulasi akustik secara berlebihan, keterlibatan dari HSP 70 menjadi lebih dominan. Koklea akan menginduksi terbentuknya protein tersebut agar struktur terlindungi dari proses kerusakan. Peranan dari zat geranil aseton tubuh semakin mempermudah proses sintesis dari HSP (Konings, 2009).

Terbentuknya radikal bebas reactive oxygen species (ROS) akibat paparan bising intensitas tinggi merupakan akibat dari stres metabolik dan mekanik dari telinga yang memicu terjadinya kerusakan sel. Pada umumnya, pembentukan ROS akan diikuti dengan aktivasi sinyal apoptosis dan kematian sel (Oishi & Schacht, 2011). ROS yang telah berinteraksi dengan DNA, protein, dan lemak akan merangsang respon HSF dan pelepasan HSP-70. Protein yang telah teroksidasi oleh ROS akan berkompetisi dengan HSF-1 untuk mengikat protein chaperon (Gong et al,. 2012). ROS mampu bertahan 7-10 hari setelah pajanan


(70)

bising yang lama dan menyebar dari daerah basal organ korti, sehingga menimbulkan kerusakan yang luas. Salah satu kemampuan radikal bebas yang merugikan tubuh adalah kemampuan membuat vasokonstriksi. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh kandungan peroksidase lemak yang bersifat vasoaktif, misalnya isoprostan. Apabila terjadi pada koklea, tentu saja akan mengurai aliran darah dan mengganggu proses perfusi jaringan (Oishi & Schacht, 2011).

Kerusakan nyata yang terjadi pada koklea bisa dinilai secara lebih objektif melalui pemeriksaan ultrastruktur dengan alat Scanning Electron Microscope (SEM). Pengamatan ditunjukkan pada struktur stereosilia setelah pajanan bising 110 dB. Morfologi dari struktur tersebut mengalami kerusakan yang ditandai dengan posisi yang terpisah dan membengkok pada bagian ujungnya.. Abnormalitas struktur juga dijumpai pada cuticular plate yang mengalami pembengkakan tanpa ekspulsi dari sitoplasma. Kebanyakan dari silia organ korti juga mengalami proses pemendekan atau rontok setelah pajanan bising. Penilaian ambang batas pendengaran pascapajanan bising 110 dB setelah 30 menit dilakukan dengan menggunakan alat auditory cortex evoked response.Perubahan yang terjadi adalah beralihnya ambang batas pendengaran secara temporer (Gao et,. al 1992 ; Rajan, 2000).

Penelitian mengenai efektifitas potensi ekstrak kulit manggis sebagai antioksidan tubuh sudah banyak dilakukan. Percobaan yang dilakukan oleh Taher (2012) membuktikan bahwa kandungan α-mangostin dari ekstrak kulit manggis terbukti mampu menghambat proses peroksidasi lemak. Menurut Valadez et al. (2009) zat aktif yang dimiliki oleh ekstrak tersebut mampu menurunkan kadar oksidasi dari LDL yang meningkat jumlahnya setelah dipicu oleh radikal bebas serta aktivitas peroksidasi lemak pun juga dihambat disebabkan oleh anion peroksinitrit.

Percobaan yang serupa juga dilakukan pada tikus untuk membuktikan aktivitas antioksidan dari Xanthone. Kondisi tikus dibuat sedemikian rupa sehingga mengidap kondisi infark miokardial. Pemberian ekstrak dengan dosis


(71)

200mg/kgBB selama selang waktu 6 hari secara menunjukkan hasil yang signifikan p<0,05 (Ibrahim et al., 2014).

Chontal (2011) melakukan uji coba efek protektif pada jantung yang mengalami reperfusi dan post-iskemik. Percobaan dilakukan dengan mengkondisikan jantung tikus yang telah di ambil melalui proses torakotomi dan diletakkan dalam sedian buffer Krebs-Henseleit. Konsentrasi ekstrak yang diberikan adalah sebanyak 2,5 µM. Penurunan jumlah bagian yang mengalami infark terlihat lebih optimal pada konsentrasi tersebut. Hal ini dijelaskan melalui proses menurunnya kadar peroksidasi lemak pada protein karbonilasi dan kadar glutation yang tetap. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak yang digunakan berpotensi menjadi zat antioksidan.

Penelitian in vitro lainnya dilakukan dengan memanfaatkan hydrogen peroxide (H2O2) dan skopolamin sebagai zat yang akan memicu timbulnya proses

radikal bebas. Untuk hal ini, otak tikus dijadikan sampel dan diamati bagaimana proses kerusakan memori yang terjadi. Didapatkan bahwa dengan dosis 100mg/kgBB tikus, zat ini mampu menjadi antagonis dari zat yang menstimulasi proses stres oksidasi di otak dan menyebabkan kerusakan memori pada hari ke 1 dan 2 (p<0,05), sedangkan dari hari ke 3 hingga 14 tidak terjadi perubahan aktivitas yang bermakna (Sattayasai et al., 2013).

Pada penelitian yang dilakukan dalam karya tulis ini menggunakan dosis ekstrak kulit manggis sebanyak 21,6 mg per kali dengan menggunakan bantuan alat oral gavage. Pemberian lebih sering dilakukan saat sore hari sebelum tikus diberikan perlakuan bising untuk memicu proses stres oksidasi pada koklea. Hal ini dilakukan sebab mengingat sifat alamiah tikus yang merupakan makhluk hidup nokturnal atau aktif pada malam hari. Pengaruh dari ekstrak yang diyakini sebagai antioksidan dan mampu mencegah kerusakan dari koklea tikus tampak pada pengamatan di kelompok yang diberikan intensitas 85-110 dB (25 %). Akan tetapi melalui proses analisis statistik pengaruh tersebut tidak mendapatkan perbedaan yang signifikan bila dibandingkan dengan kelompok kontrol p>0,05. Hal yang


(1)

Lampiran 1: Riwayat Hidup Peneliti

DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENELITI

DATA PRIBADI

Nama

: Fuji Ramadhani

Tempat/Tanggal Lahir : Sungai Penuh / 23 Februari 1994

Agama

: Islam

Alamat

: Jl. Picauly No. 18 Medan Baru

No Telp/Hp

: 085358972987

Alamat Email

RIWAYAT PENDIDIKAN

Tahun 1998-1999

: TK Pertiwi Sungai Penuh – Jambi

Tahun 1999-2005

: SD Pertiwi Sungai Penuh – Jambi

Tahun 2005-2008

: SMPN 8 Sungai Penuh – Jambi

Tahun 2008-2011

: SMAN 3 Padang

Tahun 2011-...

: FK USU

RIWAYAT PELATIHAN

Seminar Kedokteran Keluarga & Workshop Sirkumsisi

Workshop Hewan Coba & Seminar Update Kedokteran

PRESTASI

Peringkat 3 beasiswa penelitian medica carita

RIWAYAT ORGANISASI

PHBI FK USU

PEMA FK USU

SCORE PEMA FK USU

KAM RABBANI


(2)

Lampiran 4 : Hasil output

Statistics

N Valid 24

Missing 0

Statistics

Gambarankoklea

N Valid 24

Missing 0

Mean 1.5833

Median 1.0000

Std. Deviation .88055

Skewness .975

Std. Error of Skewness .472

Case Processing Summary

Gambarankoklea

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Kelompok Normal 8 100.0% 0 .0% 8 100.0%

Kerusakan < 50 % 10 100.0% 0 .0% 10 100.0%

Kerusakan > 50 % 6 100.0% 0 .0% 6 100.0%


(3)

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Gambarankoklea 24 100.0% 0 .0% 24 100.0%

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Gambarankoklea .413 24 .000 .628 24 .000

a. Lilliefors Significance Correction

Ranks

Kelomp

ok N Mean Rank Sum of Ranks

Gambarankoklea P0 4 4.50 18.00

P3 4 4.50 18.00

Total 8

Test Statisticsb

Gambarankoklea

Mann-Whitney U 8.000

Wilcoxon W 18.000

Z .000

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a a. Not corrected for ties.


(4)

Ranks

Kelomp

ok N Mean Rank Sum of Ranks

Gambarankoklea P1 4 4.50 18.00

P4 4 4.50 18.00

Total 8

Test Statisticsb

Gambarankoklea

Mann-Whitney U 8.000

Wilcoxon W 18.000

Z .000

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok

Ranks

Kelomp

ok N Mean Rank Sum of Ranks

Gambarankoklea P2 4 5.50 22.00

P5 4 3.50 14.00

Total 8

Test Statisticsb

Gambarankoklea

Mann-Whitney U 4.000


(5)

Asymp. Sig. (2-tailed) .127 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .343a a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok


(6)

Tahap Pemberian Perlakuan


Dokumen yang terkait

Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap Gambaran Histopatologis Lambung Tikus (Rattus norvegicus L.) Jantan yang Dipapari Kebisingan

2 103 56

Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap Hitung Leukosit dan diferensiasi Leukosit Tikus (Rattus noevegicus L.) Jantan Setelah Dipapari Kebisingan

0 58 58

Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) Terhadap Fungsi Hati, Jumlah Eritrosit dan Kadar Hemoglobin Tikus (Rattus norvegicus) yang Dipapari dengan Karbon Tetraklorida (CCl4)

3 53 59

PENGARUH PAPARAN BISING INTERMITTENT KRONIK TERHADAP CD8+ PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

0 7 54

PENGARUH PAPARAN BISING KONTINYU AKUT TERHADAP CD8+ PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus

0 4 53

ANALISA SCANNING ELECTRON MICROSCOPE KOMPOSIT Analisa Scanning Electron Microscope Komposit Polyester Dengan Filler Karbon Aktif dan Karbon non Aktif.

0 3 20

KARAKTERISASI SCANNING ELECTRON MICROSCOPE (SEM) HIDROKSIAPATIT DARI GIPSUM ALAM CIKALONG.

0 7 9

KARAKTERISASI TIPE FOSILISASI ELEPHAS HYSUDRINDICUS BERDASARKAN METODE ANALISIS SCANNING ELECTRON MICROSCOPE (SEM) DAN PETROGRAFI.

0 0 4

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Anatomi Sistem Pendengaran - Pengaruh Garcinia Mangostana Terhadap Paparan Bising Yang Dinilai Dari Pemeriksaan Scanning Electron Microscope (SEM) Pada Rattus norvegicus

0 0 23

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Garcinia Mangostana Terhadap Paparan Bising Yang Dinilai Dari Pemeriksaan Scanning Electron Microscope (SEM) Pada Rattus norvegicus

0 0 6