BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sepsis 2.1.1. Infeksi dan Inflamasi - Penurunan Kadar Laktat Pada Pemberian Norepinefrin Dengan Plasebo Dan Norepinefrin Dengan Adjuvan Vasopresin Pada Pasien Syok Sepsis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sepsis

2.1.1. Infeksi dan Inflamasi Infeksi adalah keberadaan berbagai kuman yang masuk ke dalam tubuh manusia yang berkembang biak dan menyebabkan kerusakan sekitar jaringan infeksi. Pada penyakit infeksi juga menyebabkan reaksi inflamasi. Meskipun proses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas infeksi dan respon tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada lokasi infeksi saja atau dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik (Guntur, 2007; Butterworth, 2013).

Inflamasi timbul sebagai reaksi jaringan vaskuler terhadap semua bentuk infeksi. Pada dasarnya inflamasi adalah suatu reaksi dari pembuluh darah, saraf, cairan, dan sel tubuh ditempat infeksi. Inflamasi akut merupakan respon langsung yang dini terhadap agen penyebab infeksi dan kejadian yang berhubungan dengan inflamasi akut sebagian besar diakibatkan oleh produksi dan pelepasan berbagai macam mediator inflamasi. Meskipun jenis jaringan yang mengalami inflamasi berbeda, mediator yang dilepas sama. Manifestasi klinis yang berupa inflamasi sistemik disebut systemic inflammation response syndrome (Guntur,2007; Butterworth, 2013).

2.1.2. Definisi Sepsis Sepsis didefinisikan sebagai suatu infeksi yang disertai dengan manifestasi sistemik. Hipotensi dapat disebabkan oleh sepsis dengan nilai tekanan darah sistolik <90 mmHg atau dengan tekanan darah arteri rerata (MAP) < 70 mmHg atau dengan penurunan tekanan darah sistolik 40 mmHg atau lebih dari 2 standar deviasi dibawah normal. Hipoperfusi jaringan yang disebabkan oleh sepsis bermanifestasi hipotensi yang disebabkan infeksi, peningkatan laktat, atau oligouria (Dellinger, 2012).

Sepsis merupakan keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa dimana terjadi disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Secara klinis dapat dijabarkan bahwa disfungsi organ dapat terlihat dari peningkatan skor sequential organ failure assessment (SOFA) > 2 poin atau lebih yang berhubungan dengan peningkatan resiko kematian dirumah sakit >10% (Singer, 2016).

2.1.3. Definisi Syok Sepsis Syok sepsis didefinisikan sebagai kondisi hipotensi yang persisten dan

membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan tekanan rerata arterial 65 mmHg atau lebih dan kadar serum laktat lebih besar dari 4 mmol/L (18mg/dL) dengan syarat sudah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat (Dellinger et al., 2013).

2.1.4. Kriteria Sepsis Berdasarkan studi dan konsesi mengenai definisi sepsis baru, yang

dilakukan oleh European Society of Intensive Care Medicine’s dan The Society of Critical Care Medicine’s pada tahun 2016, ditetapkan kriteria sepsis yang terdapat pada tabel 2.1.

2.1.5. Epidemiologi Sepsis merupakan penyebab kedua tertinggi kematian di UPI dan

merupakan 10 penyebab tertinggi kematian di seluruh dunia secara keseluruhan. Selama dua dekade, insidensi sepsis meningkat dari 83 per 100.000 populasi pada tahun 1979 menjadi 140 per 100.000 populasi pada tahun 2000, menunjukkan peningkatan sebesar 9% setiap tahunnya. Kegagalan fungsi organ menimbulkan efek akumulasi yang berdampak langsung pada kematian. Mortalitas pasien sepsis tanpa disfungsi organ sebesar 15%, pasien dengan kegagalan fungsi organ sebesar 70%, dan syok septik sebesar 45-60% (Martin et al., 2003; Hommes et al., 2012).

Hampir 10% pasien yang masuk ke UPI merupakan pasien dengan syok septik dengan mortalitas mencapai 40-60% (Daley et al., 2013). Kadar laktat darah sering digunakan sebagai pertanda diagnosis, respon terapeutik dan prognosis untuk syok sepsis, kadar laktat yang tinggi menunjukkan adanya kondisi hipoksia pada Hampir 10% pasien yang masuk ke UPI merupakan pasien dengan syok septik dengan mortalitas mencapai 40-60% (Daley et al., 2013). Kadar laktat darah sering digunakan sebagai pertanda diagnosis, respon terapeutik dan prognosis untuk syok sepsis, kadar laktat yang tinggi menunjukkan adanya kondisi hipoksia pada

Tabel 2.1 Perbandingan Kriteria Diagnostik Sepsis (dikutip dari Singer, 2016)

Baru SIRS

Lama

Takikardi (>90x/menit) Takipnea (> 20x/menit) Temperatur(<36°c

- >38°c). Peningkatan leukosit >11.000 µL -1 atau < 4.000 µL -1

atau

Sepsis Suspek atau dengan infeksi +

2 dari 3 tanda qSOFA

SIRS

Hipotensi (tekanan darah sistol ≤

100 mmHg)

Fokal Infeksi

Penurunan kesadaran (GCS≤13) Takipnea (≥22x/menit) atau Peningkatan skor qSOFA ≥ 2

Sepsis berat Sepsis + Disfungsi organ Laktat > 2 mmol/L Kreatinin > 2 mg/dL

- Bilirubin > 2 mg/dL

Trombosit <100.000 µL Koagulopati (INR > 1.5)

Syok Sepsis

Sepsis

Sepsis

Vasopresor untuk mencapai setelah mendapatkan cairan

Hipotensi

MAP > 65 mmHg

resusitasi adekuat

+ Laktat >4 mmol/L setelah mendapatkan cairan resusitasi adekuat

2.1.6. Patofisiologi Sepsis Inflamasi merupakan suatu mekanisme fisiologis yang terjadi sebagai

respon terhadap organisme yang merusak integritas sel, seperti yang terjadi pada infeksi dan trauma. Pada keadaan Inflamasi, sel akan melepaskan sitokin dan beberapa mediator, yang mempunyai kontribusi terhadap penghancuran bakteri dan perbaikan pada jaringan. Dapat dibedakan antara sitokin seperti interleukin-1 (IL- 1), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor (TNF), dan sitokin antiinflamasi seperti interleukin-10 (IL-10) dan interleukin-4 (IL-4). Mekanisme regulasi lokal akibat inflamasi merupakan gambaran penting terhadap proses menghilangkan sumber dari kerusakan dan mempertahankan homeostasis. Mediator humoral maupun neuronal memberikan kontribusi terhadap regulasi dari inflamasi. Mediator antiinflamasi humoral seperti IL-10 dan glukokortikoid menghambat efek pelepasan sitokin proinflamasi seperti dimana lipoxin dan resolvin berkontribusi terhadap perbaikan jaringan. Mediator humoral mencapai sel target pada beberapa organ dengan berdifusi melalui pembuluh darah. Aktivasi substansi yang dilepaskan oleh syaraf seperti norepinefrin. Asetilkolin akan mencapai target organ secara cepat (Ballina & Tracey, 2009).

Sepsis merupakan proses kompleks dan inflamasi sistemik terhadap infeksi yang umumnya akibat bakteri. Pada tahap awal, terjadi disregulasi dan ketidakseimbangan antara sitokin proinflamasi yang mengakibatkan kerusakan jaringan, organ, bahkan kematian. Pelepasan sitokin proinflamasi yang berlebihan memicu pelepasan vasoaktif amine dan chemokines maupun aktivasi sistem komplemen, koagulasi, dan pelepasan reactive oxgen spesies (ROS). Mediator- mediator inilah yang bertanggung jawab terhadap peningkatan permeabilitas vaskular, hipotensi, dan syok septik. Pada tahap lanjut, dilepasnya mediator seperti High Protein Group Box 1 (HMGB1), yang memungkinkan reaksi inflamasi tersebut berlanjut (Ballina & Tracey, 2009).

Secara umum telah diketahui bahwa sistem imunitas dapat dipengaruhi oleh status neurologis dan begitu juga sebaliknya, status neurologis dapat dipengaruhi oleh sistem imunitas. Seperti pada sitokin proinflamasi seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor (TNF) yang lepas diperifer pada sepsis Secara umum telah diketahui bahwa sistem imunitas dapat dipengaruhi oleh status neurologis dan begitu juga sebaliknya, status neurologis dapat dipengaruhi oleh sistem imunitas. Seperti pada sitokin proinflamasi seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor (TNF) yang lepas diperifer pada sepsis

Hubungan dua arah antara susunan syaraf pusat dengan sistem imunitas dalam meningkatkan efektifitas pada kedua sistem tersebut, dalam konteks perbedaan inflamasi yang diakibatkan oleh sepsis dengan penyebab lain. Dua jalur yang menghubungkan antara sistem imunitas dengan susunan syaraf pusat adalah sistem saraf otonom dan aksis Hypothalamo-pituitary-adrenal (HPA). Aktivasi kedua jalur tersebut mempunyai peranan penting terhadap terjadinya sepsis (Weismuller et al., 2012).

2.1.6.1. Sistem Saraf Simpatis Serabut aferen preganglionik yang meninggalkan susunan saraf pusat

didalam saraf spinal torakal dan lumbal dinamakan sistem saraf simpatis atau sistem torakolumbal. Serabut post ganglionik memiliki inervasi ke organ melalui ganglia. Sistem saraf simpatis menginervasi semua organ limfoid dan memiliki transmiter epinefrin dan norepenefrin untuk memodulasi sistem imun. Sitokin proinflamasi mampu mengaktifkan aksis HPA maupun sistem saraf simpatis (Weismuller et al., 2012).

Berbagai macam sel dari sistem imun innate mengekspresikan reseptor α atau β-adrenergik. Biasanya, reseptor α tidak dapat ditemukan pada permukaan leukosit di darah perifer namun dapat ditemukan pada kondisi patologis. Norepinefrin berinteraksi dengan reseptor α yang akan mestimulasi makrofag untuk melepaskan TNF-α dan seterusnya akan berkontribusi dalam mempertahankan keadaan sepsis. Sebaliknya, interaksi dengan reseptor β akan menurunkan pelepasan IL-1 dan TNF-α dan meningkatkan sekresi IL-10 dari makrofag yang memiliki efek antiinflamasi (Weismuller et al., 2012; Preiser, 2014). 2.1.6.2.Aksis Hypothalamo-pituitary-adrenal (HPA)

Pelepasan sitokin sebagai akibat dari infeksi dan jejas memicu aferen vagal. Hubungan sinaps dari medulla rostroventral dan lokus coeruleus maupun nukleus hipotalamik mengaktifkan sistem saraf simpatis dan aksis HPA. Sitokin

proinflamasi juga mengaktifkan sel perivaskular di sawar darah otak. Sel perivaskular akan melepaskan eikosanoid yang memberikan efek pada hipotalamus. Sitokin yang berada di sirkulasi juga dapat memberikan efek pada organ sirkumventrikular seperti area postrema dimana tidak terdapat sawar darah otak. Sitokin menyebakan ekspresi Corticotropin Releasing Hormones (CRH) atau Arginin Vasopressin (AVP) di hipotalamus serta Adrenocorticotropic Hormones (ACTH) pada kelenjar hipofisis adrenal. ACTH dapat meningkatkan pelepasan kortisol di korteks adrenal. Kortisol memiliki efek antiinflamasi dalam mengurangi aktivasi nuclear factor-kappa B (NF-κB) dan meningkatkan sintesa sitokin antiinflamasi. Pro-opiomelanocortin (POMC) adalah prekursor peptida tidak hanya ACTH tetapi juga α-melanocyte stimulating hormones (α-MSH). α-MSH menurunkan NF-κB dan meningkatkan pelepasan IL-10 dan menghambat aktivitas. Pada keadaan syok septik sangat relevan bahwa terhambatnya pelepasan α-MSH setelah stimulasi CRH berdampak kepada kematian. Reaksi anti inflamasi sistemik penting terhadap respon imunitas yang efektif pada pasien sepsis. Berbagai studi klinis menunjukkan sitokin proinflamasi secara langsung mengaktifkan aksis HPA dan mengakibatkan pelepasan kortisol (Weismuller et al., 2012).

menyekresikan hormon adrenokortikotropin telah diteliti, khususnya mengenai keterlibatannya dalam berbagai paradigma respon stres yang mungkin berhubungan dengan patofisiologi terjadinya depresi. Vasopresin arginin disekresikan melalui 2 area pada hipotalamus, yaitu regio parviseluler pada nukleus paraventrikuler yang merupakan tempat terbentuknya hormon pelepas kortikotropin serta melalui neuron-neuron magnoseluler pada nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikuler. Paradigma stres kronik, yang berhubungan dengan respon berlebihan dari HPA dan pelepasan ACTH yang menunjukkan hubungan komparatif terhadap stres, telah dikatakan memiliki konsistensi relatif untuk memengaruhi rasio kortikotropin: arginin vasopresin. Hal ini dapat dihubungkan pada sensitivitas umpan balik arginin vasopresin terhadap keterbatasan umpan balik glukokortikoid dan respon yang lebih besar pada arginin vasopresin dibandingkan dengan kortikotropin pada keadaan stres kronik yang terstimulasi. Peran vasopresin dalam aktivitas aksis HPA

Peran vasopresin

arginin

dalam

mungkin memiliki implikasi untuk meningkatkan pemahaman tentang kondisi kejiwaan seperti depresi.

Penelitian pada hewan, terbukti bahwa stresor psikologis kronis meningkatkan rasio produksi arginin vasopresin terhadap kortikotropin. Stresor psikososial secara intrinsik berkaitan dengan kondisi depresif. Adanya peningkatan arginin vasopresin pada studi tingkat depresi postmortem dan menurunnya kadar arginin vasopresin dalam CSF akibat penggunaan antidepresan, memunculkan pertanyaan tentang peran arginin vasopresin yang tepat dalam aktivitas yang berlebihan dari HPA pada keadaan depresi (Weismuller et al., 2012). 2.1.6.3.Kontrol Kolinergik Inflamasi

Beberapa tahun terakhir, jalur anti inflamasi kolinergik telah digambarkan sebagai mekanisme kontrol inflamasi neuronal melalui saraf aferen. Secara in vitro, asetilkolin menghambat pelepasan sitokin melalui makrofag. Secara in vivo, stimulasi elektrik saraf vagal menurunkan pelepasan HMGB1 dan meningkatkan angka kelangsungan hidup. Selanjutnya, asetilkolin menghambat pelepasan TNF-α dengan berikatan dengan reseptor α7-subunit asetilkolin. Sebagai tambahan, splenektomi yang dilakukan pada percobaan sepsis menurunkan pelepasan HMGB1 serta meningkatkan angka kelangsungan hidup. Sistem imun mendapat informasi dari organ perifer dan berperilaku sebagai organ sensorik yang menyediakan informasi proses inflamasi untuk otak. Reseptor IL-1 pada syaraf aferen vagal terlibat pada proses ini (Weismuller et al., 2012). 2.1.6.4.Aktivasi komplemen

Aktivasi komplemen akan menghasilkan suatu pembentukan protein yang akan melisis sel patogen. Aktivasi kaskade oleh inflamasi akan menghasilkan produk yang berperan penting dalam fungsi vasoaktif, aktivasi protein koagulasi, platelet, sel mast, dan secara tidak langsung memproduksi bradikinin. Dengan demikian terlihat bahwa aktivasi dari salah satu inisiator akan mengaktivasi inisiator yang lain. Efek yang dihasilkan adalah peningkatan permeabilitas mikrovaskular, peningkatan aliran mikrovaskuler, penurunan kecepatan aliran, dan pembentukan edema di jaringan (Weismuller et al., 2012).

Patogenesis sepsis sangat kompleks. Meskipun kemajuan ilmu kedokteran semakin maju namun patogenesis sepsis masih tetap tidak dimengerti. Utamanya, sepsis adalah hasil dari interaksi antara mikroorganisme dan respon host akibat dikeluarkan sitokin dan mediator lainnya. Komponen terpenting dari respon host adalah berkembangnya mekanisme alami awal untuk memproteksi organisme dari kerusakan. Akan tetapi pada sepsis, respon imun itu sendiri yang menimbulkan respon kaskade sekunder dimana mencetuskan disfungsi organ bahkan kematian, selain eradikasi dari invasi mikroorganisme. Konsep awal dari sepsis adalah respon proinflamasi tidak terkontrol dan juga gabungan dari disregulasi dari anti-inflamasi, koagulasi, dan jalur penyembuhan luka (Annane, 2005).

2.1.7. Patofisiologi Syok Sepsis Patofisiologi dari syok sepsis masih belum diketahui secara jelas tetapi

melibatkan interaksi yang kompleks antara patogen dan sistem imun host. Respon fisiologis yang normal untuk infeksi lokal melibatkan aktivasi dari mekanisme pertahanan host yang berupa aktivasi dari neutrofil dan monosit, pelepasan mediator inflamasi, vasodilatasi lokal, peningkatkan permeabilitas endotel, dan aktivasi dari jalur koagulasi. Respon mekanisme ini muncul pada syok sepsis, tetapi pada kala sistemik, mengarah pada kerusakan endotel, permeabilitas vaskular, vasodilatasi, dan trombosis dari kapiler organ. Kerusakan endotel sendiri akan berakhir mengaktivasi inflamasi dan kaskade koagulasi yang semakin merusak endotel dan kerusakan organ (Hommes, 2009).

Bakteri gram-positif dan gram-negatif akan menginduksi mediator- mediator inflamasi, termasuk sitokin seperti TNF dan interleukin (ILs), berperan penting dalam menginisiasi sepsis dan syok. Bakteri-bakteri ini akan menghasilkan sitokin, termasuk lipopolisakarida, peptidoglikan, dan asam lipoteichoic. Sitokin- sitokin dari bakteri akan berikatan langsung dengan molekul major histocompatibility complex (MHC) dan reseptor sel-T, yang menyebabkan produksi sitokin yang banyak. Sistem komplemen akan teraktivasi dan berkontribusi untuk membunuh mikroorganisme tetapi disamping itu dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Hood, 1998; Hommes, 2009).

Oksida nitrat (NO) menghasilkan sitokin-sitokin yang mempengaruhi dinding pembuluh darah. NO berperan penting pada perubahan hemodinamik dari syok sepsis dengan cara menyebabkan terjadinya vasodilatasi, yang merupakan permulaan dari terjadinya syok. Selain itu, sitokin-sitokin itu juga akan mempengaruhi kapiler sel endotel yang menyebabkan marginasi neutrofil, perlengketan trombosit, ketidakseimbangan dari mekanisme homeostasis yang mengarah pada koagulopati dan trombosis mikrovaskular, dan deplesi dari volume intravaskular. Kedua proses ini akan menyebabkan hipoksia sel dan menurunkan resistensi sistemik vaskular yang akan menyebabkan asidosis laktat yang menyebabkan kematian. Selain itu juga, sitokin-sitokin yang dikeluarkan ini akan mempengaruhi hipotalamus yang akan menyebabkan demam, takikardi, dan takipnea (Marino, 2007).

2.1.8. Stres Metabolik Pada Sepsis Pasien sepsis mempunyai kakakteristik yang bervariasi terhadap

metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Variasi tersebut dapat memicu peningkatan kebutuhan energi dengan akselarasi katabolisme protein dan menyebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Pada orang yang sehat, respon metabolik terhadap sepsis dapat meningkatkan kebutuhan kalori dan protein. Hasilnya, substrat endogen digunakan sebagai sumber bahan bakar dan sebagai prekursor terhadap sintesis protein. Respon ini melalui counter regulatory hormones (CRHs) seperti epinefrin, glukagon, kortisol, dan hormon pertumbuhan,yang meregulasi substrat endogen di berbagai organ dan jaringan. Sebagai tambahan, tumor necrosis factor-α dan interleukin-1β mempunyai peranan penting terhadap respon sistemik yang menimbulkan hiperglikemia. Stres yang memicu hiperglikemi ini mempunyai dampak buruk seperti peningkatan infeksi dan memperlambat penyembuhan luka. Pada pasien non-diabetik, hiperglikemia akan berlangsung selama 24 jam setelah trauma atau pasca pembedahan serta menggambar keadaan konsentrasi CRHs di plasma. Lebih lanjut akan terjadi pengurangan massa tubuh (otot) dan lemak, dimana keadaan ini dinamakan dengan otokanibalisme. Strategi nutrisi konvensional dengan mencukupkan nutrisi sesuai metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Variasi tersebut dapat memicu peningkatan kebutuhan energi dengan akselarasi katabolisme protein dan menyebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Pada orang yang sehat, respon metabolik terhadap sepsis dapat meningkatkan kebutuhan kalori dan protein. Hasilnya, substrat endogen digunakan sebagai sumber bahan bakar dan sebagai prekursor terhadap sintesis protein. Respon ini melalui counter regulatory hormones (CRHs) seperti epinefrin, glukagon, kortisol, dan hormon pertumbuhan,yang meregulasi substrat endogen di berbagai organ dan jaringan. Sebagai tambahan, tumor necrosis factor-α dan interleukin-1β mempunyai peranan penting terhadap respon sistemik yang menimbulkan hiperglikemia. Stres yang memicu hiperglikemi ini mempunyai dampak buruk seperti peningkatan infeksi dan memperlambat penyembuhan luka. Pada pasien non-diabetik, hiperglikemia akan berlangsung selama 24 jam setelah trauma atau pasca pembedahan serta menggambar keadaan konsentrasi CRHs di plasma. Lebih lanjut akan terjadi pengurangan massa tubuh (otot) dan lemak, dimana keadaan ini dinamakan dengan otokanibalisme. Strategi nutrisi konvensional dengan mencukupkan nutrisi sesuai

Gambar 2.1 Variasi kondisi yang dapat menimbulkan CRHs di plasma meningkat.(Elamin & Camporessi, 2009).

Respon metabolik terhadap stres memiliki dampak yang besar terhadap gangguan metabolisme karbohidrat. Peningkatan sekresi CRH menimbulkan peningkatan produksi karbohidrat endogen sebagai akibat akselerasi hepatik glukoneogenesis. Sumber substrat endogen untuk mendukung glukoneogenesis hepatik berasal gliserol (lipolisis), alanin (proteolisis), dan laktat (glikolisis anaerob). Peningkatan produksi karbohidrat ini dibarengi dengan resisten terhadap insulin yang menyebabkan hiperglikemia. Kadar insulin dalam batas normal atau diatas ambang normal, namun tidak cukup untuk mencegah hiperglikemia. Hiperglikemia dapat juga terjadi akibat penurunan aktivitas sintesa glikogen diotot. (Chiolero et al., 1997).

Asam lemak bebas merupakan salah satu sumber energi selain laktat dan asam amino setelah mengalami sepsis. Trigliserida menyediakan 50-80% dari energi yang dibutuhkan. Energi sangat dibutuhkan untuk proses glukoneogenesis hepatik. Lipolisis adalah percepatan metabolisme lemak yang terjadi pada periode awal akibat stimulasi CRH. Energi dilepaskan melalui proses oksidasi lemak yang merupakan sumber energi sel hati. Hanya sebagian kecil glukosa yang mengalami Asam lemak bebas merupakan salah satu sumber energi selain laktat dan asam amino setelah mengalami sepsis. Trigliserida menyediakan 50-80% dari energi yang dibutuhkan. Energi sangat dibutuhkan untuk proses glukoneogenesis hepatik. Lipolisis adalah percepatan metabolisme lemak yang terjadi pada periode awal akibat stimulasi CRH. Energi dilepaskan melalui proses oksidasi lemak yang merupakan sumber energi sel hati. Hanya sebagian kecil glukosa yang mengalami

Gambar 2.2 Glukoneogenesis hepatik (Chiolero et al., 1997)

Respon metabolik tubuh terhadap stres terjadi melalui dua fase, yaitu fase ebb dan fase flow (Preiser, 2014).

1. Fase Ebb Fase Ebb dimulai segera setelah terjadi stres, baik akibat trauma atau sepsis dan berlangsung selama 12-24 jam. Namun, fase ini dapat berlangsung lebih lama, tergantung pada keparahan trauma dan kecukupan resusitasi. Fase ebb disamakan juga dengan periode syok yang memanjang dan tidak teratasi, yang ditandai dengan hipoperfusi jaringan dan penurunan aktivitas metabolik secara keseluruhan. Sebagai upaya kompensasi tubuh terhadap keadaan ini, hormon katekolamin akan dikeluarkan, dimana norepinefrin menjadi mediator utama pada fase ebb. Norepinefrin dikeluarkan dari saraf perifer dan berikatan dengan reseptor beta-1 di jantung dan reseptor beta-2 di perifer dan dasar vaskular splanknik. Norepinefrin merupakan stimulan kuat dan memiliki efek paling penting pada sistem kardiovaskular, menyebabkan peningkatan kontraktilitas, denyut jantung dan vasokonstriksi. Hal ini merupakan usaha dalam mengembalikan tekanan darah, meningkatkan perfoma jantung dan maksimalisasi venous return. Hiperglikemia 1. Fase Ebb Fase Ebb dimulai segera setelah terjadi stres, baik akibat trauma atau sepsis dan berlangsung selama 12-24 jam. Namun, fase ini dapat berlangsung lebih lama, tergantung pada keparahan trauma dan kecukupan resusitasi. Fase ebb disamakan juga dengan periode syok yang memanjang dan tidak teratasi, yang ditandai dengan hipoperfusi jaringan dan penurunan aktivitas metabolik secara keseluruhan. Sebagai upaya kompensasi tubuh terhadap keadaan ini, hormon katekolamin akan dikeluarkan, dimana norepinefrin menjadi mediator utama pada fase ebb. Norepinefrin dikeluarkan dari saraf perifer dan berikatan dengan reseptor beta-1 di jantung dan reseptor beta-2 di perifer dan dasar vaskular splanknik. Norepinefrin merupakan stimulan kuat dan memiliki efek paling penting pada sistem kardiovaskular, menyebabkan peningkatan kontraktilitas, denyut jantung dan vasokonstriksi. Hal ini merupakan usaha dalam mengembalikan tekanan darah, meningkatkan perfoma jantung dan maksimalisasi venous return. Hiperglikemia

2. Fase Flow Permulaan fase flow, yang meliputi fase anabolik dan katabolik, ditandai dengan curah jantung (CO) yang tinggi dengan restorasi oxygen delivery dan substrat metabolik. Durasi fase flow tergantung pada keparahan trauma atau adanya infeksi dan perkembangan menjadi komplikasi. Secara khas, puncak fase ini adalah sekitar 3-5 hari, dan akan turun pada 7-10 hari, dan akan melebur ke dalam fase anabolik selama beberapa minggu. Selama terjadi fase hipermetabolik, insulin akan meningkat, namun peningkatan level katekolamin, glukagon, dan kortisol akan menetralkan hampir semua efek metabolik dari insulin. Peningkatan mobilisasi asam amino dan free fatty acids dari simpanan otot perifer dan jaringan adiposa merupakan akibat dari ketidakseimbangan hormon-hormon tersebut. Beberapa hormon akan mengeluarkan substrat yang digunakan untuk produksi energi salah satunya secara langsung sebagai glukosa atau melalui liver sebagai trigliserid. Substrat lainnya akan berkontribusi terhadap sintesis protein di liver, dimana mediator humoral akan meningkatkan produksi reaktan fase akut. Sintesis protein yang serupa juga terjadi pada sistem imun berguna menyembuhkan kerusakan jaringan. Fase hipermetabolik ini melibatkan proses katabolik dan anabolik. Hasilnya adalah kehilangan protein secara signifikan, yang ditandai dengan keseimbangan nitrogen negatif dan penurunan simpanan lemak. Hal ini menuju pada modifikasi komposisi tubuh secara keseluruhan, ditandai dengan kehilangan protein, karbohidrat, dan simpanan lemak, disertai dengan meluasnya kompartemen cairan ekstraselular (Pasinato et al., 2013; Preiser, 2014).

Fase Flow

ENERGY EXPENDITURE

Fase Ebb

Adaptasi

12-14 jam

Waktu

Hari ke 7

Gambar 2.3 Fase ebb dan fase flow (Preiser et al., 2014)

2.1.9. Manifestasi klinis Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali dengan proses infeksi yang ditandai

dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhir pada multiple organ dysfunction syndrome (MODS) (Heyland, 2001; Annane, 2005).

Sepsis dimulai dengan tanda klinis respon inflamasi sistemik (yaitu demam, takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi pada kondisi vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik atau “hangat”, dengan muka kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta peningkatan curah jantung) atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik hipodinamik atau “dingin” dengan anggota gerak yang biru atau putih dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan gambaran pemeriksaan fisik yang konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini (Larosa, 2010).

Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah kurangnya beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini mungkin lebih Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah kurangnya beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini mungkin lebih

Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin berlanjut menjadi gambaran sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama di rawat di instalasi gawat darurat, dengan permulaan hanya ditemukan perubahan samar-samar pada pemeriksaan. Perubahan status mental seringkali merupakan tanda klinis pertama disfungsi organ, karena perubahan status mental dapat dinilai tanpa pemeriksaan laboratorium, dan mudah terlewatkan pada pasien tua, sangat muda, dan pasien dengan kemungkinan penyebab perubahan tingkat kesadaran, seperti intoksikasi. Penurunan produksi urin (≤0,5ml/kgBB/jam) merupakan tanda klinis yang lain yang mungkin terlihat sebelum hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan dan digunakan sebagai tambahan pertimbangan klinis (Marino, 2007).

2.1.10. Diagnosis Diagnosis syok septik meliputi diagnosis klinis syok dengan konfirmasi

mikrobiologi etiologi infeksi seperti kultur darah positif atau apusan gram dari buffy coat serum atau lesi petekia menunjukkan mikroorganisme. Spesimen darah, urin, dan cairan serebrospinal sebagaimana eksudat lain, abses, dan lesi kulit yang terlihat harus dikultur dan dilakukan pemeriksaan apusan untuk menentukan organisme. Pemeriksaan hitung sel darah, hitung trombosit, waktu protrombin dan tromboplastin parsial, kadar fibrinogen serta D-dimer, analisis gas darah, profil ginjal dan hati, serta kalsium ion harus dilakukan. Tanda-tanda klinis sebagai gejala sepsis dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau hipotermia, takikardi, takipnea, tanda-tanda vasodilatasi perifer, syok dan perubahan status mental yang tidak dapat dijelaskan. Pengukuran hemodinamik menunjukkan pada syok septik mikrobiologi etiologi infeksi seperti kultur darah positif atau apusan gram dari buffy coat serum atau lesi petekia menunjukkan mikroorganisme. Spesimen darah, urin, dan cairan serebrospinal sebagaimana eksudat lain, abses, dan lesi kulit yang terlihat harus dikultur dan dilakukan pemeriksaan apusan untuk menentukan organisme. Pemeriksaan hitung sel darah, hitung trombosit, waktu protrombin dan tromboplastin parsial, kadar fibrinogen serta D-dimer, analisis gas darah, profil ginjal dan hati, serta kalsium ion harus dilakukan. Tanda-tanda klinis sebagai gejala sepsis dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau hipotermia, takikardi, takipnea, tanda-tanda vasodilatasi perifer, syok dan perubahan status mental yang tidak dapat dijelaskan. Pengukuran hemodinamik menunjukkan pada syok septik

2.1.11. Laboratorium Hasil laboratorium yang sering ditemukan adalah asidosis metabolik, trombositopenia, peningkatan laktat, pemanjangan waktu protrombin dan tromboplastin parsial, penurunan kadar fibrinogen serum dan peningkatan produk fibrin split, anemia, penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2, serta perubahan morfologi dan jumlah neutrofil. Peningkatan neutrofil serta peningkatan leukosit imatur, vakuolasi neutrofil, granular toksik cenderung menandakan infeksi bakteri. Neutropenia merupakan tanda kurang baik yang menandakan perburukan sepsis. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil dan bakteri. Pada stadium awal meningitis, bakteri dapat dideteksi dalam cairan serebrospinal sebelum terjadi suatu respons inflamasi (Larossa, 2010; Higgins, 2011).

2.2. Laktat Pada individual sehat terdapat siklus berkelanjutan dari metabolisme dan

produksi laktat sehingga kadar laktat dalam darah rendah dalam keadaan normal. Kadar laktat tinggi ketika produksi lebih tinggi dari eliminasi, ketika kapasitas eliminasimenurun atau lebih sering keduanya terjadi secara bersamaan. Kadar laktat normal pada individual sehat 1 ± 0.5 mmol/L (Andersen, 2013; Malmir, 2014).

Glukosa dibentuk dari bagian gliserol lemak dan senyawa glukogenik yang dapat digolongkan ke dalam dua kategori yaitu:  Senyawa yang meliputikonversi netto langsung menjadi glukosa tanpa daur ulang, seperti beberapa asam amino serta propionat;  Senyawa yang merupakan hasil metabolisme parsial glukosa dalam jaringan tertentu yang diangkut ke dalam hepar serta ginjal untuk disintesis kembali menjadi glukosa melalui mekanisme glukoneogenesis, seperti laktat dan alanin (Malmir, 2014).

Senyawa kimia yang merupakan hasil proses glikolisis di dalam sel, kadar laktat dalam plasma merupakan hasil keseimbangan antara produksi dan bersihan yang dipengaruhi beberapa faktor. Bila suplai oksigen tidak dapat mencukupi pasokan oksigen seperti pada hipoksia dan syok, maka sel akan melakukan mekanisme adaptasi untuk menghasilkan ATP sebagai sumber energi. Pada kondisi tersebut laktat menjadi salah satu hasil metabolit perantara yang berperan untuk kelangsungan metabolisme dalam sel. Hiperlaktatemia pada kondisi sakit kritis dinilai sebagai penanda terjadinya metabolisme anaerob sel yang mengalami stres akibat ketersediaan oksigen yang tidak adekuat. Laktat merupakan penyebab utama terjadinya ketidakseimbangan asam basa dan 2/3 dari pasien kritis yang mengalami asidosis metabolik disebabkan hiperlaktemia (Moviat et al., 2003, Valenza et al., 2005).

Glikogen dipecah menjadi unit-unit glukosa-1-fosfat dan masing-masing unit dibagi menjadi dua fragmen 3-karbon. Produk akhir dari perombakan glukosa adalah asam piruvat. Energi yang bermanfaat dari glikolisis adalah 3-Adenosine Diphosphate (ADP) dan mengalami fosforilasi kembali untuk menghasilkan 3- Adenosine Triphosphate (ATP), dan 4 ion hidrogen (H + ) per molekul glukosa 1- fosfat yang di putus dari glikogen. Pada kondisi anaerobik, ion hidrogen dilepaskan dalam glikolisis, tetapi siklus asam trikarboksilat atau siklus Krebs tidak dapat menggabungkannya dengan oksigen pada kecepatan yang cukup sehingga cenderung berakumulasi dalam otot. Kelebihan ion hidrogen ini, kemudian digunakan untuk mengkonversi asam piruvat menjadi asam laktat. Pada kondisi aerobik, ion-ion tersebut diterima oleh senyawa pembawa H + , nikotinamida adenin dinukleotida bentuk oksidasi (NAD + ) dan mentransportasikan H + ke dalam mitokondria untuk fosforilasi kembali sehingga menghasilkan 4 molekul ATP. Selanjutnya asam piruvat memasuki siklus Krebs dan dirombak menjadi karbondioksida dan ion hidrogen. Karbondioksida kemudian berdifusi memasuki peredaran darah sebagai hasil sisa, sedangkan ion hidrogen diterima oleh NAD + untuk membentuk senyawa NADH (NAD dalam bentuk reduksi).Produk-produk perombakan dari asam lemak dan protein, juga memasuki siklus Krebs dan dikonversi menjadi energi (Van der Beek, 2001).

2.2.1. Metabolisme Laktat Konsentrasi kadar laktat arteri tergantung dari keseimbangan antara

produksi dan konsumsi. Kadar normal laktat adalah < 18 mg/dL (2 mmol/L) dengan jumlah produksi 1500 mmol/L per hari. Secara fisiologis laktat diproduksi oleh semua jaringan tubuh, yang terbanyak adalah otot (25%), kulit (24%), otak (20%), usus halus (10%), dan sel darah merah yang tidak memliliki mitokondria (20%). Kadar laktat sering digunakan sebagai parameter dari metabolisme kerja otot karena otot merupakan organ yang paling besar pengaruhnya terhadap kadar laktat. Laktat dimetabolisme oleh tubuh di hati dan ginjal (Shapiro, 2010; Lubis, 2016).

Laktat diproduksi di sitoplasma, dan merupakan hasil metabolisme dari piruvat yang dikatalisasi oleh enzim laktat dehidrogenase (LDH):

Piruvat + NADH + H+ LDH

Laktat + NAD+

Reaksi ini menghasilkan laktat dengan rasio laktat banding piruvat 10 kali lipat dan 2 molekul ATP untuk tiap molekul piruvat. Kadar laktat akan meningkat bila pembentukan piruvat melebihi penggunaannya di mitokondria. Piruvat dibentuk melalui proses glikolisis, sehingga kondisi apapun yang menyebabkan peningkatan glikolosis akan meningkatkan kadar laktat. Piruvat akan dimetabolisme di mitokondria melalui suatu reaksi oksidasi aerob oleh enzim piruvat dehydrogenase (PDH) dalam siklus Krebs:

Piruvat + CoA + NAD PDH Asetil-CoA + NADH + H + CO2

Reaksi tersebut menghasilkan 36 molekul ATP untuk tiap molekul piruvat. Laktat yang dihasilkan melalui jalur piruvat akan mengalami proses transaminase menjadi alanine atau proses karboksilasi menjadi oksaloasetat atau malat, atau secara langsung digunakan oleh sel hepatosit periportal hati (60%) untuk pembentukan glikogen dan glukosa melalui proses glikogenesis dan glukoneogenesis atau siklus Cori (Vernon, 2010).

Laktat gunakan oleh sel otot yang bekerja sebagai substrat perantara reaksi oksidasi dalam jalur laktat (lactate shuttle). Sehingga laktat sekarang dianggap sebagai substrat perantara metabolisme yang mengalami oksidasi saat kebutuhan energi tubuh meningkat atau sebagai substrat yang berperan penting dalam glukoneogenesis. Laktat terbukti dapat berfungsi sebagai molekul penanda (signaling) yang ikut mengatur fungsi selular dan sistemik (Van der Beek, 2001; Vernon, 2010).

Teori lactate shuttle menunjukkan proses pembentukan senyawa laktat secara aerobik. Proses ini merupakan suatu mekanisme berbagai jaringan dan organ menggunakan sumber karbon yang sama untuk reaksi oksidasi atau glukoneogenesis (Hoffman, 2012).

Gambar 2.4 Metabolisme laktat. F-6-P: fruktosa-6-fosfat, F-1,6-P: fruktosa-1,6 - bifosfat, G-6-P: glukosa-6-fosfat, gliseraldehid 3-P: Gliseraldehid 3-fosfat, p: fosfat. (Dikutip dari Levy, 2005)

2.2.2. Hiperlaktatemia Peningkatan laktat dalam darah (hiperlaktatemia) merupakan respon

fisiologis tubuh dalam keadaan beraktivitas berat tetapi peningkatan kadar laktat saat istirahat merupakan masalah serius yang ditemukan pada pasien yang dirawat. Peningkatan kadar laktat yang berhubungan dengan penurunan pH darah akan mengarah pada keadaan asidosis laktat. Asidosis laktat didefinisikan sebagai keadaan asidosis metabolik dengan kadar laktat ≥ 5 mmol/L dan pH arteri <7.35. Hiperlaktatemia terjadi pada pasien dengan kadar laktat > 2 mmol/L. Pada pasien kritis asidosis laktat biasanya memiliki angka mortalitas yang tinggi, pada konsentrasi > 8 mmol/L memprediksi kematian. Studi prospektif baru tentang kadar laktat melaporkan kematian mencapai 83% pada pasien dengan kadar laktat > 10 mmol/L. Tetapi pada setiap individu, prognosis sangat tergantung kepada penyakit dasar, dengan asidosis laktat sebagai indikator beratnya keadaan syok, dan responnya terhadap terapi (Andersen, 2013).

Cohen dan Woods pada tahun 1926 mencoba untuk membagi penyebab peningkatan laktat dihubungkan dengan adanya keadaan hipoksia jaringan pada tipe A dan tipe B. Klasifikasi asidosis laktat dibagi menjadi:

A. Keadaan sekunder yang berhubungan dengan hipoksia jaringan (tipe A):

1. Syok

2. Anemia berat

3. Hipoksemia berat

4. Hipoperfusi regional

5. Keracunan karbon monoksida

B. Keadaan sekunder oleh suatu mekanisme lain (tipe B):

1. Berhubungan dengan penyakit tertentu (tipe B1) Sepsis, gagal hepar, defisiensi tiamin; (suatu kofaktor enzim yang berperan dalam metabolisme laktat); keganasan tertentu, (misal: limfoma, kanker paru, kanker payudara, feokromositoma, diabetes).

2. Akibat obat atau racun tertentu (tipe B2) Obat antidiabetik golongan biguanid (fenformin, metformin), biasanya pada keadaan insufisiensi ginjal; golongan alkohol (etanol, metanol), glikol (etilen 2. Akibat obat atau racun tertentu (tipe B2) Obat antidiabetik golongan biguanid (fenformin, metformin), biasanya pada keadaan insufisiensi ginjal; golongan alkohol (etanol, metanol), glikol (etilen

3. Suatu kelainan kongenital (tipe B3) Penyakit von Gierke (penyakit gangguan penyimpanan glikogen tipe I); intoleransi fruktosa bawaan; defisiensi karboksilase piruvat; defisiensi 1.6 bifosfat fruktosa; gangguan fosforilasi oksidasi bawaan; defisiensi dehidrogenase piruvat; sindrom Kearns-Sayre; sindrom mitochondrial encephalopathy with lactic acidosis and stroke (MELAS) (Gunnerson, 2006).

Faktor yang paling penting pada produksi laktat adalah proses glikolisis (glycolytic flux). Menurut Connet et al. (1990) terdapat beberapa faktor yang merangsang perpindahan glukosa selama proses glikolisis yaitu menurun atau terhambatnya proses fosforilasi di jaringan, pengaruh hormon dan stres seperti insulin, epinefrin, efek metabolik dari mediator inflamasi (TNF, IL1) dan alkalosis. Proses fosforilasi menurun atau terhambat karena terjadi penurunan sintesis ATP (akibat dari menurunnya oksigenasi jaringan, disfungsi mitokondria) atau peningkatan kebutuhan energi (kondisi hipermetabolik dan stres). Sakit kritis merupakan kondisi hiperadrenergik akibat meningkatnya sekresi katekolamin dan sering terjadi hipoperfusi, hipooksigenasi jaringan, dan disfungsi mitokondria. Hipotesis James dkk menyatakan bahwa laktat yang dihasilkan sel otot pada sepsis atau syok hemoragik bukan semata-mata karena proses glikolisis anaerob akibat hipoperfusi, melainkan dari meningkatnya proses glikolisis aerob akibat dari sekresi katekolamin meningkat. Penelitian Levy, dkk pada pasien dengan syok sepsis juga mendukung hipotesis tersebut (Levy, 2005).

2.3. Terapi Adjuvan, Support Hemodinamik dan Terapi Cairan pada Pasien Sepsis Dalam 10 tahun terakhir telah banyak didapatkan perkembangan dalam

tatalaksana sepsis, yaitu dalam hal resusitasi cairan, terapi inotropik, dan pemberian antibiotika.

terkini diketahui bahwa waktu memegang peranan penting dan krusial. Early Goal Directed

Namun

dalam

penanganan

sepsis

Therapy (EGDT) merupakan penatalaksanaan pasien dengan sepsis berat dan syok septik, yang bertujuan memperbaiki penghantaran oksigen ke jaringan, dalam jangka waktu tertentu (Rivers et al., 2001).

Rivers et al. (2001) mempublikasikan penelitian mereka tentang EGDT, yaitu pada 263 pasien dewasa yang didiagnosis sepsis berat dan syok septik di unit gawat darurat. Pasien tersebut mendapat resusitasi cairan kristaloid dan koloid untuk mempertahankan tekanan vena sentral ≥ 8 mmHg, pemberian vasodilator dan vasopresor untuk mempertahankan mean arterial pressure (MAP) antara 65-90 mmHg, transfusi PRC untuk mempertahankan hematokrit ≥ 30% pada pasien dengan saturasi oksigen vena sentral ≤ 70%, serta pemberian inotropik. Resusitasi dini dilakukan dalam 6 jam pertama dan berhasil mengurangi mortalitas selain juga berhasil mencegah terjadinya kegagalan multiorgan. Keberhasilan pendekatan tatalaksana pasien sepsis berat dan syok septik dengan pendekatan EGDT yang dilaporkan oleh Rivers et al. berupa menurunnya angka mortalitas hingga 16,5% dibandingkan dengan kelompok yang mendapat terapi standar tanpa pendekatan EGDT dengan angka mortalitas yang lebih tinggi (Rivers et al., 2001).

Rekomendasi dari Surviving Sepsis Campaign 2012 yaitu resusitasi cairan untuk sepsis berat direkomendasikan penggunaan kristaloid sebagai pilihan cairan inisial untuk resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik (grade 1B). Selain itu, juga tidak direkomendasikan penggunaan hydroxyethyl starches (HES) untuk resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik (grade 1B) (Rekomendasi ini berdasarkan hasil dari percobaan VISEP, CRYSTMAS, dan CHEST) dan juga direkomendasikan penggunaan albumin untuk resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik ketika pasien membutuhkan jumlah kristaloid yang substansial (grade 2C) (Dellinger et al., 2012).

Hipotensi yang menetap meskipun telah dilakukan resusitasi cairan optimal merupakan ciri dari syok septik, yang terjadi akibat gangguan kontraktilitas miokardium selain juga terdapat gangguan pada resistensi vaskuler sistemik. Akibat gangguan di atas, maka diperlukan pemberian vasopresor dan terapi inotropik untuk memperbaiki tekanan darah serta mempertahankan penghantaran oksigen ke jaringan. Dalam penatalaksanaan sepsis, harus dilakukan usaha secepat mungkin Hipotensi yang menetap meskipun telah dilakukan resusitasi cairan optimal merupakan ciri dari syok septik, yang terjadi akibat gangguan kontraktilitas miokardium selain juga terdapat gangguan pada resistensi vaskuler sistemik. Akibat gangguan di atas, maka diperlukan pemberian vasopresor dan terapi inotropik untuk memperbaiki tekanan darah serta mempertahankan penghantaran oksigen ke jaringan. Dalam penatalaksanaan sepsis, harus dilakukan usaha secepat mungkin

Tabel 2.2 Surviving Sepsis Campaign (Dellinger et al., 2012)

Tabel 2.3 Rekomendasi: support hemodinamik dan terapi adjuvan (Dellinger et al. , 2012)

Terapi cairan pada sepsis berat

1. Kristaloid sebagai pilihan cairan insial untuk resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik (grade 1B).

2. Menentang penggunaan dari HES untuk resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik (grade 1B).

3. Albumin dalam resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik ketika pasien membutuhkan jumlah kristaloid yang substansial (grade 2C).

4. Tantangan cairan inisial pada pasien dengan sepsis yang mengakibatkan hipoperfusi jaringan dengan kecurigaan hipovolemia untuk mencapai minimum 30 mL/kg dari kristaloid (porsi ini mungkin sama dengan 4. Tantangan cairan inisial pada pasien dengan sepsis yang mengakibatkan hipoperfusi jaringan dengan kecurigaan hipovolemia untuk mencapai minimum 30 mL/kg dari kristaloid (porsi ini mungkin sama dengan

5. Teknik tantangan cairan dapat diaplikasikan pada saat administrasi cairan dilanjutkan sepanjang perbaikan hemodinamik apakah berdasarkan pada dinamik (contoh : perubahan pada tekanan nadi, variasi stroke volume) atau variabel statik (contoh : tekanan arterial, denyut jantung).

Vasopresor

1. Terapi vasopresor digunakan untuk mencapai target tekanan rerata arterial atau mean arterial pressure lebih dari 65 mmHg (grade 1C).

2. Norepinefrin sebagai pilihan pertama vasopresor (grade 1B).

3. Epinefrin (ditambahkan atau berpotensi menggantikan norepinefrin) ketika agen tambahan dibutuhkan untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat (grade 2B).

4. Vasopresin 0.03 unit/menit dapat ditambahkan ke norepinefrin (NE) dengan tujuan untuk meningkatkan MAP atau menurunkan dosis NE.

5. Vasopresin dosis rendah tidak direkomendasikan sebagai vasopresor inisial untuk penatalaksanaan sepsis yang menyebabkan hipotensi dan dosis vasopresin lebih tinggi dari 0.03-0.04 unit/menit harus disediakan untuk terapi pilihan terakhir (jika terdapat kegagalan untuk mencapai MAP yang adekuat dengan agen vasopresor yang lain).

6. Dopamin sebagai agen vasopresor alternatif dari norepinefrin hanya digunakan pada pasien yang dipilih (contoh : pasien dengan resiko rendah takiaritmia dan bradikardi absolut atau relatif).

7. Penileprine tidak direkomendasikan pada penatalaksanaan dari syok septik kecuali pada kondisi dimana (a) norepinefrin berhubungan dengan aritmia yang berat, (b) curah jantung biasanya tinggi dan tekanan darah rendah secara persisten atau (c) sebagai terapi pilihan terapi ketika dikombinasikan dengan obat-obatan inotrop/vasopresor dan vasopresin dosis rendah gagal untuk mencapai target MAP (grade 1C).

8. Dopamin dosis rendah tidak boleh digunakan untuk proteksi ginjal (grade 1A).

9. Semua pasien yang membutuhkan vasopresor harus dipasang kateter arterial setelah diberikan jika sumber tersedia.

Terapi Inotrop

1. Infus dobutamin sampai 20 mikrogram/kg/menit dapat diberikan atau dengan ke vasopresor (jika digunakan) jika terdapat (a) disfungsi miokardial yang ditandai dengan peningkatan tekanan pengisian jantung dan curah jantung yang rendah, atau (b) adanya tanda-tanda hipoperfusi, tanpa mencapai volume intravaskular yang adekuat dan MAP yang adekuat (grade 1C).

2. Tidak menggunakan strategi untuk meningkatkan indeks jantung untuk menentukan level supranormal (grade 1B). Kortikosteroid

1. Tidak dapat digunakan untuk mengobati pasien dewasa dengan syok septik jika resusitasi cairan adekuat dan terapi vasopresor dapat mengembalikan kestabilan hemodinamik. Jika tidak tercapai, kita merekomendasikan penggunaan hidrokortison intravena sendiri dengan dosis 200 mg per hari (grade 2C).

2. Tidak menggunakan tes stimulasi ACTH untuk mengidentifikasi pasien dewasa dengan syok septik yang harus menerima hidrokortison (grade 2B).

3. Pada pasien yang mendapat hidrokortison dosis harus diturunkan perlahan jika vasopresor tidak dibutuhkan lagi (grade 2D).

4. Kortikosteroid tidak boleh diadministrasikan untuk penanganan sepsis jika tidak terdapat syok (grade 1D).

5. Ketika hidrokortison diberikan, harus menggunakan aliran yang berkelanjutan (grade 2D).

2.3.1. Norepinefrin Norepinefrin atau sering disebut sebagai noradrenalin merupakan senyawa

kimia dari golongan katekolamin yang berfungsi sebagai hormon dan neurotransmiter. Di dalam otak, norepinefrin diproduksi oleh sel dalam neuron atau nukleus yang terletak di pons. Di luar otak, norepinefrin digunakan sebagai neurotransmiter oleh ganglia simpatetis yang terletak di dekat korda spinalis dan dilepaskan ke dalam aliran darah oleh kelenjar adrenal (Marino, 2007).

Norepinefrin bekerja pada kedua reseptor adrenergik alfa dan beta menghasilkan vakonstriksi kuat dan kurang mempengaruhi peningkatan cardiac output (CO). Efek vasokonstriksi poten bekerja dengan meningkatkan aliran balik vena dan memperbaiki preload jantung. Efek vasokontriksi norepinefrin terlihat pada peningkatan tekanan darah sistolik yang tidak sesuai dibandingkan dengan tekanan diastolik yang menyebabkan suatu refleks bradikardi. Respon bradikardi ini sering berlawanan dengan efek kronotropik ringan norepinefrin, menyebabkan denyut jantung tidak berubah. Pada dosis rendah (2 µg/menit), norepinefrin menstimulasi reseptor beta adrenergik. Dosis yang biasanya digunakan dalam klinis (>3 µg/menit). Norepinefrin merangsang reseptor alfa untuk menghasilkan vasokonstriksi (Dellinger et al, 2012).