Strategi dan Evolusi Doktrin Pertahanan
Windira Anindya
105120407111024 / A.SECCON.6
Studi Strategi: Preliminary Essay
Strategi Pertahanan Negara
Departemen Pertahanan Negara Republik Indonesia
dan
Evolusi Doktrin Pertahanan Indonesia
Andi Widjajanto
Globalisasi muncul sebagai akibat dari adanya perubahan peta geopolitik dunia,
semenjak Amerika Serikat keluar sebagai pemenang Perang Dingin. Globalisasi yang diiringi
dengan kemajuan teknologi mendorong terjadinya perubahan signifikan yang kemudian
mempengaruhi tatanan sosial kehidupan masyarakat serta pola komunikasi dan hubungan
antar negara. Pergeseran peta geopolitik dunia ini pun turut berimplikasi pada perubahan
dalam konteks isu-isu dalam bidang keamanan dan pertahanan. Dengan munculnya banyak
aktor-aktor non-negara baru, suatu Negara “dipaksa” untuk terus beradaptasi dan responsif
terhadap segala potensi ancaman yang menghadang. Apalagi melihat urgensi dari adanya
fenomena globalisasi yang memicu kompetisi setiap negara untuk memperjuangkan
kepentingan nasionalnya.
Kondisi geografis Indonesia yang berbentuk negara kepulauan, mengharuskan adanya
pembentukan suatu sistem pertahanan negara yang kuat dan berdaya tangkal tinggi karena
ancaman bisa masuk dari mana saja, mengingat luasnya negara ini. Dan untuk membentuk
sistem pertahanan negara yang kuat, dibutuhkan serangkaian strategi pertahanan yang
disusun dari kekuatan bangsa, baik dari militer maupun nirmiliter, sebagai pondasinya.
Efektivitas strategi pertahanan sendiri dapat dirasakan ketika strategi tersebut dapat
menjawab persoalan yang paling mendasar seperti, apa yang dipertahankan, dengan apa
mempertahankannya, serta bagaimana mempertahankannya.
Berdasarkan kondisi geografis, Indonesia menetapkan Sistem Pertahanan Semesta
dengan Strategi Pertahanan Berlapis sebagai perwujudannya. Strategi ini menyinergikan lapis
pertahanan militer maupun nirmiliter sebagai satu kesatuan pertahanan yang saling
menyokong. Lapis pertahanan militer ini direpresentasikan oleh TNI sebagai kekuatan utama
yang melaksanakan Operasi Militer Perang dan Operasi Militer Selain Perang yang
dilengkapi dengan alutsista, sedangkan lapis pertahanan nirmiliter sendiri merupakan
komponen strategi pertahanan negara yang dibentuk dengan tujuan untuk menangkal
ancaman nirmiliter yang melaksanakan fungsi diplomasi, ekonomi, psikologi, teknologi, dan
Windira Anindya
105120407111024 / A.SECCON.6
Studi Strategi: Preliminary Essay
informasi, serta keselamatan umum. Fungsi lapis pertahanan nirmiliter ini sendiri dapat
dilaksanakan oleh departemen atau lembaga pemerintah di luat bidang pertahanan maupun
masyarakat sipil dengan kapabilitas profesi, pengetahuan, dan keahlian mereka sebagai
bentuk perwujudan Sistem Pertahanan Semesta yang esensinya adalah keikutsertaan segenap
warga negara dalam pertahanan negara.
Seiring dengan semakin pesatnya laju globalisasi, aktor-aktor dalam sistem
internasional pun semakin kompleks, terutama eksistensi dari aktor non negara. Kemunculan
aktor non negara ini juga berimbas pada semakin kompleksnya ancaman yang muncul.
Indonesia, melalui Strategi Pertahanan Negaranya berusaha untuk menangkal ancaman yang
telah dikategorikan menjadi dua, yaitu militer dan nirmiliter. Ancaman sendiri pada dasarnya
tidak hanya ancaman yang berasal dari kekuatan militer negara lain, namun juga bisa berasal
dari dalam negara dengan adanya kelompok bersenjata yang kemudian membahayakan
stabilitas keamanan nasional. Ancaman-ancaman ini dapat berupa invasi sampai agresi
militer, pelanggaran wilayah, gerakan separatisme, pemberontakan bersenjata, penyerangan
terhadap objek vital nasional, kegiatan spionase, terorisme, gangguan keamanan di laut dan di
udara, serta konflik komunal yang merupakan konsekuensi dari adanya masyarakat
heterogen. Adapun ancaman nirmiliter sendiri merupakan ancaman yang berdimensi
ideology, politik, ekonomi, social, informasi dan teknologi, serta keselamatan umum.
Misalnya seperti separatisme melalui perjuangan politik, instabilitas ekonomi dan politik,
konflik horizontal, serta penyakit-penyakit social lainnya.
Pembentukan Strategi Pertahanan Negara didasarkan pada tujuh landasan. Landasan
yang pertama ialah landasan idiil, yaitu Pancasila sebagai dasar, falsafah, dan ideologi negara
yang kemudian diamalkan oleh segenap warga negara dengan pembentukan pola pikir, sikap,
dan pola tindakan sesuai fungsinya masing-masing sebagai komponen pertahanan negara.
Landasan kedua ialah landasan konstitusional, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 yang
merupakan sumber hukum dan pedoman direksi dalam proses pelaksanaan pertahanan
negara. Landasan ketiga ialah landasan yuridis, yaitu UU RI Nomor 3 Tahun 2002 mengenai
Pertahanan Negara yang membagi peranan TNI sebagai komponen utama pertahanan negara
terhadap ancaman militer dan lembaga pemerintahan di luar bidang pertahanan sebagai
komponen utama dalam menghadapi ancaman nirmiliter. Landasan keempat ialah landasan
historis yang lebih bersifat psikologis terkait dengan pembentukan identitas serta semangat
juang yang timbul akibat kenangan sejarah kolonialisasi serta perjuangan bangsa Indonesia di
masa lampau untuk merebut kemerdekaan. Adapun semangat juang ini direpresentasikan
Windira Anindya
105120407111024 / A.SECCON.6
Studi Strategi: Preliminary Essay
dengan adanya Bhinneka Tunggal Ika yang mengisyarakatkan persatuan dari segenap warga
negara Indonesia yang berbeda latar belakang. Landasan yang kelima ialah landasan visional
yang merupakan cara pandang bangsa Indonesia terhadap diri dan lingkungannya sebagai
kesatuan yang utuh yang kemudian diwujudkan ke dalam Wawasan Nusantara sebagai
konsep geopolitik Indonesia. Landasan keenam ialah landasan konseptual yang merupakan
konsep geostrategi Indonesia yang diwujudkan dengan Ketahanan Nasional dengan tujuan
untuk membentuk daya tangkal nasional yang dapat berperngaruh terhadap ketahanan
regional dan supraregional.
Landasan yang terakhir ialah landasan doktrinal yang diwujudkan dengan adanya
Doktrin Pertahanan Negara (Doktrin HANNEG) yang berisi tentang ajaran serta prinsip
fundamental yang digali dari pengalaman bangsa Indonesia untuk berdiri sejajar dengan
bangsa lain di dunia yang kemudian dijadikan pelajaran dalam mengembangkan konsep
pertahanan sesuai tuntutan tugas pertahanan dalam rangka pemenuhan kepentingan nasional
dan pengelolaan lingkungan strategis baik global maupun regional. Adapun enam muatan
doktrin pertahanan terdiri dari perspektif bangsa tentang perang, komponen negara yang
terlibat perang, pemegang kendali perang, mekanisme pertanggungjawaban, strategi perang,
dan terminasi perang. Dalam doktrin ini juga terdapat tiga substansi dasar strategi pertahanan
yaitu tujuan dan sasaran yang ingin dicapai/ends, sumber daya yang digunakan/means, serta
cara mencapai tujuan/ways. Pada masa damai, doktrin ini digunakan sebagai pedoman direksi
pelaksanaan pertahanan nasional dalam rangka untuk persiapan daya tangkal terhadap
ancaman dari dalam maupun luar. Sedangkan pada masa perang, doktrin ini digunakan
sebagai pedoman penggunaan dan pengalokasian seluruh sumber daya dan kekuatan nasional
untuk mempertahankan keamanan nasional.
Dalam pelaksanaannya, Doktrin Pertahanan Negara mengalami perkembangan dari
tahun 1945 hingga 2004. Periode yang pertama adalah pada masa kemerdekaan, yaitu pada
tahun 1945-1949. Pada masa ini, TNI mengalami perkembangan organisasi mulai dari yang
awalnya hanya BKR, lalu berubah menjadi TKR, TRI, hingga akhirnya TNI. Proses
transformasi organisasi militer ini dibarengi dengan transformasi doktrin pertahanan. Pada
awalnya, Indonesia menganut konsep pertahanan linier yaitu konsep Linie Maginot yang
didasarkan pada asumsi strategis yang memisahkan daerah musuh dengan daerah ‘kita’.
Namun, dengan kekuatan tentara Belanda yang lebih besar, doktrin ini berubah menjadi
doktrin Wehrkreise dimana tentara militer akan mempertahankan lingkaran-lingkaran wilayah
yang telah ditentukan. Doktrin wehrkreise ini kemudian dilengkapi dengan dalil-dalil perang
Windira Anindya
105120407111024 / A.SECCON.6
Studi Strategi: Preliminary Essay
gerilya. Strategi baru yang kemudian muncul dari penerapan doktrin ini ialah Pertahanan
Bulat Total dimana dalam penyelenggaraannya melibatkan rakyat dari seluruh lapisan.
Strategi ini kemudian berujung pada militerisasi instansi pemerintah.
Periode yang kedua terjadi pada masa konstitusi Republik Indonesia Serikat pada
tahun 1949-1950. Organisasi militer masih mengalami transformasi menjadi Organisasi
Tentara Republik Indonesia Serikat (TRIS)
yang bertugas untuk mengamankan
pemberontakan senjata. Pemberontakan ini kemudian memnculkan konsep pasukan ekspedisi
dan konsep operasi gabungan.
Kemudian periode ketiga yaitu pada masa perang internal (1950-1959). Pada masa
ini, pemberontakan masih sering terjadi, sehingga konsep Operasi Militer Gabungan masih
terus dikembangkan dengan Doktrin Pertahanan Rakyat yang mengajarkan untuk sebanyak
mungkin tenaga harus dikerahkan untuk melakukan peperangan. Misalnya pada
pemberontakan DI/TII Jawa Barat, kekuatan Operasi Militer Merdeka mengandalkan AD
sebagai ‘pagar betis’. Kemudian Operasi Tegas bertugas untuk menghadapi perlawanan
Permesta yang menggunakan operasi militer gabungan antara angkatan darat, laut, dan udara
dengan operasi pendadakan terhadap lawan yang mengkombinasikan penembakan dan
pengeboman udara. Operasi Tegas juga melakukan operasi keamanan dan blokade sungai
untuk mencegah armada Amerika Serikat yang sedang berlabuh di Singapura masuk.
Periode keempat adalah masa Demokrasi Terpimpin yang terjadi pada tahun 19591967. Pada masa ini, doktrin Pertahanan Rakyat masih terus digunakan seiring dengan
semangat serta sikap anti imperialisme dan kolonialisme yang dijadikan bagian integral
pertahanan negara. Pada masa ini, operasi militer mengalami inovasi baru, sperti
pengembangan perang berlarut untuk serangan ofensif yang mengandalkan strategi perang
konvensional. Pada masa ini pula, Operasi Mandala dibentuk untuk mengamankan Irian
Barat dengan memfokuskan operasi militernya pada laut, melalui tahapan show of forces ,
operasi amfibi, serta follow up. Sikap dan semangat anti imperialisme dan kolonialisme ini
pula menjadi dasar pembentukan Operasi Ganyang Malaysia yang bertujuan untuk menjaga
perbatasan dari intervensi lawan. Strategi utama yang dilakukan oleh KKO AL adalah taktik
tempur bertahan aktif dengan cara mengadakan penyerangan pre-emptif melalui penyusupan
dan sabotase di daerah lawan.
Periode keenam adalah periode Orde Baru pada tahun 1967-1998. Pada masa ini,
penyelenggaraan pertahanan negara difokuskan pada pemberantasan terhadap pemberontakan
besar, seperti G 30 S/PKI. Angkatan Darat sendiri pada masa ini menggelar operasi dalam
tiga pola strategi, yaitu operasi tempur, operasi intelijen, dan operasi territorial. Tiga pola
operasi ini kemudian disertakan ke dalam doktrin Tri Ubaya Cakti. Di dalam doktrin besar
Tri Ubaya Cakti juga terdapat tiga doktrin dasar, yaitu Doktrin Pertahanan Darat Nasional
(Hanratnas), Doktrin Kekaryaan, dan Doktrin Pembinaan. Doktrin Hanratnas merupakan
Windira Anindya
105120407111024 / A.SECCON.6
Studi Strategi: Preliminary Essay
landasan dasar dalam pengembangan strategi perang dan doktrin militer. Dalam Hanratnas,
perang yang dilakukan adalah Perang Rakyat Semesta yang mengharuskan seluruh lapisan
rakyat ikut serta. Asumsi dasar doktrin Tri Ubaya Cakti ini kemudian diteruskan dalam
doktrin pertahanan TNI ‘Tjatur Darma Eka Karma’ yang intinya adalah sistem Pertahanan
dan Keamanan Perang Rakyat Semesta (Perata) sebagai dasar pelaksanaan pertahanan dan
keamanan negara. Doktrin ini kemudian berkembang Doktrin Perjuangan TNI/ABRI 1988,
Catur Darma Eka Karma, yang menyatakan bahwa politik pertahanan keamanan negara
adalah defensive aktif serta preventif aktif. Kemudian pada tahun 1991, doktrin ini berubah
lagi menjadi Doktrin Hankam ABRI yang menyatakan bahwa medan pertahanan
diproyeksikan dalam tiga lapis yaitu medan pertahanan penyanggah di luar garis batas ZEE,
medan pertahanan utama dari garis ZEE hingga laut territorial, dan daerah perlawan yang
terletak di wilayah perairan serta daratan Indonesia. Kemudian pada tahun 1994, doktrin ini
diperbaharui menjadi Doktrin Sad Daya Dwi Bakti.
Periode yang terakhir adalah pada masa Reformasi tahun 1998-2004. Pada masa ini,
transformasi yang dilakukan lebih difokuskan pada kondisi internal organisasi militer TNIABRI yang pada masa sebelumnya memiliki dua fungsi, yaitu dalam hal pertahanan negara
dan politik. Pada periode ini, militer lebih memperhatikan penanggalan karakter TNI sebagai
tentara politik daripada mengembangkan doktrin pertahanan baru. Untuk konsepsi strategi
pertahanan, Doktrin CADEK 1988, Hankam 1991, dan Sad Daya Dwi Bakti masih tetap
digunakan.
105120407111024 / A.SECCON.6
Studi Strategi: Preliminary Essay
Strategi Pertahanan Negara
Departemen Pertahanan Negara Republik Indonesia
dan
Evolusi Doktrin Pertahanan Indonesia
Andi Widjajanto
Globalisasi muncul sebagai akibat dari adanya perubahan peta geopolitik dunia,
semenjak Amerika Serikat keluar sebagai pemenang Perang Dingin. Globalisasi yang diiringi
dengan kemajuan teknologi mendorong terjadinya perubahan signifikan yang kemudian
mempengaruhi tatanan sosial kehidupan masyarakat serta pola komunikasi dan hubungan
antar negara. Pergeseran peta geopolitik dunia ini pun turut berimplikasi pada perubahan
dalam konteks isu-isu dalam bidang keamanan dan pertahanan. Dengan munculnya banyak
aktor-aktor non-negara baru, suatu Negara “dipaksa” untuk terus beradaptasi dan responsif
terhadap segala potensi ancaman yang menghadang. Apalagi melihat urgensi dari adanya
fenomena globalisasi yang memicu kompetisi setiap negara untuk memperjuangkan
kepentingan nasionalnya.
Kondisi geografis Indonesia yang berbentuk negara kepulauan, mengharuskan adanya
pembentukan suatu sistem pertahanan negara yang kuat dan berdaya tangkal tinggi karena
ancaman bisa masuk dari mana saja, mengingat luasnya negara ini. Dan untuk membentuk
sistem pertahanan negara yang kuat, dibutuhkan serangkaian strategi pertahanan yang
disusun dari kekuatan bangsa, baik dari militer maupun nirmiliter, sebagai pondasinya.
Efektivitas strategi pertahanan sendiri dapat dirasakan ketika strategi tersebut dapat
menjawab persoalan yang paling mendasar seperti, apa yang dipertahankan, dengan apa
mempertahankannya, serta bagaimana mempertahankannya.
Berdasarkan kondisi geografis, Indonesia menetapkan Sistem Pertahanan Semesta
dengan Strategi Pertahanan Berlapis sebagai perwujudannya. Strategi ini menyinergikan lapis
pertahanan militer maupun nirmiliter sebagai satu kesatuan pertahanan yang saling
menyokong. Lapis pertahanan militer ini direpresentasikan oleh TNI sebagai kekuatan utama
yang melaksanakan Operasi Militer Perang dan Operasi Militer Selain Perang yang
dilengkapi dengan alutsista, sedangkan lapis pertahanan nirmiliter sendiri merupakan
komponen strategi pertahanan negara yang dibentuk dengan tujuan untuk menangkal
ancaman nirmiliter yang melaksanakan fungsi diplomasi, ekonomi, psikologi, teknologi, dan
Windira Anindya
105120407111024 / A.SECCON.6
Studi Strategi: Preliminary Essay
informasi, serta keselamatan umum. Fungsi lapis pertahanan nirmiliter ini sendiri dapat
dilaksanakan oleh departemen atau lembaga pemerintah di luat bidang pertahanan maupun
masyarakat sipil dengan kapabilitas profesi, pengetahuan, dan keahlian mereka sebagai
bentuk perwujudan Sistem Pertahanan Semesta yang esensinya adalah keikutsertaan segenap
warga negara dalam pertahanan negara.
Seiring dengan semakin pesatnya laju globalisasi, aktor-aktor dalam sistem
internasional pun semakin kompleks, terutama eksistensi dari aktor non negara. Kemunculan
aktor non negara ini juga berimbas pada semakin kompleksnya ancaman yang muncul.
Indonesia, melalui Strategi Pertahanan Negaranya berusaha untuk menangkal ancaman yang
telah dikategorikan menjadi dua, yaitu militer dan nirmiliter. Ancaman sendiri pada dasarnya
tidak hanya ancaman yang berasal dari kekuatan militer negara lain, namun juga bisa berasal
dari dalam negara dengan adanya kelompok bersenjata yang kemudian membahayakan
stabilitas keamanan nasional. Ancaman-ancaman ini dapat berupa invasi sampai agresi
militer, pelanggaran wilayah, gerakan separatisme, pemberontakan bersenjata, penyerangan
terhadap objek vital nasional, kegiatan spionase, terorisme, gangguan keamanan di laut dan di
udara, serta konflik komunal yang merupakan konsekuensi dari adanya masyarakat
heterogen. Adapun ancaman nirmiliter sendiri merupakan ancaman yang berdimensi
ideology, politik, ekonomi, social, informasi dan teknologi, serta keselamatan umum.
Misalnya seperti separatisme melalui perjuangan politik, instabilitas ekonomi dan politik,
konflik horizontal, serta penyakit-penyakit social lainnya.
Pembentukan Strategi Pertahanan Negara didasarkan pada tujuh landasan. Landasan
yang pertama ialah landasan idiil, yaitu Pancasila sebagai dasar, falsafah, dan ideologi negara
yang kemudian diamalkan oleh segenap warga negara dengan pembentukan pola pikir, sikap,
dan pola tindakan sesuai fungsinya masing-masing sebagai komponen pertahanan negara.
Landasan kedua ialah landasan konstitusional, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 yang
merupakan sumber hukum dan pedoman direksi dalam proses pelaksanaan pertahanan
negara. Landasan ketiga ialah landasan yuridis, yaitu UU RI Nomor 3 Tahun 2002 mengenai
Pertahanan Negara yang membagi peranan TNI sebagai komponen utama pertahanan negara
terhadap ancaman militer dan lembaga pemerintahan di luar bidang pertahanan sebagai
komponen utama dalam menghadapi ancaman nirmiliter. Landasan keempat ialah landasan
historis yang lebih bersifat psikologis terkait dengan pembentukan identitas serta semangat
juang yang timbul akibat kenangan sejarah kolonialisasi serta perjuangan bangsa Indonesia di
masa lampau untuk merebut kemerdekaan. Adapun semangat juang ini direpresentasikan
Windira Anindya
105120407111024 / A.SECCON.6
Studi Strategi: Preliminary Essay
dengan adanya Bhinneka Tunggal Ika yang mengisyarakatkan persatuan dari segenap warga
negara Indonesia yang berbeda latar belakang. Landasan yang kelima ialah landasan visional
yang merupakan cara pandang bangsa Indonesia terhadap diri dan lingkungannya sebagai
kesatuan yang utuh yang kemudian diwujudkan ke dalam Wawasan Nusantara sebagai
konsep geopolitik Indonesia. Landasan keenam ialah landasan konseptual yang merupakan
konsep geostrategi Indonesia yang diwujudkan dengan Ketahanan Nasional dengan tujuan
untuk membentuk daya tangkal nasional yang dapat berperngaruh terhadap ketahanan
regional dan supraregional.
Landasan yang terakhir ialah landasan doktrinal yang diwujudkan dengan adanya
Doktrin Pertahanan Negara (Doktrin HANNEG) yang berisi tentang ajaran serta prinsip
fundamental yang digali dari pengalaman bangsa Indonesia untuk berdiri sejajar dengan
bangsa lain di dunia yang kemudian dijadikan pelajaran dalam mengembangkan konsep
pertahanan sesuai tuntutan tugas pertahanan dalam rangka pemenuhan kepentingan nasional
dan pengelolaan lingkungan strategis baik global maupun regional. Adapun enam muatan
doktrin pertahanan terdiri dari perspektif bangsa tentang perang, komponen negara yang
terlibat perang, pemegang kendali perang, mekanisme pertanggungjawaban, strategi perang,
dan terminasi perang. Dalam doktrin ini juga terdapat tiga substansi dasar strategi pertahanan
yaitu tujuan dan sasaran yang ingin dicapai/ends, sumber daya yang digunakan/means, serta
cara mencapai tujuan/ways. Pada masa damai, doktrin ini digunakan sebagai pedoman direksi
pelaksanaan pertahanan nasional dalam rangka untuk persiapan daya tangkal terhadap
ancaman dari dalam maupun luar. Sedangkan pada masa perang, doktrin ini digunakan
sebagai pedoman penggunaan dan pengalokasian seluruh sumber daya dan kekuatan nasional
untuk mempertahankan keamanan nasional.
Dalam pelaksanaannya, Doktrin Pertahanan Negara mengalami perkembangan dari
tahun 1945 hingga 2004. Periode yang pertama adalah pada masa kemerdekaan, yaitu pada
tahun 1945-1949. Pada masa ini, TNI mengalami perkembangan organisasi mulai dari yang
awalnya hanya BKR, lalu berubah menjadi TKR, TRI, hingga akhirnya TNI. Proses
transformasi organisasi militer ini dibarengi dengan transformasi doktrin pertahanan. Pada
awalnya, Indonesia menganut konsep pertahanan linier yaitu konsep Linie Maginot yang
didasarkan pada asumsi strategis yang memisahkan daerah musuh dengan daerah ‘kita’.
Namun, dengan kekuatan tentara Belanda yang lebih besar, doktrin ini berubah menjadi
doktrin Wehrkreise dimana tentara militer akan mempertahankan lingkaran-lingkaran wilayah
yang telah ditentukan. Doktrin wehrkreise ini kemudian dilengkapi dengan dalil-dalil perang
Windira Anindya
105120407111024 / A.SECCON.6
Studi Strategi: Preliminary Essay
gerilya. Strategi baru yang kemudian muncul dari penerapan doktrin ini ialah Pertahanan
Bulat Total dimana dalam penyelenggaraannya melibatkan rakyat dari seluruh lapisan.
Strategi ini kemudian berujung pada militerisasi instansi pemerintah.
Periode yang kedua terjadi pada masa konstitusi Republik Indonesia Serikat pada
tahun 1949-1950. Organisasi militer masih mengalami transformasi menjadi Organisasi
Tentara Republik Indonesia Serikat (TRIS)
yang bertugas untuk mengamankan
pemberontakan senjata. Pemberontakan ini kemudian memnculkan konsep pasukan ekspedisi
dan konsep operasi gabungan.
Kemudian periode ketiga yaitu pada masa perang internal (1950-1959). Pada masa
ini, pemberontakan masih sering terjadi, sehingga konsep Operasi Militer Gabungan masih
terus dikembangkan dengan Doktrin Pertahanan Rakyat yang mengajarkan untuk sebanyak
mungkin tenaga harus dikerahkan untuk melakukan peperangan. Misalnya pada
pemberontakan DI/TII Jawa Barat, kekuatan Operasi Militer Merdeka mengandalkan AD
sebagai ‘pagar betis’. Kemudian Operasi Tegas bertugas untuk menghadapi perlawanan
Permesta yang menggunakan operasi militer gabungan antara angkatan darat, laut, dan udara
dengan operasi pendadakan terhadap lawan yang mengkombinasikan penembakan dan
pengeboman udara. Operasi Tegas juga melakukan operasi keamanan dan blokade sungai
untuk mencegah armada Amerika Serikat yang sedang berlabuh di Singapura masuk.
Periode keempat adalah masa Demokrasi Terpimpin yang terjadi pada tahun 19591967. Pada masa ini, doktrin Pertahanan Rakyat masih terus digunakan seiring dengan
semangat serta sikap anti imperialisme dan kolonialisme yang dijadikan bagian integral
pertahanan negara. Pada masa ini, operasi militer mengalami inovasi baru, sperti
pengembangan perang berlarut untuk serangan ofensif yang mengandalkan strategi perang
konvensional. Pada masa ini pula, Operasi Mandala dibentuk untuk mengamankan Irian
Barat dengan memfokuskan operasi militernya pada laut, melalui tahapan show of forces ,
operasi amfibi, serta follow up. Sikap dan semangat anti imperialisme dan kolonialisme ini
pula menjadi dasar pembentukan Operasi Ganyang Malaysia yang bertujuan untuk menjaga
perbatasan dari intervensi lawan. Strategi utama yang dilakukan oleh KKO AL adalah taktik
tempur bertahan aktif dengan cara mengadakan penyerangan pre-emptif melalui penyusupan
dan sabotase di daerah lawan.
Periode keenam adalah periode Orde Baru pada tahun 1967-1998. Pada masa ini,
penyelenggaraan pertahanan negara difokuskan pada pemberantasan terhadap pemberontakan
besar, seperti G 30 S/PKI. Angkatan Darat sendiri pada masa ini menggelar operasi dalam
tiga pola strategi, yaitu operasi tempur, operasi intelijen, dan operasi territorial. Tiga pola
operasi ini kemudian disertakan ke dalam doktrin Tri Ubaya Cakti. Di dalam doktrin besar
Tri Ubaya Cakti juga terdapat tiga doktrin dasar, yaitu Doktrin Pertahanan Darat Nasional
(Hanratnas), Doktrin Kekaryaan, dan Doktrin Pembinaan. Doktrin Hanratnas merupakan
Windira Anindya
105120407111024 / A.SECCON.6
Studi Strategi: Preliminary Essay
landasan dasar dalam pengembangan strategi perang dan doktrin militer. Dalam Hanratnas,
perang yang dilakukan adalah Perang Rakyat Semesta yang mengharuskan seluruh lapisan
rakyat ikut serta. Asumsi dasar doktrin Tri Ubaya Cakti ini kemudian diteruskan dalam
doktrin pertahanan TNI ‘Tjatur Darma Eka Karma’ yang intinya adalah sistem Pertahanan
dan Keamanan Perang Rakyat Semesta (Perata) sebagai dasar pelaksanaan pertahanan dan
keamanan negara. Doktrin ini kemudian berkembang Doktrin Perjuangan TNI/ABRI 1988,
Catur Darma Eka Karma, yang menyatakan bahwa politik pertahanan keamanan negara
adalah defensive aktif serta preventif aktif. Kemudian pada tahun 1991, doktrin ini berubah
lagi menjadi Doktrin Hankam ABRI yang menyatakan bahwa medan pertahanan
diproyeksikan dalam tiga lapis yaitu medan pertahanan penyanggah di luar garis batas ZEE,
medan pertahanan utama dari garis ZEE hingga laut territorial, dan daerah perlawan yang
terletak di wilayah perairan serta daratan Indonesia. Kemudian pada tahun 1994, doktrin ini
diperbaharui menjadi Doktrin Sad Daya Dwi Bakti.
Periode yang terakhir adalah pada masa Reformasi tahun 1998-2004. Pada masa ini,
transformasi yang dilakukan lebih difokuskan pada kondisi internal organisasi militer TNIABRI yang pada masa sebelumnya memiliki dua fungsi, yaitu dalam hal pertahanan negara
dan politik. Pada periode ini, militer lebih memperhatikan penanggalan karakter TNI sebagai
tentara politik daripada mengembangkan doktrin pertahanan baru. Untuk konsepsi strategi
pertahanan, Doktrin CADEK 1988, Hankam 1991, dan Sad Daya Dwi Bakti masih tetap
digunakan.