Al quran dan Hadits tentang Konsep Diri

LANDASAN QURAN DAN HADIST
TENTANG PENGENALAN DIRI

Oleh :
Pritandra Chusnuludin Shofani
PS-3A/16

PROGRAM SARJANA TERAPAN (S. Tr)
PRODI PERBANKAN SYARIAH JURUSAN AKUNTANSI
POLITEKNIK NEGERI SEMARANG
2015

BAB 3
3.1 LANDASAN QURAN DAN HADIST TENTANG
PENGENALAN DIRI

Pengenalan diri pertama kali adalah dari mengenal siapa yang menciptakan kita dan
untuk apa kita diciptakan. Lalu bagaimana kita dapat mengenal pencipta manusia? Pencipta
manusia adalah Allah, seperti di jelaskan dalam QS. al-Hassyr: 22-24 yang berbunyi :
“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata,
Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (22)

“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, raja, yang Maha suci, yang Maha Sejahtera,
yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha
Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.” (23)
“Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang
mempunyai asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan dialah
yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (24)

Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda:

“Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya, dan barangsiapa
yang mengenal Tuhannya maka binasalah (fana) dirinya.”

Sebagaimana ayat dan sabda Nabi diatas, pertama yang harus dikenal seorang muslim adalah
Allah. Jika seorang muslim mengenal Allah dengan baik, maka kita juga akan memiliki
kepribadian yang baik. Dengan mengenal Allah, seorang muslim dapat mengetahui perintah,
larangan yang telah dituliskan oleh Allah dalam Al qur’an.

Lalu diri mana yang wajib kita kenal? Sungguhnya diri kita terbagi dua sebagaimana firman
Allah dalam surat Luqman ayat 20:

Artinya :
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu
apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir
dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu
pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.”
Jadi berdasarkan ayat di atas, diri kita sesungguhnya terbagi dua:
1. Diri Zahir yaitu diri yang dapat dilihat oleh mata dan dapat diraba oleh tangan.
2. Diri batin yaitu yang tidak dapat dipandang oleh mata dan tidak dapat diraba oleh
tangan, tetapi dapat dirasakan oleh mata hati. Adapun dalil mengenai terbaginya diri
manusia

Karena sedemikian pentingnya peran diri yang batin ini di dalam upaya untuk
memperoleh pengenalan kepada Allah, itulah sebabnya kenapa kita disuruh melihat ke dalam
diri (introspeksi diri) sebagimana firman Allah dalam surat az-Zariat ayat 20-21:
Artinya :

“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin.”
(20)
“dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (21)
Allah memerintahkan kepada manusia untuk memperhatikan ke dalam dirinya

disebabkan karena di dalam diri manusia itu Allah telah menciptakan sebuah mahligai yang
mana di dalamnya Allah telah menanamkan rahasia-Nya sebagaimana sabda Nabi di dalam
Hadis Qudsi:

Artinya:
“Aku jadikan dalam rongga anak Adam itu mahligai dan dalam mahligai itu ada dada dan
dalam dada itu ada hati (qalbu) namanya dan dalam hati (qalbu) ada mata hati (fuad) dan
dalam mata hati (fuad) itu ada penutup mata hati (saghaf) dan dibalik penutup mata hati
(saghaf) itu ada nur/cahaya (labban), dan di dalam nur/cahaya (labban) ada rahasia (sirr)
dan di dalam rahasia (sirr) itulah Aku kata Allah”. (Hadis Qudsi)
Pengenalan diri ini selain berkaitan dengan didalam diri manusia, juga berkaitan
dengan apa hakikat manusia itu sebenarnya. Manusia memiliki hakikat sebagai makhluk
biologis, makhluk pribadi, makhluk sosial dan makhluk religius. Semua hakikat ini ada di
dalam Al qur’an.
a. Manusia Sebagai Makhluk Biologis
Manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang menentukan
kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya memenuhi tuntutan dan
kebutuhan insting. Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an potensi manusia yang relevan
dengan insting ini disebut nafsu. Potensi nafsu ini berupa al hawa dan as-syahwat. Syahwat
adalah dorongan seksual,kepuasan-kepuasan yang bersifat materi duniawi yang menuntut

untuk selalu dipenuhi dengan cepat dan memaksakan diri serta cenderung melampau batas
(Ali-Imran:14, Al-A’raf:80, dan An-Naml:55). Al-Hawa adalah dorongan-dorongan tidak
rasional, sangat mengagungkan kemampuan dan kepandaian diri sendiri, cenderung
membenarkan segala cara, tidak adil yang terpengaruh oleh kehendak sendiri, rasa marah atau
kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci yang berupa emosi atau sentimen. Dengan
demikian orang yang selalu mengikuti al-hawa ini menyebabkan dia tersesat dari jalan Allah
(An-Nisa:135, Shad:26 dan An-Nazi’at:40-41). Ada tiga jenis nafsu yang paling pokok, yaitu:
(1) nafsu amarah , yaitu nafsu yang selalumendorong untuk melakukan kesesatan dan
kejahatan (Yusuf:53), (2) nafsu lawwaamah, yaitu nafsu yang menyesal . Ketika manusia
telah mengikuti dorongan nafsu amarah dengan perbuatan nyata, sesudahnya sangat
memungkinkan manusia itu menyadari kekeliruannya dan membuat nafsu itu menyesal (Al
Qiyamah:1-2), dan (3) nafsu muthmainnah, yaitu nafsu yang terkendalioleh akal dan kalbu

sehingga dirahmati oleh Allah swt.. Ia akan mendorong kepada ketakwaan dalam arti
mendorong kepada hal-hal yang positif (Al-Fajr:27-30).
b. Manusia Sebagai Makhluk Pribadi
Manusia sebagai makhluk pribadi memiliki ciri-ciri kepribadian pokok sebagai
berikut: (1) memiliki potensi akal untuk berpikir rasional dan mampu menjadi hidup sehat,
kreatif, produktif dan efektif, tetapi juga ada kecendrungan dorongan berpikir tidak rasional
(2) memiliki kesadaran diri, (3) memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan dan

bertanggung jawab, (4) merasakan kecemasan sebagai bagian dari kondisi hidup, (5)
memiliki kesadaran akan kematiandan ketiadaan, (6) selalu terlibat dalam proses aktualisasi
diri.Berdasarkan keterangan Al Qur’an, manusia mempunyai potensi akal untuk berpikir
secara rasional dalam mengarahkan hidupnya ke arah maju dan berkembang (AlBaqarah:164, Al-Hadid:17, dan Al-Baqarah:242), memiliki kesadaran diri (as-syu’ru) (AlBaqarah:9 dan 12), memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan (Fushilat:40, Al-Kahfi:29,
dan Al-Baqarah:256) serta tanggung jawab (Al-Muddatsir:38, Al-Isra:36, Al-Takatsur:8).
Sekalipun demikian, manusia juga memiliki kondisi kecemasan dalam hidupnya sebagai
ujian dari Allah yang disebut al khauf (Al-Baqarah:155), memiliki kemampuan untuk
mengaktualisasikan fitrahnya kepadapribadi takwa (Ar-Ruum:30, Al-A’raf:172-174, AlAn’am:74-79, Ali-Imran:185, An-Nahl:61,dan An-Nisa: 78).

c. Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Menurut konsep konseling, seperti yang diungkapkan dalam Terapi Adler, Terapi
Behavioral, dan Terapi Transaksional, manusia sebagai memiliki sifat dan ciri-ciri pokok
sebagai berikut: (1) manusia merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh
lingkungan, tetapi juga sekaligus sebagai produser terhadap lingkungannya, (2) perilaku
sangat dipengaruhi oleh kehidupan masa kanak-kanak, yaitu pengaruh orang tua (orang lain
yang signifikan), (3) keputusan awal dapat dirubah atau ditinjau kembali, (4) selalu terlibat
menjalin hubungan dengan orang lain dengan cinta kasih dan kekeluargaan.
Sebagai makhluk sosial, Al Qur’an menerangkan bahwa sekalipun manusia memiliki
potensi fitrah yang selalu menuntut kepada aktualisasi iman dan takwa, namun manusia tidak
terbebas dari pengaruh lingkungan atau merupakan agen positif yang tergantung pada

pengaruh lingkungan terutama pada usia anak-anak. Oleh karena kehidupan masa anak-anak
inisangat mudah dipengaruhi, maka tanggung jawab orang tua sangat ditekankan untuk
membentuk kepribadian anak secara baik (At-Tahrim:6) Namun demikian, setelah manusia
dewasa (mukallaf), yakni ketika akal dan kalbu sudah mampu berfungsi secara penuh, maka
manusia mampu mengubah berbagai pengaruh masa anak yang menjadi kepribadiannya
(keputusan awal) yang dipandang tidak lagi cocok (Ar-Ra’du:85 dan Al-Hasyr:18), bahkan
manusia mampu mempengaruhi lingkungannya (produser bagi lingkungannya) (AlAnkabut:7, Al-A’raf:179, Ali-Imran:104, Al-Ashr:3, dan At-Taubah:122). Sebagai makhluk
sosial ini pula manusia merupakan bagian dari masyarakat yang selalu membutuhkan
keterlibatan menjalin hubungan dengan sesamanya, hal ini disebut dengan silaturrahmi (AlHujurat:13,Ar-Ra’du:21, dan AnNisa:1).

d. Manusia Sebagai Makhluk Religius
Konsep konseling tidak ada menerangkan manusia sebagai makhluk religius. Sebagai
makhluk religius manusia lahir sudah membawa fitrah, yaitu potensi nilai-nilai keimanan dan
nilai-nilai kebenaran hakiki. Fitrah ini berkedudukan di kalbu, sehingga dengan fitrah ini
manusia secara rohani akan selalu menuntut aktualisasi diri kepada iman dan takwa
dimanapun manusia berada (Ar-Ruum:30 dan Al-A’raf:172-174). Namun tidak ada yang bisa
teraktualisasikan dengan baik dan ada pula yang tidak, dalam hal ini faktor lingkungan pada
usia anak sangat menentukan. Manusia sebagai makhluk religius berkedudukan sebagai
abidullah dan sebagai khalifatullah di muka bumi. Abidullah merupakan pribadi yang
mengabdi dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Allah (AdzDzariyat:56). Hal ini disebut ibadah mahdhah. Khalifatullah merupakan tugas manusia untuk

mengolah dan memakmurkan alam ini sesuai dengankemampuannya untuk kesejahteraan
umat manusia, serta menjadi rahmat bagi orang lain atau yang disebut rahmatan lil’alamin
(Al-Baqarah:30).

Pengenalan diri kita sudah kita lakukan dari lahir, bahkan Allah juga menganjurkan
kita mengenalkan diri secara baik sesuai dengan hakikat kita. Dari hakikat yang dimiliki,
maka kita dapat menentukan kepribadian kita sebagai pengenalan diri kita kepada orang lain.

Daftar Pustaka
Arsini, Yenti. Konseling Berdasarkan Al qur’an. www.academia.edu/5623544/KONSELING
_BERDASARKAN_AL_QUR_AN
Risal, Muhammad. Pengenalan Jati Diri dalam Al-Quran dan Hadits. www.artikelbagus.com
/2014/08/pengenalan-jati-diri-dalam-al-quran-dan-hadits.html# (diakses tanggal 15 Maret
2015)
Sarkub, Tim. Bagaimana Cara Mengenal Allah SWT?. www.sarkub.com/2012/bagaimanacara-mengenal-allah-swt/ (diakses tanggal 15 Maret 2015)