BAB II - BAB II ok.docx

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penalaran Matematika Penalaran adalah proses berpikir, sebagaimana dinyatakan oleh Suriasumantri (2005: 42) penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam

  menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Berfikir merupakan aktivitas mental seseorang yang menggunakan pikirannya untuk mengumpulkan ide-ide atau informasi-informasi yang ada. Berfikir dilakukan dengan cara menghubungkan antara bagian-bagian informasi yang ada pada diri seseorang dengan masalah yang sedang dihadapi. Adapun bagian-bagian berpikir dapat dilihat dari gambar berikut:

  creativ Reasoning critical basic retentio

  (Krulik, 1996: 2) Dari gambar di atas memperlihatkan bahwa reasoning merupakan bagian berpikir yang berada di atas level retention, yang meliputi: basic thinking, critical

  

thinking dan creative thinking. Sedangkan higher-order thinking meliputi basic

thinking dan critical thinking. Retention thinking merupakan tingkatan berpikir

  paling rendah. Basic thinking merupakan kemampuan memahami konsep. Jadi penalaran matematika meliputi kemampuan memahami konsep matematika dan berpikir tingkat tinggi.

  Suatu proses berpikir mempunyai dasar kebenaran, maka proses berpikir merupakan proses penarikan kesimpulan yang dilakukan menurut cara tertentu dan membutuhkan aturan-aturan untuk memperoleh kebenaran. Dalam matematika proses penarikan kesimpulan untuk memperoleh kebenaran dapat dilakukan dengan penalaran induktif dan deduktif.

1. Penalaran Induktif

  Penalaran induktif merupakan proses berpikir yang mendasarkan kesimpulan umum pada kondisi khusus (Sumarni, 2006: 12). Pendapat yang sama di sampaikan oleh Markman & Gentner (Santrock, 2008: 357), ”Penalaran kesimpulan (membentuk konsep) tentang semua anggota suatu kategori berdasarkan observasi dari beberapa anggota”. Kondisi khusus atau hal yang spesifik merupakan premis, sedangkan hal umum merupakan konklusi.

  Banyak penalaran induktif yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya adalah untuk mengetahui penyebab suatu kejadian. Dari serangkaian kejadian yang terjadi maka kita akan berusaha untuk menemukan apa penyebab atau latar belakangnya. Sehingga penalaran induktif merupakan kegiatan penarikan kesimpulan berdasarkan beberapa kemungkinan yang muncul. Penalaran induktif dalam matematika dibagi menjadi dua bagian yaitu generalisasi dan analogi.

  a. Generalisasi

  Generalisasi merupakan proses penalaran yang berdasarkan pada pemeriksaan hal-hal secukupnya kemudian memperoleh kesimpulan untuk semuanya atau sebagian besar hal-hal tadi. Untuk memeriksa kebenaran hasil yang diperoleh dalam penyimpulan, maka dilakukan pemeriksaan dengan induksi matematika.

  Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan apakah penyimpulan yang diperoleh berlaku untuk semua.

  Contoh: Premis : Garis l dan garik k dikatakan sejajar apabila gradiennya sama

  Garis l gradiennya 2 dan garis k gradiennya -2 Kesimpulan : gradien garis l dan k tidak sama maka garis l dan k tidak sejajar

  Dari proses pengambilan kesimpulan menghasilkan konklusi yang berlaku

  b. Analogi

  Analogi merupakan penalaran dari satu hal tertentu kepada satu hal lain yang serupa kemudian menyimpulkan apa yang benar untuk satu hal juga akan benar untuk hal lain. Contoh: Pilihlah jawaban yang benar Hubungan 3 dengan Serupa dengan Hubungan p dengan 3, 9, 27, ...

  a. p, 2p, 3p, ...

  b. p+2, p+3, p+4, ...

  c. 2p, 2p2, 2p3, ... Jawaban untuk pertanyaan di atas adalah c hubungan antara 3 dengan p. Sebab 3 merupakan faktor dari barisan 3, 9, 27,.. jika dibagikan akan menghasilkan 1, 2, 3,… demikian halnya dengan jika p faktor dari 2p, 2p2, 2p3, ... maka menghasilkan 1, 2, 3,… juga.

2. Penalaran Deduktif

  Penalaran deduktif adalah proses berpikir yang berangkat dari hal-hal (pernyataan) yang umum ke hal-hal (kesimpulan) yang bersifat khusus (Sumarni, 2006: 11). Kesimpulan yang ditarik dalam penalaran deduktif adalah benar jika premis-premis yang dipergunakan adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah (Bakhtiar, 2004: 205). Lain halnya dengan penalaran induktif, penalaran deduktif merupakan proses penarikan kesimpulan berdasarkan pada premis-premisnya secara pasti dan tidak dipengaruhi oleh faktor dari luar

  Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penalaran deduktif adalah proses penarikan kesimpulan yang diturunkan sepenuhnya dari premis-premisnya dengan mengikuti aturan penarikan kesimpulan. Aturan penarikan kesimpulan dengan menggunakan penalaran deduktif lebih kuat. Ini berarti jika sebuah argumen valid dan anggapannya benar maka kesimpulannya akan dijamin benar. Jika dalam penarikan kesimpulan bernilai salah, maka yang salah bukan aturannya tetapi ada premis yang salah. Penalaran deduktif dibagi menjadi dua bagian yaitu kondisional dan sillogisma.

a. Kondisional

  Penalaran kondisional merupakan bagian dari berfikir yaitu mengubah informasi yang diberikan untuk memperoleh kesimpulan. Masalah yang ada dalam kondisional menjelaskan kepada kita tentang adanya hubungan antara dua kondisi atau keadaan, yang dinyatakan dengan hubungan jika … maka … Penalaran kondisional terdiri dari empat bagian, yaitu:

  1) Memperkuat anteseden Contoh: Jika hari ini Sabtu maka saya akan pulang.

  Hari ini Sabtu. Kesimpulan: Saya akan pulang. Kalimat yang dimulai dengan kata “jika . . .” bernilai benar maka penalarannya akan menghasilkan kesimpulan yang benar atau valid. Contoh di atas jelas bahwa jika hari ini Sabtu berarti benar bahwa hari Sabtu saya akan pulang.

  Contoh: Jika saya datang ke sekolah maka saya akan dapat gaji Saya dapat gaji Kesimpulan: Saya datang ke sekolah

  Dalam hal ini kalimat yang dimulai dengan kata ”maka ... ” bernilai benar maka penalarannya akan menghasilkan kesimpulan yang kurang tepat. Pada contoh jika saya dapat gaji belum tentu karena saya datang ke sekolah mungkin gaji tersebut diberikan oleh seseorang, sehingga meskipun saya tidak datang ke sekolah saya tetap mendapatkan gaji.

  3) Menyangkal anteseden Contoh 3: Jika saya mahasiswa baru maka harus membayar SPP semester ini.

  Saya bukan mahasiswa baru. Kesimpulan: Saya tidak harus membayar SPP semester ini. pada kalimat yang diawali dengan kata ”jika . . .” bernilai salah, maka ini akan membawa pada kesimpulan yang kurang tepat. Pada contoh disebutkan bahwa jika saya bukan mahasiswa baru bukan berarti bahwa saya tidak boleh membayar SPP semester ini, bisa saja saya membayar SPP pada hari ini bersama-sama dengan mahasiswa baru. 4) Menyangkal konsekuensi

  Contoh 4: Kamu tidak pandai.

  Kesimpulan: kamu tidak rajin. pada kalimat yang diawali dengan kata ”maka . . .” bernilai salah, maka kesimpulan yang diperoleh akan bernilai benar atau valid. Pada contoh jika kamu tidak pandai berarti kamu tidak rajin.

  Berdasarkan penjelasan tentang 4 bagian dari penalaran kondisional dapat disimpulkan bahwa kesimpulan yang valid akan diperoleh pada bagian 1 dan 4. Sedangkan untuk bagian 2 dan 3 dalam pengambilan kesimpulan salah berarti tidak valid.

b. Sillogisma

  Sillogisma adalah bentuk kedua dari penalaran deduktif. Ciri-ciri sillogisma yaitu terdiri dari 2 premis yang bernilai benar, melibatkan kata kuantitatif misalnya beberapa, semua/setiap, tak satu pun atau yang lainnya. Kesimpulan yang diperoleh dalam sillogisma bisa bernilai benar, bernilai salah atau belum tentu bernilai benar atau bernilai salah. Contoh:

  Beberapa A adalah B Beberapa B adalah C Kesimpulan: beberapa A adalah C (belum tentu benar atau salah)

  Kesimpulan yang diperoleh bisa bernilai benar bisa juga bernilai salah. Karena beberapa C merupakan bagian dari B maka berarti ada sebagian C yang merupakan bagian dari A maka berarti ada sebagian B yang merupakan anggota A (sillogisma b).

B. Sikap Siswa Terhadap Matematika

  Sikap menurut Trow (Djaali, 2007: 114) adalah suatu kesiapan mental atau emosional dalam beberapa jenis tindakan pada situasi yang tepat. Dari definisi tersebut, maka sikap belajar ikut menentukan intensitas kegiatan mengajar. Sikap belajar yang positif akan menimbulkan intensitas kegiatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sikap belajar yang negatif (Djaali, 2007: 116). Sikap positif siswa terhadap matematika ditandai dengan mengikuti pelajaran dengan bersungguh-sungguh, berpartisipasi aktif saat berdiskusi, ataupun merespon dengan baik setiap tantangan matematik seperti merespon dengan baik soal yang dirasakan sulit sehingga dalam dirinya timbul upaya untuk menaklukannya.

  Sikap siswa dalam belajar matematika merupakan faktor yang mempengaruhi perbedaan kemampuan dan prestasi matematika. Menurut Shadiq (fadjar_p3g@yahoo.com& www.fadjarp3g. wordpress.com diakses tanggal 23 Januari 2010) menyatakan: “Sikap siswa terhadap matematika dapat berupa sikap positif yang dapat membantu siswa untuk menghargai mata pelajaran matematika dan membantu siswa mengembangkan rasa percaya diri terhadap kemampuan dirinya; sedangkan sikap negatif tidak dapat membantu siswa untuk menghargai mata pelajaran matematika dan tidak dapat membantu siswa mengembangkan rasa

  Dalam pembelajaran matematika siswa lebih percaya bahwa guru sebagai penyebab keberhasilan mereka dan dalam menyelesaikan soal matematika siswa memiliki pandangan bahwa hanya ada satu cara untuk memecahkan soal matematika, sehingga siswa harus berpikir keras untuk dapat menjawab soal tersebut jika materinya tidak dipahami maka akan muncul sikap yang tidak diharapkan (negatif) dari siswa. Agar siswa dapat belajar secara optimal maka perlu upaya untuk mengeleminasi sikap negatif dan perasaan takut terhadap matematika, sehingga matematika merupakan pelajaran yang menyenangkan dan akan mengubah sikap siswa kearah positif.

  Menurut Ruseffendi (1980: 130) Dalam pembelajaran matematika sikap positif dapat di tumbuhkan bila: “(1) materi matematika diajarkan sesuai dengan kemampuannya; (2) matematika banyak kaitannya dengan kehidupan sehari-hari; (3) siswa banyak berpartisipasi dalam rekreasi matematika; (4) Banyaknya soal yang harus diselesaikan; (5) Penyajian dan sikap gurunya menarik”. Jadi perubahan sikap ke arah yang positif terhadap matematika merupakan salah satu indikator keberhasilan guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran.

C. Pembelajaran Kontekstual

  Pembelajaran kontekstual merupakan suatu konsep membantu guru mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata. Pengertian pembelajaran kontekstual menurut Nurhadi (2003: 13):

  Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mengkontruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.

  Dalam pembelajaran kontekstual terdapat tujuh komponen utama, yaitu:

a. Konstruktivisme (constructivisvism)

  Konstruktivisme (Contructivism) merupakan landasan berpikir (filosofis) pembelajaran kontekstual (Trianto, 2008: 28). Dalam pandangan ini, pengetahuan diperoleh dari mengkonstruksi bukan menerima, jadi guru memfasilitasi siswa untuk membangun sendiri konsep-konsep yang sedang dipelajari. Pembelajaran harus dikemas menjadi proses "menkonstruksi" bukan "menerima" pengetahuan. dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru.

  Untuk itu, tugas guru adalah menfasilitasi proses tersebut dengan : (1)menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa, (2) memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan (3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.

  b. Inkuiri (Inquiry) Inkuiri merupakan bagian inti dari pembelajaran kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya.

  Langkah-langkah kegiatan menemukan (inkuiri) : (1) Merumuskan masalah (dalam mata pelajaran apapun); (2) Mengamati atau observasi; (3) Menganalsis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya; dan (4). Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain. Berdasarkan langkah- langkah tersebut inkuiri ini sangat tepat untuk menanamkan konsep.

  c. Bertanya (Questioning) Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari "bertanya".

  Questioning merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong membimbing, dan menilai kemampuan berfikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran.

  Pada aktivitas belajar, bertanya dapat diterapkan; antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas. Aktivitas bertanya juga ditemukan ketika siswa berdiskusi, bekerja kelompok, ketika menemui kesulitan, ketika mengamati.

  Kegiatan itu akan menumbuhkan dorongan untuk bertanya.

  Dalam bentuk formalnya sebagai salah satu kegiatan dalam mengawali, langsung kepada siswa atau justru memancing siswa untuk bertanya kepada guru, kepada siswa lain atau kepada orang lain secara khusus. Kegiatan ini sangat menunjang setiap aktivitas belajar.

  d. Masyarakat Belajar (learning community)

  Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Artinya hasil belajar diperoleh dari sharing antara teman, antar kelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Dalam kelas guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok- kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok yang anggotanya heterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat. Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan bisa melibatkan siswa di kelas.

  Masyarakat-belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah, Seorang guru yang mengajari siswanya bukan contoh masyarakat-belajar karena komunikasi hanya terjadi satu arah, yaitu informasi hanya datang dari guru ke arah siswa, tidak ada arus informasi yang perlu dipelajari guru yang datang dari arah siswa. Contoh tersebut yang belajar hanya siswa bukan guru. Dalam pembelajaran terdapat kelompok-kelompok yang anggotanya terlibat aktif dalam bertukar pikiran dan pemecahan masalah bersama.

e. Pemodelan

  Modeling berarti mendemontrasikan sebuah prosedur kepada murid (Muijs, 2008:49). Dalam pemodelan guru bukan satu-satunya model, melainkan harus memfasilitasi suatu model tentang bagaimana cara belajar yang baik dilakukan oleh siswa maupun oleh guru sendiri. Dalam pembelajaran diupayakan terdapat contoh model, peragaan atau demontrasi yang dapat memudahkan siswa memahami konsep.

  Sebagian guru memberi contoh tentang cara bekerja sesuatu, sebelum siswa melaksanakan tugas. Misalnya, cara menemukan rumus. Dalam pembelajaran tersebut guru mendemonstrasikan cara menemukan rumus dengan memanfaatkan alat peraga. Ketika guru mendemonstrasikan siswa menagamat. Dengan begitu siswa tahu bagaimana menemukan. Secara sederhana, kegiatan itu disebut pemodelan. Artinya ada model yang bisa ditiru dan diamati siswa, sebelum mereka berlatih menemukan rumus.

f. Refleksi

  Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari dan dilakukan setiap siswa. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai

  

struktur pengetahuan yang baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari

pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas,

atau pengetahuan yang baru diterima.

  Pengetahuan baru diperoleh dari proses yang bermakna. Pengetahuan dimiliki

siswa diperluas melalui konteks pembelajaran. Guru atau orang dewasa membantu

siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya

dengan pengetahuan yang baru dengan begitu, siswa merasa memperoleh sesuatu

yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya.

  Guru mengkoreksi dirinya, siswa dikoreksi oleh gurunya. Nilai hakiki dari prinsip ini adalah semangat introspeksi untuk perbaikan pada kegiatan pembelajaran berikutnya. Dalam pembelajaran diakhir belajar, siswa memberikan masukan terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan. S

  iswa mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana merasakan ide-ide baru.

  Pada akhir permbelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa

melakukan refleksi. Realisasinya berupa pernyataan langsung tentang apa-apa yang

diperolehnya catatan di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran

hari itu, diskusi dan hasil kerja.

g. Penilaian autentik

  Penilain autentik ini memandang bahwa kemajuan belajar diniliai dari proses, bukan hanya hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanyalah salah satunya.

  Itulah hakekat penilaian autentik. Guru melakukan penilaian untuk melihat ketercapaian kompetensi.

  Pada penerapan pembelajaran kontekstual guru harus memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran sebagai berikut :

  1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya!

  2. Lakukan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik!

  3. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya!

  5. Hadirkan model sebagai contoh pembicaraan

  6. Lakukan refleksi diakhir pertemuan 7. Lakukan penilaian dengan berbagai cara.

  Pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual menuntut belajar haruslah bermakna dan berguna bagi siswa dalam kehidupan mereka sehari-hari. Masalah kontekstual yang dimunculkan dalam pembelajaran menggunakan berbagai konteks sehingga menghadirkan situasi yang pernah dialami secara nyata bagi siswa. Konteks itu sendiri dapat diartikan dengan situasi atau fenomena/kejadian alam yang terkait dengan konsep matematika yang sedang dipelajari. Tujuan penggunaan konteks adalah untuk memudahkan siswa mengenali masalah sebelum menyelesaikannya. Konteks dapat dimunculkan tidak harus pada awal pembelajaran tetapi juga pada tengah proses pembelajaran dan pada penilaian.

  Dari uraian di atas pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan kontekstual merupakan salah satu pendekatan yang dapat mengembangkan cara bernalar siswa. Hal mendasar yang senantiasa muncul dan bahkan selalu menggambarkan hasil pembelajaran matematika, yaitu tentang lemahnya penalaran matematika yang dimiliki siswa maupun guru. Jadi pendekatan ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan penalaran siswa untuk mendapatkan hasil pembelajaran yang diharapkan.

D. Pembelajaran Konvensional

  pada umumnya menggunakan metode ceramah. Pembelajaran dilakukan dengan cara guru menyampaikan materi pelajaran sedangkan siswa duduk dan memperhatikan guru. Selanjutnya strategi pembelajaran konvensional ini diatur sebagai berikut: a. Guru memberikan informasi tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.

  Kemudian menjelaskan konsep dari materi pokok pembelajaran.

  b. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mencatat materi yang telah diterangkan dan bertanya hal-hal yang dirasakan belum jelas. Kemudian memeriksa apakah siswa sudah mengerti atau belum dengan cara memberikan pertanyaan lanjutan. c. Guru memberi contoh aplikasi konsep dan latihan soal-soal.

  d. Guru memberikan soal-soal latihan dan siswa menyelesaikannya secara individual e. Guru meminta siswa untuk mengumpulkan jawabannya

  f. Menutup pelajaran dan sekaligus untuk lebih memantapkan pemahaman siswa terhadap apa yang telah disampaikan oleh guru, guru memberikan soal untuk diselesaikan di rumah.

  Pendekatan konvensional identik dengan metode ekspositori yang juga menggunakan metode ceramah. Menurut Ruseffendi (1980: 171) ”Sering metode ekspositori disamakan dengan metode ceramah atau kuliah karena sama-sama sifatnya memberikan informasi; pengajaran berpusat pada guru”. umumnya metode ini memiliki kekhasan tertentu, misalnya lebih mengutamakan hafalan hasil daripada proses, dan pengajaran yang berpusat pada guru.

  Dengan berpedoman pada uraian terdahulu mengenai pengertian dan ciri- cirinya, pembelajaran konvensional dalam penelitian ini diberi batasan sebagai pembelajaran yang berpusat pada guru sebagai sumber belajar yang dominan, guru lebih banyak menggunakan waktunya di kelas untuk menyampaikan materi, dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran lebih bersifat penyampaian informasi atau pengetahuan sehingga siswa menjadi lebih pasif dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Pembelajaran konvensional dengan nuansa seperti ini cenderung muncul dalam pembelajaran sistem klasikal.

  Kegiatan proses pembelajaran dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kontekstual sebagai perlakuan pada kelas eksperimen dan pendekatan konvensional sebagai perlakuan pada kelas kontrol. Gambaran model paedagogik yang dilakukan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah sebagai berikut:

  5 Siswa secara aktif menemukan rumus, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran

  Pembelajaran hanya terjadi dalam kelas. Interaksi dalam kegiatan pembelajaran bersifat multi arah

  8 Pembelajaran terjadi di berbagai tempat dan konteks .

  Hasil belajar hanya diukur dengan tes.

  7 Hasil belajar di ukur dengan berbagai cara: proses bekerja, hasil karya, penampilan, dan tes.

  Guru bertanggung jawab dan penentu jalannya proses pembelajaran.

  6 Siswa di minta bertanggung jawab memonitor dan mengembangkan jalannya proses pembelajaran.

  Siswa secara pasif menerima rumus atau kaidah (membaca, mendengar kan, mencatat, menghafal)

  Pemahaman rumus harus diterangkan dan dilatih atas dasar pengetahuan ada di luar diri siswa.

  

Tabel 2.1

Perbedaan Paedagogi Pendekatan Kontekstual dengan Pendekatan

Konvensional

  4 Pemahaman rumus dikembangkan atas dasar pengetahuan yang sudah ada dalam diri siswa.

  Pembelajaran tidak dikaitkan dengan masalah nyata (abstrak dan teoritis).

  3 Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata dan masalah yang disimulasikan.

  Siswa belajar secara individual dengan menerima, mencatat dan menghafal.

  2 Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi.

  Bahan ajar yang digunakan adalah buku paket.

  1 Bahan ajar dirancang dalam bentuk masalah kontekstual.

  N o Pendekatan Kontekstual Pendekatan Konvensional

  Interaksi dalam kegiatan pembelajaran bersifat satu arah

E. Teori Belajar Pendukung

  Pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual merupakan sebuah pendekatan yang dikembangkan dari pemikiran dan teori belajar. Teori belajar tersebut merupakan penjelasan mengenai bagaimana terjadinya belajar atau bagaimana informasi di proses dalam pikiran siswa.

  Belajar kontekstual didasari oleh paham kontrukstivisme. Paham konstruktivisme menurut Nurhadi (2003: 33), “manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi arti pada pengetahuan sesuai pengalamannya”. Belajar matematika bukanlah suatu proses transfer pengetahuan, menurut Cobb (Suherman, 2003: 76) bahwa belajar matematika merupakan proses siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan matematikanya. Hal yang esensial dari pandangan konstruktivisme adalah belajar mengkontruksi pengetahuan melalui interaksi pengalaman dan lingkungannya.

  Pembelajaran diawali dari pemberian masalah kontekstual, kemudian guru berfungsi sebagai falisitator dan motivator dengan memberi kemudahan dan kesempatan kepada siswa untuk menemukan sendiri pengetahuannya.

  Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme yang merupakan komponen kontekstual adalah teori perkembangan mental Piaget. Piaget menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Jadi pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang melainkan melalui tindakan. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik pendekatan kontekstual.

  Selanjutnya menurut Bruner (Soedjadi, 2000: 181) mengelompokkan representasi dalam tiga kategori, yaitu (1) enaktif, (2) ikonik, dan (3) simbolik

  .

  Belajar merupakan proses aktif yang memungkinkan manusia menemukan hal - hal baru diluar informasi yang diberikan kepada dirinya. Suatu proses belajar akan berlangsung secara optimal jika pembelajaran diawali dengan tahap enaktif, tahap belajar dengan mengunakan modus representasi ikonik dan tahap belajar dengan mengunakan modus representasi simbolik.

  Suatu proses belajar akan berlangsung secara optimal jika siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip dalam mendapatkan pengalaman yang memungkinkan mereka menemukan dan memecahkan masalah. Menurut Sinaga (2007: 21) bahwa dalam belajar penemuan, siswa didorong untuk belajar secara mandiri. Siswa belajar melalui keterlibatan aktif dalam menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui pemecahan masalah melalui proses abstraksi.

  Belajar melalui terlibat aktif akan menuntun siswa memahami makna dari apa yang dipelajari. Menurut Ausubel (Suparno, 1997: 54) belajar bermakna timbul jika siswa mencoba menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang dimilikinya. Jika pengetahuan baru tidak berhubungan dengan pengetahuan yang ada, maka pengetahuan itu akan dipelajari siswa melalui belajar hafalan. Hal ini disebabkan pengetahuan yang baru tidak diasosiasikan dengan pengetahuan yang ada.

  Untuk membantu guru dalam mengajar dengan mengunakan prinsip tersebut diatas, Ausubel mengemukakan apa yang disebut pengorganisir awal, yaitu suatu materi atau suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk mengawali pembelajaran suatu materi tertentu, khususnya pembelajaran dengan sesuatu materi yang baru. Pengorganisir awal dimaksud untuk membantu siswa dalam mempersiapkan struktur kognitif yang dimiliki agar siap menerima materi pembelajaran yang baru.

  Menurut Vygotsky (Sinaga, 2007: 18) bahwa pembelajaran terjadi apabila siswa bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari umum yang masih berada pada jangkauan kognitif siswa atau tugas-tugas tersebut berada mendefinisikan DPT adalah jarak antara tahap kemampuan aktual (TKA) yang tampak pada pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial (TKP) seperti yang ditunjukkan dalam pemecahan masalah dibawah bimbingan orang dewasa atau bekerjasama dengan teman sebaya yang lebih mampu.

  Vygotsky dalam teorinya menekankan pada interaksi individu dengan orang lain merupakan faktor yang terpenting yang mendorong atau memicu perkembangan kognitif seseorang . Artinya, Siswa dalam penyelesaian tugas- tugas belajarnya tidak dapat sendiri. Tugas guru adalah mengatur dan menyediakan lingkungan belajar, mengatur tugas-tugas yang harus dikerjakan siswa, serta memberikan dukungan dinamis sedemikian hingga setiap siswa dapat berkembang secara maksimal dalam zona perkembangan proksimal masing- masing. Jika masalah dapat diselesaikan siswa dengan bantuan orang lain maka siswa berada pada tingkat kemampuan potensialnya (TKP). Teori ini sangat sesuai dengan komponen kontekstual yaitu masyarakat belajar.

F. Penelitian yang relevan

  Hasil penelitian yang dilakukan oleh Priatna (2003), menyatakan bahwa kualitas kemampuan penalaran matematika pada kelas 3 SLTP Negeri kota Bandung masih belum memuaskan (jawaban siswa yang benar masih kurang dari 60%). Selanjutnya hasil penelitian Dwirahayu (2005) siswa kelas 3 di SMP PGRI

  1 Cimahi menunjukkan peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa yang peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa yang pembelajarannya dengan menggunakan pendekatan konvensional dan siswa memiliki sikap yang positif terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan analogi.

  Hasil penelitian Saragih (2007) pada siswa SMP Negeri se Kodya Medan secara keseluruhan siswa yang pembelajarannya dengan PMR secara signifikan lebih baik dalam meningkatkan kemampuan berpikir logis dan kemampuan komunikasi matematika. Berdasarkan tingkat kemampuan matematika, siswa berkemampuan sedang dan rendah menunjukkan perbedaan yang signifikan, tetapi tidak berbeda bagi siswa kemampuan tinggi.

  Berdasarkan hasil penelitian yang relevan tersebut maka dengan menggunakan pendekatan kontekstual akan memberikan peluang untuk meningkatkan kemampuan penalaran siswa. Karena dengan pendekatan kontekstual akan meghadirkan suasana baru dalam pembelajaran matematika, dengan memberikan masalah nyata yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, sangat dimungkinkan kemampuan penalaran matematika siswa akan meningkat dan sikap siswa akan lebih positif terhadap matematika.

G. Kerangka Berpikir

1. Peningkatan kemampuan penalaran matematika dengan pendekatan kontekstual lebih baik dibandingkan pendekatan konvensional

  Penalaran adalah bagian terpenting dalam matematika. Jika seseorang Penalaran merupakan proses berfikir yang dilakukan untuk menarik kesimpulan berdasarkan fakta. Untuk meningkatan kemampuan penalaran dibutuhkan pendekatan pembelajaran yang dapat memotivasi siswa untuk mengembangkan cara berpikirnya.

  Pembelajaran konvensional selama ini dilakukan oleh guru merupakan penyampai informasi, sementara siswa hanya mendengarkan dan mencatat.

  Pembelajaran tersebut kurang memberi motivasi kepada siswa untuk terlibat langsung dalam pembentukan pengetahuan matematika.

  Dalam prosesnya pembelajaran konvensional hanya menuntut kemampuan siswa menghafal dan mengingat informasi. Siswa berperan sebagai objek belajar sebagai penerima informasi, dan pengetahuan dikontruksi oleh guru. Hal tersebut kurang mendukung untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa.

  Sedangkan pendekatan kontekstual menekankan siswa agar menemukan sendiri konsep-konsep atau aturan-aturan dalam matematika. Dengan menemukan sendiri siswa akan termotivasi untuk terlibat langsung dalam pembentukan pengetahuannya.

  Guru merangsang siswa dengan memberikan masalah kontekstual, siswa menentukan prosedur mencari data yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut. Dalam hal ini siswa terpancing untuk berfikir, menganalisis pertanyaan berdiskusi dengan temannya sendiri maupun dengan guru. Jadi dimungkinkan masalah benar-benar dapat dipahami dan diselesaikan oleh siswa melalui pengembangan kemampuan berfikirnya. masalah yang sesuai dengan jangkauan pemikiran siswa. Disamping itu guru harus mampu membangkitkan keinginan siswa menyelesaikan masalah yang diberikan dengan memberikan sejumlah dorongan dan bantuan. Dengan demikian sangat dimungkinkan peningkatkan kemampuan penalaran matematika siswa yang menggunakan pendekatan kontekstual lebih baik dari siswa yang menggunakan pendekatan konvensioanl

  

2. Interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kemampuan awal

matematika terhadap kemampuan penalaran matematika siswa

  Kemampuan setiap siswa tidak sama, dalam belajar matematika tentunya kemampuan matematika tidak berkembang secara serentak, walaupun pembelajaran yang diterima siswa sama. Perbedaan kemampuan siswa dalam belajar selalu ditemukan yaitu siswa yang mempunyai nilai rendah, sedang dan tinggi pada pencapaian hasil belajar.

  Dalam pencapaian hasil belajar, seorang guru tentunya punya peranan penting dalam melakukan persiapan pembelajaran yang dapat mengarahkan kemampuan siswa. Jika dalam belajar siswa hanya duduk, mendengar, mencatat, dan mengerjakan latihan. Proses pembelajaran yang monoton seperti ini tidak terlalu berpengaruh terhadap siswa yang mempunyai kemampuan tinggi dan sebagian siswa yang mempunyai kemampuan sedang, tapi bagi siswa yang mempunyai kemampuan rendah dan sedang akan membuat siswa jenuh dalam belajar, sehingga kemampuan berpikir siswa kurang berkembang. Oleh sebab itu guru dalam menerapkan pendekatan pembelajaran perlu mempertimbangkan perbedaan kemampuan siswa.

  Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan siswa adalah dengan menerapkan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual.

  Pendekatan ini merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada siswa dalam memahami materi matematika.

  Pendekatan ini memiliki prinsip bahwa pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri baik secara personal maupun sosial. Jadi siswa dituntut untuk aktif mengkonstruksi konsep-konsep matematika yang terdapat pada permasalahan yang diberikan. Dengan munculnya keaktifan ini, siswa akan termotivasi untuk berpikir dan terus belajar matematika. Sehingga kemampuan berpikir dan bernalar siswa akan meningkat. Pada akhirnya hasil belajar siswapun akan meningkat.

  Kemampuan penalaran dalam belajar matematika merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar. Penerapan pendekatan pembelajaran yang sesuai akan meningkatkan kemampuan penalaran. Maka sangat dimungkinkan terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kemampuan

  

3. Sikap siswa terhadap matematika dengan menggunakan pendekatan

kontekstual

  Sikap siswa terhadap matematika cenderung negatif dan sebagian siswa tidak menyukai matematika. Karena adanya anggapan matematika adalah mata pelajaran yang sangat sulit, menjemukan, hanya berkait dengan bilangan, hanya berkait dengan kegiatan menghafal, juga pengalaman belajar di kelas kurang menarik akibat perlakuan guru yang kurang baik. Masalahnya, jika ada siswa yang menganggap bahwa matematika sulit atau malah ada yang berpendapat atau sampai memiliki keyakinan bahwa ia tidak pernah berhasil mempelajari matematika atau tidak berbakat mempelajari matematika, maka si siswa tersebut akan mengalami kesulitan dalam memahami matematika.

  Setiap siswa harus mengembangkan sikap untuk mau mempelajari matematika . Sikap seperti ini tidak akan pernah muncul jika selama di sekolah mereka mengalami hal-hal yang negatif ketika mempelajari matematika. Sikap negatif siswa terhadap matematika akan dipengaruhi juga oleh pengalaman mereka ketika belajar matematika di sekolah. Agar sikap negatif terhadap matematika dapat berubah menjadi sikap positif, guru harus dapat mengaitkan materi matematika yang diajarkan dengan situasi nyata dengan cara seperti ini diharapkan siswa akan mengerti kegunaan matematika di dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga, proses permbelajaran dimulai dengan suasana yang nyaman, tidak menakutkan, dan tanpa ada rasa`cemas pada diri siswa. Dengan

  Pembelajaran kontekstual mempresentasikan suatu konsep dengan

mengaitkan materi pembelajaran dengan konteks di mana materi itu digunakan.

  

Siswa secara aktif mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka, berarti siswa akan

memperoleh situasi belajar yang baik, sehingga dapat menumbuhkan sikap positif

terhadap matematika dan dapat meningkatkan motivasi belajarnya, dengan

harapan pembelajaran matematik dengan pendekatan kontekstual mempunyai

pengaruh positif terhadap hasil belajar matematika.

  

4. Pola jawaban tes penalaran matematika lebih bervariasi dengan

Pendekatan kontekstual dibandingkan pendekatan konvensional

  Pembelajaran dengan pendekatan konvensional merupakan pembelajaran yang berpusat pada guru. Proses pembelajaran lebih bernuansa memberi tahu daripada membimbing siswa menjadi tahu sehingga siswa cenderung pasif. Artinya siswa harus mengikuti semua proses pembelajaran yang dirancang guru, termasuk semua langkah-langkah pengerjaan soal sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh guru.

  Dari pembelajaran yang di jelaskan di atas, maka proses pembelajaran sepenuhnya ada pada kendali guru. Pengalaman belajar siswa terbatas hanya sekedar mendengar, hal tersebut mungkin terdapat pengembangan proses berpikir, tetapi proses tersebut sangat terbatas dan hanya terjadi pada proses berpikir tingkat rendah. Melalui pola pembelajaran konvensional ini jelas siswa kurang mampu melakukan hal-hal yang bervariasi dengan pola yang berbeda dalam menyelesaikan soal matematika.

  Sedangkan Pembelajaran dengan pendekatan kontektual merupakan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Guru bukanlah satu-satunya penentu kemajuan belajar siswa. Guru adalah pendamping siswa dalam pencapaian kompetensi dasar. Guru harus menghindari mengajar sebagai proses penyampaian informasi. Kalaupun guru memberikan informasi kepada siswa, guru harus memberikan kesempatan untuk menggali informasi tersebut agar lebih bermakna dalam kehidupan sehari-hari.

  Pendekatan kontekstual memiliki tujuh komponen yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran. Ketujuh komponen tersebut menekankan pada proses keterlibatan siswa mencari dan menemukan sendiri pengetahuannya, artinya dalam belajar siswa diberi kebebasan mengkontruksi sendiri ilmu yang dimilikinya sehingga setiap siswa dapat mengembangkan kemampuannya dalam menyampaikan ide sesuai dengan pengalamannya.

  Pengalaman yang dimiliki setiap siswa tidak sama, oleh sebab itu setiap siswa bisa terjadi keragaman di dalam memaknai hakekat pengetahuan yang dimilikinya. Dalam pembelajaran kontekstual pemodelan merupakan salah satu karakteristik yang mempunyai peranan penting dalam membantu siswa menyelesaikan masalah. Dengan pemodelan dapat merangsang cara berpikir siswa. siswa yang dianggap memiliki kemampuan. Melalui pemodelan juga siswa terhindar dari pembelajaran secara teoritis dan abstrak, sehingga siswa dapat menguatkan, memperluas dan menerapkan pengetahuan dan keterampilannya. Jadi melalui pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dimungkinkan pola jawaban tes kemampuan penalaran lebih bervariasi dibandingkan dengan pendekatan konvensional..

H. Rumusan Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan hasil kajian pustaka, hipotesis dari penelitian ini, adalah:

  1. Peningkatan kemampuan penalaran matematika siswa SMP Negeri 2 Samadua kelas VIII yang menggunakan pendekatan kontekstual lebih baik dari siswa yang menggunakan pendekatan konvensional?

  2. Ada interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kemampuan awal matematika siswa terhadap kemampuan penalaran siswa SMP Negeri 2 Samadua kelas VIII.

  3. Sikap siswa SMP Negeri 2 Samadua kelas VIII cenderung lebih positif terhadap matematika dengan menggunakan pendekatan kontekstual?

  4. Pola dan variasi jawaban tes penalaran siswa SMP Negeri 2 Samadua kelas

  VIII yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih konvensional?

Dokumen yang terkait

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100

SOAL ULANGAN HARIAN IPS KELAS 2 BAB KEHIDUPAN BERTETANGGA SEMESTER 2

12 263 2

PENGARUH PEMBERIAN ASUHAN SAYANG IBU BERSALIN TERHADAP LAMA PERSALINAN KALA II PRIMIPARA

0 0 6

BAB IV HASIL PENELITIAN - Pengaruh Dosis Ragi Terhadap Kualitas Fisik Tempe Berbahan Dasar Biji Cempedak (Arthocarpus champeden) Melalui Uji Organoleptik - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 2 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Uji Kualitas Mikrobiologi Minuman Olahan Berdasarkan Metode Nilai MPN Coliform di Lingkungan Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kelurahan Pahandut Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

1 2 12

The effect of personal vocabulary notes on vocabulary knowledge at the seventh grade students of SMP Muhammadiyah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 20

BAB IV HASIL PENELITIAN - Penerapan model pembelajaran inquiry training untuk meningkatkan berpikir kritis dan hasil belajar siswa pada pokok bahasan gerak lurus - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 1 23

CHAPTER I INTRODUCTION - The effectiveness of anagram on students’ vocabulary size at the eight grade of MTs islamiyah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 10

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Penelitian Sebelumnya - Perbedaan penerapan metode iqro’ di TKQ/TPQ Al-Hakam dan TKQ/TPQ Nurul Hikmah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 26

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan model Problem Based Instruction (PBI) terhadap pemahaman konsep dan hasil belajar siswa pokok bahasan tekanan Kelas VIII Semester II di SMPN Palangka Raya Tahun Ajaran 2015/2016 - Digital Library IAIN Pala

0 3 80