BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA - Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/Pojk.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Terhadap Perlindungan Konsumen Perbankan Di Ind

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA A.

  Hukum Perlindungan Konsumen dewasa ini mendapat cukup perhatian karena menyangkut aturan-aturan guna menyejahterakan masyarakat, bukan saja masyarakat selaku konsumen saja yang mendapat perlindungan,namun pelaku usaha juga mempunyai hak yang sama untuk mendapat perlindungan,masing- masing ada hak dan kewajiban Pemerintah berperan mengatur, mengawasi, dan mengontrol, sehingga tercipta sistem yang kondusif saling berkaitan satu dengan yang lain dengan demikian tujuan menyejahterakan masyarakat secara luas dapat

   tercapai.

  Perhatian terhadap perlindungan konsumen,terutama di Amerika Serikat (1960-1970 an) mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan menjadi objek kajian bidang ekonomi,sosial,politik dan hukum.Banyak sekali artikel dan buku yang di tulis berkenaan dengan gerakan ini.Di Amerika Serikat bahkan pada era tahun-tahun tersebut berhasil diundangkan banyak peraturan dan di jatuhkan putusan-putusan hakim yang memperkuat kedudukan konsumen.

  Fokus gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme) dewasa ini sebenarnya masih parallel dengan gerakan pertengahan abad ke 20 .Di Indonesia,gerakan perlindungan konsumen menggema dari gerakan serupa di Amerika Serikat.Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang seterusnya akan di konsumen di Indonesia berdiri pada kurun waktu itu, yaitu 11 Mei 1973.Gerakan di Indonesia ini termasuk cukup responsif terhadap keadaan,bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial (PBB) (ECOSOC) No. 2111 Tahun 1978

   tentang perlindungan konsumen.

  Secara Umum,sejarah gerakan perlindungan konsumen dapat dibagi dalam empat tahapan ,yaitu :

  1. Tahapan I (1881 - 1914) Kurun waktu ini titik awal munculnya kesadaran masyarakat untuk melakukan gerakan perlindungan konsumen.Pemicunya,hysteria massal akibat novel karya

  Upton Sinclair berjudul The Jungle, yang menggambarkan cara kerja pabrik pengolahan daging di Amerika Serikat yang sangat tidak memenuhi syarat - syarat kesehatan.

  2. Tahapan II (1920 - 1940) Pada kurun waktu ini muncul pula buku berjudul Your Money’s worth katya

  Chase dan Schlink.Karya ini mampu menggugah konsumen ada hak -hak mereka dalam jual beli.Pada kurun waktu ini muncul slogan:fair deal, best buy.

  3. Tahapan III (1950 - 1960) Pada dekade 1950-an ini muncul keinginan untuk mempersatukan gerakan perlindungan konsumen dalam lingkup internasional.Dengan diprakarsai oleh wakil - wakil gerakan konsumen dari Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Asutralia, dan Belgia, pada 1 April 1960 berdirilah Internasional Organization of pindah ke London, Inggris , pada 1993.

4. Tahapan IV (pasca 1965)

  Pasca 1965 sebagai masa pemantapan gerakan perlindungan konsumen,baik di tingkat regional maupun internasional.Sampai saat ini dibentuk lina kantor regional , yakni Amerika Latin, dan Karibia berpusat di Cile, Asia Pasifik berpusat di Malaysia, Afrika berpusat di Zimbabwe,Eropa Timur dan tengah

   berpusat di Inggris dan Negara - Negara maju berpusat di London,Inggris.

  Sejak dua dasawarsa terakhir ini perhatian dunia terhadap masalah perlindungan konsumen semakin meningkat.Gerakan perlindungan konsumen sejak lama dikenal di dunia barat . Negara - Negara di Eropa dan Amerika juga telah lama memiliki peraturan tentang perlindungan konsumen. Organisasi Dunia seperti PBB pun tidak kurang perhatiannya terhadap masalah ini.Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Resolusi Perserikatan Bangsa - Bangsa No. 39 / 248 Tahun 1985. Dalam resolusi ini kepentingan konsumen yang harus dilindungi meliputi : a.

  Perlindungan konsumen dari bahaya - bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya ; b.

  Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen ; c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka dalam melakukan pilihan yang tepat sesuai dengan kehendak dan kebutuhan pribadi ; d.

  Pendidikan Konsumen ; Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif ;

   f.

  Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen.

  Perlindungan Konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan nya dari hal - hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri. Dalam bidang hukum, istilah ini masih relatif baru, khususnya di Indonesia, sedangkan di Negara maju , hal ini mulia dibicarakan

  

  bersamaan dengan berkembangnya industry dan teknologi. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang - undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen disebutkan :

  Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

  Rumusan pengertian pelindungan konsumen yang terdapat pada Pasal 1 angka 1 UU nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konusmen (selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen/UUPK) tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang- wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.

  Meskipun undang - undang ini disebut Undang - undang Perlindungan Konsumen (UUPK) namun bukan berari kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha. Kesewenang - wenangan akan mengakibatkan ketidak pastian hukum. Oleh karena itu, agar segala upaya memberikan jaminan 12 13 Ibid hal 5 Sidabalok,Janus,Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,Bandung,Citra Aditya undang - undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku unyuk memberikan perlindungan konsumen, baik dalam bidang hukum Privaat maupun bidang hukum Publik (Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara). Keterlibatan berbagai disiplin ilmu sebagaimana dikemukakan di atas,

   memperjelas kedudukan hukum Perlindungan Konsumen.

  Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat - akibat dari pemakaian barang dan jasa itu. Cakupan perlindungan konusmen dalam dua aspeknya itu, dapat

  

  dijelaskan sebagai berikut : 1.

  Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada Konsumen barang dan jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau melanggar ketentuan undang - undang. Dalam kaitan ini termasuk persoalan - persoalan mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi, proses distribusi, desain produk dan sebagainya, apakah telah sesuai standar sehubungan keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Juga persoalan, tentang bagaimana konsumen mendapatkan penggantian jika timul kerugian karena memakai atau mengonsumsi produk yang tidak sesuai.

  2. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat - syarat yang tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan - persoalan promosi dan periklanan , standar kontrak, harga, layanan purna jual, dan sebagainya. Hal ini

14 Miru,Ahmadi dan Yodo,Sutarman,Hukum Perlindungan Konsumen,Jakarta:Raja

  Grafindo Persada,2014. Hal 1- 2 produknya.

  Aspek yang pertama,mencakup persoalan barang dan jasa yang dihasilkan dan diperdagangkan, dimasukan dalam cakupan tanggung jawab produk, yaitu tanggung jawab yang dibebankan kepada produsen karena barang yang diserahkan kepada konsumen itu mengandung cacat di dalamnya sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen, misalnya karena keracunan makanan, barang tidak dapat dipakai untuk tujuan yang diinginkan karena kualitasnya rendah, barang tidak dapat bertahan lama karena cepat rusak, dan sebagainya. Dengan demikian, tanggung jawab produk erat kaitannya dengan persoalan ganti

   kerugian.

  Sedangkan yang kedua ,mencakup cara konsumen memperoleh barang dan atau jasa, yang di kelompokan dalam cakupan standar kontrak yang mempersoalkan syarat - syarat perjanjian yang diberlakukan oleh produsen kepada konsumen pada waktu konsumen hendak mendapatkan barang atau jasa kebutuhannya. Umumnya produsen membuat atau menetapkan syarat - syarat perjanjian secara sepihak tanpa memperhatikan dengan sungguh - sungguh kepentingan konsumen tidak ada kemungkinan unuk mengubah syarat - syarat itu guna mempertahankan kepentingannya. Seluruh syarat yang terdapat pada perjanjian, sepenuhnya atas kehendak pihak produsen barang atau jasa. Bagi konsumen hanya ada pilihan : Mau atau tidak mau sama sekali. Karena itu, Vera Bolger menamakannya sebagai Take it or leave it it contract.Artinya, kalau calon konsumen setuju, perjanjian boleh dibuat; kalau tidak setuju, silakan pergi. disiapkan terlebih dahulu yang dicetak sedemikian rupa sehingga kadang - kadang

   tidak terbaca dan sulit di mengerti.

  Pengertian Konsumen menurut UU no. 8 Tahun 1999 tentang UU perlindungan konsumen dalam Pasal 1 atau 2, yakni : Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak diperdagangkan.

  Pengguanan istilah “pemakai” dalam rumusan Pasal 1 angka 2 UUPK tersebut sesungguhnya kurang tepat. Ketentuan yang menyatakan, Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, apabila dihubungkan dengan anak kalimat yang menyatakan “bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun, mahluk hidup lain”, tampak ada kerancuan di dalamnya. Sebagai pemakai dengan sendirinya untuk kepentingan diri sendiri, dan bukan untuk kepentingan keluarga, bijstander, atau mehluk hidup lainnya. Demikian pula penggunaan istilah “pemakai” menimbulkan kesan barang tersebut bukan milik sendiri, walaupun sebelumnya telah terjadi transaksi jual beli.Jika seandainya istilah yang digunakan “setiap orang yang memperoleh” maka secara hukum akan memberikan makna yang lebih tepat, karena apa yang diperoleh dapat digunakan untuk kepentingan sendiri maupun untuk orang lain. Hal lain yang juga perlu dikritisi bahwa cakupan konsumen dalam UUPK adalah sempit.Bahwa yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen sesungguhnya tidak hanya terbatas pada subjek hukum yang disebut “orang”, akan tetapi masih ada subjek hukum lain yang juga sebagai konsumen akhir yaitu “badan hukum’ yang itu, lebih tepat bila dalam pasal ini menentukan “setiap pihak yang memperoleh barang dan atau jasa” yang dengan sendirinya tercakup orang dan badan hukum,

   atau paling tidak ditentukan dalam Penjelasan Pasal 1 angka 2 tersebut.

  Istilah Konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris - Amerika) , atau consument / konsument (Belanda).Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris - Indonesia memberi arti

   kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.

  Pengertian Konsumen dalam UUPK di atas lebih luas bila dibandingkan dengan 2 (dua) rancangan UUPK lainnya, yaitu pertama dalam Rancangan UUPK yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yang menentukan bahwa :

  Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang klain yang tidak untuk diperdagangkan kembali

  Sedangkan dalam yang kedua dalam naskah final Rancangan Undang - Undang Tentang Perlindungan Konsumen ( selanjutnya disebut Rancangan Akademik) yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Departemen Perdagangan RI menentukan bahwa, konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk dipakai dan tidak untuk 18 19 Miru,Ahmadi dan Yodo,Sutarman,Opcit, Hal. 4-5 Kristiyanti,Celina Tri Siwi,Hukum Perlindungan Konsumen,Jakarta:Sinar daripada pengertian Konsumen pada kedua Rancangan Undang - Undang Perlindungan Konsumen yang telah disebutkan terakhir ini, karena dalam UUPK juga meliputi pemakaian barang untuk kepentingan mahluk hidup lain. Hal ini berarti bahwa UUPK dapat memberikan perlindungan kepada konsumen yang bukan manusia ( hewan , maupun tumbuh - tumbuhan).Pengertian konsumen yang luas seperti itu, sangat tepat dalam rangka memberikan perlindungan seluas - luasnya kepada konsumen. Walaupun begitu masih perlu disempurnakan sehubungan dengan penggunaan istilah “pemakai” demikian pula dengan eksistensi “badan hukum” yang tampak nya belum masuk dalam pengertian

   tersebut.

  B.

  TUJUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM UNDANG - UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Berkaitan dengan tujuan di atas ada sejumlah asas yang terkandung di dalam usaha memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh pihak yang terkait, masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah berdasarkan asas yang menurut Pasal 2 Undang - Undang Perlindungan Konsumen Nomo 8 tahun 1999 ini adalah : 1.

  Asas Manfaat 2. Asas Keadilan 3. Asas Keseimbangan 4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen, serta

21 Asas Kepastian Hukum.

  Perlindungan Konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima (5) asas yang relevan dalam pembangunan Nasional, yaitu :

  1. Asas Manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

  2. Asas Keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksmal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

  3. Asas Keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dakam arti materiil dan spiritual.

  4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

  5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan

   konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.

  Asas Manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar- 21 Sidabalok,Janus,Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,Bandung,Citra Aditya

  Bakti,2010. Hal. 31 menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak di atas pihak yang lain atau sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikn kepada masing - masing pihak, produsen dan konsumen , apa yang menjadi haknya. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada giliranya bermanfaat bagi kehidupan berbangsa.

  Asas Keadilan dimaksudkan agar partispasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempoatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban secara adil. Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen ini,konsumen dan produsen dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan penuaian kewajiban secara seimbang. Karena itu, undang - undang ini mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha (produsen).

  Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen dan produsen dan pemerintah diatur dan harus diwujdukan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya masing - masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada salah satu pihak yang mendapatkan perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan Negara. jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatn barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akanmengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya. Karena itu, Undang - undang ini membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan sejumlah larangan yang harus dipatuhi oleh produsen dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.

  Asas kepastian hukum dimaksudkan agar, baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum. Artinya Undang - undang ini mengharapkan bahwa aturan - aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung di dalam undang - undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan sehari - hari sehingga masing - masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, Negara bertugas dan menjamin terlaksananya undang - undang ini sesuai dengan bunyinya.

  Asas - asas hukum perlindungan konsumen yang dikelompokan dalam 3 (tiga) kelompok di atas yaitu asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan,kemanfaatan disejajarkan dengan asas maksimalisasi, dan kepastian hukum di sejajarkan dengan asas efisiensi. Asas kepastian hukum yang disejajarkan dengan asas efisiensi karena menurut himawan bahwa : seseorang dapat melaksanakan hak - haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan

   kewajibannya tanpa penyimpangan.

  Sedangkan tujuan yang ingin dicapai melalui undang - undang perlindungan konsumen ini sebagaimana dimaksdu dalam Pasal 3 adalah : a.

  Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri ; b.

  Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan atau jasa ; c.

  Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak - haknya sebagai konsumen ; d.

  Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi ; e.

  Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha ; f.

  Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

  Mengamati tujuan dan asas yang terkandung di dalam undang - undang in, jelaslah bahwa undang - undang ini membawa misi yang besar dan mulia dalam mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara.

  Pasal 3 Undang - undang perlindungan konsumen ini,merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen Achamd Ali mengatakan masing - masing undang - undang memeilki tujuam khusus. Hal itu juga tampak dari pengaturan Pasal 3 Undang - undang Perlindungan Konsumen, yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen, sekaligus membedakan dengan tujuan umum sebagaimana dikemukakan konsumen yang disebutkan di atas bila dikelompokan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e. Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan a dan b termasuk huruf c dan d serta huruf f.

  Terakhir tujuanj khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d.Pengelompokan ini tidak terlalu mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita lihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasikan sebagai tujuan ganda. Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum umum sekaligus sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai huruf f dari Pasal 3 tersebut hanya dapaty tercapai secara maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan konsumen yang diatur dalam undang - undang ini, tanpa mengabaikan faislitas penunjang dan kondisi masyarakat.Termasuk dalam hal ini substansi ketentuan pasal demi pasal yang akan diuraikan dalam bab selanjutnya. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menentukan efektivitas Undang-undang Perlindungan Konsumen, sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali bahwa kesadaran hukum, ketaatan hukum , dan efektivitas perundang - undangan adalag tiga unsur

   yang saling berhubungan.

  Sampai saat ini secara universal diakui adanya hak-hak konsumen yang harus dilindungi dan dihormati, yaitu :

  Hak keamanan dan keselamatan ; 2. Hak atas informasi ; 3. Hak untu memilih ; 4. Hak untuk didengar dan ; 5. Hak atas lingkungan hidup.

  Aspek - aspek hukum terhadap perlindungan konsumen di dalam era pasar bebas, pada dasarnya dapat dikaji dari dua pendekatan, yakni dari sisi pasar domestic dan dari sisi pasar global. Keduanya harus diawali dan sejak barang dan jasa diproduksi,disistribusikan/dipasarkan dan diedarkan sampai barang dan jasa tersebut dikonsumsi konsumen. Bertolak dari pemikiran di atas, pada dasarnya Negara dapat diketahui bahwa aspek hukum perdata mempunyai peran dan kesempatan yang sama untuk melindungi kepentingan konsumen. Aspek hukum publik berperan dan dapat dimanfaatkan oleh Negara,pemerintahan instansi yang mempunyai peran dan kewenangan sendiri untuk melindungi konsumen.

  Kemenangan dan peran tersebut dapat diwujudkan mulai dari: 1.

  Political Will/kemauan politik untuk melindungi kepentingan konsumen domestic di dalam persaingan global dan atas persaingan tidak sehat lokal.

2. Birokrasi dengan sadar dan senang hati menciptakan kondisi dengan berbisnis jujur dalam mewujudkan persaingan sehat.

  3. Di dalam hukum positif, yang sudah mengandung unsur melindungi kepentingan konsumen antara lain : a.

  UU Kesehatan b.

  UU Barang c. UU hygiene untuk usaha

  UU pengawasan atau edar barang e. UU tentang wajib daftar obat f. UU tentang produksi dan peredaran produk tertentu g.

  UU perizinan , diharapkan diikuti dengan pengawasan,pembinaan dan pemberian sanksi yang pasti dan tegas apabila terjadi pelanggaran mengenai

   syarat dan operasional dari perusahaan produsen.

  C.

  HAK DAN KEWAJIBAN DALAM UNDANG - UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Berkaitan dengan perlindungan konsumen ,khususnya dengan tanggung jawab produk , perlu dijelaskan beberapa istilah terlebih dahulu untuk memperoleh kesatuan persepsi dalam pembahasan selanjutnya. Istilah yang memerlukan penjelasan itu adalah produsen atau pelaku usaha, konsumen ,produk dan

   standarisasi produk , peranan pemerintah, serta klausula baku.

1. Produsen atau Pelaku Usaha

  Produsen sering diartikan sebagai oengusaha yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya pembuat, grosir, leveransir, dan pengercer professional, yaitu setiap orang/badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampain ke tangan konsumen. Sifat professional merupakan syarat mutlak dalam hal menuntut pertanggung jawaban dari produsen. Dengan Demikian, produsen yidak hanya diartikan sebagai pihak 25 Kristiyanti,Celina Tri Siwi,Hukum Perlindungan Konsumen,Jakarta:Sinar

  Grafika,2011. Hal. 89-90 26 Sidabalok,Janus,Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,Bandung,Citra Aditya

  dengan penyampaian/peredaran produk hingga sampai ke tangan konsumen. Dengan perkataan lain, dalam konteks perlindungan konsumen, produsen diartikan secara luas. Sebagai contoh, dalam hubungannya dengan produk makanan hasil industri (pangan olahan), maka produsennya adalah mereka yang terkait dalam proses pengadaan makanan hasil industry (pangan olahan) itu hingga sampai ke tangan konsumen. Mereka itu adalah : pabrik (pembuat), distributor, eksportir atau importer dan pengecer baik yang berbentuk badan

  

hukum ataupun yang bukan badan hukum.

  Dalam Pasal 1 angka 3 UU no.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak memakai istilah produsen tetapi memakai istilah lain yang kurang lebih sama artinya, yaitu pelaku usaha yang pengertiannya adalah : Setiap orang atau badan usaha ,baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usahadalam berbagai bidang ekonomi.

  Dalam penjelasan lain undang - undang yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importer, pedanag, distributor, dan lain - lain.

  Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 UU Perlindungan Konsumen cukup luas karena meliputi grosir, leveransir, pengecer, dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam UUPK tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam masyarakat eropa terutama Negara belanda, bahwa yang dapat dikualifikasikan sebagai produsen adalah : Pembuat setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu; importer suatu produk dengan maksud untuk dijualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) agau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan; pemasok (supplier) ,dalam hal identitas dari produsen atau importer tidak dapat ditemukan. Dengan demikian tampak bahwa pelaku usaha yang dimaksud dalam Undang - Undang Pelindungan Konsumen sama dengan cakupan produsen yang dikenal di Belanda, karena produsen dapat berupa perorangan atau badan hukum. Dalam pengertian pelaku usaha tersebut akan memudahkan konsumen menuntutbgantu kerugian . Konsumen yang dirugikan akibat penggunaan produk tidak begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan diajukan, karena banyak pihak yang dapat digugat, namun akan lebih baik lai seandainya UUPK tersebut memberikan rincian sebagaimana dalam Direktif ditentukan bahwa :

  1. Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah , atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap orang yang memasang nama, mereknya atau suatu tanda pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai produsen;

  2. Tanpa mengurangi tanggung gugat produsen, maka setiap orang yang mengimpor suatu produk untuk dijual, dipersewakan, atau untuk leasing, atau tiap bentuk pengedaran dalam usaha perdagangannya dalam masyarakat eropa, akan dipandang sebagai produsen dalam arti Direktif ini, dan akan bertanggung gugat sebagai produsen;

  Dalam hal produsen suatu produk tidak dikenal identitasnya, maka setiap leveransir/supplier akan bertanggung gugat sebagai produsen,kecuali ia memberitahukan orang yang menderita kerugian dalam waktu yang tidak terlalu lama mengenai identitas produsen atau orang yang menyerahkan produk itu kepadanya. Hal yang sama akan berlaku dalam kasus barang/produk yang diimpor, jika produk yang bersangkutan tidak menunjukan identitas importer sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2), sekalipun nama produsen

   dicantumkan.

  Dalam Pasal 6 UU No.8 Tahun 1999 Produsen disebut sebagai pelaku usaha yang mempunyai hak sebagai berikut :

  1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

  2. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

  3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

  4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

  Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan,menunjukan bahwa pelaku usaha tidak dapt menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan atau jasa yang diberikannya 28 Miru,Ahmadi dan Yodo,Sutarman,Hukum Perlindungan Konsumen,Jakarta:Raja umumnya atas barang dan atau ajsa yang sama. Dalam praktek yang biasa terjadi suatu bang dan atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Dengan demikian dalam hal ini adalah harga yang wajar. Menyangkut hak pelaku usaha yang tersebut pada huruf b, c , dan d,sesungguhnya merupakan hak - hak yang lebih banyak berhubungan dengan pihak aparat pemerintah dan atau badan Penyelesaian Sengketa Konsumen/pengadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Melalui hak - hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen secara berlebihan hingga mengabaikan kepentingan pelaku usaha dapat dihindari. Satu - satunya yang berhubungan dengan kewajiban konsumen atas hak

  • hak pelaku usaha yang disebutkan pada huruf b, c, dan d tersebut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa sebagaimana diuraikan sebelumnya. Terakhir tentang hak - hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang - undangan lainnya, seperti hak - hak yang diatur dalam undang - undang Perbankan, UU Larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dan uu lainnya. Berkenaan dengan berbagai uu tersebut, maka harus diingat bahwa UU Perlindungan Konsumen adalah payung bagi semua

   aturan lainnya berkenaan dengan Perlindungan Konsumen.

  Kewajiban pelaku usaha menurut Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen ,adalah : 1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau

  3. jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 4. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 6. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 8. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

  Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur Pasal 1338 ayat 3 BW, bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, sedangkan Arrest H.R. di Negeri Belanda memberi peranan tertinggi terhadap iktikad baik dalam tahap pra perjanjian, bahkan kesesatan ditempatkan di bawah asas itikad baik, bukan lagi pada teori kehendak. Begitu pentingnya itikad baik tersebut, sehingga dalam perundingan - perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepnetingan - kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing - masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas - batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak, atau masing - masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup kontrak yang

   berkaitan dengan itikad baik. Konsumen Pengertian konsumen menurut UUPK dalam Pasal 1 ayat 2 yakni :

  Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau ajsa yang tersedia dalam masyarakat , baik bagi kepentingan diri sendiri, keluiarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

  Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum.Oleh karena itu , perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih hak - haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak - hak konsumen. Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen , yaitu :

  1. Hak untuk mendapatkan keamanan 2.

  Hak untuk memilih 3. Hak untuk didengar 4. Hak untuk mendapat informasi

  Empat hak dasar ini di akui secara internasional. Dalam perkembangannya organisasi - organisasi konsumen yang tergabung dalam The Internasional Organization of Consumer Union menambahkan lagi beberapa hak,seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapat ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup dan sehat.

  Hak - hak konsumen yang diatur dalam hukum positif di Indonesia yang tertuang dalam UUPK terdapat pada Pasal 4 , yaitu :

  1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan 2.

  Hak untuk memilih, serta mendapatkan barang atau jasa yang sesuai nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang telah dijanjikan.

  Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

  4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yangdigunakan.

  5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

  6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

  7. Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

  8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

  9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

  Sedangkan dalam Rancangan Akademi UU tentang perlindungann Konsumen yang dikeluarkan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Departemen Perdagangan dikemukakan enam hak konsumen, yaitu empat dasar yang disebut pertama, d tambah dengan hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, dan hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum yang patut. Memperhatikan hak - hak yang disebutkan di atas, maka secara keseluruhan pada dasarnya dikenal 10 macam hak konsumen , yaitu : 1.

  Hak atas keselamatan dan keamanan ; 2. Hak untuk memperoleh informasi ; 3. Hak untuk memilih ; 4. Hak untuk didengar ;

  Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup ; 6. Hak untuk memperoleh ganti rugi ; 7. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ; 8. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat ; 9. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya ;

   10.

  Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut.

  Sepuluh hak konsumen yang merupakan himpunan dari berbagai pendapa tersebut di atas hamper semuanya sama dengan hak - hak konsumen yang dirumuskan dalam Pasal 4 UUPK sebagaimana dikutip sebelumnya. Hak - hak konsumen yang dirumuskan dalam Pasal 4 UUPK tersebut, terdapat satu hak yang tak terdapat pada 10 hak konsumen yang diuraikan sebelumnya yaitu ‘ hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminasi ‘ namun sebaliknya dalam Pasal 4 UUPK tidak mencantumkan secara khusus tentang ‘ hak untuk memperoleh kebutuhan hidup ‘ dan ‘ hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat ‘ tapi hak tersebut dapat dimasukan ke dalam hak yang disebutkan terakhir dalam Pasal 4 UUPK tersebut, yaitu ‘ hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang - undangan lainnya ‘.Sedangkan hak lainnya hanya perumusannya yang lebih dirinci, tapi pada dasarnya sama dengan

   hak - hak yang telah disebutkan sebelumnya.

  Kewajiban konsumen tertera dalam Pasal 5 UUPK, yaitu : 1. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; 2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 31 Ibid Hal 40

  4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

3. Produk dan Standarisasi Produk

  Produk adalah segala barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu proses sehingga produk berkaitan erat dengan teknologi. Dalam Pasal 1 angka 4 UU Perlindungan Konsumen bahwa : Barang adalah tiap benda , baik berwujud maupun tak berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat di habiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 5 UU perlindungan konsumen bahwa : Jasa adalah pemakaian tiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen Menurut Gandi, Standarisasi adalah : Proses penyusunan dan penerapa aturan - aturan dalam pendekatan secara teratur bagi kegiatan tertentu untuk kemanfaatan dan dengan kerja sama dari semua pihak yang berkepentingan, khususnya untuk meningkatkan penghematan menyeluruh secara optimum dengan memperhatikan kondisi fungsional dan persyaratan keamanan. Hal ini didasarkan pada konsolidasi dari hasil ilmu teknologi dan

  

  pengalaman 4.

  Peranan Pemerintah Sesuai prinsip pembangunan yang antara lain menyatakan bahwa pembangunan dilaksanakan bersama oleh masyarakat dengan pemerintah dan karena itu menjadi tanggung jawab bersama pula, maka melalui pengaturan dan pengendalian oleh pemerintah, tujuan pembangunan nasional dapat dicapai dilaksanakan, maka langkah - langkah yang dapat ditempuh pemerintah adalah : a.

  Registrasi dan penilaian ; b.

  Pengawasan produksi ; c. Pengawasan distribusi ; d.

  Pembinaan dan pengembangan usaha ;

   e.

  Peningkatan dan pengembangan prasarana dan tenaga.

5. Klausula Baku

  Sehubungan dengan standar kontrak adalah penggunaan klausula baku dalam transaksi konsumen. Yang dimaksud dengan klausula baku menurut Pasal 1 angka

  10 UU Perlindungan Konsumen yaitu : Klausula baku adalah tiap aturan atau ketentuan syarat - syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

  Memperhatikan rumusan pengertian klausula baku dalam Pasal 1 angka 10 UUPK ini, tampak penekanannya lebih trtuju pada prosedur pembuatannya yang dilakukan secara sepihak oleh pelaku usaha, dan bukan isinya. Berkenaan dengan prosedur pembuatan ini sangat terkait dengan syarat sahnya perjanjian yaitu “ kesepakatan mereka untuk mengikatkan dirinya “ sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW, kesepakatan seseorang untuk mengikatkan dirinya merupakan syarat penentu tentang ada tidaknya perjanjian, sehingga dengan adanya kesepakatan dari para pihak mengenai suatu hal yang diperjanjikan (dan telah memenuhi syarat lainnya), maka para pihak akan terikat dengan perjanjian tersebut berdasarkan kebebasan berkontrak , karena dengan kebebasan yang dimiliki seseorang untuk mengadakan perjanjian yang tertentu pula, sangat menentukan ada tidaknya kesepakatan yang diberikan oleh orang tersebut terhadap orang/isi perjanjian yang

   dimaksud.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERIZINAN DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN A. Pengertian Tempat Hiburan - Prosedur Perolehan Izin Tempat Hiburan Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi Peraturan Daerah Kota Medan Peraturan Daerah (Perda)

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Prosedur Perolehan Izin Tempat Hiburan Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi Peraturan Daerah Kota Medan Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan No 37 Tahun 2002, Tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreas

0 1 26

Prosedur Perolehan Izin Tempat Hiburan Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi Peraturan Daerah Kota Medan Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan No 37 Tahun 2002, Tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi Dan Hiburan Umum)

0 0 10

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah - Peranan Aparatur Pemerintah Kota Pematang Siantar Dalam Pelayanan Pengurusan Kartu Tanda Penduduk Elektronik Studi Pada Kecamatan Siantar Timur Kota Pematangsiantar

0 0 23

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gigi Impaksi - Perbandingan Hasil Radiografi Periapikal Dengan Lateral Oblique Dalam Mendeteksi Gigi Impaksi Molar Tiga Mandibula Mahasiswa Fkg Usu

0 0 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Digital Watermarking - Analisis Perbandingan Metode Low Bit Coding Dan Least Significant Bit Untuk Digital Watermarking Pada File Wma

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karies - Perbandingan Hasil Radiografi Periapikal Dan Bitewing Dalam Mendeteksi Karies Proksimal

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Penambahan Silica Fume dan Superplasticizer terhadap Kuat Tekan Beton Mutu Tinggi dengan Metode ACI (American Concrete Institute)

0 0 53

BAB 1 PENDAHULUAN - Pengaruh Penambahan Silica Fume dan Superplasticizer terhadap Kuat Tekan Beton Mutu Tinggi dengan Metode ACI (American Concrete Institute)

0 0 10

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori Antrian - Pendekatan Teori Antrian Pada Bank Mandiri Cabang Iskandar Muda Medan

0 1 13