BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BATAK TOBA DAN BIOGRAFI ROTUA PARDEDE 2.1 Suku Batak Toba - Studi Deskriptif Manghirap Tondi Di Desa Lintong Nihuta Kecamatan Tampahan Dalam Masyarakat Batak Toba Oleh Ibu Rotua Pardede: Kajian Terhadap Tekstual Dan Musikal

  

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BATAK TOBA DAN BIOGRAFI

ROTUA PARDEDE

2.1 Suku Batak Toba

  Suku Batak Toba merupakan sub atau bagian dari suku bangsa batak. Suku Batak Toba meliputi Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara, sebagian Kabupaten Dairi, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga dan sekitarnya. Sepanjang sejarah suku ini terbagi ke dalam beberapa kerajaan. Pada masa kerajaan yang berpusat di Bakara, Kerajaan yang dalam pemerintahan dinasti Sisingamangaraja membagi Kerajaan Batak dalam 4 wilayah yang disebut Raja Maropat, yaitu: 1.

  Raja Maropat Silindung 2. Raja Maropat Samosir 3. Raja Maropat Humbang 4. Raja Maropat Toba

  Marga asli penduduk Batak Toba yang berdomisili di Tampahan adalah Siahaan, Simanjuntak dan marga-marga penduduk pendatang seperti; Simatupang, Pardede, Sianturi, Panggabean, Sianipar, dll.

2.1.1 Asal-Usul Batak Toba

  Penelusuran sejarah, sebuah upaya yang bagi sebagian orang merupakan bertanya dari manakah asal-usul suku Batak Toba. Versi sejarah mengatakan Si Raja Batak Toba dan rombongannya datang dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyebrang ke Sumatera dan menghuni Sianjur Mula-Mula, lebih kurang 8 KM arah barat Pangururan, pinggiran Danau Toba sekarang. Versi lain mengatakan dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke Selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba.

  Diperkirakan Si Raja Batak hidup sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13). Raja Sisingamangaraja XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907), maka anaknya bernama Si Raja Buntal adalah generasi ke-20. Pada tahun 1024 kerajaan COLA dari India menyerang Sriwijaya yang menyebabkan bermukimnya 1500 orang Tamil di Barus. Pada tahun 1275 Mojopahit menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, Padang Lawas. Sekitar tahun 1400 kerajaan Nakur berkuasa di sebelah Timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh.

  Menurut kepercayaan bangsa Batak induk marga Batak dimulai dari Si Raja Batak yang diyakini sebagai asal mula orang Batak. Si raja Batak mempunyai dua orang putra, yakni Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatea Bulan mempunyai 5 (lima) orang putra yakni Raja Uti (Raja Biak-Biak), Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja, dan Malau Raja. Sementara, Si Raja Isumboan mempunyai 3 (tiga) orang putra yakni Tuan Sorimangaraja, Si Raja Asiasi, dan Sangkar Somalindang. Dari keturunan (pinompar) mereka inilah kemudian menyebar ke segala penjuru daerah di Tapanuli, baik ke utara maupun bagaimana Si Raja Batak disebut sebagai asal mula orang Batak amsih perlu dikaji lebih dalam.

  Sebenarnya Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Tobasa, dan Samosir sekarang tidaklah semuanya Toba. Sejak Masa kerajaan Batak hingga pembagian wilayah yang didiami suku Batak ke dalam beberapa distrik oleh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Tanah Batak dibagi menjadi 4 (empat) bagian besar, yaitu: Samosir (Pulau Samosir, dan sekitarnya), Toba (Balige, Laguboti, Porsea, Pangururan, Sigumpar, dan sekitarnya), Humbang ( Dolok Sanggul, Siborong-borong, dan sekitarnya), Silindung (Sipoholon, Tarutung, Pahae, dan sekitarnya).

2.2 Sitem Kekerabatan Batak Toba

  Sistem kekerabatan ialah hubungan kekeluargaan daripada individu- individu. Kekerabatan timbul akibat dua hal, yaitu hubungan darah (consaigunal) dan akibat adanya perkawinan (konjugnal). Oleh karena itu kekerabatan (kinship) menyangkut jauh dekat hubungannya seseorang (individu) dan antara seorang dengan sekelompok orang (keluaraga/kerabat) demikian pula sebaliknya. Untuk menentukan bagaimana jauh dekatnya seseorang diadakan kekerabatan menurut adat istiadat (budaya) Batak Toba, kriteria yang digunakan ialah menurut garis keturunan pihak laki-laki (ayah) dan pertalian darah akibat perkawinan (dari pihak perempuan). Namun yang paling menentukan ialah garis menurut garis keturunan ayah. Hal ini karena etnis Batak Toba penganut paham kebapakan (patrilinear

  Walaupun demikian dalam menentukan kekerabatan (partuturan) juga dianut oleh paham keibuan (bilibneal discent) karena keluarga ibu/istri menduduki posisi yang sangat penting yaitu sebagai tempat untuk meminta berkat (tuah/pasu- pasu). Maka terdapat hubungan kekerabatan yang erat antara kelompok ayah/suami dengan kelompok ibu/istri dan begitu juga sebaliknya (Purba 1997:4

  

  dikutip oleh Kezia Purba). Orang Batak Toba mementingkan soal “silsilah” karena penentu partuturan di Batak Toba adalah “silsilah atau tarombo” (marga nenek moyang) dan tibalni parhundul (kedudukan/peran) dalam horja-horja adat (acara-acara adat).

  Hal ini bisa dilihat saat orang Batak Toba bertemu, langsung bertanya “marga aha hamuna?” (apa marga anda) dan juga “sian dia huta muna?” (dari mana asal-usul anda)?" Hal ini dipertegas oleh pepatah atau Umpasa Batak Toba yaitu “ Jolo tiniktik sanggar laho bahenon huru-huruan, Jolo sinukun marga asa binoto partuturan” (maksudnya yaitu kita tanya apa marganya terlebih dahulu agar kita tahu hubungan kita dengannya).

2.2.1 Kekerabatan Berdasarkan Keturunan

  Sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba di Desa Tampahan tidak berbeda dengan sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba di daerah lain.

  Kekerabatan masyarakat Batak Toba berdasarkan garis keturunan didasarkan pada tarombo (silsilah) orang Batak itu sendiri. Tarombo ditentukan oleh marga, dimana marga ditentukan oleh garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah). Segala tata cara kehidupan dimulai dari keluarga sampai pada lingkungan masyarakat

  

  diatur dan disusun berdasarkan garis keturunan ayah (patrilineal) Dari marga ini akan diketahui tarombo seseorang untuk memanggil sapaan terhadap orang lain. Marga dipergunakan oleh anak laki-laki, sementara untuk perempuan disebut boru.

  Dalam masyarakat Batak Toba kaum pria berfungsi sebagai pewaris dan penerus keturunan marga. Sedangkan wanita apabila berumah tangga secara otomatis akan masuk lingkungan marga suaminya dan tidak menjadi pewaris marga bagi keturunannya. Dalam masyarakat Batak apabila marganya sama, maka mereka adalah kerabat yang memiliki satu nenek moyang yang sama. Pria dan wanita yang semarga sangat tidak dibenarkan saling mengawini.

  Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa marga (klan) pada masyarakat Batak Toba mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakatnya. Begitu juga jika ditinjau dari hubungan kekerabatan antar individu, marga (klan) juga angat berperan dalam kehidupan masyarakat.

  2.2.2 Kekerabatan Berdasarkan Hubungan Perkawinan Masyarakat Batak memiliki sistem kekerabatan yang dikenal dengan dalihan na tolu. Dalam bahasa Indonesia dalihan na tolu artinya tungku yang terdiri dari tiga kaki. Sistem ini mengatur pola interaksi sosial dalam masyarakat Batak. Dalihan na tolu ini terjadi karena adanya perkawinan sehingga terjadi hubungan kekerabatan dengan marga lain (Siahaan, 1982). Menurut falsafah orang Batak dalihan na tolu merupakan tiga buah batu yang dijadikan sebagai penyanggah dalam setiap interaksi satu sama lain dalam kehidupan bersama diibaratkan sebagai tungku yang menyanggah beban di atasnya (Skripsi Nainggolan: 2009). Tiga batu penyanggah tersebut membentuk kerja sama yang sungguh-sungguh kokoh dalam usaha untuk menciptakan kebaikan bersama.

  Setiap batu penyanggah itu memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan bersama dan tidak bisa lepas satu sama yang lain.

  Tiga kedudukan yang dimaksud dalam dalihan na tolu adalah hula-hula, dongan tubu, dan boru (Siahaan, 1982). Hula-hula merupakan pihak keluarga dari istri yaitu orang tua dan semua saudara laki-laki dari wanita yang dinikahi oleh pria dari marga lain. Hula-hula ini memiliki kedudukan dan fungsi yang paling tinggi dalam sistem kekerabatan orang Batak Toba. Bagi masyarakat Batak Toba hula-hula dianggap sebagai pemberi kebahagian, pemberi rejeki, dan pemberi berkat tertinggi yang harus dihormati. Orang Batak Toba menyakini bahwa hula- hula merupakan sarana penyalur berkat dan bahkan disebut sebagai “tuhan yang kelihatan”. Sehingga dengan menghormati hula-hula orang-orang akan memperoleh berkat dan rejeki dalam kehidupannya. Dongan tubu merupakan hubungan persaudaraan yang berasal dari ayah yang sama atau garis keturunan yang sama dan golongan yang memiliki marga yang sama.

  Dalam suatu acara adat kedudukan dongan tubu sama atau sederejat dengan pihak yang menyelenggarakan pesta (suhut). Dongan tubu mempunyai tugas untuk mengawasi berjalannya acara adat. Boru adalah keluarga yang sibuk dan siap sedia mempersiapkan segala sesuatu dalam setiap acara atau kegiatan adat seperti mempersiapkan hidangan konsumsi, mengatur berbagai pertemuan atau acara-acara keluarga lainnya. Khususnya, jika acara atau pesta (adat) adalah perhelatan atau pesta dari pihak hula-hula. Ketiga dalihan na tolu ini tidak bisa dipisah dalam kehidupan bersosialisasi masyarakat Batak Toba, baik dalam acara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Posisi dalihan na tolu ini bergantung pada konteksnya.

  Setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut pada saat yang sama. Seorang hula-hula akan berposisi sebagai boru jika yang mengadakan pesta adalah pihak keluarga dari istrinya. Begitu juga sebaliknya seorang boru akan menjadi hula-hula bagi keluarga anak perempuannya yang telah menikah dengan marga lain. Dalam menjaga konsep Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba ada pepatah yang mengatakan: “somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan

  

  tubu” (Sumando). Somba marhula-hula maksudnya adalah agar pihak boru selalu memberikan sembah kepada hula-hula, elek marboru maksudnya adalah agar pihak hula-hula selalu bersikap mangelek (membujuk) dan sayang terhadap pihak boru, manat mardongan tubu maksudnya adalah agar pihak sesama marga selalu saling memperhatikan dan selalu berhati-hati dalam bersikap agar tidak terjadi sakit hati bagi sesama dongan tubu.

2.2.3 Sistem Perkawinan

  Perkawinan dalam Koentjaraningrat (1994:103) adalah sebagai pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan kelaminnya Perkawinan bukan hanya sekedar perjanjian sehidup semati antara laki-laki dan perempuan yang bersatu dalam sebuah rumah tangga, tetapi juga terbentuknya hubungan antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan menjadi sebuah keluarga besar (Kepler, 2002:38). Sistem perkawinan menurut adat Batak Toba adalah sesuatu yang kompleks yang harus melalui tahapan-tahapan. Perkawinan bagi masyarakat Batak Toba adalah sebuah pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dan seorang perempuan tetapi juga mengikat suatu keluarga besar yakni keluarga pihak laki-laki (paranak dalam bahasa Batak Toba) dan pihak perempuan (parboru).

  Perkawinan mengikat kedua belah pihak tersebut dalam suatu ikatan kekerabatan yang baru, yang juga berarti membentuk satu dalihan na tolu (tungku nan tiga) yang baru juga. Secara umum, dalam adat Batak Toba, upacara perkawinan didahului oleh upacara pertunangan. Upacara ini bersifat khusus dan otonom, diakhiri dengan tata cara yang menjamin, baik awal penyatuan kedua calon pengantin ke dalam lingkungan baru, maupun perpisahan dan peralihan dari masa peralihan tetap, sebagaimana akan diteguhkan dalam upacara perkawinan.

  Dengan demikian, tata upacara perkawinan terdiri dari tata cara penyatuan tetap atau permanen ke dalam lingkungan (sosial) baru, dan tata cara penyatuan yang bersifat personal. Proses perkawinan dalam adat kebudayaan Batak Toba perempuan akan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, namun dia akan tetap menyandang marganya sendiri; selanjutnya, perempuan tersebut beserta suaminya akan menyebut kelompok marga perempuan itu dengan hula-hula (Vergouwen, 1986: xi) Ini terlihat dalam kenyataan bahwa dalam masyarakat Batak Toba seseorang yang hendak menikah tidak boleh mengambil isteri dari kalangan kelompok marga sendiri (namariboto), perempuan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, dan bersifat patrilineal, dengan tujuan untuk melestarikan marga dari pihak laki-laki. Hak tanah, milik, nama, dan jabatan hanya dapat diwarisi oleh garis laki-laki. Tahapan- tahapan yang ada pada masyarakat Batak Toba adalah sebagai berikut17: 1.

  Paranakkon Hata

  a) Paranakkon hata artinya menyampaikan pinangan oleh paranak (pihak

  b) laki-laki) kepada parboru (pihak perempuan).

  c) Pihak perempuan langsung memberi jawaban kepada orang yang disuruh oleh pihak laki-laki pada hari itu juga.

  d) Pihak yang disuruh paranak panakkok hata masing-masing satu orang dongan tubu, boru, dan dongan sahuta.

  2. Marhusip

  a) Marhusip artinya membicarakan prosedur yang harus dilaksanakan oleh pihak paranak sesuai dengan ketentuan adat setempat (ruhut adat di huta i) dan sesuai dengan keinginan parboru (pihak perempuan). b) Pada tahap ini tidak pernah dibicarakan maskawin (sinamot). Yang dibicarakan hanyalah hal-hal yang berhubungan dengan marhata sinamot dan ketentuan lainnya.

  c) Pihak yang disuruh marhusip ialah masing-masing satu orang dongan- tubu, boru tubu, dan dongan-sahuta.

  3. Marhata Sinamot

  a) Pihak yang ikut marhata sinamot adalah masing-masing 2-3 orang dari dongan-tubu, boru dan dongan sahuta.

  b) Mereka tidak membawa makanan apa-apa, kecuali makanan ringan dan minuman.

c) Yang dibicarakan hanya mengenai sinamot dan jambar sinamot.

  4. Marpudun Saut Marpudun saut artinya merealisasikan apa yang dikatakan dalam paranak hata, marhusip, dan marhata sinamot. Semua yang dibicarakan pada ketiga tingkat pembicaraan sebelumnya dipudun (disimpulkan, dirangkum) menjadi satu untuk selanjutnya disahkan oleh tua-tua adat. Dalam marpudun saut sudah diputuskan ketentuan yang pasti mengenai sinamot, ketentuan jambar sinamot kepada si jalo todoan, ketentuan sinamot kepada parjambar na gok, ketentuan sinamot kepada parjambar sinamot, parjuhut, jambar juhut, tempat upacara, tanggal upacara, ketentuan mengenai ulos yang akan digunakan, ketentuan mengenai ulos-ulos kepada pihak paranak, dan ketentuan tentang adat.

5. Unjuk

  Semua upacara perkawinan (ulaon unjuk) harus dilakukan di halaman pihak perempuan (alaman ni parboru), di mana pun upacara dilangsungkan. Berikut adalah tata geraknya:

  a) Memanggil liat ni Tulang ni boru muli dilanjutkan dengan menentukan tempat duduk.

  b) Mempersiapkan makanan,

  c) Paranak memberikan na margoar ni sipanganon dari parjuhut horbo,

  d) Parboru menyampaikan dengke (ikan, biasanya ikan mas),

  e) Doa makan,

  f) Membagikan jambar,

  g) Marhata adat – yang terdiri dari tanggapan oleh parsinabung ni paranak, dilanjutkan oleh parsinabung ni parboru, tanggapan parsinabung ni paranak, tanggapan parsinabung ni parboru.

  h) Pasahat sinamot dan todoan, i) Mangulosi, dan j) Padalan Olopolop.

  6. Tangiang Parujungan Doa penutut pertanda selesainya upacara perkawinan adat Batak Toba.

2.3 Sistem Kepercayaan Dan Agama

  Tanah Batak telah telah dipengaruhi beberapa agama. Agama Kristen

  19. Walaupun sebagian besar orang Batak Toba sudah beragama kristen dan islam, namun banyak konsep-konsep yang asal dari agama aslinya masih hidup, terutama di daerah pedesaan. Sumber utama untuk mengetahui sistem kepercayaan Batak Toba asli adalah buku-buku kuno (pustaha). Selain daripada berisi silsilah-silsilah (tarombo) buku yang dibuat dari kulit kayu itu juga berisi konsepsi orang batak tentang dunia makhluk halus. Hal ini dapat terjadi demikian oleh karena tarombo itu sendiri bermula dengan kejadian-kejadian yang hanya mungkin terjadi dalam dunia makhluk halus, seperti misalnya penciptaan manusia yang pertama yang leluhurnya bersangkutpaut dengan burung.

  Konsepsi tentang pencipta, orang Batak Toba mempunyai konsep bahwa alam ini dan seluruh isinya, diciptakan oleh Debata (Opung) Mulajadi Nabolon yang bertempat tinggal di atas langit dan mempunyai nama-nama lain sesuai dengan tugas dan tempat kedudukannya. Sebagai Debata Mulajadi Nabolon, ia tinggal di Langit dan merupakan Maha Pencipta. Sebagai penguasa dunia tengah, ia bertempat tinggal di dunia ini dan bernama Silaon Nabolon, atau Tuan Panduka ni Aji. Sebagi penguasa dunia makhluk halus ia bernama Pane Nabolon. Selain daripda pencipta Debata Mulajadi Nabolon menciptakan dan mengatur kejadian gejala-gejala Alam seperti hujan, kehamilan, sedangkan Pane Nabolon mengatur Penjuru mata angin.

  Konsepsi tentang jiwa, roh dan dunia akhirat. Dalam hubungan dengan jiwa dan roh orang Batak mengenal 3 (tiga) konsep yaitu: Tondi, sahala, dan

  

begu. tondi itu adalah jiwa atau orang itu sendiri dan sekaligus dan juga seseorang. Bedanya dengan tondi adalah bahwa tidak semua orang mempunyai sahala dan jumlah serta kualitasnya juga berbeda-beda. Sahala dari seorang Raja atau Datu lebih banyak dan lebih kuat dari orang biasa dan begitu pula sahala dari seorang hula-hula lebih kuat dari sahala orang boru. Sahala itu dapat berkurang dan menentukan peri kehidupan seseorang. Berkurangnya sahala menyebaban seseorang kurang disegani, atau kedatuannya menjadi hilang.

  Tondi diterima oleh seseorang itu pada waktu ia masih ada didalam rahim ibunya dan demikian pula sahala atau sumangat. Demikian tondi itu juga merupakan kekuatan yang memberi hidup kepada bayi (calon manusia), sedangkan sahala adalah kekuatan yang akan menentukan wujud dan jalan orang itu dalam hidup selanjutnya seperti halnya dengan sahala, yang dapat berkurang atau bertambah, tondi itu dapat pergi meninggalkan badan. Bila tondi meninggalkan badan sementara, makaorang yang bersangkutan itu sakit, bila untuk seterusnya, maka orang itu meninggal. Keluarnya tondi dari badan disebabkan karena adanya kekuatan lain (sambaon) yang menawannya.

  Konsep yang ketiga ialah begu, adalah seperti tingkah laku manusia, hanya secara kebalikannya, yaitu: misalnya apa yang dilakukan oleh manusia pada siang hari dilakukan begu malam hari. Orang Batak mengenal begu yang baik dan yang jahat. Sesuai dengan kebutuhannya, begu dipuja dengan sajian (pelean).

  Dikalangan orang Batak Toba, Begu terpenting ialah Sumangot ni ompu (begu dari nenek moyang). Kalau begu yang dulunya sebagai tondi menduduki tubuh manusia yang kaya, yang berkuasa, dan mempunyai keturunan yang banyak, maka disertai dengan gondang ( musik Batak) dan dengan sajian yang disebut Tibal- tibal yang ditempatkan di atas Pangumbari. Beberapa golongan begu yang ditakuti orang Batak Toba adalah: 1.

  Sombaon, yaitu sejenis begu yang bertempat tinggal di pegunungan atau di hutan rimba yang padat, gelap, dan mengerikan (persombaonan).

2. Solobean, yaitu begu yang dianggap sebagai penguasa dari tempat- tempat tertentu dari Toba.

  3. Silan, yaitu begu yang serupa dengan Sombaon menempati pohon besar, atau batu yang aneh bentuknya, tetapi khususnya dinggap sebagai nenek moyang pendiri Huta dan juga nenek moyang dari marga.

  4. Begu ganjang, yaitu begu yang sangat ditakuti karena dapat dipelihara oleh orang agar dipergunakan untuk membinasakan orang-orang lain yang dibenci oleh sipemelihara begu ganjang tersebut. Akhirnya dalam sistem religi aslinya orang Batak Toba juga percaya kepada kekutan sakti dari Jimat, tongkat wasiat atau tunggal panaluan dan kepada mantra-mantra yang mengandung sakti. Semua kekuatan itu menurut kitab- kitab ilmu gaib orang Batak Toba (pustaha), berasal dari Si Raja Batak.

2.4 Bahasa

  Bahasa ialah sistem perlambangan manusia yang lisan maupun tulisan Kecamatan Tampahan merupakan salah satu daerah di Kabupaten Tobasa yang penduduknya adalah mayoritas Batak Toba. Bahasa Batak Toba merupakan bahasa ibu dari masyarakat dari masyarakat Batak yang menetap disana. Selain bahasa Batak Toba.

  Masyarakat yang ada di Kecamatan Tampahan menggunakan bahasa Batak sebagai media komunikasi dalam percakapan formal maupun percakapan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan penduduk yang tidak bersuku Batak pun mengerti dan fasih menggunakan bahasa ini, karena bahasa Batak lebih sering digunakan jika dibandingkan dengan bahasa nasional (Bahasa Indonesia). Hal ini bisa dapat dilihat baik dalam upacara adat, acara kebaktian gereja maupun dalam kehidupan sehari-hari.

2.5 Sistem Mata Pencaharian

  Kecamatan Tampahan merupakan daerah yang berada di daerah lereng gunung dan tanah yang berbukit-bukit. Dari pengamatan yang penulis lakukan masyarakat yang tinggal di kecamata ini sebagian besar merupakan petani. Khususnya masyarakat yang tinggal di Desa Lintong Nihuta Bagasan dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya, mata pencaharian penduduk adalah bertani seperti sayur-sayuran, padi terutama sebagai penyadap pohon karet sebagai tumbuhan yang tumbuh secara alami. Selain sebagai petani ada juga beberapa orang yang berprofesi sebagai guru.

  Namun sekalipun berprofesi sebagai guru mereka juga melakukan pulang dari mengajar di sekolah. Di desa ini juga dijumpai kegiatan menyadap nira untuk dijadikan tuak. Selain sebagai guru, penyadap bagot merupakan pekerjaan sampingan yang ditekuni. Dari hasil tani, dan penyadapan pohon bagot inilah bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang perkuliahan. Bertani dan menyadap nira merupakan pekerjaan yang dilakukan secara turun-temurun dan merupakan mata pencaharian desa ini.

2.6 Kesenian

2.6.1 Seni Musik

  Musik dalam masyarakat Batak Toba dikenal dengan istilah gondang bisa mengacu pada beberapa arti, seperti ensambel musik, sebagai repertoar dan sebagai alat atau instrumen musik. Istilah penggunaan gondang (Hutajulu dan Harahap, 2005:19) bagi masyarakat Batak Toba beserta konteks pengertiaanya, misalnya:

  1) Gondang hasahata;, kata gondang memiliki makna sebuah komposisi. 2) Gondang debata; kata gondang memiliki makna repertoar, yakni terdiri dari tiga komposisi yang berbeda: “Debata Guru”, “Bane Bulan”, dan “Debata

  Sori”. 3) Gondang simonang-monang; kata gondang memiliki makna komposisi lagu sekaligus menunjukkan tempo pada lagu.

  4) Gondang saem; kata gondang memiliki makna sebuah upacara penyembuhan.

  5) Gondang sabangunan atau gondang hasapi; kata gondang bermakna

  Terdapat dua ensambel yang umum dikenal pada Masyarakat Batak Toba, yaitu ensambel gondang sabangunan dan gondang hasapi. Alat musik yang terdapat dalam ensambel gondang sabangunan yaitu satu set taganing (membranofon), sarune bolon (aerofon), empat buah ogung (idiofon) dan hesek (idiofon). Instrument yang terdapat dalam gondang hasapi yaitu garantung (idiofon), hesek (idiofon), sarune etek (aerofon) dan hasapi (kordofon). Ensambel gondang sabangunan dan gondang hasapi ini tidak pernah lagi dipakai dalam acara adat masyarakat Batak yang ada di Desa Lintong Nihuta Bagasan ini. Masyarakat sudah memakai instrumen kibot dan sulim dalam acara adat, baik adat perkawinan maupun kematian. Ada juga beberapa pengusaha kibot yang telah memasukkan taganing ke dalam instrumennya sebagai pelengkap.

2.6.2 Seni Tari

  Seni tari pada masyarakat Batak Toba dikenal dengan dua jenis yaitu tortor dan tumba. Tortor merupakan tarian yang digunakan dalam konteks upacara adat seperti perkawinan dan kematian. Tumba merupakan tarian yang digunakan oleh pemuda-pemudi maupun anak-anak pada waktu terang bulan. Tarian ini merupakan tarian yang bersifat hiburan. Kegiatan ini disebut dengan martumba. Pada masyarakat yang tinggal di Desa Lintong Nihuta Bagasan kegiatan martumba sudah tidak terdapat lagi. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena tidak adanya pemrakarsa ataupun karena rasa kekeluargaan dan persatuan antar muda- mudi tidak ada lagi.

2.6.3 Seni Sastra

  Hutajulu dan Harahap (2005:13) mengatakan pada masyarakat Batak Toba dapat ditemukan beberapa seni sastra, yaitu :

  1. Umpasa merupakan kata-kata kiasan yang berisi ajaran tentang keteladanan, kebijaksanaan, aturan-aturan adat serta pesan-pesan religious. Umumnya umpasa disampaikan di dalam berbagai kegiatan upacara adat yang ada di masyarakat Batak Toba.

  2. Tonggo-tongo merupakan jenis sastra yang terkait dengan rangkaian teks-teks naratif keagamaan. Tonggo-tonggo dapat berupa doa-doa pujian kepada Sang Pencipta atau juga bentuk doa-doa lainnya dalam bentuk permohonan dan harapan.

  3. Turi-turian merupakan satu bentuk seni bercerita yang umumnya bersumber dari berbagai mitos dan legenda.

  4. Huling-huling ansa adalah sejenis sastra berbentuk teka-teki yang umumnya dilakukan oleh pemuda dan pemudi di waktu senggang. Umpasa dan hulung- huling ansa merupakan dua dari seni sastra yang masih terdapat pada masyarakat yang ada di Desa Hutaimbaru ini. Berdasarkan pengamatan penulis, umpasa sering digunakan pada acara-acara adat perkawinan dan huling- huling ansa banyak digunakan oleh anak-anak ketika sedang bermain dengan anak-anak yang lain.

2.6.4 Seni Rupa

  Pada masyarakat Batak Toba ditemukan beberapa jenis seni rupa. Yang paling umum adalah seni patung. Umumnya bahan yang digunakan untuk seni patung ini adalah batu dan kayu. Patung yang terbuat dari batu banyak digunakan pada makam orang yang sudah meninggal. Patung yang terdapat di atas makam tersebut menandakan bahwa orang yang meninggal tersebut telah mencapai usia tua dan pada masa hidupnya memiliki pengaruh di masyarakat. (Harahap, 2005:12). Pada jaman dahulu masyarakat Batak telah mengenal seni patung dari batu ini. Hal ini terbukti dari peninggalan-peninggalan bersejarah yang terdapat di Samosir yaitu situs peninggalan raja-raja Batak.

  Jenis patung yang paling popular di masyarakat Batak Toba adalah sigale- gale. Sigale-gale adalah sejenis patung boneka kayu yang dapat menari. Patung ini digunakan sebagai seni pertunjukan hiburan. Sigale-gale dikendalikan oleh seseorang dengan menggunakan tali-tali yang dipasang pada bagian-bagian patung. Selain seni patung, masyarakat Batak Toba juga mengenal seni ukir ornamental yang disebut dengan gorga. Seni ukir ini banyak terdapat pada dinding rumah tradisional Batak dan banyak juga digunakan pada alat-alat musik sebagai hiasan. Motif-motif yang digunakan dapat berupa ukiran gambar manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan maupun lambang delapan penjuru angin.

2.7 Pengertian Biografi

  Dalam disiplin ilmu sejarah biografi dapat didefenisiskan sebagai sebuah kalimat saja, namun juga dapat berupa tulisan yang lebih dari satu buku. Perbedaannya adalah, biografi singkat hanya memaparkan tentang fakta - fakta kehidupan seseorang dan peranan pentingnya dalam masyarakat. Sedangkan biografi yang lengkap biasanya memuat dan mengkaji informasi – informasi penting, yang dipaparkan lebih detail dan tentu saja dituliskan dengan penulisan yang baik dan jelas. Sebuah biografi biasanya menganalisia dan menerangkan kejadian - kejadian pada hidup seorang tokoh yang menjadi objek pembahasannya.

  Dengan membaca biografi, pembaca akan menemukan hubungan keterangan dari tindakan yang dilakukan dalam kehidupan seseorang tersebut, juga mengenai cerita - cerita atau pengalaman - pengalaman selama hidupnya. Suatu karya biografi biasanya becerita tentang kehidupan orang terkenal dan orang tidak terkenal, dan biasanya biografi tentang orang yang tidak terkenal akan menjadikan orang tersebut dikenal secara luas, jika didalam biografinya terdapat sesuatu yang menarik untuk disimak oleh pembacanya, namun demikian biasanya biografi hanya berfokus pada orang – orang atau tokoh-tokoh terkenal saja. Tulisan biografi biasanya bercerita mengenai seorang tokoh yang sudah meninggal dunia, namun tidak jarang juga mengenai orang atau tokoh yang masih hidup. Banyak biografi yang ditulis secara kronologis atau memiliki suatu alur tertentu, misalnya memulai dengan menceritakan masa anak-anak sampai masa dewasa seseorang, namun ada juga beberapa biografi yang lebih berfokus pada suatu topik-topik pencapaian tertentu. Biografi memerlukan bahan-bahan utama buku harian, atau kliping koran. Sedangkan bahan pendukung biasanya berupa biografi lain, buku-buku referensi atau sejarah yang memparkan peranan subjek biografi tersebut.

  Beberapa aspek yang perlu dilakukan dalam menulis sebuah biografi antara lain: (a) Pilih seseorang yang menarik perhatian anda; (b) Temukan fakta- fakta utama mengenai kehidupan orang tersebut; (c) Mulailah dengan ensiklopedia dan catatan waktu. Sebelum menuliskan sebuah biografi seseorang, ada beberapa pertanyaan yang dapat dijadikan pertimbangan, misalnya: (a) Apa yang membuat orang tersebut istimewa atau menarik untuk dibahas; (b) Dampak apa yang telah beliau lakukan bagi dunia atau dalam suatu bidang tertentu juga bagi orang lain; (c) Sifat apa yang akan sering penulis gunakan untuk menggambarkan orang tersebut; (d) Contoh apa yang dapat dilihat dari hidupnya yang menggambarkan sifat tersebut; (e) Kejadian apa yang membentuk atau mengubah kehidupan orang tersebut; (f) Apakah beliau memiliki banyak jalan keluar untuk mengatasi masalah dalam hidupnya; (g) Apakah beliau mengatasi masalahnya dengan mengambil resiko,atau karena keberuntungan; (h) Apakah dunia atau suatu hal yang terkait dengan beliau akan menjadi lebih buruk atau lebih baik jika orang tersebut hidup ataupun tidak hidup, bagaimana, dari studi perpustakaan atau internet untuk membantu penulis dalam menjawab serta menulis biografi orang tersebut dan supaya tulisan si peneliti dapat dipertanggungjawabkan, lengkap dan menarik. Terjemahan Ary (2007) dari situs :

   (www.infoplease.com/homework/wsbiography.html).

2.8 Biografi Singkat Ibu Rotua Pardede

  Rotua Pardede adalah seorang mantan Guru (Kepala Sekolah) yang memiliki kepedulian terhadap seni, budaya dan sejarah Batak Toba.

  Penguasaannya terhadap sejarah seni dan kebudayaan Batak Toba khusunya perlu dihargai dan tetap dilestarikan. Adapun hasil wawancara penulis dengan informan tentang biografi atau rowayat hidup informan yaitu, Ibu Rotua Pardede lahir pada tanggal 5 Agustus 1937 di Janjimaria, Balige. Dalam perkawinannya, Rotua Pardede menikah pada tahun 1960 dengan Bapak M. Simanjuntak. Ibu Rotua memiliki 10 orang anak diantaranya 4 laki-laki dan 6 wanita. Serta sudah memiliki cucu sebanyak 43 orang.

  Pada tahun 1958 Ibu Rotua Pardede Lulus dari Sekolah SPG Soposurung sambil mengajar di SD Balige 2. Dan menjabat sebagai Kepala Sekolah selama 10 tahun di SDN 173528 Tampahan sejak tahun 1989 sampai tahun 1998. Pensiun pada tanggal 29 November 1998. Dan tahun 1975 sampai tahun 1976 Ibu Rotua mengambil sekolah lagi di KPG dengn jurusan Matematika.

  Dalam hidupnya Ibu Rotua sudah ahli dalam mengurut, beliau sudah mengurut sejak SD sampai saat ini. Ibu Rotua mengurut sejak SD sampai tahun

  1998 tanpa menerima bayaran dengan uang. Ibu Rotua dikenal memiliki kelebihan yaitu memiliki indera ke-6 (enam).

Gambar 2.1 Foto Ibu Rotua Pardede

  Dalam hidupnya Ibu Rotua sudah ahli dalam mengurut, beliau sudah mengurut sejak SD sampai saat ini. Ibu Rotua mengurut sejak SD sampai tahun 1998 tanpa menerima bayaran dengan uang. Ibu Rotua dikenal memiliki kelebihan yaitu memiliki indera ke-6 (enam).

  Ibu Rotua sering dikenal orang dengan kebaikannya, keramahannya, dan kerajinannya dalam pekerjaan apapun. Ibu Rotua mampu mengobati berbagai penyakit akan tetapi Ibu Rotua bukan seorang dukun (datu) melainkan ilmunya datang dari mimpi-mimpinya dan menjadi kenyataan. Saat ini Ibu Rotua sudah

   berusia 77 tahun dan tinggal dengan suminya di Lintong Nihuta Bagasan, Balige.

Dokumen yang terkait

SISTEM PAKAR DIAGNOSIS PENYAKIT SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE) MENGGUNAKAN METODE CERTAINTY FACTOR DAN BACKWARD CHAINING SKRIPSI DWI SEPTIANA SARI 131421044

1 1 12

MOTIVASI INTRINSIK, KECERDASAN GANDA, DAN SIKAP TERHADAP KEMAMPUAN BERBAHASA INDONESIA SISWA KETURUNAN TIONGHOA Yulia Fitra Balai Bahasa Sumatera Utara yulfi-sakinahyahoo.com Abstrak - Motivasi Intrinsik, Kecerdasan Ganda, Dan Sikap Terhadap Kemampuan Ber

0 0 12

BAB II DASAR TEORI - Pengaruh Penambahan Kutub Bantu Pada Motor Arus Searah Penguatan Seri Dan Shunt Untuk Memperkecil Rugi-Rugi

0 0 31

SEARAH PENGUATAN SERI DAN SHUNT UNTUK MEMPERKECIL RUGI-RUGI (Aplikasi pada Laboratorium Konversi Energi Listrik FT-USU)

0 0 13

Kata Kunci: Prilaku, Sifat, Mausuf, Sintaksis Bahasa Arab PENDAHULUAN - Prilaku Sifat dan Mausuf dalam Hubungan Sintaksis Bahasa Arab

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Keanekaragaman Makrozoobentos Di Perairan Sungai Asahan Sumatera Utara

0 1 11

Keanekaragaman Makrozoobentos Di Perairan Sungai Asahan Sumatera Utara

0 0 15

ABSTRAK PENGARUH MANAJEMEN MODAL KERJA, LIKUIDITAS, LEVERAGE DAN CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PROFITABILITAS PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA

0 0 11

Landasan Teori - Analisis Kraniofasial Antropometri pada Penderita Down Syndrome Usia 5-25 Tahun di UPT. SLB-E Negeri Pembina Sumatera Utara

0 0 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuh Kembang - Analisis Kraniofasial Antropometri pada Penderita Down Syndrome Usia 5-25 Tahun di UPT. SLB-E Negeri Pembina Sumatera Utara

1 0 18