Cagar Budaya Konstitusi dan Masyarakat

Tulis-Tulis, Baca-Baca…

CAGAR BUDAYA, KONSTITUSI, DAN MASYARAKAT
(Pemahaman Mengenai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar
Budaya)
Oleh: P. Chandra
Pendahuluan
Indonesia memiliki sejuta „keindahan ‟, baik dari segi ekologis maupun sosial budaya.
Seiring perkembangan zaman, sebagian besar masyarakat kehilangan atau lupa dengan
„keindahan ‟ itu sehingga keindahan itu rusak dan tinggalkan bersama waktu. „Keindahan‟ itu
seharusnya kita jaga dan kita rawat karena sesungguhnya, hal itu tidak dapat diperbaharui.
Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu,
pemerintah mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan untuk memajukan kebudayaan
secara utuh untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehubungan dengan itu, seluruh
hasil karya bangsa Indonesia, baik pada masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang,
perlu dimanfaatkan sebagai modal pembangunan. Sebagai karya warisan budaya masa lalu,
Cagar Budaya menjadi penting perannya untuk dipertahankan keberadaannya.
Warisan budaya bendawi (tangible) dan bukan bendawi (intangible) yang bersifat nilainilai merupakan bagian integral dari kebudayaan secara menyeluruh. Pengaturan UndangUndang ini menekankan Cagar Budaya yang bersifat kebendaan. Walaupun demikian, juga
mencakup nilai-nilai penting bagi umat manusia, seperti sejarah, estetika, ilmu pengetahuan,
etnologi, dan keunikan yang terwujud dalam bentuk Cagar Budaya1.
Untuk tulisan kali ini, penulis akan menyinggung sedikit soal pelestarian „keindahan‟

sosial budaya (Cagar Budaya) kita melalui perspektif UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang
Cagar Budaya. Namun, sesuai dengan tema Pertemuan Ilmiah Arkeologi Mahasiswa seIndonesia “Archaeology for Society: Pemanfaatan dan Pelestarian Kawasan Karst MarosPangkep yang Berbasis Masyarakat”, penulis juga akan memasukan sedikit mengenai
„keindahan‟ ekologis Maros-Pangkep.
Sekilas Tentang Cagar Budaya dan UU Nomor 11 Tahun 2010
Cagar Budaya merupakan warisan leluhur yang secara tidak langsung menjadi ciri khas
dari suatu daerah. Pengertian Cagar Budaya tertuang dalam UU Nomor 11 Tahun 2010
Tentang Cagar Budaya pasal 1 ayat 1, bunyinya:
“...Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan
Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan
keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.”

Dilihat dari konteksnya, Cagar Budaya umumnya terbagi atas dua, yaitu moveable (dapat
digerakkan/pindahkan) dan unmoveable (tidak dapat digerakkan/pindahkan). Apapun
bentuknya, Cagar Budaya yang bersifat kebendaan ini sangat rentan dengan pengerusakan,
entah karena faktor alam maupun manusia. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah
1

Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, hal. 1.


1

Tulis-Tulis, Baca-Baca…

kita harus mencegah kerusakan dan melestarikan Cagar Budaya tersebut? Kalau iya, kenapa?
Seperti yang telah saya singgung diatas bahwa Cagar Budaya merupakan ciri khas atau
identitas bangsa, warisan dunia, dan merupakan jejak rekam kemajuan bangsa kita, oleh
karena itu kita harus menjaga dan melestarikannya. Selain itu, alat, bahan, serta teknologi
pembuatannya telah lama hilang karena pengaruh modernisasi dan karenanya, Cagar Budaya
tersebut terbatas dan tidak dapat diperbaharui. Boleh saja dibuatkan replikanya, namun nilai
penting sejarahnya tetap tidak dapat menyamai yang aslinya.

Sociteit de Harmonie, salah satu bangunan Cagar Budaya. (Dok. Chandra)

Setiap orang wajib menjaga, memelihara, dan melestarikan Cagar Budaya, hal ini secara
tersirat tertuang dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pada Bab VII yang
membahas tentang pelestarian. Negara sudah menyadari betapa pentingnya warisan budaya
ini, UU Nomor 11 Tahun 2010 merupakan bukti bahwa Negara juga peduli dengan warisan
budaya tersebut. Konstitusinya sudah ada, tinggal kontribusi pemerintah dan masyarakat

dalam melaksanakan undang-undang tersebut.
Setiap Cagar Budaya memiliki peringkat berdasarkan letak administratif dan syaratsyarat lainnya, sebagai berikut:
1. Cagar Budaya Nasional
Cagar Budaya tingkat nasional, secara administratif terletak diantara dua provinsi. Cagar
Budaya dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya peringkat nasional apabila memenuhi
syarat sebagai:
a. Wujud kesatuan dan persatuan bangsa;
b. Karya adiluhung yang mencerminkan kekhasan kebudayaan bangsa Indonesia;
c. Cagar Budaya yang sangat langka jenisnya, unik rancangannya, dan sedikit
jumlahnya di Indonesia;

2

Tulis-Tulis, Baca-Baca…

d. Bukti evolusi peradaban bangsa serta pertukaran budaya lintas negara dan lintas
daerah, baik yang telah punah maupun yang masih hidup di masyarakat; dan/atau
e. Contoh penting kawasan permukiman tradisional, lanskap budaya, dan/atau
pemanfaatan ruang bersifat khas yang terancam punah2.
2. Cagar Budaya Provinsi

Cagar Budaya dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya peringkat provinsi apabila
memenuhi syarat:
a. Mewakili kepentingan pelestarian Kawasan Cagar Budaya lintas kabupaten/kota;
b. Mewakili karya kreatif yang khas dalam wilayah provinsi;
c. Langka jenisnya, unik rancangannya, dan sedikit jumlahnya di provinsi;
d. Sebagai bukti evolusi peradaban bangsa dan pertukaran budaya lintas wilayah
kabupaten/kota, baik yang telah punah maupun yang masih hidup di masyarakat;
dan/atau
e. Berasosiasi dengan tradisi yang masih berlangsung 3.
3. Cagar Budaya Kabupaten/Kota
Cagar Budaya dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya peringkat kabupaten/kota apabila
memenuhi syarat:
a. Sebagai Cagar Budaya yang diutamakan untuk dilestarikan dalam wilayah
kabupaten/kota;
b. Mewakili masa gaya yang khas;
c. Tingkat keterancamannya tinggi;
d. Jenisnya sedikit; dan/atau
e. Jumlahnya terbatas4.
Ruang lingkup Cagar Budaya mencangkup darat dan air, selama berada di dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena Cagar Budaya yang dimaksud

merupakan milik NKRI, maka kita sebagai warga tidak boleh memperjual-belikan Cagar
Budaya dengan pihak asing/Negara asing. Pada akhirnya, kita sendiri yang akan rugi jika
menjualnya karena sama saja dengan menjual identitas kita sehingga nanti, kita tidak lagi
memiliki identitas. Karena itu, UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya seharusnya
dan sepantasnya dilaksanakan untuk menjaga identitas atau jati diri bangsa kita.
Masyarakat dan Cagar Budaya
Berbicara soal kepemilikan Cagar Budaya, sudah sangat jelas bahwa masyarakat luas
adalah pemiliknya. Oleh karena masyarakat yang memilikinya, maka sewajarnya untuk
merawat apa yang dimilikinya. Namun, setelah melihat UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang
Cagar Budaya pada Bab IV mengenai Pemilikan dan Penguasaan, memang setiap orang
dapat memiliki Cagar Budaya apabila mempunyai surat-surat keterangan kepemilikan dan
jika surat-surat tersebut tidak ada maka Cagar Budaya tersebut adalah milik Negara.
2

UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pasal 42.
UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pasal 43.
4
UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pasal 44.
3


3

Tulis-Tulis, Baca-Baca…

Negara yang dimaksud (menurut penulis) adalah pemerintah. Setelah ditetapkan menjadi
Cagar Budaya, Negara berhak memiliki, memelihara, dan memanfaatkan Cagar Budaya
tersebut selama Cagar Budaya tersebut sebelumnya tidak memiliki pemilik yang sah. Namun,
bagaimana jika kepemilikan ini diabaikan juga oleh Negara? Masyarakat juga seharusnya
memiliki peranan atas Cagar Budaya tersebut walau tidak ada bukti hitam diatas putih.
Masyarakat memang harus dibatasi untuk tidak merusak, tapi terkadang, publikasi mengenai
pelestarian yang tertulis dalam undang-undang sangat kurang sehingga muncul
ketidakpahaman dalam masyarakat.
Fakta yang ditemukan oleh Tim Ilmiah Piami XV Unhas dilapangan5, masyarakat
cenderung takut mendekati situs-situs Cagar Budaya (selain alasan mistis) karena mereka
pernah mendengar atau mungkin melihat orang yang tertangkap dan dipenjara karena
berkeliaran disekitar situs. Hal ini tidak pernah dikonfirmasi oleh pihak pemerintah, kenapa
orang tersebut bisa ditangkap dan dimasukan ke penjara 6. Selain itu, akibat kurangnya
publikasi, warga juga ogah-ogahan dengan pelestarian Cagar Budaya dan mengatakan
dengan jelas bahwa mereka tidak terlalu peduli karena mereka menganggap semua itu milik
pemerintah dan pemerintah yang wajib mengurusnya 7.


Vandalisme di Fort Rotterdam. (Dok. Chandra)

Entah apa yang salah dengan undang-undang Cagar Budaya ini. Tapi, yang jelas ada
kesalahan. Melihat kenyataan yang ada, banyak situs-situs Cagar Budaya yang dirusak
dengan sengaja dirusak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, namun tidak ada
ganjaran yang mereka dapatkan. Konstitusinya yang lemah ataukah kita sebagai pelaksana
5

Tim Ilmiah Piami XV Unhas beranggotakan 8 orang, yaitu: Edar (2013), Yuni (2013), Wani (2013), Edi (2013), Vivi
(2013), Wandi (2013), Afdal (2011), dan Chandra (2011). Tim ini melakukan survei dan wawancara di Kabupaten Pangkep
dan Maros, didampingi oleh saudara Azwar (2010) dan saudara Aman (2008).
6
Keterangan tersebut didapatkan ketika melakukan wawancara di Kabupaten Pangkep.
7
Keterangan tersebut didapatkan ketika melakukan wawancara di Kabupaten Maros.

4

Tulis-Tulis, Baca-Baca…


konstitusi yang lemah? Gambar di atas merupakan bukti bahwa selama ini, kita terlalu lemah
dalam melakukan tindakan yang sudah jelas ditetapkan dalam peraturan Negara kita, UU
Nomor 11 Tahun 2010 pada Bab XI mengenai Ketentuan Pidana. Tapi, dalam bertindak, kita
juga merasa terbatasi karena adanya pihak-pihak yang lebih berwenang dalam menjatuhkan
sanksi, namun mereka juga seakan menutup mata dengan pengerusakan-pengerusakan
tersebut. Lalu, bagaimana kita seharusnya bertindak?
Penutup
Tulisan ini sengaja dibuatkan pertanyaan yang belum terjawab karena penulis merasa
bahwa pertanyaan tersebut tidak bisa penulis jawab sendiri, melainkan melalui proses diskusi
dan tukar pikiran. Selain itu, penulis juga sadar akan kekurangan penulis dalam memahami
isi dari undang-undang tersebut. Pada akhirnya, semuanya tidak bisa kita lakukan sendirian,
tapi bersama-sama.
Kesimpulan yang penulis dapatkan setelah membaca dan memahami (kurang lebih) UU
Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, penulis merasa undang-undang ini belum
sampai ke telinga masyarakat luas yang notabene adalah pemilik sah dari Cagar Budaya
tersebut. Publikasi yang kurang tersebar membuat masyarakat tidak peduli dan ini sangat
gawat. Undang-undang ini sebenarnya sangat, sangat baik menurut penulis. Namun dalam
pelaksanaannya, sungguh-sungguh mengecewakan. Seharusnya, undang-undang yang
berlaku setelah satu tahun semenjak ditetapkannya, kini terbengkalai selama hampir empat

tahun.
Harapan penulis, dengan adanya undang-undang Cagar Budaya tersebut, masyarakat
janganlah menjadi takut, tetapi semakin peduli karena Cagar Budaya jangan hanya dilihat
dari bentuk fisiknya saja, tetapi dalam publikasi undang-undang, pemerintah juga lebih
menekankan nilai-nilai dari Cagar Budaya dan masyarakat punya rasa memiliki akan Cagar
Budaya tersebut.
Catatan: Mungkin tulisan ini bersambung karena pembahasannya cukup menarik ^_^

5