HUKUM ISLAM UU Wakaf dan Perbankan Sya

UU WAKAF dan UU PERBANKAN SYARIAH

Sebuah Paper untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Islam
Dosen : Hamidah

Disusun oleh:

1.
2.
3.
4.
5.

Atika Fauziati
Alya Tsabita
Arum Dias Permatasari
Lana septiana
Sarah Nurainy Bouty

(105010101111028)
(115010107111160)

(115010101111054)
(115010101111061)
(115010101111056)

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2012

UNDANG-UNDANG WAKAF
Badan ini adalah suatu lembaga hukum islam yang di dalamnya banyak daerah di indonesia telah diterima oleh masyarakat hukum adat (gerecipieerde). Resepsi wakaf dlam
hukum adat tak mengherankan, karena sebagian besar bangsa indonesia beragama islam.
Inilah salah satu dari bagian hukum adat yang berasal dari agama (godsdiensting bestandeel van het adatrecht).
Seringkali terjadi kesalahpahaman mengenai pendirian wakaf ini, yang seolah-olah
hanya diperkenankan untuk tujuan ibadah keagamaan semata mata, seperti orang mewakafkan sebidang tanah untuk pendirian masjid. Memang hal ini sering terjadi dan Rasulullah
pernah mewakafkan sebidang tanahnya menjadi sedekah di jalan Allah.
Mewakafkan adalah suatu perbuatan hukum dimana tanah atau barang dikeluarkan
dari peredaran perniagaan dengan ketentuan, bahwa pemakaian atau hasil dari benda tersebut akan digunakan untuk orang-orang tertentu atau untuk suatu tujuan yang telah ditetapkan.
Tetapi sebenarnya orang dapat mewakafkan atas tanah atau barangnya untuk tiaptiap tujuan yang tidak bertentangan dengan Al-quran dan Hadits. Dalam Hadits Bukhori dapat ditemukan, bahwa Abu Talhah mendirikan suatu wakaf, dimana hasil-hasil dari benda

yang diwakafkan itu digunakan untuk keluarganya yang miskin atas perintah Nabi.
A. Pengertian Wakaf
Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang berarti “al-Habs”.
Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah,
binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur:
9/359). Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak
milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (almanfa‘ah) (al-Jurjani: 328). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda
pada hukum yang ditimbulkan1.
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, pengertian dari Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah.
Kemudian beberapa pengertian lainnya adalah :


Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
1

Ikrar Wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan




dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dike-



lola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
Harta Benda Wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama



dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut
syariah yang diwakafkan oleh Wakif .
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW, adalah pe-



jabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk membuat akta ikrar wakaf.
Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga independen untuk mengembangkan




perwakafan di Indonesia.
B. Tujuan Wakaf
Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya. (pasal
4)
C. Fungsi Wakaf
Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. (pasal 5)
D. Unsur Wakaf
Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut:
a. Wakif;
Syarat Wakif (pasal 8 poin 1) :
i.

dewasa;

ii.

berakal sehat;


iii.

tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan

iv.

pemilik sah harta benda wakaf.

b. Nazhir;
Nazhir meliputi (pasal 9) :
i.

perseorangan;

ii.

organisasi; atau

iii.


badan hukum.

Syarat Nazhir (pasal 10 poin 1) :
i.

warga negara Indonesia;
2

ii.

beragama Islam;

iii.

dewasa;

iv.

amanah;


v.

mampu secara jasmani dan rohani; dan

vi.

tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

Tugas Nazhir (pasal 11) :
i.

rnelakukan pengadministrasian harta benda wakaf;

ii.

mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan

iii.

peruntukannya;


iv.

mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;

v.

melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

c. Harta Benda Wakaf;
Terdiri dari (pasal 16 poin 1):
i.

Benda bergerak

ii.

Benda tidak bergerak

d. Ikrar Wakaf;

e. peruntukan harta benda wakaf;
Wakaf hanya dapat diperuntukan bagi (pasal 22) :
i.

sarana dan kegiatan ibadah;

ii.

sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;

iii.

bantuan kepada fakir miskin anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;

iv.

kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau

v.


kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan
syariah dan

vi.

peraturan perundang-undangan.

f. jangka waktu wakaf.
E. Wakaf dibagi menjadi
a. Wakaf di jalan Allah, wakaf ini dinamai wakaf chairy
b. Wakaf kepada keluarga atau orang-orang tertentu, ini dinamakan wakaf ahly
F. Syarat sahnya suatu wakaf
1.

Orang yang mewakafkan harus orang yang sepenuhnya berhak untuk me-

nguasai benda yang akan diwakafkan. Pemilik benda yang belum akil-balig, yang gila atau
yang kekuasaan bertindaknya dibatasi, tidak dapat mewakafkan dengan sah.

3


2.

Benda yang diwakafkan, baik berupa tanah atau barang harus diuraikan de-

ngan teliti. Lagi pula benda itu dalam pemakaiannya tidak lekas rapuh atau habis.
3.

Orang-orang yang akan menikmati wakaf itu harus di sebut dengan jelas dan

harus berkuasa untuk menikmati benda itu. Dengan demikian wakaf tidak dapat didirikan untuk kepentingan orang-orang yang tidak beragama.
4.

Rumusan yang di pergunakan dalam menyatakan kehendak oleh orang yang

mewakafkan harus jelas tujuannya.
Dalam buku fiqih tidak dapat ditemukan bahwa wakaf adalah suatu badan hukum.
Sebetulnya hal ini sama saja dengan suatu yayasan tidak terdapat dalam undang-undang.
Tetapi secara yuridisch-wetenschappelijk1). Pada wakaf terdapat pula unsur-unsur seperti
halnya suatu yayasan yang berkedudukan sebagai badan hukum yaitu:
a)

Adanya harta kekayaan sendiri.

Dengan perbuatan mewakafkan ini benda di keluarkan dari peredaran dan boleh di
miliki oleh manusia. Hanya kegunaannya saja dinikmati terus-menerus oleh umum
b)

Mempunyai tujuan sendiri,baik tujuan ibadah keagamaan atau bersifat amal

kebaikan.
c)

Mempunyai organisasi.

Penyelenggaraan wakaf ini di urus oleh “mutawalli”2) yang berkuasa melakukan segala tindakan-tindakan hukum untuk dapat mencapai tujuan wakaf itu. Jika pada suatu wakaf itu tidak ada mutawalli, maka karena jabatannya kadhi bertindak sebagai pengawas. Di
indonesia dilakukan oleh penghulu atau pegawai Jawatan Agama.
G. Konsep Wakaf
1. Menurut Al quran
Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara
jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran
yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:
“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk
kamu.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267).
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu
menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92) .
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir.
Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia ke-

4

hendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah (2):
261)
Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta
yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat alBaqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang
menginfakkan hartanya di jalan Allah.
2. Menurut Hadis
Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan
tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan untuk menahan asal tanah
dan menyedekahkan hasilnya.
Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah; “Umar memperoleh tanah di Khaibar,
lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh
tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya
dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya? Sabda Rasulullah: “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya.”
Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan.
Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak,
untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia
boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan
atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.”
Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam Muslim
dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah; “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak soleh yang mendoakannya.”
Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima
wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat
menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan
yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimim sejak masa awal Islam hingga sekarang.
Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu pihak pemerintah telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu
Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang
tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006
tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004.
5

UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH
Undang-undang mengenai Perbankan Syariah telah mengalami berbagai perubahan.
Saat ini undang-undang yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Karena sebelumnya perbankan syariah yang diatur dalam UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) belum spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam suatu undangundang tersendiri.
A.

Pengertian

Hukum Perbankan adalah segala sesuatu yang terkait dengan peraturan perundangundangan yang mengatur kegiatan perbankan. Hukum Perbankan Syariah adalah segala
sesuatu yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan perbankan syariah.
Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio mendefinisikan Bank Islam
sebagai berikut: “Bank Islam adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah Islam, yakni bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah
Islam khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam.”1
Warkum Sumitro mendefinisikan Bank Islam sebagai berikut: “Bank Islam berarti
bank yang tata cara beroperasinya didasarkan pada tata cara bermuamallah secara Islam,
yakni dengan mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Quran dan Al-Hadits.”2
B.

Pengertian Perbankan Syariah

Pengertian bank syariah menurut UU No 21 tahun 2008 pasal 1 poin 7 :
Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah.
a. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran. (pasal 1 poin 8)
b. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya
tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. (pasal 1 poin 9)
1
2

Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio, 1992:1-2
Warkum Sumitro,1996:5-6

6

c. Sedangkan Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah. (pasal 1 poin 12)
C.

Tujuan Perbankan Syariah

Menurut UU 21/2008 pasal 3, Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan
pemerataan kesejahteraan rakyat.
D.

Fungsi Perbankan Syariah

Berdasarkan UU 21/2008 pasal 4 fungsi perbankan syariah sebagai berikut :
-

menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.

-

fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.

-

menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).

E.

Prinsip-prinsip Perbankan Syariah

Operasional Bank Islam didasarkan kepada prinsip jual beli dan bagi hasil sesuai dengan syariah Islam.
a.

Adapun prinsip bagi hasil ( Profit Sharing ) sebagai berikut:

 Al – Wadiah
Yaitu perjanjian antara pemilik barang (termasuk uang) dengan penyimpan (termasuk bank)
di mana pihak penyimpan bersedia untuk menyimpan dan menjaga keselamatan barang dan
atau uang yang dititipkan kepadanya.
Terdapat dua jenis al-Wadiah:
a.

Al-Wadiah Amanah

b.

Al-Wadiah Dhamanah

 Al–Mudharabah
Yaitu perjanjian antara pemilik modal (uang atau barang) dengan pengusaha (enterpreneur).
Dimana pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu proyek/usaha dan pengusaha
setuju untuk mengelola proyek tersebut dengan pembagian hasil sesuai dengan perjanjian.
Pemilik modal tidak dibenarkan ikut dalam pengelolaan usaha, tetapi diperbolehkan membuat usulan dan melakukan pengawasan. Apabila usaha yang dibiayai mengalami kerugia,

7

maka kerugian tersebut sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal, kecuali apabila kerugian tersebut terjadi karena penyelewangan atau penyalahgunaan oleh pengusaha.
Syarat – syarat mudharabah :
2.1.

Modal

2.2.

Keuntungan

 Al-Musyarakah
Yaitu perjanjian kerja sama antara dua belah pihak atau lebih pemilik modal (uang atau barang) untuk membiayai suatu usaha. Keuntungan dari usaha tersebut dibagi sesuai persetujuan antara pihak-pihak tersebut, yang tidak harus sama dengan pangsa modal masingmasing pihak. Dalam hal terjadi kerugian, maka pembagian kerugian dilakukan sesuai pangsa modal masing-masing.
Menurut fiqih ada 2 bentuk musyarakah, yaitu :
1.

terjadinya secara otomatis disebut syarikah Amlak

2.

terjadinya atas dasar kontrak disebut syarikah Uqud

 Al-Murabahah dan Al-Bai’u Bithaman Aji
Al-Murabahah yaitu persetujuan jual-beli suatu barang dengan harga sebesar harga pokok
ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama dengan pembayaran ditangguhkan
1 bulan sampai 1 tahun. Persetujuan tersebut juga meliputi car a pembayaran sekaligus.
Sedangkan al-Bai’u Bithaman Ajil yaitu persetujuan jual-beli suatu barang dengan harga sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama. Persetujuan ini
termasuk pula jangka waktu pembayaran dan jumlah angsuran.
 Al-Ijarah dan Al-Ta’jiri
Al-Ijarah yaitu perjanjian antara pemilik barang dengan penyewa yang membolehkan penyewa memanfaatkan barang tersebut dengan membayar sewa sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak. Setelah masa sewa berakhir, maka barang akan dikembalikkan kepada pemilik.
Sedangkan Al-Tajiri yaitu perjanjian antara pemilik barang dengan penyewa yang membolehkan penyewa untuk memanfaatkan barang tersebut dengan membayar sewa sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak. Setelah berakhir masa sewa, maka pemilik barang
menjual barang tersebut kepada penyewa dengan harga yang disetujui kedua belah pihak.
 Al-Qardahul Hasan
Al-Qardahul Hasan adalah suatu pinjaman lunak yang diberikan atas dasar kewajiban sosial
semata, di mana peminjam tidak kerkewajiban untuk mengembalikan apa pun kecuali pinjaman dan biaya administrasi.
Untuk menghindarkan diri dari riba, biaya administrasi pada pinjaman Al-Qardahul Hasan :
a) Harus dinyatakan dalam nominal bukan presentase
8

b) Sifatnya harus nyata,jelas dan pasti serta terbatas pada hal-hal yang mutlak diperlukan
untuk terjadinya kontrak.
b.

Dan untuk prinsip Jual Beli ( Al – Buyu ) yaitu :

1.

Murabahah

Murabahah adalah akad jual beli antara dua belah pihak,di mana pembeli dan penjual menyepakati harga jual, yang terdiri atas harga beli ditambah ongkos pembelian dan keuntungan bagi penjual.
2.

Salam

Salam, yaitu pembelian barang dengan pembayaran di muka dan barang diserahkan kemudian. Salam adalah transaksi jual beli, dimana barangnya belum ada,sehingga barang yang
menjadi objek transaksi tersebut diserahkan secara tangguh.
3.

Istisna

Istisna adalah pembelian barang melalui pesanan dan diperlukan proses untuk pembuatannya sesuai dengan pesanan pembeli dan pembayaran dilakukan di muka sekaligus atau secara bertahap.
4.

Ijarah (Sewa)

Ijarah adalah kegiatan penyewaan suatu barang dengan imbalan pendapatan sewa. Secara
prinsip, ijarah sama dengan transaksi jual beli, hanya saja yang menjadi objek dalam transaksi ini adalah dalam bentuk manfaat.
5.

Wakalah

Wakalah adalah transaksi, dimana pihak pertama memberikan kuasa kepada pihak kedua
(sebagai wakil) untuk urusan tertentu dimana pihak kedua mendapat imbalan berupa fee
atau komisi.
6.

Kafalah (Garansi Bank)

Kafalah adalah transaksi dimana pihak pertama bersedia menjadi penanggung atas kejadian
yang dilakukan oleh pihak kedua, sepanjang sesuai dengan diperjanjikan dimana pihak pertama menerima imbalan berupa komisi atau fee.
7.

Sharf (Jual beli valuta asing)

Sharf adalah pertukaran/ jual beli mata uang yang berbeda dengan penyerahan segera/spot
berdasarkan kesepakatan harga sesuai dengan harga pasar pada saat pertukaran.
8.

Hawalah

Hawalah adalah transaksi pengalihan utang-piutang
9.

Rahn (Gadai)

Rahn adalah transaksi gadai dimana seseorang yang membutuhkan dan dapat menggadaikan barang yang dimilikinya kepada bank syariah dan atas izin bank syariah, orang tersebut

9

dapat menggunakan barang yang digadaikan tersebut,dengan syarat harus dipelihara dengan baik.
10.

Qardh

Qardh adalah pinjaman uang. Aplikasi Qardh dalam perbankan biasanya dalam empat
hal,yaitu sebagai pinjaman talangan haji.
Menurut Pasal 2 UU 21 Tahun 2008, perbankan syariah dalam melakukan kegiatan
usahanya berdasarkan prinsip syariah, demokrasi ekokomi, dan prinsip kehati-hatian. Dalam
penjelasan Pasal 2 dikemukakan kegiatan usaha yang berasaskan berikut ini:
1.

Prinsip syariah, antara lain kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur:
a. Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah antara lain dalam

transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas,kuantitas, dan waktu
penyerahan ( fadhl), atau dalam transaksi pinjam meminjam yang mempersyaratkan
nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu ( nasi’ah )
b. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan.
c. Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak memiliki, tidak diketahui keberadaanya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan, kecuali diatur lain dalam syariah
d. Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah
e. Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
2.

Demokrasi ekonomi adalah kegiatan ekonomi syariah yang mengandung nilai

keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan.
3.

Prinsip kehati-hatian adalah pedoman pengelolaan bank yang wajib dianut

guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

10

DAFTAR PUSTAKA
Sutedi, Adrian. 2009. Perbankan Syariah, Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. Ghalia Indonesia: Bogor.
Warkum, Sumitro. 1996. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga terkait
(BMUI dan Takaful di Indonesia). PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta.
Dr.Dian Ediana Rae S.H. LL.M. 2008. Arah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan. 6 (1) : 7-8.
Karnaen A. Perwataatmaja, Muhammad Syafi'I Antonio. 1992. Apa dan Bagaimana
Bank Islam. Dana Bhakti Wakaf: Yogyakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.