Makalah Hukum Perkawinan dan Waris Berda

Hukum Perkawinan dan Waris Berdasarkan Buku I dan II Kompilasi Hukum
Islam

Nama : Trian Christiawan
NPM : 110110110244

Dosen :
Dr. Hj. Renny Supriyatni.,SH.,MH
Hazar Kusmayanti, S.H., M.H

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2014

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas.

dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut
sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial
kenegaraan.
Kehadiran Kompilasi Hukum Islam sebagai jaminan pelaksanaan hukum agama Islam
dalam kehidupan bernegara, dilihat dari sudut pandang politik hukum menampakkan dua
hal. Pertama Kompilasi Hukum Islam, yang berlaku khusus bagi umat Islam. Menunjukkan
bahwa dalam rangka pembinaan hukum nasional, unifikasi hukum sebagai pelaksanaan
wawasan nusantara tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya (secara kaku), demi kepentingan
yang harus lebih dijamin yaitu kepentingan untuk memberikan ruang gerak bagi kesadaran
hukum masyarakat terhadap hukum agama
Manusia dalam perjalanan hidupnya mengalami tiga peristiwa yang penting; waktu
dilahirkan, waktu kawin, waktu dia meninggal dunia. Pada saat orang dilahirkan tumbuhlah
tugas baru dalam kehidupan (keluarganya). Demikianlah di dalam artian sosiologis, ia
menjadi pengembangan hak dan kewajiban. Kemudian setelah dewasa, ia akan
melangsungkan perkawinan yang bertemu dengan lawan jenisnnya untuk membangun dan
menunaikan dharma bhaktinya yaitu kelangsungan keturunan. Selanjutnya, manusia pada
akhirnya akan mengalami kematian meninggalkan dunia fana ini. Timbulah persoalan
setelah orang meniggal dunia, apakah yang terjadi dengan segala sesuatunya yang
ditinggalkan


Konsep pernikahan seperti didefinisikan para ulama fiqih, ditengarai memiliki
implikasi besar terhadap bangunan rumah tangga yang dikonstruksi berdasarkan konsep
nikah dimaksud. Hampir semua ulama memahami pernikahan sebagai perikatan kontraktual
semata, yang pada intinya adalah penghalalan perilaku dan hubungan seksual.[1] Konsep
kepemilikan (milk) dalam perikatan pernikahan, baik milk al-raqabah (memiliki sesuatu
secara keseluruhan seperti kepemilikan terhadap benda dengan jalan jual beli), milk almanfa’at (memiliki kemanfaatan suatu benda dengan cara menyewa) maupun milk al-intifa’
(memiliki penggunaan sesuatu tanpa orang lain berhak menggunakannya) mengacu kepada
perilaku seksualitas dimaksud.
Pernikahan tidak harus dimaknai sebagai ‘aqd al-tamlik (perikatan kepemilikan)
tetapi

sebagai

‘aqd

al-ibahah

yakni

kontrak


kebolehan,

dalam

hal

ini,

menggunakan/membolehkan penggunaan alat reproduksi perempuan yang sebelumnya
diharamkan. Konsep pernikahan yang dipahami sebagai ‘aqd al-tamlik (perikatan
kepemilikian),[2] berimplikasi bahwa isteri adalah milik suami seutuhnya. Dalam konteks ini,
isteri tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) untuk mengatur atau mengurus dirinya
sendiri. Hal ini, karena ketaatan mutlak yang diinginkan oleh konsep pernikahan ‘aqd altamlik, tidak memberikan ruang bagi isteri untuk menolak atau sekedar mempertimbangkan
tentang apa yang seharusnya atau yang tidak seharusnya dilakukan olehnya. Implikasi lebih
jauh dari konsep ini adalah rentan terjadinya kekerasan dalam rumah tanga (KDRT), yang
dalam konteks ini dilakukan oleh suami terhadap isterinya. Sedangkan konsep pernikahan
yang dipahami sebagai ‘aqd al-ibahah, memungkinkan isteri memiliki posisi tawar
(bargaining position) untuk melakukan pilihan-pilihan perbuatan tertentu sesuai dengan
keinginannya dengan menjaga kehormatan dan proporsinya sebagai seorang isteri.3 Hal ini

karena, dalam konsep ini, isteri memiliki otoritas dan penguasaan atas dirinya, sehingga ia

1 Abdurrahman al-Jaziri. Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba‟ah. Istambul: Dar al-Da‟wah, vol.IV, 2. Pernikahan
tidak harus dimaknai sebagai ‘aqd al-tamlik (perikatan kepemilikan) tetapi sebagai ‘aqd al-ibahah yakni
kontrak kebolehan, dalam hal ini, 84
2 Hussein Muhammad. Pandangan Islam Tentang Seksualitas, Makalah Seminar Gender dan Islam, Surabaya,
2004.
3 Ibid. 213

leluasa mengekspresikan dirinya dalam mengarungi bahtera pernikahan, termasuk dalam
hal yang spesifik, hubungan seksual.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak didefinisikan secara rinci pengertian
pernikahan. Sebagaimana disebutkan pada pasal 12 Bab II, KHI mengambil definisi
sebagaimana yang ditunjuk al-Qur‟an bahwa pernikahan merupakan akad yang sangat kuat
atau mitsaqan ghalidzan, untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.[4]
Ketika pernikahan dimaknai sebagai ikatan yang demikian kuat dan mendalam
(mitsaqan ghaliidzan), maka ia memiliki makna yang kuat, baik hakiki maupun implikasinya.
Namun permasalahnnya adalah bahwa ketentuan dari pernikahan, masih banyak yang bias
gender sehingga mereduksi keagungan pernikahan itu sendiri. Dalam konteks ini misalnya

dapat dilihat konsep peminangan yang harus dilakukan pihak laki-laki (pasal 11-12), wali
yang disyaratkan laki-laki (pasal 20), saksi yang juga laki-laki (pasal 25), perjanjian
perkawinan (pasal 45), dan beristeri lebih dari satu orang (pasal 55).[5] Berdasarkan pada
butir-butir pasal di atas, terdapat reduksi-reduksi makna hakiki perkawinan. Hal ini
selanjutnya berimplikasi terhadap bangunan rumah tangga, yang dalam banyak kasus juga
dapat menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga karena adanya dominasi satu pihak
atas pihak lain.
Selain perkawinan diatur pula sistem waris dalam KHI. Hukum waris merupakan
salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil
dari hukum kekeluargaan. Hukum waris erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan
manusia, sebab setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan
kematian mengakibatkan masalah bagaimana penyelesaian hak-hak dan kewajiban .
Sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukup Perdata (KUHPerdata) buku
kedua tentang kebendaan dan juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku kedua
tentang kewarisan.
4 QS. Al-Nisa‟:21. Pengertian ini pula yang diadopsi oleh pasal 12 bab II Kompilasi Hukum Islam (KHI)
5 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditetapkan berdasarkan Instruksi Presiden RI Nomor 1 tahun 1991, yang
ditindaklanjuti dengan Keputusan menteri Agama RI Nomor 154 tahun 1991.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hukum perkawinan berdasarkan kompilasi hukum islam yang berlaku
di Indonesia ?
2. Bagaimana hukum kewarisan berdasarkan kompilasi hukum islam yang berlaku di
Indonesia ?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam adalah seperangkat ketentuan hukum Islam yang senantiasa
menjadi rujukan dasar bagi terciptanya masyarakat berkeadilan, yang menjunjung nilai-nilai
kemanusiaan, menghargai hak-hak kaum perempuan, meratanya nuansa kerahmatan dan
kebijaksanaan, serta terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Semua
ketentuan tersebut hendak digali dan dirumuskan dari sumber-sumber Islam yang otoritatif,
al-Qur’ân dan al-Sunnah, melalui pengkajian terhadap kebutuhan, pengalaman, dan

ketentuan-ketentuan yang hidup dalam masyarakat Indonesia, khazanah intelektual klasik
Islam, dan pengalaman peradaban masyarakat Muslim dan Barat di belahan dunia yang
lain.
Kompilasi Hukum Islam terbentuk dengan cara menghimpun dan menseleksi berbagai

pendapat fiqh mengenai persoalan kewarisan, perkawinan dan perwakafan dari kitab-kitab
fiqh yang berjumlah 38 kitab6
Pada akhir dekade 1980-an terdapat dua peristiwa penting berkenaan dengan
perkembangan hukum dan peradilan Islam di Indonesia. Pertama, pada tanggal 25 Pebruari
1988, ulama Indonesia telah menerima tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam.
Rancangan kompilasi itu, pada tanggal 10 Juni 1991, mendapat legalisasi pemerintah dalam
bentuk Instruksi Presiden kepada Menteri Agama untuk digunakan oleh instansi pemerintah
dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Instruksi itu dilaksanakan dengan Keputusan
Menteri Agama Nomor 154 tanggal 22 Juli 1991.Kedua, pada tanggal 29 Desember 1989
disahkan dan diundangkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Kedua peristiwa itu merupakan suatu rangkaian yang saling berhubungan dan saling
melengkapi. Kompilasi Hukum Islam disusun dan dirumuskan untuk mengisi kekosongan
hukum substansial, yang diberlakukan pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, antara lain diatur tentang
kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Dengan demikian, secara
yuridis hukum Islam di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan menjadi hukum positif
tertulis dalam sistem hukum nasional (tata hukum Indonesia).
. KHI yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, dilaksanakan
dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991. penyusunan KHI mengenai
perkawinan didasarkan pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang

Nomor 32 Tahun 1954 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975. Sedangkan yang berhubungan dengan bidang kewarisan tidak
6 Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzab Negara, Yogyakarta: LKIS, 2001, Hal 155

ditemukan peraturan perundang-undangan yang dijadikan rujukan. Namun demikian, dapat
ditemukan dalam yurisprudensi yang memuat bagian-bagian tertentu dari hukum kewarisan.
Hal itu menunjukkan bahwa KHI merupakan hukum positif Islam untuk melaksanakan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ia memiliki konsistensi dengan peraturan
perundang-undangan yang kedudukannya lebih tinggi. Tahapan pengumpulan bahan baku
dalam penyusunan KHI dilakukan melalui beberapa jalur sebagai berikut :
Penelaahan 38 kitab fikih dari berbagai mazhab, mencakup 160 masalah hukum keluarga.



Penelaahan kitab fikih itu dilakukan para pakar di tujuh IAIN.
Wawancara dengan 181 ulama yang tersebar di sepuluh daerah hukum Pengadialn
Tinggi agama waktu itu (Aceh, Medan, Padang, Palembang, Bandung, Surakarta,




Surabaya, Banjarmasin, Ujung Pandang, dan Mataram).
Penelaahan produk pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang terhimpun
dalam 16 buah buku. Ia terdiri atas empat jenis, yakni himpunan putusan PTA,
himpunan fatwa pengadilan, himpunan yurisprudensi Pengadian Agama, dan law



report tahun 1977 sampai tahun 1984.
Kajian perbandingan hukum keluarga yang berlaku di Maroko, Mesir, dan Turki.
Dalam perumusan Kompilasi Hukum Islam, secara substansial, dilakukan dengan

mengacu kepada sumber hukum Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul; dan secara
hirarkial mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di samping itu,
para perumus KHI memperhatikan perkembangan yang berlaku secara global serta
memperhatikan tatanan hukum Barat tertulis (terutama hukum Eropa Kontinental) dan
tatanan hukum Adat, yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam. Berkenaan
dengan hal itu, dalam beberapa hal, maka terjadi adaptasi dan modifikasi tatanan hukum
lainnya itu ke dalam KHI. Dengan demikian, KHI merupakan suatu perwujudan hukum Islam
yang khas di Indonesia. Atau dengan perkataan lain, KHI merupakan wujud hukum Islam
yang bercorak keindonesiaan.


BAB III
OBJEK PENELITIAN

A. Pasal-Pasal Perkawinan yang Termuat dalam Kompilasi Hukum
Islam
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 14 menyatakan bahwa untuk melaksanakan
perkawinan harus ada : (1) Calon suami, (2) Calon istri, (3) Wali nikah, (4) Dua saksi, (5) Ijab
dan Qobul.7
1. Shighat (Ijab-Qabul)

7 UU RI nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawianan dan Kompilasi Hukum Islam (Bandung : Citra Umbara),
232

Pengertian akad nikah menurut KHI dalam pasal 1 bagian c akad nikah ialah:
rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan Kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau
wakilnya disaksikan oleh 2 orang saksi.
Syarat bentuk kalimat ijab dan Qabul: para fuqaha’ telah mensyaratkan harus dalam
bentuk madzi (lampau) bagi kedua belah pihak. Atau salah satunya dengan bentuk madhi,
sedangkan lainnya berbentuk mustaqbal (yang datang). Contoh untuk bentuk pertama

adalah si wali mengatakan, Uzawwajtuka ibnatii (aku nikahkan kamu dengan putriku),
sebagai bentuk madhi. Lalu si mempelai laki-laki menjawab, Qabiltu (aku terima), sebagi
bentuk madhi juga. Sedangkan contoh bagi bentuk kedua adalah si wali mengatakan:
Uzawwijuka ibnatii (aku akan menikahkanmu dengan putriku), sebagai bentuk mustakbal.
Lalu si mempeli laki-laki menjawab: Qabiltu (aku terima nikahnya), sebagai bentuk madhi.8
Mereka mensyaratkan hal itu, karena adanya persetujuan dari kedua belah pihak
merupakan rukun yang sebenarnya bagi akad nikah. Sedangkan Ijab dan Qabul hanya
merupakan manifestasi dari persetujuan tersebut. Dengan kata lain kedua belah pihak harus
memperlihatkan secara jelas adanya persetujuan dan kesepakatan tersebut pada waktu
akad nikah berlangsung. Adapun bentuk kalimat yang dipakai menurut syari’at bagi sebuah
akad nikah adalah bentuk madhi. Yang demikian itu, juga karena adanya persetujuan dari
kedua belah pihak yang bersifat pasti dan tidak mengandung persetujuan lain.
Menurut Kompilasi Hukum Islam :
pasal 27 :
1.

Ijab dan Qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak

berselang waktu.
pasal 28 :

8 Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqh Wanita, terj. Abdul Ghoffar (Jakarta, Pustaka al- Kautsar), 404

1)

Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan.

Wali nikah dapat mewakilkan pada orang lain.
Pasal 29 :
(1) Yang berhak mengucapkan Qabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.
(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan Qabul nikah dapat dilakukan pada pria lain dengan
ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa
penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.9
2. Sifat-sifat/ syarat calon kedua mempelai yang baik
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 15 ayat 1 menyatakan bahwa: untuk kemasahatan
keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah
mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 UU No 1 tahun 1974 yakni calon suami
berumur 19 tahun dan calon istri sekurangnya berumur 16 tahun.
Dalam pasal 16 ayat 1: perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
3. Wali
Wali adalah rukun dari beberapa rukun pernikahan yang lima, dan tidak syah nikah
tanpa wali laki-laki. Dalam KHI pasal 19 menyatakan wali nikah dalam perkawinan
merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya.
Wali dapat di pindah oleh hakim bila:
1. Jika terjadi pertentangan antar wali.

9 Ibid, 236.

2. Jika tidak adanya wali, ketidak adanya di sini yang dimaksud adalah benarbenar tidak ada satu kerabat pun, atau karena jauhnya tempat sang wali
sedangkan wanita sudah mendapatkan suami yang kufu’.
Pasal 20 ayat 1 menyatakan yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yakni, muslim, aqil, baligh. Wali nikah terdiri dari: wali nasab
dan wali hakim. Pada pasal 21 dibahas empat kelompok wali nasab yang pembahasanya
sama dengan fikih Islam seperti pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki saudara kandung, seayah dan keturunan laki-laki
mereka. Ketiga, kelompok kerbat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara
seayah dan keturunan laki-laki mereka. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara
laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka. Menyangkut dengan wali hakim
dinyatakan pada pasal 23 yang berbunyi:
1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada
atau tidak mungkin menghadiri atau tidak diketahui tempat tinggal atau ghaibnya
atau ‘adhalnya atau enggan.
2. Dalam hal wali ‘adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai
wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut
4. Saksi
KHI menyatakan Dalam pasal 24 ayat 1 saksi dalam perkawinan merupakan rukun
pelaksanaan akad nikah. Dalam KHI pasal 26 saksi harus hadir dan menyaksikan secara
langsung akad nikah serta menandatangani akta pada waktu dan ditempat akad nikah
dilangsungkan. Dalam KHI pasal 24 ayat 2: setiap perkawinan harus disaksikan 2 orang
saksi. KHI menyatakan Dalam pasal 24 ayat 1: saksi dalam perkawinan merupakan rukun
pelaksanaan akad nikah.

B. Pasal-Pasal Pewarisan yang Termuat dalam Kompilasi Hukum
Islam

KHI yang merupakan kumpulan materi/bahan hukum Islam yang tersebardi perbagai
kitab fikih klasik, di samping bahan-bahan lain yang berhubungan,kemudian diolah melalui
proses dan metode tertentu, lalu dirumuskan dalambentuk yang serupa perundangundangan (yaitu dalam pasal-pasal tertentu) lahirberdasarkan atas landasan Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tertanggal 10Juni 1991. Khusus mengenai buku II tentang
hukum kewarisan, KHI memuat enam, bab43 pasal, terhitung mulai pasal 171 sampai
dengan pasal 214 dengan perincian sebagai berikut:

· Bab I memuat 1 pasal tentang “Ketentuan Umum”.
Pasal 171
a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentangpemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah)pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahliwaris dan
berapa bagiannya masing-masing.
b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnyaatau yang dinyatakan meninggal
berdasarkan putusanPengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan
harta peninggalan.
c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal duniamempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinandengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena
hukum untuk menjadi ahli waris.
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan olehpewaris baik yang berupa harta
benda yang menjadimiliknya maupun hak-haknya.

e. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dariharta bersama setelah
digunakan untuk keperluanpewaris selama sakit sampai meninggalnya, biayapengurusan
jenazah (tahjiz), pembayaran utang danpemberian untuk kerabat.

· Bab II memuat 4 pasal tentang “Ahli Waris”
Pasal 172
Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dankartu identitas atau pengakuan
atau amalan atau kesaksian,sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum
dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.
Pasal 173
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusanHakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, dihukum
karena:
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencobamembunuh atau menganiaya berat pada
pewaris.
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukanpengaduan bahwa pewaris telah
melakukan suatu kejahatanyang diancam dengan hukum 5 tahun penjara atau hukuman
yang lebih berat.
Pasal 174
Ayat (1), kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah:
1) Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki- laki, paman dan kakek
2) Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
Ayat (2), apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak,
ayah, ibu, janda atau duda.
Pasal 175
Ayat (1), kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:
a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.

b. Menyelesaikan baik utang-utang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban
pewaris maupun menagih piutang.
c. Menyelesaikan wasiat pewaris.
d. Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
Ayat (2), tanggung jawab ahli waris terhadap utang ataukewajiban pewaris hanya terbatas
pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.

· Bab III memuat 16 pasal tentang ”Besarnya Bagian”
Pasal 176
Anak perempuan bila hanya seorang, ia mendapat separoh bagian,bila dua orang atau
lebih, mereka bersama-sama mendapat duapertiga bagian, dan apabila anak perempuan
bersama-sama dengananak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding
satu dengan anak perempuan.

Pasal 177
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkananak. Bila ada anak, ayah
mendapat seperenam bagian.
Pasal 178
Ayat (1), ibu mendapat seperempat bagian bila ada anak atau duasaudara atau lebih. Bila
tidak ada anak atau dua orang saudara ataulebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.
Ayat (2), ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambiloleh janda atau duda bila
bersama-sama dengan ayah.
Pasal 179
Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkananak.Dan bila pewaris
meninggalkan anak, maka dudamendapat seperempat bagian.
Pasal 180

Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidakmeninggalkan anak.Dan bila pewaris
meninggalkan anak, makajanda mendapat seperdepalapan bagian.
Pasal 181
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, makasaudara laki-laki dan
saudara perempuan seibu masing-masingmendapat seperenam bagian.Bila mereka itu dua
orang ataulebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.
Pasal 182
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak,sedang ia mempunyai satu
saudara perempuan kandung atauseayah, maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara
perempuantersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandungatau seayah dua
orang atau lebih, maka mereka bersama-samamendapat dua pertiga bagian.Bila saudara
perempuantersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atauseayah, maka
bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satudengan saudara perempuan.
Pasal 183
Pada ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalampembagian harta warisan,
setelah masing-masing menyadari bagiannya.
Pasal 184
Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampumelaksanakan hak dan kewajibannya,
maka baginya diangkatwali berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga.
Pasal 185
Ayat (1), ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripadasi pewaris maka kedudukannya
dapat digantikan oleh anaknya,kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173
Ayat (2), bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihidari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti.
Pasal 186
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungansaling mewaris dengan
ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.
Pasal 187

Ayat (1), bilamana pewaris meninggalkan harta peninggalan,maka oleh pewaris semasa
hidupnya atau oleh para ahli waris dapatditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana
pembagian harta warisandengan tugas:
a. Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baikberupa benda bergerak maupun
tidak bergerak yang kemudiandisahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu
dinilai harganya dengan uang.
b. Menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentinganpewaris sesuai dengan pasal 175 ayat
(1) sub a, b, dan c.
Ayat (2), sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalahmerupakan harta warisan yang
harus dibagikan kepada ahli warisyang berhak.
Pasal 188
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapatmengajukan
permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukanpembagian harta warisan. Bila ada
di antara ahli warisyang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutandapat
mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untukdilakukan pembagian harta warisan.

Pasal 189
Ayat (1), bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahanpertanian yang luasnya kurang
dari 2 hektar, supaya dipertahankankesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan
untukkepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan.
Ayat (2), bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidakdimungkinkan karena di antara
para ahli waris yang bersangkutanada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat
dimilikioleh seorang atau lebih ahli waris dengan cara membayar harganyakepada ahli waris
yang berhak sesuai dengan bagiannya masingmasing.
Pasal 190
Bagi pewaris yang beristri lebih dari seorang, maka masingmasingistri berhak mendapat
bagian atas gono gini dari rumahtangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian
pewarisadalah menjadi hak para ahli warisnya.

Pasal 191
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahliwarisnya tidak diketahui
ada atau tidaknya, maka harta tersebut atasutusan Pengadilan Agama diserahkan
penguasaannya kepada BaitulMal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan
umum.

· Bab IV memuat 2 pasal tentang ” ‘Aul dan Radd”
Pasal 192
Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli warisnyaDzawil furud
menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dariangka penyebut, maka angka
penyebut dinaikkan sesuai dengan angkapembilang, dan baru sesudah itu harta warisnya
dibagi secara aul menutuangka pembilang.
Pasal 193
Apabila dalam pembarian harta warisan di antara para ahli waris Dzawilfurud menunjukkan
bahwa angka pembilang lebih kecil dari angkapenyebut, sedangkan tidak ada ahli waris
asabah, maka pembagian hartawarisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan
hak masingmasingahli waris sedang sisanya dibagi berimbang di antara mereka.

· Bab V memuat 16 pasal tentang Wasiat;
Pasal 194
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehatdan tanpa
adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanyakepada orang lain atau
lembaga.
(2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
(3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal inibaru dapat
dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Pasal 195

(1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulisdihadapan dua
orang saksi, atau dihadapan Notaris.
(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari hartawarisan kecuali
apabila semua ahli waris menyetujui.
(3) Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
(4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secaralisan di hadapan
dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksidi hadapan Notaris.
Pasal 196
Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengantegas dan jelas
siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerimaharta benda yang diwasiatkan.
Pasal 197
(1) Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkanputusan Hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukumkarena:
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh ataumenganiaya berat kepada
pewasiat;
b. dipersalahkan secara memfitrnah telah mengajukan pengaduan bahwapewasiat telah
melakukan sesuatu kejahatan yang diancam hukuman limatahun penjara atau hukuman
yang lebih berat;
c. dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiatuntuk membuat atau
mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingancalon penerima wasiat;
d. dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukansurat wasiat dan
pewasiat.
(2) Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima
wasiat itu:
a. tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai meninggal duniasebelum meninggalnya
pewasiat;
b. mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untukmenerimanya;

c. mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakanmenerima atau menolak
sampai ia meninggal sebelum meninggalnyapewasiat.
(3) Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah.
Pasal 198
Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan suatubenda haris
diberikan jangka waktu tertentu.
Pasal 199
(1)

Pewasiat

dapat

mencabut

wasiatnya

selama

calon

penerima

wasiatbelum

menyatakanpersetujuan atau sesudah menyatakan persetujuantetapi kemudian menarik
kembali.
(2) Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikanoleh dua orang saksi
atautertulis dengan disaksikan oleh dua prang saksiatau berdasarkan akte Notaris bila
wasiatterdahulu dibuat secara lisan.
(3) Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengancara tertulis dengan
disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkanakte Notaris.
(4) Bila wasiat dibuat berdasarkan akte Notaris, maka hanya dapatdicabut berdasarkan akte
Notaris.
Pasal 200
Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila karena suatu sebabyang sah mengalami
penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelumpewasiat meninggal dunia, maka penerima
wasiat hanya akan menerimaharta yang tersisa.
Pasal 201
Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahliwaris ada yang tidak
menyetujui, maka wasiat hanya dilaksanakansampai sepertiga harta warisnya.
Pasal 202
Apabila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan kebaikan sedangkanharta wasiat tidak
mencukupi, maka ahli waris dapat menentukankegiatan mana yang didahulukan
pelaksanaannya.

Pasal 203
(1) Apabila surat wasiat dalam keadaan tertutup, maka penyimpanannyadi tempat Notaris
yang membuatnya atau di tempat lain, termasuk suratsuratyang ada hubungannya.
(2) Bilamana suatu surat wasiat dicabut sesuai dengan Pasal 199 makasurat wasiat yang
telah dicabut itu diserahkan kembali kepada pewasiat.
Pasal 204
(1) Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang tertutup dandisimpan pada
Notaris, dibuka olehnya di hadapan ahli waris, disaksikandua orang saksi dan dengan
membuat berita acara pembukaan suratwasiat itu.
(2) Jika surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada Notaris makapenyimpan harus
menyerahkan kepada Notaris setempat atau KantorUrusan Agama setempat dan
selanjutnya Notaris atau Kantor UrusanAgama tersebut membuka sebagaimana ditentukan
dalam ayat (1) pasalini.
(3) Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka olehNotaris atau Kantor
Urusan Agama diserahkan kepada penerima wasiatguna penyelesaian selanjutnya.
Pasal 205
Dalam waktu perang, para anggota tentara dan mereka yang termasukdalam golongan
tentara dan berada dalam daerah pertempuran atau yangberada di suatu tempat yang ada
dalam kepungan musuh, dibolehkanmembuat surat wasiat di hadapan seorang komandan
atasannya dengandihadiri oleh dua orang saksi.
Pasal 206
Mereka yang berada dalam perjalanan melalui laut dibolehkan membuatsurat wasiat di
hadapan nakhoda atau mualim kapal, dan jika pejabattersebut tidak ada, maka dibuat di
hadapan seorang yang menggantinyadengan dihadiri oleh dua orang saksi.
Pasal 207
Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayananperawatan bagi
seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunankerohanian sewaktu ia menderita sakit
sehingga meninggalnya, kecualiditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa.

Pasal 208
Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akte tersebut.
Pasal 209
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampaidengan Pasal 193
tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkatyang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiatwajibah sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

· Bab VI memuat 5 pasal tentang “Hibah”.
Pasal 210
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakalsehat tanpa adanya
paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain
atau lembaga di hadapan dua orangsaksi untuk dimiliki.
(2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.
Pasal 211
Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagaiwarisan.
Pasal 212
Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepadaanaknya.
Pasal 213
Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakityang dekat dengan
kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahliwarisnya.
Pasal 214
Warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat membuatsurat hibah di
hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesiasetempat sepanjang isinya tidak
bertentangan dengan ketentuan pasal-pasalini.Empat bab dengan 23 pasal di antaranya
terkait langsung dengan masalahkewarisan Islam.

BAB IV
PEMBAHASAN

A. Kasus Perkawinan dalam KHI
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 14 menyatakan bahwa untuk melaksanakan
perkawinan harus ada : (1) Calon suami, (2) Calon istri, (3) Wali nikah, (4) Dua saksi, (5) Ijab
dan Qobul.10
Salah satu kasus nya adalah mengenai Wali Nikah Yang Tidak Mau Menikahkan
Anaknya Marinem seorang perempuan yang masih berstatus lajang mempunyai hubungan
10 UU RI nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawianan dan Kompilasi Hukum Islam (Bandung : Citra Umbara),
232

khusus dengan seorang laki-laki bernama satrio. Mereka berdua saling mencintai, namun
hubungan mereka tidak disetujui oleh kedua orang tua marinem, terutama ayahnya sebagai
wali marinem.
Namun, marinem tetap bersikukuh untuk menikah dengan satrio. Sampai-sampai Ia
mengancam pada orang tuanya bahwa ia akan bunuh diri apabila orang tuanya tetap
melarang ia untuk menikah dengan satrio.
Mendengar hal itu, orang tua marinem begitu terkejut, namun ternyata keterkejutannya
itu tidak mengubah keyakinan mereka, mereka tetap tidak akan menikahkan marinem
dengan satrio.
Kemudian, bagaimanakah solusi yang tepat untuk menyelesaikan perkara diatas?
Agar tidak terjadi kejadian yang tidak diinginkan, ayah marinem sebagai wali nikahnya
marinem boleh tidak menikahkan marinem dengan satrio dan menyerahkan anaknya itu
pada wali hakim meskipun wali nasab masih ada/hidup, dengan syarat ada pernyataan
tertulis dari wali nasab bahwa ia menyerahkan pernikahan anaknya itu pada wali hakim.
Maka dengan itu marinem bisa melangsungkan pernikahan dengan satrio dengan wali
hakim.
B. Kasus Pewarisan dalam KHI
Kompilasi Hukum Islam ini berisi tiga buku, dan masing-masing buku dibagi kedalam
beberapa bab dan pasal, khusus bidang kewarisan diletakkan dalam buku II dengan judul
Hukum Kewarisan, buku ini terdiri dari 6 bab dengan 44 pasal, untuk lebih jelasnya diuraikan
berikut ini:11
Bab I

: Ketentuan Umum, memuat penjelasan singkat tentang kata-kata penting

yang dimuat dalam Buku II (Pasal 171).
Bab II
: Ahli Waris (Pasal 172 sampai dengan Pasal 175).
Bab III
: Besarnya Bagian (Pasal 176 sampai dengan Pasal 191)
Bab IV
: Auld an Rad (Pasal 192 sampai dengan Pasal 193)
Bab V
: Wasiat (Pasal 194 sampai dengan Pasal 209)
11
Suhrawati K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), Sinar Grafika,
Jakarta, 2008. Hlm 19

Bab VI
: Hibah (Pasal 210 sampai dengan Pasal 214)
Seperti dapat kita lihat dalam contoh berikut ini, kasus Bapak Siswanto menikah dengan
Ibu Teni dan dikaruniai seorang anak laki-laki yaitu Tomi, dan 2 (dua) anak perempuan, yaitu
Tati dan Tita. Tomi menikah dengan Mita dan dikaruniai seorang anak perempuan, yaitu Fitri.
Pada peristiwa gempa bumi yang terjadi di Sumatera Barat tahun 2009, Tomi beserta Mita
dan Fitri yang merupakan orang asli Sumatera Barat dan berdomisili di Padang menjadi
korban dalam peristiwa tersebut. Tomi tertimpa puing-puing bangunan rumahnya sehingga
perlu dirawat di rumah sakit, namun akhirnya jiwanya tidak tertolong. Ibu Teni merasa sangat
terpukul dan kehilangan anaknya tersebut yang kemudian menyebabkan beliau sakit-sakitan
dan kemudian meninggal dunia dua bulan kemudian. Mita saat ini dalam keadaan
mengandung 6 (enam) bulan. Untuk kepentingan anaknya (Fitri) dan anak yang sedang
dikandungnya, Mita meminta bagian warisan atas kematian Tomi dan Ibu Teni tersebut
karena dalam kedua kematian tersebut belum dilaksanakan pembagian waris. Bagaimana
pembagian waris untuk kasus tersebut? Di dalam kasus ini terdapat dua peristiwa
kematian, yaitu kematian Tomi dan kematian Ibu Teni. Oleh sebab itu
penyelesaiannya

harus

dilakukan

kasus

per

kasus,

sesuai

dengan

maka
urutan

kematiannya.
Kasus I : Kasus Kematian Tomi
Tomi meninggal tanggal 13 Oktober 2009 (lima tahun yang lalu). Saat ini Mita sedang
mengandung 6 bulan. Berkaitan dengan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
anak yang dikandung Mita adalah bukan anak dari Tomi. Sehingga para ahli-waris dari
Tomi yang masih hidup antara lain :
1. Bapak
: Pak Siswanto;
2. Ibu
: Ibu Teni (pada tahun 2009 Ibu Teni belum
meninggal dunia);
3. Saudara sekandung : Tati dan Tita;
4. Janda
: Mita;
5. Anak perempuan
: Fitri.
Dalam hal ini, hak waris saudara sekandung belum terbuka karena masih ada bapak. Maka
pembagian hak waris menjadi :

1.

Bapak

: memperoleh 1/6 bagian, dan memperoleh 1/6 bagian lagi

2.
3.
4.

dari status bapak sebagai Ashabah;
Ibu
: memperoleh 1/6 bagian;
Janda
: memperoleh 1/8 bagian (karena memiliki anak);
Anak perempuan : memperoleh ½ bagian.

Kasus II : Kasus Kematian Ibu Teni
Pada saat kematian Ibu Teni, anak laki-lakinya (Tomi) sudah meninggal dunia, sehingga
para ahli-waris yang masih hidup terdiri dari :
1. Duda
: Pak Siswanto;
2. Anak perempuan : Tati dan Tita;
3. Cucu perempuan : Fitri.
Mita bukan merupakan ahli waris karena dia hanya keluarga semenda (menantu),
sehingga tidak memiliki hak mewaris. Cucu perempuan dari anak laki-laki (Fitri) belum
terbuka hak warisnya karena ada dua anak perempuan tetapi dapat menerima harta
peninggalan dengan jalan wasiat wajibah. Maka pembagian hak waris menjadi :
1. Duda
: memperoleh ¼ bagian;
2. Anak perempuan : memperoleh 2/3 bagian (karena ada 2 anak, maka hartanya
dibagi 2);
 Tati
: ½ x 2/3 = 1/3
 Tita
: ½ x 2/3 = 1/3
3. Cucu perempuan : memperoleh harta peninggalan dengan jalan wasiat wajibah
sebesar ½ bagian.
Penetapan nilai wasiat wajibah sebesar 1/3 untuk cucu dari anak laki-laki (Fitri)
dihitung berdasarkan kemungkinan bagian yang akan diterima anak laki-laki (Tomi)
apabila ia masih hidup. Dalam hal semua anak masih hidup maka akan terdapat
Ashabah sebesar ¾ yang akan diterimakan kepada Tomi sebesar 2/4-nya, yaitu
sebesar 2/4 x ¾ = 3/8. Nilai 3/8 lebih dari batas maksimum wasiat, yaitu 1/3, maka nilai
wasiat wajbah ditetapkan sebesar 1/3.12

BAB V
PENUTUP
12

Otje Salman. S dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 109-111.

A. Kesimpulan
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 14 menyatakan bahwa untuk melaksanakan
perkawinan harus ada : (1) Calon suami, (2) Calon istri, (3) Wali nikah, (4) Dua saksi, (5) Ijab
dan Qobul.
Khusus bidang kewarisan diletakkan dalam buku II dengan judul Hukum Kewarisan,
buku ini terdiri dari 6 bab dengan 44 pasal, untuk lebih jelasnya diuraikan berikut ini yaitu
Bab I mengenai Ketentuan Umum, memuat penjelasan singkat tentang kata-kata penting
yang dimuat dalam Buku II (Pasal 171). Lalu Bab II mengenai Ahli Waris (Pasal 172 sampai
dengan Pasal 175). Bab III mengenai Besarnya Bagian (Pasal 176 sampai dengan Pasal
191). Bab IV mengenai Auld an Rad (Pasal 192 sampai dengan Pasal 193). Bab V
mengenai Wasiat (Pasal 194 sampai dengan Pasal 209) dan terakhir Bab VI mengenai
Hibah (Pasal 210 sampai dengan Pasal 214)
B. Saran
Sudah saatnya kini KHI ditinjau ulang dan lebih dikritisi originalitasnya dengan sumber
aslinya, yaitu syariat Islam yang baku. Apalagi saat ini sudah banyak para ulama muda yang
ilmunya sudah mumpuni.. Sudah menjadi kewajiban para ulama yang memang mumpuni
dalam syariah untuk memberitahukan umat mana informasi yang benar. Di tataran politik,
sudah ada banyak partai yang mengusung dan membela syariat Islam. Tentu peran partai
itu sangat besar dalam upanya mengegolkan revisi terhadap KHI ini. Apalagi hari ini juga
bermunuclan para aktifis dakwah yang punya jiwa militansi kuat dalam memperjuangkan
syariah. Mereka punya peran besar juga untuk mensosialisasikan pembenahan isi
kandungan KHI.

DAFTAR PUSTAKA
Buku

Hussein, Muhammad. Pandangan Islam Tentang Seksualitas, Makalah Seminar Gender dan
Islam, Surabaya, 2004.
Bustanul, Arifin, “Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia”, Al-Mizan, Nomor 3 Tahun I, 1983.
Daud Ali, Muhammad. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta,
Yayasan Risalah, 1984.
Afandi .Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian Menurut KUHPerdata,
Jakarta: Bina Aksara, 1981
Tutik, Titik Triwulan.Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana,2000.
Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta: Sinar Grafika,1993.
Afandi,Ali. HUKUM WARIS HUKUM KELUARGA HUKU PEMBUKTIAN,Jakarta:PT
RINEKACIPTA,1997.
Subekti.Hukum Keluarga dan Hukum Waris,Jakarta:PT Intermasa,1990.
Sumber Perundang Undangan
Intruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam