MAKALAH Agama dan Budaya dalam Perspekti

MAKALAH
“Agama dan Budaya dalam Perspektif Emile Durkheim”
Untuk Memenuhi Mata Kuliah ANTROPOLOGI AGAMA

Dosen pengampu:

Dr. kunawi, M.Ag
Di susun oleh:

Aulia Agustin

(E02216005)

Habib Imam Maulana (E02216008)
Hamdan Mua’fi

(E02216009)

Hidayatus Shofiati

(E02216010)


STUDI AGAMA AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM SUNAN AMPEL SURABAYA
2017

A. Pendahuluan
Melihat kondisi masyarakat masa kini terutama mengenai agama yang sudah
sangat heterogen dengan berbagai agama yang dianut di muka bumi ini, juga
berbagai sekularisasi agama karena berkembangnya ilmu pengetahuan atau sains.
Jika dipikirkan lebih lanjut, kita perlu memahami pengertian dari agama itu sendiri
dan bagaimana agama itu bisa tercipta hingga berkembang saat ini. Dan apa tujuan
manusia di dunia ini memiliki agama. Sebenarnya teori tentang agama telah
berkembang sejak zaman dahulu ketika ide tentang adanya Tuhan atau roh-roh.
Gagasan Emile Dukheim salah satu tentang masyarakat adalah gambaran sumber
dari keagamaan, bukan ciri khas kehidupan keagamaan, tetapi masyarakatlah
sumber gambaran keagamaan, kultus, dan penuhanan.
Dalam analisis ilmu sosial, agama dalam kehidupan masyarakat semakin
menarik untuk dikaji yang pada umumnya dilakukan dengan pendekatan empirik.
Para ilmuwan sosial sepakat agar semua pernyataan yang diklaim sebagai

kebenaran ilmiah harus tunduk pada pengujian yang cermat dan didukung oleh
fakta yang diperolah melalui pengamatan terhadap alam fisikal.
Lewat kajian fenomena agama sebagai praktik sosial, tentu berbeda dengan
kajian teologi yang dikaji untuk kepentingan keberagamaannya yang berfungsi
menguatkan keyakinannya, yang semua itu diawali dengan kajian kepercayaan
kepada Tuhan (post factum) dan berusaha melaksanakan berbagai implikasi dari
keyakinan terhadap kehidupan manusia. Sedangkan dari perspektif sosiologi kita
akan disuguhkan oleh sebuah potret agama yang dalam pelaksanaan ritualitasnya
mempengaruhi tindakan, moral, perilaku dan sebagainya. Hal yang berasal dari
agama dan pengaruhnya terhadap perilaku masyarakat inilah yang bisa juga kita
sebut sebagai budaya. Kita akan mengetahui apakah pelaksanaan ritual itu
memberi makna transcendental hingga ritual tersebut rela dilakukan oleh pemeluk
agama, sekalipun terkadang sebuah ritual bersifat tidak rasional.

B. Penjelasan Durkheim Mengenai Agama dan Masyarakat
Emile Durkheim sebagai salah seorang Sosiolog abad ke-19, menemukan
hakikat agama yang pada fungsinya sebagai sumber dan pembentuk solidaritas
mekanis. Ia berpendapat bahwa agama adalah suatu pranata yang dibutuhkan oleh
masyarakat untuk mengikat individu menjadi satu-kesatuan melalui pembentukan
sistem kepercayaan dan ritus. Menurut Durkheim agama merupakan fenomena

sosial yang melekat dalam praktik sosial, jadi tidak hanya dalam bentuk
kepercayaan kepercayaan, tapi juga berfungsi dalam meningkatkan solidaritas
sosial sekaligus sumber kesatuan moral.1 Melalui simbol-simbol yang sifatnya
suci. Agama mengikat orang-orang kedalam berbagai kelompok masyarakat yag
terikat satu kesamaan. Durkheim membedakan antara solidaritas mekanis dengan
solidaritas organis. Dengan konsep ini ia membedakan wujud masyarakat modern
dan masyarakat tradisional.
Secara alami, Durkeihm membangun kerangka berfikirnya berdasarkan
ide-ide para tokoh seperti: Auguste Comte (1798-1857), Montesqueieu seorang
filosof Prancis abad ke-18, Ernest Renan seorang kritikus Bibel, Numa Denys
Fustel de Caulanges pengarang buku The Ancient City (1864).2
Ide tentang masyarakat adalah jiwa dari agama, demikian ungkap Emile
Durkheim dalam The Elementary Form of Religious Life (1915). Berangkat dari
kajiannya tentang paham totemisme masyarakat primitive di Australia, Durkheim
berkesimpulan bahwa bentuk-bentuk dasar agama meliputi:
1. Pemisahan antara `yang suci’ dan `yang profane’
2. Permulaan cerita-cerita tentang dewa-dewa.
3. Macam-macam bentuk ritual.
Dasar-dasar ini bisa digeneralisir di semua kebudayaan, dan akan muncul
1


Dadang Kahmad, Sosiologi Agama , Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000.

2

Pengaruh para pemikir ini dalam pemikiran Durkheim, lihat, Nisbet, Sociology of Durkheim,

halaman 24-30.

dalam bentuk sosial. Masyarakat baik di Barat maupun di Timur, menunjukkan
adanya suatu kebutuhan social yang berupa `kebaikan permanent’. Menurut teori
Durkheim, Agama bukanlah `sesuatu yang di luar ’, tetapi `ada di dalam
masyarakat’ itu sendiri, agama terbatas hanya pada seruan kelompok untuk
tujuan menjaga kelebihan-kelebihan khusus kelompok tersebut.3
Oleh karena itu, agama dengan syariatnya tidak mungkin berhubungan
dengan seluruh manusia. Kritikan lain yang dikemukakan oleh Emile Durkheim;
bahwa Animisme dan Fetishisme yang bersifat individualistik, tidak dapat
menjelaskan agama sebagai sebuah fenomena sosial dan kelompok. Pusat
pandangan Durkheim berada dalam klaimnya bahwa ‚agama adalah sesuatu yang
bersifat sosial.‛ Dalam setiap kebudayaan, agama adalah bagian yang paling

berharga dari seluruh kehidupan sosial. Dia melayani masyarakat dengan
menyediakan ide, ritual dan perasaan-perasaan yang akan menuntun seseorang
dalam hidup bermasyarakat.
Ritual dan kepercayaan Durkehim, berbeda dengan Tylor dan Frazer tentang
‚intelektualisme‛ nya, bagi Durkheim, ritual keagamaan lebih utama, sebab
ritual inilah yang lebih fundamental dan yang melahirkan kayakinan. Jika
memang ada sesuatu yang ‚abadi‛ dalam agama, maka kebutuhan masyarakat
akan ritual-ritual itulah yang paling abadi, berupa upacara-upacara penenguhan
kembali dedikasi setiap anggota masyarakat. Dengan ritual-ritual tersebut, seluruh
anggota masyarakat diingatkan kembali bahwa kepentingan kelompok lebih
utama ketimbang keinginan pribadi. Sebaliknya, keyakinan bukanlah sesuatu yang
abadi. Fungsi sosial dari ritual-ritual keagamaan akan selalu konstan, sebaliknya
muatan intelektual agama akan selalu mengalami perubahan.
Keyakinan adalah ‚sisi spekulatif‛ agama. Keyakinan Kristen bisa saja
3

http://sos-ant.blogspot.com/2009/05/agama-menurut-pandangan-emile-durkheim.html

berbeda dari keyakinan Yahudi atau Hindu, tapi dalam ide-ide tapi yang sikapnya
patrikular, perbedaan yang terjadi tidak begitu besar. Perbedaan ide-ide akan

selalu di dapati dalam agama-agama yang ada di dunia ini, bhkan dari masa ke
masa pun ide-ide dalam suatu agama pun akan selalu berbeda. Tapi, kebutuhan
untuk mengadakan upacara-upacara akan selalu ada, karena merupakan sumber
sebenarnyadari kesatuan sosial dan tali pengikat utama seluruh anggota
masyarakat. Ritual-ritual keagamaan ini akhirnya dapat menyingkap arti agama
yang sesungguhnya.
Menurut teori Fungsionalisme Struktural yang ada dalam ranah penelitian
Durkehim, bahwa Masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas
bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam
keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian, akan berpengaruh pada
bagian yang lainnya. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem
soisial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional maka
struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya. (George ritzer
2011: 21 )
Penganut teori ini cenderung untuk melihat hanya pada sumbangan satu
sistem atau peristiwa terhadap sistem yang lain dan karena itu mengabaikan
kemungkinan bahwa suatu peristiwa atau suatu sistem dapat beroperasi
menentang fungsi-fungsi lainnya dalam suatu sistem sosial. Secara ekstrim
penganut teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah
fungsional bagi suatu masyarakat.

C. Durkheim dalam Status Paradigma Sosial
Sebagai suatu konsep, istilah paradigma (paradigm) pertama kali
diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific
Revolution (1962). Melalui karyanya, Kuhn menawarkan suatu cara yang
bermanfaat terhadap para sosiolog dalam mempelajari disiplin ilmu mereka. Kuhn

bukanlah seorang Sosiolog melainkan seorang ahli ilmu alam. Konsep paradigma
yang diperkenalkan Kuhn lalu dipopulerkan oleh Robert Friedrichs melalui
bukunya Sociology of Sociology (1970).
Tujuan utama Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution
itu adalah untuk menantang asumsi yang berlaku umum dikalangan ilmuwan
mengenai perkembangan ilmu pengetahuan. Para ilmuwan beranggapan bahwa
ilmu pengetahuan berkembang secara kumulatif, namun asumsi itu dianggap
sebagai mitos oleh Kuhn, bagi Kuhn ilmu pengetahuan bukan terjadi secara
kumulatif, tetapi secara revolusi. Kuhn melihat bahwa ilmu pengetahuan pada
waktu tertentu didominasi oleh satu paradigma tertentu. Yakni suatu pandangan
yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari
suatu cabang ilmu.4
Emile Durkehim adalah orang pertama yang mencoba melepaskan sosiologi
dari dominasi kedua kekuatan yang mempengaruhinya itu. Durkheim berusaha

untuk melepaskan sosiologi dari alam filsafat positif Auguste Comte untuk
kemudian meletakan sosiologi ke atas dunia empiris. Paradigma Sosiologi sangat
mirip dengan konsep exemplar dari Thomas Kuhn. Dalam edisi pertama bukunya
Kuhn mendiskusikan keanekaragaman fenomena yang dapat tercakup dalam
pengertian seperti : kebiasaan-kebiasaan nyata, keputusan-keputusan hukum yang
diterima, hasil-hasil nyata perkembangan ilmu pengetahuan serta hasil-hasil
penemuan ilmu pengetahuan yang diterima secara umum.
Nampaknya menurut Kuhn hasil-hasil perkembangan ilmu pengetahuan
yang diterima secara umum inilah yang memperoleh kedudukan sebagai exemplar.
Sebagai contoh, kedua hasil karya Durkheim mendapatkan pengakuan dan
diterima secara umum dikalangan ilmuwan sosial sehingga menempati kedudukan

4

George Ritzer (Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda ): hlm. 3

sebagai exemplar dalam paradigma sosiologi. Baik bagi paradigma fakta sosial
maupun bagi paradigma definisi sosial. Demikian pula buah karya Max Weber
tentang Social Action mendapatkan kedudukannya pula sebagai exemplar
terhadap kedua paradigma yang disebut diatas. Sehingga Durkheim dan Weber

memeroleh predikat sebagai ‚jembatan paradigma‛.
D. Teori Fakta Sosial
Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat
mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal
seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk
mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim
berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena
sosial. Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan
dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang
mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat
suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.
Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar
jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan sezamannya, Max
Weber, ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi
tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme metodologis), melainkan
lebih kepada penelitian terhadap ‚fakta-fakta sosial‛, istilah yang diciptakannya
untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak
terikat kepada tindakan individu. Ia berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai
keberadaan yang independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada
tindakan-tindakan individu.

Durkheim berpendapat bahwa subyek kajian sosiologi harus dipersempit
pada sebuah bidang yang dapat diuraikan guna membedakan sosiologi dengan
studi sosial yang lain. Untuk itu, Durkheim mengusulkan bahwa harus membatasi

sosiologi pada kajian analisis tentang fakta sosial yang ia jelaskan dalam dua cara.
Definisi pertama yang ia berikan pada fakta sosial adalah setiap cara atau arah
tindakan yang mampu menggerakkan pada individu dari tekanan eksternal, seperti
sistem keuangan, bahasa, dan tindakan yang lain. Kemudian ia menambahkan,
setiap tindakan umum di dalam masyarakat. Hal tersebut meliputi institusi agama,
tradisi kultural, dan kebiasaan regional. Durkheim dalam definisi di ini
menggunakan

paksaan

sosial

untuk

mengidentifikasi


alasan

di

balik

tindakan-tindakan yang kemudian menjadi fakta sosial. Tingkat paksaan tersebut
akan terasa berbeda-beda.
Paksaan sosial ini memegang kekuatan yang memaksa di atas individu.
Definisi kedua Durkheim mengenai fakta sosial mengambil pendekatan yang
lebih umum terhadap fakta sosial. Ini mengacu pada berbagai tindakan atau
pandangan umum di dalam masyarakat sepanjang memenuhi ketentuan bahwa
fakta tersebut jelas-jelas tidak tergantung pada individu. Fenomena tersebut juga
mempunyai efek yang memaksa.
Penganut paradigma fakta sosial cenderung mempergunakan metode
kuesioner dan interviu dalam penelitian empiris mereka. Walaupun kedua metode
tersebut sebenarnya bukan monopoli paradigma ini. Metode observasi
umpamanya ternyata tidak begitu cocok untuk studi fakta sosial`. Alasannya
karena sebagian besar dari fakta sosial merupakan sesuatu yang dianggap sebagai
barang sesuatu (a thing) yang nyata dan tidak dapat diamati secara langsung.
Hanya dapat dipelajari melalui pemahaman (interpretative understanding). Selain
dari itu metode observasi dinilai terlalu sempit dan kasar untuk tujuan penelitian
fakta sosial. Informasi yang diperoleh melalui observasi selalu berbeda dengan
informasi yang diperlukan oleh mereka yang menganut paradigma fakta sosial.
Sebagian besar fakta sosial tidak dapat diamati secara aktual. Padahal
metode observasi hanya cocok untuk mempelajari gejala yang aktual saja. Metode

eksperimen juga ditolak pemakaiannya. Alasannya karena terlalu sempit untuk
dapat meneliti fakta sosial yang memang bersifat makrokoskopik. Persoalan sosial
yang makroskopik ini justru tidak mudah dipelajari dalam laboratorium dengan
metode eksperimen.
James Coleman (1977) mengakui bahwa kuesioner dan interviu kurang
membukakan jalan ke arah penemuan fakta sosial seperti yang semula diharapkan
oleh penganut paradigma fakta sosial itu sendiri. Kedua metode itu menurutnya
terlalu individual centrist. Kurang memperhatikan aspek antar hubungan individu
yang justru merupakan substansi fakta sosial.
Selain itu, sumbangsinya dalam dunia penelitian sosiologi, Durkheim juga
berpendapat mengenai hukum, bahwa dengan meningkatnya diferensiasi dalam
masyarakat, reaksi kolektif yang kuat terhadap penyimpangan-penyimpangan
menjadi berkurang di dalam sistem yang bersangkutan karena hukum yang
bersifat represif mempunyai kecenderungan untuk berubah menjadi hukum yang
restitutif. Artinya, yang terpokok adalah untuk mengembalikan kedudukan
seseorang yang dirugikan ke keadaan semuala, yang merupakan hal yang penting
di dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan atau sengketa-sengketa.5
E. Agama dalam dinamika Budaya Masyarakat
Dalam proses penyebaran agama, masyarakat biasanya menerima minimal
tiga bentuk penilaian terhadap agama. Pertama, agama diterima sepenuhnya,
kedua, agama diterima sebagian sebagian yang disesuaikan dengan kebutuhan
seseorang atau kelompok orang. Ketiga, agama itu ditolak sama sekali. Ketiga
sikap penerimaan itu juga terjadi di Indonesia.
Pada umumnya agama yang masuk akan mengalami proses penyesuaian
dengan budaya yang telah ada. Ada kompromi nilai atau symbol antar agama

5

Lihat: Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar : hlm. 40

yang masuk dengan kebudayaan asal, yang menghasilkan bentuk baru dan
berbeda dengan agama atau budaya asal. Prosesnpenyesuaian ini terjadi begitu
saja dalam setiap proses pemaknaan di tengah masyarakat.
Dengan demikian, suatu agama yang masuk pada msyarakat tidak pernah
bisa ditemukan sebagaimana bentuk aslinya secara utuh, selalu ada pelenturan
nilai

nilai

(fluiditas).

Pelenturan

tersebut

membuat

symbol

budaya

bermetamorfosis dalam maknanya yang baru. Pelenturan ini terjadi karena
manusia dan masyarakat bukan mesin fotocopy yang bisa dan mau menjiplak
yang diterimanya, secara sadar dan tidak sadar.6
Kebudayaan yang berkembang dalam suatu masyarakat biasanya merupakan
sumber acuan bagi mereka dalam merespon berbagai perubahan. Sistem
kebudayaan tersebut akan menyeleksi perubarahan di tolak atau diterima oleh
masyarakat.
Logika yang sama berlaku ketika kita membahas perihal agama masyarakat.
Setiap keyakinan dan agama yang masuk akan diseleksi. Proses ini sebagai upaya
memilah yang sesuai (tidak jauh berbeda) dan yang berlainan dengan budaya yang
berkembang dimasyarakat, sebabnya adalah agama yang masuk merupakan agama
yang dikemas dalam bungkus budaya tempat agama itu berasal. Seperti masuk
nya Islam ke Indonesia yang di syiarkan oleh orang orang Arab, India dan Persia.
Dalam hal ini terjadi pertautan antar kebudayaan penyebar agama Islam dengan
kebudayaan penerima agama Islam (budaya lokal). Islam bisa diterima
denganmudah bisa jadi karena kemiripan karakter budaya agama Islam dengan
karakter budaya lokal pada waktu itu.
Dalam kasus seperti ini dapat disimpulkan bahwa prinsip ajaran agama
Islam dapat mengakomodasikan nilai nilai budaya masyarakat lokal. Demikian

6

Dadang Kahmad , Sosiologi Agama, potret Agama dalam Dina mika konflik, Pluralisme dan

Modernitas, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.

juga budaya masyarakat lokal dapat mengakomodasi nilai nilai ajaran Islam,
sehingga terjadi sinergi antara keduanya.
Agama (termasuk Islam) mencakup sistem kepercayaan (Iman) yang
diwujudkan dalam sistem perilaku sosial para pemeluknya. Agama berkaitan
dengan pengalaman manusia, baik individu maupun kelompok sehingga setiap
perilaku yang diperankan akan terkait dengan system keyakinan dari ajaran agama
yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam
yang didasarkan pada nilai nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya.
Oleh karena itu, keagamaan yang bersifat subjektif, menjadi objektif dalam
bentuk berbagai ungkapan dan ekspresi yang dapat dipahami.
Plato dalam hal ini juga menulis tentang pentingnya agama sebagai landasan
moral bagi manusia. Menurutnya dalam upaya mengaktualisasikan diri, seseorang
memerlukan panduan agama sebagai landasan moral. Agama dalam konsep Plato,
tidak dapat dipisahkan dari dinamika kehidupan manusia. Dengan kata lain,
agama sama sekali tidak terdikotomi dengan aspek kehidupan lainnya. 7
Perspektif Plato ini menunjukan internalisasi agama dalam kehidupan baik secara
langsung atau tidak langsung mempengaruhi setiap tindakan yang dilakukannya.
Sedangkan Max Weber dalam Etika Protestannya, menerangkan bahwa
agama merupakan spirit bagi kehidupan sosio kultural masyarakat. Ungkapan ini
mengandung makna bahwa tindakan atau aksi sosial sangat ditentukan oleh nilai
nilai essensial ajaran agama yang diyakini seseorang. Kondisi ini akan terstruktur
dalam pola budaya masyarakat. Adapun nilai
nilai essensial yang dimaksud Weber tersebut adalah semangat pengabdian,
ketundukan, kepatuhan, dan ketaatan. Sehingga agama disini bukan hanya simbol
kepercayaan, tetapi juga menjadi sumber etos kerja bagi manusia.8 Perspektif

7

Sindung Haryanto, 2012

8

Pip Jones, Pengantar Teori Teori Sosial, Jakarta: Yayasan Obor, 2010.

inilah yang ditemukan Weber dalam ajaran agama Protestan. Bahwa orientasi
kesuksesan kehidupan duniawi merupakan citra keberhasilan kehidupan ukhrawi.
Karena itulah etos kerja yang sangat tinggi dalam ajaran protestan harus diikuti
dengan mewujudkan kehidupan asketis-sederhana, rajin beribadah, dan hidup
hemat. Tidak aka nada ganjaran keselamatan dari Tuhan kecuali jika mereka
sukses dan produktif dalama
kehidupan duniawinya. Sukses tidak ditentukan oleh takdir Tuhan tetapi oleh
kerja keras manusia. Oleh karena itu kehidupan harus didedikasikan untuk
efisiensi dan rasionalitas demi maksimalnya produktifitas mereka. Inilah yang
menjadi basis nilai munculnya kapitalisme modern di Eropa.
E. Kesimpulan
Emile Durkehim adalah orang pertama yang mencoba melepaskan sosiologi
dari dominasi kedua kekuatan yang mempengaruhinya itu. Durkheim berusaha
untuk melepaskan sosiologi dari alam filsafat positif Auguste Comte untuk
kemudian meletakan sosiologi ke atas dunia empiris. Durkheim berpendapat
bahwa subyek kajian sosiologi harus dipersempit pada sebuah bidang yang dapat
diuraikan guna membedakan sosiologi dengan studi sosial yang lain. Untuk itu,
Durkheim mengusulkan bahwa harus membatasi sosiologi pada kajian analisis
tentang fakta sosial yang ia jelaskan dalam dua cara.
Definisi pertama yang ia berikan pada fakta sosial adalah setiap cara atau
arah tindakan yang mampu menggerakkan pada individu dari tekanan eksternal,
seperti sistem keuangan, bahasa, dan tindakan yang lain. Kemudian ia
menambahkan, setiap tindakan umum di dalam masyarakat. Hal tersebut meliputi
institusi agama, tradisi kultural, dan kebiasaan regional.
Contoh, di sebuah sekolah seorang murid diwajibkan datang tepat waktu,
menggunakan seragam, dan bersikap menghormati guru. Kewajiban-kewajiban
tersebut dituangkan ke dalam sebuah aturan dan memiliki sanksi tertentu jika

dilanggar. Dari contoh tersebut bisa dilihat adanya cara bertinfak, berpikir dan
berperasaan yang ada di luar individu (sekolah), yang bersifat memaksa dan
mengendalikan si individu (murid).9
Bagi Durkheim teknik observasi dan interviu merupakan teknik analisis
yang sistematis sebagai sebuah metode empiris. Fakta-fakta sosial yang menjadi
kajian Durkheim adalah gejala yang mutlak yang terjadi di dalam masyarakat itu
sendiri. Dan baginya individu adalah bagian dari masyarakat yang dipengaruhinya,
masyarakatlah yang memaksa individu untuk ikut dalam tata norma masyarakat
itu sendiri. Meskipun terkkesan terpaksa, namun ini merupakan sebuah kenyataan
dan fakta sosial yang ia temui saat ia meneliti masyarakat-masyarakat. Pengaruh
keluarga, pendidikan dan teman, secara langsung maupun tidak langsung telah
memengaruhi pemikirannya dalam meneliti dan menafsirkan kejadian atau fakta
yang ada di masyarakat itu.

9

Kun Maryati dan Juju Suryawati, Sosiologi SMA kelas X: 2004. hlm.4

DAFTAR PUSTAKA
Dadang Kahmad, 2000, Sosiologi Agama , Bandung : Remaja, Rosda Karya
Imam Muhni, Djuretna A. 1994. Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim &
Henry Bergson. Yogyakarta: Kanisius

Ritzer George, 2011. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda . Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada.
Soekanto Soerjono, 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada.
Dadang Kahmad,2011, Sosiologi Agama, potret Agama dalam Dinamika konflik,
Pluralisme dan Modernitas, Bandung, CV Pustaka Setia
Sindung Haryanto, 2012
Pip Jones, 2010, pengantar Teori Teori Sosial, Jakarta, Yayasan Obor
Maryati Kun dan Suryawati Juju, 2004. Sosiologi SMA kelas X. Jakarta: PT
Gelora Aksara Pratama, Erlangga.
http://sos-ant.blogspot.com/2009/05/agama-menurut-pandangan-emile-durkheim.
html(Diakses padd tanggal 4 Okt 2017)