Dampak Stigma Negatif dan Diskriminasi Masyarakat terhadap ODHA di Medan Plus, Tanjung Sari, Medan Chapter III VI

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1.

Tipe Penelitian
Adapun tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Penelitian Deskriptif.Penelitian deskriptif ialah penelitian yang dilakukan dengan
tujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan objek dan fenomena yang
diteliti. Termasuk di dalamnya bagaimana unsur-unsur yang ada dalam variabel
penelitian itu berinteraksi satu sama lain dan apa pula produk interaksi yang
berlangsung. (Siagian, 2011:52)
Melalui penelitian deskriptif

ini peneliti

menggambarkan

secara


menyeluruh mengenai bagaimana Dampak Stigma Negatif dan Diskriminasi
Masyarakat terhadap ODHA di Medan Plus, Tanjung Sari.
3.2.

Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Medan Plus, Tanjung Sari Medan. Alasan

peneliti memilih lokasi penelitian ini adalah karena Medan Plus merupakan salah
satu lembaga yang menangani masyarakat yang terkena HIV/AIDS di kota
Medan.
3.3.

Informan
Informan adalah orang yang bermanfaat untuk memberikan informasi

tentang sittuasi dan kondisi latar penelitian yang diperlukan selama proses
penelitian berlangsung. Pada penelitian ini, penulis tidak menggunakan populasi

Universitas Sumatera Utara


dan sampel tetapi menggunakan subyek penelitian yang telah tercermin dalam
fokus penelitian.
Subyek penelitian ini menjadi informan yang akan memberikan berbagai
informasi yang diperlukan selama proses penelitian (Suyanto, 2005:171),
informan penelitian ini meliputi 2 jenis informan, yaitu :
1.

Informan Kunci
Mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang

diperlukan dalam penelitian.Informasi kunci dalam penelitian ini diambil 1 orang
yaitu staff lembaga (orang yang membuat kebijakan) di Medan Plus.
2.

Informan Utama
Orang yang terlibat secara langsung dalam interaksi sosial yang

diteliti.Yang menjadi informan utama dalam penelitian ini adalah penderita
HIV/AIDS dan yang mendapat stigma/diskriminasi dari masyarakat, berjumlah 5
orang.

3.

Informan Tambahan
Mereka yang memberikan informasi walaupun tidak terlibat secara

langsung dalam interaksi sosial yang diteliti.Informan tambahan dalam penelitian
ini adalah keluarga dan masyarakat umum berjumlah 2 orang.
3.4.

Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :

1.

Studi Kepustakaan

Universitas Sumatera Utara

Yaitu teknik pengumpulan data atau informasi yang menyangkut masalah
yang diteliti dengan mempelajari dan menelaah buku, jurnal, majalah, surat kabar,

dan berbagai tulisan atau media informasi yang menyangkut yang diteliti.
2.

Studi Lapangan
Yaitu teknik pengumpulan data yang diperoleh melalui kegiatan peneliti

langsung turun ke lokasi penelitian untuk mecari fakta-fakta yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti. Penelitian ini ditempuh dengan cara :
a.

Observasi yaitu teknik pengumpulan data dengan mengamati secara
langsung objek peneliti dengan mengamati, mendengar, dan mencatat yang
menjadi sasaran penelitian.

b.

Wawancara yaitu, pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide
melalui tanya jawab sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu
topik tertentu. Jenis wawancara yang dilakukan adalah wawancara
terpimpin, dimana proses tanya jawab dilakukan secara terarah untuk

memperoleh data-data yang lebih relevan. Dalam hal ini, mula-mula
pewawancara menanyakan sederet pertanyaan yang terstruktur, kemudian
satu persatu pertanyaan sebelumnya diperdalam lagi guna memperoleh
keterangan yang lebih lengkap dan mendalam. Cara pelaksanaannya bebas
terpimpin, dimana pewawancara membawa pedoman yang merupakan
garis besar tentang apa yang dipertanyakan.

c.

Dokumentasi, yaitu pengambilan data yang diperoleh dari dokumendokumen. Data-data yang dikumpulkan melalui pengambilan gambar pada
saat observasi.

Universitas Sumatera Utara

3.5.

Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, teknik analisa data yang digunakan adalah

pendekatan deskriptif kualitatif, yaitu dengan mengkaji data dimulai dengan

menelaah data yang tersedia dari berbagai sumber yang telah terkumpul yang
kemudian dikategorikan pada tahapan berikutnya dan memeriksa kesalahan data
serta mendefenisikannya dengan analisis sesuai dengan kemampuan daya peneliti
untuk membuat kesimpulan penelitian.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
4.1.

Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Medan Plus tepatnya di Jalan Bunga Wijaya

Kesuma No. 108 Pasar IV Tanjung Sari, Kecamatan Medan Selayang, Sumatera
Utara.Penelitian ini juga dilakukan di RSUD Dr Pirngadi Medan, tempat para
informan berobat.

4.2.


Latar Belakang Berdirinya
Medan plus adalah organisasi berbasis komunitas yang didirikan sebagai

wadah bekumpul komunitas untuk berbagi informasi seputar Narkoba dan
HIV/AIDS.Medan Plus fokus terhadap pemberdayaan Pengguna Narkoba serta
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Sumatera Utara.Berdiri pada tanggal 23
September 2003.Medan Plus dibangun dan dijalankan untuk merespon banyaknya
kesenjangan dan ketidakadilan dalam memenuhi dan melindungi hak-hak
pengguna Napza serta ODHA di Sumatera Utara, khususnya Medan.Medan plus
juga memberikan layanan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang
benar tentang HIV/AIDS dan Narkoba.
Berawal

dari

sebuah

panti

rehabilitasi


ketergantungan

NAPZA

(Narrkotika, Alkohol, Psikotropika & Zat Adiktif lainnya). Dibentuk oleh ada 4
orang anggota (3 orang HIV positif dan 1 orang HIV negatif) yang berupaya
untuk mencuri waktu menawarkan ketenangan, kenyamanan, kebersamaan serta
kerahasiaan saling berbagi dan saling memberi dukungan. Sebab HIV telah hadir
dalam hidup mereka.Dari kondisi itulah yang mendorong 4 orang tersebut untuk

Universitas Sumatera Utara

membantu teman-teman diluar yang terinfeksi HIV dan ketergantungan Narkoba
agar tetap dapat informasi yang benar serta penguatan secara psikologi.
Medan Plus yang dulunya hanya sebuah Kelompok Dukungan Sebaya
(KDS)menjadi suatu organisasi berbadan hukum sejak Juni 2006.Mengubah
strategi pendukungan komunitas.Awalnya mendukung secara individu menjadi
mendukung dengan menginisiasi pembentukan organisasi berbasis komunitas
lainnya di berbagai wilayah di Sumatera Utara dan Aceh. Telah mendampingi

lebih dari 5000 ODHA juga mendampingi 1200 WPS, 1600 LSL, 400 Waria
serta 300 Penasun dan 100 pasangan penasu di Sumatera Utara. Menjadi anggota
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Sumatera Utara sejak tahun 2 –
sekarang, dan di tahun yang sama pula Medan Plus bekerja sama dengan Badan
Narkotika Nasional atau yang sering disebut BNN. Pada Januari 2016 Medan
Plus berubah menjadi Yayasan Medan Plus dengan struktur kepengurusan.
Medan Plus yang digerakkan oleh orang yang berasal dari komunitas,
sebagian besar adalah orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA), Pecandu
dan juga orang yang terpengaruh dengannya (OHIDHA).Bahkan berasal dari
beragam latar belakang faktor resiko penularan, seperti pecandu, transgender, gay,
dan pekerja seks.Selain itu juga terdapat dari kaum perempuan yang juga beresiko
tinggi untuk tertular HIV.Bergerakya Medan Plus seiring dengan kebutuhan dari
teman-teman komunitas di wilayah Sumatera Utara.Selain berjuang untuk meraih
hak serta bertanggungjawab atas kewajiban sebagai bagian dari warga negara,
setiap perjuangan diharapkan berdampak positif bagi individu maupun kelompok
komunitas.Pendekatan KESEBAYAAN merupakan strategi yang diutamakan,
sebab personil Medan Plus adalah bagian dari komunitas itu sendiri.

Universitas Sumatera Utara


4.3.

Visi dan Misi Medan Plus

4.3.1. Visi
Adapun yang menjadi visi dari Yayasan Medan Plus ini yaitu Menghapus
Stigma dan Diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan Korban
Narkoba.
4.3.2. Misi
1.

Meningkatkan mutu hidup ODHA dan Korban Narkoba.

2.

Mendorong terciptanya lingkungan yang kondusif bagi ODHA dan korban
Narkoba.

4.4.


Program Kerja Lembaga
Medan Plus memiliki beberapa program pendampingan bagi pengguna

Napza dan ODHA, Rehabilitasi Pengguna Narkoba, Konseling Sebaya seperti:
1.

Melakukan upaya pemberdayaan pengguna Napza dan Orang dengan
HIV/AIDS di Sumatera Utara.

2.

Melakukan upaya mempengaruhi pembuat dan pelaksana kebijakan (Lobi,
negosiasi, kolaborasi, dll) dalam penanggulangan HIV/AIDS.

3.

Pemberdayaan ekonomi bagi keluarga.

4.

Pendampingan dan edukasi bagi pengguna Napza serta ODHA.

5.

Melakukan penguatan kapasitas kelompok ODHA, pengguna Napza dalam
isu lingkungan dan pemberdayaan masyarakat.

4.5.

Peta KDS di Sumatera Utara
11. Binjai Stabat

1.Cahaya Bulan

Universitas Sumatera Utara

Plus
12. Tanah Karo
Care

2. Permata
3. Prima’s
4. Perwari
5. Jarkon's
6. Lanka/Labas
7. P3M
8. PRM
9. KDS wilayah
Kota Medan

13. Deli Support
Plus
14. Siantar Plus
15. Simalungun
Support

10.KDS
Pedas

16. Sanggar Toba
Support

Pastel

18. KDS di
Asahan

17. Rantau
Prapat Care

19.KDS Gunung
Sitoli Health
Care

Gambar 1: Peta KDS Sumut

Medan Plus sebagai Kelompok Penggagas yang menggagasi 28 KDS
dengan spesifikasi kategori kelompok antara lain:
1.

Kelompok Gender terdiri dari: PERMATA, PERWARI, PRIMAS, P3M,
PRM

2.

Kelompok Orangtua terdiri dari: CAHAYA BULAN

3.

Kelompok

Pecandu

terdiri

dari:

NOSCOVIDA,

PEJANTAN,

EKSPERIMEN, THE JOURNEY, PEGAGUS, JARKONS PLUS
4.

Kelompok Kabupaten/kota terdiri dari: Tanah Karo Care, SANTOSA
(Sanggar Toba Support), SEHATI, Simalungun Support, Siantar Support,
Rantauprapat Care, Binjai Stabat Plus, Deli Support Plus, PASTEL
PEDAS, KDS Asahan Plus dan KDS gunung Sitoli Health Care.

Universitas Sumatera Utara

5.

Kelompok berbasis Kecamatan yang ada di Kota Medan, terdiri dari:
Medan Plus kec I, Medan Plus kec II, Medan Plus kec III, Medan Plus kec
IV.
Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) tersebut berada di 10 kabupaten kota

dengan cakupan 20 wilayah yang ada di Sumatera Utara antara lain:
1.

PERMATA, PERWARI, PRIMAS, P3M, PRM, CAHAYA BULAN,
NOSCOVIDA,

PEJANTAN,

EKSPERIMEN,

THE

JOURNEY,

PEGAGUS, JARKONS PLUS, LABAS/RUTAN dengan cakupan wilayah
Kotamadya Medan.
2.

Binjai Stabat Plus dengan cakupan wilayah Kota Binjai dan Kabupaten
Langkat.

3.

Deli Support Plus dengan cakupan wilayah kabupaten Deli Serdang dan
Serdang Bedagai.

4.

Tanah Karo Care dengan cakupan wilayah Kabupaten Tanah Karo dan
Kabupaten Dairi.

5.

Simalungun Support dengan cakupan wilayah Kabupaten Simalungun

6.

Siantar Support dengan cakupan wilayah Kota Siantar.

7.

Sanggar Toba Support dengan cakupan wilayah Kabupaten Toba Samosir,
Taput, dan Humbang Hasundutan

8.

Pastel Pedas dengan cakupan wilayah Kabupaten Tapsel, Tapteng,
Kotamadya Padang Sidempuan dan Kotamadya Sibolga.

9.

Asahan Plus dengan cakupan wilayah Kabupaten Asahan, Kotamadya
Tanjung Balai, Kabupatn Labuhan Batu Bara

10. Nias dengan cakupan wilayah Kota Gunung Sitoli.

Universitas Sumatera Utara

4.6.

Bagan Struktur Program Medan Plus

Badan Pendiri
Unit Pelaksana
Teknis (UPT)
Pemulihan
Adiksi Berbasis
Masyarakat
(PABM)

Badan Pengurus

Direktur

Manager
Program
Pemberdayaan
ODHA

Koordinasi
Divisi PKK
(Pembentukan
Pengembangan
Kelompok

Manager
Administrasi
dan
Keuangan

Manager
Program
Pengurangan
Dampak Buruk
NARKOBA
Koordinasi
Divisi
Layanan
dan
Dukungan

Koordinator
Lapangan

Data

BAB V
ANALISIS DATA

Universitas Sumatera Utara

Kasir

5.3.

Pengantar
Pada bab ini akan dibahas data-data yang diperoleh dari lapangan. Data

tersebut diperoleh dari hasil penelitian melalui observasi dan wawancara
mendalam dengan informan. Analisis data adalah proses menjadikan data
memberikan pesan kepada pembaca. Melalui analisis data, maka data yang
diperoleh tidak lagi diam melainkan “berbicara”. Analisis data menjadikan data
itu mengeluarkan maknanya sehingga para pembaca tidak hanya mengetahui data
itu melainkan juga mengetahui apa yang ada di balik data itu.
Di bagian ini penulis mencoba menganalisis data-data yang diperoleh dari
hasil observasi dan wawancara yang diajukan kepada informan yakni para Orang
dengan HIV/AIDS (ODHA). Yang menjadi informan dalam penelitian ini
berjumlah 7 orang, dengan komposisi 1 orang informan kunci, 4 orang informan
utama, dan 2 orang informan tambahan.
Pengumpulan data ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:
1.

Studi kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan data atau
informasi menyangkut masalah yang diteliti dengan mempelajari dan
menelaah buku serta tulisan yang ada kaitannya terhadap masalah yang
diteliti.

2.

Peneliti melakukan observasi untuk memperoleh gambaran tentang kondisi
fisik dan sosial lokasi penelitian dan selanjutnya untuk menggali informasi
tentang dampak stigma negatif dan diskriminasi ODHA di Medan Pluss.

3.

Melakukan wawancara terhadap informan kunci, informan utama, dan
informan tambahan.

Universitas Sumatera Utara

5.4.

Hasil Temuan

5.4.1. Informan Kunci
Nama

: Priasih

Umur

: 36 Tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Jl. Bunga Wijaya Kesuma no. 108 (Pasar IV)

Pekerjaan

: Program Manager

Priasih berusia 36 Tahun, menduduki jabatan sebagai Program Manager di
Medan Plus Tanjung Sari, mulai bekerja 10 tahun lalu tepatnya tahun 2010, di
mana pada saat itu masih seorang staff di tempat yang sama. Adapun kutipan
wawancara yang dilakukan peneliti terhadap informan kunci sebagai berikut:
“Pihak medan plus sering kasih sosialisasi itu ke masyarakat medan/Rumah
sakit. Kita langsung turun setiap kelurahan, khususnya masyarakat yang
ada di pelosok medan, yang kurang mendapat infolah tentang HIV/AIDS.
Setiap kelurahan/Rumah Sakit itu, kami rujuk 2 orang staff dari Medan
Plus. Disana kita mensosialisasikan tentang informasi HIV/AIDS, apa dan
bagaimana ODHA itu sebenarnya, dapat menular dari apa saja. Banyak
lah, pokoknya paling utama itu informasi yang bisa mencegah munculnya
stigma dan diskriminasi yang baru.Sudah cukup selama ini para ODHA
memperoleh anggapan dan perlakuan seperti itu, maunya jangan ditambah
lagi”.
Kemudian peneliti menanyakan apakah dengan kegiatan atau sosialisasi
tersebut dapat mengurangi stigma dan diskriminasi yang diberikan masyarakat
kepada ODHA, dan berikut pernyataan informan:

Universitas Sumatera Utara

“Kalau masyarakat mau bekerja sama dengan pihak lain (LSM,Rumah
Sakit, Pemerintah), stigma dan diskriminasi itu sebenarnya bisa
dihilangkan. Apalagi dengan informasi yang selama ini diberikan kepada
masyarakat mengenai HIV/AIDS, sekarang kuncinya itu ada ditangan
masyarakat.Ada terkadang masyarakat yang sudah memperoleh informasi
dan mengerti tentang penyakit itu, malah diri mereka sendiri yang
mendoktri oranglain untuk menjauhi ODHA.Padahal dia itu tau loh,
bagaimana HIV itu nularnya.Karena masyarakat sudah terdoktrin seperti
stereotip yaitu keyakinan mendalam kalau HIV/AIDS itu penyakit yang
sangat

menular

yang

ditularkannya

sangat

mudah

berartikan

pengetahuan.Sebenarnya mereka pengetahuannya juga mulai ada kalau
ternyata HIV/AIDS tidak tertular ketika kita bersalaman, berbicara,
berenang, maupun makan bersama.Tetapi stereotip keyakinan mendalam
kalau ODHA itu penyakit yang kotor itu lho... itu strereotip maksudnya
dek.”
10 tahun bekerja, menjadikan informan mengetahui rintangan yang sering
dihadapi pada ODHA selama ini, dimana informan yang mengatakan kalau
ancaman terbesar bagi ODHA itu bukan berasal dari penyakitnya melainkan
lingkungan luar. Berikut kutipan wawancaranya:
“Ini pengalaman dari staff yang bekerja disetiap Rumah Sakit ya, kan
setiap staff disini dirujuk ke Rumah Sakit yang ada di Medan. Jadi pernah
salah satu staff yang bercerita ada ODHA yang dipecat dari pekerjaan,
diusir/dijauhi keluarganya sendiri, keluarga belum bisa menerima.Kita
(Medan Plus) memberikan informasi kepada keluarganya. Bagaimana ya,

Universitas Sumatera Utara

mereka (Keluarga ODHA) itu stereotipnya masih sangat tinggi, keyakinan
mendalam, bagaimana mengubah keyakinan itu sangat susah perlu tahaptahap tertentu.”
Stigma dan diskriminasi yang diterima para ODHA selalu dihubungkan
dengan penyakit mereka, yang tanpa disadari stigma yang diberikan itu dapat
menimbulkan efek psikologis yang berat tentang bagaimana ODHA melihat diri
mereka sendiri.Hal ini bisa mendorong dalam beberapa kasus, terjadinya depresi,
kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan.Sama halnya seperti yang
dirasakan TH sekarang ini. Berikut cakupan wawancara dengan informan
“Kalau orang begitu tau kalau HIV positif, mereka itu kebanyakan
meninggal bukan karenan penyakitnya tapi karena stress, strees yang
bagaimana?, karena kurang dukungan dari masyarakat, masih tingginya
stigma dan diskriminasi dari masyarakat. Mereka dikucilkan, mereka
distigma kalau ODHA itu adalah orang yang kotor/nakal, orang bejat,
tidak bermoral, suka berperilaku seks.Padahal tidak semua kena
HIV/AIDS dikarenakan hal yang tidak-tidak tadi.Jadi bagaimana dengan
mereka yang terkena HIV/AIDS dari suaminya?Kan kasihan kalau mereka
juga ikut-ikutan dianggap seperti itu.”
Setiap staff yang bekerja di Medan Plus, diwajibkan mengikuti aturan
yang ada, seperti salah satunya melakukan pendampingan kepada para ODHA, di
mana pendampingan ini dilakukan ketika ODHA melakukan tes ARV di Rumah
Sakit.Seperti kutipan wawancara dibawah ini:
“Ada dimasing-pasing Rumah Sakit, Puskesmas juga, mereka dibina
Rumah Sakit sendiri.Medan Plus sebagai supporting, konseling, terkhusus

Universitas Sumatera Utara

mereka

yang

mendapat

stigma

dan

diskriminasi

dari

masyarakat/keluarganya sendiri.Banyak juga ODHA yang konsultasi
dengan

staff

kita

di

Rumah

Sakit.Bagaimana

kita

melakukan

pendampingan?Ketika ODHA dirujuk ke layanan untuk melakukan tes
ARV yang diadakan secara berskala.Melalui sosialisasi itu kita
memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi atau yang disebut KIE
kepada masyarakat.Masyarakat kita beri pelatihan sehingga yang belum
tahu tentang HIV/AIDS jadi tahu, yang tahu kemudian mau untuk dilatih
dan kemudian menjadi mampu untuk menyalurkan ilmu atau informasi
tentang HIV/AIDS kepada masyarakat lainnya.”

5.4.2. Informan Utama I
Nama

: ST

Umur

: 32 Tahun

Alamat

: Jl. Balai Desa P.Laut I

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Pekerjaan

:-

Pada tanggal 10 April 2017, peneliti mengunjungi seorang yang terinfeksi
HIV/AIDS sedang menunggu panggilan untuk konsultasi.Peneliti menghampiri
dan memperkenalkan diri, serta menjelaskan maksud dari peneliti.Informan
merupakan anak ke 1 dari 3 bersaudara, sehari-hari informan hanya menghabiskan
waktu di rumah, semenjak didiagnosa terinfeksi HIV/AIDS.Sesekali keluar rumah
untuk melakukan konsultasi ke RS ataupun Medan Plus.

Universitas Sumatera Utara

”Pertama kali didiagnosa seperti ini pas waktu saya ulang tahun yang ke
30, disitu saya senang nya karena Tuhan masih kasih pertambahan usia
sampai kepala 3 ini, sekaligus terkejut ketika kak Witha (Dokter)
mendiagnosa kalau saya itu terinfeksi HIV. Untuk beberapa hari ke depan
saya kebanyakan diam, gak tau mau lakukan tindakan kayak mana. Saya
belum berani ngomong ke orang mamak/bapak.”
ST baru tahu apa dan bagaimana itu HIV/AIDS semenjak dia terinfeksi,
selama melakukan konsultasi disitu dia diberi masukan dan pengetahuan serta
arahan tentang HIV. Dari 3 cara penularan HIV/AIDS yang diketahuinya, yang
menyebabkan ST terinfeksi itu melalui seks bebas (sesama jenis). Selanjutnya ST
pun menceritakan awal mula dia masuk ke jalan ini.
“Seks bebas mbak, kalau dari jarum suntik saya gak berani sampai
sekarang.SD ntah kelas berapa waktu itu saya lupa, mulai berbaur ke
arah pergaulan bebas. Pergaulan bebasnya bukan langsung melakukan
hubungan seks ya mbak hanya pelukaan,ciuman tapi itu sesama laki.
Awal nya hanya ajang coba-coba, kayak kita makan permen gitu mbak
ketagihan.Bukan karena orang bapak/mamak sering berkelahi atau
mukulin saya, tapi karena uang jajan mbak.Waktu saya SD itu, uang jajan
yang dikasih orangtua cuma goceng.Berhubung kerja mamak/bapak hanya
jual sayur di pasar ya saya gak mau nuntut lebih, makanya saya jadi lari
kesini. Pas SMA lah saya baru mulai seks bebas, itupun juga karena ada
teman yang ngajak, sama kayak tadi juga ajang coba-coba mbak.”
5 bulan lamanya keluarga ST belum mengetahui penyakit nya, sejauh itu
tidak ada yang mencurigakan dari sikap/tingkahlakunya.Sampai suatu hari, dia

Universitas Sumatera Utara

tidak mampu lagi menahan bebannya seorang diri dan pihak RS serta Medan Plus
yang meminta nomor telepon orangtua nya. Sebelum pihak RS ataupun Medan
Plus yang memberitahu orangtuanya, dia berinisiatif untuk lebih dulu
memberitahukan kepada mereka..
“Pertama kali yang tau itu mamak, baru saya kasih tau ke
bapak.Terkejut.Saya lihat mata mereka itu uda mau nangis gitu.Terdiam
mereka mbak, semakin membuat saya merasa bersalah aja.Adik gak tau,
hanya mereka 2 aja. Itupun yang mereka tau hanya saya kenak penyakit
itu saja, kalau yang suka sejenis gak sama sekali. Sempat saya beritahu
tentang itu gak tau mau gimana lagi.Semenjak itu, semua sikap mereka
berubah mbak (mau nangis) berubah total pun saya rasa.Mereka itu gak
ngusir saya untuk keluar dari rumah, gak mbak. Tapi mereka kayak
membatasi saya gitu, gak boleh satu peralatan mandi, makan sama pun
mereka gak mau lagi (sambil hapus air mata), mereka itu gak pernah lagi
ngajak makan. Semenjak 2 tahun lalu sampai sekarang.”
Orangtua yang berperan penting juga dalam hal ini, seharusnya mampu
mendorong atau memotivasi ST. Baik itu dari ucapan, maupun tindakan.Bukan
sebaliknya seperti ini dan selanjutnya peneliti langsung menanyakan kalau
perlakuan diskriminasi dari masyarakat itu bagaimana terhadap ST.
“Kalau mereka itu saya gak open mbak, bahkan gak ada tetangga yang
tau status saya ini. Keluarga ini nya sekarang, gak tau mau gimana
lagi.Gara-gara uda gak nyaman lagi, makanya saya itu lebih sering ke
sini dari pada dirumah.Mereka itu welcome-welcome aja orangnya,
nyaman, gak ada yang namanya anggapan negatif atau yang kayak mbak

Universitas Sumatera Utara

bilang tadi perlakuan diskriminasi dari mereka itu gak ada. Dirumah itu,
beda, tersiksa mbak, kayak gak dirumah sendiri, banyak aturan. Seperti
tadi lah pas saya mau ke sini, saya minta ongkos sama uang obat ke
bapak, bapak itu gak ngasih diemmm aja. Malah sempat saya gak jadi
pergi gara-gara itu, karena lihat air muka saya uda beda gitu, baru lah
bapak kasih, cukuplah untuk nebus obat tadi”.
Selama konsultasi ST selalu mengeluh tentang sikap orangtua, pihak
Medan Plus dan RS menelepon orangtua dari ST supaya disuruh datang, untuk
memberitahu kendala ataupun kemajuan yang dialami ST selama konsultasi dan
hasilnya nihil tidak ada perubahan sama sekali.
“Tetep aja mbak, uda saya jelasin semua tentang HIV/AIDS, tertular tidak
tertular nya bagaimana itu uda mbak, sampai-sampai pihak Medan Plus
sama RS juga uda jelasin sama orangtua. Tapi ya, gk berubah juga, masih
sama. Ada lah mbak, dari perlakuan mereka itu, saya merasa terasingkan,
lebih tertutup sama mereka, semangat untuk hidup gak ada lagi. Biarpun
perlakuan diskriminasi ituhanya dari keluarga yang saya terima, tapi kan
mbak menurut saya, keluarga lah yang seharusnya memberi semangat,
dukungan, dorongan, bukan malah kayak gini, membuat perbedaan antara
saya sama adek-adek saya.”

5.4.3. Informan Utama II
Nama

: N.A

Umur

: 37 Tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Universitas Sumatera Utara

Alamat

: Jl. Jangka

Pekerjaan

: Wiraswasta

Informan ke II adalah seorang perempuan berusia 37 tahun dengan inisial
NA.Pada saat peneliti jumpai, informan sedang menunggu antrian untuk
konsultasi dan mengambil obat dari dokter.Didiagnosa terinfeksi HIV/AIDS tahun
2013 yang berasal dari suaminya sendiri (NA belum mengetahui status suaminya
selama ini).Setelah suami NA meninggal, dalam waktu dekat NA berinisiatif
sendiri untuk cek kesehatannya di Pukesmas yang berada di dekat pasar Petisah.
NA kenal dengan mantan suaminya, karena dikenalkan oleh sang adik, dan tidak
sampai dalam satahun NA dan suami memutuskan untuk melanjutkan hubungan
mereka ke jenjang yang lebih tinggi lagi (menikah).
“Suami saya meninggal gara-gara penyakit ini juga nya, saya kenak dari
dia. Gak tau menahu saya tentang HIV/AIDS ini, pas suami terinfeksi itu
baru saya cari tahu ditambah buku pedoman seputar HIV/AIDS dari
Medan Plus. Semua keluarga itu tau dek, keluarga suami pun tau status
saya ini. Saya belum kasih tau mereka aja, mereka uda tau sendiri status
saya, karena pas suami saya meninggal kemarin mereka tau gara-gara
apa dia meninggal, jadi mereka langsung berprasangka saya juga pasti
bakalan kenak. Itu pihak keluarga suami ya dek, kalau dari keluarga saya
belum tau pada saat itu.
Setelah keluarga mengetahui bahwa NA pun didiagnosa terinfeksi virus
yang sama dengan suaminya, keluarga NA langsung menjauhkan diri. Bahkan
setelah suami NA meninggal, pihak keluarga suami tidak pernah berhubungan lagi
sama seperti ibu dari NA sendiri, hingga akhir hidup ibu nya barulah NA bisa

Universitas Sumatera Utara

bersentuhan tangan dengan beliau. NA diterima kembali oleh keluarga setelah ibu
nya meninggal dunia dan sekarang NA tinggal bersama dengan keluarga adiknya.
“Gak terceritakan terkadang dek (sedih), sampai sekarang itu saya gak
terima kena penyakit ini, saya itu perempuan baik-baiknya, gak pernah
sekalipun nyoba “jajan” sembarangan, pulang kerja langsung ke rumah.
Gak adil saya rasa, saya korban dari suami saya, saya gak tau sama
sekali status suami saya kemarin. Ada, tapi dulu ya dek, keluarga
langsung menjauh pas saya kasih tau status saya, mereka gak mau
peralatan makan dan mandi saya itu sama dengan punya mereka. Tapi
sekarang gak kayak gitu lagi, yaa walau gak sampai 100% ya. Mereka
mulai mau menerima status saya ini.Dan sejauh ini, masyarakat ataupun
keluarga gak tau sampai sekarang, masih rahasia umum, jadi kalau
anggapan negatif atau perlakuan diskriminasi dari mereka ga ada yang
saya terima, hanya keluarga saja.”
Memperoleh kabar bahwa kita mengidap penyakit yang berbahaya dan
tidak dapat disembuhkan hingga meninggal, membuat NA lebih sadar arti hidup
itu apa, dan lebih mendekatkan diri lagi dengan Tuhan. Jauh dari sebelum NA
terinfeksi, NA berkata bahwa dia dulu tidak dekat dengan Tuhan, jarang
beribadah.
“Dulu saya itu jauh kali dari Tuhan, gak pernah sekalipun berdoa
sebelum/sesudah tidur, jarang ke gereja.Tapi setelah terinfeksi ini
semuanya berubah.Karena awal-awalnya keluarga semua menjauh gitu,
jadi kalau sempat lagi saya jauh dari Tuhan gak tau bagaimana lagi hidup
ini.Jadi kalau saya ada untung rugi nya dek. Untungnya, saya jadi lebih

Universitas Sumatera Utara

dekat lagi bersekutu sama Tuhan. Kalau ruginya, yaaa kena ini lah.Gak
tau saya lagi kalau saya gak terinfeksi ini, bisa jadi saya makin gak kenal
Tuhan.”
Walaupun NA tidak menerima perlakuan diskriminasi lagi dari
keluarganya, bukan berarti NA bisa bernafas lega, yang ada akibat dari perlakuan
diskriminasi yang sempat di berikan masih berbekas dalam hatinya.NA lebih
tertutup, dan langsung menarik diri. Seperti yang terdapat dalam kutipan
wawancara berikut:
“Ya ada lah dek, walaupun keluarga gak ada kasih perlakuan seperti itu
lagi sama saya, tapi efek dari anggapan dan perlakuan diskriminasi yang
mereka berikan kemarin pada saya itu masih ada sampai sekarang.
Cemoohan/omongan mereka yang gak-gak itu, membuat saya lebih
banyak terdiam/termenung, setelah keluar omongan seperti itu saya selalu
menangis di kamar, menutup diri dari keluarga, sama orang lain pun saya
jadi lebih tertutup. Bahkan, saya yang lebih dulu menarik diri dari
mereka, bagaimana supaya status saya ini gak kena sama mereka, saya
tau malunya, sakitnya gimana, jadi saya simpan sendiri jepit kuku, sisir
saya. Kalau yang lain saya dengar, keluarga mereka yang memperlakukan
seperti itu. Beda kalau saya semenjak mereka menerima dan mendekatkan
diri sama saya, saya yang memperlakukan hal yang seperti itu.”

5.4.4. Informan Utama III
Nama

:L

Umur

: 30 Tahun

Universitas Sumatera Utara

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Jl. Tangguk Bongkor

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Informan III dalam penelitian ini seorang IRT, berusia 30 tahun, berinisial
L. didiagnosa terinfeksi HIV/AIDS tepat setahun lalu. Sama seperti informan II
(NA) ,yang diperoleh dari suaminya sendiri. Sebelum menikah, ternyata suaminya
telah terinfeksi namun tidak pernah mengakuinya kepada L. L sendiri telah
menikah 3 kali, dan suaminya yang terinfeksi adalah suami yang ke 2.
“Tahu, menurut saya HIV/AIDS itu penyakit yang bisa mematikan si
penderitanya, dapat menular itu kalau tidak salah seks bebas, suntiksuntik terlarang, sama darah yaa.Sejauh ini, hanya itu saja yang saya tau
tentang penyakit ini.Selebihnya saya hanya ngikutin kata dokter aja.Saya
didiagnosa terinfeksi penyakit ini baru tahun lalu (2016), dari suami yang
ke 2, sebelumnya saya gak tau dia itu sering “jajan” diluar sana dan kena
penyakit ini, saya gak ada nanya sampai kesana dan dia pun gak mau
ngasih tau.”
Berbeda dengan informan-informan sebelumnya yang menyembunyikan
statusnya dalam waktu lama, L langsung memberi kabar nya tersebut sama
keluarga, khususnya orangtuanya. Tanpa takut akibat yang akan dia peroleh.
Seperti halnya, perubahan sikap yang ditunjukkan keluarga terhadap dirinya.
Seperti kutipan dibawah ini:
“Sejauh ini yang tau status saya hanya keluarga, itu pun sebagian
keluarga saja (suami, orangtua). Kalau tetangga ataupun masyarakat gak
ada yang tau, jadi mereka gak ada yang kasih perlakuan diskriminasi

Universitas Sumatera Utara

sama saya. Dari keluarga memang ada perubahan ya saya perhatikan,
tapi mereka pintar nutupinnya, kalau oranglain yang ngelihat mungkin
gak sadar, tapi dari perasaan saya mereka itu berubah, sikap mereka
sama saya itu gak sama lah. Saya gak masalah mereka berubah atau gak,
gak ada rasa bersalah gitu, gak minta maaf sama mereka, yaaa karena
saya kan terinfeksi ini bukan karena saya perempuan yang gak baik-baik
“liar”, saya di sini sebagai korban kok dari laki yang gak tau diri itu.
Kalau misalnya saya gak nikah, dan dia kasih tau statusnya kemarin sama
saya, saya pasti 100% langsung nolak lah.”
Sempat mendapat perlakuan diskriminasi juga dari tetangga, L di usir dari
tempat tinggal nya dulu.Memaksa dia pada saat itu harus pindah.Kenyamanan,
keterbukaan, penerimaan yang di beri staff RS dan Medan Plus menjadikan L
lebih betah berlama-lama di RS, dengan di temani suaminya yang sekarang.
“Saya sering konsultasi disini, disini orangnya baik-baik, pengertian,
ramah, enaklah ngobrol sama mereka. Mereka kasih dorongan, support
sama saya. Keluarga juga ngasih supportt, tapi hanya dukungan materi
aja, kalau kayak dukungan moral ataupun kayak nasehat-nasehat gitu gak
ada.Makanya saya jarang bertamu kerumah keluarga saya, mendingan
dirumah sendiri.”
Walaupun L melihat ada nya perbedaan sikap yang diberikan keluarga dan
juga diskrimnasi yang di berikan tetangga pada dirinya kemarin, tidak membuat L
putus asa, tutup telinga ketika ada orang membicarakan tentang dirinya yang tidak
baik. Tetapi, M sempat mengatakan kepada peneliti bahwa kalau jauh di dalam
hatinya, dia sangat kecewa terhadap keluarga nya sendiri (orangtua), tidak peduli

Universitas Sumatera Utara

dengan anggapan orang lain yang sangat di butuhkan M pada saat-saat seperti ini
adalah orangtuanya.
“Gak ada, ya karena saya gak open sama anggapan mereka, bukan hanya
mereka aja yang ada di sekeliling saya. Terserah mereka, mereka mau
anggap saya perempuan gak baik, perempuan yang “liar” lah,
terserahhh.Selama saya masih di kasih Tuhan umur panjang, saya harap
saya bisa memanfaatkannya lebih baik lagi, bahkan ini saya uda nikah
lagi (sambil tersenyum).Dia tau saya kena ini, saya jelasin langsung ke
dia kalau saya itu terinfeksi HIV/AIDS, yaa dia nerima saya.Kalau dia
nerima saya, berarti dia harus berani terima kalau nantinya dia bakal
kena juga.Jujur-jujur aja lah, daripada dia nanti menyesal, kecewa seperti
sekarang. Dia kok yang terus nemani aku berobat ke RS selama ini”

5.4.5. Informan Utama IV
Nama

:M

Umur

: 36 Tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Bukit Tinggi

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga (IRT)

Informan ke IV dalam penelitian ini adalah M (36 tahun), seorang IRT
bertempat

tinggal di Bukittinggi

bersama

dengan anak

dan keluarga

Universitas Sumatera Utara

besarnya.Suaminya sendiri telah meninggal dunia disebabkan penyakit HIV/AIDS
7 tahun yang lalu. Dikenalkan oleh orangtuanya sendiri, bekerja sebagai seorang
guide di salah satu hotel di Bali. Setelah didiagnosa terinfeksi HIV/AIDS, baru
suami dari M mengakui bahwa sebelum menikah dengan M dia sering melakukan
hubungan suami-istri dengan perempuan yang ada disana. Adapun kutipan
wawancara peneliti dengan informan, sebagai berikut:
“Kalau itu tau dek, setau saya itu menular dari darah, jarum suntik,
hubungan badan, selain itu gak bisa. Dari suami, jadi saya menikah
dengan dia itu tahun 2005, 3 tahun nikah belum di kasih keturunan, dan
belum tau, 2009 suami saya meninggal akibat terinfeksi HIV/AIDS, di
tahun yang sama pula anak pertama lahir (program). Baru tahun 2010
saya didiagnosa terinfeksi HIV/AIDS.Saya yakin kena, karena uda sering
melakukan hubungan suami-isteri, langsung saya cek ke RS waktu itu.Dan
ternyata dugaan saya itu benar.”

Didiagnosa terinfeksi HIV/AIDS, tidak ada lagi suami yang seharusnya
membantu, memberi dukungan, anak ketika ditinggal suami baru berusia beberapa
bulan, membuat M pada saat itu patah semangat, bingung mau ambil tindakan
yang bagaimana, ditambah lagi keluarga tidak ada yang mengetahuinya.
“Perasaan pas tau kena ini, ya sedih lah dek, apalagi dulu yang saya tau
tentang HIV/AIDS itu penyakit yang mematikan, gak ada semangat hidup
lagi. Suami meninggal, anak masih bayi pada saat itu, yang terpikirkan
waktu itu hanya “anak” ini, bagaimana dia nanti, kan kasihan kalau
sampai saya juga mati. 2 tahun saya gak ngomong ke orangtua/keluarga

Universitas Sumatera Utara

saya, ibu curiga kok saya terus minum obat, kan kalau uda kena penyakit
ini bakalan minum obat seumur hidup kalau mau bertahan lebih lama.
Nah, ibu curiga-curiga yaa saya gak bisa nutupin lagi. Langsung saya
kasih tau sakit saya ini ke mereka, mereka diemmm aja, diem nya bukan
karena terkejut tapi malah karena gak tau sama sekali tentang penyakit
ini. Ketimbang ada yang ditutupi, saya jelasin lagi, saya kasih juga
mereka

buku

pedoman

tentang

HIV/AIDS

disitu

baru

mereka

nyambung/ngerti lah.”
Ketika orangtua kasih kabar, beruntung M tidak ada memperoleh
perlakuan diskriminasi dari orangtuanya, perubahan sikap pun tidak.Tetapi
keterbalikan dari semua informan kunci lainnya, M memperoleh perlakuan seperti
itu dari beberapa tetangga tempat dia dan suaminya tinggal kemarin, sebelum M
memutuskan untuk pindah ke Bukittinggi.

“Orangtua gak ada.Mereka malah kasihan lihat saya, pas saya lupa
makan/minum obat gitu, ibu yang nyuruh saya, bahkan dia pernah malah
marah

dek

(sambil

tertawa).

Tapi

beda

dengan

abang

yang

memperlakukan saya kayak orang asing, dia gak mau anggap saya lagi
saudaranya kemarin, dia marahi saya habis-habisan, gak mau sama
tempat makan/peralatan mandi, sampai-sampai dia pernah mau ngusir
saya dari rumah, dia nyuruh saya supaya pulang ke kampung saja (bukit
tinggi), padahal sudah saya jelasin loh apa yang saya tau tentang penyakit
ini. Disitu langsung saya lawan dia, saya bilang gini “aku orang baik-baik
ya bang, uda berapa lama kita tinggal 1 rumah coba, pernah gak abang

Universitas Sumatera Utara

lihat aku nyeleweng, pulang kerja langsung balik kerumahnya aku, aku
seperti ini itu, hanya karena mendiang suami aku aja nya kemarin!!!”
saya bilang gitu dek, gak tau lah kenapa sok berani gitu (tertawa).
Tetangga juga sempat tau kemarin, sebelum saya pindah ke sini.Ada itu 1
orang, gak tau dia dapat berita ini darimana, dia langsung ngejauh
gitu.Tanpa bilang apa-apa.Tapi hanya seperti itu aja, kalau sampai ada
tetangga yang mukul atau ngusir dari tempat tinggal kemarin gak ada.
Mungkin karena saya yang langsung ambil tindakan pindah yaa, supaya
gak makin banyak yang tau, kan bahaya juga, jaga diri lah.”
Walaupun seluruh keluarga M, menerima statusnya sekarang, bukan
berarti M santai-santai, dengan inisiatifnya sendiri M lebih menarik diri, dengan
tujuan keluarga besarnya tidak ada yang terkena penyakit yang sama dengan
dirinya. Terkhusus putri semata wayangnya F (18 tahun), mulai dari kecil M tidak
pernah mengijinkan F untuk tidur sekamar dengan dirinya, walaupun F telah
memohon.Dia pun besyukur, penyakitnya ini tidak menurun ke putrinya (F).
“Dulu iya, sempat takut melihat orangtua/keluarga, asal ketemu langsung
nundukin kepala, lebih pendiam, minder.Memang omongan mereka itu gak
ada yang nyakiti, tapi perlakuan mereka yang sempat ngejauhi itu saya
yang sampai sekarang masih ingat.Tapi saya ambil positifnya aja, mereka
ngejauh karena takut tertular ke mereka.Saya jadi lebih narik diri juga
lah, ngehargai ketakutan mereka juga. Sampai sekarang saya itu gak
pernah tidur sama anak, untuk jaga-jaga saya biarkan dia tidur sama
neneknya, kalau lagi tidurkan kita gak sadar apa yang kita lakukan,
sebagai antisipasilah. Gak dek, kalau anak gak kenak kok, saya dengan

Universitas Sumatera Utara

suami kemarin kan jalani program, gak saya kasih ASI juga, sudah di
periksa juga kok di RS dan memang hasilnya Alhamdulilah negatif dek.”

5.4.6. Informan Utama V
Nama

: TH

Umur

: 30 Tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Stabat

Pekerjaan

:-

TH merupakanmantan seorang manager di salah satu perusahaan yang ada
di stabat (tidak disebutkan oleh informan).Pada saat status nya diketahui pihak
perusahaan, pada saat itu pula TH langsung di depak dari pekerjaannya. Pada saat
peneliti melakukan wawancara, kondisi TH sedang drop, jadi sebagian pertanyaan
yang diajukan kepada informan dijawab oleh sang ibu juga adiknya yang pada
saat itu sedang menemani TH.
“Saya itu dari SMA sudah berkecimpung dengan narkotika, kebetulan
teman

saya kebanyakan cowok, mereka yang pertama kali nawarkan

benda itu pada saya. Sekali dua kali itu saya masih coba-coba, dari situ
ketagihan, setelah ketagihan pas di tahun ketiga saya beranikan nyoba
jarum suntik. Jarum suntiknya juga sama make dengan mereka, mungkin
salah satu teman saya itu ada yang sudah terinfeksi. Jadi saya ambil
kesimpulan saya terinfeksi virus ini karena sering gonta ganti jarum suntik
dan itu tidak steril (bicara perlahan).Dari dokter juga mengatakan, besar
kemungkinan terinfeksi dari situ juga.”

Universitas Sumatera Utara

Pada tahun 2016 bulan 11 TH dinyatakan terinfeksi HIV/AIDS oleh pihak
puskesmas yang ada di Stabat, dikarenakan peralatan di Puskesmas tidak
memadai,

TH

direkomendasikan

pihak

puskesmas

untuk

melanjutkan

pengobatannya di RSU Pirngadi.Belum ada 1 tahun TH terinfeksi, kondisi
tubuhnya sudah jauh berbeda, berat badannya turun drastic.Sebelumnya berat
badan daripada TH itu 65kg, sekarang sudah 45kg.Hal ini disebabkan, depresi
yang dialami TH.Selain tekanan tentang sakitnya, ada juga tekanan dari pihak
keluarga khususnya adik TH. Seperti kutipan wawancara berikut ini:
“Semua keluarga itu langsung tahu, karena ketika saya pertama kali
berobat ditemani mamak, adik juga. Pada saat itu kondisi tubuh sudah
drop, tidak mampu lagi jalan lama-lama apalagi sendirian, jadi minta
bantu keluarga kemarin nemani. Setelah mereka tahu saya kenak ini, saya
kayak tidak ada hak untuk lakukan apasaja, mereka yang nentukan
semua.Harus inilah, itulah.Suka-suka mereka.Ya saya nuruti, karena tidak
sanggup lagi ngapai-ngapai. Kalau mereka tidak ada, saya juga yang
susah. Tidak ada lagi yang mandikan, suapin.Pokoknya semua keperluan
saya, mereka juga yang urus.”
Pemahaman masyarakat yang salah dalam menilai HIV/AIDS dan ODHA
sebenarnya dapat ditekan secara bertahap dengan memberikan pemahaman dan
stimulus positif mengenai kebenaran HIV/AIDS.banyak dari masyarakat yang
hanya memahami HIV/AIDS sebagai bentuk penyakit seks menular saja, atau
penyakit yang tidak ada obatnya dan menyebabkan kematian dalam waktu
singkat. Diskriminasi ini bukan hanya diperoleh dari keluarga/masyarakat saja,
tidak menutup kemungkinan diskriminasi tersebut diperoleh dari tempat kerja,

Universitas Sumatera Utara

seperti yang dialami oleh TH.Dimana dirinya di PHK pihak perusahaan tempat
dia bekerja, karena ketahuan terinfeksi HIV/AIDS.berikut ungkapan TH mengenai
diskriminasi yang diperolehnya dari perusahaan:
“Mereka mulai curiga melihat saya, yang kondisi tubuh semakin lama
semakin drop, sering ijin tidak masuk kantor. Pada saat itu saya masih
berusaha nyari alasan lain, pernah saya baca berita tentang ODHA yang
dipecat. Saya berusaha terus nutupinnya, saya tidak mau lah di pecat.2
minggu setelah itu, tidak tau dapat info darimana mereka tahu status saya
yang seperti ini, dan pada saat itu saya langsung di pecat.”
Stigma dan diskriminasi yang diterima para ODHA selalu dihubungan
dengan penyakit mereka, yang tanpa disadari stigma yang diberikan itu dapt
menimbulkan efek psikologis yang berat tentang bagaimana ODHA melihat diri
mereka sendiri.Hal ini bisa mendorong dalam beberapa kasus, terjadinya depresi,
kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan.Sama halnya seperti yang
dirasakan TH sekarang ini. Berikut cakupan wawancara dengan informan:
“Karena siapa juga saya sampai seperti ini, ini memang kesalahan saya
yang sering make narkoba/jarum suntik. Tapi, kalaulah misalnya saya
tidak menerima tekanan dari luar, mungkin kondisi saya tidak terlalu
begini kali.Saya merasa tertekan, tidak ada kebebasan lagi bagi
saya.mereka baik mau nyuruh saya berobat, tapi cara mereka suruh saya
berobat itu dipaksa, bukan benar-benar dari hati mereka. Setiap mau
berobat, mereka selalu menyalahkan saya, mengingatkan kembali masa
kelam saya yang semenjak SMA itu.Ditambah lagi dengan di PHK nya
saya dari perusahaan, semakin mereka semena-mena dengan saya. banyak

Universitas Sumatera Utara

di RS ini yang penyakit sama seperti saya, lebih duluan lagi mereka
terinfeksi ketimbang saya, tapi kondisi tubuh mereka masih oke oke saja,
lah kenapa saya yang baru terinfeksi 6 bulan terakhir ini langsung seperti
ini? berdiri saja sudah tidak mampu apalagi jalan harus menggunakan
kursi roda. Dukungan dan motivasi itu yang paling saya butuhkan
sekarang (menangis).Pikiran saya banyak terbagi tidak ke penyakit, malah
perlakuan dari keluarga.”

5.4.7. Informan Tambahan I
Nama

: Sari

Umur

: 24 Tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Jl. Bunga wijaya kesuma XII

Pekerjaan

: Penjahit

Informan tambahan yang pertama, peneliti memilih seorang masyarakat
biasa yang tinggal di pasar 4 Padang Bulan, tepatnya Jl. Bunga Wijaya Kesuma
XII.Beliau iyalah Sari (24 tahun), berprofesi sebagai seorang penjahit didekat
tempat tinggalnya.Peneliti langsung memperkenalkan diri, dan memberitahukan
maksud serta tujuan si peneliti melakukan wanwancara dengan informan. Pada

Universitas Sumatera Utara

saat itu, informan mau memulai jahitannya kembali setelah istirahat 1 jam, jadi
untuk mempersingkat waktu peneliti langsung memberikan pertanyaan seperti :
“Bagaimana pandangan Anda terhadap mereka yang terinfeksi HIV/AIDS?”
“Tau dek, penyakit yang gara-gara seks bebas itu kan? Berbahaya loh itu,
mematikan, bisa menular ke siapa aja. Makanya jangan mau bergaul
sama orang seperti itu, bisa-bisa malahan kenak juga kita. Kita gak sadar
kalau kita itu uda kenak apa belum, hati-hatilah. Orang-orang kayakgitu
lebih bagus gak ditemani/jauhi. Dia berbuat seperti itu uda melanggar
norma, perilaku menyimpang, memang sih siapa aja bebas berbuat seperti
itu, itu hak nya masing-masing, tapi maunya jangan sampai kenak
penyakit ini. Kalau memang gak tahan lagi mau berhubungan, langsung
nikah aja, berbuat seperti itu ke 1 orang jangan ke semua orang.”
Masih menjadi rahasia besar status seseorang yang terkena HIV/AIDS,
ditambah tidak adanya ciri-ciri yang membedakan para si penderita dengan
masyarakat awam, menjadikan masyarakat tidak mengetahui apakah ada penderita
HIV/AIDS di lingkungan mereka.Adanya rasa takut berlebih dikucilkan, dihina,
disiksa, jika ada oranglain yang tahu.
“Pasti adanya itu dek, cuma ditutup-tutupi keluargnya.Malu lah sampai
ketahuan tetangga/masyarakat, bisa-bisa diusir dari sini. Di ujung sana
kan ada itu kayak lembaga yang menangani orang-orang kayak gini,
kalau kita dari sini sebelah kanan tempatnya, sering saya lewat dari situ
kalau mau ke Setia Budi. Tapi, kayaknya gak tinggal disitu orang itu.”
Banyak pemikiran buntu yang dipahami ODHA, pemikiran yang
seharusnya dapat diperbaiki untuk lebih dapat meningkatkan impuls positif bagi

Universitas Sumatera Utara

ODHA dalam memahami diri dan penyakitnya.Memahami seseorang yang
mengetahui ratusan, ribuan, dan bahkan jutaan virus mematikan dalam dirinya
seperti halnya virus HIV memang tidak mudah.Hal ini dipersulit dengan
penerimaan masyarakat yang seakan tidak memberikan tangan terbuka untukdapat
merangkul atau bahkan sedikit memberikan pemahamannya terhadap ODHA.
Banyak ODHA yang merasa kehilangan nilai diri di mata keluarga/masyarakat,
karena ODHA tahu bahwa masyarakat akan memberikan nilai merah untuk sulit
memahami mereka terlebih penyakitnya. Sepaham dengan apa yang dikatakan
oleh infoman tambahan I, yang mengatakan bahwa:
“Setiap orang bebas bergaul sama siapa aja ya kan, aku gak pernah
larang atau keluarga larang kami bergaul sama orang seperti itu. Karena
memang, kami itu gak pernah ngebahas ini.Aku pribadi, ngejauhi mereka
lah, gak mau dekat-dekat, takut.Hehehhe, ada sih dek. Kalau aku di posisi
mereka dan mendapat diskriminasi yang kayak aku bilang tadi, pasti aku
pun ikut menjauhnya, malu, minder, tertutup dari orang banyak, stress,
bahkan bisa gila memikirkannya. Tapi kan wajar, kalau ada rasa takut
tertular penyakit itu. Mereka yang berbuat kayak gitu, mereka juga harus
berani nanggung resikonya.”
5.4.8. Informan Tambahan II
Nama

: Ester Silalahi

Umur

: 40 Tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Jl. Bunga wijaya kesuma 27 no. 16

Universitas Sumatera Utara

Pekerjaan

: Guru

Informan tambahan II yang menjadi informan terakhir dalam penelitian ini
adalah Ester Silalahi (40 tahun), seorang guru di salah satu sekolah yang ada di
padang bulan. Peneliti melakukan wawancara ketika informan Ester sedang
bersantai di sebuah kedai tidak jauh dari tempat tinggalnya. Adapun kutipan
wawancara dengan informan, yaitu:
“Pengurangan kekebalan tubuh karena disebabkan virus, sehingga
muncul penyakit-penyakit seks yang membawa dampak yang kurang baik
terhadap kondisi seseorang.Dari virus itu lah nanti baru muncul yang
AIDSnya. Kalau hanya bersalaman, duduk berdampingan, pakai peralatan
makan/mandi sama gak ada efeknya.Dari artikel yang pernah saya baca,
penyakit ini biasanya hanya menular melalui hubungan seksual, jarum
suntik, dan tranfusi darah.Termasuk penyakit menular yang berbahaya,
karena

itu

merupakan

perilaku

hidup.Orang

jaman

sekarang

pengaulannya terlalu bebas apalagi di Medan ini gak pandang itu anak
kecil, anak kecil ini dapatnya ya dari orangtua yang terinfeksi HIV.Karena
perilaku kita yang kurang sehat berganti-ganti pasangan kemudian
konsumsi narkoba dengan jarum suntik, tidak menggunakan alat
kontrasepsi itu kadang-kadang muncul masuknya bibit penyakit.”
Bila stigma masyarakat ataupun lingkungan sekitarnya negative, beban
penderitaan mereka akan semakin besar. Tidak jarang dari stigma itu membuat
sebagian ODHA lebih menutup diri dari masyarakat. Mereka seharusnya
mendapatkan perhatiana yang serius dan dihindarkan dari kemungkinan untuk
berputus asa dengan melakukan tindakan yang melanggar norma agama seperti

Universitas Sumatera Utara

mengakhir hidup secara bunuh diri. Berikut kutipan wawancara dengan informan
tambahn II yang mengatakan dampak daripada stigma dan diskriminasi itu
sendiri:
“Status mereka itu masih tertutup rapat, jarang ada masyarakat yang
tahu, bahaya. Adek ini lagi penelitian tentang ODHA ini kan, pasti agak
susah nanti adek meneliti orang itu, karena kebanyakan mereka itu benarbenar tertutup, malah terkadang mereka sendiri yang langsung menarik
diri. Saya itu tidak pernah melarang anak/keluarga saya itu bergaul
dengan mereka, tapi jaga diri dari dalam saja. Dan mereka berhak
mendapatkan pekerjaan, mereka juga manusia yang bersosialisasi butuh
aktivitas dan kegiatan, beda hal kalau ODHA nya yang tidak mampu lagi
beraktifitas/bekerja.ODHA begitu tau kena HIV itu stress, depresi, tidak
mendapat dukungan keluarga, mulai mengurung diri, penyakit sudah
mulai bermunculan, kurang produkti, dan masih tingginya stigma dan
diskriminasi dari keluarga/masyarakat mereka dikucilkan, mereka di
stigma kalau ODHA iu “orang nakal”, orang bejat, orang yang tidak
benar, tidak bermoral, suka berperilaku seks, pake narkoba, gara-gara
stigma itu lah ODHA jadi tidak berani buka “kartu”. Mereka kebanyakan
meninggal bukat karena penyakitnya tapi disebabkan stress, stressnya
apa? Karena kurang dukungan dari keluarga.”
5.5.

Analisis Data

5.3.3. Analisis Stigma dan Diskriminasi

Universitas Sumatera Utara

HIV/AIDS sebuah kasus yang tidak lagi makanan baru bagi masyarakat
Indonesia. Layaknya penyakit kejadian luar biasa yang menjadi perhatian akhirakhir ini, kasus HIV/AIDS yang pertama kali muncul di Indonesia pada tahun
1987 juga menjadi suatu hal yang menggemparkan dan fenomenal di masyarakat.
Ironisnya, iklim kegemparan HIV/AIDS tidak menjadikan suatu motivasi bagi
masyarakat untuk menanggulangi penyebaran wabah ini di Indonesia.Kegemparan
tersebut justru melahirkan stigma di masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS
atau biasa dikenal dengan istilah ODHA.
Stigma ODHA sering diekspresikan dalam satu atau lebih stigma, terutama
yang berhubungan dengan homoseksualitas, biseksualitas, pelacuran, dan
penggunaan narkoba melalui suntikan.Di banyak negara maju, terdapat
penghubungan antara AIDS dengan homoseksualitas atau biseksualitas, yang
berkorelasi dengan tingkat prasangka seksual yang lebih tinggi, misalnya sikapsikap anti homoseksual.Demikian pula terdapat anggapan adanya hubungan antara
AIDS dengan hubungan seksual antar laki-laki, termasuk bila hubungan terjadi
antara pasangan yang belum terinfeksi.Menurut Herek and Capitanio (1999).
Factor-faktor yang menyebabkan stigmadan diskriminasi terhadap ODHA, yaitu:
1.