5 SM Publish HumanioraDigital dan Kesantunan
Home
Entertainment
Sport & Otomotif
Sepakbola
Home » SmCetak » Humaniora Digital dan Kesantunan
Humaniora Digital dan Kesantunan
Oleh Jumanto
26 Januari 2015 1:21 WIB Category: SmCetak, Wacana A+ / A-
SEWAKTU kecil, guru mengajarkan dunia ada dua: fana, yaitu dunia yang bisa rusak,
yang kita tempati saat ini, dan dunia baka yaitu dunia setelah manusia meninggal dunia.
Setelah berumur 46 tahun sekarang ini, saya menyadari ternyata ada dunia baru, yang
tidak pernah dibayangkan manusia.
Dunia baru antara dunia fana dan dunia baka itu adalah dunia maya (virtual world), yaitu
dunia online luas, yang berisi berbagai lingkungan simulasi interaktif dengan dasar
komputer. Dunia maya kini sangat menghegemoni sehingga banyak orang rela
meninggalkan dunia fana untuk berlama-lama berkecimpung di dalamnya.
Pelarian dari stres atas berbagai masalah di dunia fana, yang dulu jadi alasan untuk pergi
selama-lamanya dari dunia fana ke dunia baka lewat jalan pintas, kini mengarah ke dunia
maya, ke berbagai media sosial. Dunia baru itu kadang melupakan humanitas kita sebagai
manusia, melanggar batas moral, etika, agama, dan privasi orang lain. Dengan dasar
itulah lahir UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Adapun humaniora yang mencakup teologi, filsafat, hukum, sejarah, bahasa, sastra,
kesenian, dan psikologi adalah disiplin ilmu yang dapat menjadikan manusia lebih
manusiawi dan berbudaya (KBBI; 1998). Dengan demikian humaniora digital (digital
humanities) mengacu adaptasi humaniora dalam dunia komputer, sebagai sumber belajar
berbagai ilmu pengetahuan yang bisa membuat manusia lebih berbudaya.
Bagaimana mengaitkan humaniora digital dengan kesantunan? Teori kesantunan berawal
dari teori ’’muka’’dalam diri manusia, untuk berinteraksi interpersonal atau interaksi
sosial (Erving Goffman; 1959). Muka mengacu harga diri, perasaan, dan segala asosiasi
tentang diri seseorang. Interaksi sosial harus mempertimbangkan manajemen muka (face
management) sehingga muka orang lain dan muka sendiri tidak terancam atau rusak
(Brown dan Levinson; 1987).
1
Namun, apa yang terjadi dalam humaniora digital selama ini? Dalam interaksi, transaksi,
atau pergaulan di dunia maya, humaniora digital yang seharusnya dijaga demi
harmonisasi sosial, banyak dilanggar (atau terjadi ’’perusakan muka’’ orang lain). Agama
kadang dijadikan sarana berebut tahta, filsafat dibuat-buat untuk melaknat, hukum
diputarbalikkan supaya terasa lurus, dan kebenaran rekor sejarah dipelesetkan untuk
menebar fitnah. Bahasa dan sastra pun acap dibuat jahat untuk mengumpat dan
menghujat.
Berujung Perusakan
Dunia maya yang liku-liku jalan setapaknya dipandu kepiawaian mesin pencari (search
engines), di antaranya yang terbesar Yahoo dan Google, menjelma menjadi berbagai
bentuk media sosial. Sebenarnya kita harus menyikapi dunia maya sebagai ruang publik
milik masyarakat luas.
Itu termasuk media sosial populer seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan Youtube
sebagai sarana interaksi sosial untuk mencipta, berbagi, dan bertukar gagasan, gambar,
dan video dalam komunitas dan jaringan maya. Tentu ruang publiktidak bisa direduksi
menjadi pojok informal ruang rumah kita, semisal untuk bergosip, bersenda-gurau, dan
berkelakar antarindividu secara akrab, dengan topik apa saja. Kitaharus mempertahankan
topik di ruang publik tetap bersifat umum, netral, dan aman, tidak menyinggung, apalagi
menghujat pihak tertentu.
Artinya, kita perlu menjaga kesantunann interaksi dan transaksi di ruang publik dunia
maya. Bayangkan apa yang terjadi andai tiap pengguna ruang publik, dengan topik apa
saja, kemudian bertukar informasi, gambar, atau bahkan aksi, termasuk yang kurang atau
tidak senonoh? Ruang publik akan menjadi kotor, risiko ’’perusakan muka’’ para
pengguna juga tinggi, dan akhirnya pengadilan UU ITE yang menengahi. Beruntung bila
konflik itu bisa diakhiri. Seandainya tidak? Disharmoni dan disintegrasi di kalangan
masyarakat luas akan tereskalasi. Dalam kasus seperti ini, konflik di dunia maya bisa
berpindah ke dunia fana, berujung perusakan nyata atas moral, mental, dan fisik di manamana.
Fenomena selfie misalnya, termasuk yang kurang atau tidak senonoh dan berbahaya
adalah mengunggah hal pribadi ke ruang publik, dengan tujuan viralitas atau popularitas
di dunia maya. Aksi selfie kadang merupakan pelampiasan stres di dunia fana yang
menyebabkan kemerebakan pornografi dan pornoaksi. Gara-gara dunia maya kita bisa
kehilangan sifat manusiawi, bahkan nyawa sendiri. Humaniora digital yang seharusnya
membuat kita lebih berbudaya, justru kehilangan arah, tidak terkendali, dan
kontraproduktif.
Humaniora digital seharusnya untuk menjaga nurani, dan mengukuhkan hubungan sosial
ke arah harmoni dan integrasi. Termasuk menjaga muka interpersonal dan juga muka
sosial: perasaan, harga diri, dan kehormatan bersama. Humaniora digital sejatinya
kesantunan digital. (10)
2
— Dr Jumanto PhD in Linguistics, dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Dian
Nuswantoro (Udinus) Semarang
3
Home
Entertainment
Sport & Otomotif
Sepakbola
Home » SmCetak » Humaniora Digital dan Kesantunan
Humaniora Digital dan Kesantunan
Oleh Jumanto
26 Januari 2015 1:21 WIB Category: SmCetak, Wacana A+ / A-
SEWAKTU kecil, guru mengajarkan dunia ada dua: fana, yaitu dunia yang bisa rusak,
yang kita tempati saat ini, dan dunia baka yaitu dunia setelah manusia meninggal dunia.
Setelah berumur 46 tahun sekarang ini, saya menyadari ternyata ada dunia baru, yang
tidak pernah dibayangkan manusia.
Dunia baru antara dunia fana dan dunia baka itu adalah dunia maya (virtual world), yaitu
dunia online luas, yang berisi berbagai lingkungan simulasi interaktif dengan dasar
komputer. Dunia maya kini sangat menghegemoni sehingga banyak orang rela
meninggalkan dunia fana untuk berlama-lama berkecimpung di dalamnya.
Pelarian dari stres atas berbagai masalah di dunia fana, yang dulu jadi alasan untuk pergi
selama-lamanya dari dunia fana ke dunia baka lewat jalan pintas, kini mengarah ke dunia
maya, ke berbagai media sosial. Dunia baru itu kadang melupakan humanitas kita sebagai
manusia, melanggar batas moral, etika, agama, dan privasi orang lain. Dengan dasar
itulah lahir UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Adapun humaniora yang mencakup teologi, filsafat, hukum, sejarah, bahasa, sastra,
kesenian, dan psikologi adalah disiplin ilmu yang dapat menjadikan manusia lebih
manusiawi dan berbudaya (KBBI; 1998). Dengan demikian humaniora digital (digital
humanities) mengacu adaptasi humaniora dalam dunia komputer, sebagai sumber belajar
berbagai ilmu pengetahuan yang bisa membuat manusia lebih berbudaya.
Bagaimana mengaitkan humaniora digital dengan kesantunan? Teori kesantunan berawal
dari teori ’’muka’’dalam diri manusia, untuk berinteraksi interpersonal atau interaksi
sosial (Erving Goffman; 1959). Muka mengacu harga diri, perasaan, dan segala asosiasi
tentang diri seseorang. Interaksi sosial harus mempertimbangkan manajemen muka (face
management) sehingga muka orang lain dan muka sendiri tidak terancam atau rusak
(Brown dan Levinson; 1987).
1
Namun, apa yang terjadi dalam humaniora digital selama ini? Dalam interaksi, transaksi,
atau pergaulan di dunia maya, humaniora digital yang seharusnya dijaga demi
harmonisasi sosial, banyak dilanggar (atau terjadi ’’perusakan muka’’ orang lain). Agama
kadang dijadikan sarana berebut tahta, filsafat dibuat-buat untuk melaknat, hukum
diputarbalikkan supaya terasa lurus, dan kebenaran rekor sejarah dipelesetkan untuk
menebar fitnah. Bahasa dan sastra pun acap dibuat jahat untuk mengumpat dan
menghujat.
Berujung Perusakan
Dunia maya yang liku-liku jalan setapaknya dipandu kepiawaian mesin pencari (search
engines), di antaranya yang terbesar Yahoo dan Google, menjelma menjadi berbagai
bentuk media sosial. Sebenarnya kita harus menyikapi dunia maya sebagai ruang publik
milik masyarakat luas.
Itu termasuk media sosial populer seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan Youtube
sebagai sarana interaksi sosial untuk mencipta, berbagi, dan bertukar gagasan, gambar,
dan video dalam komunitas dan jaringan maya. Tentu ruang publiktidak bisa direduksi
menjadi pojok informal ruang rumah kita, semisal untuk bergosip, bersenda-gurau, dan
berkelakar antarindividu secara akrab, dengan topik apa saja. Kitaharus mempertahankan
topik di ruang publik tetap bersifat umum, netral, dan aman, tidak menyinggung, apalagi
menghujat pihak tertentu.
Artinya, kita perlu menjaga kesantunann interaksi dan transaksi di ruang publik dunia
maya. Bayangkan apa yang terjadi andai tiap pengguna ruang publik, dengan topik apa
saja, kemudian bertukar informasi, gambar, atau bahkan aksi, termasuk yang kurang atau
tidak senonoh? Ruang publik akan menjadi kotor, risiko ’’perusakan muka’’ para
pengguna juga tinggi, dan akhirnya pengadilan UU ITE yang menengahi. Beruntung bila
konflik itu bisa diakhiri. Seandainya tidak? Disharmoni dan disintegrasi di kalangan
masyarakat luas akan tereskalasi. Dalam kasus seperti ini, konflik di dunia maya bisa
berpindah ke dunia fana, berujung perusakan nyata atas moral, mental, dan fisik di manamana.
Fenomena selfie misalnya, termasuk yang kurang atau tidak senonoh dan berbahaya
adalah mengunggah hal pribadi ke ruang publik, dengan tujuan viralitas atau popularitas
di dunia maya. Aksi selfie kadang merupakan pelampiasan stres di dunia fana yang
menyebabkan kemerebakan pornografi dan pornoaksi. Gara-gara dunia maya kita bisa
kehilangan sifat manusiawi, bahkan nyawa sendiri. Humaniora digital yang seharusnya
membuat kita lebih berbudaya, justru kehilangan arah, tidak terkendali, dan
kontraproduktif.
Humaniora digital seharusnya untuk menjaga nurani, dan mengukuhkan hubungan sosial
ke arah harmoni dan integrasi. Termasuk menjaga muka interpersonal dan juga muka
sosial: perasaan, harga diri, dan kehormatan bersama. Humaniora digital sejatinya
kesantunan digital. (10)
2
— Dr Jumanto PhD in Linguistics, dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Dian
Nuswantoro (Udinus) Semarang
3