Pengaruh Suhu Pirolisis dan Jumlah Katalis Silika Gel terhadap Yield dan Kualitas Bahan Bakar Cair dari Limbah Plastik Jenis Polipropilena
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
PLASTIK
Produksi utama pembuatan plastik selama ini berbasis bahan baku turunan
minyak bumi [9]. Plastik adalah bahan sintestis atau alami yang terdiri dari rantai
panjang dengan komponen utama C atau karbon [8]. Ikatan ini sangat kuat sehingga
material plastik cocok untuk digunakan dalam berbagai aplikasi [2].
Plastik merupakan bahan yang murah, tahan lama, serbaguna, dan sangat
disukai sebagai material bahan baku pembuatan produk. Plastik mempunyai bobot
ringan, kuat, tahan bahan kimia, dan mudah dalam pemasaran. Komoditas plastik
terbesar didunia adalah polipropilen, diikuti oleh PVC dan HDPE [10]. Plastik
dapat dibagi dalam dua klasifikasi, yaitu material termoplastik dan material
termoset. Proses pembentukan plastik diakhiri oleh reaksi curing, yaitu reaksi
ikatan sambung silang (cross – linking) yang irreversible dari polimer. Perbedaan
termoplastik dimana termoplastik dapat diproses dengan panas, ketika material
diberi panas, material termoplastik akan mencair dimana material tersebut dapat
dibentuk menjadi produk yang diinginkan. Setelah didinginkan material akan
mengeras dan mempertahankan bentuknya. Material termoplastik dapat diproses
ulang dengan pemanasan dan pembentukan atau pencetakan. Berbeda dengan
material termoset yang tidak dapat diproses dengan pemanasan berulang kali atau
dengan kata lain mempunyai bentuk yang permanen setelah pemrosesan [11].
Contoh plastik termoplastik adalah polietilen, polipropilen, nilon, polikarbonat, dll,
yang contoh aplikasinya seperti ember polietilen, cangkir polistiren, tali nilon, dll.
Contoh plastik termoset adalah fenol formaldehid, urea formaldehid, melamin
Formaldehid, termosetting poliester, dll, yang contoh aplikasinya seperti : switch
listrik, meja sermica, melamin Cutlery [12].
2.1.1 Pembuatan Plastik
Plastik dibuat dari monomer yang berulang dengan proses kimia yang
bervariasi, seperti [8] :
5
Universitas Sumatera Utara
Polimerisasi katalitik atau inisiasi peroksida dari monomer seperti etilena,
propilena, atau butadiena ditambah dengan stirena (kopolimer).
Polikondensasi dari monomer yang tidak sama seperti asam organik
bifungsional dan alkohol atau amina.
Poliadisi dari molekul monomer yang reaktif
Sebelum suatu monomer dikonversi menjadi suatu plastik, biasanya ditambah
dengan bahan – bahan aditif untuk meningkatkan kemudahan pemrosesan dan sifat
mekanis sesuai dengan fungsi dan pemakaian plastik tersebut (pemakaian luar
ruangan, terpapar sinar matahari, dll). Beberapa bahan aditif yang ditambahkan
biasanya adalah [8] :
Antioksidan (1%)
Stabilizer panas dan cahaya (5%)
Plastisizer (40%)
Penguat resistan terhadap impak (10%)
Pigmen atau pewarna (5%)
Ketahanan api (15%)
Pelumas atau Agent foaming (2%)
Bahan pengisi (40%)
Plastik dapat digolongkan dalam beberapa basis kriteria [8] :
Komposisi
kimia,
berhubungan
dengan
monomer
dan
metode
polimerisasi, plastik dapat digolongkan menjadi poliolefin, vinyl
polymers, styrenics, polyamides, polyesters, epoxy resins, polycarbonates,
polyurethanes, dll.
Struktur kimia, misalnya rantai linear (High Density Polyethylene), rantai
bercabang (Low Density Polyethylene), ikatan sambung silang (Termosers,
karet).
Kekakuan, elastis, fleksibel, atau rigid / keras / kaku.
Tipe pengaplikasian, pemakaian umum atau pemakaian khusus.
Metode pemrosesan, injection molding, extrusion, film blowing, blow
molding, thermforming, casting, calendaring, dan sebagainya
Pengetahuan sifat termal dari berbagai jenis plastik sangat berguna untuk
proses pembuatan serta daur ulang plastik. Sifat-sifat termal yang penting adalah
6
Universitas Sumatera Utara
titik lebur (Tm), temperatur transisi (Tg) dan temperatur dekomposisi. Temperatur
transisi adalah temperatur ketika plastik mengalami perengganan struktur sehingga
terjadi perubahan dari kondisi kaku menjadi lebih fleksibel. Di atas titik lebur,
plastik mengalami pembesaran volume sehingga molekul bergerak lebih bebas
yang ditandai dengan peningkatan kelenturannya. Temperatur lebur adalah
temperatur di mana plastik mulai melunak dan berubah menjadi cair. Temperatur
dekomposisi merupakan batasan dari proses pencairan. Jika suhu dinaikkan di atas
temperatur lebur, plastik akan mudah mengalir dan struktur akan mengalami
dekomposisi. Dekomposisi terjadi karena energi termal melampaui energi yang
mengikat rantai molekul. Secara umum polimer akan mengalami dekomposisi pada
suhu di atas 1,5 kali dari temperatur transisinya. Data sifat termal yang penting pada
proses daur ulang plastik bisa dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Data Temperatur Transisi dan Temperatur Lebur Plastik [13]
Jenis Bahan
Tm (°C)
Tg (°C )
PP
HDPE
LDPE
PA
PET
ABS
PS
PMMA
PC
PVC
168
134
330
260
250
-
5
-110
-115
50
70
110
90
100
150
90
Temperatur Kerja
Maks (°C)
80
82
260
100
100
85
70
85
246
71
2.1.2 Daur Ulang Plastik
Produksi plastik pada tahun 2012 tercatat sebanyak 57 juta ton di Eropa dan
288 juta ton diseluruh dunia [14]. Di Indonesia, konsumsi plastik sudah meningkat
seiring dengan perkembangan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Pada tahun
2011, Indonesia telah mengkonsumsi plastik 10 kg per kapita per tahun [4].
Bagaimanapun pengkonsumsian plastik dalam jumlah besar akan memicu
permasalahan lingkungan karena sifat plastik yang tidak dapat terurai secara alami
[2]. Tabel 2.2 menunjukkan penggunaan atau konsumsi plastik di beberapa negara
di dunia.
7
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Konsumsi Plastik Per kapita Beberapa Negara di Dunia [12]
Negara
India (1998)
India (2000)
Vietnam
China
Indonesia
Mexico
Thailand
Malaysia
Eropa Barat
Jepang
Amerika Utara
Konsumsi Per kapita dalam kg
1,6
4,0
1,5
6,0
8,0
13,0
18,0
22,0
60,0
70,0
78,0
Beberapa jenis plastik dapat didaur ulang. Hal ini dapat dilihat dari simbol
yang terdapat pada produk plastik. Tabel 2.3 menunjukkan berbagai jenis limbah
plastik dengan tanda standar daur ulangnya agar dapat diidentifikasi dengan mudah
pada pengaplikasiannya.
Tabel 2.3 Jenis-jenis Limbah Plastik dan Tanda Daur Ulang [15]
Lambang
Daur Ulang
Singkatan
Deskripsi
PET
Polietilen tereftalat
Aplikasi : Botol Minuman
HDPE
High-Density Polyethylene
Aplikasi : Susu, deterjen & minyak
botol, mainan, wadah penggunaan
luar, komponen dan kantong plastik
Ya
V/PVC
Vinyl / Polyvinyl khlorida
Aplikasi : Pembungkus makanan,
sayuran botol minyak, blister paket
atau otomotif bagian.
Ya
LDPE
Low Density Polyethylene,
Aplikasi : kantong plastik, tas
pakaian, plastik kemasan.
PP
Polipropilena.
Aplikasi : kemasan berpendingin,
beberapa kantong, sebagian atas
botol, beberapa karpet, dan
beberapa bungkus makanan
Ya
Ya
Ya
8
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 Jenis-jenis Limbah Plastik dan Tanda Daur Ulang [15] (Lanjutan)
Lambang
Daur Ulang
Singkatan
Deskripsi
Ya,
tapi
PS
tidak umum
Polistirena
Aplikasi : pengepakan
pelindung packing.
Beberapa
Polimer lainnya.
Biasanya yang
campuran
daging,
berlapis
atau
Pada daur ulang plastik dengan metode pirolisis, poliolefin (PE, PP, PS)
memberikan hasil distilat terbaik karena memiliki rantai lurus dari struktur
hidrokarbon. Polietilen dan polipropilen merupakan bahan yang paling bagus untuk
dijadikan bahan bakar sedangkan polietilen tereftalat yang paling tidak cocok
seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Pemilihan Plastik [16]
Jenis Polimer
Kecocokan Sistem Bahan Bakar
Polietilen (PE)
Polipropilen (PP)
Polistiren (PS)
Sangat Baik
Sangat Baik
Sangat Baik (Menghasilkan Minyak yang
baik)
Resin ABS (ABS)
Polyvinylclorida (PVC)
Poliuretan (PUR)
Polietilen Tereftalat (PET)
Baik
Tidak cocok, harus dihindari
Tidak cocok, harus dihindari
Tidak cocok, harus dihindari
2.1.3 Plastik Jenis Propilena (PP)
Propilena, salah satu komponen utama penyusun limbah plastik di dunia,
yang mana digunakan secara luas pada industri dan rumah tangga [17].
Polipropilena dibuat dari polimerisasi propilen dengan menggunakan katalis.
Propilena adalah material termoplastik dengan kristalinitas tinggi, densitas rendah,
kekakuan yang rendah, dan ketahanan terhadap bahan kimia yang baik, tidak
menyerap air, dan ketahanan impak yang baik [11]. Beberapa sifat umum
polipropilena dapat dilihat di Tabel 2.5.
9
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.5 Sifat Umum Polipropilena [11]
Densitas (mg/m3)
Modulus tarikan (GPa)
Kekuatan tarik (MPa)
Elongation at break (%)
Heat deflection temperature at 0,45 Mpa (°C)
Heat deflection temperature at 1,81 Mpa (°C)
Ekspansi linear termal (mm/mm K)
Kekerasan (Shore)
Resistivitas volume (Ω.cm)
Linear mold shrinkage (in./in.)
0,09 – 0,93
1,8
37
10 – 60
100 – 105
60 – 65
3,8 x 10-5
D76
1,0 x 1017
0,01 – 0,02
Penggunaan polipropilen kebanyakan pada kemasan minuman, komponen
otomotif, perlengkapan rumah tangga, dan mainan. Polipropilen dapat diekstrusi
menjadi bentuk serat atau kawat untuk penggunaan pengikat pada karpet [11].
Limbah plastik yang terbuat dari polipropilen (PP) mengandung 85% karbon dan
sisanya adalah hidrogen, hal ini membuat material ini sangat cocok untuk didaur
ulang menjadi produk hidrokarbon yang berguna seperti bahan bakar. Polipropilen
(PP) membutuhkan energi aktivasi yang lebih rendah untuk memecah ikatan C – H
daripada polietilen (PE) karna rantai karbon polimer PP terdiri dari atom karbon
tersier yang kurang tahan terhadap degradasi [18]
2.2
SILIKA
Silika adalah hasil polimerisasi asam silikat, yang mana dapat berstruktur
kristalin maupun amorf. Silika tersusun dari rantai satuan SiO4 tetrahedral dengan
formula umum SiO2. Senyawa silika yang terdapat dialam dapat ditemukan di
beberapa bahan alam seperti pasir, kuarsa, gelas, dan sebagainya. Silika yang
terdapat dialam mempunyai struktur kristalin, sedangkan silika sintetis berstruktur
amorf. secara sintetis senyawa silika dapat dibuat dari larutan silikat atau dari
pereaksi silan [19]. Silika yang terakumulasi didalam makhluk hidup, baik hewan
atau tumbuhan memiliki bentuk amorf, berbeda dengan silika yang tidak berasal
dari makhluk hidup seperti batuan dan debu yang memiliki struktur silika kristalin
[20].
Silika menyumbang sekitar 60% berat dari kerak bumi, dengan tidak
berikatan maupun berikatan dengan oksida lain pada silikat. Silika amorf biasanya
digunakan sebagai pengering, adsorben, agen penguat, bahan pengisi, dan
10
Universitas Sumatera Utara
komponen katalis. Silika juga dapat digunakan sebagai kristal piezoelectric, elemen
optical, dan bahan pecah belah. Silika adalah material dasar bahan – bahan gelas,
keramik, dan industri bahan – bahan tahan api [21].
2.2.1 Silika Kristalin
Silika kristalin memiliki banyak bentuk, bergantung dari orientasi dan posisi
dari tetrahedron yang dibentuk meskipun memiliki struktur kimia yang sama. Tiga
bentuk umum silika kristalin adalah kuarsa, tridimit, dan kristobalit. Pada tekanan
atmosferik siika kuarsa terbentuk pada temperatur 870 °C, tridimit terbentuk pada
temperatur 870 – 1470 °C, sementara kristobalit terbentuk pada 1470 °C. Struktur
dari silika bergantung pada temperatur dan tekanan terbentuknya atau pada kasus
tertentu kecepatan pendinginan sehingga padatan silika membentuk struktur yang
berbeda.
Gambar 2.1 Struktur Kristalin dari Sebuah Kristal Silika Tunggal [20]
Struktur sederhana dari silika kristalin dapat dilihat pada Gambar 2.1. Si
adalah kristal berbentuk diamond yang terdiri dari empat atom yang diposisikan
pada sudut bangun tetrahedron, yang berikatan secara kovalen dengan Si yang
berada di pusat [20].
2.2.2 Silika Amorf
Silika non kristalin atau amorf memiliki susunan atom dan molekul berbentuk
pola acak dan tidak beraturan seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.2.
11
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Sketsa Skema Susunan Atom dalam (a) Padatan Kristalin, (b)
Padatan Amorf, dan (c) Gas [20]
Baik silika kristalin maupun non kristalin banyak ditemukan dialam seperti
di tanah, batu – batuan, dan pasir. Kedua bentuk silika ini banyak dimanfaatkan
dalam indutri kaca, bangunan, dan elektronik. Silika amorf biasanya terdapat dalam
makhluk hidup seperti diatom, radiolarian, silicoflagellata, dan beberapa sponges.
Silika non kristalin atau amorf memiliki susunan atom dan molekul berbentuk pola
acak dan tidak beraturan. Akibat pola acak dan tidak beraturan tersebut, silika amorf
memiliki struktur spherikal yang rumit. Struktur rumit tersebut menyebabkan luas
permukaan yang tinggi, biasanya diatas 3m 2/g [21].
Silika amorf dalam berbagai kondisi dianggap lebih reaktif dibandingkan
silika kristalin. Tingkat kereaktifan dari silika amorf disebabkan karena adanya
gugus hidroksil (silanol) yang didapat setelah pemanasan mencapai temperatur
400°C. Gugus silanol (-SiOH) ini dapat ditemukan diatas permukaan dari sampel
silika yang menyebabkan terbentuknya daerah yang reaktif.
Silika amorf dapat dibuat menjadi berbagai macam produk komersil.
Berbagai cara memproduksinya dan cara partikelnya membentuk agregat, silika
amorf dapat dibuat menjadi silika sol, silika gel, silika endapan, dan silika
pirogenik. Silika amorf telah diklasifikasi sebagai material tidak beracun [20].
2.2.3 Sifat – Sifat Reaksi Silika
Pada temperatur kamar, silika secara kimia tahan terhadap reagen – reagen
umum. Silika amorf mempunyai reaktivitas yang lebih tinggi dibandingkan silika
kristalin. Reaktivitas yang tinggi dari luas permukaan yang tinggi diakibatkan oleh
keberadaan gugus hidroksil (silanol). Silika tidak bereaksi dengan kebanyakan
senyawa asam, kecuali asam klorida, yang mana akan membentuk anion
florosilikat, SiF-26. Silika akan tereduksi menjadi silikon pada 1300 °C – 1400 °C
12
Universitas Sumatera Utara
oleh hidrogen, karbon, dan beberapa elemen metal. Gas silikon monoksida juga
terbentuk pada tekanan > 40 Mpa (400 atm) [21]. Tabel 2.6 menunjukkan produk
yang terbentuk apabila silika bereaksi dengan komponen halogen.
Tabel 2.6 Reaksi Komponen Halogen dan Silika [21]
Komponen Halogen
HF
FNO
SeOF2
BrF3
BF3
CF3CF3
Produk
SiF4
SiF4, N2O3
SiF4, SeO2
SiF4, O2, Br2
SiF4 (BOF)3 ,SiF4, Siklo (SiOF2),
B2OF4
SiF4, CO, CO2
2.2.4 Silika Gel
Silika gel adalah senyawa silika sintetis yang berstruktur amorf. Silika gel
merupakan bahan kimia berbentuk padatan yang banyak dimanfaatkan sebagai
adsorben. Hal ini disebabkan oleh mudahnya produksi dan juga mempunyai
beberapa kelebihan yang lain yaitu, sangat bersifat inert, hidrofilik, mempunyai
kestabilan termal dan mekanik yang tinggi, serta relatif tidak mengembang dalam
pelarut organik jika dibandingkan dengan padatan resin polimer organik. Silika gel
merupakan silika amorf yang terdiri atas globula – globula SiO4 tetrahedral yang
tersusun secara tidak teratur dan beragregasi membentuk kerangka tiga dimensi
yang lebih besar. Rumus kimia silika gel secara umum adalah SiO2.xH2O. Struktur
satuan mineral silika pada dasarnya mengandung kation Si 4+ yng terkoordinasi
secara tetrahedral dengan anion O-2. Namun demikian, struktur dan susunan
tetrahedral SiO4 pada silika gel tidak beraturan seperti yang terlihat pada gambar
2.3 [19].
Gambar 2.3 Struktur Senyawa Silika Gel [19]
13
Universitas Sumatera Utara
Sifat silika gel ditentukan oleh orientasi dari ujung tempat gugus hidroksil
berkombinasi. Oleh karena ketidak-teraturan susunan permukaan SiO4 tetrahedral,
maka jumlah distribusinya per unit area bukan menjadi ukuran kemampuan
adsorpsi silika gel, meskipun gugus silanol dan siloksan terdapat pada permukaan
silika gel. Kemampuan adsorpsi ternyata tidak sebanding dengan jumlah gugus
silanol dan gugus siloksan yang ada pada permukaan silika gel, tetapi tergantung
pada distribusi gugus OH per unit area adsorben.
Pada permukaan silika gel terdapat dua jenis gugus, yaitu gugus silanol dan
gugus siloksan. Gugus siloksan ada dua macam, yaitu Si-O-Si rantai lurus dan
gugus siloksan yang membentuk struktur lingkar dengan empat anggota. Jenis yang
pertama tidak reaktif dengan pereaksi pada umumnya, tetapi sangat reaktif terhadap
senyawa logam alkali. Jenis gugus siloksan yang membentuk lingkar dengan empat
anggota mempunyai reaktivitas yang tinggi, dapat mengadakan kemisorpsi dengan
air, amoniak dan metanol. Reaksi dengan air akan menghasilkan dua gugus Si-OH,
reaksi dengan amoniak akan menghasilkan gugus Si-NH2 dan silanol , sedangkan
reaksi dengan metanol akan menghasilkan gugus silanol dan Si–O-CH3. Ada
beberapa jenis gugus silanol, yaitu gugus silanol tunggal terisolasi, gugus silanol
yang berdekatan satu sama lain dan dua gugus silanol yang terikat pada satu atom
Si [19].
2.3
PROSES PIROLISIS
Pirolisis, dapat disebut juga sebagai termolisis, adalah suatu proses
dekomposisi secara kimia maupun termal, pada umumnya terdegradasi menjadi
molekul yang lebih kecil [8]. Metode konvensional untuk mengolah limbah plastik,
seperti landfill dan insinerasi, tidak dapat digunakan dalam jangka panjang karena
dapat menyebabkan polusi udara, penyebaran racun, terkontaminasinya air tanah,
dan kerusakan tanah. Pirolisis adalah metode yang dapat dipertimbangkan dan
layak untuk dilakukan dengan mendegradasi material polimer tanpa penggunaan
oksigen [8,10]. Tujuan penghilangan udara adalah untuk alasan keamanan, kualitas
produk, dan yield [8]. Berdasarkan variasi suhu, maka pirolisis dapat dibagi menjadi
tiga, rendah ( < 400 °C), sedang ( 400 – 600 °C) atau tinggi ( >600 °C) [8]. Hasil
dari proses pirolisis dapat dibagi menjadi fraksi cair, fraksi gas, dan residu padatan
14
Universitas Sumatera Utara
[4]. Pirolisis merupakan suatu alternatif untuk memperoleh energi dari limbah
plastik. Hal ini menggunakan prinsip dimana kebanyakan substansi organik secara
termal tidak stabil sehingga rantainya dapat pecah pada keadaan bebas oksigen [7].
Oleh karena itu, konversi limbah plastik menjadi bahan bakar memiliki
beberapa keuntungan, yaitu [2] :
1. Membentuk siklus pemakaian energi tidak terbarukan.
2. Dapat menjadi sumber petrokimia alternatif untuk menurunkan
pembelian atau pemakaian energi tidak terbarukan.
3. Solusi alternatif yang efektif untuk mengurangi limbah plastik yang
berakibat
tercegahnya
pencemaran
lingkungan
yang
biasanya
ditimbulkan oleh cara pengolahan insinerasi dan landfill.
2.3.1 Thermal Cracking / Thermal Degradation
Degradasi secara termal adalah suatu proses sederhana dimana pada
temperatur tinggi polimer mencair dan pecah menjadi molekul yang lebih kecil.
Akan tetapi produk yang dihasilkan berkualitas rendah [8]. Thermal cracking pada
hal ini adalah dalam artian tidak menggunakan katalis. Thermal cracking dari
polietilena dan polipropilena biasanya dilakukan pada temperatur tinggi (>700 °C),
untuk memproduksi campuran olefin (C1 – C4) dan kompenen aromatis (terutama
benzen, toluen, dan xylen) atau pada temperatur rendah (400 – 500 °C) dimana tiga
fraksi dihasilkan yaitu gas bernilai kalor tinggi, minyak hidrokarbon terkondensasi,
dan lilin (waxes). Cracking pada suhu rendah menghasilkan produk yang agak keras
(waxy) didalam reaktor yang mana terdiri dari parafin dengan char karbon. Fraksi
cair mempunyai komponen utama olefin linear dan parafin C 11 – C14 atom karbon.
Thermal Cracking dari poliolefin berlangsung melalui mekanisme pemotongan
acak pada empat langkah: inisiasi, propagasi, inter- atau intra- molekular transfer
hidrogen diikuti dengan pemotongan – β dan terminasi. Secara umum, thermal
cracking menggunakan energi dalam jumlah besar [22].
2.3.2 Catalytic Cracking
Penambahan katalis pada proses pirolisis mempunyai banyak keuntungan.
Penambahan katalis akan memperbaiki kualitas dari bahan bakar yang dihasilkan.
15
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan katalis pada metode cracking akan menghasilkan reaksi pada suhu
yang lebih rendah, sehingga akan menurunkan jumlah penggunaan energi [22].
Penambahan katalis juga bertujuan untuk meningkatkan yield produk cair dan
memperbaiki kualitas minyak [17]. Aguado et al [23] melaporkan bahwa catalytic
degradation mampu memecah rantai dalam waktu yang lebih singkat dan distribusi
produk yang lebih baik dibadingkan dengan pemecahan secara termal. Pemecahan
dengan katalis menghasilkan laju degradasi yang tinggi sehingga produk cair akan
lebih banyak terbentuk. Dengan demikian apabila waktu reaksi singkat, dimana
pemecahan termal akan membentuk banyak produk berviskositas tinggi seperti wax
daripada pemecahan dengan katalis karena laju degradasinya yang rendah [24].
Tabel 2.7 dan Gambar 2.4 menunjukkan perbandingan yield antara pemecahan
tanpa katalis dan dengan menggunakan katalis.
Yield Produk Bahan Bakar Cair (wt%)
Tabel 2.7 Perbandingan Yield Gas, Cairan, dan Residu dari Pemecahan Secara
Termal dan Katalitik dari Limbah HDPE pada 430 °C [24]
Gas (%)
Cairan (%)
Residu (%)
Thermal Degradation
20,0
75,7
4,5
Catalytic Degradation
19,4
79,7
0,9
Keterangan :
Catalytic Degradation
Thermal Degradation
430 °C
400 °C
Waktu Reaksi (menit)
Gambar 2.4 Perbandingan Yield Produk Cair yang Didapat dari Pemecahan
Plastik HDPE Secara Termal dan dengan Katalis FCC [19]
16
Universitas Sumatera Utara
Ada dua jenis katalis, yaitu katalis homogen dan katalis heterogen. Katalis
homogen digunakan untuk degradasi poliolefin kebanyakan asam lewis seperti
AlCl3, metal tetrakloroaluminat, dan katalis baru berbasis cairan organik ionik [8].
Beberapa variasi katalis hidrogen telah diuji pada catalytic cracking dari
poliolefin dan polistirena, yang dapat digolongkan sebagai berikut :
Padatan asam konvensional : zeolit, silika alumina, katalis FCC
Farah et al [10] meneliti penggunaan beberapa jenis katalis (NaOH,
HUSY, dan Hbeta Zeolite) untuk mendegradasi limbah botol HDPE.
Penggunaan padatan asam dapat memperpendek panjang rantai karbon
dari parafin menjadi C10 – C28, dan mengubah komposisi produk.
Diperoleh dari hasil penelitian bahwa katalis Zeolit Hbeta menghasilkan
cairan yang paling banyak dengan rantai karbon yang paling pendek C 11 –
C29. Dalam penelitian ini juga dapat disimpulkan penggunaan reaktor
berunggun dapat meningkatkan efektivitas produksi bahan bakar tanpa
pengunaan katalis yang mahal. Gonzales et al [7] meneliti tentang
pengaruh penggunaan beberapa jenis katalis pada degradasi katalitik
polietilen. Perbedaan jenis katalis mempengaruhi suhu yang diperlukan
untuk didapatkan konversi maksimum. Penggunaan katalis silika gel
mencapai konversi maksimum pada suhu 450 °C, 5A molecular sieve pada
suhu 700 °C, dan karbon aktif pada suhu 450 °C. Komposisi fraksi yang
dihasilkan juga berbeda pada setiap jenis katalis. Fraksi gas yang
didapatkan pada pemecahan dengan silika gel mempunyai komposisi
metana tertinggi yaitu 34 %. Jerry et al [25] meneliti konversi limbah
polietilen dan polistiren menjadi bahan bakar dengan memvariasikan
beberapa katalis seperti zeolit dan Fluid Cracking Catalyst (FCC).
Didapatkan suhu optimum pada pengunaan katalis jenis FCC pada 410 –
430 °C dengan konversi fraksi gas dan bahan bakar sebesar 90 %.
Katalis mesostruktur : MCM-41, FSM-16, Al-SBA-15
Aguado et al [26] meneliti tentang konversi katalitik poliolefin jenis LDPE
dan HDPE menjadi bahan bakar cair dengan menggunakan katalis MCM41 dan zeolit. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa MCM-41
menghasilkan produk cairan lebih banyak dengan titik didih bensin C5 –
17
Universitas Sumatera Utara
C12 dan C3 – C22. MCM-41 mempunyai luas permukaan yang besar
walaupun punya keasaman yang lebih rendah daripada zeolit.
2.3.3 Mekanisme Catalytic Cracking
Mekanisme perengkahan senyawa rantai panjang seperti alkana pada
permukaan katalis asam berlangsung melalui mekanisme pembentukan ion
karbonium [27,28], sedangkan reaksi perengkahan tanpa menggunakan katalis akan
melalui mekanisme pembentukan radikal bebas [28]. Katalis silika akan
mendonorkan H+ pada rantai hidrokarbon sehingga karbon memiliki muatan positif
(karbokation). Kemudian atom karbon yang bermuatan positif akan memutuskan
ikatan dengan atom lainnya [27,28]. Seperti dapat dilihat pada Gambar 2.5 [28].
Gambar 2.5 Tahap Pembentukan Ion Karbonium / Karbokation [28]
Kemudian katalis yang telah berikatan dengan hidrokarbon akan berikatan
dengan hidrokarbon lainnya dari reaktan seperti pada Gambar 2.6 [28].
Gambar 2.6 Tahap Interaksi Ion Karbonium dengan Reaktan [28]
Terjadi peristiwa pemutusan beta pada rantai hidrokarbon yang telah
berikatan dengan katalis. Sehingga menghasilan rantai hidrokarbon yang lebih
pendek seperti pada Gambar 2.7 [28].
18
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.7 Tahap Penataan Ion Karbonium Melalui Pemutusan Beta [28]
Kemudian katalis akan terbentuk kembali dengan memutuskan ikatan pada
ion karbonium seperti pada Gambar 2.8 [28].
Gambar 2.8 Tahap Pembentukan Katalis Kembali [28]
2.3.4 Hydro Cracking
Hydro cracking adalah proses cracking dengan mereaksikan plastik dengan
hidrogen di dalam wadah tertutup yang dilengkapi dengan pengaduk pada
temperatur antara 423 – 673 K dan tekanan hidrogen 3 – 10 MPa. Dalam proses
hydrocracking ini dibantu dengan katalis. Untuk membantu pencapuran dan reaksi
biasanya digunakan bahan pelarut 1-methil naphtalene, tetralin dan decalin.
Beberapa katalis yang sudah diteliti antara lain alumina, amorphous silica alumina,
zeolite dan sulphate zirconia [29]. Hydro Cracking sampah polimer biasanya
melibatkan reaksi dengan hidrogen katalis yang berlebih dalam autoclave batch
yang diaduk pada suhu sedang dan tekanan (biasanya 423-673 K dan 3-10 MPa
hidrogen). Pekerjaan tersebut bertujuan untuk memperoleh kualitas bensin tinggi
mulai dari berbagai feed. Feed seperti polietilena, polietilen tereftalat polistiren,
polyvinil Klorida dan polimer campuran, polimer limbah dari sampah kota dan
sumber-sumber lain telah dievaluasi dan termasuk logam transisi (misalnya, Pt, Ni,
Mo, Fe) didukung oleh padatan asam (seperti alumina, amorf silika-alumina, zeolit
dan zirkonia sulfat). Katalis ini menggabungkan kedua kegiatan hidrogenasi dan
cracking [26].
19
Universitas Sumatera Utara
2.4
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES PIROLISIS
Aktivitas dan selektivitas katalis bergantung pada beberapa variabel yaitu,
temperatur, jumlah katalis, jenis katalis, waktu proses, jenis plastik, dan komposisi
plastik.
2.4.1 Temperatur
Temperatur adalah variabel yang paling penting yang mempengaruhi proses
cracking plastik. Temperatur reaksi biasanya berkisar pada 300 – 450 °C. Secara
umum, kenaikan temperatur membuat peningkatan aktivitas katalis. Namun
demikian, harus diperhitungkan bahwa pada suhu tinggi terjadinya reaksi dapat
mengubah selektivitas produk [8]. Gambar 2.9 menunjukkan grafik pengaruh suhu
Yield Gas dan Distilat (%)
dengan yield gas dan distilat yang dihasilkan [25].
Suhu (°C)
Gambar 2.9 Pengaruh Temperatur dalam Pemecahan Termal Polietilen
[25]
Walendziewski dan Steiniger [25] melaporkan hasil pemecahan termal dan
pemecahan dengan katalis pada rentang temperatur 370 – 450 °C. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa peningkatan temperatur reaksi akan meningkatkan produk gas
dan cair, dan juga akan mengurangi hasil residu.
Achyut et al [17] mengamati pemecahan termal polipropilen dengan katalis
kaolin dan silika alumina pada reaktor semi batch pada rentang temperatur 400 –
550 °C untuk mendapatkan bahan bakar cair. Achyut et al [17] mendapatkan bahwa
20
Universitas Sumatera Utara
reaksi pada suhu 450 °C menghasilkan produk utama minyak cair dan pada
temperatur yang lebih tinggi (475 – 550 °C) menghasilkan produk utama minyak
cair kental dan wax.
Sharatt et al [30] mengamati bahwa, pada cracking HDPE dengan katalis
zeolit HZSM-5 pada reaktor fluidized bed pada suhu 290 – 430 °C. Kenaikan
temperatur menyebabkan peningkatan hasil hidrokarbon ringan. Namun kenaikan
suhu reaksi juga mengakibatkan penurunan hasil fraksi gas.
2.4.2 Jumlah katalis
Jumlah katalis dan rasio katalis terhadap bahan baku mempengaruhi hasil
proses pemecahan seperti konversi proses. Sharatt et al [30] mengamati pemecahan
HDPE dengan zeolite HZSM-5 dan memvariasikan rasio massa katalis dengan
polimer mulai dari 1 : 10 hingga 1 : 1 pada 360 °C. Konversi yang didapat selalu
diatas 90 %. Perbedaan yang terlihat adalah pada distribusi produk. Peningkatan
rasio katalis dengan polimer akan menghasilkan jumlah C 3 – C4 yang lebih banyak.
Gonzales et al [7] rasio katalis/PE pada semua percobaan yaitu 01:10 berat (1,0 g
katalis untuk 10,0 g PE limbah). percobaan sebelumnya dan data yang diperoleh
oleh penulis lain menunjukkan rasio ini menjadi optimal dalam penggunaan katalis
untuk konversi tertinggi. rasio 0,1 : 10 dan 0,3 : 10 juga diuji, yang pertama tidak
memadai (konversi lebih rendah dari 5%) dan yang kedua yang dilakukan untuk
nilai yang sama dari konversi PE.
2.4.3 Waktu
Perubahan kinerja katalis dengan waktu secara langsung berhubungan dengan
kinetika penonaktifan katalis tersebut. Gonzales et al [7] waktu degradasi di
tetapkan pada 2 jam. Kali ini terpilih menurut penelitian sebelumnya yang
dilakukan
percobaan
sebelumnya
telah
dilakukan
selama
ini,
untuk
membandingkan hasil dengan yang diperoleh dengan konversi yang sama pada
waktu degradasi yang lebih tinggi dan degradasi yang tidak lengkap pada waktu
degradasi yang lebih rendah.
21
Universitas Sumatera Utara
2.4.4 Jenis dan Komposisi Plastik
Komposisi limbah plastik mempunyai pengaruh yang besar pada kemampuan
katalis. Bagaimanapun, katalis akan menghasilkan konversi yang tinggi pada reaksi
pemecahan yang menggunakan polimer murni atau satu jenis polimer saja. Akan
tetapi dapat kehilangan aktivitasnya apa bila bahan baku adalah limbah plastik yang
bercampur (tidak satu jenis) [8]. Jenis plastik bahan baku juga mempengaruhi
distribusi produk seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.10.
Yield (%)
Cairan
Padatan
Gas
Jenis Plastik
Gambar 2.10 Yield Cairan, Padatan, dan Gas dari Pemecahan dengan Katalis FCC
[8]
Pada jenis termoplastik pada umumnya, hasil produk cairan adalah 80 % atau
lebih, dimana PS > PP > PE. Plastik dengan struktur polisiklik mempunyai hasil
cairan dan padatan yang lebih banyak dibandingkan plastik yang mempunyai
struktur poliolefin.
2.5
PARAMETER KUALITAS BAHAN BAKAR
Beberapa parameter penting untuk sebuah bahan bakar cair yang mana dapat
mempengaruhi karateristik dan peforma pembakaran maupun penanganan bahan
bakar cair tersebut, beberapa diantaranya adalah densitas, viskositas, dan nilai kalor
(Heating Value). Tabel 2.8 menunjukkan beberapa persyaratan suatu bahan bakar
yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia :
22
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.8 Kualitas Bahan Bakar Diesel Komersil yang Diizinkan
Pemerintah Indonesia [4]
Diesel 51
Parameter
Unit
Diesel 48 (Solar)
(Pertamina Dex)
Cetane Number
48
51
Densitas
g/cm3
0,815 – 0,870
0,820 – 0,860
Viskositas Kinematis
cSt
2,0 – 5,0
2,0 – 4,5
Flash Point
°C
Min 60
Min 55
Pour Point
°C
Min 18
Maks 18
Water Content
Mg/kg
Maks 500
Maks 500
Sulfur Content
%wt
Maks 0,35
Maks 0,05
Ash Content
%wt
Maks 0,01
Maks 0,01
2.5.1 Densitas
Densitas dari bahan bakar sering ditampilkan dalam istilah API gravity, skala
yang ditetapkan oleh American Petroleum Institute (API) dan National Bureau of
Standards. API gravity berkebalikan dengan spesifik gravity (rasio antara densitas
bahan bakar pada 60 °F dengan densitas air pada 60 °F), berdasarkan persamaan
seperti berikut :
°API = (141,5/spgr 60°F/60°F) – 131,5
(2.1)
API gravity dapat diukur dengan menggunakan standard ASTM D287 atau
D1298. Secara umum, API gravity dari bahan bakar cair dapat berhubungan secara
kualitatif dengan kualitas lainnya seperti [31] :
Semakin tinggi API gravity maka semakin rendah viskositas dan residu
karbon.
Semakin tinggi API gravity maka rasio C/H semakin rendah.
Semakin tinggi API gravity maka semakin rendah nilai kalor volumetrik
(Btu/gal) dan semakin tinggi nilai kalor gravimetrik (Btu/lb).
Semakin tinggi API gravity maka kecepatan pembakaran semakin tinggi dan
nyala api semakin singkat.
2.5.2 Viskositas
Viskositas dari bahan bakar cair menunjukkan ketahanan zat tersebut untuk
mengalir. Viskositas adalah salah satu parameter yang sangat penting yang
mempengaruhi penanganan, pemanasan, pemompaan, dan pembakaran (termasuk
pemilihan jenis burner yang digunakan). Istilah yang paling umum digunakan
23
Universitas Sumatera Utara
adalah viskositas kinematis, yang mana dapat ditentukan dengan metode ASTM D
445 [31].
Pada minyak dengan fraksi yang berat akan memiliki viskositas yang tinggi,
sehingga pada penggunaan saat musim dingin pemompaan akan sulit dilakukan.
Viskositas yang tinggi pada bahan bakar cair dapat menyebabkan beberapa masalah
sebagai berikut [31] :
Sulitnya pemompaan dari tangki penyimpanan menuju burner, terdapat
loss pada pump suction.
Aliran minyak yang tidak cukup akan menyebabkan masalah pada sistem
starter dan pembakaran yang tidak menentu.
Atomisasi yang tidak bagus akan menyebabkan pembakaran yang tidak
efisien
Viskositas yang rendah juga dapat menyebabkan beberapa masalah sebagai
berikut [31]:
Terlalu banyak minyak yang terpompakan pada burner dapat
menyebabkan pembakaran yang tidak sempurna, menghasilkan asap,
karbonisasi (pembentukan kerak karbon) pada mesin, dan pembentukan
jelaga di ruang bakar.
Pembentukan panas yang sedikit karena pada minyak dengan viskositas
minyak yang rendah memiliki heating value yang rendah.
2.5.3 Nilai Kalor / Heating Value
Nilai kalor secara umum didefinisikan sebagai jumlah panas yang dilepaskan
melalui pembakaran per satuan kuantitas bahan bakar. Bergantung pada spesifik
gravity dan komposisi bahan bakar cair, total nilai kalor berkisar antara 130.000
sampai 160.000 Btu/gal (36.400 – 44.800 kJ/liter). Bahan bakar dengan API gravity
lebih rendah dapat menghasilkan panas yang lebih banyak walaupun tetap
dipengaruhi parameter kualitas lainnya seperti viskositas, pour point, dan residu
karbon [31].
24
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
PLASTIK
Produksi utama pembuatan plastik selama ini berbasis bahan baku turunan
minyak bumi [9]. Plastik adalah bahan sintestis atau alami yang terdiri dari rantai
panjang dengan komponen utama C atau karbon [8]. Ikatan ini sangat kuat sehingga
material plastik cocok untuk digunakan dalam berbagai aplikasi [2].
Plastik merupakan bahan yang murah, tahan lama, serbaguna, dan sangat
disukai sebagai material bahan baku pembuatan produk. Plastik mempunyai bobot
ringan, kuat, tahan bahan kimia, dan mudah dalam pemasaran. Komoditas plastik
terbesar didunia adalah polipropilen, diikuti oleh PVC dan HDPE [10]. Plastik
dapat dibagi dalam dua klasifikasi, yaitu material termoplastik dan material
termoset. Proses pembentukan plastik diakhiri oleh reaksi curing, yaitu reaksi
ikatan sambung silang (cross – linking) yang irreversible dari polimer. Perbedaan
termoplastik dimana termoplastik dapat diproses dengan panas, ketika material
diberi panas, material termoplastik akan mencair dimana material tersebut dapat
dibentuk menjadi produk yang diinginkan. Setelah didinginkan material akan
mengeras dan mempertahankan bentuknya. Material termoplastik dapat diproses
ulang dengan pemanasan dan pembentukan atau pencetakan. Berbeda dengan
material termoset yang tidak dapat diproses dengan pemanasan berulang kali atau
dengan kata lain mempunyai bentuk yang permanen setelah pemrosesan [11].
Contoh plastik termoplastik adalah polietilen, polipropilen, nilon, polikarbonat, dll,
yang contoh aplikasinya seperti ember polietilen, cangkir polistiren, tali nilon, dll.
Contoh plastik termoset adalah fenol formaldehid, urea formaldehid, melamin
Formaldehid, termosetting poliester, dll, yang contoh aplikasinya seperti : switch
listrik, meja sermica, melamin Cutlery [12].
2.1.1 Pembuatan Plastik
Plastik dibuat dari monomer yang berulang dengan proses kimia yang
bervariasi, seperti [8] :
5
Universitas Sumatera Utara
Polimerisasi katalitik atau inisiasi peroksida dari monomer seperti etilena,
propilena, atau butadiena ditambah dengan stirena (kopolimer).
Polikondensasi dari monomer yang tidak sama seperti asam organik
bifungsional dan alkohol atau amina.
Poliadisi dari molekul monomer yang reaktif
Sebelum suatu monomer dikonversi menjadi suatu plastik, biasanya ditambah
dengan bahan – bahan aditif untuk meningkatkan kemudahan pemrosesan dan sifat
mekanis sesuai dengan fungsi dan pemakaian plastik tersebut (pemakaian luar
ruangan, terpapar sinar matahari, dll). Beberapa bahan aditif yang ditambahkan
biasanya adalah [8] :
Antioksidan (1%)
Stabilizer panas dan cahaya (5%)
Plastisizer (40%)
Penguat resistan terhadap impak (10%)
Pigmen atau pewarna (5%)
Ketahanan api (15%)
Pelumas atau Agent foaming (2%)
Bahan pengisi (40%)
Plastik dapat digolongkan dalam beberapa basis kriteria [8] :
Komposisi
kimia,
berhubungan
dengan
monomer
dan
metode
polimerisasi, plastik dapat digolongkan menjadi poliolefin, vinyl
polymers, styrenics, polyamides, polyesters, epoxy resins, polycarbonates,
polyurethanes, dll.
Struktur kimia, misalnya rantai linear (High Density Polyethylene), rantai
bercabang (Low Density Polyethylene), ikatan sambung silang (Termosers,
karet).
Kekakuan, elastis, fleksibel, atau rigid / keras / kaku.
Tipe pengaplikasian, pemakaian umum atau pemakaian khusus.
Metode pemrosesan, injection molding, extrusion, film blowing, blow
molding, thermforming, casting, calendaring, dan sebagainya
Pengetahuan sifat termal dari berbagai jenis plastik sangat berguna untuk
proses pembuatan serta daur ulang plastik. Sifat-sifat termal yang penting adalah
6
Universitas Sumatera Utara
titik lebur (Tm), temperatur transisi (Tg) dan temperatur dekomposisi. Temperatur
transisi adalah temperatur ketika plastik mengalami perengganan struktur sehingga
terjadi perubahan dari kondisi kaku menjadi lebih fleksibel. Di atas titik lebur,
plastik mengalami pembesaran volume sehingga molekul bergerak lebih bebas
yang ditandai dengan peningkatan kelenturannya. Temperatur lebur adalah
temperatur di mana plastik mulai melunak dan berubah menjadi cair. Temperatur
dekomposisi merupakan batasan dari proses pencairan. Jika suhu dinaikkan di atas
temperatur lebur, plastik akan mudah mengalir dan struktur akan mengalami
dekomposisi. Dekomposisi terjadi karena energi termal melampaui energi yang
mengikat rantai molekul. Secara umum polimer akan mengalami dekomposisi pada
suhu di atas 1,5 kali dari temperatur transisinya. Data sifat termal yang penting pada
proses daur ulang plastik bisa dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Data Temperatur Transisi dan Temperatur Lebur Plastik [13]
Jenis Bahan
Tm (°C)
Tg (°C )
PP
HDPE
LDPE
PA
PET
ABS
PS
PMMA
PC
PVC
168
134
330
260
250
-
5
-110
-115
50
70
110
90
100
150
90
Temperatur Kerja
Maks (°C)
80
82
260
100
100
85
70
85
246
71
2.1.2 Daur Ulang Plastik
Produksi plastik pada tahun 2012 tercatat sebanyak 57 juta ton di Eropa dan
288 juta ton diseluruh dunia [14]. Di Indonesia, konsumsi plastik sudah meningkat
seiring dengan perkembangan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Pada tahun
2011, Indonesia telah mengkonsumsi plastik 10 kg per kapita per tahun [4].
Bagaimanapun pengkonsumsian plastik dalam jumlah besar akan memicu
permasalahan lingkungan karena sifat plastik yang tidak dapat terurai secara alami
[2]. Tabel 2.2 menunjukkan penggunaan atau konsumsi plastik di beberapa negara
di dunia.
7
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Konsumsi Plastik Per kapita Beberapa Negara di Dunia [12]
Negara
India (1998)
India (2000)
Vietnam
China
Indonesia
Mexico
Thailand
Malaysia
Eropa Barat
Jepang
Amerika Utara
Konsumsi Per kapita dalam kg
1,6
4,0
1,5
6,0
8,0
13,0
18,0
22,0
60,0
70,0
78,0
Beberapa jenis plastik dapat didaur ulang. Hal ini dapat dilihat dari simbol
yang terdapat pada produk plastik. Tabel 2.3 menunjukkan berbagai jenis limbah
plastik dengan tanda standar daur ulangnya agar dapat diidentifikasi dengan mudah
pada pengaplikasiannya.
Tabel 2.3 Jenis-jenis Limbah Plastik dan Tanda Daur Ulang [15]
Lambang
Daur Ulang
Singkatan
Deskripsi
PET
Polietilen tereftalat
Aplikasi : Botol Minuman
HDPE
High-Density Polyethylene
Aplikasi : Susu, deterjen & minyak
botol, mainan, wadah penggunaan
luar, komponen dan kantong plastik
Ya
V/PVC
Vinyl / Polyvinyl khlorida
Aplikasi : Pembungkus makanan,
sayuran botol minyak, blister paket
atau otomotif bagian.
Ya
LDPE
Low Density Polyethylene,
Aplikasi : kantong plastik, tas
pakaian, plastik kemasan.
PP
Polipropilena.
Aplikasi : kemasan berpendingin,
beberapa kantong, sebagian atas
botol, beberapa karpet, dan
beberapa bungkus makanan
Ya
Ya
Ya
8
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 Jenis-jenis Limbah Plastik dan Tanda Daur Ulang [15] (Lanjutan)
Lambang
Daur Ulang
Singkatan
Deskripsi
Ya,
tapi
PS
tidak umum
Polistirena
Aplikasi : pengepakan
pelindung packing.
Beberapa
Polimer lainnya.
Biasanya yang
campuran
daging,
berlapis
atau
Pada daur ulang plastik dengan metode pirolisis, poliolefin (PE, PP, PS)
memberikan hasil distilat terbaik karena memiliki rantai lurus dari struktur
hidrokarbon. Polietilen dan polipropilen merupakan bahan yang paling bagus untuk
dijadikan bahan bakar sedangkan polietilen tereftalat yang paling tidak cocok
seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Pemilihan Plastik [16]
Jenis Polimer
Kecocokan Sistem Bahan Bakar
Polietilen (PE)
Polipropilen (PP)
Polistiren (PS)
Sangat Baik
Sangat Baik
Sangat Baik (Menghasilkan Minyak yang
baik)
Resin ABS (ABS)
Polyvinylclorida (PVC)
Poliuretan (PUR)
Polietilen Tereftalat (PET)
Baik
Tidak cocok, harus dihindari
Tidak cocok, harus dihindari
Tidak cocok, harus dihindari
2.1.3 Plastik Jenis Propilena (PP)
Propilena, salah satu komponen utama penyusun limbah plastik di dunia,
yang mana digunakan secara luas pada industri dan rumah tangga [17].
Polipropilena dibuat dari polimerisasi propilen dengan menggunakan katalis.
Propilena adalah material termoplastik dengan kristalinitas tinggi, densitas rendah,
kekakuan yang rendah, dan ketahanan terhadap bahan kimia yang baik, tidak
menyerap air, dan ketahanan impak yang baik [11]. Beberapa sifat umum
polipropilena dapat dilihat di Tabel 2.5.
9
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.5 Sifat Umum Polipropilena [11]
Densitas (mg/m3)
Modulus tarikan (GPa)
Kekuatan tarik (MPa)
Elongation at break (%)
Heat deflection temperature at 0,45 Mpa (°C)
Heat deflection temperature at 1,81 Mpa (°C)
Ekspansi linear termal (mm/mm K)
Kekerasan (Shore)
Resistivitas volume (Ω.cm)
Linear mold shrinkage (in./in.)
0,09 – 0,93
1,8
37
10 – 60
100 – 105
60 – 65
3,8 x 10-5
D76
1,0 x 1017
0,01 – 0,02
Penggunaan polipropilen kebanyakan pada kemasan minuman, komponen
otomotif, perlengkapan rumah tangga, dan mainan. Polipropilen dapat diekstrusi
menjadi bentuk serat atau kawat untuk penggunaan pengikat pada karpet [11].
Limbah plastik yang terbuat dari polipropilen (PP) mengandung 85% karbon dan
sisanya adalah hidrogen, hal ini membuat material ini sangat cocok untuk didaur
ulang menjadi produk hidrokarbon yang berguna seperti bahan bakar. Polipropilen
(PP) membutuhkan energi aktivasi yang lebih rendah untuk memecah ikatan C – H
daripada polietilen (PE) karna rantai karbon polimer PP terdiri dari atom karbon
tersier yang kurang tahan terhadap degradasi [18]
2.2
SILIKA
Silika adalah hasil polimerisasi asam silikat, yang mana dapat berstruktur
kristalin maupun amorf. Silika tersusun dari rantai satuan SiO4 tetrahedral dengan
formula umum SiO2. Senyawa silika yang terdapat dialam dapat ditemukan di
beberapa bahan alam seperti pasir, kuarsa, gelas, dan sebagainya. Silika yang
terdapat dialam mempunyai struktur kristalin, sedangkan silika sintetis berstruktur
amorf. secara sintetis senyawa silika dapat dibuat dari larutan silikat atau dari
pereaksi silan [19]. Silika yang terakumulasi didalam makhluk hidup, baik hewan
atau tumbuhan memiliki bentuk amorf, berbeda dengan silika yang tidak berasal
dari makhluk hidup seperti batuan dan debu yang memiliki struktur silika kristalin
[20].
Silika menyumbang sekitar 60% berat dari kerak bumi, dengan tidak
berikatan maupun berikatan dengan oksida lain pada silikat. Silika amorf biasanya
digunakan sebagai pengering, adsorben, agen penguat, bahan pengisi, dan
10
Universitas Sumatera Utara
komponen katalis. Silika juga dapat digunakan sebagai kristal piezoelectric, elemen
optical, dan bahan pecah belah. Silika adalah material dasar bahan – bahan gelas,
keramik, dan industri bahan – bahan tahan api [21].
2.2.1 Silika Kristalin
Silika kristalin memiliki banyak bentuk, bergantung dari orientasi dan posisi
dari tetrahedron yang dibentuk meskipun memiliki struktur kimia yang sama. Tiga
bentuk umum silika kristalin adalah kuarsa, tridimit, dan kristobalit. Pada tekanan
atmosferik siika kuarsa terbentuk pada temperatur 870 °C, tridimit terbentuk pada
temperatur 870 – 1470 °C, sementara kristobalit terbentuk pada 1470 °C. Struktur
dari silika bergantung pada temperatur dan tekanan terbentuknya atau pada kasus
tertentu kecepatan pendinginan sehingga padatan silika membentuk struktur yang
berbeda.
Gambar 2.1 Struktur Kristalin dari Sebuah Kristal Silika Tunggal [20]
Struktur sederhana dari silika kristalin dapat dilihat pada Gambar 2.1. Si
adalah kristal berbentuk diamond yang terdiri dari empat atom yang diposisikan
pada sudut bangun tetrahedron, yang berikatan secara kovalen dengan Si yang
berada di pusat [20].
2.2.2 Silika Amorf
Silika non kristalin atau amorf memiliki susunan atom dan molekul berbentuk
pola acak dan tidak beraturan seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.2.
11
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Sketsa Skema Susunan Atom dalam (a) Padatan Kristalin, (b)
Padatan Amorf, dan (c) Gas [20]
Baik silika kristalin maupun non kristalin banyak ditemukan dialam seperti
di tanah, batu – batuan, dan pasir. Kedua bentuk silika ini banyak dimanfaatkan
dalam indutri kaca, bangunan, dan elektronik. Silika amorf biasanya terdapat dalam
makhluk hidup seperti diatom, radiolarian, silicoflagellata, dan beberapa sponges.
Silika non kristalin atau amorf memiliki susunan atom dan molekul berbentuk pola
acak dan tidak beraturan. Akibat pola acak dan tidak beraturan tersebut, silika amorf
memiliki struktur spherikal yang rumit. Struktur rumit tersebut menyebabkan luas
permukaan yang tinggi, biasanya diatas 3m 2/g [21].
Silika amorf dalam berbagai kondisi dianggap lebih reaktif dibandingkan
silika kristalin. Tingkat kereaktifan dari silika amorf disebabkan karena adanya
gugus hidroksil (silanol) yang didapat setelah pemanasan mencapai temperatur
400°C. Gugus silanol (-SiOH) ini dapat ditemukan diatas permukaan dari sampel
silika yang menyebabkan terbentuknya daerah yang reaktif.
Silika amorf dapat dibuat menjadi berbagai macam produk komersil.
Berbagai cara memproduksinya dan cara partikelnya membentuk agregat, silika
amorf dapat dibuat menjadi silika sol, silika gel, silika endapan, dan silika
pirogenik. Silika amorf telah diklasifikasi sebagai material tidak beracun [20].
2.2.3 Sifat – Sifat Reaksi Silika
Pada temperatur kamar, silika secara kimia tahan terhadap reagen – reagen
umum. Silika amorf mempunyai reaktivitas yang lebih tinggi dibandingkan silika
kristalin. Reaktivitas yang tinggi dari luas permukaan yang tinggi diakibatkan oleh
keberadaan gugus hidroksil (silanol). Silika tidak bereaksi dengan kebanyakan
senyawa asam, kecuali asam klorida, yang mana akan membentuk anion
florosilikat, SiF-26. Silika akan tereduksi menjadi silikon pada 1300 °C – 1400 °C
12
Universitas Sumatera Utara
oleh hidrogen, karbon, dan beberapa elemen metal. Gas silikon monoksida juga
terbentuk pada tekanan > 40 Mpa (400 atm) [21]. Tabel 2.6 menunjukkan produk
yang terbentuk apabila silika bereaksi dengan komponen halogen.
Tabel 2.6 Reaksi Komponen Halogen dan Silika [21]
Komponen Halogen
HF
FNO
SeOF2
BrF3
BF3
CF3CF3
Produk
SiF4
SiF4, N2O3
SiF4, SeO2
SiF4, O2, Br2
SiF4 (BOF)3 ,SiF4, Siklo (SiOF2),
B2OF4
SiF4, CO, CO2
2.2.4 Silika Gel
Silika gel adalah senyawa silika sintetis yang berstruktur amorf. Silika gel
merupakan bahan kimia berbentuk padatan yang banyak dimanfaatkan sebagai
adsorben. Hal ini disebabkan oleh mudahnya produksi dan juga mempunyai
beberapa kelebihan yang lain yaitu, sangat bersifat inert, hidrofilik, mempunyai
kestabilan termal dan mekanik yang tinggi, serta relatif tidak mengembang dalam
pelarut organik jika dibandingkan dengan padatan resin polimer organik. Silika gel
merupakan silika amorf yang terdiri atas globula – globula SiO4 tetrahedral yang
tersusun secara tidak teratur dan beragregasi membentuk kerangka tiga dimensi
yang lebih besar. Rumus kimia silika gel secara umum adalah SiO2.xH2O. Struktur
satuan mineral silika pada dasarnya mengandung kation Si 4+ yng terkoordinasi
secara tetrahedral dengan anion O-2. Namun demikian, struktur dan susunan
tetrahedral SiO4 pada silika gel tidak beraturan seperti yang terlihat pada gambar
2.3 [19].
Gambar 2.3 Struktur Senyawa Silika Gel [19]
13
Universitas Sumatera Utara
Sifat silika gel ditentukan oleh orientasi dari ujung tempat gugus hidroksil
berkombinasi. Oleh karena ketidak-teraturan susunan permukaan SiO4 tetrahedral,
maka jumlah distribusinya per unit area bukan menjadi ukuran kemampuan
adsorpsi silika gel, meskipun gugus silanol dan siloksan terdapat pada permukaan
silika gel. Kemampuan adsorpsi ternyata tidak sebanding dengan jumlah gugus
silanol dan gugus siloksan yang ada pada permukaan silika gel, tetapi tergantung
pada distribusi gugus OH per unit area adsorben.
Pada permukaan silika gel terdapat dua jenis gugus, yaitu gugus silanol dan
gugus siloksan. Gugus siloksan ada dua macam, yaitu Si-O-Si rantai lurus dan
gugus siloksan yang membentuk struktur lingkar dengan empat anggota. Jenis yang
pertama tidak reaktif dengan pereaksi pada umumnya, tetapi sangat reaktif terhadap
senyawa logam alkali. Jenis gugus siloksan yang membentuk lingkar dengan empat
anggota mempunyai reaktivitas yang tinggi, dapat mengadakan kemisorpsi dengan
air, amoniak dan metanol. Reaksi dengan air akan menghasilkan dua gugus Si-OH,
reaksi dengan amoniak akan menghasilkan gugus Si-NH2 dan silanol , sedangkan
reaksi dengan metanol akan menghasilkan gugus silanol dan Si–O-CH3. Ada
beberapa jenis gugus silanol, yaitu gugus silanol tunggal terisolasi, gugus silanol
yang berdekatan satu sama lain dan dua gugus silanol yang terikat pada satu atom
Si [19].
2.3
PROSES PIROLISIS
Pirolisis, dapat disebut juga sebagai termolisis, adalah suatu proses
dekomposisi secara kimia maupun termal, pada umumnya terdegradasi menjadi
molekul yang lebih kecil [8]. Metode konvensional untuk mengolah limbah plastik,
seperti landfill dan insinerasi, tidak dapat digunakan dalam jangka panjang karena
dapat menyebabkan polusi udara, penyebaran racun, terkontaminasinya air tanah,
dan kerusakan tanah. Pirolisis adalah metode yang dapat dipertimbangkan dan
layak untuk dilakukan dengan mendegradasi material polimer tanpa penggunaan
oksigen [8,10]. Tujuan penghilangan udara adalah untuk alasan keamanan, kualitas
produk, dan yield [8]. Berdasarkan variasi suhu, maka pirolisis dapat dibagi menjadi
tiga, rendah ( < 400 °C), sedang ( 400 – 600 °C) atau tinggi ( >600 °C) [8]. Hasil
dari proses pirolisis dapat dibagi menjadi fraksi cair, fraksi gas, dan residu padatan
14
Universitas Sumatera Utara
[4]. Pirolisis merupakan suatu alternatif untuk memperoleh energi dari limbah
plastik. Hal ini menggunakan prinsip dimana kebanyakan substansi organik secara
termal tidak stabil sehingga rantainya dapat pecah pada keadaan bebas oksigen [7].
Oleh karena itu, konversi limbah plastik menjadi bahan bakar memiliki
beberapa keuntungan, yaitu [2] :
1. Membentuk siklus pemakaian energi tidak terbarukan.
2. Dapat menjadi sumber petrokimia alternatif untuk menurunkan
pembelian atau pemakaian energi tidak terbarukan.
3. Solusi alternatif yang efektif untuk mengurangi limbah plastik yang
berakibat
tercegahnya
pencemaran
lingkungan
yang
biasanya
ditimbulkan oleh cara pengolahan insinerasi dan landfill.
2.3.1 Thermal Cracking / Thermal Degradation
Degradasi secara termal adalah suatu proses sederhana dimana pada
temperatur tinggi polimer mencair dan pecah menjadi molekul yang lebih kecil.
Akan tetapi produk yang dihasilkan berkualitas rendah [8]. Thermal cracking pada
hal ini adalah dalam artian tidak menggunakan katalis. Thermal cracking dari
polietilena dan polipropilena biasanya dilakukan pada temperatur tinggi (>700 °C),
untuk memproduksi campuran olefin (C1 – C4) dan kompenen aromatis (terutama
benzen, toluen, dan xylen) atau pada temperatur rendah (400 – 500 °C) dimana tiga
fraksi dihasilkan yaitu gas bernilai kalor tinggi, minyak hidrokarbon terkondensasi,
dan lilin (waxes). Cracking pada suhu rendah menghasilkan produk yang agak keras
(waxy) didalam reaktor yang mana terdiri dari parafin dengan char karbon. Fraksi
cair mempunyai komponen utama olefin linear dan parafin C 11 – C14 atom karbon.
Thermal Cracking dari poliolefin berlangsung melalui mekanisme pemotongan
acak pada empat langkah: inisiasi, propagasi, inter- atau intra- molekular transfer
hidrogen diikuti dengan pemotongan – β dan terminasi. Secara umum, thermal
cracking menggunakan energi dalam jumlah besar [22].
2.3.2 Catalytic Cracking
Penambahan katalis pada proses pirolisis mempunyai banyak keuntungan.
Penambahan katalis akan memperbaiki kualitas dari bahan bakar yang dihasilkan.
15
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan katalis pada metode cracking akan menghasilkan reaksi pada suhu
yang lebih rendah, sehingga akan menurunkan jumlah penggunaan energi [22].
Penambahan katalis juga bertujuan untuk meningkatkan yield produk cair dan
memperbaiki kualitas minyak [17]. Aguado et al [23] melaporkan bahwa catalytic
degradation mampu memecah rantai dalam waktu yang lebih singkat dan distribusi
produk yang lebih baik dibadingkan dengan pemecahan secara termal. Pemecahan
dengan katalis menghasilkan laju degradasi yang tinggi sehingga produk cair akan
lebih banyak terbentuk. Dengan demikian apabila waktu reaksi singkat, dimana
pemecahan termal akan membentuk banyak produk berviskositas tinggi seperti wax
daripada pemecahan dengan katalis karena laju degradasinya yang rendah [24].
Tabel 2.7 dan Gambar 2.4 menunjukkan perbandingan yield antara pemecahan
tanpa katalis dan dengan menggunakan katalis.
Yield Produk Bahan Bakar Cair (wt%)
Tabel 2.7 Perbandingan Yield Gas, Cairan, dan Residu dari Pemecahan Secara
Termal dan Katalitik dari Limbah HDPE pada 430 °C [24]
Gas (%)
Cairan (%)
Residu (%)
Thermal Degradation
20,0
75,7
4,5
Catalytic Degradation
19,4
79,7
0,9
Keterangan :
Catalytic Degradation
Thermal Degradation
430 °C
400 °C
Waktu Reaksi (menit)
Gambar 2.4 Perbandingan Yield Produk Cair yang Didapat dari Pemecahan
Plastik HDPE Secara Termal dan dengan Katalis FCC [19]
16
Universitas Sumatera Utara
Ada dua jenis katalis, yaitu katalis homogen dan katalis heterogen. Katalis
homogen digunakan untuk degradasi poliolefin kebanyakan asam lewis seperti
AlCl3, metal tetrakloroaluminat, dan katalis baru berbasis cairan organik ionik [8].
Beberapa variasi katalis hidrogen telah diuji pada catalytic cracking dari
poliolefin dan polistirena, yang dapat digolongkan sebagai berikut :
Padatan asam konvensional : zeolit, silika alumina, katalis FCC
Farah et al [10] meneliti penggunaan beberapa jenis katalis (NaOH,
HUSY, dan Hbeta Zeolite) untuk mendegradasi limbah botol HDPE.
Penggunaan padatan asam dapat memperpendek panjang rantai karbon
dari parafin menjadi C10 – C28, dan mengubah komposisi produk.
Diperoleh dari hasil penelitian bahwa katalis Zeolit Hbeta menghasilkan
cairan yang paling banyak dengan rantai karbon yang paling pendek C 11 –
C29. Dalam penelitian ini juga dapat disimpulkan penggunaan reaktor
berunggun dapat meningkatkan efektivitas produksi bahan bakar tanpa
pengunaan katalis yang mahal. Gonzales et al [7] meneliti tentang
pengaruh penggunaan beberapa jenis katalis pada degradasi katalitik
polietilen. Perbedaan jenis katalis mempengaruhi suhu yang diperlukan
untuk didapatkan konversi maksimum. Penggunaan katalis silika gel
mencapai konversi maksimum pada suhu 450 °C, 5A molecular sieve pada
suhu 700 °C, dan karbon aktif pada suhu 450 °C. Komposisi fraksi yang
dihasilkan juga berbeda pada setiap jenis katalis. Fraksi gas yang
didapatkan pada pemecahan dengan silika gel mempunyai komposisi
metana tertinggi yaitu 34 %. Jerry et al [25] meneliti konversi limbah
polietilen dan polistiren menjadi bahan bakar dengan memvariasikan
beberapa katalis seperti zeolit dan Fluid Cracking Catalyst (FCC).
Didapatkan suhu optimum pada pengunaan katalis jenis FCC pada 410 –
430 °C dengan konversi fraksi gas dan bahan bakar sebesar 90 %.
Katalis mesostruktur : MCM-41, FSM-16, Al-SBA-15
Aguado et al [26] meneliti tentang konversi katalitik poliolefin jenis LDPE
dan HDPE menjadi bahan bakar cair dengan menggunakan katalis MCM41 dan zeolit. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa MCM-41
menghasilkan produk cairan lebih banyak dengan titik didih bensin C5 –
17
Universitas Sumatera Utara
C12 dan C3 – C22. MCM-41 mempunyai luas permukaan yang besar
walaupun punya keasaman yang lebih rendah daripada zeolit.
2.3.3 Mekanisme Catalytic Cracking
Mekanisme perengkahan senyawa rantai panjang seperti alkana pada
permukaan katalis asam berlangsung melalui mekanisme pembentukan ion
karbonium [27,28], sedangkan reaksi perengkahan tanpa menggunakan katalis akan
melalui mekanisme pembentukan radikal bebas [28]. Katalis silika akan
mendonorkan H+ pada rantai hidrokarbon sehingga karbon memiliki muatan positif
(karbokation). Kemudian atom karbon yang bermuatan positif akan memutuskan
ikatan dengan atom lainnya [27,28]. Seperti dapat dilihat pada Gambar 2.5 [28].
Gambar 2.5 Tahap Pembentukan Ion Karbonium / Karbokation [28]
Kemudian katalis yang telah berikatan dengan hidrokarbon akan berikatan
dengan hidrokarbon lainnya dari reaktan seperti pada Gambar 2.6 [28].
Gambar 2.6 Tahap Interaksi Ion Karbonium dengan Reaktan [28]
Terjadi peristiwa pemutusan beta pada rantai hidrokarbon yang telah
berikatan dengan katalis. Sehingga menghasilan rantai hidrokarbon yang lebih
pendek seperti pada Gambar 2.7 [28].
18
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.7 Tahap Penataan Ion Karbonium Melalui Pemutusan Beta [28]
Kemudian katalis akan terbentuk kembali dengan memutuskan ikatan pada
ion karbonium seperti pada Gambar 2.8 [28].
Gambar 2.8 Tahap Pembentukan Katalis Kembali [28]
2.3.4 Hydro Cracking
Hydro cracking adalah proses cracking dengan mereaksikan plastik dengan
hidrogen di dalam wadah tertutup yang dilengkapi dengan pengaduk pada
temperatur antara 423 – 673 K dan tekanan hidrogen 3 – 10 MPa. Dalam proses
hydrocracking ini dibantu dengan katalis. Untuk membantu pencapuran dan reaksi
biasanya digunakan bahan pelarut 1-methil naphtalene, tetralin dan decalin.
Beberapa katalis yang sudah diteliti antara lain alumina, amorphous silica alumina,
zeolite dan sulphate zirconia [29]. Hydro Cracking sampah polimer biasanya
melibatkan reaksi dengan hidrogen katalis yang berlebih dalam autoclave batch
yang diaduk pada suhu sedang dan tekanan (biasanya 423-673 K dan 3-10 MPa
hidrogen). Pekerjaan tersebut bertujuan untuk memperoleh kualitas bensin tinggi
mulai dari berbagai feed. Feed seperti polietilena, polietilen tereftalat polistiren,
polyvinil Klorida dan polimer campuran, polimer limbah dari sampah kota dan
sumber-sumber lain telah dievaluasi dan termasuk logam transisi (misalnya, Pt, Ni,
Mo, Fe) didukung oleh padatan asam (seperti alumina, amorf silika-alumina, zeolit
dan zirkonia sulfat). Katalis ini menggabungkan kedua kegiatan hidrogenasi dan
cracking [26].
19
Universitas Sumatera Utara
2.4
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES PIROLISIS
Aktivitas dan selektivitas katalis bergantung pada beberapa variabel yaitu,
temperatur, jumlah katalis, jenis katalis, waktu proses, jenis plastik, dan komposisi
plastik.
2.4.1 Temperatur
Temperatur adalah variabel yang paling penting yang mempengaruhi proses
cracking plastik. Temperatur reaksi biasanya berkisar pada 300 – 450 °C. Secara
umum, kenaikan temperatur membuat peningkatan aktivitas katalis. Namun
demikian, harus diperhitungkan bahwa pada suhu tinggi terjadinya reaksi dapat
mengubah selektivitas produk [8]. Gambar 2.9 menunjukkan grafik pengaruh suhu
Yield Gas dan Distilat (%)
dengan yield gas dan distilat yang dihasilkan [25].
Suhu (°C)
Gambar 2.9 Pengaruh Temperatur dalam Pemecahan Termal Polietilen
[25]
Walendziewski dan Steiniger [25] melaporkan hasil pemecahan termal dan
pemecahan dengan katalis pada rentang temperatur 370 – 450 °C. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa peningkatan temperatur reaksi akan meningkatkan produk gas
dan cair, dan juga akan mengurangi hasil residu.
Achyut et al [17] mengamati pemecahan termal polipropilen dengan katalis
kaolin dan silika alumina pada reaktor semi batch pada rentang temperatur 400 –
550 °C untuk mendapatkan bahan bakar cair. Achyut et al [17] mendapatkan bahwa
20
Universitas Sumatera Utara
reaksi pada suhu 450 °C menghasilkan produk utama minyak cair dan pada
temperatur yang lebih tinggi (475 – 550 °C) menghasilkan produk utama minyak
cair kental dan wax.
Sharatt et al [30] mengamati bahwa, pada cracking HDPE dengan katalis
zeolit HZSM-5 pada reaktor fluidized bed pada suhu 290 – 430 °C. Kenaikan
temperatur menyebabkan peningkatan hasil hidrokarbon ringan. Namun kenaikan
suhu reaksi juga mengakibatkan penurunan hasil fraksi gas.
2.4.2 Jumlah katalis
Jumlah katalis dan rasio katalis terhadap bahan baku mempengaruhi hasil
proses pemecahan seperti konversi proses. Sharatt et al [30] mengamati pemecahan
HDPE dengan zeolite HZSM-5 dan memvariasikan rasio massa katalis dengan
polimer mulai dari 1 : 10 hingga 1 : 1 pada 360 °C. Konversi yang didapat selalu
diatas 90 %. Perbedaan yang terlihat adalah pada distribusi produk. Peningkatan
rasio katalis dengan polimer akan menghasilkan jumlah C 3 – C4 yang lebih banyak.
Gonzales et al [7] rasio katalis/PE pada semua percobaan yaitu 01:10 berat (1,0 g
katalis untuk 10,0 g PE limbah). percobaan sebelumnya dan data yang diperoleh
oleh penulis lain menunjukkan rasio ini menjadi optimal dalam penggunaan katalis
untuk konversi tertinggi. rasio 0,1 : 10 dan 0,3 : 10 juga diuji, yang pertama tidak
memadai (konversi lebih rendah dari 5%) dan yang kedua yang dilakukan untuk
nilai yang sama dari konversi PE.
2.4.3 Waktu
Perubahan kinerja katalis dengan waktu secara langsung berhubungan dengan
kinetika penonaktifan katalis tersebut. Gonzales et al [7] waktu degradasi di
tetapkan pada 2 jam. Kali ini terpilih menurut penelitian sebelumnya yang
dilakukan
percobaan
sebelumnya
telah
dilakukan
selama
ini,
untuk
membandingkan hasil dengan yang diperoleh dengan konversi yang sama pada
waktu degradasi yang lebih tinggi dan degradasi yang tidak lengkap pada waktu
degradasi yang lebih rendah.
21
Universitas Sumatera Utara
2.4.4 Jenis dan Komposisi Plastik
Komposisi limbah plastik mempunyai pengaruh yang besar pada kemampuan
katalis. Bagaimanapun, katalis akan menghasilkan konversi yang tinggi pada reaksi
pemecahan yang menggunakan polimer murni atau satu jenis polimer saja. Akan
tetapi dapat kehilangan aktivitasnya apa bila bahan baku adalah limbah plastik yang
bercampur (tidak satu jenis) [8]. Jenis plastik bahan baku juga mempengaruhi
distribusi produk seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.10.
Yield (%)
Cairan
Padatan
Gas
Jenis Plastik
Gambar 2.10 Yield Cairan, Padatan, dan Gas dari Pemecahan dengan Katalis FCC
[8]
Pada jenis termoplastik pada umumnya, hasil produk cairan adalah 80 % atau
lebih, dimana PS > PP > PE. Plastik dengan struktur polisiklik mempunyai hasil
cairan dan padatan yang lebih banyak dibandingkan plastik yang mempunyai
struktur poliolefin.
2.5
PARAMETER KUALITAS BAHAN BAKAR
Beberapa parameter penting untuk sebuah bahan bakar cair yang mana dapat
mempengaruhi karateristik dan peforma pembakaran maupun penanganan bahan
bakar cair tersebut, beberapa diantaranya adalah densitas, viskositas, dan nilai kalor
(Heating Value). Tabel 2.8 menunjukkan beberapa persyaratan suatu bahan bakar
yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia :
22
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.8 Kualitas Bahan Bakar Diesel Komersil yang Diizinkan
Pemerintah Indonesia [4]
Diesel 51
Parameter
Unit
Diesel 48 (Solar)
(Pertamina Dex)
Cetane Number
48
51
Densitas
g/cm3
0,815 – 0,870
0,820 – 0,860
Viskositas Kinematis
cSt
2,0 – 5,0
2,0 – 4,5
Flash Point
°C
Min 60
Min 55
Pour Point
°C
Min 18
Maks 18
Water Content
Mg/kg
Maks 500
Maks 500
Sulfur Content
%wt
Maks 0,35
Maks 0,05
Ash Content
%wt
Maks 0,01
Maks 0,01
2.5.1 Densitas
Densitas dari bahan bakar sering ditampilkan dalam istilah API gravity, skala
yang ditetapkan oleh American Petroleum Institute (API) dan National Bureau of
Standards. API gravity berkebalikan dengan spesifik gravity (rasio antara densitas
bahan bakar pada 60 °F dengan densitas air pada 60 °F), berdasarkan persamaan
seperti berikut :
°API = (141,5/spgr 60°F/60°F) – 131,5
(2.1)
API gravity dapat diukur dengan menggunakan standard ASTM D287 atau
D1298. Secara umum, API gravity dari bahan bakar cair dapat berhubungan secara
kualitatif dengan kualitas lainnya seperti [31] :
Semakin tinggi API gravity maka semakin rendah viskositas dan residu
karbon.
Semakin tinggi API gravity maka rasio C/H semakin rendah.
Semakin tinggi API gravity maka semakin rendah nilai kalor volumetrik
(Btu/gal) dan semakin tinggi nilai kalor gravimetrik (Btu/lb).
Semakin tinggi API gravity maka kecepatan pembakaran semakin tinggi dan
nyala api semakin singkat.
2.5.2 Viskositas
Viskositas dari bahan bakar cair menunjukkan ketahanan zat tersebut untuk
mengalir. Viskositas adalah salah satu parameter yang sangat penting yang
mempengaruhi penanganan, pemanasan, pemompaan, dan pembakaran (termasuk
pemilihan jenis burner yang digunakan). Istilah yang paling umum digunakan
23
Universitas Sumatera Utara
adalah viskositas kinematis, yang mana dapat ditentukan dengan metode ASTM D
445 [31].
Pada minyak dengan fraksi yang berat akan memiliki viskositas yang tinggi,
sehingga pada penggunaan saat musim dingin pemompaan akan sulit dilakukan.
Viskositas yang tinggi pada bahan bakar cair dapat menyebabkan beberapa masalah
sebagai berikut [31] :
Sulitnya pemompaan dari tangki penyimpanan menuju burner, terdapat
loss pada pump suction.
Aliran minyak yang tidak cukup akan menyebabkan masalah pada sistem
starter dan pembakaran yang tidak menentu.
Atomisasi yang tidak bagus akan menyebabkan pembakaran yang tidak
efisien
Viskositas yang rendah juga dapat menyebabkan beberapa masalah sebagai
berikut [31]:
Terlalu banyak minyak yang terpompakan pada burner dapat
menyebabkan pembakaran yang tidak sempurna, menghasilkan asap,
karbonisasi (pembentukan kerak karbon) pada mesin, dan pembentukan
jelaga di ruang bakar.
Pembentukan panas yang sedikit karena pada minyak dengan viskositas
minyak yang rendah memiliki heating value yang rendah.
2.5.3 Nilai Kalor / Heating Value
Nilai kalor secara umum didefinisikan sebagai jumlah panas yang dilepaskan
melalui pembakaran per satuan kuantitas bahan bakar. Bergantung pada spesifik
gravity dan komposisi bahan bakar cair, total nilai kalor berkisar antara 130.000
sampai 160.000 Btu/gal (36.400 – 44.800 kJ/liter). Bahan bakar dengan API gravity
lebih rendah dapat menghasilkan panas yang lebih banyak walaupun tetap
dipengaruhi parameter kualitas lainnya seperti viskositas, pour point, dan residu
karbon [31].
24
Universitas Sumatera Utara