Hubungan Harga Diri dengan Resiliensi pada Anak Multietnis Batak–Tionghoa

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki suku bangsa atau etnis terbanyak di dunia. Menurut data sensus BPS tahun 2010, terdapat 1.340 suku bangsa di Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2014). Seiring dengan perkembangan zaman dan pesatnya arus globalisasi yang melanda seluruh kehidupan manusia, interaksi sosial di antara masyarakat juga semakin meningkat, melampaui batas wilayah, lintas etnis dan lintas budaya. Meningkatnya interaksi sosial di antara kelompok-kelompok masyarakat Indonesia yang pluralistik tersebut, memungkinkan terjadinya hubungan perkawinan (Soimin, 2004).

Perkawinan beda suku atau etnis di Indonesia saat ini sudah jamak dan marak terjadi. Hariyono (1993) mengatakan bahwa perkawinan beda etnis adalah asimilasi perkawinan yang memberi pengertian tentang bersatunya jiwa, kepribadian, sifat, dan perilaku dari dua insan (yang berlawanan jenis kelamin) yang memiliki perbedaan etnis. Salah satu perkawinan beda etnis yang sudah lama terjadi di Indonesia adalah perkawinan antara etnis Cina atau Tionghoa dengan penduduk lokal. Koentjaraningrat (2007) mengatakan bahwa perkawinan campuran perantau Tionghoa dengan wanita-wanita Indonesia sering terjadi sejak abad 16 sampai permulaan abad ke-20. Hal ini disebabkan kebanyakan perantau Tionghoa itu adalah laki-laki.


(2)

Di Sumatera Utara, perkawinan campuran antara etnis Tionghoa dengan penduduk lokal yang terjadi, salah satunya dengan etnis Batak. Perkawinan beda etnis Batak-Tionghoa merupakan sebuah fenomena yang menarik, karena disamping masalah etnis Tionghoa yang sampai saat ini masih mempunyai tingkat sensitivitas konflik yang tinggi; baik Tionghoa maupun Batak, keduanya memiliki ciri khas nilai tradisi yang sama-sama menuntut kepatuhan pada komunitasnya.

Etnis Tionghoa menurut Sharley (2009) memegang teguh garis keturunan laki-laki (patriarki), tidak diperbolehkan menikah dengan etnis lain untuk mempertahankan kemurnian keturunan dan budayanya. Demikian pula dengan etnis Batak, yang terikat kuat oleh sistem kekerabatan dan memiliki budaya dominan dalam mempertahankan garis keturunan yang dikenal dengan istilah marga, yang sepenuhnya bersifat patrilinear sesuai dengan galur suami dalam garis laki-laki (Efendy, 2010).

Dibandingkan dengan perkawinan dengan etnis yang sama, perkawinan beda etnis akan memiliki permasalahan yang berbeda. Demikian juga halnya dengan perkawinan beda etnis Batak-Tionghoa. Diantara masalah-masalah yang muncul dalam perkawinan beda etnis, masalah yang paling banyak adalah masalah yang dialami oleh anak, diantaranya: anak tidak mendapatkan status sosial dan merasakan kerancuan identitas. Suparlan (1984) mengatakan bahwa dalam perkawinan beda etnis, anak membutuhkan kepastian status sosial dan identitas ras. Identitas sangat dibutuhkan setiap orang, sebagaimana diungkapkan


(3)

Lisa Orr (dalam Liliweri, 2002), karena identitas bermakna 3 hal, yaitu: identitas pribadi, identitas sosial dan identitas budaya.

Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Shih & Sanchez (2005), anak yang terlahir sebagai multietnis dapat mengidentifikasi identitas rasnya berdasarkan latar belakang ras orangtuanya. Hal ini berarti, bahwa anak dari hasil perkawinan campuran Batak-Tionghoa semestinya memiliki pilihan untuk menentukan identitas etnisnya berdasarkan etnis orangtuanya, apakah akan memilih menjadi bagian dari etnis Batak atau etnis Tionghoa. Akan tetapi dalam kenyataannya, anak-anak multietnis Tionghoa sering mengalami kebingungan untuk menentukan identitasnya. Seperti yang diungkapkan oleh Astaman (2011) dalam bukunya yang berjudul Excuse Moi :

“Seyogyanya jelas, totok, dan mutlak. Kalau Cina ya Cina. Jawa ya Jawa. Sebaiknya tidak ada bagian yang abu-abu gelap. Apalgi dalam dikotomi yang paling mutlak: Cina dan Pribumi. Kotak Jawa-Betawi masih disediakan. Kotak Cina Hokien dan Khek juga ada, meski disimpan agak tersembunyi. Tapi kotak Cina-Pribumi dicampur? Agak membingungkan dan membuat hidup terasa lebih rumit.”

(Astaman, 2011:40)

Memilih Batak menjadi identitas diri bukanlah hal yang bisa dilakukan secara sembarangan, karena perkawinan orang Batak apalagi bagi perempuan Batak yang menikah dengan orang yang bukan Batak masih dianggap banyak orang sebagai hal yang “mengusik”, “melemahkan” atau bahkan “menghilangkan” tatanan adat warisan nenek moyang. Hal ini memberikan dampak terutama kepada anak-anaknya yang akan sulit menjalankan posisi dan


(4)

peran sebagai dalam sistem kekerabatan “dalihan na tolu” (Koentjaraningrat, 2007).

Sebaliknya, memilih Tionghoa sebagai identitas sudah tentu harus memiliki kesiapan psikologis untuk menghadapi konsekuensi karena identits ke-Cina-an lekat dengan berbagai citra yang kurang menguntungkan di mata etnis pribumi maupun kalangan birokrasi pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari stereotype, prasangka, dan diskriminasi yang semakin mempertegas citra buruk etnis Tionghoa di mata etnis Indonesia lainnya (Susetyo, 2002).

Astaman (2011) mengatakan bahwa menjadi Cina memang tidak pernah jadi pilihan favorit di Indonesia. Kata “Cina” berkonotasi sengkek, pelit, perhitungan, curang. Seperti yang dikatakan oleh Astaman (2011) dalam bukunya yang berjudul Excuse Moi :

“Jangankan jadi Cina, bergaul dengan manusia Cina itu saja sudah haram jadah!"

(Astaman, 2011:17)

Memperkenalkan identitas diri sebagai orang “Batak” atau “Tionghoa” bagi anak multietnis Batak-Tionghoa bukanlah sebatas label. Pertanyaan seperti "Anda suku apa?", atau ketika harus menandai satu kolom suku saja pada saat mengisi kuesioner yang hanya menyediakan pilihan dengan satu suku per-aitem, membuat anak-anak multiracial merasa dipaksa untuk memilih identitas etnis secara tunggal (Salahuddin & O'Brien, 2011).


(5)

Keterpaksaan untuk memilih hanya salah satu dari ras orangtuanya untuk mengidentifikasi diri mereka akan membuat individu multietnis merasa tertekan (Coleman & Carter, 2007). Astaman (2011), seorang Portal Executive untuk MSN Indonesia dalam bukunya Excuse-Moi menceritakan kegalauan hatinya. Ia terlahir di Indonesia sebagai kaum multietnis, mengalirkan darah yang sebagian Indonesia dan sebagian lagi Tionghoa.

Astaman (2011) bingung dengan keharusan untuk memilih satu etnis untuk menjadi identitasnya, seperti yang terjadi ketika ia berada di Singapura. Petugas bandara menolak “Indonesia” sebagai jawaban race di lembar imigrasi, karena jawaban yang tersedia hanya Chinese/Malay/Indian/Caucasian. Indonesia adalah negara, bukan termasuk jenis etnis.

Persoalan keberadaan etnis Tionghoa yang sampai saat ini masih belum seutuhnya diterima sebagai bagian dari masyarakat Indonesia juga menjadi permasalahan bagi anak multietnis Batak-Tionghoa. Stereotype dan prasangka yang digeneralisasikan kepada semua orang yang beretnis Tionghoa menjadikan anak multietnis Batak-Tionghoa menjadi korban diskriminasi. Astaman (2011) dalam bukunya yang berjudul Excuse-Moi, menceritakan tentang tantangan yang dialaminya dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis :

“Seseorang pernah menyesalkan gue yang tidak sedari awal

memperingatkan kecinaan gue. Kalau sudah tahu, ia tak bakal melakukan pendekatan.”


(6)

Munculnya anggapan bahwa etnis Tionghoa di Indonesia masih belum sepenuhnya membaur dengan etnis-etnis lain, menurut Sutrisna (2005) disebabkan karena etnis Tionghoa memiliki etnosentrisme yang cukup kental; yang dimanapun mereka berada, mereka cenderung menunjukkan etnosentrisme. Sama dengan Sutrisna, menurut Yudohusodo (1985) etnosentrisme inilah yang menyebabkan sulitnya terjadi proses pembauran etnis Tionghoa.

Adapun etnosentrisme etnis Tionghoa, menurut Yudohusodo (1985) dapat dilihat dari beberapa hal, seperti: masih banyak etnis Tionghoa yang tinggal secara eksklusif di wilayah tertentu, kecenderungan memprioritaskan etnis Tionghoa dalam merekrut tenaga kerja, membeda-bedakan etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi dalam masalah bisnis, dan tidak menunjukkan solidaritas dan kebersamaan sosial dengan penduduk pribumi dalam bertetangga. Selain itu sebagian dari etnis Tionghoa belum bersedia mengembangkan rasa identitas nasional secara utuh. Hal ini tampak pada kebiasaan menggunakan bahasa Tionghoa dalam percakapan sehari-hari dan tidak berusaha untuk menguasai bahasa Indonesia dengan benar serta tetap teguh memegang adat istiadat serta tradisi nenek moyang. Disamping itu, ada di antara mereka yang merasa lebih unggul dibandingkan dengan kelompok etnis yang lain dalam masyarakat.

Meskipun berdasarkan beberapa penelitian dan literatur diperoleh informasi bahwa tidak semua etnis Tionghoa memiliki etnosentrisme yang kental, namun menurut Setiono (2008), masyarakat Tionghoa yang ada di Sumatera Utara (khususnya Medan) memiliki karakteristik berbeda dibandingkan etnis


(7)

Tionghoa di daerah lainnya. Warga Tionghoa Medan yang dikenal dengan sebutan “Cina Medan” masih kental memelihara budaya Tionghoa dan setiap hari menggunakan bahasa Tionghoa (Hokkian) atau dialek asal kampungnya dalam berinteraksi tanpa peduli orang lain tidak memahaminya. Etnis Tionghoa Medan juga memiliki sikap arogan dan ekslusif, yang tidak mau berinteraksi dengan orang-orang yang tidak setara secara ekonomi dengan mereka; memiliki sikap parasit yang hanya ingin mendapatkan keuntungan tanpa memperdulikan kerugian orang lain; etnosentrisme yang sangat kokoh dan memiliki sanksi yang sangat tinggi. Salah satu sanksi yang mungkin terjadi adalah pemutusan hubungan kekeluargaan, seperti antara orangtua dan anak yang sering diiklankan di surat kabar.

Etnosentrisme yang melekat pada etnis Tionghoa di Medan tentu saja tidak muncul dengan sendirinya. Sebagai suatu bentuk sikap, etnosentrisme pada diri individu dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, kebudayaan, orang yang dianggap penting, media massa, dan lain-lain (Azwar, 2011). Menurut Hariyono (1993), baik secara sadar maupun tidak sadar, etnosentrisme terbentuk melalui proses sosialisasi dan internalisasi yang diajarkan kepada anggota suatu kelompok sosial bersama dengan nilai-nilai kebudayaannya.

Etnosentrisme dari etnis Tionghoa sendiri dapat menimbulkan masalah pada anak multietnis Batak-Tionghoa, seperti yang dikatakan oleh Wenny, salah seorang anak multietnis :


(8)

Saya sering merasa terasing ketika keluarga besar kami sedang berkumpul, seperti pada perayaan imlek. Semua saling bertegur sapa dengan menggunakan bahasa mandarin, sementara saya sendiri sama sekali tidak mengerti. Juga ketika ada beberapa tradisi yang harus saya ikutin, sementara sepupu-sepupu saya semua dengan lancar melakukannya. Saya menjadi jarang mengikuti tradisi atau perayaan karena saya tidak terlalu mengerti bagaimana cara melakukannya.

(Wenny, komunikasi personal, 2015)

Dalam wawancara lanjutan dengan Wenny untuk penelusuran lebih lanjut apakah ada yang bertentangan dengan tradisi kedua budaya, Wenny mengatakan bahwa dia pernah kecewa terhadap sikap dari keluarga ayahnya (etnis Tionghoa) yang melarangnya datang pada saat pernikahan bibinya (adik sepupu ayahnya), dengan alasan karena dia baru kembali dari pemakaman Tulangnya (kakak laki-laki ibunya). Dia tidak diperbolehkan mengikuti acara pernikahan karena dalam dianggap dapat mendatangkan kesialan. Didalam adat tradisi etnis Tionghoa yang masih diwariskan kepada generasi muda ada kepercayaan bahwa orang yang sedang tertimpa kemalangan tidak boleh menghadiri pesta pernikahan, kelahiran atau acara-acara yang bertujuan untuk merayakan kebahagiaan, karena kedatangan orang yang sedang berdukacita dianggap membawa aura kesedihan yang akan mendatangkan kesialan. Demikian juga sebaliknya, orang yang merayakan pernikahan tidak boleh datang pada acara kematian, karena dianggap akan dapat membawa aura dukacita dalam keluarganya. Sementara dari sisi etnis Batak sendiri, kehadiran setiap anggota keluarga dalam setiap kegiatan atau peristiwa yang terjadi dalam keluarga selalu dituntut dan merupakan hal yang sangat penting dalam hirarki adat tradisi. Perbedaan adat tradisi ini membuat Wenny merasa tidak dihargai.


(9)

Dalam kehidupan anak multietnis Batak-Tionghoa, sebagaimana anak multietnis umumnya, masalah rasisme dan invalidasi sosial dapat menjadi faktor resiko yang berdampak pada kesehatan psikologis, seperti meningkatnya stres (Salahuddin & O'Brien, 2011). Terutama sebagai keturunan Tionghoa. Meskipun pemerintah mengeluarkan peraturan yang menegaskan etnis Tionghoa sebagai bagian dari Indonesia, namun pada kenyataannya masih berlaku istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan etnis Tionghoa dengan etnis pribumi yang lain (Susetyo, 2002).

Selain masalah di atas, secara genetika, anak yang lahir dari perkawinan beda etnis Batak-Tionghoa akan mewarisi gen-gen orang Batak dan orang Tionghoa seperti yang dimiliki orangtuanya. Probabilitas penampilan fisik dari generasi campuran etnis Batak-Tionghoa yang muncul, kemungkinannya adalah berbeda dari keturunan Tionghoa umumnya, seperti memiliki kulit warna coklat, dan juga berbeda dari keturunan Batak pada umumnya, seperti bermata sipit.

Ketidaksinkronan tampilan fisik dengan identitas yang ditampilkan anak-anak multietnis campuran Tionghoa umumnya, termasuk multietnis Batak-Tionghoa kerap ditolak dan didiskriminasi orang-orang atau kelompok masyarakat di sekitar mereka, karena mereka dianggap berbeda atau tidak memiliki ras yang “utuh”. Astaman (2011) merasa adanya penolakan terhadap dirinya, baik oleh kelompok Tionghoa maupun pribumi. Kelompok Tionghoa, menganggap ia “kurang Cina” karena ketidakmampuannya berbahasa Mandarin; sedangkan kelompok pribumi menolaknya karena bentuk fisik yang berbeda


(10)

dengan kulit putih dan bermata sipit. Sedangkan Fransiska (2015), seorang multietnis Batak-Tionghoa mengatakan bahwa :

“Aku dipanggil tetangga dekat rumah dengan sebutan “Cina kesasar” karena berkulit coklat dan mataku ada kelopaknya. Tapi memang hidungku sedikit pesek.”

(Fransiska, komunikasi personal, 2015)

Banyaknya tantangan yang dihadapi anak multietnis Batak-Tionghoa tentu bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Persoalan pemilihan identitas yang menimbulkan kebingungan sebagai tantangan dari dalam diri, dan berbagai perlakuan diskriminasi dan persoalan stereotype sebagai tantangan dari luar diri merupakan beberapa masalah yang membutuhkan cara penanganan yang tepat. Apalagi masalah diskriminasi dan stereotype seringkali muncul dan berkemungkinan terjadi secara berulang-ulang. Munculnya situasi-situasi yang sulit dan hambatan-hambatan yang ada, yang selalu berkembang dari satu persoalan ke persoalan berikutnya, dari waktu ke waktu, mau tak mau memaksa anak multietnis Batak-Tionghoa harus membangun kekuatan emosional dan psikologisnya. Bagi anak yang mampu memanejemen diri dengan baik dan positif akan tumbuh menjadi manusia yang tangguh atau resilien. Menurut Masten (2001), resiliensi adalah pola-pola adaptasi positif dalam menghadapi resiko atau kemalangan yang signifikan.

Anak multietnis Batak-Tionghoa harus memiliki resiliensi untuk menghadapi masalah, tekanan, dan konflik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Anak multietnis Batak-Tionghoa harus dapat menggunakan sumber daya dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi setiap masalah yang ada serta


(11)

mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan hidupnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Reivich & Shatte (2002) yang disebut dengan steering through.

Kemampuan setiap anak multietnis dalam menghadapi permasalahan dalam hidupnya tergantung pada anak itu sendiri. Apabila anak multietnis Batak-Tionghoa berhasil melewati tantangan tersebut dan mencapai hasil yang diinginkan atau sesuai dengan ekspektasinya (misalnya, kebanggaan ras, harga diri) atau mampu menghindari hasil negatif (misalnya, depresi, invalidasi sosial), maka orang tersebut dianggap tangguh atau memiliki tingkat resiliensi yang tinggi (Masten, 2001).

Keberhasilan anak multietnis Batak-Tionghoa menghadapi tantangan-tantangan yang ada dalam kehidupan mereka sedikit banyaknya akan mempengaruhi penilaian mereka terhadap diri mereka sendiri. Coopersmith (1981) menyatakan bahwa harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang diekspresikan melalui suatu bentuk penilaian setuju dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga.

Menurut Coopersmith (1981) tinggi atau rendahnya harga diri seseorang ditentukan oleh (a) Penghargaan dan Penerimaan dari Orang-orang yang Signifikan. Harga diri seseorang dipengaruhi oleh sikap orang-orang yang dianggap penting yang berada di sekitar individu. Keluarga merupakan lingkungan tempat interaksi yang pertama kali terjadi dalam kehidupan seseorang.


(12)

(b) Kelas Sosial dan Kesuksesan. Kedudukan kelas sosial dapat dilihat dari pekerjaan, pendapatan dan tempat tinggal. Individu yang memiliki pekarjaan yang lebih bergengsi, pendapatan yang lebih tinggi, dan tinggal dalam lokasi rumah yang lebih besar dan mewah akan dipandang lebih sukses dimata masyarakat dan menerima keuntungan material dan budaya. Hal ini akan menyebabkan individu dengan kelas sosial yang tinggi meyakini bahwa diri mereka lebih berharga dari orang lain. (c) Nilai dan Inspirasi Individu dalam Menginterpretasi Pengalaman. Kesuksesan yang diterima oleh individu tidak mempengaruhi harga diri secara langsung, melainkan disaring terlebih dahulu sesuai tujuan dan nilai yang dianut oleh individu. (d) Cara Individu dalam Menghadapi Devaluasi. Individu dapat meminimalisasi ancaman berupa evaluasi negatif yang datang dari luar dirinya. Mereka dapat menolak hak dari orang lain yang memberikan penilaian negatif terhadap diri mereka.

Individu yang memiliki tingkat harga diri yang tinggi, umumnya memiliki karakteristik berikut (Coopersmith, 1981) : (1) Aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik; (2) Berhasil dalam bidang akademik dan menjalin hubungan sosial; (3) Dapat menerima kritik dengan baik; (4) Percaya pada persepsi dan reaksinya sendiri; (5) Tidak terpaku pada dirinya sendiri atau hanya memikirkan kesulitannya sendiri; (6) Memiliki keyakinan diri, tidak didasarkan atas fantasi, karena mempunyai kemampuan, kecakapan dan kualitas diri yang tinggi; (7) Tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain tentang kepribadiannya; (8) Lebih mudah menyesuaikan diri dengan suasana yang menyenangkan sehingga tingkat kecemasannya rendah dan memiliki ketahanan diri yang seimbang.


(13)

Untuk dapat menjadi individu yang resilien, individu membutuhkan dukungan dari orang-orang sekitar individu. Dukungan ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga (Grotberg, 1999). Jika individu tidak mendapat dukungan dari sekitar mereka, hal ini dapat mempengaruhi sense of belonging, yaitu perasaan individu dimana ia merasa menjadi bagian dari suatu kelompok dan diterima oleh anggota kelompok lainnya. Jika ia merasakan dirinya diterima dan menjadi bagian dari kelompok tersebut, maka ia akan memiliki penilaian yang positif tentang dirinya. Sebaliknya, jika ia merasa ditolak atau tidak diterima oleh kelompok tersebut, ia akan memiliki penilaian yang negatif pada dirinya dan tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Hal ini jelas akan mempengaruhi harga diri mereka (Felker, 1974).

Individu yang resilien memiliki kekuatan yang meliputi perasaan kebanggaan akan diri mereka sendiri, tingkah laku positif, dan kepercayaan yang tinggi pada dirinya. Mereka bangga terhadap apa yang telah mereka capai. Mereka mengandalkan rasa percaya dan harga diri yang tinggi untuk membantu mereka dalam mengatasi kesulitan yang mereka hadapi. Mereka mampu berinteraksi sosial dan interpersonal dengan baik dengan orang-orang di sekitar mereka. Mereka memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik. Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik (Grotberg, 1999).


(14)

Selanjutnya Grotberg (1999) menambahkan bahwa individu yang resilien memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain. Semua ini membantu individu untuk mengetahui seberapa banyak waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, dan seberapa banyak ia dapat menangani berbagai macam situasi. Mereka mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam perasaan dan hak orang lain. Disamping itu, mereka mampu mengendalikan dorongan untuk memukul, melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada hal-hal yang tidak baik. .

Berkaitan dengan resiliensi pada anak multietnis Batak-Tionghoa, maka berhasil atau tidaknya seorang anak dalam menghadapi tantangan dan situasi sulit dalam kehidupannya dapat dilihat pada seberapa kuat ketangguhannya dan seberapa tinggi keyakinannya pada dirinya sendiri bahwa ia mampu melakukan sesuatu untuk mencapai hasil yang diharapkan dengan memanfaatkan semua sumber daya yang melekat dalam dirinya, termasuk dengan statusnya sebagai anak multietnis. Jika ia berhasil mencapai tujuan maka ia akan memberikan penilaian yang positif terhadap dirinya. Frey & Carlock (1987) mengatakan bahwa ketika individu mampu menghadapi hambatan dan tantangan yang merugikannya, maka individu akan merasa bahwa dirinya berharga. Individu yang memiliki perasaan berharga akan menilai dirinya secara positif, merasa yakin terhadap diri sendiri, dan mempunyai harga diri yang positif. Selain itu, ia merasa percaya terhadap pikiran, perasaan dan tingkah laku berhubungan dengan kehidupannya (Frey & Carlock, 1987).


(15)

Untuk itu, peneliti ingin melihat apakah terdapat hubungan antara harga diri dengan resiliensi pada anak multietnis Batak-Tionghoa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan permasalahan penelitian ini adalah : apakah ada hubungan antara harga diri dengan resiliensi pada anak multietnis Batak-Tionghoa?

C. Tujuan Penelitian

Merujuk pada rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian adalah : Untuk mengetahui hubungan antara harga diri dengan resiliensi pada anak multietnis Batak-Tionghoa.

D. Manfaat Penelitian

Setiap kegiatan penelitian pasti mempunyai manfaat tertentu. Manfaat dalam penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Pengembangan dalam bidang psikologi guna menciptakan generasi yang memiliki resiliensi dan harga diri yang baik dalam rangka peningkatan mutu sumber daya manusia dan lebih utama menciptakan generasi manusia yang seutuhnya, baik jasmani maupun rohani.

b. Sebagai bahan kajian tambahan dan rujukan bagi mahasiswa psikologi yang berminat untuk mempelajari psikologi sosial.

c. Sebagai penambah wawasan dan pengalaman bagi penulis dalam penelitian ini.


(16)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pihak akademik : agar lebih menumbuhkembangkan harga diri positif dalam menangani masalah yang terkait resiliensi.

b. Bagi multietnis Batak-Tionghoa : agar dapat mengaktualisasikan diri dengan baik dalam segala aktivitas.

c. Bagi peneliti, penelitian ini akan menjadi suatu dasar pandangan keilmuan dalam keseharian mengenai harga diri dan resiliensi.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bab I - Pendahuluan

Pada bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

2. Bab II - Landasan Teoritis

Pada bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian, antara lain teori mengenai harga diri, resiliensi, dan anak multietnis Batak-Tionghoa, dinamika penelitian, dan hipotesa penelitian.

3. Bab III - Metode Penelitian

Berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisikan tentang identifikasi variabel, definisi operasional variabel, subjek penelitian, jenis penelitian, metode dan alat pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, metode analisis data, serta hasil uji coba alat ukur.


(17)

4. Bab IV – Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran umum dan karakteristik dari subjek penelitian serta cara analisa data dilakukan dengan menggunakan analisa statistik dengan bantuan program SPSS versi 20.0 for windows. Selain itu, pada bab ini juga akan dibahas mengenai interpretasi data hasil penelitian beserta pembahasan.

5. Bab V – Kesimpulan Dan Saran

Bab ini memuat kesimpulan dari hasil penelitian yang disusun berdasarkan analisa dan interpretasi data serta dilengkapi dengan saran-saran bagi anak multietnis Batak-Tionghoa dan bagi peneliti lain yang berminat untuk melakukan penelitian tentang hubungan harga diri dengan resiliensi pada anak multietnis Batak-Tionghoa.


(1)

(b) Kelas Sosial dan Kesuksesan. Kedudukan kelas sosial dapat dilihat dari pekerjaan, pendapatan dan tempat tinggal. Individu yang memiliki pekarjaan yang lebih bergengsi, pendapatan yang lebih tinggi, dan tinggal dalam lokasi rumah yang lebih besar dan mewah akan dipandang lebih sukses dimata masyarakat dan menerima keuntungan material dan budaya. Hal ini akan menyebabkan individu dengan kelas sosial yang tinggi meyakini bahwa diri mereka lebih berharga dari orang lain. (c) Nilai dan Inspirasi Individu dalam Menginterpretasi Pengalaman. Kesuksesan yang diterima oleh individu tidak mempengaruhi harga diri secara langsung, melainkan disaring terlebih dahulu sesuai tujuan dan nilai yang dianut oleh individu. (d) Cara Individu dalam Menghadapi Devaluasi. Individu dapat meminimalisasi ancaman berupa evaluasi negatif yang datang dari luar dirinya. Mereka dapat menolak hak dari orang lain yang memberikan penilaian negatif terhadap diri mereka.

Individu yang memiliki tingkat harga diri yang tinggi, umumnya memiliki karakteristik berikut (Coopersmith, 1981) : (1) Aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik; (2) Berhasil dalam bidang akademik dan menjalin hubungan sosial; (3) Dapat menerima kritik dengan baik; (4) Percaya pada persepsi dan reaksinya sendiri; (5) Tidak terpaku pada dirinya sendiri atau hanya memikirkan kesulitannya sendiri; (6) Memiliki keyakinan diri, tidak didasarkan atas fantasi, karena mempunyai kemampuan, kecakapan dan kualitas diri yang tinggi; (7) Tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain tentang kepribadiannya; (8) Lebih mudah menyesuaikan diri dengan suasana yang menyenangkan sehingga tingkat kecemasannya rendah dan memiliki ketahanan diri yang seimbang.


(2)

Untuk dapat menjadi individu yang resilien, individu membutuhkan dukungan dari orang-orang sekitar individu. Dukungan ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga (Grotberg, 1999). Jika individu tidak mendapat dukungan dari sekitar mereka, hal ini dapat mempengaruhi sense of belonging, yaitu perasaan individu dimana ia merasa menjadi bagian dari suatu kelompok dan diterima oleh anggota kelompok lainnya. Jika ia merasakan dirinya diterima dan menjadi bagian dari kelompok tersebut, maka ia akan memiliki penilaian yang positif tentang dirinya. Sebaliknya, jika ia merasa ditolak atau tidak diterima oleh kelompok tersebut, ia akan memiliki penilaian yang negatif pada dirinya dan tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Hal ini jelas akan mempengaruhi harga diri mereka (Felker, 1974).

Individu yang resilien memiliki kekuatan yang meliputi perasaan kebanggaan akan diri mereka sendiri, tingkah laku positif, dan kepercayaan yang tinggi pada dirinya. Mereka bangga terhadap apa yang telah mereka capai. Mereka mengandalkan rasa percaya dan harga diri yang tinggi untuk membantu mereka dalam mengatasi kesulitan yang mereka hadapi. Mereka mampu berinteraksi sosial dan interpersonal dengan baik dengan orang-orang di sekitar mereka. Mereka memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik. Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik (Grotberg, 1999).


(3)

Selanjutnya Grotberg (1999) menambahkan bahwa individu yang resilien memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain. Semua ini membantu individu untuk mengetahui seberapa banyak waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, dan seberapa banyak ia dapat menangani berbagai macam situasi. Mereka mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam perasaan dan hak orang lain. Disamping itu, mereka mampu mengendalikan dorongan untuk memukul, melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada hal-hal yang tidak baik. .

Berkaitan dengan resiliensi pada anak multietnis Batak-Tionghoa, maka berhasil atau tidaknya seorang anak dalam menghadapi tantangan dan situasi sulit dalam kehidupannya dapat dilihat pada seberapa kuat ketangguhannya dan seberapa tinggi keyakinannya pada dirinya sendiri bahwa ia mampu melakukan sesuatu untuk mencapai hasil yang diharapkan dengan memanfaatkan semua sumber daya yang melekat dalam dirinya, termasuk dengan statusnya sebagai anak multietnis. Jika ia berhasil mencapai tujuan maka ia akan memberikan penilaian yang positif terhadap dirinya. Frey & Carlock (1987) mengatakan bahwa ketika individu mampu menghadapi hambatan dan tantangan yang merugikannya, maka individu akan merasa bahwa dirinya berharga. Individu yang memiliki perasaan berharga akan menilai dirinya secara positif, merasa yakin terhadap diri sendiri, dan mempunyai harga diri yang positif. Selain itu, ia merasa percaya terhadap pikiran, perasaan dan tingkah laku berhubungan dengan kehidupannya (Frey & Carlock, 1987).


(4)

Untuk itu, peneliti ingin melihat apakah terdapat hubungan antara harga diri dengan resiliensi pada anak multietnis Batak-Tionghoa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan permasalahan penelitian ini adalah : apakah ada hubungan antara harga diri dengan resiliensi pada anak multietnis Batak-Tionghoa?

C. Tujuan Penelitian

Merujuk pada rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian adalah : Untuk mengetahui hubungan antara harga diri dengan resiliensi pada anak multietnis Batak-Tionghoa.

D. Manfaat Penelitian

Setiap kegiatan penelitian pasti mempunyai manfaat tertentu. Manfaat dalam penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Pengembangan dalam bidang psikologi guna menciptakan generasi yang memiliki resiliensi dan harga diri yang baik dalam rangka peningkatan mutu sumber daya manusia dan lebih utama menciptakan generasi manusia yang seutuhnya, baik jasmani maupun rohani.

b. Sebagai bahan kajian tambahan dan rujukan bagi mahasiswa psikologi yang berminat untuk mempelajari psikologi sosial.

c. Sebagai penambah wawasan dan pengalaman bagi penulis dalam penelitian ini.


(5)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pihak akademik : agar lebih menumbuhkembangkan harga diri positif dalam menangani masalah yang terkait resiliensi.

b. Bagi multietnis Batak-Tionghoa : agar dapat mengaktualisasikan diri dengan baik dalam segala aktivitas.

c. Bagi peneliti, penelitian ini akan menjadi suatu dasar pandangan keilmuan dalam keseharian mengenai harga diri dan resiliensi.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bab I - Pendahuluan

Pada bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

2. Bab II - Landasan Teoritis

Pada bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian, antara lain teori mengenai harga diri, resiliensi, dan anak multietnis Batak-Tionghoa, dinamika penelitian, dan hipotesa penelitian.

3. Bab III - Metode Penelitian

Berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisikan tentang identifikasi variabel, definisi operasional variabel, subjek penelitian, jenis penelitian, metode dan alat pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, metode analisis data, serta hasil uji coba alat ukur.


(6)

4. Bab IV – Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran umum dan karakteristik dari subjek penelitian serta cara analisa data dilakukan dengan menggunakan analisa statistik dengan bantuan program SPSS versi 20.0 for windows. Selain itu, pada bab ini juga akan dibahas mengenai interpretasi data hasil penelitian beserta pembahasan.

5. Bab V – Kesimpulan Dan Saran

Bab ini memuat kesimpulan dari hasil penelitian yang disusun berdasarkan analisa dan interpretasi data serta dilengkapi dengan saran-saran bagi anak multietnis Batak-Tionghoa dan bagi peneliti lain yang berminat untuk melakukan penelitian tentang hubungan harga diri dengan resiliensi pada anak multietnis Batak-Tionghoa.