Hubungan Harga Diri dengan Resiliensi pada Anak Multietnis Batak–Tionghoa

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Resiliensi

1. Definisi Resiliensi

Resiliensi awalnya berasal dari kata Latin `resilire‟ yang artinya melambung kembali. Dalam dunia psikologi, resiliensi diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang untuk cepat pulih dari perubahan, sakit, kemalangan, atau kesulitan (The Resiliency Center, 2005).

Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis. Resiliensi adalah proses mengatasi efek negatif dari resiko yang ada, berhasil mengatasi pengalaman traumatik dan menghindari dampak negatif terkait resiko (Fergus & Zimmerman, 2005).

Dalam bukunya yang berjudul The Resiliency Advantage, Siebert (2005) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah kemampuan untuk dapat mengatasi perubahan hidup pada level yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan kekerasan.

Selanjutnya Reivich dan Shatte (2002) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk menjaga dan beradaptasi terhadap kondisi yang serba salah.


(2)

Greef (2005) menambahkan bahwa resiliensi harus dipahami sebagai kemampuan dimana individu tidak sekedar berhasil dalam beradaptasi terhadap resiko atau kemalangan namun juga memiliki kemampuan untuk pulih, bahagia dan berkembang menjadi individu yang lebih kuat, lebih bijak dan lebih menghargai kehidupan. Individu yang resilien tidak hanya kembali pada keadaan normal setelah mereka mengalami kemalangan, namun sebagian dari mereka mampu untuk menampilkan performance yang lebih baik dari sebelumnya.

Masten (2001) mengemukakan bahwa resiliensi merupakan pola-pola adaptasi positif dalam menghadapi resiko atau kemalangan yang signifikan. Terdapat 3 komponen penting yang mendasari terbentuknya resiliensi, yaitu : faktor resiko, faktor protektif, dan hasil. Faktor resiko adalah berbagai jenis kesulitan yang berpengaruh terhadap meningkatnya hasil negatif. Dalam kehidupan multirasial, rasisme dan invalidasi sosial dinilai merupakan faktor resiko yang diasosiasikan dengan peningkatan distres. Faktor protektif adalah aset-aset yang menjadi penyangga terhadap dampak dari kesulitan dengan mediasi atau moderasi hubungan antara kesulitan dengan hasil. Hasil merujuk pada variabel tertentu yang diyakini sebagai resiko dari adanya kesulitan.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul dalam kehidupan dimana individu berhasil menghadapi kesulitan, mengatasi stres atau tekanan, dan bangkit dari kekurangan.


(3)

2. Fungsi Resiliensi

Menurut Reivich & Shatte (2002) kegunaan resiliensi bagi seseorang adalah sebagai berikut:

a. Overcoming

Ada banyak masalah dalam kehidupan sehari-hari yang menimbulkan stres yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, setiap individu membutuhkan resiliensi agar terhindar dari akibat buruk dari hal-hal yang tidak menguntungkan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisa dan mengubah cara pandang menjadi lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk mengontrol kehidupan sendiri, sehingga individu tersebut dapat tetap merasa termotivasi, produktif, terlibat, dan bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai tekanan di dalam kehidupan.

b. Steering through

Dalam menghadapi setiap masalah, tekanan, dan konflik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, individu yang resilien akan menggunakan sumber dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi setiap masalah yang ada, tanpa harus merasa terbebani dan bersikap negatif terhadap kejadian tersebut. Individu resilien dapat memandu serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan hidupnya.

c. Bouncing back

Tidak dapat dipungkiri, bahwa terkadang beberapa kejadian merupakan hal yang bersifat traumatik dan menimbulkan tingkat stres yang tinggi, sehingga diperlukan resiliensi yang lebih tinggi dalam menghadapi dan mengendalikan diri


(4)

sendiri. Kemunduran yang dirasakan biasanya begitu ekstrim, menguras emosional, dan membutuhkan resiliensi dengan cara bertahap untuk menyembuhkan diri. Orang yang resiliensi biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik untuk menyembuhkan diri. Mereka menunjukkan task-oriented coping style dimana mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan tersebut, mereka mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan mereka, dan orang yang mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat dari trauma mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain sebagai cara untuk mengatasi pengalaman yang mereka rasakan.

d. Reaching out

Resiliensi, selain berguna untuk mengatasi pengalaman negatif, stres, atau menyembuhkan diri dari trauma, juga berguna untuk mendapatkan pengalaman hidup yang lebih kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar pembelajaran dan pengalaman baru. Orang yang berkarakteristik seperti ini melakukan tiga hal dengan baik, yaitu: tepat dalam memperkirakan risiko yang terjadi; mengetahui dengan baik diri mereka sendiri; dan menemukan makna dan tujuan dalam kehidupan mereka.

3. Sumber-sumber Resiliensi

Menurut Grotberg (1999) ada beberapa sumber dari resiliensi yaitu sebagai berikut :


(5)

I Have merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar individu. Dukungan ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga. Melalui I Have, seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan. Hubungan seperti ini diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman-teman yang mencintai dan menerima diri anak tersebut.

b. I Am (kemampuan individu)

I Am, merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. Individu yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai karakteristik yang menarik dan penyayang sesama. Hal tersebut ditandai dengan usaha mereka untuk selalu dicintai dan mencintai orang lain. Mereka juga sensitif terhadap perasaan orang lain dan mengerti yang diharapkan orang lain terhadap dirinya.

Mereka juga merasa bahwa mereka memiliki empati dan sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu mereka tunjukkan melalui sikap peduli mereka terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain. Mereka juga merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi.

Individu yang resilien juga merasakan kebanggaan akan diri mereka sendiri. Mereka bangga terhadap apa yang telah mereka capai. Ketika mereka mendapatkan masalah atau kesulitan, rasa percaya dan harga diri yang tinggi akan membantu mereka dalam mengatasi kesulitan tersebut. Mereka merasa mandiri


(6)

dan cukup bertanggungjawab. Mereka dapat melakukan banyak hal dengan kemampuan mereka sendiri. Mereka juga bertanggungjawab atas pekerjaan yang telah mereka lakukan serta berani menangung segala konsekuensinya.

Selain itu mereka juga diliputi akan harapan dan kesetiaan. Mereka percaya bahwa akan memperoleh masa depan yang baik. Mereka memiliki kepercayaan dan kesetiaan dalam moralitas dan ke-Tuhan-an mereka.

c. I Can (kemampuan sosial dan interpersonal)

I Can merupakan kemampuan anak untuk melakukan hubungan sosial dan

interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya dengan semua orang yang ada disekitar mereka. Individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik. Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik.

Kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati juga dimiliki oleh individu yang resilien. Mereka mampu menyadari perasaan mereka dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam perasaan dan hak orang lain. Mereka juga mampu mengendalikan dorongan untuk memukul, melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada hal-hal yang tidak baik.

Mereka juga dapat memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain. Ini membantu individu untuk mengetahui seberapa banyak waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, dan seberapa banyak ia dapat menangani berbagai macam


(7)

situasi. Selain itu, individu yang resilien juga dapat menemukan seseorang untuk meminta bantuan, untuk menceritakan perasaan dan masalah, serta mencari cara untuk menyelesaikan masalah pribadi dan interpersonal.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi

Menurut Holaday (Southwick, P.C. 2001), faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah :

a) Dukungan sosial, yaitu berupa dukungan masyarakat, dukungan pribadi, dukungan keluarga, serta budaya dan komunitas dimana individu tinggal. b) Kemampuan kognitif, diantaranya intelegensi, cara pemecahan masalah,

kemampuan dalam menghindar dari menyalahkan diri sendiri, kontrol diri dan spiritualitas.

c) Sumber psikologis, yaitu locus of control internal, empati dan rasa ingin tahu, cenderung mencari hikmah dari setiap pengalaman serta selalu fleksibel dalam setiap situasi.

B. Harga diri

1. Definisi Harga diri

Harga diri merupakan penilaian/evaluasi individu yang berkaitan dengan keyakinan akan kemampuan, perasaan berharga, dan perasaan diterima yang dimiliki individu mengenai dirinya sendiri. Coopersmith (1981) menyatakan bahwa harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang diekspresikan melalui suatu bentuk penilaian


(8)

setuju dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga.

Sedangkan menurut Frey & Carlock (1987) harga diri adalah penilaian tinggi atau rendah terhadap diri sendiri yang menunjukkan sejauh mana individu itu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga yang berpengaruh dalam perilaku seseorang. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap keberadaan dan keberartian dirinya. Individu yang memiliki harga diri yang tinggi akan menerima dan menghargai dirinya sendiri apa adanya.

Dalam harga diri tercakup evaluasi dan penghargaan terhadap diri sendiri dan menghasilkan penilaian tinggi atau rendah terhadap dirinya sendiri. Penilaian tinggi terhadap diri sendiri adalah penilaian terhadap kondisi diri, menghargai kelebihan dan potensi diri, serta menerima kekurangan yang ada, sedangkan yang dimaksud dengan penilaian rendah terhadap diri sendiri adalah penilaian tidak suka atau tidak puas dengan kondisi diri sendiri, tidak menghargai kelebihan diri dengan melihat diri sebagai sesuatu yang selalu kurang (Santrock, 1998). Dengan kata lain, harga diri merupakan penilaian individu tentang dirinya yang diekspresikan melalui tingkah lakunya sehari-hari.

2. Komponen Harga diri

Harga diri seseorang dapat dilihat dari beberapa komponen. Komponen-komponen harga diri menurut Felker (1974) adalah:


(9)

a. Feeling of belonging (perasaan diterima), yaitu perasaan individu dimana ia merupakan bagian dari suatu kelompok dan individu tersebut diterima oleh anggota kelompok lainnya. Ia akan memiliki penilaian yang positif akan dirinya jika ia merasa diterima dan menjadi bagian dari kelompok tersebut. Individu akan menilai sebaliknya jika ia merasa ditolak atau tidak diterima oleh kelompok tersebut.

b. Feeling of competence (perasaan mampu), yaitu perasaan individu bahwa ia mampu melakukan sesuatu untuk mencapai hasil yang diharapkan. Jika ia berhasil mencapai tujuan maka ia akan memberikan penilaian yang positif terhadap dirinya. Selain itu, ia merasa percaya terhadap pikiran, perasaan dan tingkah laku yang berhubungan dengan kehidupannya (Frey & Carlock, 1987).

c. Feeling of worth (perasaan berharga), yaitu perasaan individu bahwa dirinya berharga. Individu yang memiliki perasaan berharga akan menilai dirinya secara positif, merasa yakin terhadap diri sendiri, dan mempunyai harga diri atau self respect (Frey & Carlock, 1987).

3. Karakteristik Individu Berdasarkan Harga diri

Coopersmith (1981), membagi tingkat harga diri individu menjadi dua golongan yaitu:

a. Individu dengan harga diri yang tinggi:

1) Aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik;

2) Berhasil dalam bidang akademik dan menjalin hubungan sosial; 3) Dapat menerima kritik dengan baik;


(10)

4) Percaya pada persepsi dan reaksinya sendiri;

5) Tidak terpaku pada dirinya sendiri atau hanya memikirkan kesulitannya sendiri;

6) Memiliki keyakinan diri, tidak didasarkan atas fantasi, karena mempunyai kemampuan, kecakapan dan kualitas diri yang tinggi;

7) Tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain tentang kepribadiannya;

8) Lebih mudah menyesuaikan diri dengan suasana yang menyenangkan sehingga tingkat kecemasannya rendah dan memiliki ketahanan diri yang seimbang.

b. Individu dengan harga diri yang rendah: 1) Memiliki perasaan inferior

2) Takut gagal dalam membina hubungan sosial 3) Terlihat sebagai orang yang putus asa dan depresi 4) Merasa diasingkan dan tidak diperhatikan

5) Kurang dapat mengekspresikan diri 6) Sangat tergantung pada lingkungan 7) Tidak konsisten

8) Secara pasif mengikuti lingkungan

9) Menggunakan banyak taktik mempertahankan diri (defense mechanism) 10)Mudah melakukan kesalahan

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Harga diri

Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri (Coopersmith, 1981), antara lain :


(11)

a. Penghargaan dan Penerimaan dari Orang-orang yang Signifikan

Harga diri seseorang dipengaruhi oleh sikap orang-orang yang dianggap penting yang berada di sekitar individu. Keluarga merupakan lingkungan tempat interaksi yang pertama kali terjadi dalam kehidupan seseorang.

b. Kelas Sosial dan Kesuksesan

Kedudukan kelas sosial dapat dilihat dari pekerjaan, pendapatan dan tempat tinggal. Individu yang memiliki pekarjaan yang lebih bergengsi, pendapatan yang lebih tinggi, dan tinggal dalam lokasi rumah yang lebih besar dan mewah akan dipandang lebih sukses dimata masyarakat dan menerima keuntungan material dan budaya. Hal ini akan menyebabkan individu dengan kelas sosial yang tinggi meyakini bahwa diri mereka lebih berharga dari orang lain.

c. Nilai dan Inspirasi Individu dalam Menginterpretasi Pengalaman

Kesuksesan yang diterima oleh individu tidak mempengaruhi harga diri secara langsung, melainkan disaring terlebih dahulu sesuai tujuan dan nilai yang dianut oleh individu.

d. Cara Individu dalam Menghadapi Devaluasi

Individu dapat meminimalisasi ancaman berupa evaluasi negatif yang datang dari luar dirinya. Mereka dapat menolak hak dari orang lain yang memberikan penilaian negatif terhadap diri mereka


(12)

C. Multietnis Batak-Tionghoa 1. Pengertian Anak Multietnis

Indonesia merupakan negara yang memiliki suku bangsa atau etnis terbanyak di dunia. Menurut data sensus BPS tahun 2010, terdapat 1.340 suku bangsa di Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2014).

Meningkatnya interaksi sosial di antara kelompok-kelompok masyarakat Indonesia yang pluralistik tersebut, memungkinkan terjadinya hubungan perkawinan (Soimin, 2004).

Hariyono (1993) mengatakan bahwa perkawinan beda etnis adalah asimilasi perkawinan yang memberi pengertian tentang bersatunya jiwa, kepribadian, sifat, dan perilaku dari dua insan (yang berlawanan jenis kelamin) yang memiliki perbedaan etnis.

Anak-anak yang lahir dari orangtua yang berbeda ras akan memiliki identitas etnis lebih dari satu (multietnis atau multiracial). Anak multietnis memiliki lebih banyak pilihan dalam mengidentifikasi identitas rasnya berdasarkan latar belakang ras orangtuanya (Shih & Sanchez, 2005).

Koentjaraningrat (2007) mengatakan bahwa perkawinan campuran perantau Tionghoa dengan wanita-wanita Indonesia sering terjadi sejak abad 16 sampai permulaan abad ke-20. Hal ini disebabkan kebanyakan perantau Tionghoa itu adalah laki-laki.


(13)

Batak merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia yang mana sebagian besar bermukim di Sumatera Utara. Suku yang dikategorikan sebagai Batak yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak dan Batak Mandailing/Batak Angkola, kategori tersebut dibagi berdasarkan nama daerah asalnya misalnya Batak Toba mendiami daerah Toba, Batak Karo mendiami daerah Karo, Batak Simalungun mendiami daerah simalungun begitu juga dengan yang lainnya (Koentjaraningrat, 2007).

Etnis Batak juga terikat kuat oleh sistem kekerabatan dan memiliki budaya dominan dalam mempertahankan garis keturunan yang dikenal dengan istilah marga, yang sepenuhnya bersifat patrilinear sesuai dengan galur suami dalam garis laki-laki (Efendy, 2010). Menurut Vergouwen (2004), marga dalam masyarakat Batak merupakan sekelompok masyarakat yang keturunan dari kakek bersama dimana keturunan tersebut di turunkan dari marga bapak atau patrilineal. Maka dari itu semua orang Batak membubuhkan nama marga dari ayahnya di belakang nama kecilnya. Disamping itu masyarakat Batak mempunyai sistem kekerabatan yang dinamakan “dalihan na tolu” (Koentjaraningrat, 2007).

Suku Batak juga dikenal menyukai tantangan karena orang-orang terdahulu atau para nenek moyang tinggal di medan yang sangat keras dan sulit. Oleh karena itu, bagi anak-anak suku Batak diwarisi ketangguhan ini juga. Ketangguhan yang akhirnya memupuk mereka menjadi pribadi yang diandalkan. Suku Batak dikenal juga sebagai suku yang pemberani, saat yang lain takut untuk


(14)

memulai, orang Batak berani untuk memulainya lebih dulu. Kata menyerah tidak identik dengan suku Batak (Sgn, 2012).

Selain itu suku Batak menghormati semua budaya. Kedinamisan orang Batak juga tampak dari sifat mereka yang menghargai budaya lain. Walau orang Batak, sangat mencintai Bahasa Batak, namun banyak orang Batak yang fasih menggunakan bahasa dari daerah lain. Penghargaan mereka terhadap bahasa budaya lain sangat besar, seperti : orang Batak tidak segan memakai pakaian adat budaya lain atau ikut dalam upacara-upacara dalam kebudayaan yang berbeda. Suku Batak tidak pernah menutup diri, walaupun nilai kedaerahan mereka sangat kuat (Sgn, 2012).

b. Tionghoa

Di kalangan orang yang bukan Cina seringkali terjadi kebingungan untuk menyebut orang Cina dengan sebutan Cina, Tionghoa, Chinese, ataukah Cino (Susetyo, 2002). Etnik Cina adalah salah satu kelompok masyarakat non-pribumi yang bermigrasi ke Indonesia. Mereka memasuki Indonesia melalui gelombang-gelombang migrasi yang besar dari Malaysia dan Dataran Cina. Mereka didatangkan karena tenaganya dibutuhkan di perkebunan-perkebunan tembakau yang telah dibuka oleh pemerintah Kolonial Belanda (Suryadinata, 1984).

Menurut Budiman (dalam Susetyo, 2002) sebagai orang keturunan Cina mengakui bahwa di kalangan orang Cina sendiri ada keinginan kuat untuk mengganti istilah Cina dengan Tionghoa, karena istilah Cina sebenarnya merupakan “hukuman” yang diberikan oleh pemerintahan Orde Baru


(15)

menggantikan sebutan Tionghoa, karena orang-orang Cina di Indonesia dianggap sebagai agen pemerintah Cina yang turut mendukung pemberontakan PKI tahun 1965. Oleh karena itu Suryadinata (1999) mengatakan sebutan Tionghoa perlu diperkenalkan kembali untuk menggantikan sebutan Cina yang dirasa menyakitkan karena istilah Cina

Etnis Tionghoa menurut Sharley (2009) memegang teguh garis keturunan laki-laki (patriarki), tidak diperbolehkan menikah dengan etnis lain untuk mempertahankan keturunan dan budayanya. Disamping itu, kebudayaan etnis Tionghoa memang sama sekali berbeda dari kebudayaan-kebudayaan yang dimiliki pada umumnya masyarakat di Indonesia, khususnya keyakinan (Suparlan, 1984). Bagi masyarakat Tionghoa ada keyakinan tiga agama, yaitu: Buddha, Kong Fu-Tse dan Tao, yang ketiga-tiganya dipuja bersama-sama (Koentjaraningrat, 2007).

Menurut Seng (2013) ada 6 prinsip dipegang oleh orang Cina, antara lain : 1. Agresif

2. Jangan melepaskan peluang 3. Berani mengambil resiko

4. Tahan Banting, orang yang dilahirkan sebagai etnis Tionghoa harus memiliki mental dan jiwa yang kukuh untuk menghadapai tekanan apapun

5. Jangan menyerah pada nasib, orang Tionghoa percaya adanya takdir, tetapi mereka tidak mudah menyerah pada nasib, terbuka serta berlapang dada


(16)

apabila menghadapi situasi sulit. Dengan melihat ke depan dan melalui masalah

6. Semangat berjuang, suku Tionghoa adalah fighter (petarung) dan survivor (punya cara untuk bertahan hidup). Mereka punya motivasi dan semangat yang tak kunjung padam. Mereka harus selalu bersemangat dengan apa yang dilakukannya, dan yakin bahwa kesuksesan pasti akan mereka raih pada saatnya.

Keturunan Tionghoa sering juga disebut peranakan. Yang dimaksud dengan, menurut Mely G. Tan (1979) memiliki ciri : (...) mereka yang orientasi kebudayaannya berintikan kebudayaan setempat, seperti: Jawa, Sunda, Ambon, Menado, yang di rumahnya menggunakan bahasa setempat; pendeknya mereka yang mengalami proses akulturasi yang mendalam dengan kebudayaan di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan. Orang-orang ini biasanya dinamakan orang “peranakan”.

Hampir sama dengan Melly G. Tan, menurut Gondomono (1996:2-3) menggolongkan peranakan sebagai golongan Tionghoa-Indonesia :

“Mereka kemudian malahan hidup dengan perempuan setempat dan menetap di Indonesia untuk selama-lamanya. Mereka membentuk komunitas sendiri yang makin lama makin berbeda secara kultural dengan masyarakat leluhur Tionghoa. Maka terbentuklah kelompok yang dalam banyak tulisan disebut sebagai golongan “peranakan”.

Astaman (2011) mengatakan bahwa menjadi Cina memang tidak pernah jadi pilihan favorit di Indonesia. Karena kata “Cina” berkonotasi sengkek, pelit, perhitungan, curang. Selanjutnya Astaman (2011) menambahkan bahwa ia


(17)

merasa adanya penolakan terhadap dirinya, baik oleh kelompok Tionghoa maupun pribumi.

Etnis Tionghoa di Medan berbeda dengan etnis Tionghoa di wilayah lainnya di Indonesia. Setiono (2007) mengatakan bahwa masyarakat Tionghoa di Medan masih kental memelihara budaya Tionghoa dan menggunakan bahasa Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari. M. Rajab Lubis (1995) menambahkan bahwa etnis Tionghoa di Medan juga memiliki motivasi yang rendah dalam berafilisiasi terhadap etnis setempat.

2. Tantangan-tantangan Anak Multietnis

Banyak tantangan yang sering dihadapi oleh anak biracial, diantaranya : a. Kebingungan Identitas

Suparlan (1984) mengungkapkan bahwa dalam perkawinan beda etnis, anak membutuhkan kepastian status sosial dan identitas ras. Menurut Lisa Orr (dalam Liliweri, 2002) identitas sangat dibutuhkan setiap orang, karena identitas bermakna 3 hal, yaitu: identitas pribadi, identitas sosial dan identitas budaya.

Individu multietnis pada dasarnya dapat mengidentifikasi dirinya lebih dari satu etnis, namun orang lain mungkin menganggap dia merupakan anggota dari etnis lain karena penentuan etnis seseorang terutama didasarkan pada penampilan fisiknya (Qian, 2004). Sejalan dengan pendapat ini, Hall (1992) menyatakan bahwa anak-anak multietnis mencoba menggunakan warisan budaya campuran dari keluarganya untuk menentukan posisi mereka dalam


(18)

masyarakat dan seringnya penentuan identitas didasarkan pada penampakan fisiknya.

Keharusan untuk memilih hanya satu identitas tunggal sering membuat anak biracial menjadi tertekan (Coleman & Carter, 2007). Pertanyaan seperti "Anda suku apa?", atau ketika harus menandai satu kolom suku saja pada saat mengisi kuesioner yang hanya menyediakan pilihan dengan satu suku per-item, membuat anak-anak multiracial merasa dipaksa untuk memilih identitas etnis secara tunggal. (Salahuddin & O'Brien, 2011).

Coleman dan Carter (2007) juga mengatakan bahwa bagi individu-individu birasial, hal ini sering terjadi, dimana mereka harus memilih identitas rasnya. Pilihan ini sering didasarkan pada pengaruh sosial dan tekanan dari keluarga, komunitas, dan konstruksi sosial). Hal ini menyebabkan anak biracial harus menempatkan dirinya sesuai dengan ras yang disepakatinya dan sering merasa seperti bunglon. Pengalaman bunglon adalah ketika individu harus berbaur dengan kelompok ras dan tidak tampak berbeda dari orang di sekitar mereka (Miville, Constantine, Baysden & So-Lloyd, 2005).

b. Rasisme 1) Pengertian

Rasisme didefinisikan dalam berbagai cara yang mencakup perilaku yang bervariasi yang dapat dianggap rasis; sebagaimana yang diungkapkan oleh Ridley (2005:29) bahwa rasisme sebagai setiap perilaku atau pola perilaku yang cenderung sistematis menolak akses suatu anggota kelompok ras ke peluang atau


(19)

hak sementara memungkinkan anggota kelompok ras lain untuk menikmati peluang-peluang atau hak istimewa tersebut".

2) Jenis-jenis Rasisme

Terdapat dua jenis utama rasisme menurut Ridley (2005), yaitu: individu dan institusional

a) Individu, apabila rasisme dilakukan oleh satu orang atau sekelompok kecil orang.

b) Institusional, mengacu pada rasisme yang dilakukan oleh organisasi dan lembaga. Kedua jenis rasisme, baik individu dan institusi dapat terbuka atau terselubung. Rasisme terang-terangan selalu merupakan hasil dari niat jahat, sedangkan rasisme terselubung dapat disengaja dan berbahaya atau tidak disengaja dan tanpa niat jahat (Ridley, 2005).

Utsey dan Ponterotto (1996) mengidentifikasi jenis lain dari rasisme, yang mereka sebut rasisme budaya. Rasisme budaya mengacu pada praktek yang menegakkan satu budaya tertentu sebagai budaya yang ideal, dan mendevaluasi budaya lain sebagai inferior. Pengalaman-pengalaman rasis menjadi sumber trauma (Bryant-Davis & Ocampo, 2005), dan dikatakan berhubungan dengan tekanan darah tinggi (Krieger & Sidney, 1996), stres (Utsey & Ponterotto, 1996), menurunkan tingkat perasaan kebahagiaan dan identik dengan kepuasan hidup yang rendah (Jackson, Williams, & Torres, 1995) dan harga diri yang rendah (Fernando, 1984).


(20)

Invalidasi sosial umumnya dialami oleh individu multiracial (Rockquemore & Laszloffy, 2003). Invalidasi sosial mengacu pada invalidasi identitas rasial secara sistematis yang banyak ditemui oleh individu multiracial. Invalidasi sosial ini mungkin berupa penolakan dari kelompok ras dimana mereka mengidentifikasi diri mereka, individu lainnya menantang ras identifikasi diri seseorang, dan kurangnya pengakuan keberadaan multiracial individu (Shih & Sanchez, 2005).

Validasi sosial, penerimaan, dan persetujuan merupakan hal yang penting bagi perkembangan identitas individu karena individu mendefinisikan mereka di bagian mana berdasarkan bagaimana orang lain bereaksi terhadap mereka (Rockquemore & Laszolffy, 2003; Root, 1994). Lebih khusus, individu multiracial belajar apa artinya menjadi multiracial dan nilai menjadi bagian individu yang multiracial melalui persepsi mereka tentang bagaimana orang lain melihat mereka. Dengan demikian, interaksi positif dengan orang lain adalah suatu teori yang menghasilkan persepsi positif dari identitas seseorang.

d. Prasangka, Stereotype, dan Diskriminasi

Prasangka adalah sikap berbahaya berdasarkan generalisasi yang tidak benar tentang sekelompok orang berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, usia, atau perbedaan yang nyata lainnya. Perbedaan ini diyakini oleh orang berprasangka menyiratkan sesuatu yang negatif tentang seluruh kelompok. Generalisasi yang tidak benar yang didasarkan oleh prasangka disebut stereotype (Lahey, 2005). Sementara itu, diskriminasi adalah wujud dari prasangka dalam


(21)

tingkah laku atau aksi negatif terhadap kelompok yang menjadi sasaran prasangka.

Identits ke-Cina-an lekat dengan berbagai citra yang kurang menguntungkan di mata etnis pribumi maupun kalangan birokrasi pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari stereotype, prasangka, dan diskriminasi yang semakin mempertegas citra buruk etnis Tionghoa di mata etnis Indonesia lainnya (Susetyo, 2002).

D. Dinamika Hubungan antara Resiliensi dengan Harga diri pada Anak Multietnis

Anak yang lahir dari hasil perkawinan campuran antara dua ras atau etnis berbeda biasanya dikenal dengan istilah anak multietnis. Anak multietnis memiliki lebih banyak pilihan dalam mengidentifikasi identitas etnisnya berdasarkan latar belakang etnis orangtuanya (Shih & Sanchez, 2005). Dalam menjalani kehidupan sebagai seorang anak multietnis bukanlah hal yang mudah, banyak tantangan yang sering dihadapi, diantaranya kebingungan identitas dan menghadapi diskriminasi.

Suparlan (1984) mengungkapkan bahwa dalam perkawinan beda etnis, anak membutuhkan kepastian status sosial dan identitas ras. Menurut Lisa Orr (dalam Liliweri, 2002) identitas sangat dibutuhkan setiap orang, karena identitas bermakna 3 hal, yaitu: identitas pribadi, identitas sosial dan identitas budaya. Memilih identitas bukanlah hal yang mudah untuk anak multietnis Batak-Tionghoa, yang mana memilih Batak menjadi identitas diri tidak bisa dilakukan


(22)

secara sembarangan, karena perkawinan orang Batak apalagi bagi perempuan Batak yang menikah dengan orang yang bukan Batak masih dianggap banyak orang sebagai hal yang “mengusik”, “melemahkan” atau bahkan “menghilangkan” tatanan adat warisan nenek moyang. Hal ini memberikan dampak terutama kepada anak-anaknya yang akan sulit menjalankan posisi dan peran sebagai dalam sistem kekerabatan “dalihan na tolu” (Koentjaraningrat, 2007).

Sebaliknya, memilih Tionghoa sebagai identitas sudah tentu harus memiliki kesiapan psikologis untuk menghadapi konsekuensi karena identitas ke-Cina-an lekat dengan berbagai citra yang kurang menguntungkan di mata etnis pribumi maupun kalangan birokrasi pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari stereotype, prasangka, dan diskriminasi yang semakin mempertegas citra buruk etnis Tionghoa di mata etnis Indonesia lainnya (Susetyo, 2002).

Keharusan untuk memilih hanya satu identitas tunggal sering membuat anak multietnis menjadi tertekan (Coleman & Carter, 2007). Pertanyaan seperti "Anda suku apa?", atau ketika harus menandai satu kolom suku saja pada saat mengisi kuesioner yang hanya menyediakan pilihan dengan satu suku per-aitem, membuat anak-anak multiracial merasa dipaksa untuk memilih identitas etnis secara tunggal. (Salahuddin & O'Brien, 2011).

Coleman dan Carter (2007) juga mengatakan bahwa bagi individu-individu multietnis, hal ini sering terjadi, dimana mereka harus memilih identitas rasnya. Pilihan ini sering didasarkan pada pengaruh sosial dan tekanan dari keluarga, komunitas, dan konstruksi sosial). Hal ini menyebabkan anak multietnis


(23)

harus menempatkan dirinya sesuai dengan ras yang disepakatinya dan sering merasa seperti bunglon. Pengalaman bunglon adalah ketika individu harus berbaur dengan kelompok ras dan tidak tampak berbeda dari orang di sekitar mereka (Miville, Constantine, Baysden & So-Lloyd, 2005).

Selain itu anak multietnis juga kerap mengalami tindakan rasisme. Rasisme didefinisikan sebagai setiap perilaku atau pola perilaku yang cenderung sistematis menolak akses suatu anggota kelompok ras ke peluang atau hak sementara memungkinkan anggota kelompok ras lain untuk menikmati peluang-peluang atau hak istimewa tersebut" Ridley (2005:29).

Anak multietnis juga kerap mengalami diskriminasi karena prasangka dan stereotye yang dimiliki oleh lingkungan sosial di sekitarnya. Prasangka adalah sikap berbahaya berdasarkan generalisasi yang tidak benar tentang sekelompok orang berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, usia, atau perbedaan yang nyata lainnya. Perbedaan ini diyakini oleh orang berprasangka menyiratkan sesuatu yang negatif tentang seluruh kelompok. Generalisasi yang tidak benar yang didasarkan oleh prasangka disebut stereotype (Lahey, 2005).

Individu multietnis pada dasarnya dapat mengidentifikasi dirinya lebih dari satu etnis, namun orang lain mungkin menganggap dia merupakan anggota dari etnis lain karena penentuan etnis seseorang terutama didasarkan pada penampilan fisiknya (Qian, 2004). Anak yang lahir dari perkawinan beda etnis Batak-Tionghoa akan mewarisi gen-gen orang Batak dan orang Tionghoa seperti yang dimiliki orangtuanya. Probabilitas penampilan fisik dari generasi campuran


(24)

etnis Batak-Tionghoa yang muncul, kemungkinannya adalah berbeda dari keturunan Tionghoa umumnya, seperti memiliki kulit warna coklat, dan juga berbeda dari keturunan Batak pada umumnya, seperti bermata sipit.

Sejalan dengan pendapat ini, Hall (1992) menyatakan bahwa anak-anak multietnis mencoba menggunakan warisan budaya campuran dari keluarganya untuk menentukan posisi mereka dalam masyarakat dan seringnya penentuan identitas didasarkan pada penampakan fisiknya.

Banyaknya tantangan yang dihadapi anak multietnis tentu bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Persoalan pemilihan identitas yang menimbulkan kebingungan sebagai tantangan dari dalam diri, dan berbagai perlakuan diskriminasi dan persoalan stereotype sebagai tantangan dari luar diri merupakan beberapa masalah yang membutuhkan cara penanganan yang tepat. Apalagi masalah diskriminasi dan stereotype seringkali muncul dan berkemungkinan terjadi secara berulang-ulang.

Banyaknya tantangan dan frekuensi kejadian yang berulang-ulang sering membuat anak multietnis dihadapkan dengan kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan. Bagi anak multietnis yang mempunyai penilaian diri yang positif maka ia akan mampu melewati hambatan-hambatan yang ada. Selain penilaian diri yang positif, kesuksesan menghadapi tantangan juga memerlukan sikap tangguh dan tidak mudah putus asa atau resilien.

Untuk dapat menjadi individu yang resiliensi, anak multietnis Batak-Tionghoa membutuhkan dukungan dari sekitarnya. Dukungan ini berupa


(25)

hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga (Grotberg, 1999). Jika mereka tidak mendapat dukungan dari sekitar mereka, hal ini dapat mempengaruhi feeling of belonging, yaitu perasaan individu dimana ia merupakan bagian dari suatu kelompok dan individu tersebut diterima oleh anggota kelompok lainnya. Ia akan memiliki penilaian yang positif akan dirinya jika ia merasa diterima dan menjadi bagian dari kelompok tersebut. Individu akan menilai sebaliknya jika ia merasa ditolak atau tidak diterima oleh kelompok tersebut. Hal ini akan mempengaruhi harga diri mereka (Felker, 1974). Menurut Coopersmith (1981) tinggi atau rendahnya harga diri seseorang ditentukan oleh (a) Penghargaan dan Penerimaan dari Orang-orang yang Signifikan. Harga diri seseorang dipengaruhi oleh sikap orang-orang yang dianggap penting yang berada di sekitar individu. Keluarga merupakan lingkungan tempat interaksi yang pertama kali terjadi dalam kehidupan seseorang. (b) Kelas Sosial dan Kesuksesan. Kedudukan kelas sosial dapat dilihat dari pekerjaan, pendapatan dan tempat tinggal. Individu yang memiliki pekarjaan yang lebih bergengsi, pendapatan yang lebih tinggi, dan tinggal dalam lokasi rumah yang lebih besar dan mewah akan dipandang lebih sukses dimata masyarakat dan menerima keuntungan material dan budaya. Hal ini akan menyebabkan individu dengan kelas sosial yang tinggi meyakini bahwa diri mereka lebih berharga dari orang lain. (c) Nilai dan Inspirasi Individu dalam Menginterpretasi Pengalaman. Kesuksesan yang diterima oleh individu tidak mempengaruhi harga diri secara langsung, melainkan disaring terlebih dahulu sesuai tujuan dan nilai yang dianut oleh individu. (d) Cara


(26)

Individu dalam Menghadapi Devaluasi. Individu dapat meminimalisasi ancaman berupa evaluasi negatif yang datang dari luar dirinya. Mereka dapat menolak hak dari orang lain yang memberikan penilaian negatif terhadap diri mereka.

Individu yang resilien juga memiliki kekuatan yang meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. Individu yang resilien juga merasakan kebanggaan akan diri mereka sendiri. Mereka bangga terhadap apa yang telah mereka capai. Ketika mereka mendapatkan masalah atau kesulitan, rasa percaya dan harga diri yang tinggi akan membantu mereka dalam mengatasi kesulitan tersebut. Anak resiliensi juga memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan sosial dan interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya dengan semua orang yang ada disekitar mereka. Individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik. Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik (Grotberg, 1999).

Kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati juga dimiliki oleh individu yang resilien. Mereka mampu menyadari perasaan mereka dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam perasaan dan hak orang lain. Mereka juga mampu mengendalikan dorongan untuk memukul, melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada hal-hal yang tidak baik. Mereka juga dapat memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain. Ini membantu individu untuk mengetahui seberapa banyak


(27)

waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, dan seberapa banyak ia dapat menangani berbagai macam situasi (Grotberg, 1999).

Hal ini mempengaruhi perasaan individu bahwa ia mampu melakukan sesuatu untuk mencapai hasil yang diharapkan. Jika ia berhasil mencapai tujuan maka ia akan memberikan penilaian yang positif terhadap dirinya. Selain itu, ia merasa percaya terhadap pikiran, perasaan dan tingkah laku yang berhubungan dengan kehidupannya (Frey & Carlock, 1987). Selain itu ketika individu tidak mengalami hambatan dan tantangan yang merugikannya, individu akan merasa bahwa dirinya berharga. Individu yang memiliki perasaan berharga akan menilai dirinya secara positif, merasa yakin terhadap diri sendiri, dan mempunyai harga diri atau self respect yang positif (Frey & Carlock, 1987).

Coopersmith (1981) menyatakan bahwa harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang diekspresikan melalui suatu bentuk penilaian setuju dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga.

Proses menghadapi situasi-situasi yang sulit dan menyikapi hambatan-hambatan yang ada akan selalu berkembang dari satu persoalan ke persoalan berikutnya, dari waktu ke waktu, mau tak mau memaksa anak multietnis Batak-Tionghoa untuk membangun kekuatan emosional dan psikologisnya agar tumbuh menjadi manusia yang tangguh atau resilien. Menurut Masten (2001), resiliensi


(28)

adalah pola-pola adaptasi positif dalam menghadapi resiko atau kemalangan yang signifikan.

E. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut ”Terdapat hubungan antara harga diri dengan resiliensi pada anak multietnis Batak-Tionghoa.”


(1)

harus menempatkan dirinya sesuai dengan ras yang disepakatinya dan sering merasa seperti bunglon. Pengalaman bunglon adalah ketika individu harus berbaur dengan kelompok ras dan tidak tampak berbeda dari orang di sekitar mereka (Miville, Constantine, Baysden & So-Lloyd, 2005).

Selain itu anak multietnis juga kerap mengalami tindakan rasisme. Rasisme didefinisikan sebagai setiap perilaku atau pola perilaku yang cenderung sistematis menolak akses suatu anggota kelompok ras ke peluang atau hak sementara memungkinkan anggota kelompok ras lain untuk menikmati peluang-peluang atau hak istimewa tersebut" Ridley (2005:29).

Anak multietnis juga kerap mengalami diskriminasi karena prasangka dan stereotye yang dimiliki oleh lingkungan sosial di sekitarnya. Prasangka adalah sikap berbahaya berdasarkan generalisasi yang tidak benar tentang sekelompok orang berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, usia, atau perbedaan yang nyata lainnya. Perbedaan ini diyakini oleh orang berprasangka menyiratkan sesuatu yang negatif tentang seluruh kelompok. Generalisasi yang tidak benar yang didasarkan oleh prasangka disebut stereotype (Lahey, 2005).

Individu multietnis pada dasarnya dapat mengidentifikasi dirinya lebih dari satu etnis, namun orang lain mungkin menganggap dia merupakan anggota dari etnis lain karena penentuan etnis seseorang terutama didasarkan pada penampilan fisiknya (Qian, 2004). Anak yang lahir dari perkawinan beda etnis Batak-Tionghoa akan mewarisi gen-gen orang Batak dan orang Tionghoa seperti yang dimiliki orangtuanya. Probabilitas penampilan fisik dari generasi campuran


(2)

etnis Batak-Tionghoa yang muncul, kemungkinannya adalah berbeda dari keturunan Tionghoa umumnya, seperti memiliki kulit warna coklat, dan juga berbeda dari keturunan Batak pada umumnya, seperti bermata sipit.

Sejalan dengan pendapat ini, Hall (1992) menyatakan bahwa anak-anak multietnis mencoba menggunakan warisan budaya campuran dari keluarganya untuk menentukan posisi mereka dalam masyarakat dan seringnya penentuan identitas didasarkan pada penampakan fisiknya.

Banyaknya tantangan yang dihadapi anak multietnis tentu bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Persoalan pemilihan identitas yang menimbulkan kebingungan sebagai tantangan dari dalam diri, dan berbagai perlakuan diskriminasi dan persoalan stereotype sebagai tantangan dari luar diri merupakan beberapa masalah yang membutuhkan cara penanganan yang tepat. Apalagi masalah diskriminasi dan stereotype seringkali muncul dan berkemungkinan terjadi secara berulang-ulang.

Banyaknya tantangan dan frekuensi kejadian yang berulang-ulang sering membuat anak multietnis dihadapkan dengan kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan. Bagi anak multietnis yang mempunyai penilaian diri yang positif maka ia akan mampu melewati hambatan-hambatan yang ada. Selain penilaian diri yang positif, kesuksesan menghadapi tantangan juga memerlukan sikap tangguh dan tidak mudah putus asa atau resilien.


(3)

Batak-hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga (Grotberg, 1999). Jika mereka tidak mendapat dukungan dari sekitar mereka, hal ini dapat mempengaruhi feeling of belonging, yaitu perasaan individu dimana ia merupakan bagian dari suatu kelompok dan individu tersebut diterima oleh anggota kelompok lainnya. Ia akan memiliki penilaian yang positif akan dirinya jika ia merasa diterima dan menjadi bagian dari kelompok tersebut. Individu akan menilai sebaliknya jika ia merasa ditolak atau tidak diterima oleh kelompok tersebut. Hal ini akan mempengaruhi harga diri mereka (Felker, 1974). Menurut Coopersmith (1981) tinggi atau rendahnya harga diri seseorang ditentukan oleh (a) Penghargaan dan Penerimaan dari Orang-orang yang Signifikan. Harga diri seseorang dipengaruhi oleh sikap orang-orang yang dianggap penting yang berada di sekitar individu. Keluarga merupakan lingkungan tempat interaksi yang pertama kali terjadi dalam kehidupan seseorang. (b) Kelas Sosial dan Kesuksesan. Kedudukan kelas sosial dapat dilihat dari pekerjaan, pendapatan dan tempat tinggal. Individu yang memiliki pekarjaan yang lebih bergengsi, pendapatan yang lebih tinggi, dan tinggal dalam lokasi rumah yang lebih besar dan mewah akan dipandang lebih sukses dimata masyarakat dan menerima keuntungan material dan budaya. Hal ini akan menyebabkan individu dengan kelas sosial yang tinggi meyakini bahwa diri mereka lebih berharga dari orang lain. (c) Nilai dan Inspirasi Individu dalam Menginterpretasi Pengalaman. Kesuksesan yang diterima oleh individu tidak mempengaruhi harga diri secara langsung, melainkan disaring terlebih dahulu sesuai tujuan dan nilai yang dianut oleh individu. (d) Cara


(4)

Individu dalam Menghadapi Devaluasi. Individu dapat meminimalisasi ancaman berupa evaluasi negatif yang datang dari luar dirinya. Mereka dapat menolak hak dari orang lain yang memberikan penilaian negatif terhadap diri mereka.

Individu yang resilien juga memiliki kekuatan yang meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. Individu yang resilien juga merasakan kebanggaan akan diri mereka sendiri. Mereka bangga terhadap apa yang telah mereka capai. Ketika mereka mendapatkan masalah atau kesulitan, rasa percaya dan harga diri yang tinggi akan membantu mereka dalam mengatasi kesulitan tersebut. Anak resiliensi juga memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan sosial dan interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya dengan semua orang yang ada disekitar mereka. Individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik. Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik (Grotberg, 1999).

Kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati juga dimiliki oleh individu yang resilien. Mereka mampu menyadari perasaan mereka dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam perasaan dan hak orang lain. Mereka juga mampu mengendalikan dorongan untuk memukul, melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada hal-hal yang tidak baik. Mereka juga dapat memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain. Ini membantu individu untuk mengetahui seberapa banyak


(5)

waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, dan seberapa banyak ia dapat menangani berbagai macam situasi (Grotberg, 1999).

Hal ini mempengaruhi perasaan individu bahwa ia mampu melakukan sesuatu untuk mencapai hasil yang diharapkan. Jika ia berhasil mencapai tujuan maka ia akan memberikan penilaian yang positif terhadap dirinya. Selain itu, ia merasa percaya terhadap pikiran, perasaan dan tingkah laku yang berhubungan dengan kehidupannya (Frey & Carlock, 1987). Selain itu ketika individu tidak mengalami hambatan dan tantangan yang merugikannya, individu akan merasa bahwa dirinya berharga. Individu yang memiliki perasaan berharga akan menilai dirinya secara positif, merasa yakin terhadap diri sendiri, dan mempunyai harga diri atau self respect yang positif (Frey & Carlock, 1987).

Coopersmith (1981) menyatakan bahwa harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang diekspresikan melalui suatu bentuk penilaian setuju dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga.

Proses menghadapi situasi-situasi yang sulit dan menyikapi hambatan-hambatan yang ada akan selalu berkembang dari satu persoalan ke persoalan berikutnya, dari waktu ke waktu, mau tak mau memaksa anak multietnis Batak-Tionghoa untuk membangun kekuatan emosional dan psikologisnya agar tumbuh menjadi manusia yang tangguh atau resilien. Menurut Masten (2001), resiliensi


(6)

adalah pola-pola adaptasi positif dalam menghadapi resiko atau kemalangan yang signifikan.

E. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti mengajukan hipotesis

sebagai berikut ”Terdapat hubungan antara harga diri dengan resiliensi pada anak multietnis Batak-Tionghoa.”