Partai Politk Islam Masalah dan Tantanga

PARTAI POLITIK ISLAM : MASALAH DAN
TANTANGAN PARTAI POLITIK ISLAM PADA
SAAT INI

Disusun oleh:
Ahmad Idham
NIM : 0801513032
HI 13 A
Program Studi Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Al-Azhar Indonesia
Jakarta
2015

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia­
Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini. Dimana, makalah ini dibuat untuk memenuhi
persyaratan Ujian Akhir Semester dalam mata kuliah Sistem Sosial dan Politik Indonesia.
Dimana   bahan   atau   sumber­sumber   yang   saya   dapatkan   atau   diperoleh,   berasal   dari

sumber­sumber yang baik dan terpercaya. Baik dari buku, referensi, media massa, hingga
website. Sehingga kualitas makalah ini sesuai dengan standar penulisan ilmiah. 
Saya mengakui bahwa saya adalah manusia yang mempunyai keterbatasan dalam
berbagai   hal.   Oleh   karena   itu   tidak   ada   hal   yang   dapat   diselesaikan   dengan   sangat
sempurna. Begitu pula dengan tugas ini. Sehingga saya berharap untuk kritikan dan saran
yang membangun terhadap makalah ini.  Dan penulis ingin mengucapkan terima kasih
banyak kepada  Bapak Prof. Dr. Yahya A. Muhaimin dan Bapak Dr. Ujang Komarudin,
M.Si  selaku   dosen   mata   kuliah   Sistem   Sosial   dan   Politik   Indonesia   yang   selalu
memberikan bimbingan serta bantuan terhadap makalah ini. Akhir kata, Penulis berharap
semoga makalah ini bisa bermanfaat dan berguna bagi para pembaca makalah ini. sekian
dan terimakasih. 
Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

Hormat Saya,
Ahmad Idham

Penulis

2


DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN.......................................................................................................i
KATA PENGANTAR..................................................................................................1
DAFTAR ISI................................................................................................................2
BAB I – PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah.........................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................4
1.3 Tujuan Pembahasan................................................................................................4
1.4 Manfaat Pembahasan..............................................................................................4
1.5 Sistematika Penulisan.............................................................................................5
BAB II - KERANGKA PEMIKIRAN.......................................................................6
BAB III – ISI PEMBAHASAN
3.1 Definisi Partai Politik dan Partai Politik Islam.......................................................7
3.2 Landasan Filosofis Berdirinya Partai Politik Islam................................................9
3.3 Partai Politik Islam Pada Saat Ini............................................................................13
BAB IV - KESIMPULAN..........................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................25

3

ii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pemilihan umum di Indonesia yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1955, sampai
masa orde baru serta reformasi saat ini menunjukkan bahwa partai-partai politik islam
tidak pernah berhasil memenangkan pemilu. Kita bisa lihat kembali sejak pemilu 1955,
partai politik Islam yang diwakili partai Masyumi, partai NU, PSII, PERTI, dan PPTI
hanya berhasil mengantungi dukungan suara 43,5 persen. Dalam pemilu 1999 yang
bersifat multi partai dan demokratis, partai politik Islam yaitu PPP, PBB, Partai Keadilan,
PNU, PKU, PSII dan PP kembali mengalami kekalahan dan hanya mampu
mengumpulkan dukungan suara sebesar 18,8 persen. Perolehan suara tersebut menurun
dibandingkan hasil pemilu 1955, di mana terdapat penurunan suara yang begitu
signifikan sebesar 25,32 persen. Kalau digabung perolehan suara dua partai yang berbasis
massa Islam yaitu PKB dan PAN yang tidak mendasarkan asasnya pada Islam, yang
memperoleh dukungan suara sebesar 18,8 persen, maka keseluruhan perolehan suara
parpol Islam dan parpol berbasis massa Islam pada pemilu 1999, hanya 37,19 persen,
yang berarti terjadi penurunan perolehan suara sebesar 6,31 persen dibanding hasil
pemilu 1955.1

Seringnya kekalahan-kekalahan yang dialami partai-partai politik Islam tersebut
bisa disebabkan karena beberapa faktor, diantara banyak faktor tersebut, terdapat salah
satu faktor utama yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal dapat meliputi
internal partai politik islam itu sendiri maupun internal umat islam. Kelemahan internal
partai politik islam salah satunya adalah kepemimpinan dan manajemen. Parpol Islam
dapat dikatakan agak lemah dalam manajemen konflik, sehingga selalu dirundung
perpecahan. Pada hal sumber perpecahan umumnya bukan dari hal-hal yang bersifat
perinsipil, tetapi hanya konflik kepentingan seperti persaingan antar tokoh dalam
1 Musni Umar, Islam dan Demokrasi di Indonesia: Kemenangan Abangan dan Sekuler (Jakarta: INSED
2004), 112-113.

4

memperebutkan posisi puncak di partai misalnya dalam muktamar atau kongres seorang
kandidat kalah dalam pemilihan ketua umum, kemudian yang kalah disingkirkan lalu
mendirikan partai baru dengan membawa gerbong pendukungnya. Kondisi semacam ini
melemahkan Parpol Islam, kendatipun dialami juga parpol-parpol sekuler. Pada hal
konflik merupakan dinamika yang tidak mungkin dicegah, tetapi yang terpenting
bagaimana mengelola konflik supaya berbagai perbedaan serta konflik kepentingan tetap
dapat dipersatukan.2

Sehubungan dengan tema yang diangkat makalah ini tentang Partai Politik Islam :
Masalah dan Tantangan Partai Politik Islam Pada Saat Ini. Artikel ini berusaha menjawab
pertanyaan­pertanyaan sebagai berikut: bagaimana sesungguhnya kondisi partai Islam?
Apa  saja  problem­problem  yang  dihadapi  partai  Islam?  Langkah  strategis  seperti  apa
yang harus dilakukan agar partai Islam tidak semakin terpuruk? Artikel ini menunjukkan
bahwa ada problem internal dan eksternal dalam partai Islam yang harus segera dijawab
jika partai­partai Islam ingin segera merumuskan jalan barunya.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa masalah dan tantangan partai politik islam pada saat ini?

1.3. Tujuan Pembahasan
1. Untuk memahami apa saja masalah dan tantangan partai politik islam pada saat ini
1.4. Manfaat Penulisan
Pembaca diharapkan dapat mendapat wawasan dan pengetahuan yang lebih ketika
membaca makalah yang berjudul Partai Politik Islam : Masalah dan Tantangan Partai
Politik Islam Pada Saat Ini. dan tentang bagaimana dan apa saja masalah serta tantangan
partai politik islam pada saat ini

2 Ibid, hlm 115
5


1.5. Sistematika Penulisan
BAB I
Berisikan tentang latar belakang masalah yang terdapat dalam Partai Politik Islam
: Masalah dan Tantangan Partai Politik Islam Pada Saat Ini. Beserta rumusan masalah,
tujuan pembahasan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan yang akan dijelaskan
secara rinci dan teratur.
BAB II
Berisikan kerangka pemikiran sebagai pembuka sebelum memasuki isi dari
makalah
BAB III
Berisikan Isi / Pembahasan dari makalah ini yang membahas tentang pengertian
atau definisi Partai Politik dan Politik Islam, Landasan Filosofis Berdirinya Partai Politik
Islam, Dan Partai Politik Islam Pada Saat Ini berserta contoh kasus.
BAB IV
Berisikan kesimpulan dari seluruh pembahasan yang ada dimakalah ini

6

BAB II

2.1. Kerangka Pemikiran
Munculnya   partai­partai   islam   di   Indonesia   disinyalir   sebagai   bentuk   dari
keinginan   formaliasi   islam   di   Indonesia.  Wawasan   politik   kaum   awam   yang   masih
bercorak paternalistik di satu pihak, serta kepentingan melihat politik sebagai pemenuhan
kebutuhan sesaat di pihak lain, merupakan kendala yang tidak kecil. Soal politik bukan
sekadar soal menyalurkan aspirasi untuk menegakkan kepemimpinan negara (imamah)
semata, tapi soal menata kehidupan secara lebih maslahat bagi umat.3 
Penelusuran terhadap sejarah perpolitikan di Indonesia dapat dilakukan dengan
berbagai cara sehingga dapat digunakan untuk mengungkap perjalanan perubahan sistem
politik umat Islam di Indonesia. Berpikir secara dialektis akan terlihat perjalanan sejarah
sebagai   sesuatu   yang   mapan   dan   mendapat   reaksi   hingga   pada   akhirnya   melahirkan
sintesa baru. Pendekatan ini tentu dapat digunakan untuk mengamati perjalanan sejarah
partai   politik   Islam   dan   politik   di   Indonesia   sebagai   umat   mayoritas   yang   memeluk
agama Islam. Keberadaan umat Islam di negara ini sering menjadi bahan pembicaraan
dan peranannya pun mengalami pasang surut. Ia pasang hampir pada setiap permulaan
babak baru, tetapi pada umumnya kemudian surut.4
Islam sebagai salah satu agama yang dianut oleh banyak rakyat Indonesia
memainkan peranan penting dalam perpolitikan di Indonesia. Tetapi, banyaknya parpol­
parpol islam di Indonesia memberikan banyak masalah dan tantangan yang dihadapi oleh
parpol­parpol islam tersebut.

Tulisan ini bertujuan membicarakan partai politik Islam pada pentas politik di
Indonesia. Untuk mempermudah, penulis mencoba membahas tiga pembahasan, yakni
Definisi   Partai   Politik   dan   Partai   Politik   Islam,   Landasan   Filosofis   Berdirinya   Partai
Politik Islam, dan Partai Politik Islam Pada Saat Ini.
3 “Islam dan Politik”, Nahdatul Ulama, accessed September 27, 2014 http://www.nu.or.id/a,public­
m,dinamic­s,detail­ids,6­id,50799­lang,id­c,taushiyah­t,Islam+dan+Politik­.phpx
4 Deliar Noer, "Islam dan Politik: Mayoritas dalam Minoritas" dalam Prisma, No.5 Thn. XVII, 1988, 
hlm.3. 

7

BAB III
3.1. Definisi Partai Poltik dan Partai Politik Islam
Definisi Partai Politik
Partai   adalah   perkumpulan   (segolongan   orang)   yang   seazas,   sehaluan,   dan
setujuan terutama dibidang politik.5 Miriam Budiardjo berpendapat bahwa secara umum
dapat   dikatakan   bahwa   partai   politik   adalah   suatu   kelompok   yang   terorganisir   yang
anggota­anggotanya mempunyai orientasi, nilai­nilai dan cita­cita yang sama, yakni yang
bertujuan   untuk   memperoleh   kekuasaan   politik   dan   merebut   kedudukan   politik­
(biasanya) dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijaksanaan–kebijaksanaan

mereka.6
Lain halnya dengan Bambang Cipto yang mempunyai pandangan bahwa partai
politik   merupakan   peralihan   jangka   panjang   dari   istilah   fraksi   yang   jauh   lebih   tua
umurnya, sifat peralihan ini menyebabkan proses pengakuan masyarakat politik terhadap
keberadaan partai penuh dengan kesukaran dan rintangan.7
Menurut   Sumarno   dan   Yeni   Lukiswara,   Partai   Politik   merupakan   sekelompok
manusia yang mengorganisir dirinya dalam bentuk organisasi politik yang didasarkan
pada suatu ideologi, dengan maksud untuk memperoleh atau merebut suatu kekuasaan
didalam   pemerintah.   Jadi   partai   politik   merupakan   perantara   yang   menghubungkan
kekuatan­kekuatan ideologi sosial dengan lembaga pemerintah.8
Definisi lainnya dikemukakan oleh Cheppy Haricahyono, dalam bukunya “ilmu
politik dan perspektifnya” mengatakan bahwa partai politik adalah sekelompok manusia
yang   secara   bersama­sama   menyetujui   prinsip­prinsip   tertentu   untuk   mengabdi   dan
melindungi kepntingan nasional.9
5 Marbun. BN, Kamus Politik, Jakarta : Pustaka Sinar harapan, 2004, hlm 402
6 Miriam Budiarjo, Dasar­dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia, cet­XIX, 1993, hlm 160
7Bambang Cipto, Prospek dan Tantangan Partai Politik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996, hlm 7
8 Sumarno dan Yeni R.Lukiswara, Pengantar Study Ilmu Politik, Bandung : Citra Adtya Bakti, 1992, hlm 
62


9 Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik Dan Perspektifnya, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1991, hlm 
8

Sedangkan menurut Deliar Noer, Partai politik merupakan himpunan orang­orang
yang   se­ideologi   atau   tempat/wadah   penyaringan   dan   pembulatan,   serta   tempat
berkumpulnya orang – orang yang se­ide, cita­cita dan kepentingan.10
Jadi partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga
negara Republik Indonesia secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita­cita
untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara, melalui
pemilihan umum.11
Definisi Partai Politik Islam
Dari   berbagai   pengertian   tentang   partai   politik   maka   dapat   diketahui   bahwa
“partai politik Islam” yang penulis maksudkan adalah suatu kelompok orang­orang Islam
yang   terorganisir   dalam   suatu   wadah   organisasi   yang   meletakkan   Islam   (Qur’an   dan
Hadits ) sebagai dasar dan garis perjuangannya untuk menyampaikan aspirasi, maupun
ide dan cita­cita umat Islam dalam suatu negara.
Atau dapat dikatakan bahwa “partai Islam” merupakan sekelompok orang yang
beragama Islam kemudian membentuk sebuah organisasi politik, yang yang mempunyai
ciri­ciri sebagai berikut:
a.


Partai yang menggunakan Islam (Qur’an, Sunah Rasul dan Syari’ah) sebagai azas
dalam menentukan vissi dan mssi perjuangan partai.

b.                Partai yang menggunakan Islam (Qur’an, Sunah Rasul dan Syari’ah) sebagai
landasan untuk kemantapan perjuangan partai 
c.                Partai yang menggunakan Islam sebagai dasar ideologi dalam pembentukan
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai. 

192.

10 Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta : Rajawali, 1983, hlm 209
11 Undang­ Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2002 “Tentang Partai Politik”, Yogyakarta, 
2003, hlm 8

9

d.                Partai yang mempunyai program perjuangan untuk Islam, umat Islam, serta
kemaslahatan umat, baik lewat jalur parlementer maupun ekstra parlementer. 
e.                 Partai   mempunyai   mempunyai   basis   pendukung,   kader,   dan   partisan   yang
keseluruhannya beragama Islam.
Ciri diatas merupakan cirikhas partai politik Islam dan yang termasuk kategori
partai  Islam  adalah  partai  Masyumi,  Partai  Bulan  Bintang,  Partai  Keadilan  Sejahtera,
Partai Persatuan Pembangunan, dan masih banyak lagi
3.2. Landasan Filosofis Berdirinya Partai Politik Islam
Partai Politik Islam Sebagai Sebuah Dasar
Berdasarkan kajian terhadap sumber ajaran Islam al­Qur’an dan sunnah, setiap
muslim meyakini bahwa kedua sumber ajaran tersebut memberikan skema kehidupan
(the scheme of life) yang sangat jelas. Skema kehidupan ini bermakna bahwa masyarakat
yang harus dibangun oleh setiap muslim adalah masyarakat yang tunduk pada kehendak
Ilahi, sehingga klasifikasinya tentang nilai baik dan buruk harus dijadikan kriteria atau
landasan  etis   dan  moral   bagi  pengembangan   seluruh  dimensi   kehidupan.12  Karenanya
pembumian nilai­nilai Islami merupakan suatu tuntutan terhadap umat Islam. Agaknya
akan lebih memperjelas masalah dengan mengutip ungkapan yang ditulis oleh H.A.R.
Gibb dalam bukunya Wither Islam, bahwa bukan hanya a system of theology, lebih dari
itu.   Islam   merupakan  a   complete   civilization.  Dengan   nada   yang   konfirmatif   Nasir
mengatakan   bahwa   Islam   tidak   dapat   dipisahkan   dari   seluruh   dimensi   kehidupan. 13
Islam   tidak   memisahkan   persoalan­persoalan   rohani   dengan   persoalan­
persoalan dunia, melainkan mencakup kedua segi ini. Hukum Islam (syariat) mengatur
keduanya, hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesamanya.
12 Amin Rais, Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1987, hlm. 50­ 51.
13 Dikutip dari Nasir Tamara, “Sejarah Politik Islam Orde Baru”, dalam Prisma, No. 5 Thn. XVII, 1988,
hlm. 1.

10

Menyadari akan hal ini, umat Islam memerlukan kekuasaan politik sebagai instrumen
yang vital bagi pelaksanaan nilai­nilai Islami. Dalam kitabnya al­Siyasah al­Syar’iyyah,
Ibnu Taimiyah mengungkapkan bahwa nilai (organisasi politik) bagi kehidupan kolektif
manusia   merupakan   keperluan   agama   yang   terpenting.   Tanpa   tumpangannya,   agama
tidak akan tegak dengan kokoh.14 
Muhammad Asad berpendapat bahwa suatu negara dapat menjadi benar­
benar   Islami   hanyalah   dengan   keharusan   pelaksanaan   yang   sadar   dari   ajaran   Islam
terhadap kehidupan bangsa, dan dengan jalan menyatukan ajaran itu ke dalam undang­
undang negara. Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara Islam apabila ajaran Islam
tentang   sosio­politik   dilaksanakan   dalam   kehidupan   rakyat   berdasarkan   konstitusi. 15
Untuk   mewujudkan   cita   cita   itu   memerlukan   perjuangan   dan
perjalanan yang panjang. Ini telah dilakukan oleh umat Islam Indonesia. Sebab disadari
sekali bahwa perjuangan melawan segala bentuk kezaliman merupakan suatu hal yang
harus dilaksanakan oleh umat Islam. Prinsip ini diyakini benar oleh umat Islam sehingga
jika tidak dilaksanakan atau tidak tercapai maka mustahil pelaksanaan ajaran Islam secara
benar   akan   dapat   diterapkan   dengan   baik.   Oleh   karena   itu   sangat   wajar   sekali   bila
dikatakan   umat   Islam   Indonesia   dikenal   sebagai   penantang­penantang   gigih   terhadap
segala bentuk imperialisme.
Para   pemimpin   umat   Islam   yang   tergabung   dalam   berbagai   partai   politik
membangun   semangat   kebangsaan   yang   tetap   dilandasi   benang   merah   Islam.   Warna
perjuangan   dalam   membentuk   suatu   bangsa   yang   merdeka   dan   berdaulat,   tentu   tidak
harus terhenti setelah bebasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Sebagai suatu
bangsa yang majemuk—bukan hanya dalam bentuk perbedaan suku dan adat namun yang
lebih serius adalah pada dataran perbedaan keyakinan dan agama—tentu menimbulkan
berbagai perbedaan kehendak dalam mewarnai bangsa dan negara ini. Akibatnya yang
14 Ibnu Taimiyah, al­Siyasash al­Syar’iyyah, Kairo: Dar al­Kutub al­'Arabi, 1952, hlm. 174. Lihat juga 
Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa Syaykh al­Islam Ahmad Ibnu Taimiyah, Jilid XXVIII, disunting oleh 
Muhammad Abdurrahman Ibnu Qasim, Riyadh: Matabi’ al­Riyadh, 1963, hlm. 62. 

15 Amin Rais, Cakrawala Islam..., hlm. 52; Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, 
Jakarta: LP3ES, 1985, hlm. 139­140 

11

tidak   dapat   dihindarkan   tentu   munculnya   berbagai   pergumulan   antara   sesama   anak
bangsa   yang   dilatarbelakangi   perbedaan   agama.   Bagi   umat   Islam,   negara   yang   ingin
dibentuk tentu berdasarkan ajaran Islam, dengan jalan menyatukan ajaran itu ke dalam
konstitusi negara. Inilah tema sentral yang diperjuangkan oleh para pemimpin Islam di
Indonesia   yang   pertama   ketika   menjelang   proklamasi   dan   yang   kedua   pada   masa
kemerdekaan.
Berakhirnya masa penjajahan dengan diproklamirkannya kemerdekaan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, menuntut para pemimpin bangsa bekerja keras
untuk menata dan memberikan wajah baru bagi Republik ini. Isu yang paling asasi ialah
menetapkan Dasar Negara. Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia melalui
para pemimpin berupaya konsisten terhadap identitas mereka dengan memperjuangkan
agar nilai­nilai Islam termaksud dalam konstitusi negara.
Landasan Filosofis Berdirinya Partai Politik Islam di Indonesia
Teori politik Islam harus bertolak dari kaidah­kaidah umum, yakni kebebasan,
kesetaraan, keadilan dan supremasi hukum juga konsistensi terhadap prinsip pemilihan
pemimpin,   bahwa   pemerintah   adalah   pelaksana   hukum   dan   perundang­undangan,
pelindung   agama   dan   bertanggung   jawab   kepada   rakyat.   Diantara   hak   rakyat   adalah
memberi   nasehat,   mengevaluasi   memecat   dan   menggantinya   jika   diperlukan.   Sistem
politik harus harus tegak diatas prinsip syuro, dan syuro menjadi sesuatu yang harus di
tegakkan oleh penguasa.
Sistem politik Islam harus memuat persepsi yang jelas tentang kebebasan politik,
aktifitas politik, partai politik, kritik politik, kebebasan pers, kedudukan wanita, sistem
sosial, ekonomi, pemerataan, kelayakan, independensi peradilan.16
Jika  demikian maka  perlu juga diketahui  beberapa  hal yang menjadi  landasan
filosofis berdirinya partai Islam, yaitu :
a. Kenyataan bahwa manusia sebagai khalifah di bumi yaitu: memelihara, mengatur dan
memakmurkan bumi yang merupakan aktifitas politik yang paling otentik.
16 Ahmad bin Hanbal, Musnad, jilid III, hlm 20
12

b. Universalitas Islam telah menjadi inti pemhaman kaum muslimin terhadap konsep­
konsep   islam   dalam   seluruh   dimensinya.   “islam   adalah   sistem   hidup   yang   universal,
mencakup seluruh aspek, Islam adalah negara dan tanah air, pemerintahan dan umat,
moral dan kekuatan, rahmat dn keadilan, kebudayaan dan perundang­ undangan, ilmu dan
peradilan, materi dan sumber daya alam, usaha dan kekayaan, jihad dan dakwah, tentara
dan fikroh, akidah yang lurus dan ibadah yang benar­benar keuniversalan itu sebagai inti
dan   pokok­pokok   ajaran   islam   yang   bernilai   perintah   kepada   kaum   muslimin   untuk
diterapkan   secara   utuh.   Islam   adalaha   suatu   tata   hidup   yang   meliputi   agama,   politik,
negara, dan masyarakat.17
Selain   itu   sistim   Politik   apabila   dikaitkan   dengan   negara   maka   sistim   politik
adalah   sebuah   konsep   yang   diterapkan   pada   situasi   konkrit   seperti   negara.   Menurut
Miriam   Budiarjo   sistim   politik   ini   berfungsi   untuk   menjaga   kelangsungan   hidup   dan
mencapai tujuan dari masyarakat.18
Salah   satu   aspek   penting   dalam   sistim   politik   adalah   budaya   politik   (Political
culture)  yang  mencerminkan  faktor  subyektif.  Budaya  politik  adalah  keselurusan  dari
pandangan­pandangan politik, seperti; norma­norma, pola orientasi terhadap politik dan
pandangan hidup pada umumnya. 
Bentuk dari budaya politik dalam suatu masyarakat politik di pengaruhi antara
lain oleh sejarah perkembangan dari sistim, oleh agama yang terdapat dalam masyarakat
itu, kesukuan, status sosial, konsep mengenai kekuasaan, kepemimpinan dan sebagainya.
Umumnya dianggap bahwa dalam sistim politik terdapat empat variabel:
1.

Kekuasaan   ;   sebagai   cara   untuk   mencapai   hal   yang   diinginkan   antara   lain

2.

membagi sumber­sumber di antara kelompok­kelompok dalam masyarakat. 
Kepentingan   ;   tujuan­tujuan   yang   dikejar   oleh   pelaku­pelaku   atau   kelompok

3.

politik. 
Kebijaksanaan ; hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan, biasanya

17 Nur Mahmudi Isma’il, M. SC, Memilih Partai (visi, misi dan persepsi), Jakarta : Gema Insani Press, 
1998, hlm. 34

18 Miriam Budiarjo, Dasar­Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta : cet­XIX, 1993, hlm 47

13

4.

dalam bentuk perundang­undangan 
Budaya politik ; orientasi subyektif dari individu terhadap sistim politik.19 
Karena beberapa hal itulah maka partai politik Islam mempunyai tujuan untuk

membentuk   pemerintahan   Indonesia   yang   berdasarkan   ajaran   Islam   yang   kafaah.
Sehingga   segala   kebijakan   yang   bersangkutan   dengan   negara   dan   masyarakat
diselesaikan secara musyawarah yang merupakan identitas dan perintah Allah dalam al­
Qur’an.   Sebanarnya   Islam   merupakan   ajaran   yang   komprehensif   dimana   didalamnya
juga mengatur banyak hal tentang, ubudiyah, kemaslahatan umat (pranata sosial), serta
untuk tentang prinsip­prinsip kenegaraan. 
Kendati   demikian,   kelemahan   dari   partai   politik   Islam   terletak   pada
tingkat   organisasi,   selain   itu   Deliar   Noer   dalam   penelitiannya   berasumsi   bahwa   ciri
partai   negara   berkembang   pada   umumnya   tidak   kompetitif   dan   cenderung   pada
popularitas tokoh (publik figure).
3.3 Partai Politik Islam Pada Saat Ini
Kebangkitan Partai Politik Islam Pada Pemilihan Umum (PEMILU)
Diskusi   tentang   partai   Islam   hari   ini   tentu   tidak   bisa   dipisahkan   dengan
perkembangan   politik   umat   Islam   di   Indonesia   terutama   pasca   reformasi.   Turunnya
Soeharto pada tahun 1998 memberikan harapan baru bagi umat Islam Indonesia untuk
bisa memperoleh ruang politik yang lebih besar. Pada era Habibie yang menggantikan
Soeharto, umat Islam berusaha memaksimalkan kondisi sosial politik yang ada. Pada saat
yang   bersamaan,   Habibie   mengeluarkan   kebijakan­kebijakan   politik   yang   mendukung
proses   transisi   menuju   demokrasi   di   Indonesia.   Menurut   Azyumardi   Azra,   Habibie
memberikan kontribusi yang signifikan untuk liberalisasi politik. Hal itu tampak pada
kebijakannya   untuk   memberikan   kebebasan   pada   para   tahanan   politik,   mengatur
kebebasan   pers,   menghapus   kebijakan   penerapan   Pancasila   sebagai   asas   tunggal,   dan
mengakhiri pembatasan jumlah partai politik.20  Kebijakan politik itu tentu memberikan
19 Ibid.
20 Azyumardi Azra, ‘Political Islam in Post­Soeharto Era’, dalam Virginia Hooker dan Amin Saikal 
14

dampak yang berarti pada dinamika politik dan mempengaruhi pada peran umat Islam
dalam percaturan politik di negeri ini.
Jika pada era Soeharto jumlah partai hanya dibatasi menjadi 3 (tiga), maka pasca
reformasi   partai   tumbuh   bak   cendawan   di   musim   hujan.   Hampir   semua   politisi
memanfaatkan   euphoria   reformasi   ini   dengan   mendirikan   partai   politik   baru.   Dan
organisasi sosial keagaman seperti NU dan Muhammadiyah yang sebelumnya lebih fokus
pada   kegiatan   dakwah   dan   pendidikan,   juga   tak   ketinggalan   ikut   mendukung   dan
mensponsori  pendirian  partai  baru.  Yang  menarik,  hampir  sepertiga  dari  jumlah  total
partai yang berdiri dan lolos sebagai peserta pemilu tahun 1999 itu, terdiri dari partai­
partai Islam. Partai Islam berjumlah 42 dari total partai yang mendaftar Pemilu. Yang
dikategorikan sebagai partai Islam adalah partai yang beraskan Islam seperti PBB (Partai
Bulan   Bintang),   PPP   (Partai   Persatuan   Pembangunan),   PK   (Partai   Keadilan),   Partai
Masyumi,   PUI   (Partai   Umat   Islam),   dan   sebagainya.   Sebagian   partai   berasaskan
Pancasila, namun berbasiskan pada organisasi Islam, seperti PKB (Partai Kebangkitan
Bangsa) dan PAN (Partai Amanat Nasional).21   Dari 42 partai Islam yang mendaftarkan
diri, hanya 20 partai Islam yang lolos ikut Pemilu 1999. Yang patut dicatat, inilah era di
mana umat Islam benar­benar bisa mengekspresikan aspirasinya secara formal setelah
hampir selama 4 dekade (1959­1998) kehendak berpolitiknya melalui jalur formal partai
politik dibelenggu oleh rezim.
Selain ditandai dengan lahirnya partai­partai Islam, era reformasi yang dimulai
dari kepemimpinan Habibie juga ditandai dengan tumbuhnya berbagai organisasi Islam
radikal   di   Indonesia.   Banyak   organisasi   radikal   Islam   yang   tumbuh   memanfaatkan
(editors), Islamic Perspectives on the New Millenium, Singapore: ISEAS, 2004, hal. 140­141.

21 Anies Rasyid Baswedan, ‘Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory’, Asian Survey, 
Vol. 44, No. 5 (Sep­Oct 2004), hal. 672­674. Greg Fealy secara garis besar membagi Partai Islam menjadi 
dua: pertama, pluralist Islamic parties (Partai Islam Pluralis) yang beraskan Pancasila namun menampilkan 
identitas Islamdan berbasis pada massa Islam seperti PKB dan PAN. Yang kedua, Islamist parties (Partai 
Islamis), yaitu partai yang beraskan Islam dan mendukung ide­ide formalisasi syariat Islam dan 
amandemen UUD 1945 yang memasukkan Piagam Djakarta. Yang masuk dalam kategori ini adalah: PPP, 
PKS, dan PBB. Lihat Greg Fealy, ‘Divided Majority, Limits of Indonesian Political Islam’, dalam Shahram
Akbarzadeh dan Abdullah Saeed (editors), Islam and Political Legitimacy, London and New York: 
RoutledgeCurzon, 2003, hal. 164­165. 

15

peluang kebijakan rezim ini yang memberikan kesempatan luas bagi masyarakat untuk
mendirikan organisasi, baik berbasis sentimen keagamaan, etnis, profesi, maupun hobi.
Organisasi   radikal   Islam   menjadi   tantangan   yang   serius   bagi   transisi   demokrasi   di
Indonesia. Meskipun keberadaan organisasi radikal ini merupakan konsekuensi logis dari
demokrasi   dan   mereka   berhak   memanfaatkan   proses   demokrasi,   namun   organisasi­
organisasi ini banyak digunakan untuk mencapai tujuan­tujuan yang tidak demokratis.
Tujuan   tidak   demokratis   itu   misalnya   keinginan   untuk   mendirikan   negara   Islam,
pemaksaaan pendapat dan paham keagamaannya, intimidasi terhadap kelompok lain, atau
keinginan untuk mendirikan khilafah Islamiyah serta tidak mengakui negara yang sah.
Kelompok­kelompok yang dikategorikan gerakan Islam radikal ini di antaranya adalah:
FPI (Front Pembela Islam),  MMI (Majelis  Mujahidin  Indonesia), HTI (Hizbut  Tahrir
Indonesia), Lasykar Jihad, Front Hizbullah, Jama’ah al­Ikhwan al­ Muslimin Indonesia,
dan sebagainya.22
Meskipun partai Islam pasca reformasi tumbuh bak cendawan di musim hujan dan
mereka   optimis   akan   memenangkan   Pemilu   1999.   Namun,   fakta   di   lapangan
menunjukkan hasil sebaliknya. Dari total 21 Partai Islam yang lolos Pemilu, hanya 10
Partai Islam yang berhasil memperoleh minimal 1 kursi atau lebih di parlemen. Dari
jumlah total semuanya, partai­partai Islam memperoleh 37 % total suara atau 172 kursi di
DPR. Perinciannya adalah: PPP (58 kursi), PKB (51 kursi), PAN (34 kursi), PBB (13
kursi), PK (7 kursi), PNU (5 kursi), PP (1 kursi), PPII Masyumi(1 kursi), dan PKU (1
kursi). Hasil itu menunjukkan bahwa meskipun mayoritas penduduk Indonesia adalah
Muslim,   namun   partai   Islam   tidak   mendapatkan   dukungan   yang   signifikan   dari
konstituen   Islam.23  Sebaliknya,   partai­partai   nasionalis   yang   diduga   tidak   akan
mendapatkan   jumlah   suara   banyak,   malah   meraup   dukungan   yang   signifikan.   PDI
Perjuangan memperoleh suara 33,7 % atau 154 kursi. Partai Golkar yang sebelumnya
22 Bahtiar Effendy, ‘Political Islam in Post­Soeharto Indonesia: A Postcript’, dalam Islam and the State 
in Indonesia, Ohio & Singapore: Ohio University Press and ISEAS, 2003. Untuk pembahasan yang bagus 
mengenai gerakan radikal ini, lihat M Zaki Mubarok, Geneologi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, 
Pemikiran dan Prospek Demokrasi, Jakarta: LP3ES, 2008.

23 Bahtiar Effendy, Ibid, hal. 214. Periksa juga Donald J. Porter, Managing Politics and Islam in 
Indonesia, London and New York: RoutledgeCurzon, 2002, hal. 230­231.

16

dianggap mengalami senjakala dan kekalahan telak, malah berhasil memperoleh 22,4 %
suara atau 120 kursi di DPR.
Kegagalan   partai­partai   Islam   untuk   memenangkan   Pemilu   pertama   di   era
reformasi ini, memberikan dampak yang serius pada tokoh dan pimpinan partai Islam.
Harapan mereka untuk memegang tampuk kepemimpinan nasional, tampaknya akan sulit
diraih. Secara garis besar, bisa dikatakan terjadi demoralisasi dalam tubuh partai Islam
pasca   Pemilu   1999.   Namun,   kondisi   ini   tidak   berlangsung   lama,   Partai­partai   Islam
sepakat   untuk   berkoalisi   dengan   mengambil   momentum   terpolarisasinya   dukungan
politik untuk memilih Presiden antara Habibie (Partai Golkar) dan Megawati (PDIP).
Dengan   membentuk   Poros   Tengah,   mereka   memainkan   isu   dan   kartu   Islam   dengan
mengusung Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Calon Presiden alternatif. Setelah
melalui berbagi lika­liku politik dan dinamika politik yang sangat menarik, serta pasca
Pidato Pertanggungjawaban Habibie ditolak MPR, Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI
ke­4   pada   tanggal   20   Oktober   1999.24    Sebelumnya,   Akbar   Tanjung   terpilih   menjadi
Ketua DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan M. Amien Rais terpilih menjadi Ketua MPR
(Majelis   Permusyawaratan   Rakyat).   Ketika   Gus   Dur   terpilih   menjadi   Presiden,   gema
takbir dan shalawat Badr terdengar di gedung MPR. 25   Saat itu, banyak yang menyebut
inilah kemenangan Islam dan era pemerintah Indonesia dipegang oleh para santri. Era
kaum   santri   berkuasa   itu,   memberikan   harapan   baru   pada   partai   Islam   untuk   bisa
berkiprah dan mempunyai masa depan politik yang terang di Indonesia.
Era   kejayaan   partai­partai   Islam   di   panggung   kekuasaan   itu   ternyata   tidak
berlangsung lama. Tak lama setelah Gus  Dur menjadi Presiden RI, terjadi konflik di
antara para tokoh Islam dan partai Islam sendiri. Setelah konflik itu semakin memanas
dan   tidak   bisa   didamaikan,   akhirnya   Gus   Dur   di­impeach   oleh   MPR   melalui   Sidang
Istimewa tahun 2001. Gerakan  impeachment  terhadap Gus Dur, dilakukan oleh koalisi
Poros Tengah minus PKB bersama PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Jadi, sebagaimana
diungkapkan   oleh   Azyumardi   Azra,   sesungguhnya   naik   dan   turunnya   Gus   Dur
24 R. William Liddle, ‘Indonesia in 1999: Democracy Restored’, Asian Survey, Vol. 40, No. 1, A Survey 
of Asia in 1999 (Jan.­Feb., 2000), hal. 36­37. 

25 Greg Fealy, ‘Divided Majority’, hal. 150
17

sesungguhnya disponsori oleh Partai Islam dan organisasi Islam mainstream seperti NU
dan Muhammadiyah.26   Naiknya Megawati sebagai Presiden Republik Indonesia ke­5
dengan menggandeng Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden menunjukkan keberhasilan
kembali dari Partai Islam di pentas politik nasional. Sebagaimana diungkapkan oleh Rizal
Sukma,   fakta   politik   ini   menunjukkan   bahwa   Islam   telah   memainkan   faktor   penting
dalam sistem dan suksesi politik di Indonesia pasca Soeharto. Politik Islam juga menjadi
semakin diperhitungkan dalam pentas politik nasional.27
Selanjutnya, pada Pemilu 2004, suara partai­partai Islam secara total meningkat
sedikit dibandingkan Pemilu 1999. Jika pada Pemilu 1999 total suara mereka mencapai
36,3   %,   maka   pada   tahun   2004   mereka   memperoleh   41%.   Namun,   Pemilu   2004
menandai tumbangnya banyak partai Islam di parlemen karena kebanyakan dari mereka
tidak mencapai angka ambang batas suara di parlemen (parliamentary threshold). Selain
itu,   di   antara   banyak   partai   Islam,   hanya   Partai   Keadilan   Sejahtera   (PKS)   yang
merupakan wajah baru dari PK (Partai Keadilan) yang memperoleh lonjakan suara luar
biasa.28  Pada   Pemilu   tahun   2004   itu,   Partai   Golkar   tampil   sebagai   pemenang   dengan
memperoleh suara 21,6%, disusul PDIP 18,5%, dan Partai Demokrat 7,45%. Sedangkan
jumlah total parta­partai kecil lainnya adalah 17,3%.29  Meskipun pada Pemilu 2004 ini
partai­partai   Islam   tidak   tampil   sebagai   pemenang,   namun   hampir   semua   kandidat
Presiden dan Wakil Presiden memperhatikan sentimen dan isu Islam sebagai faktor yang
penting. Hampir semua kandidat berusaha melakukan koalisi antara Islam dan Nasionalis.
Jika Capresnya dari partai Islam atau kalangan Islam, maka Wapresnya dari kalangan
Nasionalis, begitupun sebaliknya.
26 Azyumardi Azra, Islam, Indonesia, and Democracy, Jakarta: ICIP & Equinox Publishing, 2006, hal. 
124

27 Rizal Sukma, Islam in Indonesian Foreign Policy, London and New York: RoultedgeCurzon 
Publishing, 2003, hal. 99­100 dan 123. 

28 Perincian suara Partai Islam secara garis besar di parlemen adalah sebagai berikut: PPP 11 % pada 
tahun 1999 dan 8 % pada 2004; PKB memperoleh 13 % pada 1999 dan 11 % pada 2004; PAN 7 % di tahun
1999 dan 6,4di 2004; PKS 1,36 % pada 1999 dan 7,34 % ada 2004; PBB 1,94 % pada 1999 dan 2,62 % 
pada 2004. Lihat Adhi Priamarizki, ‘Indonesia’s National Elections: Islamic Parties at the Crossroads’, 
RISS Commentaries, No. 005/2013 dated 9 January 2013.

29 KPU (Komisi Pemilihan Umum), http://www.kpu.go.id/suara/hasilsuara_dpr_sah.php, 10 Januari 
2014.

18

Walaupun   faktor   Islam   mempengaruhi   politik   Indonesia   semenjak   tahun   1999
hingga 2004 dan setelah itu hampir semua partai Islam masuk ke lingkaran kekuasaan
sejak era Gus Dur, Megawati, dan SBY, namun hasil Pemilu tahun 2009 tidaklah seperti
yang   mereka   harapkan.   Bahkan,   Pemilu   tahun   2009   menjadi   Pemilu   yang   paling
menyedihkan bagi partai­partai Islam. Pada Pemilu itu, total suara partai­partai Islam
adalah yang terburuk jika dibandingkan dengan Pemilu tahun 1955 (44 %) dan Pemilu
setelahnya. Jika pada Pemilu 2004 mereka memperoleh 41 %, suara mereka turun drastis
menjadi hanya 29,2 persen pada 2009.14 Yang lebih ironis, hanya 4 parpol Islam yang
berhasil   lolos  parliamentary   treshold  (ambang   batas   suara   di   parlemen)   pada   Pemilu
tahun 2004 itu, yaitu: PKS, PAN, PKB, dan PPP.
Kondisi   ini   semakin   menguatkan   banyak   pendapat   sebelumnya   bahwa
meskipun mayoritas bangsa Indonesia adalah Muslim, namun fakta itu tidak berkorelasi
positif terhadap tingkat keterpilihan partai­partai Islam. Selain itu, ekspresi keislaman
orang   Indonesia   yang   semakin   meningkat   terutama   pasca   1998   melalui   banyak   jalur
seperti   ekonomi,   spiritualitas,   budaya,   dan   politik   sebagaimana   dijelaskan   oleh   Greg
Fealy dan Sally White, sepertinya tidak banyak berpengaruh pada perolehan suara partai
Islam.30
Masalah dan Tantangan Partai Politik Islam Pada Saat Ini
Jika kita perhatikan dari rangkaian perkembangan partai Islam pasca reformasi,
tampaknya   selain   pandangan   bahwa   meningkatnya   Islamisasi   atau   santrinisasi   di
Indonesia yang tidak berkorelasi positif dengan peningkatan perolehan suara partai­partai
Islam, ada fakta politik lain yang juga sedang terjadi. Fakta politik itu adalah bahwa
meskipun Partai Islam masuk ke kekuasaan sejak Pemilu 1999 hingga 2009 kemarin,
namun   keberadaan  mereka  di   pemerintahan   tidak  banyak   menimbulkan   dampak   pada
peningkatan   suara   Partai­partai   Islam.   Memang   partai   Islam   ketika   berkuasa
30 Sunny Tanuwidjaya, ‘Political Islam and Islamic Parties in Indonesia: Critically Assessing the 
Evidence of Islam’s Political Decline’, Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and 
Strategis Affairs, Volume 32, Number 1, April 2010, hal. 30. 

19

mendapatkan  resources  dan  capital  yang   cukup   untuk   membiayai   partai   politik   yang
tidak  murah.  Mereka  juga  bisa  menggunakan  sumber  daya  negara  untuk  menguatkan
program­program   partainya.   Selain   itu,   jika   partai­partai   Islam   berkuasa,   diasumsikan
bahwa   masyarakat   dan   umat   Islam   akan   lebih   mendapatkan   manfaat   karena   bisa
mengakses program­program pemerintah.
Namun,   tampaknya   masuknya   partai   Islam   ke   kekuasaan   tidak   banyak
menimbulkan efek pada peningkatan suara mereka di Pemilu. Yang mereka dapatkan
adalah   sekedar   mempertahankan   perolehan   suara   agar   tetap   lolos  electoral   and
parliamentary   threshold.  Kasus   Partai   Bulan   Bintang   (PBB)   yang   pada   tahun   2004
menjadi sponsor utama pencalonan SBY dan JK, bisa diambil sebagai salah satu contoh.
Pada Pemilu 2009, PBB malah mengalami penurunan suara yang signifikan dan tidak
lolos   ambang   batas   suara   di   parlemen.   Mungkin   ada   faktor   lain   yang   menyebabkan
“musibah”  politik  ini,  misalnya  dicopotnya  Yusril  Ihza  Mahendra  dari  kedudukannya
sebagai Menteri Sekretaris Negara pada tahun 2006. Namun, secara garis besar partai
Islam mengalami fenomena yang sama, yaitu turunnya suara mereka dibandingkan pada
Pemilu 2004. Hanya PKS saja yang suaranya naik, namun itu sangat tidak signifikan
dibandingkan lonjakan suara mereka pada tahun 2004. Dan pada Pemilu 2009, kita lihat
memang semua partai politik mengalami penurunan suara yang signifikan, kecuali Partai
Demokrat. Meskipun hampir semua partai politik, minus PDIP dan PBR (Partai Bintang
Reformasi), waktu itu masuk ke pemerintahan, hanya Partai Demokrat yang mengalami
lonjakan suara 3 kali lipat. Perolehan Partai Demokrat pada Pemilu 2004 adalah 7,45 %,
pada Pemilu 2009 suara mereka naik drastis menjadi 20,85 %.
Dari situ tampak terlihat bahwa yang mendapatkan manfaaat dan berkah politik
dari keberhasilan Pemerintahan SBY­JK hanyalah Partai Demokrat. Koalisi partai­partai
pendukungnya, termasuk Partai Golkar, sama sekali tidak mendapatkan limpahan atau
kenaikan suara pada Pemilu 2009. Fenomena ini mungkin akan terulang kembali pada
tahun 2014. Masuknya seluruh partai Islam dalam koalisi pendukung SBY­ Boedino,
tidak akan berdampak signifikan bagi peroleh suara partai Islam pada Pemilu mendatang.
Hal itu bisa kita lihat dari berbagai hasil survei yang saat ini banyak dirilis.
Faktor   lain   yang   menyebabkan   terus   menurunnya   suara   partai   Islam   adalah
20

sulitnya menemukan isu­isu strategis yang mereka perjuangkan dalam Pemilu. Meskipun
masyarakat Indonesia beragama Islam, namun isu penegakan syariat Islam secara formal
baik di level negara melalui perjuangan memasukkan Piagam Jakarta dalam amandemen
UUD 1945, atau lewat daerah melalui Perda­perda Syari’ah, nampaknya tidak banyak
menarik perhatian dan dukungan publik. Bahkan, dalam amandemen UUD 1945 tahun
2002, hanya PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan Partai Bulan Bintang (PBB) yang
getol mendukung usulan soal Piagam Jakarta ini. 
Dan   seperti   yang   kita   ketahui,   upaya   memasukkan   Piagam   Jakarta   dalam
amandemen UUD 1945 ini mengalami kegagalan. Selain tidak mendapat dukungan dari
Partai­partai lain, organisasi Islam moderat di Indonesia seperti Muhammadiyah dan NU
juga   tidak   mendukung   upaya   itu.31  Isu   formalisasi   syariat   Islam   ini   memang   masih
menjadi   sesuatu   yang   sensitif   dan   tidak   banyak   diminati   oleh   masyarakat   Indonesia.
Mereka lebih meminati dan tertarik pada isu­ isu politik yang berkaitan langsung dengan
kebutuhan mereka dan perbaikan bangsa Indonesia ke depan. Sebagai satu­satunya Partai
Islam yang mengalami lonjakan suara luar biasa pada Pemilu 2004, dalam kampanyenya
PKS   tidak   memperjuangkan   isu   penegakan   syariat   Islam.   Kampanye   mereka   dengan
slogan “Bersih dan Peduli”, ternyata diminati publik dan mendapatkan momentum yang
tepat. Menurut Giora Eliraz, kemenangan PKS dalam Pemilu 2004 karena mereka bisa
membangun   citra   sebagai   partai   yang   anti   korupsi,   bersih,   dan   peduli   pada   problem
masyarakat. Mereka juga berusaha menampilkan diri sebagai partai Islam yang terbuka
dan pluralis.32
Dalam   soal   isu   syariat   Islam   ini,   kita   patut   mendiskusikan   sedikit   tentang
fenomena Perda Syariat yang masih marak di Indonesia pasca reformasi. Pasca kegagalan
perjuangan penegakan syariat Islam di level negara melalui amandemen UUD 1945 tahun
2002, ternyata perjuangan penegakan syariat Islam tidak berhenti. Mereka berjuang di
level   daerah   melalui   kerjasama   antara   organisasi­organisasi   Islam   radikal   dan   partai
politik. Namun, perjuangan Perda Syariat ini bukan hanya menjadi monopoli partai­partai
31 Luthi Assyaukanie, ‘The Rise of Religious Bylwas in Indonesia’, RSIS Commentaries, 29 Maret 2007.
32 Giora Eliraz, Islam and Polity in Indonesia: An Intriguing Case Study, Research Monographs on the 
Muslim World, Series No 1, Paper No 5, February 2007, Washington DC: Hudson Institute, 2007, hal. 12­
16. 

21

Islam. Banyak partai­partai nasionalis seperti Partai Demokrat dan Partai Golkar yang
juga mendukung penerapan Perda itu. Menurut Robin Bush yang melalukan penelitian
komprehensif tentang persoalan ini, dukungan partai­partai nasionalis banyak dikaitkan
dengan   pragmatisme   politik   untuk   meraih   dukungan   dari   pemilih   dalam   berbagai
pemilihan kepala daerah. Mereka mendukung itu karena untuk menunjukkan identitas
dan keberpihakannya pada umat Islam.33 Namun, jika kita perhatikan hasil Pemilu 2009,
partai­partai Islam tidak banyak mendapatkan manfaat nyata dari dukungannya terhadap
isu penegakan Syariat Islam secara formal. Dari situ nampak bahwa isu syariat Islam
ternyata memang bukan hal yang strategis bagi partai Islam. Partai Islam mestinya harus
memikirkan   secara   serius   apa   saja   isu­isu   strategis   yang   saat   ini   menarik   minat   dan
perhatian rakyat.
Menurunnya   performa   dan   suara   partai   Islam   tentu   tidak   bisa   dipisahkan   dari
faktor   perpecahan   dalam   tubuh   partai­partai   Islam.   Partai­   partai   Islam   banyak
mengalami perpecahan setelah salah satu pihak dikalahkan atau dicurangi pihak lainnya
dalam Kongres atau Muktamar dalam memilih pengurus baru. Hal itu tampak terlihat dari
PKB yang mengalami perpecahan antara kubu Gus Dur dan Muhaimin Iskandar yang
melahirkan PKBI. PAN yang dianggap tidak mengakomodir kubu muda Muhammadiyah
yang akhirnya melahirkan PMB. Konflik PPP yang melahirkan PBR. PBB yang di antara
para pendirinya terjadi konflik dan sebagian pengurusnya mengalami eksodus ke partai
lain. Yang baru­ baru ini adalah perpecahan kubu “sejahtera” dan kubu “keadilan” dalam
tubuh PKS.34   Konflik internal di kalangan partai Islam itu, sebetulnya bisa dilacak dari
terlalu dominannya tokoh tertentu dalam Partai Islam. Misalnya Amien Rais di PAN, Gus
Dur di PKB, Hilmy Aminuddin di PKS, Hamzah Haz saat itu di PPP, dan sebagainya.
33 Robin Bush, ‘Regional Sharia Regulations in Indonesia: Anomaly or Sympton?’, in G. Fealy and S. 
White(eds.), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2008, hal. 188. 
Analisis yang senada juga diungkapkan oleh Berhard Platzdasch yang mengemukakan bahwa dukungan 
partai­partai nasionalis terhadap Perda­perda syari’ah ini didas