Saat ini nilai tukar rupiah mengalami pe

Perbandinngan Krisis Moneter Tahun 1998 dengan Tahun 2015
Oleh : Sayyidah Nurjamilah
Saat ini nilai tukar rupiah mengalami pelemahan terhadap US$. Tercatat bahwa terjadi
pelemahan sebesar 14.9% dari Rp12.032/US$ menjadi Rp13.832/US$ sejak awal masa jabatan
presiden Joko Widodo. Nilai tersebut merupakan nilai terendah Rupiah terhadap US$ dalam satu
dekade terakhir. Akibatnya, banyak masyarakat khawatir terhadap potensi krisis yang ada,
mengingat kurs rupiah saat ini mulai mendekati nilai kurs saat krisis 98. Akan tetapi pemahaman
tentang keadaan krisis yang berisiko untuk kembali ke keadaan tahun 1998 tidak didasari dengan
fakta atau data yang kuat. Oleh karena itu, klaim atau isu tersebut hanya beredar seperti kabar
burung yang ditakutkan akan membawa kegelisahan bagi netizen Indonesia lainnya.

Jika ditelusuri sejak pencapaian all time high pada 7 April 2015 silam di level
5.523,29, IHSG telah terjungkal hingga 24,62% ke titik terendah yang terjadi pada
penutupan awal pekan ini 4.163,73. Akan tetapi, sejak tiga hari terakhir, IHSG terus
positif dan mulai menanjak 5,15% ke level 4.446,20 dari penutupan pada 25 Agustus
di level 4.228,50.
Budi Hikmat, Chief Economist and Director for Investor Relations PT Bahana
TCW Investment Management, mengatakan memasuki semester II/2015, dia menilai
kejatuhan pasar modal dan nilai tukar rupiah lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal
ketimbang internal.
"Secara internal, pemerintah nampaknya mulai berhasil memacu pengeluaran

belanja yang dianggap melandasi perlambatan ekonomi selama semester I/2015
sehingga equity investorcenderung hengkang," ungkapnya dalam riset belum lama
ini.
Secara eksternal, dunia menghadapi tantangan bersama mulai dari krisis utang
Yunani, ketidakpastian jadwal normalisasi

suku bunga Fed hingga currency

wars menyusul keputusan China mendevaluasi yuan.

Menurutnya, yang paling banyak mendapat perhatian adalah pelemahan tajam
rupiah yang melewati paras Rp14.000 per dollar. Kurs rupiah sepanjang tahun
berjalan sudah melemah 12,4%. Selama tiga tahun terakhir, rupiah melemah 32,7%.
"Silakan bandingkan dengan yen, lira Turki dan rubel Russia," paparnya.
Dengan membandingkan angka nominal kurs rupiah terhadap angka tertinggi
sejarah, banyak pihak yang mengkuatirkan Indonesia sedang menuju krisis seperti
tahun 1997/1998. Dia meyakini kekuatiran tersebut tidak beralasan. Sebab, yang
terjadi sekarang adalah penguatan dollar temporer ditengah pelemahan ekonomi
global ketika sistem pengelolaan makroekonomi Indonesia jauh lebih baik ketimbang
1997/1998.

Bahkan Bank Indonesia pun sudah melakukan uji yang disebut stress test, dan
menyebutkan bahwa sistem ekonomi indonesia masih mampu bertahan, sekalipun
rupiah sampai melemah menjadi Rp. 15.500 per dolar AS. Dan peluang pelemahan
rupiah ke arah level tersebut pun, banyak yang melihat, kecil kemungkinan.
Berikut perbandingan kondisi ekonomi Indonesia saat ini dengan periode
krisis 1998
Indikator

1998

2015

Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi
Inflasi
Cadangan devisa
Kurs rupiah
Rasio utang pemerintah

-13,10%

82,4%
US$17,4 miliar
Rp16.650/US$
100%

4,67%
7,18%
US$107,6 miliar
Rp14.098/US$
24,7%

30%

3,6%

60%
256

7,5%
4.237


terhadap produk
domestic bruto (PDB)
Rasio kredit bermasalah
(non performing
loan/NPL) gross
BI Rate
Indeks harga saham

gabungan (IHSG)
Total utang luar negeri
(Pemerintah dan

US$150,8 miliar

US$304,3 miliar

swasta)
Rasio utang luar negeri


8,6 kali

2,8 kali

197%

14,03%

terhadap cadangan
devisa
Depresiasi rupiah
(posisi terendah)
Dari tabel di atas kita dapat melihat bahwa krisis moneter tahun 2015 jauh lebih
baik dibandingkan krismon pada tahun 1998.
Selain dilihat dari indikator ekonomi tadi, ada beberapa perbandingan krismon di
tahun 1998 dan saat ini. Salah satunya adalah faktor lain atau kelemahan lain pada
tahun 1998 dan beberapa tahun kemudian adalah kurangnya kemandirian pemerintah
dalam mendisain kebijakan ekonomi dan anggaran, karena dikendalikan oleh Dana
Moneter Internasional (IMF) lantaran Indonesia memperoleh pinjaman talangan dari
lembaga itu. Semua kebijakan ekonomi pemerintah harus mendapatkan persetujuan

IMF, dan manakala kebijakan yang disetujui dalam letter of intent yang
ditandatangani pejabat pemerintah ada yang tidak terlaksana karena satu dan lain
sebab, dana talangan tidak dicairkan oleh IMF. Ini yang selalu memicu pelemahan
nilai tukar rupiah, kendati Indonesia sudah berada dalam pengawasan IMF, yang
semestinya mendapatkan kepercayaan yang lebih tinggi.
Bedanya dengan sekarang, kebijakan pemerintah Indonesia relatif mandiri, tidak
didikte oleh kekuatan eksternal, dan pemerintah dapat mendisain kebijakan lebih
leluasa sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia.
Kemudian, berbeda dengan 1998, peta ekonomi global saat ini sudah berubah.
Dominasi Amerika dan Eropa sudah menyusut, digantikan oleh dominasi China dan
India. Benchmark ekonomi gklobal saat ini bukan lagi Amerika Serikat, tetapi

perekonomian China. Meski begitu, isu mengenai ekonomi AS masih tetap menjadi
acuan, karena portofolio pengelolaan dana berbasis dolar AS masih tetap tinggi.
Namun, isu kenaikan suku bunga di Amerika Serikat pada akhirnya akan berujung
pada rasionalitas kembalian modal (return on investment). Akan hal ini, banyak yang
percaya, return in investment di Indonesia masih relatif lebih tinggi dibandingkan
investasi di Eropa atau bahkan Amerika. Daya beli konsumen Indonesia –dan Asia
Tenggara– juga terus meningkat, sehingga kawasan ini akan tetap menarik untuyk
menanamkan modal hingga beberapa dekade mendatang.

Dengan kata lain, gejolak nilai tukar akan senantiasa bersifat sementara, sebagai
ampak reaksi pasar yang wajar, dan sebagai bagian dari proses menemukan
keseimbangan baru. Pada akhirnya, ujungnya akan sangat tergantung pada respon
kebijakan domestik untuk menenangkan pasar.
Selain itu, faktor pembeda lain dari masa 1998 adalah saluran informasi publik
yang lebih bebas dan terbuka. Pada saat krismon 1998, banyak terjadi ketidakadilan
dan

ketidakseimbangan

informasi

publik,

karena

informasi

penting


yang

mempengaruhi perekonomian dan kebijakan menjadi ‘milik’ kelompok yang dekat
dengan pembuat kebijakan, lantaran pers yang masih dikendalikan penguasa dan
belum bebas.
Akibatnya, praktik spekulasi terhadap kebijakan, termasuk terhadap bisnis dan
ekonomi serta finansial, kerap terjadi dan membuat perubahan-perubahan mendadak
dan mengagetkan yang berdampak ‘rusuh’ bagi perekonomian. Sebaliknya, saat ini
informasi publik begitu terbuka, yang dapat diakses oleh pihak-pihak yang memiliki
kepentingan termasuk pelaku bisnis, trader dan masyarakat awam. Ini mengurangi
efek negatif informasi asimetris, yang menekan praktik spekulasi terhadap sektor
keuangan.
Dan yang tidak kalah penting adalah sistem politik yang lebih demokratis,
kendati masih terus mencari bentuk dan menjalani proses pematangan. Ssistem politik

demokratis ibarat sistem ekonomi yang lebih terbuka dan mengikuti kaidah
mekanisme pasar, sehingga mengurangi efek kejutan dan perubahan-perubahan yang
mendadak dan spekulatif.
Dengan demikian, perubahan lebih terprediksikan dan lebih terukur. Dengan
demikian, risiko ekonomi pun lebih terkalkulasi dengan lebih akurat. Kondisi politik

ini memberikan bantalan lebih empuk terhadap kemungkinan terjadinya perubahan
ekonomi yang drastis, karena menekan faktor krisis kepercayaan terhadap pemerintah
yang datang secara tiba-tiba.
Dari semua paparan di atas sudah jelas bahwa krisis moneter saat ini berbeda
dengan krisis moneter pada tahun 1998 dan tentu jauh leih baik. Namun, bukanberarti
hal tersebut malahmembuat kita berleha-leha karena krismon saat ini tidak seburuk
tahun 1998. Hanya saja masih meninggalkan pekerjaan rumah yang berat, yaitu :
seberapa sigap pemerintahan JOKOWI dalam mengimplemtasi rencana-rencana
menghadapi situasi moneter 2015 dan seberapa kuat konsolidasi kabinet
pemerintah ?, supaya tidak menjadi sentimen-sentimen negatif yang justru
memperlemah Rupiah.