Pengertian Kekuasaan dan Politik dalam O

Pengertian Kekuasaan dan Politik dalam Organisasi
oleh: seta basri 15 komentar
organisasi dan manajemen
Share:

Tweet
Pengertian kekuasaan dalam organisasi serta pengertian politik dalam
organisasi dalam perbincangan seputar organisasi dan manajemen adalah
perkembangan paling mutakhir dalam studi-studi organisasi dan
manajemen. Tokoh-tokoh seperti James March dan Jeffrey Pfeiffer
bertanggung jawab dalam mempopulerkan studi kekuasaan dan politik di
dalam organisasi. Tulisan ini akan membahas masalah kekuasaan dan politik
di dalam organisasi, bukan kekuasaan dan politik pada struktur kenegaraan
yang biasa kita sebut “politik” sehari-hari. Mungkin saja akan banyak konsep
yang serupa karena pinjam-meminjam konsep antarbidang ilmu adalah
umum.

Definisi

Kekuasaan


dalam

Organisasi

Gilbert W. Fairholm mendefinisikan kekuasaan sebagai “... kemampuan
individu untuk mencapai tujuannya saat berhubungan dengan orang lain,
bahkan ketika dihadapkan pada penolakan mereka.” Fairholm lalu merinci
sejumlah gagasan penting dalam penggunaan kekuasaan secara sistematik
dengan menakankan bahwa kapasitas personal-lah yang membuat
pengguna kekuasaan bisa melakukan persaingan dengan orang lain.
Kekuasaan adalah gagasan politik yang berkisar pada sejumlah karakteristik.
Karakteristik tersebut mengelaborasi kekuasaan selaku alat yang digunakan
seseorang, yaitu pemimpin (juga pengikut) gunakan dalam hubungan
interpersonalnya. Karakter kekuasaan, menurut Fairholm adalah:
1. Kekuasaan bersifat sengaja, karena meliputi kehendak, bukan sekadar
tindakan acak;
2. Kekuasaan adalah alat (instrumen), ia adalah alat guna mencapai
tujuan;
3. Kekuasaan bersifat terbatas, ia diukur dan diperbandingkan di aneka
situasi atau dideteksi kemunculannya;

4. Kekuasaan melibatkan kebergantungan, terdapat kebebasan atau
faktor kebergantungan-ketidakbergantungan yang melekat pada
penggunaan kekuasaan.

5. Kekuasaan adalah gagasan bertindak, ia bersifat samar dan tidak
selalu dimiliki;
6. Kekuasaan ditentukan dalam istilah hasil, hasil menentukan kekuasaan
yang kita miliki;
7. Kekuasaan bersifat situasional, taktik kekuasaan tertentu efektif di
suatu hubungan tertentu, bukan seluruh hubungan; dan
8. (8) Kekuasaan didasarkan pada oposisi atau perbedaan, partai harus
berbeda sebelum mereka bisa menggunakan kekuasaan-nya.
Gareth Morgan dalam karya penelitiannya Images of Organization,
mendefinisikan kekuasaan sebagai “... medium lewat mana konflik
kepentingan diselesaikan ... kekuasaan mempengaruhi siapa dapat apa,
kapan dan bagaimana ... kekuasaan melibatkan kemampuan mempengaruhi
orang
lain
untuk
melakukan

sesuatu
yang
kita
kehendaki.”
Stephen P. Robbins mendefinisikan kekuasaan sebagai “... kapasitas bahwa A
harus mempengaruhi perilaku B sehingga B bertindak sesuai dengan apa
yang diharapkan oleh A. Definisi Robbins menyebut suatu “potensi”
sehingga kekuasaan bisa jadi ada tetapi tidak dipergunakan. Sebab itu,
kekuasaan
disebut
sebagai
“kapasitas”
atau
“potensi”.
Seseorang bisa saja punya kekuasaan tetapi tidak menerapkannya.
Kekuasaan punya fungsi bergantung. Semakin besar ketergantungan B atas
A, semakin besar kekuasaan A dalam hubungan mereka. Ketergantungan,
pada gilirannya, didasarkan pada alternatif yang ada pada B dan pentingnya
alternatif
tersebut

bagi
B
dalam
memandang
kendali
A.
Penulis lain semisal John A. Wagner and John R. Hollenbeck justru
menawarkan definisi kekuasaan dari para politisi semisal Winston Churchill
dan Bill Clinton, yaitu “ ... kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang
lain dan membujuknya untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa mereka
tolak.” Sebab itu, Wagner and Hollenbeck mendefinisikan kekuasaan
sebagai“ ... kemampuan, baik untuk mempengaruhi perilaku orang lain
ataupun
untuk
melawan
pengaruh
yang
tidak
diinginkan.”
Studi Charles McClelland menyebut bahwa kekuasaan adalah satu jenis

kebutuhan (nPow) yang dipelajari selama periode masa kecil dan dewasa
seseorang. Kebutuhan akan kekuasaan ini punya dampak berbeda pada cara
orang berpikir dan berperilaku. Umumnya, orang yang tinggi “nPow-nya”
bersifat kompetitif, agresif, sadar prestise, cenderung bertindak, dan bangga
tatkala
bergabung
ke
dalam
kelompok.
Dalam

konteks

perilaku

organisasi,

John

R.


Schemerhorn

et.al.

mendefinisikan kekuasaan sebagai “ ... kemampuan yang mampu membuat
orang melakukan apa yang kita ingin atau kemampuan untuk membuat hal
menjadi kenyataan menurut cara yang kita inginkan.” Kekuasaan biasanya
dikaitkan dengan konsep kepemimpinan, di mana kepemimpinan merupakan
mekanisme kunci dari kekuasaanguna memungkinkan suatu hal terjadi.
Esensi kekuasaan adalah kendali atas perilaku orang lain. Kekuasaan adalah
kekuatan yang kita gunakan agar sesuatu hal terjadi dengan cara disengaja,
di mana influence (pengaruh) adalah apa yang kita gunakan saat kita
menggunakan kekuasaan. Seorang manajer membiakkan kekuasaan dari
aneka sumber, baik dari organisasi yang disebut sebagai “power position”
ataupun dari personalitasnya sendiri yang disebut “personal power.”
Jeffrey Pfeiffer, salah satu perintis kajian kekuasaan dan politik dalam
organisasi mendefinisikan kekuasaan sebagai
“ ... the potential ability to influence behavior, to change the course of
events, to overcome resistance, and to get people to do things that they

would not otherwise do.” [... kemampuan potensial untuk mempengaruhi
perilaku, mengubah arah peristiwa, mengatasi perlawanan, dan membuat
orang melakukan sesuatu yang tadinya tidak hendak mereka lakukan].
Baik politik maupun pengaruh (influence) adalah merupakan proses,
tindakan, perilaku, di mana kekuasaan yang bersifat potensial ini memiliki
media
untuk
digunakan,
direalisasikan.
Richard L. Daft mengidentifikasi bahwa kekuasaan sebagai kekuatan di
dalam organisasi sulit untuk dicerap, tidak bisa dilihat, tetapi efeknya dapat
dirasakan. Daft kemudian juga menyatakan kekuasaan sebagai kemampuan
potensial seseorang (atau departemen) untuk mempengaruhi orang (atau
departemen) lain untuk menjalankan perintah atau melakukan sesuatu yang
tidak
bisa
mereka
tolak.
Daft menyebut definisi lain dari kekuasaan yang lebih menekankan
pemahaman bahwa kekuasaan adalah kemampuan umtuk eraih tujuan atau

hasil sebagaimana dikehendaki pemegang kekuasaan. Pencapaian hasil yang
dikehendaki adalah dasar utama dari definisi kekuasaan. Definisi kekuasaan
dari Daft sendiri adalah “ ... the ability of one person or department in an
organization to influence other people to bring about desired outcomes.”
Kekuasaan berpotensi untuk mempengaruhi orang lain dalam organisasi
dengan sasaran memperoleh hasil yang dikehendaki para pemegang
kekuasaan.
Sebagai definisi penutup, baiklah kami sampaikan apa yang diutarakan
James G. March and Thierry Weil mengenai konsep kekuasaan. Mereka
berdua menyatakan (penulis kutip agak panjang) :

“ ... it is a concept that is often used; the feeling of power is linked to the
esteem that people have for themselves (this is often a vicious circle, as a
person’s reputation for powerfulness or weakness contributes to his or her
success
of
difficulties).
Power gives rise to desire, envy, and celebration, but also to revulsion, fear,
and jealousy ... a rough definition of power would be the capacity to obtain
what one wants (or to help others obtain what they want). On an economic

and trading level, power comes from controlling rare resources (precious
bargaining chips) or having different preferences (coveting what nobody
wants).
On the level of collective choice, where decision is some kind of weighted
mean of the choices of the various participants, a person’s capacity to obtain
what he or she wants (power, according to the definition above) is lingked to
his or her weight in the decision-making process (power, according to some
other definitions) and the congruence of his or her preferences with those of
other people.”
Definisi-definisi kekuasaan yang telah disebutkan – kendati definisi itu sendiri
tidak ada yang mencukupi menurut March – mengindikasikan pentingnya
posisi kekuasaan dalam suatu organisasi. Tanpa kekuasaan, individu akan
anarkis, pemimpin tidak bergigi, sanksi tidak dipatuhi, dan sebab itu
ketiadaan kekuasaan kerap dianggap situasi chaos (kekacauan). Ketiadaan
kekuasaan dalam organisasi membuat organisasi kehilangan konsep
pengendalian dan berujung pada ketidaktercapaian tujuan organisasi, bhkan
chaos
dalam
organisasi.


Sumber

dan

Jenis

Kekuasaan

Dari manakah sumber-sumber kekuasaan? Para penulis berbeda pendapat –
kendati punya banyak kesamaan satu sama lain – seputar sumber kekuasaan
di dalam organisasi. Ada baiknya kita tinjau pendapat Gareth Morgan
tentang sumber kekuasaan dalam organisasi, yang menurutnya berasal dari:
1. Otoritas formal;
2. Kendali sumber daya langka;
3. Penggunaan struktur, aturan, dan kebijakan organisasi;
4. Kendali proses pembuatan keputusan;
5. Kendali pengetahuan dan informasi’

6. Kendali batasan (boundary) organisasi;
7. Kendali teknologi;

8. Aliansi interpersonal, jaringan, dan kendali atas “organisasi informal”;
9. Simbolisme dan manajemen makna (filosofi organisasi);
10.

Gender dan manajemen hubungan berbasis gender;

11.
dan

Faktor-faktor struktural yang menentukan tahap-tahap tindakan;

12.

Kekuasaan yang telah seorang miliki.

Bagi Morgan, sumber-sumber kekuasaan menyediakan para anggota
organisasi sejumlah makna berbeda untuk menggapai kepentingan mereka
serta memecahkan sekaligus melestarikan konflik dalam organisasi.
Studi klasik seputar jenis kekuasaan ditemukan French and Raven tahun
1959. Keduanya membuat taksonomi yang membedakan 5 jenis kekuasaan,
yaitu:

Revisi atas taksonomi French and Raven dilakukan oleh Ronald J. Stupak and
Peter M. Leitner dalam Handbook of Public Quality Management tahun 2001,
di mana mereka menerima 5 jenis kekuasaan French and Raven tetapi
menambahkannya
menjadi:

Taksonomi French and Raven juga diadopsi oleh Stephen P. Robbins. Bagi
Robbins, sumber kekuasaan dikategorikan ke dalam 2 lokus, yaitu: (1)

Kekuasaan Formal dan (2) Kekuasaan Personal. Kekuasaan Formal didasarkan
posisi individu dalam organisasi. Kekuasaan formal juga bisa datang dari
kemampuan seorang pejabat melakukan tindak koersif, reward, juga otoritas.
Kekuasaan personal datang dari individu sendiri. Mereka tidak harus punya
posisi formal untuk berkuasa. Orang-orang yang kompeten bekerja, kendati
bukan manajer atau pimpinan, bisa berkuasa. Kekuasaan ini datang dari
karakteristik unik mereka. Taksonomi jenis dan sumber kekuasaan dari
Robbins
adalah
sebagai
berikut:

Dalam tanggapannya atas taksonomi jenis kekuasaan French and Raven,
Douglas Fairholm mengklasifikasi 10 jenis kekuasaan yang banyak
diaplikasikan
hingga
saat
ini,
yang
menurutnya
adalah:

1.

Reward

Power

Reward Power adalah kekuasaan yang didasarkan kemampuan seseorang
menyediakan keuntungan bagi sesuatu atau orang lain. Kekuasaan mengalir
dari individu yang mampu menyediakan reward yang dibutuhkan orang lain.
Kemampuan ini memungkinkan pemilik kekuasaan mengendalikan perilaku
orang lain dan mencapai hasil yang diharapkan sejauh adanya kebutuhan
orang lain
tersebut
akan
reward
yang
disediakan
olehnya.
Penggunaan kekuasaan reward biasanya dilakukan oleh orang di tingkatan
tertinggi hirarki organisasi. Mereka biasanya punya akses pada material,
informasi atau upah psikologis (senyum, perhatian, pujian, kata-kata manis).
Manajemen tingkat menengah dan para supervisor juga biasanya memiliki
jenis kekuasaan ini. Sebaliknya, pekerja juga dapat menerapkan kekuasaan
reward ini kepada atasannya, dengan cara menerapkan energi dan skill yang
mereka miliki guna menyelesaikan pekerjaan yang diharapkan seorang
manajer. Karena manajer bergantung pada kinerja pekerja, maka pekerja
dapat menyetir perilaku manajer agar sesuai keinginan mereka.
2.

Coercive

Power

Coercive Power adalah kekuasaan yang didasarkan atas kemampuan
seseorang
menyediakan
dampak
hukuman
pada
target
akibat
ketidakpatuhannya. Kekuasaan ini terletak pada kemampuan seseroang
untuk memerintahkan kepatuhan lewat cara fisik. Seperti reward, kekuasaan
jenis ini memungkinkan pemimpin mempengaruhi perilaku orang lain akibat
kemampuannya menerapkan hasil yang tidak diinginkan. Ketidakpatuhan
atas orang yang punya jenis kekuasaan koersif menghasilkan penerapan
hukuman dalam bentuk menahan reward yang diinginkan. Ini merupakan
situasi kekuasaan koersif, kekuasaan yang mengikuti model militer.
3.

Expert

Power

Expert Power adalah kekuasaan yang didasarkan kemampuan dan
pengetahuan khusus yang dimiliki seseorang di mana target atau orang lain
kerap menggunakan atau bergantung kepadanya. Orang selalu menghargai
kompetensi, dan sebab itu Expert Power merupakan sumber kekuasaan yang
penting untuk diterapkan. Kekuasaan mengalir dari orang yang punya skill,
pengetahuan, dan kemampuan yang dibutuhkan dan dihargai oleh orang
lain. Jika orang merengek agar seorang pekerja mau menggunakan skill yang
ia miliki untuk membantu mereka, maka pekerja tersebut punya kekuasaan.
4.

Legitimate

Power

Legitimate Power adalah kekuasaan yang didasarkan atas perasaan orang
lain bahwa pelaku kekuasaan punya otoritas dan hak untuk mempengaruhi
tindakan mereka. Perasaan ini merupakan hasil yang diterima dari organisasi
formal atau warisan historis. Kekuasaan hadir pada mereka yang ditunjuk
oleh organisasi untuk memberi perintah. Delegasi otoritas melegitimasikan
hak seseorang memaksakan kepatuhan pada mereka yang menyatakan
wajib untuk mentaati sumber kekuasaan (organisasi). Persepsi legitimasi di
benak target kekuasaan bersifat kritis. Baru setelah target ini yakin bahwa
pemberi perintah punya hak yang legitimate untuk memerintah sajalah
mereka
akan
patuh.
5.

Identification

Power

with

Other

Hubungan seseorang dengan orang lain yang punya kekuasaan menular
pada orang yang berhubungan tersebut. Sebab itu, kekuasaan yang ada
merujuk pada penguasa lain. Jenis kekuasaan ini bisa datang lewat
hubungan personal seperti sekretaris atau asisten administrasi yang kerap
kerja bareng boss eksekutif. Jika orang yang mendekatkan diri dengan
kekuasaan tersebut juga meniru gagasan, norma, metode, dan tujuan dari
orang
berkuasa,
kekuasaan
orang
tersebut
akan
bertambah.
6.

Critical

Power

Pada tingkat lain, seseorang berkuasa hingga derajat mana kontribusi orang
tersebut bersifat kritis bagi individu lain atau bagi organisasi. Bilamana
orang lain berhasrat pada energi, sumberdaya, dan keahlian seseorang,
hingga derajat tersebut pula ia punya kekuasaan atas mereka. Seseorang
juga menerapkan kekuasaan sejauh orang tersebut terhubung dengan
sumber
daya
yang
mereka
kuasai.
7.

Social

Organization

Power

Sumber kekuasaan lainnya adalah organisasi sosial. Kekuasaan juga
diturunkan
lewat
hubungan
terstruktur
di
mana
seseorang
mengkombinasikan kekuatan individual mereka guna memenuhi tujuan
kelompok. James MacGregor Burns menyatakannya dalam kata-kata
“kekuasaan seorang pemimpin mengalir dari kekuasaan pengikut.”
Pencapaian tujuan hanya dapat terselenggara ketika satu individu berhasil
memobilisasi dan mentransformasi pengikut, yang pada gilirannya
mentransformasikan
kekuasaan
tersebut
kepada
pemimpin.
8.

Power

Using

Power

Kekuasaan juga bisa bersumber tatkala seseorang menggunakan kekuasaannya. Kekeliruan menerapkan kekuasaan dapat berakibat hilangnya
kekuasaan. Sebaliknya, penggunaan kekuasaan cenderung meningkatkan

kekuasaan itu sendiri. Persepsi dari orang lain seputar kekeliruan seorang
pengguna kekuasaan bisa menghasilkan berkurangnya dukungan. Kekeliruan
bertindak atau sering melakukan kekuasaan secara sembrono bisa mengikis
kekuasaan dan dukungan dari orang lain yang kita butuhkan agar kekuasaan
kita langgeng. Kekuasaan, pada dirinya sendiri, adalah sumber bagi
kekuasaan
lainnya.
9.

Charismatic

Power

Karisma yang digambarkan Max Weber dan Referent Power diidentifikasi
menyediakan dasar teoretis bagi dasar kekuasaan. Orang yang punya
karisma biasanya punya personalitas menyenangkan, menarik, dan
mendorong orang mau mematuhi si pemilik karisma. Orang yang punya
kharisma biasanya ada di lingkar tengah klik-klik berpengaruh dan punya
akses
pada
orang-orang
berpengaruh
di
dalam
komunitas.
10.

Centrality

Power

Penempatan strategis individu ke dalam organisasi juga merupakan sumber
kekuasaan. Lokasi fisik di jantung kegiatan atau interaksi dengan orangorang berkuasa menambah perkembangan dan penggunaan efektif dari
kekuasaan. Sentralitas kekuasaan ini penting dalam konteks kekuasaan, baik
secara
fisik
ataupun
sosial.
Penulis lain seperti seperti Yukl and Falbe membuat taksonomi jenis
kekuasaan menjadi 7 jenis kekuasaan yang dibagi ke dalam 2 variabel yaitu
variabel Position Power dan Personal Power. Position Power termasuk
pengaruh potensial yang diturunkan dari otoritas legitimasi, kendali atas
sumber daya dan reward, kendali atas penghukuman, kendali atas informasi,
dan kendali atas lingkungan kerja fisik. Personal Power termasuk pengaruh
potensial yang diturunkan dari kepakaran kerja dan potensi pengaruh
berdasar persahabatan dan loyalitas. Secara lengkap, taksonomi Yukl dan
Falbe
sebagai
berikut
:

Taksonomi Yukl and Fabl mirip dengan yang dibuat Wagner and Hollenbeck
berdasarkan karya French and Raven, kecuali untuk Information Power dan
Ecological
Power.
Kendati banyak dikritik, taksonomi yang ditawarkan French and Raven
banyak diikuti sejumlah peneliti. Bahkan ada yang melakukan penajaman
atas taksonomi tersebut misalnya Hinken and Schriesheim tahun 1989, yaitu

melakukan redefinisi agar mudah dalam pengukurannya sebagai berikut:

Berdasarkan karya French and Raven, dapat dibuat suatu alat ukur guna
mengukur jenis kekuasaan yang ada pada seseorang atau pimpinan atau
manajer.
Alat
ukur
tersebut
sebagai
berikut:

Politik

dalam

Organisasi

Hingga saat ini, kita telah menjelajahi konsep kekuasaan (power) dalam
organisasi. Tibalah kini saatnya kita mengeksplorasi aspek politik di dalam
organisasi. Politik dalam organisasi adalah sesuatu yang sulit dihindarkan
tatkala organisasi terdiri atas 2 orang atau lebih. Terdapat banyak
kepentingan di dalam organisasi, langkanya sumber daya, dan tarik-menarik
gagasan. Seluruhnya membuat politik dalam organisasi menjadi konsekuensi
logis
aktivitas
di
dalam
organisasi.
Bagi Robert Morgan, organisasi serupa dengan sistem politik. Politik di dalam
organisasi (organizational politics) dengan memfokuskan perhatian pada tiga
konsep yaitu interest (kepentingan), konflik, dan kekuasaan (power). Interest
(kepentingan) adalah kecenderungan meraih sasaran, nilai, kehendak,
harapan, dan kecenderungan lainnya yang membuat orang bertindak
dengan
satu
cara
ketimbang
lainnya.
Politik keorganisasian muncul tatkala orang berpikir secara berbeda dan
bertindak berbeda.Perbedaan ini menciptakan ketegangan (tension) yang
harus diselesaikan lewat cara-cara politik. Cara-cara politik tersebut adalah:
1. Autocratically (secara otokratik) – > “kita lakukan dengan cara ini.”

2. Bureaucratically (secara birokratis) – > “kita disarankan melakukan
cara ini.”
3. Technocratically (secara teknokratis) – > “yang terbaik dengan cara
ini.”
4. Democratically
(secara
melakukannya.”

Definisi

Politik

demokratis)

dan



>

Politik

“bagaimana

kita

Organisasi

Politik tidak sama dengan kekuasaan dan pengaruh (influence). Ketiganya
adalah konsep berbeda dan berdiri sendiri. Power atau kekuasaan
mengekspresikan kapasitas individu untuk secara sengaja menimbulkan
dampak pada orang lain. Pengaruh (influence) adalah kemampuan membuat
orang menuruti kehendak pemberi pengaruh. Politik mendasarkan diri pada
kekuasaan (kekuasaan), dan kekuasaan ini tidak terdistribusi secara merata
di
dalam
organisasi.
Sebab itu, siapa pun yang menggenggam kekuasaan di dalam organisasi
akan menggunakannya guna mempengaruhi (to influence) orang lain.
Dengan kata lain, kekuasaan adalah sumber daya sosial yang ditujukan demi
melancarkan pengaruh, yaitu proses sosial, dan keduanya merupakan
sokoguru
politik.
Politik dapat didefinisikan sebagai kegiatan dimana individu atau kelompok
terlibat sedemikian rupa guna memperoleh dan menggunakan kekuasaan
untuk mencapai kepentingannya sendiri. Kendati politik punya kans
merusak, politik sesungguhnya tidaklah buruk. Faktanya, kendatipun para
manajer dan pekerja kerap menolak bahwa politik mempengaruhi kegiatan
organisasi, sebuah riset mengindikasikan bahwa politik kantor muncul dan ia
punya
dampak
terukur
dalam
perilaku
organisasi.
Definisi lain politik diajukan oleh Richard L. Daft, yang menurutnya adalah
“... penggunaan kekuasaan guna mempengaruhi keputusan dalam rangka
memperoleh hasil yang diharapkan." Penggunaan kekuasaan dan pengaruh
membawa pada 2 cara mendefinisikan politik. Pertama, selaku perilaku
melayani diri sendiri. Kedua, sebagai proses pembuatan keputusan
organisasi
yang
sifatnya
alamiah.
Dalam definisi pertama, politik melibatkan kecurangan dan ketidakjujuran
yang ditujukan demi kepentingan diri sendiri dan memicu konflik dan
ketidakharmonisan di dalam lingkungan kerja. Pandangan suram atas politik
ini umum dianut masyarakat awam. Suatu riset yang pernah diadakan dalam
masalah ini menyuguhkan fakta bahwa pekerja yang menganggap kegiatan
politik dalam jenis ini di perusahaan kerap dihubungkan dengan perasaan

gelisah

dan

ketidakpuasan

kerja.

Riset juga mendukung keyakinan tidak proporsionalnya penggunaan politik
berhubungan dengan rendahnya moral pekerja, kinerja organisasi yang
rendah, dan pembuatan keputusan yang buruk. Politik dalam cara pandang
ini menjelaskan kenapa manajer tidak menyetujui perilaku politik.
Dalam definisi kedua, politik dilihat sebagai proses organisasi yang alamiah
demi menyelesaikan perbedaan di antara kelompok kepentingan di dalam
organisasi. Politik adalah proses tawar-menawar dan negosiasi yang
digunakan untuk mengatasi konflik dan perbedaan pendapat. Dalam cara
pandang ini, politik sama dengan pembangunan koalisi dalam proses-proses
pembuatan keputusan. Politik bersifat netral dan tidak perlu membahayakan
organisasi.
Setelah definisi politik per se dijabarkan, tibalah kita merujuk pada konteks
pembicaraan politik dalam buku ini, yaitu dalam konteks keorganisasian.
Sebelumnya masuk lebih jauh, ada baiknya dikemukakan beberapa definisi
Politik Organisasi.
Richard L. Daft mendefinisikan politik organisasi sebagai “ [kegiatan yang]
melibatkan kegiatan memperoleh, mengembangkan dan menggunakan
kekuasaan (power) dan sumber daya lainnya guna mempengaruhi pihak lain
serta menambah hasil yang diharapkan tatkala terdapat ketidakmenentuan
ataupun ketidaksetujuan seputar pilihan-pilihan yang tersedia.” Dengan
definisi ini, perilaku politik dapat menjadi kekuatan positif ataupun negatif.
Politik adalah penggunaan power (kekuasaan) agar sesuatu tercapai.
Ketidakmenentuan dan konflik adalah alamiah dan tidak terelakkan. Politik
adalah mekanisme guna mencapai persetujuan. Politik melibatkan diskusidiskusi informal yang memungkinkan orang mencapai kesepakatan dan
membuat keputusan yang mungkin bisa menyelesaikan masalah ataupun
tidak.
Douglas Fairholm, setelah menelusuri sejumlah definisi politik organisasi,
mengambil sejumlah benang merah definisi politik keorganisasian, yang
meliputi :
1. Tindakan yang diambil oleh individu melalui organisasi;
2. Setiap pengaruh yang dilakukan seorang aktor terhadap lainnya;
3. Upaya satu pihak guna mempromosikan kepentingan-diri atas pihak
lain dan, lebih lanjut, mengancam kepentingan-diri orang lainnya;

4. Tindakan-tindakan yang biasanya tidak diberi sanksi oleh organisasi
tempatnya terjadi, atau hasil yang dicari tidak diberikan sanksi;
5. Politik keorganisasian melibatkan sejumlah proses pertukaran dengan
hasil yang zero-sum (menang-kalah);
6. Politik keorganisasian adalah proses yang melibatkan perumusan
sasaran politik, strategi pembuatan keputusan, dan taktik; serta
7. Politik keorganisasian adalah esensi dari kepemimpinan.
Akhirnya, Fairholm mendefinisikan politik keorganisasian sebagai “ ...
meliputi tindakan-tindakan yang diambil untuk memperoleh dan
menggunakan power (kekuasaan) dalam hal pengendalian sumber daya
organisasi demi mencapai hasil yang diharapkan oleh satu pihak
diperhadapkan dengan pihak lainnya.” Jeffrey Pfeffer, perintis riset politik
dalam organisasi, mendefinisikan politik keorganisasian sebagai “ ...
penerapan atau penggunaan power (kekuasaan), dengan mana kekuasaan
sendiri
didefinisikan
sebagai
kekuatan
potensial.”
Definisi politik dan politik organisasi kiranya saling bersinggungan. Konsepkonsep kekuasaan, influence (pengaruh), resources (sumberdaya), interest
(kepentingan), merupakan sejumlah konsep inheren (melekat) di dalam
definisi politik maupun politik organisasi. Juga telah dikatakan bahwa politik
tidak selalu berarti buruk. Politik adalah media kompetisi gagasan antar
sejumlah pihak yang berbeda guna mencapai tujuan masing-masing.
Dalam mengakui keberadaan politik keorganisasian, suatu survey pernah
diadakan Gandz and Murray tahun 1980 terhadap 480 orang manajer
seputar
politik
dalam
organisasi
di
Amerika
Serikat.
Survey tersebut menggambarkan ambivalensi pendapat para manajer soal
politik sebab berkembang pameo yang menyatakan “Power is America’s last
dirty word. It is easier to talk about money – and much easier to talk about
sex – than it is talk about power.” Hasil survey bertajuk “Perasaan Manajer
tentang
Politik
di
Tempat
Kerja”
sebagai
berikut
:

Munculnya

Politik

dalam

Organisasi

Richard L. Daft mengidentifikasi 3 wilayah dimana politik organisasi
terangsang untuk muncul. Wilayah-wilayah tersebut adalah : (1) Perubahan
Struktural; (2) Suksesi Manajemen; dan (3) Alokasi Sumber Daya.
Perubahan Struktural. Perubahan struktural, misalnya reorganisasi
jabatan, langsung menohok ke dalam “jantung” hubungan otoritas dan
kekuasaan. Reorganisasi seperti perubahan tugas dan wewenang, juga
berdampak atas dasar kekuasaan akibat ketidakmenentuan strategis. Untuk
alasan ini, reorganisasi membawa ke arah maraknya kegiatan politik dalam
organisasi. Para manajer secara aktif menawar dan menegosiasi guna
memelihara wewenang dan kekuasaan yang mereka miliki. Merger dan
akuisisi juga kerap membawa kegiatan politik yang eksplosif.
Suksesi Manajemen. Perubahan keorganisasian seperti rekrutmen
eksekutif baru, promosi, dan transfer pegawai punya signifikansi politik yang
besar, khususnya pada level organisasi puncak dimana ketidakmenentuan
demikian tinggi dan jaringan kepercayaan, kerjasama, dan komunikasi di
antara eksekutif adalah penting. Keputusan rekrutmen dapat melahirkan
ketidakmenentuan, pertentangan wacana, dan ketidaksetujuan. Manajer
dapat menggunakan perekrutan dan promosi guna memperkuat jaringan
aliansi dan koalisi dengan menempatkan orang-orangnya sendiri dalam
posisi
kunci.
Alokasi Sumberdaya. Alokasi sumber daya adalah arena politik ketiga.
Alokasi sumberdaya memotong seluruh sumberdaya yang dibutuhkan bagi
kinerja organisasi, termasuk gaji, anggaran, pekerja, fasilitas kantor,
perlengkapan, penggunaan transportasi kantor, dan sebagainya. Sumber
daya adalah vital sehingga bahwa ketidaksetujuan untuk memprioritaskan
salah satu sumber daya mungkin mengemuka. Dalam konteks ini, prosesproses
politik
membantu
menyelesaikan
dilema
ini.
Penulis lain seperti Wagner II and Hollenbeck mengidentifikasi sejumlah

faktor yang mendorong kegiatan politik di dalam organisasi. Faktor-faktor
tersebut adalah : (1) Personalitas Individu; (2) Ketidakmenentuan; (3) Ukuran
Organisasi; (4) Level Hirarki; (5) Heterogenitas Anggota; dan (6) Pentingnya
Keputusan.
Personalitas Pribadi. Karakteristik kepribadian tertentu memungkinkan
orang menunjukkan perilaku politik. Contohnya, orang yang punya
kebutuhan kekuasaan (nPow) tinggi dalam istilah Charles McClelland. Orang
ini terdorong hasrat politik dari dalam dirinya sendiri guna mencari pengaruh
atas orang lain, yang juga memotivasinya untuk menggunakan kekuasaan
demi
hasil-hasil
politik.
Riset lain juga menunjukkan orang yang menunjukkan karakteristik
Machiavellianisme cenderung mengendalikan orang lain lewat tindak
oportunistik dan perilaku yang manipulatif. Mereka cenderung terbuka untuk
terlibat dalam politik. Sebagai tambahan, riset mengindikasikan bahwa
kesadaran-diri orang tidak sama dengan lainnya untuk terlibat dalam politik
kantor karena mereka takut menjadi perhatian publik dan dinilai negatif
karena
terlibat
dalam
politik.
Ketidakmenentuan. Ketidakmenentuan menjadi alasan munculnya nuansa
politik di dalam organisasi, yang jenis-jenisnya sebagai berikut :
1. Keberatan-keberatan dalam ketersediaan sumberdaya langka atau
informasi seputar sumber daya tersebut;
2. Informasi yang beredar bersifat ambigu (tidak jelas) atau lebih dari
satu versi;
3. Sasaran, tujuan, peran pekerjaan, atau ukuran kinerja yang tidak
didefinisikan secara baik;
4. Ketidakjelasan peraturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
siapa yang harus buat keputusan, bagaimana keputusan dicapai, atau
bilamana pembuatan keputusan harus dilakukan;
5. Perubahan reorganiasi, realokasi anggaran, atau modifikasi prosedur
dalam aneka bentuknya; dan
6. Pihak yang yang menjadi gantungan (tumpuan harapan/backing)
individu atau kelompok memiliki pesaing atau musuh.
Ukuran Organisasi. Politicking lebih sering muncul pada organisasi skala
besar ketimbang skala kecil. Adanya orang dalam jumlah besar cenderung
menyembunyikan perilaku seseorang, memungkinkan mereka terlibat dalam

politik

tanpa

takut

diketahui

(konspirasi).

Level Hirarki. Politik juga kerap ditemukan dalam manajer tingkat atas,
karena kekuasaan yang dibutuhkan untuk terlibat dalam politik biasanya
terkonsentrasi
diantara
para
manajer
tingkat
atas
tersebut.
Heterogenitas Anggota. Anggota dalam organisasi yang heterogen
biasanya saling berbagi kepentingan dan nilai yang sedikit dan lebih lanjut
mencari sesuatu yang berbeda. Dalam kondisi ini, proses-proses politik
cenderung muncul dimana setiap anggota bersaing untuk memutuskan
kepentingan
siapa
yang
terpuaskan
dan
siapa
yang
tidak.
Pentingnya Keputusan. Keputusan yang sifatnya penting lebih memancing
aktivitas politik organisasi ketimbang keputusan yang biasa-biasa saja. Ini
diakibatkan sebuah keputusan penting punya dampak besar dalam menarik
perhatian
para
anggota
organisasi.
Kemunculan politik dalam organisasi juga dikaitkan dengan adanya perilaku
politik di kalangan anggota organisasi. Perilaku tersebut membuka ruang
yang besar bagi individu dalam organisasi untuk melibatkan diri dalam
politik. Eran Vigoda-Gadot merinci 6 dimensi perilaku politik di diri individu
yang mendorong munculnya kegiatan politik, yaitu:
1. Otonomi Pekerjaan. Semakin independen karyawan dalam
melakukan tugas, semakin mahir kemampuannya dalam menerapkan
pengaruh untuk tujuan mempromosikan keinginannya;
2. Masukan Keputusan. Keterlibatan dan kerjasama dalam proses
pembuatan keputusan membuat karyawan merasa terhubung dengan
organisasi, suatu perasaan tanggung jawab agar ia berfungsi lebih
jauh, dan keinginan menanam andil (jasa) guna mempertahankan daya
saing organisasi. Lebih jauh lagi, terbuka kesempatan yang mencukupi
untuk memunculkan perilaku politik yang berupaya memaksimalkan
tujuan personal dan organisasi dan meraih prestasi lewat pemberian
pengaruh atas orang lain sehingga mereka akan membantunya dalam
merealisasikan tujuan individualnya maupun organisasi.
3. Kepuasan Kerja. Semakin puas seorang karyawan, semakin ia
percaya pada organisasi berikut seluruh proses di dalamnya sehingga
keterasingannya dari pekerjaan jauh berkurang. Kepuasan yang ia
rasakan di pekerjaan membentuk kepentingannya sendiri yaitu
memelihara status quo. Jika kepuasan kurang akan membawa individu
bertindak dalam rangka mempengaruhi pihak lain untuk mengubah
keputusan-keputusan di dalam organisasi.

4. Status dan Prestise Pekerjaan. Status dan prestise pekerjaan
berhubungan dengan opini politik. Semakin besar keinginan
mengekspresikan opini, protes, dan secara aktif mengutarakan ide-ide
yang ia sukai. Tatkala pekerja punya status dan prestise profesional
yang tinggi ia juga akan menuntut aset-aset yang butuh dukungan dan
perlindungan. Ia tidak mengupayakan perubahan besar atas
lingkungannya dan menggunakan keahlian politiknya yang tinggi guna
memelihara aset-aset pribadinya.
5. Hubungan Kerja. Hubungan yang dekat antara satu individu dengan
individu lainnya di lokasi kerja membawa pada merembeskan
pandangan satu sama lain di dalam organisasi, di mana terjadi
adaptasi persepsi, sikap dan perilaku politik mereka.
6. Unionisasi. Serikat pekerja akan memutar gagasan, perilaku dan
kebiasaan politik dari tingkat lingkungan kerja hingga sistem politik
nasional dan vice versa (demikian sebaliknya). Orang yang cenderung
terlibat dan aktif dalam komite pekerja umumnya mahir pula dalam
berpolitik.
Kemunculan dimensi politik dalam organisasi ini akan kami tutup dengan
model analisis dari Stephen P. Robbins. Model analis tersebut sebagai berikut
:

_____________________________________

1. Gilbert W. Fairholm, Organizational Power Politics: Tactics in
Organizational Leadership, 2nd Edition (Santa Barbara: Praeger, 2009) ,
p.5.
2. Gareth Morgan, Images of Organization (Thousand Oaks, California:
Sage Publications, 2006) p.166.
3. Stephen P. Robbins, Organisational Behaviour: Global and Southern
African Perspectives, 2nd Edition (Cape Town: Pearson Education South
Africa (Pty) Ltd., 2009) p.15
4. John A. Wagner II and John R. Hollenbeck, Organizational Behavior:
Securing Competitive Advantage (Madison Avenue, New York:
Routledge, 2010) p.215.

5. Ibid., p.215.
6. John R. Schemerhorn, James G. Hunt, Richard N. Osborn,
Organizational Behavior, 7th Edition (Phoenix : John Wiley & Sons, 2002)
p.173.
7. Jeffrey Pfeiffer, Managing with Power: Politics and Influence in
Organizations (New York: Harvard Business School Press, 1992) p.30.
8. Richard L. Daft, Organization Theory and Design, 10th Edition (Mason :
Cengage Learning, 2010) p. 497.
9. Ibid.
10.
James G. March and Thierry Weil, On Leadership (Malden :
Blackwell Publishing, 2005) p.52-3.
11.

Gareth Morgan, Images ...., op.cit., p.167.

12.
John A. Wagner II and John R. Hollenbeck, Organizational ...,
op.cit., p.216-7.
13.
Ronald J. Stupak and Peter M. Leitner, Handbook of Public Quality
Management, (Boca Raton, Florida: CRC Press, 2001).
14.

Douglas Fireholm, Organizational ...., op.cit., p.23.

15.
Gary Yukl, Leadership in Organizations, 6th Edition (New Delhi:
Dorling Kindersley, 2006) P.167
tags:
definisi politik dalam organisasi pengertian kekuasaan dalam organisasi pfeiffer perubahan
struktural organisasi suksesi kepemimpinan organisasi