Marketing Politik dan Produk Politik

Marketing Politik dan Produk Politik
FAJAR KURNIANTO
Geliat politik nasional mulai terasa. Pendaftaran dan penyeleksian para calon anggota
legislatif untuk bertarung dalam Pemilu 2014 tengah dilakukan partai-partai politik yang telah
dinyatakan lolos menjadi kontestan Pemilu 2014. Semua partai politik dipastikan akan berusaha
keras dan bersaing untuk menggaet massa dan memperoleh dukungan publik sehingga partai dan
para calon legislatif mereka terpilih. Mereka akan berupaya menawarkan program-program yang
menarik publik. Dalam konteks inilah, marketing politik menjadi strategi yang relevan agar
proses-proses politik lebih efisien.
Pro-kontra Marketing Politik
Pada mulanya, ilmu marketing biasa digunakan di dunia bisnis atau usaha suatu produk.
Belakangan, ilmu ini juga lazim digunakan di dunia politik. Namun, pro-kontra mengenai
marketing politik masih terjadi. Pihak yang pro anjuran penggunaan marketing dalam dunia
politik misalnya Kotler dan Levy (1969).
Wring (1996) menunjukkan bahwa aktivitas marketing politik telah lama dilakukan oleh
partai-partai politik di Inggris. Semasa periode Pemilu di Inggris pada 1929, Partai Konservatif
menjadi partai pertama yang menggunakan agen biro iklan (Holford-Bottomley Advertising
Service) dalam membantu mendesain dan mendistribusikan poster dan pamflet.
Sementara Partai Buruh memulai penggunaan marketing dalam dunia politik ketika
departemen publikasi diresmikan pada 1917, dibantu agen publikasi Egerton Wake yang
kemudian berperan aktif dalam kampanye Partai Buruh. Wring juga menunjukkan peran media

massa seperti TV, radio, koran dan periklanan mewarnai kehidupan politik di Inggris.
Disebutkan, sebuah agen publikasi bernama Saatchi and Saatchi berperan dalam penciptaan
slogan Labour isn‘t Working yang mampu memengaruhi penurunan tingkat kepercayaan massa
Partai Buruh dan mengantarkan Partai Konservatif memenangkan Pemilu tahun 1979.
Sementara sikap kontra dan skeptis terhadap marketing politik berangkat dari
pemahaman bahwa marketing adalah ilmu yang dikembangkan dalam dunia bisnis dan ditujukan
untuk mengejar keuntungan. Yang menjadi pusat perhatian marketing adalah upaya membuat

konsumen membeli produk dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan. Tugas dan peran ilmu
marketing adalah melancarkan fungsi transaksi ekonomi dalam mengefisiensikan distribusi
barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Penggunaan ilmu marketing di luar konteks usaha
bisnis dikhawatirkan akan menghancurkan struktur sosial dan menurunkan reputasi ilmu
marketing itu sendiri (Laczniack & Michie, 1979).
Aplikasi marketing dalam dunia politik juga meninggalkan masalah etika dan moral
(Laczniack et al., 1979). Dalam aktivitas marketing, tidak jarang sebuah organisasi mengemas
informasi berbeda dengan kenyataan bahkan memanipulasi informasi yang ditransfer. Dalam
kaitan ini, konsumen hanya diberi informasi yang menyangkut satu sisi saja, yaitu informasi
yang semata-mata dimaksudkan untuk menguntungkan perusahaan dan organisasi. Konsumen
lebih dilihat sebagai korban manipulasi informasi. Padahal, kehadiran politik dalam sistem sosial
ditujukan untuk memperbaiki kondisi dan kualitas masyarakat suatu komunitas (negara) melalui

kontrak sosial (Radcliff, 2001).
Penggunaan metode marketing yang berlebihan dalam kehidupan berpolitik hanya akan
melahirkan komersialisasi politik dan mereduksi arti berpolitik (O‘Soughnessy, 2001).
Meluasnya penggunaan TV, media cetak dan radio sebagai media advertising dan publikasi
dikhawatirkan akan semakin menjauhkan masyarakat dari ikatan ideologi sebuah partai dengan
massanya. Masyarakat cenderung akan lebih memerhatikan aspek artistik sebuah iklan politik
ketimbang pesan politik itu sendiri. Selain itu, isu politik berkaitan erat dengan produk
komersial. Isu politik berkaitan erat dengan nilai dan ideologi, dan bukan produk yang
diperjualbelikan.
Memasarkan Produk Politik
Pro-kontra perihal digunakannya marketing dalam dunia politik sebetulnya ada titik
temunya. Masalah pokok adalah upaya melakukan beberapa penyesuaian. Ilmu marketing
sebetulnya bisa masuk ke semua lini, jika itu berkaitan dengan relasi sosial, termasuk politik.
Dalam politik ada politikus dan massa yang melakukan interaksi, khususnya ketika
terjadi proses politik seperti Pemilu atau proses-proses demokrasi selanjutnya. Jadi, elemen yang
ada dalam ilmu marketing ada juga dalam dunia politik. Ini hanya soal cara memperkenalkan,
memberitahukan, dan menyosialisasikan produk politik kepada masyarakat dan bagaimana
merekatkan partai-partai politik dengan masyarakat secara kontinu.

Kekhawatiran pihak yang skeptis tentu juga sangat beralasan. Namun, digunakannya ilmu

marketing dalam politik tidak sepenuhnya menjauhkan masyarakat dari ideologi sebuah partai.
Karena, proses-proses politik berikutnya akan terus berjalan. Masyarakat memang seperti
memilih produk politik yang disebut dengan partai-partai politik atau calon-calon legislatif yang
diusung.
Tetapi, beda dengan produk ekonomi di mana relasi antara produsen dan konsumen relatif
selesai dalam satu atau dua transaksi, dalam politik proses itu terus berlanjut karena antara
produsen (partai poltik) dengan konsumen (masyarakat pemilih) juga ada semacam kontrak
sosial yang menjamin bahwa produk politik itu akan terus sesuai dengan yang dilihat publik
ketika dipasarkan. Bahkan, belakangan ada lembaga perlindungan konsumen di banyak negara.
Kekhawatiran terhadap mutu produk politik, baik berupa para calon anggota legislatif
maupun misi-visi yang mereka usung, juga bisa dijawab dengan semakin terbukanya ruang
publik dengan berbagai media-media informasi yang sangat cepat didapatkan masyarakat.
Media-media, selain sebagai sarana pemasaran produk politik, sekaligus menjadi ruang
kritisisme atas produk-produk yang ditampilkan.
Masyarakat kini sudah cukup cerdas, teliti, dan selektif dalam memilih produk politik
yang diiklankan. Masyarakat sudah dapat membedakan antara yang disebut dengan iklan dengan
fakta. Masyarakat sudah mengerti perihal iklan bahwa iklan tidak akan pernah menampilkan sisi
kekurangan. Hal ini akan membuat masyarakat ingin tahu sisi kekurangan itu melalui mediamedia noniklan. Jadi, partai-partai politik selaku produk dan pencipta produk politik jangan lagi
main-main atau memanipulasi produk jika ingin serius memajukan bangsa dan negara.
*Artikel ini dimuat di koran Jurnal Nasional, Kamis 28 Maret 2013