makalah sejarah pemikiran islam. doc

Konsep Ma’rifat
Materi Kuliah
Sejarah Pemikiran Islam
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Tjusoraya Kiswati, MA

Oleh:
Siti Aminah
NIM. F03411044

KONSENTRASI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2011

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam dunia tasawuf, ma’rifat merupakan suatu hal yang sangat penting. Ma’rifat

merupakan perjalanan ruhani yang didambakan oleh setiap sufi, namun tidak semua sufi
mampu untuk mencapainya.1 Tujuan kaum sufi adalah untuk mendekatkan diri kepada
Allah dengan melihat tuhan dan bahkan lebih dari itu.
Rasulullah saw, bersabda:
“Mula-mula dalam beragama adalah makrifat kepada Allah”
Dalam perbincangan dikalangan sufi terdapat dua pandangan tentang ma’rifat,
ma’rifat dianggap sebagai maqam2 dan ma’rifat sebagai hal.3 Jika dapandang sebagai
maqam ma’rifat juga diperselisihkan dalam segi pengurutannnya. Pada dunia tasawuf
dijumpai dua tokoh yang mengenalkan paham ma’rifah yaitu Al-Ghazali dan Zu al-Nun
al-Misry.

BAB II
1

Saiful Muzani, Islam Rasional :Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr.Harun Nasution (Bandung: Mizan, 1995), 360.
Maqam merupakan jalan panjang yang harus dilalui oleh sufi untuk berada dekat kepada Allah dan dalam bahasa
inggris dikenal dengan stages.
3
Hal merupakan suatu keadaan mental seperti perasaan takut (al-khauf), rendah hati (tawadu’), patuh (taqwa) dan
lain-lain. Hal berlainan dengan maqam, bukan diperoleh melalui usaha melainkan didapat sebagai anugerah Tuhan

dan sifatnya hanya sementara datang dan pergi.
2

2

PEMBAHASAN

A. Pengertian Makrifat
Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa,yu’rifu, irfan, ma’rifah yang
artinya pengetahuan atau pengalaman.4 Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang
rahasia hakikat agama yaitu ilmu yang lebih tinggi dari pada ilmu yang biasa didapati
oleh orang-orang pada umumnya. Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan
pada hal-hal yang bersifat zahir tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan
mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup
mengetahui hakikat ketuhanan dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari
yang satu.
Ma’rifah digunakan untuk menunjukkan pada salah satu tingkatan dalam tasawuf.
Dalam arti sufistik ini, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenal tuhan melalui
hati sanubari. Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu
dengan yang diketahuinya itu, yaitu Tuhan.

Harun Nasution mengatakan bahwa ma’rifah menggambarkan hubungan rapat
dalam bentuk gnosis, pengetahuan, dengan hati sanubari. Ma’rifah berarti mengetahui
tuhan dari dekat sehingga hati sanubari dapat melihat tuhan. Oleh karena itu orang-orang
sufi mengatakan:
1) Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka mata
kepalanya tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
2) Ma’rifah adalah cermin, kalau seorang arif melihat ke cermin itu yang akan
dilihatnya hanyalah Allah.
3) Yang dilihat orang arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya
Allah.
4) Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat
padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya
dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang
gilang-gemilang.5
Rasulullah saw bersabda:
4
5

IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf (Sumatera Utara, 1983/1984), 122.
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta:Bulan Bintang , 1983), cet III, 75.


3

“Siapa yang mengenal dirinya, sesungguhnya dia dapat mengenal tuhannya”.6
Tidak ada seorang pun yang sanggup dan mampu mengenal tuhan-Nya dalam arti
hakiki kecuali dengan Dia.
Dzin Nun al-Mishri berkata,
“Aku kenal tuhanku dengan tuhanku jua”
Yakni dengan sinarnya, hidayahnya, kodrat dan iradatnya. Sebagaimana firman
Allah swt yang artinya:
“Dan orang-orang yang berjihad (untuk mencari keridhaan) pada jalan kami, sungguh
akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah bersama
dengan orang-orang yang berbuat kebaikan (Q.S. al-Ankabut (29):69).
Dengan demikian bermakrifatullah menjadikan kita semakin

mantap

keyakinannya semakin teguh keimanannya dan semakin besar taqwa kita terhadap Allah,
Tuhan semesta alam sehingga mencapai isbatul yaqin yaitu yakin seyakin-yakinnya
setelah adanya bukti nyata.

Bagi para pengikut Nabi Muhammad saw, tingkat pelajaran dalam agama islam
dibagi 4 (empat) tingkatan yaitu:
1. Syariat (Sembah Raga)
Pengetahuan terhadap jalan menuju Allah. Kesadaran berperilaku sehari-hari
yang berorientasi kepada norma-norma budaya, agama, hukum, dan aturanaturan social pada lingkunanga yang berlaku.
2. Tarikat (Sembah Cipta)
Berjalan menurut ketentuan-ketentuan syariat, yakni berbuat sesuai dengan
ketentuan yang diatur oleh syariat. Kesadaran mental berorientasi pada
dimensi-dimensi bawahan (bawah sadar).
3. Hakikat (Sembah Jiwa/Rasa)
Pandangan yang terus menerus kepada Allah. Kesadaran mental berorientasi
pada dimensi-dimensi atasan (budi luhur).
4. Makrifat (Sembah Sukma)
Ilmu pengetahuan yang sampai pada tingkat keyakinan yang mutlak dalam
mengesakan Alllah.
B. Alat untuk Ma’rifah
Alat yang dapat digunakan untuk ma’rifah telah ada dalam diri manusia yaitu
qalb (hati), namun artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa inggris, karena qalb
selain dari alat untuk merasa adalah alat untuk berpikir. Bedanya qalb dengan akal ialah
bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan sedang

6

Sabdono Surohadikusumo, Kemana Mencari Tuhan (Yogyakarta:Pustaka Dian), 163.

4

qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya Tuhan, bisa
mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan
maksiat melalui serangkai zikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasiarahasia Tuhan yaitu setelah hati tersebut disinari cahaya Tuhan.
Proses penyampain qalb pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep
Takhalli, tahalli dan tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan
perbuatan maksiat melalui taubat. Hal ini dilanjutkan dengan tahalli yaitu menghiasi diri
dengan akhalak yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan tajalli adalah terbukanya hijab
sehingga tampak jelas cahaya Tuhan.7
Adapun alat yang dipergunakan untuk memperoleh ma’rifat dikalangan sufi
disebut dengan sir. Di samping itu masih ada alat lain, sebagaimana diungkapkan oleh alQusyairiy: qalb (hati) yang berfungsi untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, ruh untuk
mencaintai Tuhan dan sir untuk mengenal tuhan. Sir lebih halus dari ruh dan ruh lebih
halus dari qalb.8
Seseorang yang memperoleh ma’rifat memiliki perasaan spiritual dan kejiwaan
yang tidak dimiliki oleh orang lain. Ciri-ciri yang ada pada diri seseorang yang yang

mendapatkan ma’rifat adalah:
1) Cahaya ma’rifatnya berupa ketaqwaan tidak pernah padam dalam dirinya
2) Tidak meyakini bahwa hakikat sesuatu ilmu (batin) mematahkan (hukum)
yang lainnya.
3) Banyak nikmat yang di anugerahkan kepadanya tidak membuat lupa dan
melanggar aturan-aturan Tuhan.
C. Tokoh yang Mengembangkan Ma’rifah
Dalam literature tasawuf dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham
ma’rifah ini yaitu:
1. Al-Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad al-Ghizali lahir pada tahun 1059 M, di
Ghazaleh. Al Ghazali mengatakan ma’rifah adalah:
“Tampak jelas rahasia-rahasia ketuhanan dan pengetahuan mengenai susunan urusan
ketuhanan yang mencakup segala yang ada”.
Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan ma’rifah adalah:
“Memandang kepada wajah (rahasia) Allah”.
Seterusnya al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifah
tentang Tuhan, yaitu arif tidak akan mengatakan ya Allah atau ya rabb karena memanggil
7
8


Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajawali Pers), 223.
Alfatih Suryadilaga, Mifatahus Sufi (Yogyakarta: TERAS ), 140.

5

Tuhan dengan kata-kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di belakang tabir. Orang
yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya itu.
Tetapi bagi Al-Ghazali ma’rifah urutannya terlebih dahulu dari pada mahabbah,
karena mahabbah timbul dari ma’rifah. Namun mahabbah yang dimaksud al-Ghazali
berlainan dengan mahabbah yang diucapkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah, yaitu mahabbah
dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul
dari kasih Tuhan dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup,
rezeki, kesenangan dan lain-lain. Al-Ghazali lebih lanjut mengatakan bahwa ma’rifah dan
mahabbah itulah setinggi-tinggi tingkat yang dapat dicapai seorang sufi. Dan
pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifah lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang
diperoleh dengan akal.9
2. Zu al-Nun al-Misry
Dia adalah Abu al-Faid Sauban ibn Ibrahim al-Misry di kenal dengan Zul al-Nun
al-Misry. Dia dilahirkan di ikhim, sebuah daerah di Mesir Hulu pada tahun 180 H/796 M

dan meninggal pada tahun 246 H/860 M. Dia putera seorang Nubia, sebuah suku yang
tinggal di Nubah wilayah timur laut Afrika. Disamping seorang sufi, ia juga dikenal
sebagai ahli filsafat, ilmu pengetahuan, dan tulisan herioglig (tulisan abjad mesir kuno).10
Penokohan terhadap Zu al-Nun sebagai seorang tokoh dalam sufisme bukan tidak
beralasan, karena disamping dia memang melakukan kehidupannya dalam kehidupan
mistis, dia mempunyai keistimewaan-keistimewaan, ketika dia masih hidup dan bahkan
setalah dia meninggal.
Keistimewaan yang dimilikinya yang terlihat dari kematiannya, ialah dilihat dari
kuantitas penziarahnya. Tidak kurang dari 70 orang bermimpi melihat Rasulullah dan
bersabda “Aku datang menemui Zun al-Nun al-Misry, wali Allah” dan

sesudah

kematiaannya terdapat tulisan di dalam keningnya, yaitu “ inilah kekasih Tuhan yang
meninggal dalam mencintai Tuhan dan dibunuh oleh Tuhan”. Demikian juga terhadap
iring-iringan jenazahnya dinaungi oleh burung-burung. Atas peristiwa ini orang-orang
Mesir menyesal atas perlakuannya selama ini.
Ma’rifat yang dimajukan Zu al-Nun al-Misry adalah pengetahuan hakiki tentang
Tuhan.11 Beliau membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga tingkatan. Tingkat
9


Nata, Akhlak, 227.
Abd. Halim Mahmud, Zu al-Nun al-Misry (Kairo: Dar al sa’ab), 17.
11
Ibid., 227.
10

6

pertama ialah pengetahun awam, yang dapat mengetahui keesaan tuhan. Dengan
perantaraan ucapan syahadat. Tingkat kedua, merupakan tingkatan para ulama dan
mutakallimin yang dapat mengetahui Tuhan dengan logika dan penalaran akal.
Sedangkan tingkatan ketiga, pengetahuan tentang sufi yang diperoleh melalui mata hati
sanubari.12
Ketika ditanya tentang bagaimana ma’rifat kepada Tuhan, Zu al-Nun al-Misry
menjawabnya dengan ungkapan “Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya
tidak karena Tuhan aku tidak akan tahu Tuhan”.

12


Alfatih, Miftahus, 141.

7

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Ma’rifah adalah
pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir tetapi lebih
mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya.
Sedangkan alat untuk mencapai ma’rifah telah ada dalam diri manusia yaitu qalb
(hati).
Adapun tokoh sufi yang mengembangkan Ma’rifah yakni:
1. Al-Ghazali
Menyatakan bahwa ma’rifah dan mahabbah itulah setinggi-tinggi tingkat yang
dapat dicapai seorang sufi. Dan pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifah lebih tinggi
mutunya dari pengetahuan yang diperoleh dengan akal.
2. Zu al-Nun al-Misry
Bahwasanya Ma’rifat yang dimajukan Zu al-Nun al-Misry adalah pengetahuan
hakiki tentang Tuhan. Beliau membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga
tingkatan. Tingkat pertama ialah pengetahun awam, yang dapat mengetahui keesaan
tuhan. Dengan perantaraan ucapan syahadat. Tingkat kedua, merupakan tingkatan
para ulama dan mutakallimin yang dapat mengetahui Tuhan dengan logika dan
penalaran akal. Sedangkan tingkatan ketiga, pengetahuan tentang sufi yang diperoleh
melalui mata hati sanubari.

DAFTAR PUSTAKA

8

Nasution Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta:Bulan Bintang, 1983.
Surohadikusumo Sabdono, Kemana Mencari Tuhan, Yogyakarta:Pustaka Dian.
Nata Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers.
Suryadilaga Alfatih, Mifatahus Sufi, Yogyakarta: TERAS.
IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, Sumatera Utara, 1983/1984.
Muzani Saiful, Islam Rasional :Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr.Harun Nasution
Bandung: Mizan, 1995.
Halim Mahmud Abd, Zu al-Nun al-Misry, Kairo: Dar al sa’ab.

9