Pilkada DKI Politik Identitas dan Media

Pilkada DKI, Politik Identitas, dan Media Online
Oleh : Muh. Bahruddin (1606855180)
Email: muh.bahruddin@yahoo.com
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 harus dibayar mahal
karena pilihan masyarakat digiring ke arah politik identitas, bertolak belakang dengan
ruh demokrasi. Bahkan isu politik identitas ini terus berkembang pasca-Pilkada.
Demokrasi yang sejatinya mengedepankan kebebasan memilih pasangan calon secara
rasional harus dibenturkan dengan sentimen identitas yang kental. Akibatnya, pilihan
masyarakat dalam pesta demokrasi didasarkan, terutama pada agama atau etnis tertentu.
Kondisi ini cukup memprihatinkan karena bisa mencederai demokrasi yang dibangun
susah payah sejak reformasi bergulir. Pada tingkat ini, pemilihan masyarakat tidak lagi
melihat bagaimana kinerja, visi dan misi kandidat, serta seberapa besar kualitas seorang
kandidat, tetapi mengarah pada identitas kandidat: apakah dia seorang muslim atau
nonmuslim, pribumi atau non-pribumi.
Celakanya, media (khususnya media sosial dan online) justru menjadi sarana
paling potensial dalam menyebarkan isu politik identitas. Perkembangan teknologi
komunikasi memungkinkan media untuk bergerak sangat cepat dengan media-media
daring atau versi online-nya. Isu ini kemudian dengan mudah di-share di media-media
sosial maupun media messenger dan menjadi viral.
Media (konvensional dan online) memiliki kekuatan untuk mengkonstruksi
setiap berita yang disampaikan pada khalayak. Konstruksi berita bisa didesain dengan

menggunakan gambar atau visual yang mendukung, judul berita yang tendensius, blowup berita, pemilihan narasumber yang dianggap sejalan, dan lain sebagainya. Konstruksi
berita yang di-frame oleh media secara berulang-ulang ini akan mengkonstruksi
khalayak, terutama dalam memaknai demokrasi. Konstruksi berita tidak sekedar
berbicara mendukung atau tidak mendukung tetapi bagaimana berita diarahkan. Pada
kasus pilkada DKI Jakarta 2017, bagaimana media mengarahkan beritanya pada
identitas agama sang kandidat. Agama menjadi isu sangat seksi dalam mengkonstruksi
berita. Topik berita kerap diarahkan pada dosa-tidaknya atau haram-tidaknya dalam
memilih pemimpin nonmuslim. Isu inilah yang dikhawatirkan dapat mereduksi dari
esensi demokrasi yang mengedepankan rasionalitas, khususnya dalam memilih calon
gubernur.
Zongdan Pan dan Gerald M. Kosicki, dalam tesisnya melihat kondisi sosial
politik di Amerika banyak ditentukan oleh campur tangan media. Melalui pemberitaan
media, para kandidat tidak perlu mengeluarkan dana cukup besar untuk
mengkampanyekan atau mengiklankan dirinya. Cukup dengan strategi pemberitaan para
kandidat akan memperoleh keuntungan besar berkaitan dengan perolehan suara mereka
(Eriyanto, 2011). Media online dan media sosial memiliki andil besar dalam stabilitas
politik, khususnya dalam pilkada.
Pada kasus Pilkada DKI Jakarta 2017 yang berlangsung dalam dua putaran, para
aktor politik cukup melemparkan isu politik identitas, maka sang kandidat tidak perlu
susah payah membangun kualitas diri dan membangun visi dan misi yang mulukmuluk. Dengan politik identitas, masyarakat akan mudah digiring dengan pemberitaanpemberitaan yang tersebar luas di internet dan Whatsapp.

1

Munculnya aksi-aksi seperti 411, 112, 212, 313, dan 55 adalah bagian tak
terpisahkan dari politik identitas yang tersebar di berbagai media online dan media
sosial (facebook, twitter, youtube, Whatsapp dan lain sebagainya). Aksi-aksi ini
menuntut calon gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) karena dianggap
menodai agama dalam pidatonya di Kepulauan Seribu pada 30 September 2016.
Gubernur Basuki dianggap menyinggung surat Al Maidah ayat 51 tentang
kepemimpinan dalam Islam. Sebagaimana diketahui, pidato ini menjadi viral setelah
diunggah melalui Youtube oleh Buni Yani, salah seorang dosen dari sebuah sekolah
tinggi di Jakarta. Penodaan agama ini kemudian dijadikan sebagai modal poitik identitas
agar Basuki (bersama calon wakilnya Djarot Saiful Hidayat) tidak menjadi gubernur
DKI Jakarta sekaligus dipenjara. Harapan terhadap kekalahan Basuki sekaligus juga
menaruh harapan untuk memenangkan lawan politik Basuki (Anies Baswedan-Sandiaga
Uno) yang dianggap memenuhi identitas kelompok.
Sentimen keagamaan dalam politik identitas ini tampak dalam survei yang
dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Sentimen agama di Ibu Kota DKI
Jakarta meningkat mendekati pemilihan gubernur 15 Februari 2017. Temuan itu
terungkap dalam hasil sigi salah satu lembaga survei resmi di situs Komisi Pemilihan
Umum DKI Jakarta, Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Lembaga ini mencatat,

sentimen agama warga Jakarta mencapai 71,4 persen. Angka itu melonjak dari hasil
survei Maret dan Oktober 2016, yang masing-masing menyatakan 40 dan 55 persen
responden menganggap sentimen agama sangat penting (https://www.tempo.co).
Hasil penghitungan suara resmi dari Komisi Pemilihan Umum Daerah DKI
Jakarta menunjukkan bahwa suara Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat
memperoleh suara 42,05% sedangkan Anies Baswedan-Sandiaga Uno memperoleh
suara 57,95%. Hasil ini semakin menunjukkan tentang keberhasilan politik identitas
yang dibangun, terutama melalui media online.
Politik Identitas
Munculnya politik identitas adalah sebuah konsekuensi dari sebuah
ketidakadilan anggota kelompok sosial tertentu pada masa lalu. Kelompok masyarakat
yang merasa terpinggirkan oleh kelompok dominan menumbuhkan ‘pemberontakan’
dari kelompok yang merasa ditindas. Politik identitas bersandar pada klaim pemersatu
tentang makna pengalaman yang secara politis sarat bagi beragam individu. Terkadang
makna yang dikaitkan dengan pengalaman tertentu akan menyimpang dari topiknya
(platostandford.edu)
Dalam konteks agama yang disampaikan melalui media, khususnya online, hal
ini tidak hanya mengacu pada agama seperti yang dilakukan dan diartikulasikan secara
online, namun menunjukkan bagaimana media digital dan ruang terbentuk dan dibentuk
oleh praktik keagamaan. Sebagai sebuah konsep, kita dapat berbicara tentang keadaan

agama saat ini sehubungan dengan artefak digital dan budaya di mana ia berada
(Campbell, 2013).
Sherry Turkle (1995, dalam Lovheim, 2013), melihat aspek penting bagaimana
media digital membentuk ekspresi identitas orang. Pada satu tingkat, komputer bisa
dilihat sebagai alat pengorganisasian kehidupan pribadi, kerja dan komunikasi dengan
orang lain. Ini juga bertindak sebagai cermin bagaimana kita menghabiskan waktu kita
atau memprioritaskan komitmen kita, sekaligus memberikan cara baru untuk

2

mengkonseptualisasikan dan mengekspresikan diri, melalui penggunaan teks digital,
gambar, suara dan tautan. Turkle juga menekankan bagaimana komputer membuka
dunia sosial baru bagi manusia. Dengan demikian, internet adalah infrastruktur sosial
dan teknologi yang tidak hanya untuk mengatur, mengekspresikan dan merenungkan
kehidupan tetapi juga untuk kehidupan yang hidup. Saat ini, dengan konvergensi
internet, teknologi telepon seluler, satelit, serta personalisasi media digital lebih
ditingkatkan. Menurut Turkle, pada tingkat umum, ‘identitas’ mengacu pada proses di
mana seseorang mengembangkan kemampuan untuk memahami makna situasi dalam
kehidupan sehari-hari dan posisi mereka sendiri dalam hubungannya dengan mereka
(Hewitt, 2000).

Dalam proses ini, individu membentuk identitas pribadi atau diri. ‘Diri’ mengacu
pada pengalaman individu dirinya sebagai orang yang unik dan subjek yang mampu
bertindak dalam situasi tertentu. Pengalaman diri juga terletak pada konteks interaksi
sosial tertentu (Goffman, 1959). Ini mengacu pada dimensi identitas kedua, mengenai
lokasi individu sehubungan dengan makna, praktik dan posisi yang mengatur kehidupan
sosial. Setiap situasi interaksi sosial menyajikan kemungkinan tertentu bagi individu
untuk mengumumkan posisi apa yang ingin mereka anggap untuk bertindak dalam
situasi tersebut.
Parasosial dan Post-truth
Ada dua konsep yang dikaji dalam menggambarkan bentuk hubungan melalui
media, yaitu “hubungan parasosial” dan “identifikasi”. Gagasan tentang hubungan
parasosial relatif baru, yang muncul bersamaan dengan temuan domestik, elektronik,
media massa (radio dan televisi). Konsep interaksi parasosial dan identifikasi samasama menggambarkan cara audiens berhubungan, secara emosi dan koginitif, dengan
gambar dari orang-orang yang mereka lihat dan dengar melalui media massa, dan dapat
secara kolektif disebut hubungan termediasi. Sedangkan identifikasi memiliki akar
yang kuat dalam studi literatur dan psikoanalisis. Karena itu konsep keduanya
menggambarkan model keterlibatan audiens yang memainkan peran sentral dalam
pemahaman dan interpretasi audiens terhadap teks media. Artinya, keduanya sama-sama
memainkan peran utama dalam teori tentang efek media (Cohen, 2009).
Pada kasus pilkada DKI Jakarta 2017, penggiringan yang dilakukan media

massa dengan gerbong media online, media sosial, dan media messenger diarahkan
pada kecintaan pada tokoh masyarakat dan politik. Media mendesain tokoh masyarakat
dan politik sehingga melahirkan pada kecintaan, keyakinan, dan kepatuhan seseorang
terhadap seorang figur.Horton dan Wohl menyebut gejala ini sebagai parasosial.
Sebenarnya istilah parasosial digunakan untuk melihat hubungan satu arah
antara seorang penggemar dengan artis, penyiar, atau bintang televisi dan radio. Titik
poin dari parasosial adalah kemampuan media (terutama televisi) dalam mengemas
tokoh di dalamnya. Namun belakangan, tidak hanya selebritas atau penyiar saja yang
dikonstruksi oleh media, melainkan tokoh politik dan tokoh masyarakat.
Istilah parasosial pertama kali dikemukakan oleh Horton dan Wohl pada tahun
1956. Ada dua jenis parasosial yaitu interaksi parasosial (parasocial interaction) dan
hubungan parasosial (parasocial relationship). Interaksi parasosial merupakan
hubungan satu arah tanpa timbal balik antara seorang individu (sebagai pengguna
media) dengan figur media. Pengguna media seolah merasa memiliki hubungan dengan

3

seorang figur sekalipun hubungannya bersifat satu arah, non-dialektikal, tidak
berkembang, bahkan cenderung dikontrol oleh figur.
Sedangkan hubungan parasosial merupakan suatu ilusi mengenai hubungan

langsung antara seseorang dengan figur media, sebagai hasil rekaan dari media massa.
Hubungan parasosial adalah perluasan dari interaksi parasosial yang muncul meskipun
seseorang tidak lagi melihat figur tersebut. Maraknya aksi-aksi saat ini adalah wujud
dari hubungan parasosial dari individu-individu yang terpapar oleh media (interaksi
parasosial).
, saling terkait satu sama lain serta terhubung dengan Kehadiran teknologi
internet semakin memudahkan media untuk mengemas figur menjadi idola. Media
berbasis online ini memiliki kontribusi besar dalam membesarkan seorang figur.
Sayangnya, kemudahan teknologi komunikasi ini kemudian dimanfaatkan oleh seorang
figur ntuk mengambil keuntungan dari ‘ketenarannya’ sebagai idola baru di masyarakat.
Seorang figur dengan mudah ‘menghipnotis’ individu-individu melalui ucapan atau
tindakan yang dibagikan (sendiri atau oleh penggemar) ke facebook, twitter, whatsapp,
serta media online lainnya. Dampaknya, ribuan penggemar rela melakukan apapun demi
kecintaan, keyakinan, dan kepatuhan pada tokoh idolanya. Aksi-aksi yang dilakukan
oleh dua kubu yang berbeda pun tak terelakkan lagi. Semua dilakukan untuk sebuah
kebenaran yang diyakini berdasarkan perasaan emosional terhadap seorang figur. Apa
yang disampaikan oleh figur adalah truth, sebuah kebenaran yang dianggap berlaku bagi
siapa saja, lintas kelompok dan agama. Gejala tentang keyakinan terhadap kebenaran
inilah yang belakangan menjadi wacana internasional, khususnya di ranah politik. Dunia
internasional menyebutnya sebagai post-truth.

Oxford Dictionaries mendefinisikan istilah post-truth sebagai keyakinan dan
perasaan pribadi seseorang lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik daripada
faktor-faktor objektif. Kamus terkemuka di dunia dari Universitas Oxford itu bahkan
telah memilih istilah post-truth sebagai Word of the Year pada tahun 2016. Oxford
Dictionaries menganggap post-truth sebagai istilah paling penting di dunia politik pada
tahun 2016.
Meskipun sebenarnya istilah post-truth pertama kali digunakan oleh seorang
penulis keturunan Serbia, Steve Tesich, pada 1992 dalam sebuah esai tentang skandal
Iran-Contra dan Perang Teluk, namun istilah ini baru populer setelah kasus Brexit
(Britain Exit) yaitu keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa. Istilah ini kembali booming
setelah Donald Trump terpilih menjadi presiden Amerika Serikat. Post-truth digunakan
ketika fakta tidak lagi dianggap relevan dalam urusan politik. Dalam post truth,
kebohongan bukan lagi sebuah persoalan besar karena keyakinan dan perasaan pribadi
seseorang melebihi fakta apapun.
Media Online
Temuan penelitian yang dilakukan Gruzd dan Wellman (2014) memperlihatkan
bahwa informasi dapat membantu para ilmuwan memahami perilaku dan hubungan
anggota jaringan online dan untuk melihat bagaimana interaksi dan koneksi online
mempengaruhi pilihan dan tindakan pribadi.
Dalam “Homophily in the Guise of Cross-Linking: Political Blog and Content”,

penelitian Karine Nahon dan Jeff Hemsley menunjukkan bagaimana blog politik
berpengaruh di Amerika Serikatkonten eksternal seperti video viral. Mereka

4

menemukan bahwa blogger berpengaruh cenderung memperkuat wacana dan koneksi
partisan di blogosphere, sehingga mendukung gagasan bahwa sebagian besar
komunikasi homofilik dengan individu yang berpikiran serupa cenderung mendukung
kepercayaan yang ada (Gruzd dan Wellman, 2014).
Seiring perkembangan teknologi internet, tingkat keterlibatan orang-orang
dengan lingkungan online telah berubah secara signifikan. Selama tiga puluh tahun
terakhir, ada perubahan revolusioner dalam cara masyarakat ber-online dan hal-hal yang
dapat dilakukan dengan bentuk media baru ini. Banyak orang yang menggunakan
internet tidak lagi membedakan antara kehidupan online dan offline. Menjadi “online”
adalah bagian dari kehidupan sehari-hari dan keberadaan sosial mereka. Memeriksa email, mencari informasi, memelihara pertemanan dan jejaring sosial dalam media sosial
merupakan bagian dari rutinitas sehari-hari bagi sebagian besar penduduk. Hal ini
memiliki dampak signifikan terhadap perilaku pencarian informasi religius dan juga
cara orang melakukan praktik keagamaan.
Dengan komputer dan perangkat akses internet, menjadi lebih kuat dan lebih
murah, dikombinasikan dengan jaringan berkecepatan tinggi yang terus berkembang.

Orang terus mengasimilasi teknologi ini ke dalam aktivitas mereka (Helland, 2014)
Politik Identitas dan Kekalahan Basuki
Politik identitas yang disebarkan melalui berbagai media online dan media sosial
tak pelak menjadi wadah penonjolan figur atau tokoh masyarakat dan politik sekaligus
menayampaikan klaim kebenaran. Setiap ucapan seorang figur diposting di timeline dan
dibagikan para pengguna ke teman maupun grup di berbagai media sosial seperti
facebook, twitter, Whatsapp, dan lain sebagainya. Masyarakat meyakini bahwa apa yang
disampaikan oleh sang tokoh adalah sebuah kebenaran. Masyarakat yang terjangkiti
parasosial ini tidak lagi berpikir apakah informasi yang disampaikan benar atau tidak,
sebuah propaganda atau agitasi politik tetapi keyakinan terhadap figur telah membantah
kebenaran yang bersifat objektif. Kebenaran tidak lagi terletak pada validitas informasi
tetapi keyakinannya pada seorang figur.
Dampak dari media tidak terbatas pada konskuensi perilaku dari pesan media,
tetapi telah mengarah pada dampak emosi yang lebih personal. Inilah di antara
penyebab munculnya ujaran kebencian (hate speech), kata-kata kotor, fitnah, dan berita
hoax di berbagai media sosial. Ketika kebenaran tidak lagi dilandasi oleh faktor-faktor
objektif tetapi keyakinan dan perasaan seseorang terhadap seorang figur, maka akan
terjadi pemaksaan kepada orang lain yang diyakini sebagai sebuah kebenaran.
Lebih dari itu, hasil survei yang dilakukan oleh LSI tentang sentimen agama
dalam pilkada DKI Jakarta 2017 dan hasil resmi pilkada KPUD seolah membuktikan

bahwa politik identitas, khususnya yang menyangkut agama, yang disebarkan melalui
media sosial-online kemudian menyebar ke media messenger seperti Whatsapp, bahkan
sampai ke pamflet-pamflet dan tempat-tempat ibadah cukup ampuh untuk
memempengaruhi tindakan dan perilaku pemilih. Politik identitas mampu menciptakan
figur-figur idola dari tokoh masyarakat atau tokoh politik. Pemilihan masyarakat tidak
lagi berdasarkan rasionalitasnya, melainkan berdasarkan identitas kandidat gubernur
DKI Jakarta. Politik identitas mendorong masyarakat untuk menegaskan bahwa calon
gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang notabene nonmuslim dan beretnis Tionghoa
adalah fakta yang harus dihindari oleh pemilih muslim..

5

Dengan membawa isu-isu ini ke dalam setting baru interaksi sosial yang ditandai
dengan sirkulasi, pencarian, dan persimpangan berbagai khalayak yang lebih luas,
media online atau digital juga dapat menyediakan ruang baru untuk refleksi kolektif
mengenai nilai-nilai agama dan moral (Lovheim, 2013)
Kemampuan media online atau digital dalam mempengaruhi suara pemilih ini
juga semakin meningkatkan pengaruh popularitas perangkat lunak jejaring sosial. Isu
yang dieksplorasi meliputi bagaimana sebuah blog mampu membentuk komunitas baru
atau dalam jejaring Whatsapp yang membuat grup-grup tentang keagamaan. Lovheim
(2013) melihat bahwa penelitian tentang komunitas religius online juga
mempertimbangkan bagaimana teknologi Web 2.0 memberikan kemungkinan baru
untuk penciptaan komunitas secara online dan menantang komunitas religius offline.
Dia juga mengungkapkan bahwa studi blogging religius menunjukkan bahwa individu
dapat menggunakan aktivitas online mereka untuk secara sadar menolak bentuk
komunitas tradisional dan malah memilih untuk membangun identitas dan jaringan
religius yang memungkinkan mereka bereksperimen dengan cara baru dalam interaksi
religius online (Teusner 2010). Sebagai teknologi jaringan, semakin memudahkan
interaksi sosial, pendidikan, pekerjaan, dan bergantung pada perangkat mobile yang
semakin mengubah pengertian kita tentang tempat dan interkoneksi. Perubahan sifat
masyarakat akan terus menjadi area eksplorasi yang penting. Komunitas terus berfungsi
sebagai area jaringan yang beragam interaksi sosial. Internet dan dunia media baru
menjadi ruang yang berharga untuk mempelajari cara-cara baru bersama.
Isu tentang politik identitas pasca pilkada DKI Jakarta semakin meluas manakala
kelompok lawan (pendukung Basuki) membuat identitas kebhinekaan guna ‘melawan’
kelompok identitas berbasis keagamaan dan etnis. Potensi konflik horisontal antarkelompok dikhawatirkan akan mudah pecah jika jika tidak ditangani dengan cepat.
Mengantisipasi Politik Identitas
Fakta politik identitas ini sekaligus memperlihatkan kelemahan pemerintah
dalam membangun keanekaragaman dan kebhinekaan tanah air. Demokrasi Pancasila
sebagai landasan final NKRI ternyata belum sepenuhnya dijiwai masyarakat.
Munculnya politik identitas dari kelompok tertentu adalah bukti bahwa masih banyak
kelompok yang selama ini merasa dipinggirkan, bahkan telah membangun kekuatan
secara tersembunyi. Di sisi lain kekuatan media sosial-online menjadi sebuah kekuatan
baru dalam percaturan politik dan memiliki pengaruh siginifikan dalam masyarakat.
Grup-grup di media sosial-online yang terbangun atas nama komunitas agama atau
lainnya menjadi ladang subur dalam menggerakkan isu-isu politik. Bahkan isu ini akan
selalu hidup dan tidak berhenti sampai di pilkada. Isu-isu politik identitas yang dibahas
dalam grup Whatsapp atau media sosial-online yang lain menjadi kekuatan yang akan
terus bergerak dengan sentimen identitas kelompok (agama/etnis).
Kekuatan media online dalam kasus Pilkada DKI Jakarta menjadi peringatan
bahwa pemerintah dan bawaslu tidak bisa bekerja sendiri, terutama terkait kampanye
yang mengadung isu SARA. Kerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan
Informatika merupakan tugas ke depan dalam menyelenggarakan pilkada atau pemilu
presiden. Grup-grup dalam media online, seperti Whatsapp akan menjadi kekuatan baru
yang menjelma menjadi gerakan politik identitas.

6

Temuan penelitian Gruzd dan Wellman (2014) perilaku dan hubungan anggota
jaringan online yang mempengaruhi pilihan dan tindakan pribadi menunjukkan bahwa
grup-grup Whatsapp yang tumbuh subur di Indonesia adalah bentuk jaringan online
yang berpotensi menjadi gerakan politik identitas masa yang akan datang. Demikian
juga dengan penelitian Karine Nahon dan Jeff Hemsley (dalam Gruzd dan Wellman)
yang menunjukkan bahwa blog politik memiliki pengaruh signifikan di Amerika Serikat
karena saling terkait satu sama lain dan terhubung dengan konten eksternal seperti video
viral. Kekuatan media online sangat mendesak untuk diantisipasi, terutama kaitannya
dengan penyebaran isu SARA dan politik identitas.
Sebagaimana yang dirasakan bahwa politik identitas pasca-pilkada DKI Jakarta
masih terus menghiasi jagad maya. Perang pemahaman agama di media sosial masih
terus berlangsung. Figur-figur dari tokoh masyarakat atau politik masih
diperbincangkan dan banyak dibicarakan. Figur Basuki Tjahaja Purnama dan Habieb
Riziek Shihab masih menjadi topik penting terkait politik identitas. Dua tokoh ini masih
terus diperbincangkan dan diperdebatkan di media sosial-online. Tentu hal ini cukup
mengkhawatirkan akan terjadinya konflik horisontal.
Jika hal ini terus dibiarkan, maka isu tentang politik identitas akan tetap menjadi
isu seksi yang terus diusung. Bahkan sangat mungkin keberhasilan mengusung isu
politik identitas dalam pilkada DKI Jakarta menjadi rujukan pemilu-pemilu selanjutnya.
Artinya, dalam pilkada di daerah lain, yang digelar secara serentak di berbagai wilayah
di Indonesia ke depan, sangat mungkin isu politik identitas akan kembali diusung untuk
memenangkan pasangan calon yang dianggap memenuhi kriteria kelompok tertentu. Hal
ini juga menjadi peringatan pemerintah dan badan pengawas pemilu (bawaslu) dalam
mempersiapkan pemilu presiden.
Bercermin dari pilkada DKI Jakarta, ke depan bawaslu harus lebih tegas dalam
bersikap dan menindak pada masyarakat atau pelaku kampanye yang sengaja
menyinggung isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Jika mengacu pada
Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 69, maka dalam melaksakan
kampanye Pilkada, para bakal calon dan semua pihak dilarang melakukan penghinaan
kepada seseorang, agama, suku, ras dan golongan terhadap calon kepala daerah. Dalam
pasal yang sama, kampanye yang bersifat menghasut, memfitnah, mengadu domba
partai politik, perseorangan dan atau kelompok masyarakat, juga dilarang. Ketentuan
Pidana terhadap praktik penghinaan tersebut dinyatakan bahwa setiap orang yang
melakukan penghinaan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 bulan dan
paling lama 18 bulan dan/atau denda paling sedikit 600.000 dan paling banyak
6.000.000 rupiah.
Ketegasan dari bawaslu penting dalam rangka menjunjug tinggi demokrasi di
Indonesia. Munculnya politik identitas dalam pilkada DKI Jakarta pertanda bahwa
demokrasi di Indonesia masih belum berjalan dengan stabil. Nilai-nilai Pancasila belum
dipahami dan dijiwai secara menyeluruh. Karenanya, politik identitas sangat mungkin
akan membesar jika tidak dilakukan pencegahan secara dini.

7

DAFTAR PUSTAKA
Campbell, H.A. 2013. Digial Religion : Understanding Religius Practice in New Media
Worlds. London and New York: Routledge.
Cohen, Jonathan. 2009. “Mediated Relationship and Media Effect: Parasocial
Interations and Identification”. Dalam The Sage Handbook and Media
Prosseces and Effects. Ed. Robin L. Nabi dan Mary Beth Oliver. Thousand
Oaks, CA: Sage, 223-236.
Eriyanto. 2011. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta:
LkiS Group.
Goffman, E. 1959. The Presentation of Self in Everyday Life. London: Penguin Books.
Gruzd, A. dan Wellman, B. 2014. “Networked Influence in Social Media: Introduction
to Special Issue”. Dalam American Behavioral Scientist, Vol. 58 (10), 12511259, Sage Publications.
sagepub.com/journalsPermissions.nav, DOI: 10.1177/0002764214527087,
abs.sagepub.com.
Helland, C. 2013. “Ritual”. Dalam Digial Religion : Understanding Religius Practice in
New Media Worlds. Ed.Heidi. A. Campbell. London and New York: Routledge.
Hewitt, J. P. 2000 Self and Society: A Symbolic Interactionist Social Psychology, 8th
edition, Needham Heights, MA: Allyn & Bacon.
Lovheim, Mia. 2013. “Identity”. Dalam Digial Religion : Understanding Religius
Practice in New Media Worlds. Ed.Heidi. A. Campbell. London and New York:
Routledge.
Teusner, P. 2010. Emerging church bloggers in Australia: Prophets, Priests and Rulers
in God’s Virtual World. PhD thesis, Melbourne: RMIT University.
Turkle, S. 1995. Life on the Screen: Identity in the Age of the Internet. New York, NY:
Touchstone.
http://plato.stanford.edu/entries/identity-politics/
“Identity
Politics
(Stanford
Encyclopedia of Philosophy)” First published Tue Jul 16, 2002; substantive
revision Fri Nov 2, 2007, diakses 30 Mei 2017.
https://www.tempo.co/read/fokus/2017/01/25/3426/survei-pilkada-sentimen-agamameningkat-di-jakarta, diakses 30 Mei 2017.

8