Persepsi Masyarakat Terhadap Seks Bebas dan Remaja Hamil Diluar Nikah (Studi Kasus Kualitatif Persepsi Masyarakat Terhadap Seks Bebas dan Remaja Hamil di Luar Nikah di Kota Medan)

12

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1.

Perspektif/Paradigma Kajian
Paradigma atau paradigm (Inggris) atau

paradigm (Perancis), istilah

tersebut berasal dari bahasa Latin, yakni para dan deigma. Secara etimologis,
para berarti (di samping, di sebelah) dan deigma berarti (memperlihatkan, yang
berarti model, contoh, arkatipe, ideal). Deigma dalam bentuk kata kerja deiknynai
berarti menunjukkan atau mempertunjukkan sesuatu. Paradigma merupakan cara
pandang atau pola pikir komunitas ilmu pengetahuan atas peristiwa/ realitas/ ilmu
pengetahuan yang dikaji, diteliti, dipelajari, dipersoalkan, dipahami, dan untuk
dicarikan pemecahan persoalannya (Pujileksono, 2015 : 25-26).
Ada beberapa alasan mengapa peneliti perlu memilih paradigm sebelum
melakukan penelian (Pujileksono, 2015 : 26), yaitu :

1. Paradigma penelitian menggambarkan pilihan suatu kepercayaan yang
akan mendasari dan member pedoman seluruh proses penelitian.
2. Paradigma penelitian menentukan rumusan masalah, tujuan penelitian dan
tipe penjelasan yang digunakan.
3. Pemilihan paradigma memiliki implikasi terhadap pemilihan metode,
teknik penentuan subyek penelitian/sampling, teknik pengumpulan data,
teknik uji keabsahan data dan analisis data.
Paradigma ilmu komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya,
menurut Dedy N. Hidayat (dalam Bungin, 2008 : 237) yang mengacu pada
pemikiran Guba (1990:1994) ada tiga paradigma, yaitu : (1) paradigma klasik
(classical paradigm), (2)paradigma kritis (critical paradigm) dan (3) paradigma
konstruktivisme (contructivism paradigm).

Namun dalam perkembangan

komunikasi saat ini telah muncul paradigma intrepretasi. Menurut Sendjaja
(dalam Bungin, 2008 : 238), paradigma klasik merupakan gabungan dari
paradigma positivism dan post-positivism.
Paradigma positivistik merupakan suatu paradigma yang mempertanyakan
realita dengan ‘apa’, atau menanyakan mengenai apa yang terjadi di masyarakat.

Melihat fakta sosial sebagai realita yang bersifat umum yaitu hukum sebab-akibat.
Dalam paradigma ini, peneliti tidak berinteraksi dengan objek penelitian sehingga

Universitas Sumatera Utara

13

terdapat jarak antara peneliti dan objek penelitian. Penelitian paradigma
positivistik merupakan penelitian kuantitatif. Penelitian paradigma positivistik
menggunakan metode empiris untuk dapat menggambarkan fakta sosial sebagai
realita atau objek penelitian. Dalam paradigma ini, peneliti harus menggambarkan
realita yang ada di masyarakat secara objektif (Pujileksono, 2015 : 27).
Paradigma pos-positivistik merupakan paradigma yang melakukan kritik
terhadap paradigma postivistik. Paradigma ini lebih bersifat kualitatif sehingga
dalam penelitian ini, peneliti dapat memasukkan nilai-nilai pribadinya dalam
penelitian dan hubungan antara peneliti dengan objek lebih dekat. Namun, tujuan
paradigma ini sama dengan paradigma postivistik, yaitu untuk mengetahui pola
umum yang ada dalam masyarakat (Pujileksono, 2015 : 28).
Paradigma konstruktivistik merupakan paradigma yang melihat suatu
realita dibentuk oleh berbagai macam latar belakang sebagai bentuk konstruksi

realita tersebut dan dalam penelitian ini mempertanyakan ‘mengapa?’.
Keberadaan realita tidak terjadi pada diri peneliti namun terjadi di luar peneliti.
Jarak antara peneliti dan objek tidak terlalu dekat, namun tetap berinteraksi
dengan objek penelitian. Paradigma ini bersifat kualitatif, dimana peneliti dapat
memasukkan nilai-nilai pendapat ke dalam penelitiannya, sehingga penelitian
dengan paradigma ini sifatnya subjektif. Tujuan dari paradigma ini adalah untuk
memahami apa yang menjadi konstruksi suatu realita. Oleh karena itu, peneliti
harus mengetahui faktor apa saja yang mendorong realita tersebut dan
menjelaskan bagaimana faktor tersebut dapat menkonstruksi realita itu
(Pujileksono, 2015 : 28-29).
Paradigma kritis merupakan paradigma yang melihat realita yang terjadi
tidak sesuai dengan apa yang sebaiknya terjadi pada masyarakat. Keberadaan
realita terjadi pada diri peneliti dan juga di luar peneliti, jarak peneliti dengan
objek penelitian sangat dekat dan peneliti terlibat langsung dengan objek yang
diteliti. Penelitian dalam paradigma ini merupakan penelitian kualitatif dan
bersifat subjektif. Tujuan dari paradigma ini adalah untuk membangun kesadaran
kolektif demi mengubah struktur untuk menjadi lebih baik (Pujileksono, 2015 :
29).

Universitas Sumatera Utara


14

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivistik. Remaja yang
hamil di luar nikah merupakan suatu realita yang merupakan hasil dari sebuah
konstruksi dirinya sebagai individu dan pengaruh lingkungan sekitar individu.
Namun, tidak semua masyarakat dapat menerima kehadiran remaja yang hamil di
luar nikah. Oleh karena itu, perlu diteliti untuk melihat bagaimana persepsi
masyarakat terhadap remaja yang melakukan seks bebas dan juga remaja hamil di
luar nikah akibat dampak seks bebas, apakah seks bebas sudah menjadi hal yang
tabu untuk dilakukan. Penelitian ini juga melihat apa saja faktor penyebab
terjadinya seks bebas pada remaja yang ada di Kota Medan saat ini.
2.2.

Kajian Pustaka

2.2.1. Komunikasi
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari
kata latin communis yang berarti sama. Communico, communication, atau
communicare yang berarti membuat sama. Istilah pertama (communis) paling

sering disebut sebagai asal kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata
latin lainnya yang mirip (Mulyana, 2007 : 46). Komunikasi didefenisikan dalam
berbagai makna, sehingga menimbulkan kesulitan dalam mengkonseptualisasi
komunikasi sebagai suatu kajian ilmiah. Para pakar komunikasi, telah
merumuskan komunikasi dengan caranya sendiri (Arifin, 2013:23).
Lima komponen penting yang menyebabkan suatu komunikasi dapat
berjalan baik menurut Harold Lasswell yaitu whosays what in which channel to
whom with what effect atau siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada
siapa dengan pengaruh bagaimana (Effendy, 2003 : 7).
Komunikasi sekarang didefenisikan sebagai suatu proses dinamik
transaksional yang mempengaruhi perilaku dalam mana sumber dan penerimanya
dengan sengaja menyandi (to code) perilaku mereka untuk menghasilkan pesan
yang mereka salurkan lewat suatu saluran (channel) guna merangsang atau
memperoleh sikap atau perilaku tertentu (Mulyana dan Rakhmat, 1993 : 15).
Oleh karena pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa unsurunsur komunikasi adalah (Mulyana dan Rakhmat, 1993 : 16-17) :

Universitas Sumatera Utara

15


1. Sumber (source), adalah orang yang mempunyai suatu kebutuhan
untuk berkomunikasi.
2. Penyandian (encoding), adalah suatu kegiatan internal seseorang
untuk memilih dan merancang perilaku verbal dan non verbalnya yang
sesuai dengan aturan-aturan tata bahasa dan sintaksis guna
menciptakan suatu pesan.
3. Pesan (message), pesan terdiri dari lambang-lambang verbal atau non
verbal yang mewakili perasaan dan pikiran sumber pada suatu saat dan
tempat tertentu.
4. Saluran (channel), adalah alat fisik yang menjadi penghubung antara
sumber dan penerima.
5. Penerima (receiver),adalah orang yang menerima pesan dan sebagai
akibatnya menjadi terhubungkan dengan sumber pesan.
6. Penyandian balik (decoding), adalah proses internal penerima dan
pemberian makna kepada perilaku sumber yang mewakili perasaan dan
pikiran sumber.
7. Respon penerima (receiver response), adalah menyangkut apa yang
penerima lakukan setelah ia menerima pesan. Respon ini terbagi dua,
yaitu respon minimum dan respon maksimum. Respon minimum
adalah keputusan penerima untuk mengabaikan pesan atau tidak

berbuat apapun setelah ia menerima pesan. Sebaliknya, respon
maksimum merupakan suatu tindakan penerima yang segera, terbuka
dan mengandung kekerasan.
8. Umpan balik (feedback), adalah informasi yang tersedia bagi sumber
yang memungkinkannya menilai keefektifan komunikasi yang
dilakukan

untuk

mengadakan

penyesuaian-penyesuaian

atau

perbaikan-perbaikan dalam komunikasi selanjutnya.
2.2.2. Komunikasi Antarbudaya
Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan, karena budaya tidak
hanya menentukan siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana
orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya

untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Seluruh perbendaharaan

Universitas Sumatera Utara

16

perilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat kita dibesarkan.
Konsekuensinya adalah budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya
beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktek komunikasi yang kita
lancarkan (Lubis, 2012 : 11-12).
Secara formal budaya didefenisikan sebagai tatanan pengetahuan,
pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan,
hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang
diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha
individu dan kelompok (Mulyana dan Rakhmat, 1993 : 19).
Dalam pengertian lain, budaya adalah sebuah sistem pembagi pengertian
yang ditemukan diantara mereka yang berbicara dengan dialek bahasa tertentu,
melalui periode sejarah khusus dan dalam sebuah daerah geografis yang dapat
didefenisikan (Trandis, 1994 dalam Lubis, 2012 : 27).
Adapun elemen-elemen budaya (Samovar, Porter, dan Mc Daniel, 2010 :

29) cukup membagikan sejumlah komponen umum yang dapat membentuk
membedakan satu budaya dengan budaya lainnya,yaitu:
1. Sejarah
Sejarah menyoroti asal usul budaya, memberitahukan anggotanya apa
yang dianggap penting, dan mengidentifikasi prestasi suatu budaya
yang pantas untuk dibanggakan. Cerita tentang masa lalu memberikan
anggota dari suatu budaya, bagian dari sebuah budaya dari identitas,
nilai, aturan, tingkah laku, dan sebagainya.
2. Agama
Menurut Parkes, Laungani, dan Young semua budaya memiliki agama
dominan dan terorganisasi di mana aktivitas dan kepercayaan
mencolok (upacara, ritual, hal-hal tabu, dan perayaan) dapat berarti
berkuasa. Pengaruh agama dapat dilihat dari semua jalinan budaya,
karena hal ini berfungsi dasar.

Universitas Sumatera Utara

17

3. Nilai

Menurut Macionis, nilai adalah standar keinginan, kebaikan,
keindahan yang diartikan dari budaya yang berfungsi sebagai petunjuk
dalam kehidupan sosial. Nilai berguna untuk menunjukkan bagaimana
seseorang harusnya bertingkah laku.
4. Organisasi Sosial
Organisasi-organisasi (kadang merujuk pada sistem sosial atau struktur
sosial) mewakili unit sosial yang beraneka ragam yang terkandung
dalam suatu budaya. Institusi seperti keluarga, pemerintah, sekolah dan
suku bangsa menolong anggota dari suatu kelompok budaya untuk
mengatur kehidupan mereka.
2. Bahasa
Bahasa merupakan mode utama dalam menyebarkan budaya. Tanpa
kapasitas terhadap budaya yang kompleks, budaya manusia seperti
yang kita ketahui tidak akan pernah ada. Bahasa yang terdiri dari
banyak kata, arti, tata bahasa, dan sintaks semuanya memberikan tanda
identitas dari budaya khusus.
Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi ketika anggota
dari suatu budaya tertentu memberikan pesan kepada anggota dari budaya lainnya.
Dengan kata lain, komunikasi antarbudaya melibatkan interaksi antara orangorang yang persepsi budaya dan sistem simbolnya cukup berbeda dalam suatu
komunikasi (Samovar, Porter, Mc Daniel, 2010 : 13).

Komunikasi antarbudaya terjadi di antara orang-orang yang berbeda latar
belakang (ras, etnis, sosio-ekonomi), dimana kebudayaan adalah cara hidup yang
berkembang dan dianut oleh sekelompok orang dari generasi ke generasi (Tubb
dan Moss dalam Lubis, 2012 : 14).
Sekarang ini, komunikasi antarbudaya merupakan sesuatu hal yang
penting, adapun beberapa faktor yang menyebabkan pentingnya komunikasi
antarbudaya ini (Devito, Edisi Kelima : 530-532), yaitu :
1. Mobilitas

Universitas Sumatera Utara

18

Mobilitas masyarakat di seluruh dunia berasal dari perjalanan
masyarakat dari satu negara ke negara lain, dari satu benua ke benua
lain yang telah banyak dilakukan. Saat ini, orang sering mengunjungi
daerah lainnya untuk dapat mengenal budaya lain, daerah, serta orangorang yang berbeda budaya, serta untuk menggali peluang-peluang
ekonomi.
2. Saling kebergantungan ekonomi
Masa kini, kebanyakan negara secara ekonomis bergantung pada
negara lain. Contohnya adalah kehidupan ekonomi negara Amerika
banyak terkait dengan negara-negara Eropa yang kulturnya mirip
dengan kultur Amerika. Kehidupan ekonomi bangsa Amerika
bergantung pada kemampuan bangsa ini untuk berkomunikasi secara
efektif dengan kultur-kultur yang berbeda. Hal yang sama juga berlaku
pada bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia.
3. Teknologi komunikasi
Meningkat pesatnya teknologi komunikasi telah membawa kultur luar
yang adakalanya asing, masuk ke rumah kita. Melalui film-film asing
yang masuk ke budaya kita, menyebabkan kita menjadi tahu
bagaimana budaya serta adat kebiasaan negara asing. Dengan
membaca berita-berita dari luar negeri juga merupakan hal yang
lumrah. Kita juga setiap hari dapat membaca di media-media berita
tentang ketegangan rasial, pertentangan agama, diskriminasi, seks, dan
secara umum masalah-masalah yang disebabkan oleh kegagalan
komunikasi antarbudaya.
4. Pola imigrasi
Di hampir setiap kota besar di dunia kita dapat menjumpai orang-orang
dari bangsa lain. Kita bergaul, bekerja ataupun bersekolah dengan
orang-orang yang berbeda budaya dengan kita. Hal inilah yang
menyebabkan kita menjadi manusia yang antarbudaya.
5. Kesejahteraan politik
Kesejahteraan

politik

setiap

negara

sangat

bergantung

pada

kesejahteraan politik kultur atau negara lain.

Universitas Sumatera Utara

19

Komunikasi antarbudaya merupakan bidang yang sulit untuk diriset serta
dimahiri. Terdapat dua kesulitan utama dalam memahami komunikasi
antarbudaya, yang pertama adalah Etnosentrisme, yaitu kecenderungan untuk
mengevaluasi nilai, kepercayaan, dan perilaku dalam kultur sendiri sebagai suatu
hal yang lebih baik, lebih logis dan lebih wajar daripada kultur lain. Kesulitan
yang kedua adalah kesadaran (mindfulness) dan ketidaksadaran (mindless). Bila
kita berhubungan dengan orang dari kultur yang berbeda, kita sering kali berada
dalam keadaan ketidaksadaran diri sehingga bertindak tidak rasional dalam
banyak hal. Jika kesadaran diri kita dibangunkan, maka kita akan dapat bertindak
secara logis dan rasional. Kita menyadari bahwa orang lain dan sistem kultur lain
memang berbeda, namun tidak lebih baik ataupun lebih buruk daripada sistem
kultur kita sendiri (Devito, Edisi Kelima : 533-534).
Adapun fungsi-fungsi komunikasi antarbudaya antara lain (Liliweri, 2003
: 12) :
-

Fungsi pribadi, adalah fungsi komunikasi yang ditunjukkan melalui
perilaku komunikasi yang bersumber dari seorang individu yang
meliputi :
a. Menyatakan identitas sosial
b. Menyatakan integrasi sosial
c. Menambah pengetahuan
d. Melepaskan diri atau jalan keluar

-

Fungsi sosial, yang meliputi :
a. Pengawasan
Dalam fungsi ini, komunikator dan komunikan yang berbeda
kebudayaan berfungsi saling mengawasi. Dalam setiap proses
komunikasi antarbudaya fungsi ini bermanfaat untuk
menginformasikan perkembangan tentang lingkungan.
b. Menjembatani
Dalam fungsi ini, komunikasi yang dilakukan antara dua orang
yang berbeda budaya merupakan jembatan atas perbedaan diantara
mereka. Fungsi menjembatani dapat terkontrol melalui pesan-pesan
yang mereka pertukarkan.
c. Sosialisasi nilai
Fungsi ini merupakan fungsi untuk mengajarkan dan
memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada
masyarakat lain.
d. Menghibur
Fungsi menghibur juga sering tampil dalam proses komunikasi
antarbudaya.

Universitas Sumatera Utara

20

Adapun bentuk-bentuk komunikasi antarbudaya (Devito, Edisi Kelima :
536-537), yaitu :
1. Komunikasi antarbudaya, misalnya antara orang Prancis dengan
orang Norwegia, atau orang Cina dan Portugis.
2. Komunikasi antar ras yang berbeda (kadang-kadang dikatakan
komunikasi antarras), misalnya orang kulit hitam dengan kulit
putih.
3. Komunikasi antar kelompok etnis yang berbeda (kadang-kadang
dikatakan komunikasi antaretnis), misalnya orang Amerika
keturunan Italia dan orang Amerika keturunan Jerman.
4. Komunikasi antar kelompok agama yang berbeda-beda, misalnya
antara Katolik Roma dan Episkopal, atau antara orang Islam
dengan orang Yahudi.
5. Komunikasi antar bangsa yang berbeda (kadang-kadang
dinamakan komunikasi internasional), misalnya antara Amerika
Serikat dan Meksiko, atau antara Prancis dan Italia.
6. Komunikasi antar subkultur yang berbeda, misalnya antara dokter
dan pengacara atau antara tunanetra dan tunarungu.
7. Komunikasi antara suatu subkultur dan kultur yang dominan,
misalnya antara kaum homoseks dan kaum heteroseks, atau antara
kaum manula dan kaum muda.
8. Komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda, antara pria dan
wanita.
2.2.3. Persepsi Budaya
Menurut Mulyana (dalam Lubis, 2012 : 61) persepsi muncul karena setiap
penilaian dan pemilihan seseorang terhadap orang lain diukur berdasarkan
pernyataan budaya sendiri. Dengan persepsi, peserta komunikasi akan memilih
apa-apa yang diterima atau menolaknya. Persepsi yang sama akan memudahkan
peserta komunikasi yang diharapkan.
Tahap penting dari persepsi menyangkut pemberian arti kata objek sosial
dan peristiwa dalam lingkungan. Objek sosial dan kejadian dapat sangat berubah
dalam kemampuan untuk memberikan pengartian yang luas menurut individu dan
kebudayaan individu. Sifat alami suatu budaya, bagaimanapun memperkenalkan
kepada kita pengalaman yang tidak sama (Lubis, 2012 : 62).
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Liliweri, 2011 : 155), yaitu:
1. Fisiologis, yaitu kemampuan secara sensoris yang meliputi visual dan
audio, fisik, umur.

Universitas Sumatera Utara

21

2. Kebudayaan, yang meliputi kepercayaan, nilai-nilai, pemahaman,
asumsi taken-for-granted.
3. Standpoint theory, yang meliputi komunitas sosial, ras, etnis, gender,
kelas ekonomi, agama, spiritualitas, umur dan orientasi seksual, posisi
kekuasaan dalam hierarki sosial.
4. Peranan sosial yang meliputi, peranan sosial ketika berkomunikasi
dengan kita, harapan terhadap kepenuhan peran, pilihan karier.
5. Kemampuan kognitif
6. Kompleksitas kognitif
7. Persepsi yang berpusat pada orang
Persepsi seseorang terhadap suatu hal akan berbeda-beda. Apabila ada
sejumlah individu yang mempunyai persepsi yang sama terhadap suatu hal, maka
keseluruhan persepsi mereka dapat digolongkan dalam persepsi kelompok. Kita
sudah mengetahui bahwa semua manusia tergolong-tergolong dalam kelompok
tertentu. Pembentukan kelompok tersebut difaktori karena adanya kesamaan
identitas di antara mereka (Liliweri, 2001 : 114).
Faktor-faktor kesamaan yang mendorong pembentukan kebudayaan suatu
kelompok sering disebut dengan komponen kebudayaan. Ada beberapa komponen
kebudayaan (Liliweri, 2001 : 114-136), yaitu :
1. Pandangan hidup, kosmologi dan ontologi
Dalam setiap kebudayaan, selalu ada pandangan hidup, kosmologi dan
ontologi. Persepsi manusia tentang relasi individu dengan unsur-unsur
tersebut tersusun pada suatu hirarki berdasarkan atas kepentingan
terhadap unsur itu, yaitu kepercayaan, sikap dan nilai.
2. Skema kognitif
Skema kognitif diartikan dengan sistem konsep-konsep kognitif yang
dimiliki oleh individu atau sekelompok orang terhadap objek tertentu.
Skema mempengaruhi keputusan individu untuk menentukan prioritas
fungsi objek berdasarkan waktu dan tempat. Skema kognitif umumnya
ditentukan oleh persepsi individu yang dibentuk oleh pengalaman
kognisinya dari kebudayaan.
3. Bahasa, sistem, dan simbol
Menurut para ahli, bahasa menentukan ciri kebudayaan dan dari
bahasa pula dapat diketahui derajat kebudayaan suatu bangsa. Setiap

Universitas Sumatera Utara

22

kebudayaan menjadikan bahasa sebagai media untuk menyatakn
prinsip-prinsip ajaran, nilai dan norma budaya kepada para
pendukungnya.

Bahasa

menterjemahkan

nilai

dan

norma,

menterjemahkan skema kognitif manusia, menterjemahkan persepsi,
sikap dan kepercayaan manusia tentang dunia para pendukungnya.
4. Konsep tentang waktu
Setiap kebudayaan mempunyai konsep tentang masa lalu, masa
sekarang dan masa yang akan datang. Salah satu hal penting untuk
memahami setiap kelompok adalah mengetahui struktur waktu dari
kelompok tersebut.
5. Konsep jarak ruang
Setiap kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya tentang orientasi
terhadap jarak dan ruang. Ruang berhubungan dengan tata ruang lahan
pemukiman, pertanian dan lain-lain, yang sifatnya lebih kepada
kepentingan relasi sosial, sedangkan jarak lebih banyak berhubungan
dengan jarak fisik.
6. Agama, mitos dan cara menyatakannya
Setiap budaya mempunya gejala dan peristiwa yang dapat dijelaskan
secara rasional tapi hanya berdasarkan pengalaman iman semata-mata.
7. Hubungan sosial dan jaringan sosial
Di dalam semua kebudayaan, struktur keluarga merupakan masyarakat
inti, selebihnya adalah keluarga yang diperluas. Hubungan dalam
komunitas dapat dibentuk komunal dan kerjasama atau persaingan juga
individualistik,

tergantung

apakah

kebudayaan

itu

merupakan

kebudayaan lisan atau kebudayaan membaca. Oleh karena itu,
sebagian

komunikasi

dalam

kebudayaan

selalu

menggunakan

komunikasi lisan. Menurut Mc.Luhan (dalam Liliweri, 2001 : 135),
ketergantungan satu sama lain selalu mereka ciptakan agar tidak ada
seorang pun menempatkan diri secara individual dan khusus.
Tahap penting dari persepsi menyangkut pemberian arti objek sosial dan
persitiwa dalam lingkungan. Objek sosial dan kejadian dapat sangat berubah
dalam kemampuan untuk memberikan pengertian yang luas menurut individu dan
Universitas Sumatera Utara

23

kebudayaan individu. Sifat alami suatu budaya, bagaimanapun budaya tersebut
diperkenalkan kepada yang lain, tetap akan berbeda dan setiap orang memiliki
pengalaman yang tidak sama. Menurut Sarbaugh dan Samovar, et, al (dalam
Lubis, 2012 : 62-63), terdapat tiga elemen pokok persepsi budaya yang memiliki
tiga pengaruh besar dan langsung terhadap individu-individu peserta komunikasi
antarbudaya. Yang pertama adalah pandangan budaya dunia (world view), kedua
adalah sistem lambang, dan yang ketiga adalah organisasi sosial.
2.2.3.1. Pandangan Dunia
Untuk memahami dunia, nilai-nilai dan tindakan-tindakan orang lain, kita
harus memahami kerangka persepsinya. Dalam berkomunikasi antara budaya
yang ideal kita berharap banyak persamaan dalam pengalaman dan persepsi
budaya. Tetapi karakter budaya berkecenderungan memperkenalkan kita kepada
pengalaman-pengalaman yang tidak sama atau berbeda berdasarkan pandangan
dunia (world view) yang terbentuk semula. Oleh sebab itu ia membawa persepsi
budaya yang berbeda-beda pada dunia di luar budaya sendiri. Sebagai contoh,
persepsi masyarakat Amerika Utara percaya bahwa kekejaman terhadap binatang
adalah salah satu perbuatan yang melelahkan dengan membunuh seekor matador,
oleh karena itu, masyarakat Amerika Utara akan menghindari tontonan matador
karena tontonan tersebut dianggap hal yang negatif. Berbeda halnya dengan
masyarakat Amerika Latin yang menganggap bahwa pertandingan matador adalah
sebuah pertarungan keberanian antara manusia dengan binatang, dianggap sebagai
suatu hal yang positif, dan kemenangan seorang matador dipandang sebagai suatu
hal yang menunjukkan perbuatan yang berani, keterampilan dan ketangkasan
fisik. (Lubis, 2012 : 63).
Cara budaya mengorganisasikan dirinya dan lingkungannya juga
berpengaruh terhadap anggota budayanya dalam mempersepsi dunia dan cara
mereka berkomunikasi, didapati bahwa keluarga dan sekolah merupakan dua
elemen yang dominan dalam membentuk dan mengubah persepsi budaya.
Menurut Mulyana dan Rakhmat (dalam Lubis, 2012 : 63-64), pandangan dunia
merupakan dasar dari suatu budaya, impaknya mempengaruhi kepercayaan /
agama, nilai-nilai, perilaku, penggunaan waktu dan banyak aspek budaya lainnya.
Universitas Sumatera Utara

24

Pandangan dunia sebagai sistem kepercayaan yang membentuk seluruhan
sistem berfikir tentang sesuatu, yang dimana pandangan dunia merupakan struktur
yang dipengaruhi oleh kebudayaan, yaitu kebudayaan telah menerima berbagai
peranan , kemudian menggerakkan atau membentuk sejenis semangat kepada
individu untuk menjelaskan sebuah peristiwa. Seringkali pandangan dunia
dianggap sebagai rumusan persepsi dan andaian fundamental yang meliputi cara
sebuah kebudayaan mengajarkan anggotanya untuk menerangkan sebuah sistem
kepercayaan, nilai baik dan buruk, serta cara berperilaku.
Pandangan dunia sangat mempengaruhi komunikasi antarbudaya, karena
setiap orang memiliki pandangan dunia yang tertanam pada orang yang
sepenuhnya dianggap benar dan ia otomatis menganggap bahwa pihak lain juga
memandang dunia sebagaimana ia memandangnya. Pandangan dunia mampu
membentuk budaya dan berfungsi membedakan satu budaya dengan budaya
lainnya. (Lubis, 2012 : 65).
a. Agama dan Sistem Kepercayaan
Agama dan sistem kepercayaan memiliki fungsi sosial yaitu untuk
memperkuat struktur sosial dan prinsip-prinsip moral masyarakat beragama,
sistem kepercayaan manusia berperan untuk menetralisir sifat jahat manusia, nilai
agama berperan untuk memperbaiki akhlak manusia. Peranan agama dalam etnis
manapun merupakan unsur utama, karena agama mengandung nilai-nilai universal
yang berisi pendidikan dan pembinaan serta pembentukan moral dalam keluarga
(Lubis, 2012 : 65-66).
b. Nilai
Nilai merupakan norma dimana suatu etnis memberitahukan kepada
seseorang anggotanya mana yang baik dan buruk, benar dan salah, yang boleh dan
yang tidak boleh. Nilai tidak bersifat universal karena kecenderungannya berbeda
antara satu budaya dengan budaya lainnya. Nilai-nilai budaya adalah aspek
penilaian daripada sistem kepercayaan, nilai dan sikap. Nilai-nilai budaya adalah
sesuatu aturan yang tersusun untuk membuat pilihan-pilihan dan mengurangi
konflik dalam masyarakat (Mulyana dalam Lubis, 2012 : 67-68).

Universitas Sumatera Utara

25

c. Perilaku
Perilaku atau sistem tingkah laku adalah perwujudan daripada kepercayaan
dan nilai-nilai yang dipedomani oleh setiap individu dan dibentuk oleh sebuah
proses belajar serta kebudayaan. Paige dan Martin (dalam Lubis, 2012 : 70)
mengatakan bahwa pandangan dunia merupakan salah satu lensa dalam hal
manusia memandang realita dunia dan tentang kehidupan dunia. Isu-isu yang
bersifat abadi dan merupakan landasan paling mendasar bagi suatu budaya. Oleh
karena itu, setiap pelaku komunikasi mempunyai pandangan dunia yang tertanam
pada jiwa yang sepenuhnya dianggap benar dan otomatis menganggap bahwa
pihak lainnya memandang sebagaimana ia memandangnya.

2.2.3.2. Sistem Lambang
Perwujudan dari perilaku adalah melalui sistem lambang yang digunakan
seperti melalu percakapan, bertulis, bahasa tubuh, penampilan dan lain-lainnya
(Ruben dalam Lubis, 2012:72). Budaya membingkai komunikasi dengan secara
langsung mempengaruhi isi dan susunannya. Penggunaan sistem lambang seperti
bahasa lisan sehari-hari misalnya, terlihat sebagai suatu peristiwa komunikasi
dimana orang-orang setiap harinya saling berhubungan dari budaya yang sangat
spesifik. Bahasa merupakan media utama yang digunakan budaya untuk
menyampaikan maksud dan tujuan melalui interaksi diantara individu (Lubis,
2012: 72).
Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan dan turut membentuk
pikiran, oleh karena itu bahasa merupakan suatu sistem yang tidak pasti untuk
menyajikan realitas secara simbol. Menurut Ruben (dalam Lubis, 2012:73)
menyatakan

bahwa

komunikasi

adalah

suatu

proses

yang

mendasari

intersubjektivitas suatu fenomena yang terjadi akibat simbolisasi publik dan
penggunaan serta penyebaran simbol. Makna kata sangat bergantung pada
berbagai penafsiran individu-individu yang berkomunikasi.
Menurut

Gudykunst

dan

Kim

(dalam

Lubis,

2012:73),

untuk

menjembatani semua perbedaan makna dalam bahasa, pesan harus jelas dan
komunikator harus tahu apa yang ingin dibicarakan agar terjadi penerimaan yang

Universitas Sumatera Utara

26

benar-benar cermat atas kandungan pesan oleh si komunikan. Selain itu, pola-pola
berpikir suatu budaya dituntut sebagaimana individu-individu dalam budaya yang
berbeda itu berkomunikasi.
Bahasa

lisan

merupakan

media

utama

yang

digunakan

dalam

berkomunikasi antarbudaya untuk menyampaikan maksud dan objektifitas melalui
interaksi diantara individu. Gudykunst dan Kim (dalam Lubis, 2012:73),
menyatakan bahwa kegagalan utama dalam berkomunikasi adalah ketidakpastian
dalam menyampaikan isi secara cermat, yang terdapat hubungan positif antara
teori pengurangan ketidakpastian dengan komunikasi efektif. Proses verbal
merupakan media utama untuk pertukaran pikiran dan gagasan, namun proses
nonverbal juga tidak kalah penting dan lebih sering dipergunakan dalam proses
komunikasi walau tanpa disadari sepenuhnya.
Temuan Lubis (2011 : 204-207), mendapati bahwa bahasa yang digunakan
oleh orangtua di rumah juga berdampak pada anak-anak dan lingkungan
sekitarnya. Seperti contoh, ketika terdapat suatu keluarga beretnis Tionghoa,
kedua orangtuanya memasukkan kedua anaknya untuk mengikuti les bahasa
Indonesia. Dengan hal ini, tidak mengurangi atau menghilangkan nilai budaya
Tionghoa pada kedua anaknya tersebut, tetapi semakin menambah nilai positif
bagi mereka yaitu mereka dapat berbicara bahasa Indonesia dan semakin mudah
bergaul dengan teman-teman lainnya.
2.2.3.3. Organisasi Sosial
Organisasi

sosial

adalah

cara

bagaimana

suatu

kebudayaan

dikomunikasikan kepada anggotanya. Ada dua organisasi sosial yang berperan
dalam membentuk individu (Samovar dan Poerter dalam Lubis, 2012 : 76), yaitu:
a. Keluarga
Keluarga sangat berperan penting dalam mengenalkan kebudayaan dan
menilai kebudayaan yang paling baik dibandingkan kebudayaan lainnya, serta
menjaga agar anak tidak terpengaruh oleh budaya luar. Galvin dan Bromel (dalam
Lubis, 2012 : 76) mengatakan bahwa keluarga merupakan institusi dasar bagi
seorang anak, melalui keluarga anak-anak diajarkan untuk mengenali dunia dan

Universitas Sumatera Utara

27

menjadi manusia yang sempurna yang menghabiskan seluruh hidupnya di dalam
lingkungan masyarakat dan membentuk suatu budaya. Beberapa sikap dasar, nilainilai serta tingkah laku dimulai dari keluarga.
Bennett, Wolin dan Mc Avity (dalam Lubis, 2012 : 77) mengatakan bahwa
di dalam sebuah keluarga, budaya dapat menggambarkan batasan-batasan,
harapan-harapan, aturan-aturan untuk berinteraksi, pola komunikasi, serta cara
penyelesaian masalah. Pengembangan identitas keluarga dipengaruhi oleh dua
faktor utama, yaitu identitas keluarga asli dan identitas keluarga yang dibentuk
sejalan dengan pernikahan dan keturunan.
Interaksi komunikasi antarbudaya diantara etnis yang berbeda budaya
bermula dari persepsi sebuah keluarga dalam menanamkan pandangan (world
view), nilai-nilai dan terwujud dalam perilaku. Keluarga berperan dalam
mengajarkan para anggota keluarganya untuk mengenali budaya yang dibawa oleh
orangtuanya. Dalam sebuah keluarga, anak-anak diajarkan untuk mengenali dunia
dan kedudukan mereka di dunia (Lubis, 2012 : 78).
Cote dan Bornstein (dalam Lubis, 2012 : 80), menyatakan bahwa
kekurangan daripada pembentukan keluarga antara budaya adalah menyinggung
tentang nilai-nilai budaya dan kebiasaan-kebiasaan. Hal ini dapat berubah secara
perlahan karena diwakilkan oleh identitas individu, di mana nilai-nilai budaya
sangat dipengaruhi oleh faktor internal. Dengan berinteraksi komunikasi
antarbudaya secara aktif dan berterusan, dapat merubah terhadap pemahaman
nilai-nilai budaya in group.
b. Sekolah
Melalui pendidikan di sekolah, seorang individu dikenalkan dengan
sejarah kebudayaan etnis-etnis yang ada di dunia, memberikan fakta-fakta,
menanamkan nilai-nilai dan sikap dari kebiasaan-kebiasaan yang baik dan dapat
diterima dalam kebudayaan yang besar. Samovar dan Porter (dalam Lubis, 2012 :
81) mengatakan bahwa sekolah adalah organisasi sosial yang diberikan tanggung
jawab besar untuk mewariskan dan memelihara suatu budaya. Sekolah merupakan
penyambung penting dalam menghubungkan masa lalu dan masa depan,

Universitas Sumatera Utara

28

memberitahu anggota-anggota barunya apa yang telah terjadi, apa yang penting
dan apa yang harus diketahui seseorang sebagai anggota budaya.
Selain sekolah, peranan organisasi kemasyarakatan seperti Serikat Tolong
Menolong (STM), kelompok perkumpulan, maupun tempat kita bekerja, para
individu yang berbeda budaya mencoba untuk saling belajar dan memahami
perbedaan-perbedaan yang terdapat pada masing-masing budayanya. Individuindividu pada kebudayaan saling bergantung dan harus menyesuaikan diri ke
dalam nilai-nilai dan norma-norma kelompok mereka. Sikap yang pertama adalah
dengan memelihara hubungan pada kelompok dan menyokong hubungan sosial
kekeluargaan. Tujuannya yaitu mempertinggi esksistensi diri yang merupakan
kepentingan kedua pada kebudayaan itu (Lubis, 2012 : 82).
2.2.4. Seks Bebas
Menurut Sarwono (dalam Miron, 2006) perilaku seksual adalah segala
tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya
maupun sesama jenis. Objek seksual biasa berupa orang lain, orang dalam
khayalan, atau diri sendiri. Berdasarkan defenisi tersebut, dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang
didorong oleh hasrat seksual atau aktifitas fisik yang melibatkan tubuh untuk
mengekspresikan perasaan erotis atau afektif.
Seks bebas adalah hubungan seksual yang dilakukan di luar ikatan
pernikahan, baik suka sama suka ataupun dalam dunia prostitusi. Seks bebas
bukan hanya dilakukan oleh kaum remaja, bahkan yang telah berumah tangga pun
sering melakukannya dengan orang yang bukan pasangannya. Biasanya dilakukan
dengan alasan mencari variasi seks ataupun sensasi seks untuk mengatasi
kejenuhan.
Seks bebas merupakan suatu perilaku negatif yang terjadi pada remaja.
Pada dasarnya, seks bebas pada remaja terjadi tidaklah murni terjadi atas tindakan
diri mereka sendiri, namun ada faktor pendukung atau faktor yang mempengaruhi
dari luar. Menurut Ghifari (dalam Kauma, 2002) faktor-faktor yang menjadi
penyimpangan tersebut adalah :

Universitas Sumatera Utara

29

-

Kualitas diri remaja itu sendiri, seperti perkembangan emosional yang
tidak sehat, mengalami hambatan dalam pergaulan sehat, kurang
mendalami norma agama, dan ketidakmampuan dalam menggunakan
waktu luang.

-

Kualitas keluarga yang tidak mendukung anak untuk berlaku baik,
bahkan tidak mendapatkan kasih sayang dari orangtua dan pergeseran
norma keluarga dalam mengembangkan norma positif.

-

Kualitas lingkungan yang kurang sehat, seperti lingkungan masyarakat
yang mengalami kesenjangan komunikasi antar tetangga.

-

Minimnya kualitas informasi yang masuk pada remaja sebagai akibat
globalisasi, akibatnya anak remaja sangat kesulitan atau jarang
mendapatkan informasi sehat dalam seksualitas.

Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Keluarga Kaiser
(dalam Dariyono, 2004), hal-hal yang mendorong remaja melakukan hubungan
seks di luar pernikahan adalah :
1. Hubungan seks sebagai bentuk penyaluran kasih sayang yang salah dalam
masa pacaran. Seringkali remaja memiliki pandangan yang salah bahwa
masa pacaran merupakan masa dimana seseorang boleh mencintai dan
dicintai kekasihnya. Dalam hal ini, bentuk ungkapan rasa cinta dapat
dinyatakan dinyatakan dengan berbagai cara, misalnya pemberian hadiah,
berpelukan, berciuman, bahkan melakukan hubungan seksual. Hal inilah
yang menyebabkan tindakan yang salah tersebut terjadi.
2. Kehidupan iman yang rapuh, dalam keadaan apa saja orang yang taat
beragama selalu dapat menempatkan diri dan mengendalikan diri agar
tidak berbuat hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama. Apabila
iman seseorang rapuh, maka kemungkinan untuk melakukan hubungan
seks pranikah sangat besar.
3. Faktor kematangan biologis, dengan adanya kematangan biologis seorang
remaja sudah dapat melakukan fungsi reproduksi layaknya orang dewasa.
Hal inilah yang membawa konsekuensi bahwa seorang remaja akan mudah
terpengaruh oleh stimulasi yang merangsang gairah seksualnya.

Universitas Sumatera Utara

30

Selain

itu,

terdapat

bentuk-bentuk

perilaku

seks

bebas

(dalam

www.Bkkbn.go.id), yaitu :
a. Kissing : saling bersentuhan antara dua bibir manusia atau
pasangan yang didorong oleh hasrat seksual.
b. Necking : seks yang dilakukan dengan bercumbu namun tidak
sampai menempelkan alat kelamin, biasanya dilakukan dengan
berpelukan, memegang payudara, atau melakukan oral seks pada
alat kelamin tetapi belum bersenggama.
c. Petting : seks yang dilakukan dengan bercumbu sampai
menempelkan alat kelamin, yaitu dengan menggesek-gesekkan alat
kelamin dengan pasangan namun belum bersenggama.
d. Intercourse : melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh di luar
pernikahan.

2.2.5. Remaja
Menurut psikologi, remaja adalah suatu periode transisi dari awal anakanak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira-kira 10 tahun
hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 tahun hingga 22 tahun. Masa remaja
bermula pada perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi badan,
perubahan bentuk tubuh dan perkembangan karakteristik seksual seperti
pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan tumbuhnya kumus beserta
perubahan di dalam suaranya.
Secara anatomis berarti alat-alat kelamin khususnya dan keadaan tubuh
pada umumnya memperoleh bentuk sempurna. Secara fisiologis, alat-alat kelamin
tersebut sudah berfungsi secara sempurna pula, yang ditandai dengan haid pada
wanita dan mimpi basah pada laki-laki. Menurut WHO (dalam Poltekkes Depkes
Jakarta I, 2010) berdasarkan penggolongan umur, masa remaja terbagi atas :
1. Masa remaja awal (10-13 tahun)
Pada tahapan ini, remaja mulai fokus pada pengambilan keputusan,
baik dalam rumah maupun di sekolah. Remaja mulai menunjukkan
cara berpikir logis, sehingga sering menanyakan kewenangan dan
Universitas Sumatera Utara

31

standar di masyarakat maupun di sekolah. Remaja mulai menggunakan
istilah-istilah sendiri.
2. Masa remaja tengah (14-16 tahun)
Pada tahapan ini terjadi peningkatan interaksi dengan kelompok,
sehingga tidak selalu bergantung pada keluarga dan terjadi eksplorasi
seksual dengan menggunakan pengalaman dan pemikiran yang lebih
kompleks. Pada tahap ini, remaja akan menganalisis dan berpikir
bagaimana cara mengembangkan identitas.
3. Masa remaja akhir (17-22 tahun)
Pada tahap ini remaja lebih berkonsentrasi pada rencana yang akan
datang dan meningkatkan pergaulan. Selama masa remaja akhir, proses
berpikir secara kompleks digunakan untuk memfokuskan diri pada
masalah-masalah idealism, toleransi, keputusan untuk karier dan
pekerjaan, serta peran orang dewasa dalam masyarakat.
Pada umumnya, bahaya yang menimpa masa remaja tergolong gawat
karena berakibat jangka panjang dan kontradiktif dengan tahap perkembangan
sebelumnya. Bahaya psikologis pada masa remaja lebih banyak dan berakibat
lebih luas daripada bahaya fisiknya. Tidak banyak anak remaja yang terpengaruh
oleh bahaya fisik, tetapi banyak terpengaruh dengan bahaya psikologisnya
walaupun tingkat beragam (Al-Mighwar, 2006 : 42).
Terdapat beberapa karakteristik perkembangan pada masa remaja
(Hurlock, 1993), yaitu :
1. Masa remaja adalah masa peralihan
Yaitu peralihan dari satu tahap perkembangan ke perkembangan
berikutnya secara berkesinambungan. Pada masa ini, remaja bukan lagi
seorang anak dan juga bukan seorang dewasa. Masa ini merupakan
masa dimana seseorang remaja dapat membentuk gaya hidup dan
menentukan pola perilaku, nilai-nilai dan sifat-sifat yang sesuai dengan
yang diinginkannya.
2. Masa remaja adalah masa perubahan

Universitas Sumatera Utara

32

Terdapat empat perubahan besar yang terjadi pada remaja, yaitu
perubahan emosi, perubahan peran, perubahan minat dan perubahan
pola perilaku.
3. Masa remaja adalah masa yang penuh masalah
Masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit untuk diatasi. Hal
ini terjadi karena remaja belum terbiasa menyelesaikan masalahnya
sendiri tanpa meminta bantuan orang lain. Akibatnya, terjadi
penyesalan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.
4. Masa remaja adalah masa yang mencari identitas
Identitas diri yang dicari remaja adalah berupa kejelasan siapa dirinya
dan apa peran dirinya di masyarakat.
5. Masa remaja adalah masa yang menimbulkan kekuatan
Pandangan buruk yang diberikan orangtua kepada remaja, membuat
masa

peralihan

remaja

ke

dewasa

menjadi

sulit,

sehingga

menimbulkan pertentangan yang membuat jarak antara orangtua
dengan remaja.
6. Masa remaja adalah masa yang tidak realistis
Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kacamatanya
sendiri, baik dalam melihat dirinya sendiri maupun melihat orang lain.
Mereka belum melihat apa adanya, tetapi menginginkan sebagaimana
yang mereka harapkan.
7. Masa remaja adalah ambang dewasa
Dengan berlalunya usia belasan, remaja semakin matang berkembang
dan berusaha memberi kesan sebagai seseorang yang hampir dewasa.
Mereka akan memusatkan dirinya pada perilaku yang dihubungkan
dengan status orang dewasa
2.3.

Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran adalah haisl pemikiran yang rasional dan merupakan

uraian yang bersifat kritis dan memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang
dicapai dan dapat mengantarkan penelitian pada rumusan hipotesa (Nawawi, 2001
: 40).

Universitas Sumatera Utara

33

Berdasarkan kerangka teori yang telah dijabarkan di atas, kerangka
pemikiran yang terbentuk adalah :

Tokoh
Masyarakat

Akademisi

Persepsi
masyarakat

Psikolog

Remaja hamil
di luar nikah

Remaja

Model 1. – Kerangka Penelitian Peneliti

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Kontrol Sosial Masyarakat Terhadap Seks Bebas Sebagai Gaya Hidup Remaja

4 69 85

Persepsi Masyarakat Terhadap Seks Bebas dan Remaja Hamil Diluar Nikah (Studi Kasus Kualitatif Persepsi Masyarakat Terhadap Seks Bebas dan Remaja Hamil di Luar Nikah di Kota Medan)

0 10 281

KECEMASAN PADA REMAJA HAMIL DI LUAR NIKAH Kecemasan Pada Remaja Hamil di Luar Nikah.

0 0 16

PENYESUAIAN DIRI REMAJA YANG HAMIL DI LUAR NIKAH : Studi Kasus pada Dua Remaja yang Hamil Di Luar Nikah di Kota Bandung.

0 4 35

STUDI KASUS PENYESUAIAN DIRI DAN SOSIAL REMAJA HAMIL DILUAR NIKAH.

3 19 315

Persepsi Masyarakat Terhadap Seks Bebas dan Remaja Hamil Diluar Nikah (Studi Kasus Kualitatif Persepsi Masyarakat Terhadap Seks Bebas dan Remaja Hamil di Luar Nikah di Kota Medan)

0 0 15

Persepsi Masyarakat Terhadap Seks Bebas dan Remaja Hamil Diluar Nikah (Studi Kasus Kualitatif Persepsi Masyarakat Terhadap Seks Bebas dan Remaja Hamil di Luar Nikah di Kota Medan)

0 0 2

Persepsi Masyarakat Terhadap Seks Bebas dan Remaja Hamil Diluar Nikah (Studi Kasus Kualitatif Persepsi Masyarakat Terhadap Seks Bebas dan Remaja Hamil di Luar Nikah di Kota Medan)

0 0 11

Persepsi Masyarakat Terhadap Seks Bebas dan Remaja Hamil Diluar Nikah (Studi Kasus Kualitatif Persepsi Masyarakat Terhadap Seks Bebas dan Remaja Hamil di Luar Nikah di Kota Medan)

0 0 2

Persepsi Masyarakat Terhadap Seks Bebas dan Remaja Hamil Diluar Nikah (Studi Kasus Kualitatif Persepsi Masyarakat Terhadap Seks Bebas dan Remaja Hamil di Luar Nikah di Kota Medan)

0 2 99