Perlindungan Humum Bagi anak pelaku kejahatan seksusal melalui diversi dalam peradilan anak (juvenile justice system) di indonesia
BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
KEJAHATAN SEKSUAL
D. Kedudukan Anak Dalam Hukum Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Juvenile berasal dari bahasa latin juvenilis, yang artinya anak, anak muda, ciri
karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja. Sedangkan
delinquent berasal dari bahasa latin delinquere yang berarti terabaikan, mengabaikan,
selanjutnya pengertian ini kemudian diperluas artinya menjadi jahat, asosial kriminal,
pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi,
durjana, dursila dan lain-lain. Sedangkan delinquency selalu mempunyai konotasi
serangan, pelanggaran, kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak
muda dibawah usia 22 tahun, sehingga juvenile delinquency ialah perilaku jahat
(dursila) atau kejahatan atau kenakalan anak-anak muda yang merupakan gejala sakit
(patalogis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh bentuk
tingkah laku yang menyimpang. 49
Pengertian juvenile deliquency menurut Kartini Kartono adalah perilaku jahat,
dursila, kejahatan, kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi)
secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk
pengabaian sosial sehingga anak mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku
yang menyimpang.50 juvenile deliquency menurut Romli Atmasasmita adalah setiap
perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin
49
Olivia BR Sembiring, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan
Hukum, Tesis, (Jakarta: Universitas Indonesia: 2006), hlm. 58-59.
50
Kartini Kartono, Pathologi Sosial, Kenakalan Remaja , (Jakarta: Rajawali Pers, Jakarta,
1992), hlm. 7.
Universitas Sumatera Utara
35
yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat
membahayakan perkembangan pribadi anak yang bersangkutan. 51 Kemudian Bismar
Siregar menyatakan bahwa sesungguhnya tidak ada pengertian tertentu mengenai
kejahatan anak yang ada ialah perbuatan pelanggaran hukum dilakukan oleh seorang,
mungkin ia seorang dewasa atau seorang anak. Jadi hanya perbedaan siapa pelaku. 52
Ruth Strang menerjemahkan juvenile delinquency dengan kenakalan anakanak dan menghindarkan penggunaan istilah kejahatan anak-anak.53 juvenile
delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma
hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda.54 Kenakalan
anak disebut juga dengan juvenile deliquency. Juvenile dalam bahasa Inggris atau
dalam bahasa Indonesia berarti anak-anak, anak muda, sedangkan deliquency artinya
terabaikan atau mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi jahat, kriminal,
pelanggar peraturan dan lain-lain.55 Suatu perbuatan dikatakan delinkuen apabila
perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat
dimana masyarakat tersebut
hidup atau suatu perbuatan yang anti sosial yang
didalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif.56 Pengertian anak apabila ditinjau
dari aspek yuridis, maka dimata hukum positif lazim diartikan sebagai orang yang
belum dewasa (minderjaring atau person under age) , orang yang di bawah umur atau
keadaan di bawah umur (minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut
sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij) .57
51
Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja , (Bandung: Armico, 1983),
hlm. 40.
52
Bismar Siregar, Masalah Penahanan Dan Hukuman Terhadap Kejahan Anak, (Majalah
Hukum Dan Pembangunan No. 4 Tahun X, 1980), hlm. 340.
53
Sabrina Hidayat, Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Proses Peradilan
Pidana , (Jurnal Hukum Gema Pendidikan, No. 1, Januari 2007), hlm. 40.
54
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 11.
55
A.Syamsudin Meliala & E.Sumaryono, Kejahatan Anak Suatu Tinjauan Dari Psikologis
Dan Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1985), hlm. 31.
56
Sudarsono, Kenakalan Remaja , (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 10.
57
Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak Di Indonesia , (Bandung: Mandar Maju, 2005), hlm 47.
Universitas Sumatera Utara
36
Pada tingkat Internasional rupanya tidak terdapat keseragaman dalam
perumusan batasan tentang anak, tingkatan umur seseorang dikategorikan sebagai
anak antara satu negara dengan negara laIn cukup beraneka ragam yaitu dimana dua
puluh tujuh negara bagaian di Amerika Serikat menentukan batasan umur antara 8-17
tahun, ada pula negara bagian lain yang menentukan batas umur antara 8-16 tahun.
Inggris menentukan batas umur antara 12-16 tahun. Australia, dikebanyakan negara
bagian menentukan batas umur antara 8-16 tahun. Belanda mentukan bataa umur
antara 12-18 tahun. Negara Asia lain seperti Srilanka mentukan batas umur antara 816 tahun, Iran 6-18 tahun, Jepang dan Korea mentukan batas umur antara 14-18
tahun, Kamboja mentukan antara 15-18 tahun, sedangkan Negara Asean antara lain
Filipina menentukan batasan umur antara 7-16 tahun.58
Masa kanak-kanak merupakan periode penaburan benih, pendirian tiang
pancang, pembuatan pondasi, yang dapat disebut juga sebagai periode pembentukan
watak, kepribadian dan karakter diri seorang manusia, agar mereka kelak memiliki
kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan. 59 Tindak
pidana yang dilakukan anak selalu menuai kritikan terhadap para penegak hukum
yang oleh banyak kalangan dinilai tidak mengindahkan tata cara penanganan terhadap
anak yang bermasalah dengan hukum, dan ada kesan kerap kali mereka diperlakukan
sebagai orang dewasa dalam bentuk kecil yang melakukan tindak pidana.
Menurut Romli Atmasasmita, terdapat motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari
kenakalan yang dilakukan oleh anak. Adapun yang termasuk motivasi intrinsik dari
pada kenakalan anak-anak adalah faktor intelegentia, faktor usia, faktor kelamin, dan
faktor kedudukan anak dalam keluarga. Sedangkan yang termasuk motivasi ekstrinsik
adalah faktor rumah tangga, faktor pendidikan dan sekolah, faktor pergaulan anak,
58
Paulus Hadisuprapto, Juvenile Deliquency Pemahaman Dan Penanggulangannya ,
(Bandung: Aditya Bakti, 1997), hlm. 8.
59
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
37
dan faktor mass media.60 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, merupakan perwujudan atau penampungan dari kaidah
hukum konvensi hak anak mengenai peradilan khusus untuk anak-anak yang
bermasalah dengan hukum (children in conflict with law).61
Hukum internasional telah menetapkan standar perlakuan yang harus atau
dapat dirujuk oleh setiap negara dalam menangani anak yang berhadapan dengan
hukum. Hukum internasional mensyaratkan negara untuk memberikan perlindungan
hukum dan penghormatan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum melalui
pengembangan hukum, prosedur, kewenangan, dan institusi atau kelembagaan.62
Secara konseptual anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict
with the law), dimaknai sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang
berhadapan dengan sistem peradilan pidana dikarenakan yang bersangkutan disangka
atau dituduh melakukan tindak pidana .63 Anak yang berhadapan dengan hukum
adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai
usia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah yaitu:
1.
Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak
pidana.
2.
Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar
sendiri terjadinya suatu tindak pidana.64
Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga dikatakan sebagai anak
yang terpaksa berkontak dengan sistem pengadilan pidana karena:
60
Soetodjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 17.
M. Joni & Zulchaina, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak
Anak, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm.74.
62
Ketentuan Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UNICEF. Inter Parliamentary Union & UNICEF,
Improving The Protection Of Children In Conflict With The Law In South Asia: A Regional
Parliamentary Guide On Juvenile Justice , (Unicef: Rosa, 2006), hlm. 2.
63
UNICEF, Child Protection Information Sheet, (Child Protection Information Sheet, 2006).
64
Ketentuan Dalam Kesepakatan Bersama Antara Departemen Sosial Republik Indonesia,
Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional
Republik Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Agama Republik
Indonesia, Dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Tentang Perlindungan Dan Rehabilitasi Sosial
Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Tanggal 15 Desember 2009. Pasal 1 Butir 3.
61
Universitas Sumatera Utara
38
a. Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum, atau
b. Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan
orang, kelompok orang, lembaga/negara terhadapnya, atau
c. Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa
pelanggaran hukum.65
Dilihat ruang lingkupnya maka anak yang berhadapan dengan hukum dapat
dibagi menjadi:
1) Pelaku atau tersangka tindak pidana.
2) Korban tindak pidana.
3) Saksi suatu tindak pidana.66
Menurut Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, terdapat dua kategori perilaku anak yang dapat
membuat seorang anak berhadapan dengan hukum yakni status offences dan criminal
offences. Status offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan
orang dewasa tidak termasuk kejahatan atau anak yang melakukan perbuatan
terlarang bagi seorang anak. Misalnya, tidak menurut, membolos sekolah, kabur dari
rumah, sedangkan criminal offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan orang dewasa termasuk kategori kejahatan atau anak yang bermasalah
dengan hukum.67
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012 pada
Pasal 1 angka 3 menentukan bahwa Anak adalah anak yang berkonflik dengan
Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana. Anak yang berkonfilk dengan Hukum adalah aanak yang melakukan
tindak pidana, yang berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan
belas) tahun. Perbuatan terlarang bagi anak adalah yang menurut peraturan
65
Inter Parliamentary Union, Op. Cit., hlm. 17.
Ibid.
67
Ibid., hlm. 2.
66
Universitas Sumatera Utara
39
perundang-undang maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku
dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, istilah anak nakal tidak dikenal
lagi, tetapi digunakan istilah anak yang berkonflik dengan hukum. Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
menentukan bahwa Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut
Anak adalah anak yang berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak
adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.68
Proses penanganan dimana dalam hal ini terkait dengan menangani
permasalahan anak yang bermasalah dengan hukum terdapat permasalahan penegak
hukum tidak serta merta menyalahkan dan memberi cap atau stigma negatif pada
anak yang melakukan pelaku pidana. Indonesia telah memiliki peraturan-peraturan
mengenai prosedur penuntutan dalam peradilan anak. Polisi dalam suatu sistem
peradilan pidana adalah awal dari proses tersebut di banyak negara. Polisi
mempunyai suatu otoritas legal yang disebut sebagai diskresi, dimana dengan otoritas
tersebut polisi berhak meneruskan atau tidak meneruskan suatu perkara.
Kemungkinan polisi melakukan atau menggunakan otoritas diskresi ini sangat
besar. Beberapa negara melalui otoritas diskresi, setelah melalui pemeriksaan awal,
polisi dapat menentukan bentuk pengalihan (diversi) terhadap suatu perkara anak.
Diskresi adalah kewenangan yang dimiliki polisi untuk menghentikan penyidikan
perkara dengan membebaskan tersangka anak, ataupun melakukan pengalihan
(diversi) dengan tujuan agar anak terhindar dari proses hukum lebih lanjut. Diversi
dapat dikatakan sebagai pengalihan tanpa syarat kasus-kasus anak (yang diduga
melakukan tindak pidana) dari proses formal.
Program ini bertujuan menghindari anak mengikuti proses peradilan yang
dapat menimbulkan label, cap atau stigma sebagai penjahat, namun hal ini belum
68
Gultom Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak Di Indonesia . (Bandung: Refika Aditama, 2014), hlm. 68.
Universitas Sumatera Utara
40
diatur secara tegas dalam suatu aturan atau norma terkait dengan penanganan anak
yang bermasalah dengan hukum sehingga hal ini akan terkait kental dengan kapasitas
dan kompetensi dari penyidik dan penuntut umum dalam penanganan anak yang
bermasalah dengan hukum.
Bertitik tolak dari pemaparan diatas, maka diperlukan adanya suatu
pemahaman baru yang dapat menjadi jalan keluar bagi masalah delinkuensi anak
Indonesia, dimana seharusnya aparat penegak hukum lebih bijak dalam memahami
dan memaknai kasus-kasus anak nakal, tidak semua tindak pidana menurut ketentuan
perundang-undangan serta aturan yang khusus mengkaji mengenai kejahatan yang
dilakukan oleh anak bisa serta merta diterapkan kepada seorang anak sesuai dengan
instrumen internasional yang tetap harus dipegang untuk implementasinya
disesuaikan dengan keadaan di Indonesia.
Keadaan yang terjadi saat ini telah berkembang seiring dengan konsep
berpikir manusia yang berkembang sehingga apabila seorang anak melakukan tindak
pidana dalam hal proses yang diberlakukan terhadap seorang anak hendaknya lebih
menekankan sarana non penal yang dapat diambil namun haruslah tetap berorientasi
dengan koridor hukum yang berlaku sehingga sarana non penal dapat diterapkan pada
kasus-kasus tertentu dengan syarat tertentu pula serta adanya peningkatan sumber
daya manusia dari aparatur penegak hukum sehingga proses penangan anak yang
bermasalah dengan hukum sesuai dengan instrumen internasional dan hukum positif.
Kejahatan atau pelecehan seksual pada dasarnya merupakan kenyataan yang
ada dalam masyarakat dewasa ini bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan
banyak dan seringkali terjadi di mana-mana, demikian juga dengan kekerasan atau
pelecehan seksual terlebih perkosaan. Kekerasan terhadap perempuan adalah
merupakan suatu tindakan yang sangat tidak manusiawi, padahal perempuan berhak
untuk menikmati dan memperoleh perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan
asasi di segala bidang.
Kejahatan-kejahatan yang termasuk sebagai kejahatan kesusilaan yaitu
kejahatan kesusilaan yang berhubungan dengan masalah seksual, diatur dalam Pasal
Universitas Sumatera Utara
41
281 sampai dengan Pasal 299 Buku III KUHP. Kejahatan tersebut adalah kejahatan
dengan melanggar kesusilaan, kejahatan pornografi, kejahatan pornografi terhadap
orang yang belum dewasa, kejahatan pornografi dalam melakukan pencahariannya,
kejahatan perzinahan, kejahatan perkosaan untuk bersetubuh, kejahatan bersetubuh
dengan perempuan di luar kawin yang umurnya belum 15 tahun, kejahatan
bersetubuh dengan perempuan dalam perkawinana yang belum waktunya dikawin
dan menimbulkan akibat luka-luka, kejahatan perkosaan berbuat cabul atau perbuatan
yang menyerang kehormatan kesusilaan, kejahatan perbuatan cabul pada orang yang
pingsan, pada orang yang umurnya belum 15 tahun atau belum waktunya untuk
dikawin, kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang dalam keadaan
pingsan, yang umurnya belum 15 tahun, perkosaan berbuat cabul dan perbuatan cabul
pada orang yang dalam keadaan pingsan atau umurnya belum 15 tahun, kejahatan
perkosaan bersetubuh, kejahatan menggerakkan untuk berbuat cabul dengan orang
yang belum dewasa, kejahatan berbuat cabul dengan anaknya, anak tirinya dan lainlain yang belum dewasa, kejahatan permudahan berbuat cabul sebagai mata
pencaharian atau kebiasaan, kejahatan memperdagangkan wanita dan anak laki-laki
yang belum dewasa dan kejahatan mengobati wanita dengan ditimbulkan harapan
bahwa hamilnya dapat digugurkan.
Kekerasan atau pelecehan seksual yang terjadi pada seorang perempuan
dikarenakan sistem tata nilai yang mendudukkan perempuan sebagai makhluk yang
lemah dan lebih rendah dibandingkan laki-laki, perempuan masih ditempatkan dalam
posisi subordinasi dan marginalisasi yang harus dikuasai, dieksploitasi dan
diperbudak laki-laki dan juga karena perempuan masih dipandang sebagai second
class citizens.
E. Tindak Pidana Dan Sanksi Anak Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Seksual
Melalui Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak
pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat
Universitas Sumatera Utara
42
atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah
laku yang melanggar Undang-Undang pidana. Setiap perbuatan yang dilarang oleh
Undang-Undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan
pidana, jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati
oleh setiap warga negara wajib dicantumkan dalam Undang-Undang maupun
peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.69
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undangundang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan
dengan pidana apabila mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan
apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan
pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.70
Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib
hukum dan terjaminnya kepentingan umum.71 Jenis-jenis tindak pidana dibedakan
atas dasar-dasar tertentu, sebagai berikut:
a.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan
antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan pelanggaran yang
dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi kejahatan dan
pelanggaran itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP
menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi
seluruh sistem hukum pidana didalam perundang-undangan secara
keseluruhan.
69
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia . (Bandung: Citra Adityta Bakti,
1996), hlm. 7.
70
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Acara Pidana , (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2001), hlm. 22.
71
P.A.F. Lamintang, Op. Cit., hlm. 16.
Universitas Sumatera Utara
43
b.
Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil
(formeel delicten) dan tindak pidana materil (materiil delicten). Tindak
pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan
yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu, misalnya Pasal
362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti
larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu
siapa
yang
menimbulkan
akibat
yang
dilarang
itulah
yang
dipertanggungjawabkan dan dipidana.
c.
Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak
pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose
delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam
KUHP antara lain Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja
menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan
sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa ) orang juga dapat
dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang
menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur
dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.
d.
Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan
aktif
juga
disebut
perbuatan
materil
adalah
perbuatan
untuk
mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang
berbuat, misalnya pencurian (Pasal 362 KUHP) dan penipuan (Pasal 378
KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan
tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan
secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya
berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552
KUHP.Tindak pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada
dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak
aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi
Universitas Sumatera Utara
44
dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP,
ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal. 72
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana
terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana
formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak
sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif. Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai
berikut:
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
d. Unsur melawan hukum yang objektif
e. Unsur melawan hukum yang subyektif.73
Jenis tindak pidana yang dapat dilakukan pelaksanaan konsep diversi dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
adalah jenis tindak pidana yang berupa tindak pidana ringan, tindak pidana yang
berupa pelanggaran dan tindak pidana yang memiliki ancaman pidana dibawah 7
(tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana, dimana hal ini di
sebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, yakni:
Pasal 7:
(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di
pengadilan negeri wajib diupayakan diversi.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak
pidana yang dilakukan:
72
73
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 25-27.
Ibid., hlm. 30.
Universitas Sumatera Utara
45
a. Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, dan
b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Pasal 9:
(1) Penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam melakukan diversi harus
mempertimbangkan:
a. Kategori tindak pidana
b. Umur anak
c. Hasil penelitian kemasyarakatan dari bapas, dan
d. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
(2) Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau
keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk:
a. Tindak pidana yang berupa pelanggaran,
b. Tindak pidana ringan,
c. Tindak pidana tanpa korban, atau
d. Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi
setempat.
Adapun pasal-pasal yang dilakukan perbuatan pidana kejahatan seksual atau
kejahatan terhadap kesopanan oleh seorang anak dimana kejahatan tersebut diatur
didalam KUHP dan perbuatan tersebut dapat dilakukan upaya diversi, yakni sebagai
berikut:
1.
Pasal 287 ayat (1) KUHP merupakan perbuatan yang kemungkinan bisa
dilakukan oleh anak, sebab kejahatan tersebut dilakukan oleh perempuan yang
bukan istri dan belum cukup 15 (lima belas) tahun atau belum dewasa. Pasal 287
ayat (1) KUHP ini sendiri berbunyi sebagai berikut:
“barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang
diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum
cukup 15 (lima belas) tahun kalau tidak nyata berupa umurnya, bahwa
Universitas Sumatera Utara
46
perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya
sembilan tahun.”74
2.
Pasal 291 ayat (1) KUHP merupakan perbuatan yang kemungkinan bisa
dilakukan oleh anak, sebab perbuatan asusila itu menimbulkan luka-luka atau
kematian maka bagi si pelaku dijatuhkan hukuman penjara 15 (lima belas) tahun.
Pasal 291 ayat (1) KUHP ini sendiri berbunyi sebagai berikut:
“kalau salah satu kejahatan yang diterapkan dalam pasal 286, 287, 289, dan
290 itu menyebabkan luka berat pada tubuh, dijatuhkan hukuman penjara
selama-lamanya 12 (dua belas) tahun.”75
3.
Pasal 292 KUHP merupakan perbuatan yang kemungkinan bisa dilakukan oleh
anak, sebab perbuatan asusila itu dilakukan dengan orang yang belum dewasa
dari jenis kelamin yang sama dan diketahui belum dewasa. Pasal 292 KUHP ini
sendiri berbunyi sebagai berikut:
“orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum
dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus
disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya 5 (lima)
tahun.”76
Terhadap anak yang yang melakukan tindak pidana, sesuai Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang sistem peradilan pidana anak, dijatuhkan pidana atau
dikenakan tindakan berupa:
(1) Pidana pokok bagi anak terdiri atas:
a. Pidana peringatan
74
Pasal 287 ayat (1) KUHP
Pasal 291 ayat (1) KUHP
76
Pasal 292 KUHP
75
Universitas Sumatera Utara
47
b. Pidana dengan syarat, dapat berupa:
1) Pembinaan diluar lembaga
2) Pelayanan masyarakat
3) Pengawasan
c. Latihan kerja
d. Pembinaan dalam lembaga
e. Penjara
(2) Pidana tambahan terdiri atas:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, atau
b. Pemenuhan kewajiban adat
(3) Apabila dalam hukum materil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan
denda, pidana denda diganti dengan latihan kerja.77
Sedangkan tindakan yang dapat diambil bagi anak yang melakukan tindak
pidana kejahatan seksual adalah:
a.
Pengembalian kepada orangtua atau wali
b.
Penyerahan kepada pemerintah
c.
Penyerahan kepada seseorang
d.
Perawatan dirumah sakit jiwa
e.
Perawatan dilembaga
f.
Kewajiban mengikuti suatu pendidikan formal dan latihan yang diadakan
oleh pemerintah atau badan swasta
g.
Perbaikan akibat tindak pidana, dan
h.
Pemulihan.78
77
78
Pasal 69 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Pasal 74 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Universitas Sumatera Utara
48
Sistem pemidanaan setelah diatur restorative justice yang tepat ke depannya
bagi anak sebagai pelaku tindak pidana dimana sanksi bukanlah merupakan tujuan
utama bagi pemidanaan anak karena pidana penjara merupakan ultimum remidium.
Pemberian sanksi yang bersifat edukatif harus menjadi pertimbangan utama hakim
dalam menjatuhkan sanksi, seperti menempatkan anak pada sekolah khusus yang
dapat menempatkan anak sebagai seorang individu yang harus mendapat bimbingan
baik secara moral maupun intelektual, pondok pesantren bagi yang beragama islam
atau balai latihan kerja bagi anak-anak yang sudah menjelang dewasa, dan ketika si
anak telah selesai menjalani pertanggungjawaban tindakannya mereka dapat diterima
dengan baik oleh masyarakat karena tidak ada label sebagai pelaku tindak pidana.
Melihat dari ketentuan hukum diatas, penerapan diversi dan restorative justice
sudah seharusnya lebih di utamakan bagi anak pelaku tindak pidana kejahatan seksual
dan bukan lebih menekankan pemberian hukuman pidana. Hal ini dilaksanakan
dengan harapan anak pelaku tindak pdana kejahatan seksual dapat memperbaiki diri
dan selanjutnya dibina oleh pihak yang berwenang agar kedepannya anak tersebut
bisa menjadi lebih baik.
F. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Kejahatan
Seksual
3.
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Kejahatan Seksual
Didalam KUHP Dan KUHAP
a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Usaha perlindungan yang diberikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
kepada anak yang melakukan kejahatan seksual tidak ada secara tegas didapat dalam
pasal dari KUHP tersebut, akan tetapi apabila dikaji secara mendalam perlindungan
kepada seorang anak di dalam KUHP dapat dilihat dari Pasal 45 Sampai dengan Pasal
Universitas Sumatera Utara
49
47 KUHP tentang pengecualian, pengurangan, dan penambahan hukuman. Dalam
ketentuan KUHP dinyatakan bahwa penjatuhan hukuman kepada seorang anak adalah
upanya yang terakhir (ultimum remedium), dan menyangkut hukuman yang diberikan
kepada seorang anak itu berbeda dengan orang dewasa. Ancaman hukuman anak itu
1/3 (sepertiga) dari ancaman maksimal orang dewasa, dan pada anak tidak mengenal
hukuman mati atau hukuman seumur hidup, maka dihukum penjara maksimal 15
tahun.
Bentuk perlindungan terhadap anak di atas merupakan suatu bentuk atau
usaha yang diberikan oleh KUHP agar anak tidak menjadi korban dari suatu
perbuatan yang dapat mengancam perkembangan anak dan masa depan seorang anak.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak maka ketentuan dari KUHP diatas tidak berlaku lagi, karena
Undang-Undang sistem peradilan pidana anak merupakan lex spesialis derogat lex
generalis dari KUHP dan KUHAP. Hakim dalam mengadili perkara anak
penggunaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak harus didahulukan dari penggunaan KUHP dan KUHAP. Namun jika
tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, baru digunaan KUHP dan KUHAP yang mengatur ketentuan hukum
umumnya. 79
Dengan melihat ketentuan Pasal 45 dan Pasal 47 KUHP bahwa ketentuan
Pasal tersebut merupakan salah satu upaya yang diberikan oleh pemerintah untuk
memberikan perlindungan terhadap anak (tanpa kecuali anak melakukan kejahatan),
dimana pemberian ancaman hukuman terhadap anak yang melakukan kejahatan
adalah upaya terakhir (ultimum remedium) dan hukuman yang diberikan terhadap
anak yang melakukan kejahatan tidak sama dengan ancaman hukuman yang
diberikan kepada orang dewasa. Ketentuan pasal tersebut tidak digunakan lagi dengan
79
Gatot Supramono, Hukum Acara Peradilan Anak, (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm. 14-15
Universitas Sumatera Utara
50
berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Perlindungan hukum yang diberikan bagi anak pelaku tindak pidana kejahatan
seksual dalam sistem hukum pidana dapat dilihat dari KUHAP, dimana dalam
KUHAP ditentukan hak-hak anak yang menjadi tersangka atau terdakwa atas
perbuatan pidana yang dilakukannya. Adapun bentuk perlindungan hukumnya dapat
dilihat sejak mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan sampai pada
pemeriksaan di pengadilan. Secara umum Perlindungan hukum yang diberikan bagi
tersangka dan terdakwa sebagai dalam persidangan dapat dilihat sebagai berikut:
1.
Untuk mempersiapkan pembelaan:
a.
Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu
pemeriksaan dimulai.
b.
Terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya. 80
2.
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau
terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau
hakim.81
3.
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau
terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa. Tersangka
80
Pasal 51 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
81
Pasal 52 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Pidana.
Universitas Sumatera Utara
51
atau terdakwa yang bisu dan atau tuli diberlakukan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 178 KUHAP. 82
4.
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan
hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada
setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undangundang.83
5.
Tersangka atau terdakwá berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari
pihak yang mempunyai hubungán kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka
atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun
untuk usaha mendapatkan bantuan hukum.84
6.
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan
menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang
ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak.85
7.
Tersangka atau terdakwa berhak secara iangsung atau dengan perantaraan
penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya
dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa
untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan.86
82
Pasal 53 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
83
Pasal 54 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
84
Pasal 60 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
85
Pasal 58 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
86
Pasal 61 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Pidana.
Pidana.
Pidana.
Pidana.
Universitas Sumatera Utara
52
8.
Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari
rohaniwan.87
9.
Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.88
10. Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan diri mengajukan saksi dan
atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan
yang menguntungkan bagi dirinya.89
11. Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.90
12. Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan
pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala
tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum
dan putusan pengadilan dalam acara cepat.91
13. Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.92
14. Penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau
ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tatacara yang ditentukan dalam
undang-undang.93
15. Penasihat hukum berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada
setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan
87
Pasal 63 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
88
Pasal 64 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
89
Pasal 65 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
90
Pasal 66 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
91
Pasal 67 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
92
Pasal 68 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
93
Pasal 69 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Pidana.
Pidana.
Pidana.
Pidana.
Pidana.
Pidana.
Universitas Sumatera Utara
53
perkaranya.
Jika
terdapat
bukti
bahwa
penasihat
hukum
tersebut
menyalahgunakan haknya dalam pembicaraan dengan tersangka maka sesuai
dengan tingkat pemeriksaan, penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga
pemasyarakatan memberi peringatan kepada penasihat hukum. Apabila
peringatan tersebut tidak diindahkan, maka hubungan tersebut diawasi oleh
pejabat. Apabila setelah diawasi, haknya masih disalahgunakan, maka hubungan
tersebut disaksikan oleh pejabat tersebut dan apabila setelah itu tetap dilanggar
maka hubungan selanjutnya dilarang.94
16. Penasihat hukum, sesuai dengan tingkat pemeriksaan, dalam berhubungan
dengan tersangka diawasi oleh penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga
pemasyarakatan tanpa mendengar isi pembicaraan. Kejahatan terhadap keamanan
negara, pejabat tersebut dapat mendengar isi pembicaraan.95
17. Atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya pejabat yang bersangkutan
memberikan
turunan
berita
acara
pemeriksaan
untuk
kepentingan
pembelaannya.96
18. Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dan tersangka setiap kali
dikehendaki olehnya.97
19. Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka
dilarang, setelah perkara dilimpahkan oleh penuntut umum kepada pengadilan
94
Pasal 70 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
95
Pasal 71 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
96
Pasal 72 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
97
Pasal 73 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Pidana.
Pidana.
Pidana.
Universitas Sumatera Utara
54
negeri untuk disidangkan, yang tembusan suratnya disampaikan kepada
tersangka atau penasihat hukumnya serta pihak lain dalam proses.98
Ketentuan umum mengenai anak khususnya bagi anak yang melakukan tindak
pidana memiliki pembedaan perlakuan didalam hukum acara
pidana maupun
ancaman pidananya. Pembedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam UndangUndang dimaksudkan untuk lebih memberi perlindungan dan pengayoman terhadap
anak dalam menyongsong masa depan yang masih panjang.
Dalam hukum acara pidana maupun peradilannya, khusus terhadap anak yang
melakukan suatu tindak pidana mendapat perlakuan secara khusus mengingat sifat
anak dan keadaan psikologisnya. Hal ini direalisasikan dengan dimulai pada
perlakuan khusus saat penahan, yaitu dengan menahan anak secara terpisah dengan
orang dewasa. Pemeriksaan dilakukan oleh bagian tersendiri yang terpisah dari
bagian orang dewasa. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan anak terhadap
pengaruh buruk yang dapat diserap yang disebabkan oleh konteks kultural dengan
tahanan lain. Kemudian dalam penyidikan oleh polisi atau jaksa yang bertugas dalam
memeriksa dan mengoreksi keterangan tersangka dibawah umur tidak memakai
pakaian seragam dan melakukan pendekatan secara efektif, afektif dan simpatik.
Sebagai mana ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menyatakan bahwa:
“Penyidik, Penuntut
Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan hukum
lainnya, dan petugas lain dalam memeriksa perkara Anak, Anak Korban, dan/atau
Anak Saksi tidak memakai toga atau atribut kedinasan.”.
Ketentuan pasal tersebut merupakan salah satu upaya untuk memberikan
perlindungan kepada anak agar anak tidak merasa takut dalam menghadapi hakim,
penuntut umum, penyidik dan penasihat hukum serta petugas lainnya, sehingga dapat
mengeluarkan perasaannya kepada hakim mengapa ia melakukan suatu tindak pidana.
98
Pasal 74 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Universitas Sumatera Utara
55
Dalam pemeriksaan anak juga dilakukan dengan sidang tertutup, hal tersebut
dimaksudkan agar tercipta suasana tenang, dan penuh dengan kekeluargaan sehingga
anak dapat mengutarakan segala peristiwa dan segala perasaannya secara terbuka dan
jujur selama sidang berjalan. Selain itu digunakan singkatan dari nama anak, orang
tua, wali atau orang tua asuh yang dimaksudkan agar identitas anak dan keluarganya
tidak menjad berita umum yang akan lebih menekan perasaaan serta mengganggu
kesehatan mental anak.
4.
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Kejahatan Seksual
Diluar KUHP Dan KUHAP
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945 atau disingkat
UUD 1945 atau UUD 45 adalah hukum dasar tertulis (basic law), konstitusi
pemerintahan negara republik indonesia saat ini. UUD 1945 merupakan peraturan
perundang-undangan yang tertinggi di indonesia. Setiap peraturan perundangundangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi dimana dalam ketentuan ini sejalan dengan azas Lex Superiori Derogat Lex
Imperiori, hal tersebut jelas bahwa setiap peraturan yang dibuat tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai atau pasal-pasal yang terdapat di dalam UUD 1945.
Berhubungan dengan bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada anak
telah diatur di dalam Pasal 28 b ayat (2) menyebutkan bahwa “setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.” Perlindungan anak telah dimulai dari ia sejak lahir
hingga tumbuh dan berkembangnya anak tersebut serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Pasal 28 h ayat (2) BAB X (A) Tentang Hak Asasi
Manusia UUD 1945 menyebutkan bahwa “hak-hak yang dimiliki oleh anak yaitu dan
setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
Universitas Sumatera Utara
56
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”. Anak juga harus di lindungi secara lahir dan bathin, tempat
tinggal, lingkungan hidupnya dan pelayanan kesehatannya.
Melihat isi dalam Pasal 28 b ayat (2) dan Pasal 28 h ayat (2) BAB X (A)
Tentang Hak Asasi Manusia UUD 1945, maka perlindungan kepada seorang anak itu
merupakan hal yang penting demi keberlangsungan hidup dan masa depan si anak.
Peran pemerintah, orang tua, guru, penegak hukum serta lapisan masyarakat dalam
melakukan perlindungan kepada anak harus mengawasi anak agar terhindar dari
lingkungan yang buruk. Lingkungan hidup yang baik akan menciptakan anak yang
berprestasi dan cerdas yang akan membanggakan orangtua dan bangsa indonesia.
b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Usaha kesejahteraan anak terdiri atas usaha pembinaan, pengembangan,
pencegahan, dan rehabilitasi. Usaha tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah dan
atau masyarakat, baik diluar atau di dalam panti dimana pemerintah mengadakan
pengawasan, pembimbingan, bantuan dan bantuan pengawasan terhadap usaha
kesejahteraan anak yang dilakukan oleh masyarakat.
Memperhatikan usaha tersebut diatas setidak-tidaknya dapat diketahui bahwa
di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak ini
memberikan perlindungan kepada anak lebih bersifat sosial. Selain itu juga tidak
ditujukan kepada anak secara umum akan tetapi dialamatkan kepada anak yang
bermasalah atau anak yang mempunyai masalah. Pengertian anak yang bermasalah
adalah anak yang antara lain tidak mempunyai orang tua dan telantar, anak telantar,
anak yang tidak mampu, anak yang mempunyai masalah kelakuan dan anak cacat. 99
Beberapa hal
yang perlu diketahui mengenai kesejahteraan anak yang
tertuang dalam ketentuan Undang-Undang ini adalah:
99
Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1988.
Universitas Sumatera Utara
57
a.
Batas usia anak
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun
dan belum kawin.100 Menurut Undang-Undang ini, batas usisa 21 (dua puluh satu)
tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial,
tahap kematangan sosial, tahap kematangan pribadi dan tahap kematangan mental,
dimana pada usia 21 (dua puluh satu) tahun, anak sudah dianggap mempunyai
kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental. Batas usia 21 (dua
puluh satu) tahun ini, tidak mengurangi ketentuan batas dalam peraturan perundangundangan yang lainnya dan tidak pula mengaurangi kemungkinan anak melakukan
perbuatan sepanjang anak mempuyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang
berlaku.
Melihat pembatasan tentang usia anak sebagaimana tersebut di atas, setidaktidaknya terdapat catatan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin, bagi mereka yang sudah kawin sekalipun
mereka belum melampaui umur 21 (dua puluh satu) tahun maka mereka sudah tidak
dikatan sebagai anak lagi, mereka yang sudah berumur 21 (dua puluh satu) tahun dan
mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun akan tetapi sudah kawin
dianggap telah mempunyai kematangan sosial, kematangan pribadi, kematangan
mental. Batas usia yang dimaksud dapat dikesampingkan seanjang ditemukan oleh
ketentuan perundang-undangan yang bersifat khusus serta mendasarkan pada
kenyataan, bahwa seseorang dianggap mampu bertanggungjawab terhadap perbuatan
yang dia lakukan.
b.
Hak-hak anak
Seorang anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan berdasarkan kasih
sayang, pelayanan untuk berkembang, pemeliharaan dan perlindungan baik semasa
dalam kandungan atau setelah dilahirkan, perlindungan lingkungan hidup yang
100
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak.
Universitas Sumatera Utara
58
menghambat perkembangan, dimana dalam keadaan yang berbahaya atau
membahayakan anaklah yang pertama-tama yang mendapatkan pertolongan, bantuan
dan perlindungan.101
Anak yang tidak memiliki orang tua berhak memperoleh asuhan dari negara
atau orang atau badan.102 Anak yang tidak mampu juga berhak memperoleh bantuan
agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar. 103
Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan
untuk menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa
pertumbuhan.104 Pelayanan usaha tersebut juga diberikan kepada anak yang telah
dinyatakan bersalah melanggar hukum berdasarkan keputusan hakim.105
Dengan mengacu pada ketentuan Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak yang menyatakan bahwa seorang anak juga memiliki hak yang
harus dilindungi oleh Negara maupun pemerintah. Sebagaimana ketentuan Pasal 6
ayat 1 Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak bahwa anak
yang mengalami kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan untuk
menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan. Oleh
karena itu, Undang-Undang Kesejahteraan Anak juga berupaya untuk memberi
perlindungan terhadap hak-hak anak.
c) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Permasyarakatan
101
Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
102
Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
103
Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
Anak.
Anak.
Anak.
104
Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak.
105
Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak.
Universitas Sumatera Utara
59
Terdapat beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
Tentang Permasyarakatan yang menunjukkan adanya perlindungan terhadap anak,
yaitu bagi anak yang berstatus sebagai narapidana. Sebelum diuraikan tentang hakhak sebagaimana tersebut di atas, baiknya diuraikan terlebih dahulu status anak yang
berada di lembaga permasyarakatan tersebut. Mereka-mereka itu adalah anak pidana,
anak negara, anak sipil.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 8 huruf a, b, dan c Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan menentukan bahwa, Anak pidana
adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di lembaga
permasyarakatan. Anak negara adalah yang bedasarkan putusan pengadian diserahkan
kepada negara untuk dididik dan ditempatkan di lembaga permasarakatan. Anak sipil
adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan
pengadilan untuk dididik di permasyarakatan anak.
Sebagaimana ketentuan Pasal 22 Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan yang menentukan bahwa anak pidana memperoleh hak-hak yaitu:
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak
dilarang;
g. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
h. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
i. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
j. mendapatkan pembebasan bersyarat;
k. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
Universitas Sumatera Utara
60
l. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Selanjutnya hak-hak anak pelaku kejahatan juga diatur dalam ketentuan Pasal
34 Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang syarat dan tata cara
pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan, yang menyatakan bahwa:
(1) Setiap Narapidana dan Anak Pidana berhak mendapatkan Remisi.
(2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada
Narapidana dan Anak Pidana yang telah memenuhi syarat:
a. berkelakuan baik; dan
b. telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
(3) Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dibuktikan dengan:
a. tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam)
bulan terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian Remisi; dan
b. telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh LAPAS
dengan predikat baik.”
Melihat dari hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang ini, maka
perlindungan kepada seorang anak itu lebih kepada kebutuhan atau pengembangan
seorang anak didalam menjalani pembinaan agar dapat berperan kembali sebagai
anggota masyarakat yang baik dan bertanggungjawab.
d) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Ratifikasi Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan/Hukuman yang Kejam, Tidak
Universitas Sumatera Utara
61
Manusiawi dan Merendahkan (Convention against Torture and Other
Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
Undang-undang ini menjadi dasar perlindungan terhadap hak asasi manusia
yang berdasarkan kepada pancasila dan Undang-undang dasar 1945 yang menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia serta menjamin semua warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum. Majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam
sidangnya pada tanggal 10 Desember 1984 telah menyetujui Convention Against
Torture and Other cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi
Menentang Penyiksaan dan perlakuan atau Penghukuman Lain yang kejam, Tidak
Manusiawi atau Merendahkan Martabat manusia. Sehingga seluruh warga negara
memiliki hak asasi manusia yang terlindungi oleh konvensi tersebut. Di indonesia
dengan di setujuinya konvensi tersebut oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. M
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
KEJAHATAN SEKSUAL
D. Kedudukan Anak Dalam Hukum Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Juvenile berasal dari bahasa latin juvenilis, yang artinya anak, anak muda, ciri
karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja. Sedangkan
delinquent berasal dari bahasa latin delinquere yang berarti terabaikan, mengabaikan,
selanjutnya pengertian ini kemudian diperluas artinya menjadi jahat, asosial kriminal,
pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi,
durjana, dursila dan lain-lain. Sedangkan delinquency selalu mempunyai konotasi
serangan, pelanggaran, kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak
muda dibawah usia 22 tahun, sehingga juvenile delinquency ialah perilaku jahat
(dursila) atau kejahatan atau kenakalan anak-anak muda yang merupakan gejala sakit
(patalogis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh bentuk
tingkah laku yang menyimpang. 49
Pengertian juvenile deliquency menurut Kartini Kartono adalah perilaku jahat,
dursila, kejahatan, kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi)
secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk
pengabaian sosial sehingga anak mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku
yang menyimpang.50 juvenile deliquency menurut Romli Atmasasmita adalah setiap
perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin
49
Olivia BR Sembiring, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan
Hukum, Tesis, (Jakarta: Universitas Indonesia: 2006), hlm. 58-59.
50
Kartini Kartono, Pathologi Sosial, Kenakalan Remaja , (Jakarta: Rajawali Pers, Jakarta,
1992), hlm. 7.
Universitas Sumatera Utara
35
yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat
membahayakan perkembangan pribadi anak yang bersangkutan. 51 Kemudian Bismar
Siregar menyatakan bahwa sesungguhnya tidak ada pengertian tertentu mengenai
kejahatan anak yang ada ialah perbuatan pelanggaran hukum dilakukan oleh seorang,
mungkin ia seorang dewasa atau seorang anak. Jadi hanya perbedaan siapa pelaku. 52
Ruth Strang menerjemahkan juvenile delinquency dengan kenakalan anakanak dan menghindarkan penggunaan istilah kejahatan anak-anak.53 juvenile
delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma
hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda.54 Kenakalan
anak disebut juga dengan juvenile deliquency. Juvenile dalam bahasa Inggris atau
dalam bahasa Indonesia berarti anak-anak, anak muda, sedangkan deliquency artinya
terabaikan atau mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi jahat, kriminal,
pelanggar peraturan dan lain-lain.55 Suatu perbuatan dikatakan delinkuen apabila
perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat
dimana masyarakat tersebut
hidup atau suatu perbuatan yang anti sosial yang
didalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif.56 Pengertian anak apabila ditinjau
dari aspek yuridis, maka dimata hukum positif lazim diartikan sebagai orang yang
belum dewasa (minderjaring atau person under age) , orang yang di bawah umur atau
keadaan di bawah umur (minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut
sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij) .57
51
Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja , (Bandung: Armico, 1983),
hlm. 40.
52
Bismar Siregar, Masalah Penahanan Dan Hukuman Terhadap Kejahan Anak, (Majalah
Hukum Dan Pembangunan No. 4 Tahun X, 1980), hlm. 340.
53
Sabrina Hidayat, Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Proses Peradilan
Pidana , (Jurnal Hukum Gema Pendidikan, No. 1, Januari 2007), hlm. 40.
54
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 11.
55
A.Syamsudin Meliala & E.Sumaryono, Kejahatan Anak Suatu Tinjauan Dari Psikologis
Dan Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1985), hlm. 31.
56
Sudarsono, Kenakalan Remaja , (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 10.
57
Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak Di Indonesia , (Bandung: Mandar Maju, 2005), hlm 47.
Universitas Sumatera Utara
36
Pada tingkat Internasional rupanya tidak terdapat keseragaman dalam
perumusan batasan tentang anak, tingkatan umur seseorang dikategorikan sebagai
anak antara satu negara dengan negara laIn cukup beraneka ragam yaitu dimana dua
puluh tujuh negara bagaian di Amerika Serikat menentukan batasan umur antara 8-17
tahun, ada pula negara bagian lain yang menentukan batas umur antara 8-16 tahun.
Inggris menentukan batas umur antara 12-16 tahun. Australia, dikebanyakan negara
bagian menentukan batas umur antara 8-16 tahun. Belanda mentukan bataa umur
antara 12-18 tahun. Negara Asia lain seperti Srilanka mentukan batas umur antara 816 tahun, Iran 6-18 tahun, Jepang dan Korea mentukan batas umur antara 14-18
tahun, Kamboja mentukan antara 15-18 tahun, sedangkan Negara Asean antara lain
Filipina menentukan batasan umur antara 7-16 tahun.58
Masa kanak-kanak merupakan periode penaburan benih, pendirian tiang
pancang, pembuatan pondasi, yang dapat disebut juga sebagai periode pembentukan
watak, kepribadian dan karakter diri seorang manusia, agar mereka kelak memiliki
kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan. 59 Tindak
pidana yang dilakukan anak selalu menuai kritikan terhadap para penegak hukum
yang oleh banyak kalangan dinilai tidak mengindahkan tata cara penanganan terhadap
anak yang bermasalah dengan hukum, dan ada kesan kerap kali mereka diperlakukan
sebagai orang dewasa dalam bentuk kecil yang melakukan tindak pidana.
Menurut Romli Atmasasmita, terdapat motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari
kenakalan yang dilakukan oleh anak. Adapun yang termasuk motivasi intrinsik dari
pada kenakalan anak-anak adalah faktor intelegentia, faktor usia, faktor kelamin, dan
faktor kedudukan anak dalam keluarga. Sedangkan yang termasuk motivasi ekstrinsik
adalah faktor rumah tangga, faktor pendidikan dan sekolah, faktor pergaulan anak,
58
Paulus Hadisuprapto, Juvenile Deliquency Pemahaman Dan Penanggulangannya ,
(Bandung: Aditya Bakti, 1997), hlm. 8.
59
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
37
dan faktor mass media.60 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, merupakan perwujudan atau penampungan dari kaidah
hukum konvensi hak anak mengenai peradilan khusus untuk anak-anak yang
bermasalah dengan hukum (children in conflict with law).61
Hukum internasional telah menetapkan standar perlakuan yang harus atau
dapat dirujuk oleh setiap negara dalam menangani anak yang berhadapan dengan
hukum. Hukum internasional mensyaratkan negara untuk memberikan perlindungan
hukum dan penghormatan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum melalui
pengembangan hukum, prosedur, kewenangan, dan institusi atau kelembagaan.62
Secara konseptual anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict
with the law), dimaknai sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang
berhadapan dengan sistem peradilan pidana dikarenakan yang bersangkutan disangka
atau dituduh melakukan tindak pidana .63 Anak yang berhadapan dengan hukum
adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai
usia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah yaitu:
1.
Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak
pidana.
2.
Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar
sendiri terjadinya suatu tindak pidana.64
Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga dikatakan sebagai anak
yang terpaksa berkontak dengan sistem pengadilan pidana karena:
60
Soetodjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 17.
M. Joni & Zulchaina, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak
Anak, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm.74.
62
Ketentuan Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UNICEF. Inter Parliamentary Union & UNICEF,
Improving The Protection Of Children In Conflict With The Law In South Asia: A Regional
Parliamentary Guide On Juvenile Justice , (Unicef: Rosa, 2006), hlm. 2.
63
UNICEF, Child Protection Information Sheet, (Child Protection Information Sheet, 2006).
64
Ketentuan Dalam Kesepakatan Bersama Antara Departemen Sosial Republik Indonesia,
Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional
Republik Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Agama Republik
Indonesia, Dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Tentang Perlindungan Dan Rehabilitasi Sosial
Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Tanggal 15 Desember 2009. Pasal 1 Butir 3.
61
Universitas Sumatera Utara
38
a. Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum, atau
b. Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan
orang, kelompok orang, lembaga/negara terhadapnya, atau
c. Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa
pelanggaran hukum.65
Dilihat ruang lingkupnya maka anak yang berhadapan dengan hukum dapat
dibagi menjadi:
1) Pelaku atau tersangka tindak pidana.
2) Korban tindak pidana.
3) Saksi suatu tindak pidana.66
Menurut Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, terdapat dua kategori perilaku anak yang dapat
membuat seorang anak berhadapan dengan hukum yakni status offences dan criminal
offences. Status offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan
orang dewasa tidak termasuk kejahatan atau anak yang melakukan perbuatan
terlarang bagi seorang anak. Misalnya, tidak menurut, membolos sekolah, kabur dari
rumah, sedangkan criminal offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan orang dewasa termasuk kategori kejahatan atau anak yang bermasalah
dengan hukum.67
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012 pada
Pasal 1 angka 3 menentukan bahwa Anak adalah anak yang berkonflik dengan
Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana. Anak yang berkonfilk dengan Hukum adalah aanak yang melakukan
tindak pidana, yang berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan
belas) tahun. Perbuatan terlarang bagi anak adalah yang menurut peraturan
65
Inter Parliamentary Union, Op. Cit., hlm. 17.
Ibid.
67
Ibid., hlm. 2.
66
Universitas Sumatera Utara
39
perundang-undang maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku
dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, istilah anak nakal tidak dikenal
lagi, tetapi digunakan istilah anak yang berkonflik dengan hukum. Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
menentukan bahwa Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut
Anak adalah anak yang berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak
adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.68
Proses penanganan dimana dalam hal ini terkait dengan menangani
permasalahan anak yang bermasalah dengan hukum terdapat permasalahan penegak
hukum tidak serta merta menyalahkan dan memberi cap atau stigma negatif pada
anak yang melakukan pelaku pidana. Indonesia telah memiliki peraturan-peraturan
mengenai prosedur penuntutan dalam peradilan anak. Polisi dalam suatu sistem
peradilan pidana adalah awal dari proses tersebut di banyak negara. Polisi
mempunyai suatu otoritas legal yang disebut sebagai diskresi, dimana dengan otoritas
tersebut polisi berhak meneruskan atau tidak meneruskan suatu perkara.
Kemungkinan polisi melakukan atau menggunakan otoritas diskresi ini sangat
besar. Beberapa negara melalui otoritas diskresi, setelah melalui pemeriksaan awal,
polisi dapat menentukan bentuk pengalihan (diversi) terhadap suatu perkara anak.
Diskresi adalah kewenangan yang dimiliki polisi untuk menghentikan penyidikan
perkara dengan membebaskan tersangka anak, ataupun melakukan pengalihan
(diversi) dengan tujuan agar anak terhindar dari proses hukum lebih lanjut. Diversi
dapat dikatakan sebagai pengalihan tanpa syarat kasus-kasus anak (yang diduga
melakukan tindak pidana) dari proses formal.
Program ini bertujuan menghindari anak mengikuti proses peradilan yang
dapat menimbulkan label, cap atau stigma sebagai penjahat, namun hal ini belum
68
Gultom Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak Di Indonesia . (Bandung: Refika Aditama, 2014), hlm. 68.
Universitas Sumatera Utara
40
diatur secara tegas dalam suatu aturan atau norma terkait dengan penanganan anak
yang bermasalah dengan hukum sehingga hal ini akan terkait kental dengan kapasitas
dan kompetensi dari penyidik dan penuntut umum dalam penanganan anak yang
bermasalah dengan hukum.
Bertitik tolak dari pemaparan diatas, maka diperlukan adanya suatu
pemahaman baru yang dapat menjadi jalan keluar bagi masalah delinkuensi anak
Indonesia, dimana seharusnya aparat penegak hukum lebih bijak dalam memahami
dan memaknai kasus-kasus anak nakal, tidak semua tindak pidana menurut ketentuan
perundang-undangan serta aturan yang khusus mengkaji mengenai kejahatan yang
dilakukan oleh anak bisa serta merta diterapkan kepada seorang anak sesuai dengan
instrumen internasional yang tetap harus dipegang untuk implementasinya
disesuaikan dengan keadaan di Indonesia.
Keadaan yang terjadi saat ini telah berkembang seiring dengan konsep
berpikir manusia yang berkembang sehingga apabila seorang anak melakukan tindak
pidana dalam hal proses yang diberlakukan terhadap seorang anak hendaknya lebih
menekankan sarana non penal yang dapat diambil namun haruslah tetap berorientasi
dengan koridor hukum yang berlaku sehingga sarana non penal dapat diterapkan pada
kasus-kasus tertentu dengan syarat tertentu pula serta adanya peningkatan sumber
daya manusia dari aparatur penegak hukum sehingga proses penangan anak yang
bermasalah dengan hukum sesuai dengan instrumen internasional dan hukum positif.
Kejahatan atau pelecehan seksual pada dasarnya merupakan kenyataan yang
ada dalam masyarakat dewasa ini bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan
banyak dan seringkali terjadi di mana-mana, demikian juga dengan kekerasan atau
pelecehan seksual terlebih perkosaan. Kekerasan terhadap perempuan adalah
merupakan suatu tindakan yang sangat tidak manusiawi, padahal perempuan berhak
untuk menikmati dan memperoleh perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan
asasi di segala bidang.
Kejahatan-kejahatan yang termasuk sebagai kejahatan kesusilaan yaitu
kejahatan kesusilaan yang berhubungan dengan masalah seksual, diatur dalam Pasal
Universitas Sumatera Utara
41
281 sampai dengan Pasal 299 Buku III KUHP. Kejahatan tersebut adalah kejahatan
dengan melanggar kesusilaan, kejahatan pornografi, kejahatan pornografi terhadap
orang yang belum dewasa, kejahatan pornografi dalam melakukan pencahariannya,
kejahatan perzinahan, kejahatan perkosaan untuk bersetubuh, kejahatan bersetubuh
dengan perempuan di luar kawin yang umurnya belum 15 tahun, kejahatan
bersetubuh dengan perempuan dalam perkawinana yang belum waktunya dikawin
dan menimbulkan akibat luka-luka, kejahatan perkosaan berbuat cabul atau perbuatan
yang menyerang kehormatan kesusilaan, kejahatan perbuatan cabul pada orang yang
pingsan, pada orang yang umurnya belum 15 tahun atau belum waktunya untuk
dikawin, kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang dalam keadaan
pingsan, yang umurnya belum 15 tahun, perkosaan berbuat cabul dan perbuatan cabul
pada orang yang dalam keadaan pingsan atau umurnya belum 15 tahun, kejahatan
perkosaan bersetubuh, kejahatan menggerakkan untuk berbuat cabul dengan orang
yang belum dewasa, kejahatan berbuat cabul dengan anaknya, anak tirinya dan lainlain yang belum dewasa, kejahatan permudahan berbuat cabul sebagai mata
pencaharian atau kebiasaan, kejahatan memperdagangkan wanita dan anak laki-laki
yang belum dewasa dan kejahatan mengobati wanita dengan ditimbulkan harapan
bahwa hamilnya dapat digugurkan.
Kekerasan atau pelecehan seksual yang terjadi pada seorang perempuan
dikarenakan sistem tata nilai yang mendudukkan perempuan sebagai makhluk yang
lemah dan lebih rendah dibandingkan laki-laki, perempuan masih ditempatkan dalam
posisi subordinasi dan marginalisasi yang harus dikuasai, dieksploitasi dan
diperbudak laki-laki dan juga karena perempuan masih dipandang sebagai second
class citizens.
E. Tindak Pidana Dan Sanksi Anak Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Seksual
Melalui Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak
pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat
Universitas Sumatera Utara
42
atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah
laku yang melanggar Undang-Undang pidana. Setiap perbuatan yang dilarang oleh
Undang-Undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan
pidana, jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati
oleh setiap warga negara wajib dicantumkan dalam Undang-Undang maupun
peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.69
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undangundang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan
dengan pidana apabila mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan
apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan
pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.70
Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib
hukum dan terjaminnya kepentingan umum.71 Jenis-jenis tindak pidana dibedakan
atas dasar-dasar tertentu, sebagai berikut:
a.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan
antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan pelanggaran yang
dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi kejahatan dan
pelanggaran itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP
menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi
seluruh sistem hukum pidana didalam perundang-undangan secara
keseluruhan.
69
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia . (Bandung: Citra Adityta Bakti,
1996), hlm. 7.
70
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Acara Pidana , (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2001), hlm. 22.
71
P.A.F. Lamintang, Op. Cit., hlm. 16.
Universitas Sumatera Utara
43
b.
Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil
(formeel delicten) dan tindak pidana materil (materiil delicten). Tindak
pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan
yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu, misalnya Pasal
362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti
larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu
siapa
yang
menimbulkan
akibat
yang
dilarang
itulah
yang
dipertanggungjawabkan dan dipidana.
c.
Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak
pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose
delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam
KUHP antara lain Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja
menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan
sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa ) orang juga dapat
dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang
menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur
dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.
d.
Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan
aktif
juga
disebut
perbuatan
materil
adalah
perbuatan
untuk
mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang
berbuat, misalnya pencurian (Pasal 362 KUHP) dan penipuan (Pasal 378
KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan
tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan
secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya
berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552
KUHP.Tindak pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada
dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak
aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi
Universitas Sumatera Utara
44
dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP,
ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal. 72
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana
terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana
formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak
sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif. Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai
berikut:
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
d. Unsur melawan hukum yang objektif
e. Unsur melawan hukum yang subyektif.73
Jenis tindak pidana yang dapat dilakukan pelaksanaan konsep diversi dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
adalah jenis tindak pidana yang berupa tindak pidana ringan, tindak pidana yang
berupa pelanggaran dan tindak pidana yang memiliki ancaman pidana dibawah 7
(tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana, dimana hal ini di
sebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, yakni:
Pasal 7:
(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di
pengadilan negeri wajib diupayakan diversi.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak
pidana yang dilakukan:
72
73
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 25-27.
Ibid., hlm. 30.
Universitas Sumatera Utara
45
a. Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, dan
b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Pasal 9:
(1) Penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam melakukan diversi harus
mempertimbangkan:
a. Kategori tindak pidana
b. Umur anak
c. Hasil penelitian kemasyarakatan dari bapas, dan
d. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
(2) Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau
keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk:
a. Tindak pidana yang berupa pelanggaran,
b. Tindak pidana ringan,
c. Tindak pidana tanpa korban, atau
d. Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi
setempat.
Adapun pasal-pasal yang dilakukan perbuatan pidana kejahatan seksual atau
kejahatan terhadap kesopanan oleh seorang anak dimana kejahatan tersebut diatur
didalam KUHP dan perbuatan tersebut dapat dilakukan upaya diversi, yakni sebagai
berikut:
1.
Pasal 287 ayat (1) KUHP merupakan perbuatan yang kemungkinan bisa
dilakukan oleh anak, sebab kejahatan tersebut dilakukan oleh perempuan yang
bukan istri dan belum cukup 15 (lima belas) tahun atau belum dewasa. Pasal 287
ayat (1) KUHP ini sendiri berbunyi sebagai berikut:
“barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang
diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum
cukup 15 (lima belas) tahun kalau tidak nyata berupa umurnya, bahwa
Universitas Sumatera Utara
46
perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya
sembilan tahun.”74
2.
Pasal 291 ayat (1) KUHP merupakan perbuatan yang kemungkinan bisa
dilakukan oleh anak, sebab perbuatan asusila itu menimbulkan luka-luka atau
kematian maka bagi si pelaku dijatuhkan hukuman penjara 15 (lima belas) tahun.
Pasal 291 ayat (1) KUHP ini sendiri berbunyi sebagai berikut:
“kalau salah satu kejahatan yang diterapkan dalam pasal 286, 287, 289, dan
290 itu menyebabkan luka berat pada tubuh, dijatuhkan hukuman penjara
selama-lamanya 12 (dua belas) tahun.”75
3.
Pasal 292 KUHP merupakan perbuatan yang kemungkinan bisa dilakukan oleh
anak, sebab perbuatan asusila itu dilakukan dengan orang yang belum dewasa
dari jenis kelamin yang sama dan diketahui belum dewasa. Pasal 292 KUHP ini
sendiri berbunyi sebagai berikut:
“orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum
dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus
disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya 5 (lima)
tahun.”76
Terhadap anak yang yang melakukan tindak pidana, sesuai Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang sistem peradilan pidana anak, dijatuhkan pidana atau
dikenakan tindakan berupa:
(1) Pidana pokok bagi anak terdiri atas:
a. Pidana peringatan
74
Pasal 287 ayat (1) KUHP
Pasal 291 ayat (1) KUHP
76
Pasal 292 KUHP
75
Universitas Sumatera Utara
47
b. Pidana dengan syarat, dapat berupa:
1) Pembinaan diluar lembaga
2) Pelayanan masyarakat
3) Pengawasan
c. Latihan kerja
d. Pembinaan dalam lembaga
e. Penjara
(2) Pidana tambahan terdiri atas:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, atau
b. Pemenuhan kewajiban adat
(3) Apabila dalam hukum materil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan
denda, pidana denda diganti dengan latihan kerja.77
Sedangkan tindakan yang dapat diambil bagi anak yang melakukan tindak
pidana kejahatan seksual adalah:
a.
Pengembalian kepada orangtua atau wali
b.
Penyerahan kepada pemerintah
c.
Penyerahan kepada seseorang
d.
Perawatan dirumah sakit jiwa
e.
Perawatan dilembaga
f.
Kewajiban mengikuti suatu pendidikan formal dan latihan yang diadakan
oleh pemerintah atau badan swasta
g.
Perbaikan akibat tindak pidana, dan
h.
Pemulihan.78
77
78
Pasal 69 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Pasal 74 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Universitas Sumatera Utara
48
Sistem pemidanaan setelah diatur restorative justice yang tepat ke depannya
bagi anak sebagai pelaku tindak pidana dimana sanksi bukanlah merupakan tujuan
utama bagi pemidanaan anak karena pidana penjara merupakan ultimum remidium.
Pemberian sanksi yang bersifat edukatif harus menjadi pertimbangan utama hakim
dalam menjatuhkan sanksi, seperti menempatkan anak pada sekolah khusus yang
dapat menempatkan anak sebagai seorang individu yang harus mendapat bimbingan
baik secara moral maupun intelektual, pondok pesantren bagi yang beragama islam
atau balai latihan kerja bagi anak-anak yang sudah menjelang dewasa, dan ketika si
anak telah selesai menjalani pertanggungjawaban tindakannya mereka dapat diterima
dengan baik oleh masyarakat karena tidak ada label sebagai pelaku tindak pidana.
Melihat dari ketentuan hukum diatas, penerapan diversi dan restorative justice
sudah seharusnya lebih di utamakan bagi anak pelaku tindak pidana kejahatan seksual
dan bukan lebih menekankan pemberian hukuman pidana. Hal ini dilaksanakan
dengan harapan anak pelaku tindak pdana kejahatan seksual dapat memperbaiki diri
dan selanjutnya dibina oleh pihak yang berwenang agar kedepannya anak tersebut
bisa menjadi lebih baik.
F. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Kejahatan
Seksual
3.
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Kejahatan Seksual
Didalam KUHP Dan KUHAP
a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Usaha perlindungan yang diberikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
kepada anak yang melakukan kejahatan seksual tidak ada secara tegas didapat dalam
pasal dari KUHP tersebut, akan tetapi apabila dikaji secara mendalam perlindungan
kepada seorang anak di dalam KUHP dapat dilihat dari Pasal 45 Sampai dengan Pasal
Universitas Sumatera Utara
49
47 KUHP tentang pengecualian, pengurangan, dan penambahan hukuman. Dalam
ketentuan KUHP dinyatakan bahwa penjatuhan hukuman kepada seorang anak adalah
upanya yang terakhir (ultimum remedium), dan menyangkut hukuman yang diberikan
kepada seorang anak itu berbeda dengan orang dewasa. Ancaman hukuman anak itu
1/3 (sepertiga) dari ancaman maksimal orang dewasa, dan pada anak tidak mengenal
hukuman mati atau hukuman seumur hidup, maka dihukum penjara maksimal 15
tahun.
Bentuk perlindungan terhadap anak di atas merupakan suatu bentuk atau
usaha yang diberikan oleh KUHP agar anak tidak menjadi korban dari suatu
perbuatan yang dapat mengancam perkembangan anak dan masa depan seorang anak.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak maka ketentuan dari KUHP diatas tidak berlaku lagi, karena
Undang-Undang sistem peradilan pidana anak merupakan lex spesialis derogat lex
generalis dari KUHP dan KUHAP. Hakim dalam mengadili perkara anak
penggunaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak harus didahulukan dari penggunaan KUHP dan KUHAP. Namun jika
tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, baru digunaan KUHP dan KUHAP yang mengatur ketentuan hukum
umumnya. 79
Dengan melihat ketentuan Pasal 45 dan Pasal 47 KUHP bahwa ketentuan
Pasal tersebut merupakan salah satu upaya yang diberikan oleh pemerintah untuk
memberikan perlindungan terhadap anak (tanpa kecuali anak melakukan kejahatan),
dimana pemberian ancaman hukuman terhadap anak yang melakukan kejahatan
adalah upaya terakhir (ultimum remedium) dan hukuman yang diberikan terhadap
anak yang melakukan kejahatan tidak sama dengan ancaman hukuman yang
diberikan kepada orang dewasa. Ketentuan pasal tersebut tidak digunakan lagi dengan
79
Gatot Supramono, Hukum Acara Peradilan Anak, (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm. 14-15
Universitas Sumatera Utara
50
berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Perlindungan hukum yang diberikan bagi anak pelaku tindak pidana kejahatan
seksual dalam sistem hukum pidana dapat dilihat dari KUHAP, dimana dalam
KUHAP ditentukan hak-hak anak yang menjadi tersangka atau terdakwa atas
perbuatan pidana yang dilakukannya. Adapun bentuk perlindungan hukumnya dapat
dilihat sejak mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan sampai pada
pemeriksaan di pengadilan. Secara umum Perlindungan hukum yang diberikan bagi
tersangka dan terdakwa sebagai dalam persidangan dapat dilihat sebagai berikut:
1.
Untuk mempersiapkan pembelaan:
a.
Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu
pemeriksaan dimulai.
b.
Terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya. 80
2.
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau
terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau
hakim.81
3.
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau
terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa. Tersangka
80
Pasal 51 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
81
Pasal 52 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Pidana.
Universitas Sumatera Utara
51
atau terdakwa yang bisu dan atau tuli diberlakukan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 178 KUHAP. 82
4.
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan
hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada
setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undangundang.83
5.
Tersangka atau terdakwá berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari
pihak yang mempunyai hubungán kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka
atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun
untuk usaha mendapatkan bantuan hukum.84
6.
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan
menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang
ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak.85
7.
Tersangka atau terdakwa berhak secara iangsung atau dengan perantaraan
penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya
dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa
untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan.86
82
Pasal 53 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
83
Pasal 54 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
84
Pasal 60 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
85
Pasal 58 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
86
Pasal 61 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Pidana.
Pidana.
Pidana.
Pidana.
Universitas Sumatera Utara
52
8.
Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari
rohaniwan.87
9.
Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.88
10. Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan diri mengajukan saksi dan
atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan
yang menguntungkan bagi dirinya.89
11. Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.90
12. Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan
pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala
tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum
dan putusan pengadilan dalam acara cepat.91
13. Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.92
14. Penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau
ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tatacara yang ditentukan dalam
undang-undang.93
15. Penasihat hukum berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada
setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan
87
Pasal 63 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
88
Pasal 64 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
89
Pasal 65 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
90
Pasal 66 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
91
Pasal 67 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
92
Pasal 68 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
93
Pasal 69 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Pidana.
Pidana.
Pidana.
Pidana.
Pidana.
Pidana.
Universitas Sumatera Utara
53
perkaranya.
Jika
terdapat
bukti
bahwa
penasihat
hukum
tersebut
menyalahgunakan haknya dalam pembicaraan dengan tersangka maka sesuai
dengan tingkat pemeriksaan, penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga
pemasyarakatan memberi peringatan kepada penasihat hukum. Apabila
peringatan tersebut tidak diindahkan, maka hubungan tersebut diawasi oleh
pejabat. Apabila setelah diawasi, haknya masih disalahgunakan, maka hubungan
tersebut disaksikan oleh pejabat tersebut dan apabila setelah itu tetap dilanggar
maka hubungan selanjutnya dilarang.94
16. Penasihat hukum, sesuai dengan tingkat pemeriksaan, dalam berhubungan
dengan tersangka diawasi oleh penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga
pemasyarakatan tanpa mendengar isi pembicaraan. Kejahatan terhadap keamanan
negara, pejabat tersebut dapat mendengar isi pembicaraan.95
17. Atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya pejabat yang bersangkutan
memberikan
turunan
berita
acara
pemeriksaan
untuk
kepentingan
pembelaannya.96
18. Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dan tersangka setiap kali
dikehendaki olehnya.97
19. Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka
dilarang, setelah perkara dilimpahkan oleh penuntut umum kepada pengadilan
94
Pasal 70 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
95
Pasal 71 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
96
Pasal 72 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
97
Pasal 73 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Pidana.
Pidana.
Pidana.
Universitas Sumatera Utara
54
negeri untuk disidangkan, yang tembusan suratnya disampaikan kepada
tersangka atau penasihat hukumnya serta pihak lain dalam proses.98
Ketentuan umum mengenai anak khususnya bagi anak yang melakukan tindak
pidana memiliki pembedaan perlakuan didalam hukum acara
pidana maupun
ancaman pidananya. Pembedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam UndangUndang dimaksudkan untuk lebih memberi perlindungan dan pengayoman terhadap
anak dalam menyongsong masa depan yang masih panjang.
Dalam hukum acara pidana maupun peradilannya, khusus terhadap anak yang
melakukan suatu tindak pidana mendapat perlakuan secara khusus mengingat sifat
anak dan keadaan psikologisnya. Hal ini direalisasikan dengan dimulai pada
perlakuan khusus saat penahan, yaitu dengan menahan anak secara terpisah dengan
orang dewasa. Pemeriksaan dilakukan oleh bagian tersendiri yang terpisah dari
bagian orang dewasa. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan anak terhadap
pengaruh buruk yang dapat diserap yang disebabkan oleh konteks kultural dengan
tahanan lain. Kemudian dalam penyidikan oleh polisi atau jaksa yang bertugas dalam
memeriksa dan mengoreksi keterangan tersangka dibawah umur tidak memakai
pakaian seragam dan melakukan pendekatan secara efektif, afektif dan simpatik.
Sebagai mana ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menyatakan bahwa:
“Penyidik, Penuntut
Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan hukum
lainnya, dan petugas lain dalam memeriksa perkara Anak, Anak Korban, dan/atau
Anak Saksi tidak memakai toga atau atribut kedinasan.”.
Ketentuan pasal tersebut merupakan salah satu upaya untuk memberikan
perlindungan kepada anak agar anak tidak merasa takut dalam menghadapi hakim,
penuntut umum, penyidik dan penasihat hukum serta petugas lainnya, sehingga dapat
mengeluarkan perasaannya kepada hakim mengapa ia melakukan suatu tindak pidana.
98
Pasal 74 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Universitas Sumatera Utara
55
Dalam pemeriksaan anak juga dilakukan dengan sidang tertutup, hal tersebut
dimaksudkan agar tercipta suasana tenang, dan penuh dengan kekeluargaan sehingga
anak dapat mengutarakan segala peristiwa dan segala perasaannya secara terbuka dan
jujur selama sidang berjalan. Selain itu digunakan singkatan dari nama anak, orang
tua, wali atau orang tua asuh yang dimaksudkan agar identitas anak dan keluarganya
tidak menjad berita umum yang akan lebih menekan perasaaan serta mengganggu
kesehatan mental anak.
4.
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Kejahatan Seksual
Diluar KUHP Dan KUHAP
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945 atau disingkat
UUD 1945 atau UUD 45 adalah hukum dasar tertulis (basic law), konstitusi
pemerintahan negara republik indonesia saat ini. UUD 1945 merupakan peraturan
perundang-undangan yang tertinggi di indonesia. Setiap peraturan perundangundangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi dimana dalam ketentuan ini sejalan dengan azas Lex Superiori Derogat Lex
Imperiori, hal tersebut jelas bahwa setiap peraturan yang dibuat tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai atau pasal-pasal yang terdapat di dalam UUD 1945.
Berhubungan dengan bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada anak
telah diatur di dalam Pasal 28 b ayat (2) menyebutkan bahwa “setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.” Perlindungan anak telah dimulai dari ia sejak lahir
hingga tumbuh dan berkembangnya anak tersebut serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Pasal 28 h ayat (2) BAB X (A) Tentang Hak Asasi
Manusia UUD 1945 menyebutkan bahwa “hak-hak yang dimiliki oleh anak yaitu dan
setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
Universitas Sumatera Utara
56
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”. Anak juga harus di lindungi secara lahir dan bathin, tempat
tinggal, lingkungan hidupnya dan pelayanan kesehatannya.
Melihat isi dalam Pasal 28 b ayat (2) dan Pasal 28 h ayat (2) BAB X (A)
Tentang Hak Asasi Manusia UUD 1945, maka perlindungan kepada seorang anak itu
merupakan hal yang penting demi keberlangsungan hidup dan masa depan si anak.
Peran pemerintah, orang tua, guru, penegak hukum serta lapisan masyarakat dalam
melakukan perlindungan kepada anak harus mengawasi anak agar terhindar dari
lingkungan yang buruk. Lingkungan hidup yang baik akan menciptakan anak yang
berprestasi dan cerdas yang akan membanggakan orangtua dan bangsa indonesia.
b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Usaha kesejahteraan anak terdiri atas usaha pembinaan, pengembangan,
pencegahan, dan rehabilitasi. Usaha tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah dan
atau masyarakat, baik diluar atau di dalam panti dimana pemerintah mengadakan
pengawasan, pembimbingan, bantuan dan bantuan pengawasan terhadap usaha
kesejahteraan anak yang dilakukan oleh masyarakat.
Memperhatikan usaha tersebut diatas setidak-tidaknya dapat diketahui bahwa
di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak ini
memberikan perlindungan kepada anak lebih bersifat sosial. Selain itu juga tidak
ditujukan kepada anak secara umum akan tetapi dialamatkan kepada anak yang
bermasalah atau anak yang mempunyai masalah. Pengertian anak yang bermasalah
adalah anak yang antara lain tidak mempunyai orang tua dan telantar, anak telantar,
anak yang tidak mampu, anak yang mempunyai masalah kelakuan dan anak cacat. 99
Beberapa hal
yang perlu diketahui mengenai kesejahteraan anak yang
tertuang dalam ketentuan Undang-Undang ini adalah:
99
Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1988.
Universitas Sumatera Utara
57
a.
Batas usia anak
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun
dan belum kawin.100 Menurut Undang-Undang ini, batas usisa 21 (dua puluh satu)
tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial,
tahap kematangan sosial, tahap kematangan pribadi dan tahap kematangan mental,
dimana pada usia 21 (dua puluh satu) tahun, anak sudah dianggap mempunyai
kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental. Batas usia 21 (dua
puluh satu) tahun ini, tidak mengurangi ketentuan batas dalam peraturan perundangundangan yang lainnya dan tidak pula mengaurangi kemungkinan anak melakukan
perbuatan sepanjang anak mempuyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang
berlaku.
Melihat pembatasan tentang usia anak sebagaimana tersebut di atas, setidaktidaknya terdapat catatan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin, bagi mereka yang sudah kawin sekalipun
mereka belum melampaui umur 21 (dua puluh satu) tahun maka mereka sudah tidak
dikatan sebagai anak lagi, mereka yang sudah berumur 21 (dua puluh satu) tahun dan
mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun akan tetapi sudah kawin
dianggap telah mempunyai kematangan sosial, kematangan pribadi, kematangan
mental. Batas usia yang dimaksud dapat dikesampingkan seanjang ditemukan oleh
ketentuan perundang-undangan yang bersifat khusus serta mendasarkan pada
kenyataan, bahwa seseorang dianggap mampu bertanggungjawab terhadap perbuatan
yang dia lakukan.
b.
Hak-hak anak
Seorang anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan berdasarkan kasih
sayang, pelayanan untuk berkembang, pemeliharaan dan perlindungan baik semasa
dalam kandungan atau setelah dilahirkan, perlindungan lingkungan hidup yang
100
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak.
Universitas Sumatera Utara
58
menghambat perkembangan, dimana dalam keadaan yang berbahaya atau
membahayakan anaklah yang pertama-tama yang mendapatkan pertolongan, bantuan
dan perlindungan.101
Anak yang tidak memiliki orang tua berhak memperoleh asuhan dari negara
atau orang atau badan.102 Anak yang tidak mampu juga berhak memperoleh bantuan
agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar. 103
Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan
untuk menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa
pertumbuhan.104 Pelayanan usaha tersebut juga diberikan kepada anak yang telah
dinyatakan bersalah melanggar hukum berdasarkan keputusan hakim.105
Dengan mengacu pada ketentuan Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak yang menyatakan bahwa seorang anak juga memiliki hak yang
harus dilindungi oleh Negara maupun pemerintah. Sebagaimana ketentuan Pasal 6
ayat 1 Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak bahwa anak
yang mengalami kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan untuk
menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan. Oleh
karena itu, Undang-Undang Kesejahteraan Anak juga berupaya untuk memberi
perlindungan terhadap hak-hak anak.
c) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Permasyarakatan
101
Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
102
Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
103
Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
Anak.
Anak.
Anak.
104
Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak.
105
Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak.
Universitas Sumatera Utara
59
Terdapat beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
Tentang Permasyarakatan yang menunjukkan adanya perlindungan terhadap anak,
yaitu bagi anak yang berstatus sebagai narapidana. Sebelum diuraikan tentang hakhak sebagaimana tersebut di atas, baiknya diuraikan terlebih dahulu status anak yang
berada di lembaga permasyarakatan tersebut. Mereka-mereka itu adalah anak pidana,
anak negara, anak sipil.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 8 huruf a, b, dan c Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan menentukan bahwa, Anak pidana
adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di lembaga
permasyarakatan. Anak negara adalah yang bedasarkan putusan pengadian diserahkan
kepada negara untuk dididik dan ditempatkan di lembaga permasarakatan. Anak sipil
adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan
pengadilan untuk dididik di permasyarakatan anak.
Sebagaimana ketentuan Pasal 22 Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan yang menentukan bahwa anak pidana memperoleh hak-hak yaitu:
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak
dilarang;
g. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
h. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
i. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
j. mendapatkan pembebasan bersyarat;
k. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
Universitas Sumatera Utara
60
l. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Selanjutnya hak-hak anak pelaku kejahatan juga diatur dalam ketentuan Pasal
34 Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang syarat dan tata cara
pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan, yang menyatakan bahwa:
(1) Setiap Narapidana dan Anak Pidana berhak mendapatkan Remisi.
(2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada
Narapidana dan Anak Pidana yang telah memenuhi syarat:
a. berkelakuan baik; dan
b. telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
(3) Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dibuktikan dengan:
a. tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam)
bulan terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian Remisi; dan
b. telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh LAPAS
dengan predikat baik.”
Melihat dari hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang ini, maka
perlindungan kepada seorang anak itu lebih kepada kebutuhan atau pengembangan
seorang anak didalam menjalani pembinaan agar dapat berperan kembali sebagai
anggota masyarakat yang baik dan bertanggungjawab.
d) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Ratifikasi Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan/Hukuman yang Kejam, Tidak
Universitas Sumatera Utara
61
Manusiawi dan Merendahkan (Convention against Torture and Other
Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
Undang-undang ini menjadi dasar perlindungan terhadap hak asasi manusia
yang berdasarkan kepada pancasila dan Undang-undang dasar 1945 yang menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia serta menjamin semua warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum. Majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam
sidangnya pada tanggal 10 Desember 1984 telah menyetujui Convention Against
Torture and Other cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi
Menentang Penyiksaan dan perlakuan atau Penghukuman Lain yang kejam, Tidak
Manusiawi atau Merendahkan Martabat manusia. Sehingga seluruh warga negara
memiliki hak asasi manusia yang terlindungi oleh konvensi tersebut. Di indonesia
dengan di setujuinya konvensi tersebut oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. M