Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Marlina: Penerapan Konsep Diversi terhadap Anak...

PENERAPAN KONSEP DIVERSI TERHADAP ANAK
PELAKU TINDAK PIDANA DALAM SISTEM
PERADILAN PIDANA ANAK
Marlina
Abstract: Most countries take the problem of protecting juvenile delinquency as
an important thing to do, because children are the future leaders of their own
countries, therefore, the countries of the world think to seek for an alternative
form of the best solution for the children. Internationally implementation of
juvenile justice system regulated in the Universal Declarations of Human Right
and Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice. The
implementation of diversion is still based on the policy made by the law
upholders by considering the process of detention and the negative implication of
the process of criminal justice.
Kata Kunci: Konsep diversi, Anak pelaku tindak pidana, Sistem peradilan anak

Filosofi sistem peradilan pidana anak yaitu mengutamakan perlindungan dan
rehabilitasi terhadap pelaku anak (emphasized the rehabilitation of youthful offender) sebagai
orang yang masih mempunyai sejumlah keterbatasan dibandingkan dengan orang dewasa.
Anak memerlukan perlindungan dari negara dan masyarakat dalam jangka waktu ke depan

yang masih panjang (Nicholas M.C. Bala dan Rebecca Jaremko Bromwich, 2002; 5). Terhadap
anak yang terlanjur menjadi pelaku tindak pidana diperlukan strategi sistem peradilan pidana
yaitu mengupayakan seminimal mungkin intervensi sistem peradilan pidana (Haines dan
Drakeford, 1998; 73).
Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan kriminal sangat
dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain
dan sebagainya. Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal
sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan
kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove) seorang anak
yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan
pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak. Berdasaran
pikiran tersebut, maka lahirlah konsep diversion yang dalam istilah bahasa Indonesia disebut
diversi atau pengalihan.
PENGERTIAN KONSEP DIVERSI
Menurut sejarah perkembangan hukum pidana kata “diversion” pertama kali
dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan anak yang disampaikan
Presiden Komisi Pidana (President’s Crime Commission) Australia di Amerika Serikat pada
tahun 1960 (Cunneen and White, 1995; 1).
Sebelum dikemukakannya istilah diversi praktek pelaksanaan yang berbentuk seperti
diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan berdirinya peradilan anak (children’s

96

JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
courts) sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi
polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning). Prakteknya telah berjalan di negara
bagian Victoria Australia pada tahun 1959 diikuti oleh negara bagian Queensland pada tahun
1963 (Challinger, 1985; 290- 302).
Menurut Jack E. Bynum dalam bukunya Juvenile Delinquency a Sociological
Approach, yaitu (Jack E Bynum, William E. Thompson, 2002; 430):
Diversion is “an attempt to divert, or channel out, youthful offenders from the juvenile
justice system”(terjemahan penulis diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk
mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan
pidana).
Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap
anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya
daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap
anak atas tindakan yang dilakukannya seperti anak dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk
menghindarkannya ke luar sistem peradilan pidana (Shelden, 1997; 1). United Nations
Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice ("The Beijing Rules")
(Office of the High Commissioner for Human Rights, 1985) butir 6 dan 11 terkandung

pernyataan mengenai diversi yakni sebagai proses pelimpahan anak yang berkonflik dengan
hukum dari sistem peradilan pidana ke proses informal seperti mengembalikan kepada lembaga
sosial masyarakat baik pemerintah atau non pemerintah.
Pertimbangan dilakukan diversi oleh pengadilan yaitu filosofi sistem peradilan pidana
anak untuk melindungi dan merehabilitasi (protection and rehabilitation) anak pelaku tindak
pidana (Jck E Bynum, Thompson, 2002; 430) Tindakan diversi juga dilakukan sebagai upaya
pencegahan seorang pelaku anak menjadi pelaku kriminal dewasa. Usaha pencegahan anak
inilah yang membawa aparat penegak hukum untuk mengambil wewenang diskresi atau di
Amerika serikat sering disebut juga dengan istilah deinstitutionalisation dari sistem peradilan
pidana formal.
TUJUAN DIVERSI
Menurut Levine konsep diversi dimulai dengan pendirian peradilan anak pada abad
ke-19 yang bertujuan untuk mengeluarkan anak dari proses peradilan orang dewasa agar anak
tidak lagi diperlakukan sama dengan orang dewasa (Morris dan Braukmann, 1987; 252).
Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan
non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan.
Petugas dalam melaksanakan diversi menunjukkan pentingnya ketaatan kepada hukum dan
aturan. Petugas melakukan diversi dengan cara pendekatan persuasif dan menghindari
penangkapan yang menggunakan tindakan kekerasan dan pemaksaan.
Tindakan kekerasan saat penangkapan membawa sifat keterpaksaan sebagai hasil dari

penegakan hukum. Penghindaran penangkapan dengan kekerasan dan pemaksaan menjadi
tujuan dari pelaksanaan diversi. Tujuannya menegakkan hukum tanpa melakukan tindakan
kekerasan dan menyakitkan dengan memberi kesempatan kepada seseorang untuk
memperbaiki kesalahannya tanpa melalui hukuman pidana oleh negara yang mempunyai
otoritas penuh. Salah satu contoh latar belakang pentingnya kebijakan diversi dilakukan karena
tingginya jumlah anak yang masuk ke peradilan pidana dan diputus dengan penjara dan
mengalami kekerasan saat menjalani rangkaian proses dalam sistem peradilan pidana, yaitu
Philipina. Di negara Philipina angka keterlibatan anak dengan tindak pidana dan menjalani
peradilan sampai pemenjaraan cukup tinggi dan 94% adalah anak pelaku pidana untuk pertama
kalinya (first-time offender). Jumlah anak yang menjalani pemenjaraan tidak diiringi dengan
adanya kebijakan diversi dan program pencegahan tindak pidana anak secara formal,
97

Marlina: Penerapan Konsep Diversi terhadap Anak...

sebaliknya usaha dukungan untuk mengembalikan anak ke komunitasnya sangat rendah (Save
The Children Uk, 2004).
Makanya tahun 2001 organisasi Save The Children dari Inggris bekerja sama dengan
LSM local Philipina, sehingga pada tahun 2003 telah ada 2000 orang anak didiversikan dari
sistem peradilan pidana formal.

Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada
pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal dengan
melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus
anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum
sebagai pihak penegak hukum. Kedua keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah penelitian
terhadap keadaan dan situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat (appropriate
treatment) (Walker, 1993; 1-2).
Tiga jenis pelaksanaan program diversi yaitu: (1) Pelaksanaan kontrol secara sosial
(social control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung
jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau
peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak
diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat. (2) Pelayanan sosial
oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk
mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan
keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau
pelayanan. (3) Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or restorative
justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung
jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban
pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk
bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku (Kratcoski, 2004; 160).

PELAKSANAAN DIVERSI
Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap
jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana.
Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak
hukum yang disebut discretion atau dalam bahasa Indonesia diskresi.
Pelaksanaan diversi di New Zealand dapat menjadi gambaran keberhasilan penerapan
fungsi aparat penegak hukum dalam menangani masalah anak yang terlibat kasus pidana. Di
New Zealand sejarah diversi dimulai dengan kesuksesan family group conferencing yaitu
perundingan antara pihak korban dan pelaku dalam penyelesaian tindak pidana di masyarakat,
yang akhirnya dilakukan reformasi terhadap hukum peradilan anak pada tahun 1989 (Morris
and Maxwell., 2001; 114).
Penerapan peradilan khusus anak telah memberikan ruang untuk pelaksanaan diversi
secara luas. Perubahan-perubahan pada peradilan umum menuju peradilan yang mengutamakan
perlindungan anak dan diversi pada saat itu dapat kita lihat pada tabel berikut.
Tabel Restrukturisasi Peradilan Pidana Setelah Reformasi Hukum (Kenneht Folk., 2003; 3)
Proses
Kebijakan
Penyebab Kejahatan
Tindakan pencegahan Delikuensi
Tindak Pidana Oleh Anak

Dekriminalisasi
Ditangkap Polisi
Diversi
Pengadilan
Proses Peradilan Anak
Penjara
Deinstitutionalisation/Diskresi

98

JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
Tabel 1 di atas mengambarkan terjadinya perubahan kebijakan peradilan pidana yang
ditujukan untuk melindungi anak yang melakukan tindak pidana. Dengan penerapan konsep
diversi bentuk peradilan formal yang ada selama ini lebih mengutamakan usaha memberikan
perlindungan bagi anak dari tindakan pemenjaraan. Selain itu terlihat bahwa perlindungan anak
dengan kebijakan diversi dapat dilakukan di semua tingkat peradilan mulai dari masyarakat
sebelum terjadinya tindak pidana dengan melakukan pencegahan. Setelah itu jika ada anak
yang melakukan pelanggaran maka tidak perlu diproses ke polisi.
Selanjutnya jika anak yang melakukan pelanggaran sudah terlanjur ditangkap oleh
polisi, polisi dapat melakukan diversi tanpa meneruskan ke jaksa penuntut. Kemudian apabila

kasus anak sudah sampai di pengadilan, maka hakim dapat melakukan peradilan sesuai dengan
prosedurnya dan diutamakan anak dapat dibebaskan dari pidana penjara. Terakhir bila anak
sudah terlanjur berada di dalam penjara, maka petugas penjara dapat membuat kebijakan
diversi terhadap anak sehingga anak dapat di limpahkan ke lembaga sosial, atau sanksi
alternatif yang berguna bagi perkembangan dan masa depan anak (Folk., 2003; 4).
Diversi terhadap anak hanyalah sebuah komponen dari perbaikan struktur sistem
peradilan pidana yang dicapai dengan maksimal di New Zealand pada pertengahan tahun 1970,
sebagai alternatif dari peradilan pidana formal yang ada sebelumnya. Perkembangan
selanjutnya rasa ingin tahu masyarakat pada proses non peradilan yaitu family group
conferencing. Proses ini memperlihatkan hasil yang lebih baik, sehingga masyarakat semakin
memberikan dukungan terhadap konsep diversi.
Tahun 1970 dua bentuk besar dari diversi yang ada di Australia difokuskan bukan
untuk membuat diversi kepada sebuah program alternatif, tapi diversi untuk mengeluarkan dari
sistem peradilan. Satu hal utama dari bentuk ini yaitu sikap kehati-hatian dari polisi, dimana
anak muda yang telah ditangani polisi hanya diberikan peringatan lisan dan tertulis, setelah itu
anak akan dilepas dan merupakan akhir dari permasalahan terkecuali kalau anak tersebut
melakukan pelanggaran selanjutnya (mengulangi) maka akan dilakukan proses lanjutan.
Bentuk diversi di atas mulai di laksanakan di negara bagian Victoria pada tahun 1959,
Queensland tahun 1963 dan New South Wales tahun 1985 semuanya berada di Negara
Australia. Bentuk kedua yang dilaksanakan di Australia bagian selatan tahun 1964 dan

Australia bagian barat 1972 melibatkan sebuah pertemuan pelaku anak dan orang tuanya
dengan polisi dan sebuah pekerja sosial negara. Tujuan dari pertemuan tersebut merupakan
diversi sebelum masuk ke pengadilan formal. Di dalamnya terdapat peringatan dan konseling
dalam suasana relatif informal. Proses diversi yang dilangsungkan tersebut bertujuan
mengeluarkan anak dari sistem peradilan pidana jika anak tidak mengulangi tindak pidana,
akan tetapi jika anak melakukan kejahatan telah berulang kali (residivis) dikenakan proses
selanjutnya. Cressey dan Mc Dermott dalam bukunya menganggap apa yang dilakukan di
Australia sebagai true diversion”.
Negara-negara bagian seperti Victoria, New South Wales dan Queensland berani
melakukan reformasi terhadap sistem hukumnya yang ada untuk mendukung pelaksanaan
program diversi secara sempurna. Wundersitz menyebut pelaksanaan diversi di negara-negara
tersebut dengan istilah “principle of the frugality of punishment (prinsip kesederhanaan dalam
menghukum)” (Kenneht Folk.,2003; 6).
Peraturan di Negara Queesland memuat aturan, anak ditempatkan di tahanan sebagai
tempat terakhir (Juvenile Justice Act 1992, 4 (b)(i)). Menurut Wundersitz (Wundersirz.
Op.Cit., hal. 126.)dengan aturan tersebut jumlah pelaku anak yang dipenjara dalam kurun
waktu 11 tahun turun dari 1.352 orang pada tahun 1981 menjadi 577 orang pada tahun 1992.
Selanjutnya masyarakat Australia berhasil mewujudkan keinginannya untuk merubah
penekanan dari welfare model kepada justice model (Wundersirz, 1996; 126). Hal itu dapat


99

Marlina: Penerapan Konsep Diversi terhadap Anak...

dilihat dalam Children Protection and Young Offender Act 1979 di Australia Selatan dan
Children’s Criminal Proceedings Act 1987, 56 (a) di New South Wales yang berisi:
“… childrens have right and freedom before the law equal to those enjoyed by adults and
in penticipate in the process”,
Dengan adanya ketentuan hukum tersebut masyarakat cendrung untuk memakai cara
lain seperti Family Group Confereces yang merupakan masukan baru dalam diversi. Menurut
Wundersitz inspirasi besar mengenai perubahan tersebut dengan adanya aturan peradilan anak
di New Zealand yang berlandaskan;
” …. Unless the public interst requires otherwise, criminal proceedings should not be
instituted against a child or young person if there is an alternatives means of dealing with
the mater terjemahan penulis: kecuali masyarakat menghendaki lain, maka model proses
pidana tidak harus di kenakan terhadap seorang anak atau orang muda jika masih ada hal
alternatif yang bisa lebih menyelesaikan permasalahan yang terjadi.”
Hal senada juga terdapat dalam aturan butir 11 dari United Nations Standard
Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice ("The Beijing Rules"), yang
menyebutkan bahwa untuk kasus anak tidak seharusnya dilimpahkan ke pengadilan tapi lebih

kepada kebijakan diskresi dengan sanksi lain (United Nations Standard Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice ("The Beijing Rules"), G.A. res. 40/33, annex, 40 U.N.
GAOR Supp. (No. 53) at 207, U.N. Doc. A/40/53 (1985) dikutip dari http://www1.umn.edu/
humanrts/instree/j3unsmr. htm.)
Di negara bagian Tasmania Australia Undang-undang Youth Justice Act 1997
mengizinkan polisi melakukan diskresi langsung terhadap pelaku anak dengan memberikan
peringatan informal (nasihat) (Pasal 8), peringatan formal (tertulis) (Pasal 10), peringatan
melalui pertemuan, pertemuan dengan anggota masyarakat conferencing melalui proses
diversi (Pasal 13-19) atau diteruskan ke peradilan. Pertemuan yang dibuat polisi sama dengan
model wagga wagga (Wagga wagga adalah model pertemuan untuk menyelesaikan kasus oleh
bangsa Maori, suku asli di benua Australia. Proses ini juga terdapat dalam pembahasan
mengenai restorative justice) dan hasilnya dinyatakan sebagai peringatan resmi pihak polisi
(Folk, 2003; 14). Ketika petugas polisi memberikan peringatan resmi akan ada pilihan yang
diberikan terhadap pelaku anak, seperti membayar kompensasi, membuat kerja pertanggung
jawaban, melakukan kegiatan pengabdian pada masyarakat selama 35 jam untuk keperluan
korbannya melalui lembaga sosial atau lainnya atau tindakan lain yang tepat (Pasal 10 (2)).
Pilihan-pilihan itu diputuskan melalui rapat para petugas polisi dan juga masyarakat.
Polisi dapat juga menyerahkan pelaku anak kepada penanganan formal jika mereka
yakin bahwa permasalahan yang terjadi cukup serius seperti pembunuhan, percobaan
pembunuhan, pelanggaran konsumsi alkohol dan keselamatan jalan raya maka pengadilan
formal lebih sering dilakukan. Pelanggaran selain itu diputuskan dengan diskresi oleh polisi.
Biasanya peringatan formal diberikan oleh anggota polisi yang dipercaya menangani
anak. Peringatan diberikan dengan menghadirkan orang tua anak di kantor polisi atau polisi
langsung datang ke rumah anak tersebut. Berikutnya dipertimbangkan secara restorative justice
apakah lebih berat kerusakan dan kerugian dibanding sisi pelanggaran hukumannya. Peringatan
yang terperinci terhadap pelaku dicatat dalam catatan pelaku (arsip) yang mana catatan ini akan
dilakukan penghapusan setelah 5 tahun. Jika pelanggaran dilakukan pengulangan sebanyak dua
kali akan di Knoxlink Program, setelah itu jika masih mengulangi akan dikirim ke pengadilan
untuk diproses secara pidana.
Di Negara bagian Northern Territory Australia peringatan formal maupun
penyelesaian dengan perundingan telah diterapkan oleh pemerintah menjadi ketetapan hukum.
100

JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
Negara telah meresmikan pemberian peringatan dan diversi menuju perundingan sebagai
keputusan yang mempunyai kekuatan hukum sesuai dengan kesepakatan Perdana Menteri dan
Kepala Kementrian Negara (Kenneht Folk, 2003; 16). Peraturan Police Administration Act
memberikan empat tingkatan untuk melakukan diversi sebelum pengadilan. Tingkatan pertama
terdiri dari dua bentuk peringatan yang diberikan dan disepakati dan penyelesaian dengan
perundingan kemudian diperingatan secara lisan.
Tingkatan kedua peringatan secara resmi (formal cautioning) yaitu peringatan secara
tertulis dari polisi. Tingkatan ketiga untuk anak yang beresiko mengulangi tindakannya lagi
orang tua diserahi tanggung jawab untuk memulihkan anak dengan pengawasan di rumah.
Tingkatan keempat melalui lembaga juvenile diversion unit pada lembaga kepolisian yang
bertugas menangani proses diversi anak dari proses pidana formal ke non formal. Selain itu
memberikan nasihat kepada polisi dalam menangani anak pelaku tindak pidana. Lembaga ini
memfasilitasi wadah bagi anak yang menjalani proses diversi.
Menurut Wundersitz dalam literatur yang ditulisnya ada beberapa bentuk penanganan
oleh polisi yaitu (Folk, 2003; 18): Pertama, pada semua proses peradilan ada gabungan dari
penanganan informal dan formal. Proses ini adalah diskresi, dimana polisi dapat menggunakan
kebijakannya sendiri. Hal ini termasuk hanya memberikan peringatan atau teguran keras
kepada pelaku. Semua itu dilakukan walau tanpa di lengkapi petunjuk kerja oleh undangundang. Hanya undang-undang dan polisi mempunyai prosedur yang dapat diartikan untuk
memberi peringatan yang tepat, mereka cukup memerintahkan pelaku pergi dan tidak
mengulanginya lagi. Kedua, beberapa bentuk penanganan oleh polisi baik formal maupun
informal diteruskan sebagai diversi keluar dari sistim peradilan pidana. Aturan peradilan dapat
merujuk pelaku anak kembali kepada penanganan oleh polisi kembali. Pengadilan dapat
menginstrusikan bahwa peringatan formal di catat sebagai keputusan namun tidak perlu
diberikan tindakan lebih lanjut. Polisi juga melakukan proses interview terhadap anak untuk
menghasilkan pertimbangan yang kuat apakah anak akan diberi peringatan saja atau tindakan
lebih lanjut. Ketiga, Melalui proses peradilan, sejumlah gambaran cendrung menjadi proses
peringatan formal seperti: (a) harus ada cukup alasan yang dapat diterima untuk disebut
sebagai pelanggaran. Hal ini untuk keperluan bentuk peringatan apa yang diberikan. (b) Anak
tersebut harus mau mengakui kesalahannya atas bukti yang ada. Hal ini untuk keperluan
seluruh sistem peradilan. Anak harus mengakui tindakan pelanggaran tersebut dan harus
dibenarkan oleh polisi tentang peran keterlibatannya atau masih belum dipastikan. (c) Pelaku
anak harus mau mengikuti proses peringatan/pidana dan harus ada pengacara yang
mendampinginya dan hak lainnya. (d) Diversi diberikan dan ditujukan untuk mengalihkan
(removal) untuk pelanggaran yang sifatnya “accidental’ atau tidak disengaja. (e) Proses diawali
dengan kesempatan interview oleh polisi setempat oleh polisi yang senior dan mengikut
sertakan pelaku, orang tua/wali atau orang dewasa yang mengerti anak. Jika telah selesai
proses peringatan anak bebas untuk meninggalkan tempat acara.
Contoh lain pelaksanaan diversi di negara bagian Northamphinshire USA.
Pelaksanaan diversi untuk pertama kalinya di negara bagian Northamphinshire pada tahun
1981 yang dinamakan dengan Juvenile Liaison Bureaux (JLB). Petugas yang terlibat dalam
proses ini adalah polisi, pekerja dinas sosial, pekerja pemasyarakatan, guru dan pemuda sosial.
Tahun 1984 lembaga JLB lain berdiri dan tahun 1986 berdiri lagi dua lembaga yang menangani
masalah diversi di kalangan dewasa. (Blagg, H. et.al., 1986; 33)
Tahun 1992 karena pengaruh kekhawatiran masyarakat akan terjadinya kesalahan
polisi dalam menangani pengulangan pelaku tindak pidana anak sehingga kemudian pelaku
anak secara otomatis dirujuk ke JLB. Rekomendasi dari JLB ini menjadi pertimbangan polisi
untuk melakukan peringatan saja atau memprosesnya ke tahapan berikutnya (Loraine
Gelsthorpe and Nicola Padfield., 2000; 34.). Polisi sebagai pihak yang melakukan
101

Marlina: Penerapan Konsep Diversi terhadap Anak...

penangkapan diberi hak untuk memegang peranan secara tersendiri dalam menentukan
kebijakannya sendiri melakukan tindakan diversi.
Ada 2 kelompok pemegang kebijakan di Northamptenshire yaitu pertama petugas
tahanan yang membuat kebijakan pertama dan yang kedua pelaksana proses (process makers)
yang menerima kasus dari petugas tahanan untuk diteliti. Pelaksanaan proses didasarkan atas
dukungan administrasi masing-masing bagian di lembaga kepolisian yang mempunyai
tanggung jawab masing-masing.
Menurut Kay Pranis, dalam rangka memberikan pemahaman mengenai jalannya
proses restorative justice di area pilot projek ada beberapa langkah untuk membangun
keterlibatan masyarakat dalam mengambil inisiatif pelaksanaan restorative justice. Langkahlangkah tersebut seperti (Kay Pranis, 1998; 14): (1) Pelatihan dan informasi tentang restorative
justice dan model apa yang dapat diterapkan dalam masyarakat. (2) Memberikan pendidikan
secara mandiri kepada aparat pelaksana restorative justice tentang kondisi masyarakat tempat
pilot projek tersebut dilakukan. (3) Mengidentifikasi pemimpin-pemimpin yang
berkemampuan dan berpengaruh dalam masyarakat sekitarnya melalui informasi-informasi
atau catatan-catatan mengenai orang-orang tersebut. (4) Memahami peran kelompok
masyarakat yang memungkinkan untuk diajak bekerja sama. (5) Menjelaskan kepada
masyarakat tujuan yang ingin diambil dalam pelaksanaan restorative justice secara jelas dan
terbuka pada masyarakat. Penjelasan yang disampaikan berupa pentingnya restorative justice,
apa yang akan dilaksanakan dan keuntungan apa yang kita dapat dari restorative justice dan
lain-lain. (6) Merangkul pendukung pontensial dalam sistem peradilan pidana dan memberikan
pendidikan terhadap para pemimpinnya tentang restorative justice. (7) Kerja sama yang baik
dengan pemimpin masyarakat untuk menjelajahi keinginan yang ada dan berkembang dan
mengundang partisipasi masyarakat dalam setiap program yang dijalankan. (8) Setiap
perekrutan mediator diusahakan untuk melibatkan anggota masyarakat. (9) Tetap melakukan
pertukaran informasi dengan anggota masyarakat dan menampung pendapatnya terutama dari
komponen kelompok masyarakat yang tidak selamanya terlibat dalam pengambilan keputusan
saat pembuatan restorative justice. (10) Berusaha semaksimal mungkin melibatkan anggota
masyarakat dalam setiap proses terutama pihak yang diperlukan dalam proses seperti korban,
pelaku organisasi pemuda, organisasi mesjid atau oraganisasi lainnya. (11) Menyediakan
training dasar mengenai keadilan, restorative justice penyelesaian konflik dan pembangunan
lingkungan masyarakat kepada staf sistem peradilan pidana dan anggota masyarakat serta
membuat acuan sistem dan tata tertib pelaksanaannya. (12) Menjelaskan tanggung jawab
masing-masing pihak yang terlibat dalam pelaksanaan restorative justice kepada masyarakat.
Di Indonesia dalam sistem peradilan pidana ada empat komponen sub sistem yaitu
kepolisian, kejaksaan, kehakiman, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat sub
sistem ini harus bekerja sama secara terpadu.
Polisi sebagai gerbang pertama yang menangani anak yang berkonflik dengan hukum
menjadi penentu apakah seorang anak akan dilanjutkan ke proses peradilan atau tindakan
informal lainnya. Untuk tindak pidana yang serius seperti pembunuhan, pemerkosaan,
pencurian dengan kekerasan, polisi melanjutkan proses ke pengadilan atau melakukan
penahanan. Penahanan yang dilakukan terhadap anak tetap berpedoman kepada aturan hukum
mengenai hak anak yang tercantum dalam aturan yang ada mengenai hak anak yaitu konvensi
hak anak, Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, Hak
Asasi Manusia dan Beijing Rules. Anak dibedakan tempat penahannya dengan orang dewasa
pemenuhan fasilitas yang melindungi perkembangan anak, pendidikan, hobi, akses dengan
keluarga, perlindungan hak propesi anak, pelindungan dari penyiksaan dan perlakuan fisik dan
mental dan proses peradilan yang singkat dan cepat.

102

JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
Terhadap tindak pidana ringan seperti pencurian ringan dan penganiayaan ringan,
polisi berhak memberikan peringatan dan tindakan diversi. Sebagai perbandingan menurut
Vicky and Loraine Gelsthorpe bahwa terhadap anak yang melakukan tindak pidana diberikan
peringatan dan tindakan diversi bahkan tindakan tersebut diberikan sampai 4 atau 5 kali
tergantung keseriusan tindakan yang dilakukannya (Kemp and Gelsthorpe, 2003; 33).
Sebagai perbandingan di Amerika Serikat penangkapan yang dilakukan terhadap anak
paling lama 6 (enam) jam dilakukan oleh pihak kepolisian untuk dilakukan pemeriksaan
secepatnya ada 22% dari anak yang ditangkap setelah proses pemeriksaan dilakukan anak
langsung dibebaskan setelah diberikan peringatan lisan atau tertulis terhadap tindakan yang
dilakukannya. Ada 1% dari anak yang ditangkap di kirim ke lembaga kesejahteraan anak untuk
dilakukan pembinaan, 77% sisanya dimasukan ke pengadilan pidana untuk proses hukum
selanjutnya (Bala, 2002; 57.)
Penangkapan yang dilanjutkan dengan penahanan oleh pihak kepolisian apabila kasus
yang dilakukan oleh pelaku merupakan kasus yang berat seperti pembunuhan, pemerkosaan,
pencurian dengan pemberatan dan tindak pidana berat lainnya. Upaya penahanan yang
dilakukan oleh pihak kepolisian bertujuan agar pelaku tidak mendapatkan tindakan pembalasan
dari pihak korban atau masyarakat disamping itu juga penahanan biasanya dilakukan apabila
pelaku telah melakukan lebih dari satu kali tindak pidana (residivis).
Penahanan yang dilakukan oleh polisi harus tetap memperhatikan hak-hak anak dan
memberikan perlakuan yang berbeda seperti anak ditahan pada tempat yang khusus tahanan
anak, dilakukan pemeriksaan dalam suasana kekeluargaan dan tidak adanya pembentakan
ataupun pemukulan yang dilakukan terhadap pelaku. Saat penahanan diupayakan anak
didampingi oleh orang tuanya dan bapas.
Upaya penghindaran penahanan dilakukan untuk mengurangi akibat negatif yang
lebih besar lagi. Tindakan untuk tidak menahan dikarenakan menurut penilaian bahwa anak
tersebut baru pertama kali melakukan tindak pidana, anak masih dapat diperbaiki.
Tindakan untuk penghindaran penahanan tersebut jika dihubungkan dengan ketentuan
dalam Beijing Rules merupakan hak yang dimiliki oleh tersangka anak sebagaimana diatur
dalam butir 13 the Beijing Rules, dijelaskan “penahanan sebelum pengadilan hanya akan
digunakan sebagai pilihan langkah terakhir dan untuk jangka waktu yang sesingkazsztsingkatnya.
Berdasarkan ketentuan pasal 46 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
untuk kepentingan penuntutan jaksa melakukan penahanan selama 10 (sepuluh) hari, bila
dalam jangka waktu tersebut belum selesai, maka diperpanjang 15 (lima belas) hari. Jika dalam
waktu 25 (dua puluh lima) hari berkas perkara belum dilimpahkan ke pengadilan negeri, maka
tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Anak pelaku tindak pidana yang menurut penilaian keseriusan tindak pidananya
selanjutnya akan diproses oleh pihak penuntut umum untuk dilanjutkan ke proses persidangan.
Jaksa penuntut umum setelah mendapatkan laporan dari penyidik tentang kasusnya maka
penuntut umum membuat rencana penuntutan terhadap kasus tersebut. Penuntut umum dalam
melakukan penuntutan awalnya mengajukan rencana tuntutan terhadap anak untuk diserahkan
kepada pimpinan selanjutnya pimpinan akan memberikan tanggapan atas rencana penuntutan
yang diajukan. Keputusan tuntutan yang telah disetujui inizalah yang akan diajukan ke
lembaga pengadilan sebagai proses pelimpahan perkara dari penuntut umum ke pihak
pengadilan. Menurut Agung salah seorang hakim dari kejaksaan tinggi mengatakan bahwa
dalam memahami konsep diversi dan restorative justice dilakukan dari pimpinan atas sampai
kebawahan. Hal ini penting untuk menyamakan persepsi dan pandangan tentang pentingnya
perlindungan terhadap anak. Konsep ini lakukan dengan hati-hati agar dalam penerapannya
tidak menimbulkan kesalahan pandangan sesama aparat penegak hukum yang terlibat dalam
103

Marlina: Penerapan Konsep Diversi terhadap Anak...

peradilan pidana anak. Untuk itu dalam memahami dan melaksanakan kedua konsep tersebut
dilakukan dengan memberikan pemahaman dan pengertian secara kontinu agar tumbuh
pemahaman tentang perlindungan terhadap anak. Karena kurangnya pemahanan terhadap
kedua konsep tersebut sehingga dalam pelaksanaanya penuntut umum masih mempunyai
keinginan untuk melanjutkan proses penuntutan terhadap anak ke proses lebih lanjut yaitu
proses pengadilan. Berikut pendapat informan penuntut umum akan melakukan tuntutan
terhadap anak jika tersangka pelaku anak menurut penilaian melakukan tindak pidana yang
berat.
Di Amerika Serikat penuntutan terhadap anak memilih kebijakan penempatan
disposisi dalam kasus peradilan anak yang memperhatikan keinginan dari pelaku, korban dan
masyarakat. Dalam pembuatan kebijakan disposisi ini pengadilan menggunakan pendekatan
kesetaraan (balanced) yaitubertanya kepada pelaku apa yang menjadi keinginannya untuk
mengurangi kecendrungannya untuk mengulangi tindakan pidana kembali sebagai contoh
penuntut bertanya apa yang dapat dilakukannya untuk pelaku, apa yang menjadi keinginan
korban untuk merasakan perbaikan atas kerugiannya, apa yang menjadi kebutuhan
masyarakat/keinginan masyarakat untuk terjaga dari tindakan pelaku, selanjutya konsep ini
disebut dengan konsep restorative justice.
Berdasarkan undang-undang Repubik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 10 ayat 2 yang berbunyi “badan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Meliter, dan Peradilan Tata Usaha Negara”, dan Pasal 15 ayat 1
disebutkan “yang dimaksud dengan Pengadilan Khusus dalam ketentuan ini antara lain adalah
Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di Lingkungan Peradilan Umum, dan pengadilan
Pajak di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara”, dengan demikian Pengadilan Anak berada
dalam lingkungan Peradilan Umum.
Pengadilan anak mempunyai fungsi khusus, kekhususan itu secara normatif
dicerminkan hakim yang dapat menyidangkan perkara anak diangkat secara khusus artinya
tidak semua hakim dapat mengadili perkara anak, kemudian kekhususan juga terletak acara
persidangan (hukum acaranya), hakim tidak boleh pakai toga, jaksa tidak boleh memakai
pakaian dinas. Pemeriksaan anak di persidangan diwajibkan untuk didampingi oleh
pendamping, pendamping itu bukan pengacara melainkan lembaga dan proses persidangan
tertutup serta pemeriksaan dengan hakim tunggal.
Pengadilan Negeri Bandung pada tanggal 13 Agustus 2004 telah membuat ruang
khusus untuk persidangan perkara anak dan ruang tunggu khusus anak. Pembuatan ruang
khusus untuk anak tersebut didasari suatu kenyataan bahwa selama ini anak yang berkonflik
dengan hukum disidangkan di ruang sidang formal tempat persidangan umum dan ruang
tunggu selama menunggu proses persidangan disampurkan dengan orang dewasa. Ruang
tunggu ini berjeruji besi sebagai tempat tahanan dewasa.
Ide untuk membuat ruang khusus untuk persidangan anak merupakan hasil diskusi
yang diadakan oleh UNICEF pada tahun 2004 di Jakarta. Selanjutnya ketua Pengadilan Negeri
Bandung berkeinginan mewujudkan hasil diskusi yang diadakan dengan UNICEF tersebut
dalam bentuk nyata. Proses untuk mewujudkan ruang sidang anak berkat bantuan dari
pemerintah kota Bandung, UNICEF dan pemerhati masalah-masalah anak DR Ignatius Pohan,
Dra Rinni Sutiarny, Psi sebagai psikologi anak dan Ir Anton Yuliarto Sigit sebagai Desai
Interior dan Lembaga Perlindungan Anak Jawa Barat (LPA Jawa Barat).
Lembaga pengadilan selaku institusi negara penegak hukum yang bertugas menerima,
memeriksa dan memutus perkara. Pengadilan merupakan institusi ketiga (setelah kepolisian
dan kejaksaan) yang mengadili anak berkonflik dengan hukum. Untuk itu diperlukan
104

JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
kemampuan pemahaman dari hakim anak yang khusus menangani masalah anak. Jumlah 8
orang hakim anak yang diangkat berdasarkan keputusan ketua Mahkamah Agung RI di
Pengadilan Negeri Bandung berhasil meningkatkan kinerja pengadilan negeri Bandung.
Peningkatan ini terlihat dari terjadinya penurunan jumlah perkara anak, menurut statistik tahun
2002 terdapat 83 (delapan puluh tiga) perkara anak pada tahun 2003 menurun 52 (lima puluh
dua) perkara anak. Pada tahun 2004 terdapat 49 (empat puluh sembilan) perkara anak dan
tahun 2005 sampai bulai Mei terdapat 21 (dua puluh satu) perkara anak (Marni Emmy Mustafa,
2005)
PENUTUP
Pelaksanaan konsep diversi dilakukan dengan tujuan menghindarkan anak dari
implikasi negatif sistem peradilan pidana yang ada, menghindarkan anak akan masuk sistem
peradilan pidana anak dan menghilangkan label penjahat terhadap anak yang telah terlanjur
menjadi korban dari sistem dan perkembangan lingkungan pergaulan yang ada. Konsep diversi
dikembangkan hampir diseluruh negara, karena konsep diversi ini menunjukan adanya
keberhasilan dalam menyelamatkan dan memberikan perlindungan terhadap anak. Indonesia
telah memulai mengembangkan konsep diversi melalui pilot projek UNICEF di Bandung sejak
tahun 2005. Penerapan konsep diversi ini akan terus berlanjut dan mengalami perubahan
menuju kesempurnaan dalam mencapai tujuan dari lahirnya konsep diversi itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
C. Cunneen and R. White. 1995. Juvenile justice: An Australian erspective. Oxford, Oxford
University Press, hal. 247 yang dikutip dari buku Kenneht Folk. (Desember 2003).
Early Intervention: Diversion and Youth Conferencing, A national review of current
approach to diverting juvenile from the Criminal Justice System. Australia
Government Attorney-general’s Departement, Canberra, Commonwealth of Australia,
Desember 2003.
D. Challinger. 1985. Police Action and the prevention of juvenile de,m nvlinquency. In A.
Borowski and JM.Murray (eds.) Juvenile Delinquency in Australia, NSW: Methuen
Australia, hal. 290-302 yang dikutip dari Kenneht Folk.
Edward K. Morris dan Curtis J. Braukmann. 1987. Behavioral Approaches to Crime and
Delinquency: A Handbook of Application, Research, and Concepts, New York,
Plenum Press.
Jack E Bynum, William E. Thompson. 2002. Juvenile Delinquency a Sociological Approach.
Boston: Allyn and Bacon A Peason Education Company.
Kevin Haines dan Mark Drakeford. 1998. Young People and Youth Justice. Houndmills
Basingstoke Hampshire RG21 6XS and London: Macmillan Press Ltd.
Kenneht Folk. 2003. Early Intervention: Diversion and Youth Conferencing, A national review
of current approach to diverting juvenile from the criminal justice system. Australia:
Canberra. Commonwealth of Australia. Government Attorney-general’s Departement,
hal. 3.
Kay Pranis. 1998. Engaging The Community In Restorative Justice. Balance And Restorative
Justice. Minnesota. Florida
Morris and Gabrielle Maxwell. 2001. Restorative for Juveniles, Conferencing, Mediation and
Circles. New Zealand: edited by Allison Institute of Criminology, Victoria University
of Welington.
105

Marlina: Penerapan Konsep Diversi terhadap Anak...

Marni Emmy Mustafa. 2005. Prosedur Khusus Peduli Anak dan Upaya Diversi di Pengadilan
Negeri Bandung, Seminar Pedoman Diversi untuk Perlindungan bagi anakyang
Berhadapan dengan Hukum, Jakarta, 1 Juni 2005.
Nicholas M.C. Bala dan Rebecca Jaremko Bromwich Chapter 1, Introduction: An International
Perspective On Youth Justice dalam buku Nicholas M.C. Bala, et al. 2002. Juvenile
Justice System an International Comparison of Problem and Solutions. Toronto:
Eduacational Publishing, Inc.
Office of the High Commissioner for Human Rights. 1985. United Nations Standard Minimum
Rules for the Administration of Juvenile Justice ("The Beijing Rules"), G.A. res.
40/33, annex, 40 U.N. GAOR Supp. (No. 53) at 207, U.N. Doc. A/40/53.
Peter C. Kratcoski. 2004. Correctional Counseling and Treatment. USA: Waveland Press Inc.
Randall G. Shelden. 1997. Detention Diversion Advocacy: An Evaluation, Washington DC
U.S. Department of Justice.
United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice ("The
Beijing Rules"), G.A. res. 40/33, annex, 40 U.N. GAOR Supp. (No. 53) at 207, U.N.
Doc. A/40/53 (1985).
Walker. 1993. Training The System The Control of Discretion in Criminal Justice 1950-1990.
New York: Oxford University Press.

106

PENULIS NOMOR INI
Yudhi Setiawan, Peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN-RI, Kandidat Doktor
Ilmu Hukum Universitas Airlangga Surabaya.
Boedi Djatmiko Hadiatmodjo, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Pekalongan, Doktor Ilmu
Hukum Universitas Airlangga.
M. Husni, SH, M.Hum, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara (USU)
tahun 1986 dan memperoleh gelar Magister Humaniora di Program Pascasarjana USU tahun
1997, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU, Dosen Fakultas Hukum USU.
Hasim Purba, SH, M.Hum, memperoleh gelar Sarjana Hukum USU TAHUN 1991 dan
memperoleh gelar Magister Humaniora di Program Pascasarjana USU tahun 2001, sebagai
peserta Program Doktor Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana USU, Dosen Fakultas
Hukum USU.
Rabiatul Syariah, SH, M.Hum, memperoleh gelar Sarjana Hukum USU tahun 1985 dan
memperoleh gelar Magister Humaniora di Program Pascasarjana USU tahun 2005, Dosen
Fakultas Hukum USU.
Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum, memperoleh gelar Sarjana Hukum USU tahun 1994,
memperoleh gelar Magister Humaniora di Program Pascasarjana USU tahun 2001 dan
memperoleh gelar Doktor tahun 2007 di Program Pascasarjana USU, Dosen Fakultas Hukum
USU.
Mulhadi, SH, M.Hum, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Andalas tahun 1999 dan
memperoleh gelar Magister Humaniora di Program Pascasarjana USU tahun 2001, Dosen
Fakultas Hukum USU.
Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuty, MA memperoleh gular Sarjana Qadlah IAIN Sumatera
Utara tahun 1979, memperoleh gelar Magister Ilmu Agama Islam Institut Agama Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Program Pascasarjana tahun 1993 di Jakarta dan memperoleh gelar Doktor
tahun 2007 di Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah di Jakarta,
Dosen Fakultas Hukum USU.
Lukman Hakim Nainggolan, SH, memperoleh gelar Sarjana Hukum USU tahun 1979, Dosen
Fakultas Hukum USU.
Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sriwijaya
tahun 1998, memperoleh gelar Magister Humaniora di Program Pascasarjana USU Tahun 2001
dan memperoleh gelar Doktor di Sekolah Pascasarjana USU tahun 2006, Dosen Fakultas
Hukum USU.

107

Dr. Marlina, SH, M.Hum, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sriwijaya tahun 1998,
memperoleh gelar Magister Humaniora di Program Pascasarjana USU tahun 2001 dan
memperoleh gelar Doktor di Sekolah Pascasarjana USU tahun 2006, Dosen Fakultas Hukum
USU.

108