Isolasi Senyawa Flavonoida Dari Daun Tumbuhan Situlan (Macaranga dipterocarpifolia Merrill)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Situlan (Macaranga Dipterocarpifolia Merrill)

2.1.1 Sistematika Tumbuhan Situlan
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Class

: Dicotyledoneae

Ordo


: Euphorbiales

Famili

: Euphorbiaceae

Genus

: Macaranga

Spesies

: Macaranga dipterocarpifolia Merrill

Nama Lokal

: Situlan
(Herbarium Medanense,2017)

2.1.2 Morfologi dan Manfaat Tumbuhan Situlan

Tumbuhan Situlan (Macaranga dipterocarpifolia Merrill) merupakan pohon kecil
dengan tinggi sekitar 7 meter. Ukuran daun sekitar 4-10 cm dan bentuknya
melebar dan sedikit berbulu. Cabang pohonnya berupa cabang aksila dan
terkadang cukup rapat. Penyebaran tumbuhan ini antara lain China, Taiwan,
Filipina, dan Sulawesi (Whitmore,T.C,1995).

2.2 Senyawa Organik Bahan Alam
Pada hakekatnya kimia bahan alam nerupakan pengetahuan yang telah dikenal
sejak peradaban manusia tumbuh.

Universitas Sumatera Utara

Contoh yang dapat segera diketahui adalah pembuatan bahan makanan,
pewarnaan benda, obat-obatan atau stimulan, dan sebagainya (Sastrohamidjojo,
1996).
Sejak kira-kira pertengahan abad ke 18, telah dapat dipisahkan beberapa
senyawa organik dari mahluk hidup serta hasil produksinya. Seorang ahli kimia
Jerman, Karl Eilhelm Scheele (1742-1786) sangat terkenal dengan keahliannya
dalam bidang ini, beliau telah berhasil memisahkan beberapa senyawa sederhana.
Biogenesis dari produk alami, meskipun pada mulanya berkaitan dengan kimia

organik dan biokimia, menjadi berlainan karena mempunyai tujuan yang
berlainan. Kimia organik terutama mempelajari struktur, sifat-sifat kimia dan
fisika, serta cara sintesisnya, baik secara alami ataupun in vitro dari zat-zat kimia
tetapi cenderung untuk mengabaikan sifat-sifat khusus dari bahan alam, misalnya
tentang cara pembentukan dan peran biologisnya. Biokimia, berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan

yang

paling

banyak

diajukan

terutama

tentang

metabolisme primer, dan mengabaikan proses-proses sekunder misalnya tentang

pembentukan alkaloid, terpena dan lain-lain (Manitto, 1981).
Pengenalan dasar-dasar biosintesis merupakan perkembangan yang paling
nyata pada kimia bahan alam. Selama akhir abad ini sejumlah besar struktur baru
telah ditentukan. Pada mulanya kimiawan organik hanya tertuju pada
pengungkapan struktur bahan alam dan pengelompokannya sesuai dengan
asalnya, aktivitas farmakalogi atau struktur. Namun kemudian dengan adaya
informasi yang cukup maka mereka perlu bekerja lebih diarahkan yang sesuai
dengan biogenesis (Sastrohamidjojo, 1996).
Dengan meningkatnya jenis dan tipe senyawa yang ditemukan di dalam
berbagai bahan alam, berkembang juga sistem klasifikasi senyawa yang berasal
dari bahan alam, tetapi biasanya ada 4 jenis klasifikasi yang digunakan untuk
membahasnya (Nakanishi et al, 1974).

Universitas Sumatera Utara

1. Klasifikasi Berdasarkan Struktur Kimia
Klasifikasi ini adalah klasifikasi formal berdasarkan kerangka struktur molekul,
yaitu:
a. Senyawa lemak rantai terbuka atau alifatik, seperti asam-asam lemak,
gula-gula, dan hampir semua asam amino

b. Senyawa sikloalifatik atau alisiklik, seperti terpenoid, steroid, dan
beberapa alkaloid
c. Senyawa benzenoid atau aromatik, seperti fenol dan kuinon.
d. Senyawa heterosiklik, seperti alkaloid, flavonoid, dan basa-basa nukleat.
2. Klasifikasi Berdasarkan Aktivitas Fisiologi
Biasanya pengembangan bahan alam didahului dengan pengamatan dan
pengalaman empirik khasiat bahan alam tersebut untuk menyembuhkan penyakit
tertentu. Oleh karena itu, salah satu cara penyelidikan bahan obat dari tumbuhan
atau bahan alam lainnya adalah melalui ekstraksi dan penetapan khasiat
farmakologi ekstrak, diikuti dengan isolasi komponen murni.
Sebagai contoh, berbagai steroid dengan struktur yang berbeda, aktivitas
kardiotoniknya (kardenolida dan bufadienolida) ditunjukkan secara spesifik oleh
(a) ikatan cis cincin A/B, (b) adanya gugus gula pada C 3, dan (c) gugus lakton
(dengan 5 atau 6 atom karbon) terkonjugasi pada C17.
O
O

O

R= gugus gula

H
RO

OH

H

Kardenolida

Bufadienolida

3. Klasifikasi Berdasarkan Taksonomi
Klasifikasi ini didasarkan pada pengkajian morfologi komparatif atau taksonomi
tumbuhan. Di dalam hewan dan sebagian mikroorganisme metabolit akhir
biasanya diekskresikan ke luar tubuh, sedangkan di dalam tumbuhan, metabolit
tersebut disimpan di dalam tubuh tumbuhan.

Universitas Sumatera Utara

Walaupun beberapa metabolit selama ini diketahui spesifik pada tumbuhan

tertentu, tetapi sekarang telah diketahui tersebar di dalam berbagai tumbuhan,
misalnya alkaloid dan isoprenoid telah dapat diisolasi dari berbagai genus,
spesies, suku, atau ordo. Bahkan di dalam satu spesies terdapat sejumlah
komponen yang memiliki struktur dasar yang berkaitan. Sebagai contoh, opium
dari Papaver somniferum mengandung lebih dari 20 alkaloid seperti morfin,
kodein, tebain dan narkotin yang semuanya merupakan hasil biosintesis dari
prekursor 11-benzilisokuinolin dengan kopling oksidatif.
Pengetahuan tentang kandungan komponen tumbuhan berkembang dengan sangat
pesat karena berkembangnya metode ekstraksi, isolasi dan karakterisasinya. Hal
ini mendorong berkembangnya suatu bidang baru yang disebut kemotaksonomi
(chemotaxonomy) atau sistematik kimia (chemosystematic) yang mengarah ke
pembagian kandungan tumbuhan berdasarkan taksa tumbuhan. Dengan kata lain,
isi kandungan tumbuhan dianggap sebagai tanda bagi evolusi dan kalsifikasi
tumbuhan.
Me O
HO

N
Me


H
O

H

CH2
N

Me

HO

Morfin R=H
Kodein R=Me

OH
O Me

11-Benzilisokuinolin


4. Klasifikasi Berdasarkan Biogenesis
Biogenesis dan biosintesis memiliki arti yang sama dan sering kali digunakan
tanpa perbedaan. Namun, istilah biogenesis biasanya digunakan untuk reaksi
pembentukan yang masih dalam taraf hipotesis, sedangkan jika reaksi tersebut
telah dibuktikan secara eksperimen, digunakan istilah biosintesis.
Sebagian besar bahkan hampir semua, senyawa kandungan kimia bahan alam
adalah senyawa organik, dan sumber utama senyawa karbon atau senyawa organik
ini adalah glukosa yang dibentuk melalui fotosintesis di dalam tumbuhan
autotropik atau diperoleh dari organisme heterotrof.

Universitas Sumatera Utara

Berbagai teori tentang pembentukan senyawa metabolit primer dan
metabolit sekunder telah dikemukakan di dalam berbagai publikasi. Diawali
dengan teori aturan isoprena pada tahun 1930, yang menyatakan bahwa semua
terpenoid

dibentuk

dari


unit

isoprena

5-C,

dilanjutkan

dengan

teori

poliketometilena untuk senyawa fenolik, yang merupakan saran pertama bagi
biosintesis asetogenin (poliketida).
Komponen pembangun utama untuk atom-atom karbon dan nitrogen di
dalam semua senyawa bahan alam berasal dari 5 kelompok prekursor, yaitu:
→ unit 2C (MeCO-) → poliketida (asetogenin)

a. asetil ko-A

malonil ko-A

b. asam sikimat → unit 6C-3C (6C-1C atau 6C-2C) → senyawa fenolik
c. asam mevalonat → unit prenil → isoprenoid
( CH2=C-CH2-CH2-)
Me
d. unit asam amino seperti fenilanalina, tirosina, ornitina, lisina, dan triptofan
→ alkaloid
e. 5-5’-deoksiadenilmetionina → unit 1C

(Wiryowidagdo,

2008).

2.3 Metabolit Sekunder
Fisik tanaman sebagian besar terdiri atas air. Kandungan air mencapai lebih dari
90% pada daun, bunga, buah (buah yang berair banyak), dan bagian tanaman yang
berada dibawah tanah. Pada jaringan yang miskin organ penyimpanan, kandungan
airnya menurun hingga sekitar 50%,yaitu pada kulit dan kayu. Yang mengandung
air paling sedikit ± 10%.
Senyawa kimia bermolekul besar merupakan bagian utama dalam organ
tanaman kering. Senyawa bermolekul besar ini berfungsi sebagai pembentuk
struktur tanaman (selulosa, kitin, lignin), sebagai cadangan makanan seperti

Universitas Sumatera Utara

(amilum, protein, lipoprotein) atau untuk memenuhi fungsi metabolisme penting
lainnya (protein dan enzim). Senyawa kimia dari tanaman yang bebeda-beda
dapat disaring dengan pelarut umum (air, etanol, eter, benzena, eter minyak bumi)
(Sirait,2007).
Proses-proses kimia jenis lain terjadi hanya pada spesies tertentu sehingga
memberikan prosuk yang berlainan, sesuai dengan spesiesnya. Reaksi yang
demikian nampaknya tidak merupakan proses yang terpenting bagi eksistensi dari
suatu organisme, karena itu disebut proses metabolisme sekunder, produk-produk
metabolisme sekunder, serupa dengan yang semula disebut sebagai produk alami
oleh para ahli kimia organik, misalnya senyawa-senyawa terpena, alkaloid,
pigmen. Metabolit sekunder, meskipun tidak sangat penting bagi eksistensi suatu
individu, sering berperan pada kelangsungan hidup suatu spesies, dalam
perjuangan menghadapi spesies-spesies lain. Misalnya: zat kimia untuk
pertahanan, penarik seks, dan feromon. Beberapa penulis percaya, bahwa mereka
adalah produk detoksikasi dari timbunan metabolit yang beracun, dan tak dapat
dibuang oleh organisme dengan cara lain (Manitto,1981).
Pengelompokkan senyawa kimia tananam berdasarkan sifat khas yang
dimiliknya (antara lain warna, rasa, bau, pH, kelarutan), merupakan hal penting
sehingga sampai sekarang masih banyak dipakai. Berikut contoh pengelompokkan
senyawa kimia seperti tersebut diatas.
1. Minyak Atsiri. Baunya khas dan dapat dipisahkan dari senyawa kimia tanaman
lainnya, karena sukar larut dalam air dan dapat menguap bersama uap air.
2. Alkaloid. Senyawa yang bersifat basa dapat dipisahkan dari yang netral dan
asam. Pertemuan dua sifat basa dan kerja farmakologi, pada umumnya dimiliki
oleh senyawa kimia yang mengandung N.
Penyebab sifat basa senyawa kimia tanaman yang sangat erat kaitannya dengan
kerja farmakologi pada tubuh binatang dan manusia, belum diketahui jelas.

Universitas Sumatera Utara

3. Zat Pahit. Berpedoman pada rasa pahit adalah suatu metode yang mudah untuk
memisahkan senyawa kimia tanaman, perlu waktu yang cukup sehingga seluruh
zat pahit dalam sari menjadi zat yang dapat dikristalkan. Tidak jarang zat pahit
dalam sari menjadi zat yang bersamaan, kerja farmakologisnya dikenal mencolok.
Contoh yang paling terkenal adalah glikosida yang bekerja pada jantung. Cara
untuk mengisolasi glikosida jantung ini seperti pada zat pahit, jadi tidak dilakukan
pengujian farmakologisnya terhadap jantung.
4. Zat warna. Jumlah zat warna dari tanaman diperkirakan ± 2000 jenis. Pigmen
tanaman mempunyai struktur kimia yang berlainan, begitu juga sifat fisika,
kelarutan, warna, fuoresensi, dan sebagainya.
5. Tannin (Zat Samak). Tanin ditandai oleh sifatnya yang dapat menciutkan dan
mengendapkan protein dari larutan dengan membentuk senyawa yang tidak larut.
6. Glikosida. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sari tanaman pada umumnya
mengandung senyawa bersifat alkohol atau fenol yang cukup larut baik dalam air,
tetapi gugus hidroksi dari alkohol atau fenol tidak bebas, kebanyakan terikat pada
satu atau lebih gula. Karena itu senyawa ini dimasukkan kedalam golongan
“glikosida”.
7. Resin. Kadang-kadang dipakai untuk campuran senyawa yang tidak dapat
diidentifikasi, tidak dapat dikristalisasi, yang tertinggal hanya massa yang lengket
ketika bahan penyari diuapkan. Resin yang sebenarnya adalah hasil ekskresi
tanaman, yang secara kimia merupakan campuran asam organik, ester dan alkohol
yang amorf atau sukar dikristalkan. (Sirait,2007).

Universitas Sumatera Utara

2.3.1 Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel merupakan masalah yang sangat penting dalam analisis
kimia sebab untuk mengetahui kadar atau konsentrasi suatu senyawa tertentu
dalam sampel, hanya dilakukan terhadap jumlah kecil sampel. Oleh karena itu,
cara pengambilan sampel yang salah meskipun metode analisisnya tepat dan teliti,
hasilnya tidak akan memberikan petunjuk yang benar mengenai sifat yang akan
diselidiki.
Aturan umum yang pasti mengenai cara pengambilan sampel dan berapa
besarnya sampel yang harus diambil tidak dapat dirumuskan secara umum sebab
cara pengambilan sampel sangat bergantung pada sifat dan jumlah bahan yang
dianalisis. Cara pengambilan sampel padat akan berbeda dengan cara
pengambilan zat cair dan akan berbeda pula dengan zat gas. Namun, pada
prinsipnya sampel untuk dianalisa harus bersifat representatif, artinya sampel
yang akan dianalisis benar-benar mewakili populasinya (Rohman, 2009).

2.4 Senyawa Flavonoida
Adapun struktur flavonoida adalah struktur yang mempunyai dua cincin aromatik
yang dihubungkan dengan tiga karbom yang membentuk suatu cincin yang
terdapat gugus eter (C-O-C) dan satu karbonil (C=O) yang dinotasikan cincin C.
Kedua cincin aromatik ini dinotasikan cincin A dan B. Pada cincin A dan B ada
dijumpai atau terdapat substituen hidroksil (-OH) atau metoksi, juga gugus gula
yang bentuk C-glikosida atau O-glikosida.
Sistem penomoran untuk turunan senyawa flavonoid diberikan di bawah :

(Robinson, 1995)

Universitas Sumatera Utara

2.4.1 Kegunaan Senyawa Flavonoida

Tidak ada benda yang begitu menyolok seperti flavonoida yang memberikan
konstribusi keindahan dan kesemarakan pada bunga dan buah-buahan di alam.
Flavin memberikan warna kuning atau jingga, antosianin memberikan warna
merah,ungu atau biru, yaitu semua warna yang terdapat pada pelangi kecuali
warna hijau. Secara biologis, flavonoid memainkan peranan penting dalam kaitan
penyerbukan pada tanaman oleh serangga. Sejumlah flavonoida mempunyai rasa
pahit hingga dapat bersifat menolak sejenis ulat tertentu (Sastrohamidjojo, 1996).
Senyawa flavonoida sangat bermanfaat dalam makanan karena berupa
senyawa fenolik, senyawa ini yang bersifat antioksidan kuat. Banyak kondisi
penyakit yang diketahui bertambah parah oleh adanya radikal bebas seperti
superoksida dan hidroksil, dan flavonoida memiliki kemampuan untuk
menghilangkan dan secaara efektif menyapu spesies pengoksidasi yang merusak
itu. Oleh karena itu, makanan yang kaya akan flavonoida dianggap penting untuk
mengobati penyakit (Heinrich et al, 2009).
Dalam dosis kecil, flavon bekerja sebagai stimulan pada jantung,
hesperidin mempengaruhi pembuluh darah kapiler. Flavon terhidroksilasi bekerja
sebagai diuretik dan antioksidan pada lemak (Sirait, 2007). Manfaat lain senyawa
flavonoida adalah melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C,
antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik (Muhammad,
2011).

Universitas Sumatera Utara

2.4.2 Biosintesis Flavonoida
Senyawa flavonoida diturunkan dari unit C6 – C3 (fenil propana) yang bersumber
dari asam sikimat (via fenilalanin) dan unit C 6 yang diturunkan dari jalur
poliketida. Fragmen poliketida ini disusun dari tiga molekul malonil-KoA yang
bergabung dengan unit C6 - C3 (sebagai KoA tioester) untuk membentuk unit awal
triketida. Oleh karena itu, flavonoida yang berasal dari biosintesis gabungan
terdiri atas unit-unit yang diturunkan dari asam sikimat dan jalur poliketida
(Heinrich et al, 2009).
Semua varian flavonoida saling berkaitan karena alur biosintesis yang
sama yang melalui alur sikimat dan alur asetat-malonat. Flavonoida yang pertama
kali terbentuk pada biosintesis adalah khalkon dan semua bentuk diturunkan
darinya melalui berbagai alur. Modifikasi flavonoida lebih lanjut mungkin terjadi
pada berbagai tahap dan menghasilkan: penambahan atau pengurangan
hidroksilasi, metilasi gugus hidroksil atau inti flavonoida, metilenasi gugus ortohidroksil, dimerisasi (pembentukan biflavonoida), dan glikolisasi gugus hidroksil
(pembentukan flavonoida O-glikosida) atau inti flavonoida (pembentukan
flavonoida C-glikosida).
Skema biosintesis dari turunan asam sikimat:
Asam sikimat → asam prefenat → asam p-hidroksifenil piruvat → asam phidroksifenillaktat → asam p-hidroksisinamat → flavanon. Hidroksilasi pada
cincin A dan B terjadi setelah pembentukan cincin sempurna (Sirait, 2007).
Beberapa segi metabolisme yang paling menarik ialah pengendaliannya
oleh pengatur tumbuh seperti etilena, tanggapannya terhadap infeksi oleh gugus
dan kaitannya dengan metabolisme asam nukleat. Beberapa pengganti flavonoida
terjadi kecuali isoflavonoida pengganti ini sangat lambat.
Jalur biosintesis hubungan antara jenis monomer flavonoida dari alur
asetat-malonat dan alur sikimat dapat dilihat pada gambar berikut:

Universitas Sumatera Utara

OH

Alur
Sikimat

Alur
asetat-malonat
Sinamil
alkohol

HOOC
OH

OH
HO

LiIGNIN

HO

OH

O

H

OH
OH O
(-)-Flavanon

O
Khalkon

HO

OH

OH O
Dihidrokhalkon
OH
HO

O

O
CH

OH
OH

O
Auron
HO

O

OH

HO

O

O

Flavon
O

OH

OH

Isoflavon

O

OH

Pterokarpan

OH
HO

O

H
HO

O

OH
OH

O

OH

(+) -Dihidroflavonol

OH
O

O

OH

Rotenoid

(OH)

HO

O

H

OH

H

OH

OH
HO

HO

O

O

OH
OH
(+) -Katekin
(OH)

O

OH

OH
OH

HO

OH

OH
O

Flavonol

Antosianidin

H
OH

OH
(-)-Epikatin

Gambar 2.1. Biosintesa hubungan antara jenis monomer flavonoida dari alur
asetat-malonat dan alur sikimat (Markham, 1988)

Universitas Sumatera Utara

2.4.3 Klasifikasi Senyawa Flavonoida
Dalam tumbuhan, flavonoida terdapat dalam berbagai bentuk struktur. Keragaman
struktur flavonoida ini disebabkan karena perbedaan tahap modifikasi lanjutan
dari struktur dasar flavonoida, antara lain:
1. Flavonoid O-glikosida.
Flavonoida biasanya terdapat sebagai flavonoida O-glikosida, pada
senyawa tersebut satu gugus hidroksi flavonoida (atau lebih) terikat pada
satu gula (atau lebih) terikat pada satu gula (atau lebih) dengan ikatan
hemiasetal yang tak tahan asam. Pengaruh glikosilasi meyebabkan
flavonoida menjadi kurang reaktif dan lebih mudah larut dalam air
(cairan). Sifat terakhir ini memungkinkan penyimpanan flavonoida
didalam vakuola sel (disinilah biaanya flavonoida berada). Walaupum
gugus hidroksil pada setiap posisi dalam inti flavonoida dapat
diglikolisasi, kenyataannya hidroksil pada tempat tertentu mempunyai
peluang lebih besar untuk terglikolisasi ketimbang tempat-tempat lain.
Sudah diakui bahwa dalam tumbuhan O-glikosilasi (dan metilasi) terjadi
sebagai salah satu tahap akhir pada biosintesis dan katalisasi oleh enzim
yang sangat khas. Ada kalanya glikosida mengalami modifikasi lebih
lanjut, yaitu asilasi. Glikosida terasilasi mempunyai satu gugus hidroksil
gula yang berikatan dengan asam seperti asam asetat atau asam ferulat.
Glukosa merupakan gula yang paling umum terlibat, walaupun galaktosa,
ramnosa, xilosa, dan arabinosa sering juga terdapat. Gula lain yang
ditemukan adalah alosa, manosa, fruktosa, apiosa dan asam glukuronat
serta galakturonat.
2. Flavonoid C-glikosida.
Gula dapat juga terikat pada atom karbon flavonoid dan dalam hal ini gula
tersebut terikat langsung pada inti benzena dengan suatu ikatan karbonkarbon. Glikosida yang demikian disebut C-glikosida. Sekarang gula yang
terikat pada atom C hanya ditemukan pada atom C nomor 6 dan 8 dalam

Universitas Sumatera Utara

inti flavonoid. Jenis gula yang terlibat ternyata jauh lebih sedikit
ketimbang jenis gula pada O-glikosida. Jenis aglikon flavonoid yang
terlibat pun sangat terbatas. Jadi, walau pun isoflavon, flavanon, dan
flavonol kadang-kadang terdapat dalam bentuk C-glikosida, hanya flavon
C-glikosida yang paling lazim ditemukan.
3. Flavonoid Sulfat
Gabungan flavonoid lain yang mudah larut dalam air yang mungkin
ditemukan hanya flavonoid sulfat. Senyawa ini mengandung satu ion
sulfat atau lebih, yang terikat pada hidroksil fenol atau gula.
4. Biflavonoid
Biflavonod adalah flavonoid dimer, walau pun prosianidin dimer (satuan
dasarnya katekin) biasanya tidak dimasukkan ke dalam golongan ini.
Flavonoid yang biasanya terlibat adalah flavon dan flavanon yang secara
biosintesis mempunyai pola oksigenasi yang sederhana 5,7,4’ (atau
kadang-kadang 5,7,3’,4’) dan ikatan antar-flavonoid berupa ikatan karbonkarbon atau kadang-kadang ikatan eter. Biflavonoid jarang ditemukan
sebagai glikosida, dan penyebarannya terbatas, terdapat terutama pada
gimnospermae.
5. Aglikon flavonoid yang aktif-optik
Aglikon flavonoid mempunyai atom karbon asimetrik dan dengan
demikian

menunjukkan

keaktifan

optik

(yaitu

memutar

cahaya

terpolarisasi-datar). Yang termasuk dalam golongan flavonid ini ialah
flavanon, dihidroflavonol, katekin, pterokarpan, rotenoid, dan beberapa
biflavonoid (Markham, 1988).
Menurut Robinson (1995), flavonoid dapat dikelompokkan berdasarkan tahanan
oksidasi dan keragaman lain pada rantai C3 :

Universitas Sumatera Utara

1. Flavon
Flavon bersamaan dengan flavonol merupakan senyawa yang paling
tersebar luas dari semua pigmen tumbuhan kuning, meskipun warna
kuning tumbuhan jagung biasanya disebabkan oleh karotenoid. Senyawa
ini biasanya larut dalam air panas dan alkohol, meskipun beberapa
flavonoid yang termetilasi tidak larut dalam air. Flavon berbeda dengan
flavonol dimana pada flavon tidak terdapat gugus 3-hidroksi. Flavon
dianggap sebagai induk dalam nomenklatur kelompok senyawa flavonoid.

A

O
C

B

O

2. Flavonol
Flavonol paling sering terdapat sebagai glikosida, biasanya 3-glikosida.
Larutan flavonol dalam suasana basa (tetapi flavon tidak) dioksidasi oleh
udara tetapi tidak begitu cepat sehingga pengunaan basa pada
pengerjaannya masih dapat dilakukan

A

O
C

B
OH

O

3. Isoflavon
Isoflavon merupakan senyawa yang tidak begitu mencolok, tetapi senyawa
ini penting sebagai fitoaleksin (senyawa pelindung) dalam tumbuhan
untuk pertahanan terhadap penyakit.

A

O
C
O

B

Universitas Sumatera Utara

4. Flavanon
Senyawa ini terdapat hanya sedikit sekali jika dibandingkan dengan
flavonoid lain. Tidak berwarna atau hanya kuning sedikit. Flavanon
(dihidroflavon) sering terjadi sebagai aglikon, tetapi beberapa glikosidanya
dikenal misalnya hesperidin dan naringan dari jaringan kulit buah jeruk.

A

O
C

B

O

5. Flavanonol
Flavanonol (atau dihidroflavonol) barangkali merupakan flavonoid yang
paling kurang dikenal, dan tidak dapat diketahui apakah senyawa ini
terdapat sebagai glikosida. Senyawa ini stabil dalam asam klorida panas
tetapi terurai oleh udara.

A

O
C

B

OH
O

6. Antosianin
Antosianin adalah pigmen daun bunga merah sampai biru yang biasa,
banyaknya sampai 30% bobot kering dalam beberapa bunga. Antosianin
terdapat juga dalam bagian lain tumbuhan tinggi kecuali fungus.
Antosianin selalu terdapat dalam bentuk glikosida.

A

O
C

B

OH

Universitas Sumatera Utara

7. Katekin
Katekin dan proantosianidin adalah dua golongan senyawa yang
mempunyai banyak kesamaan. Semuanya senyawa tanpa warna, terdapat
pada seluruh dunia tumbuhan tetapi terutama dalam tumbuhan berkayu.

OH
OH
HO
A

B

O
C

OH
OH

8. Leukoantosianidin
Merupakan monomer flavan 3,4-diol, leukoantosianidin jarang terdapat
sebagai glikosida, namun beberapa bentuk glikosida yang dikenal adalah
apiferol, dan peltoginol.

OH
OH
HO
A
HO

B

O
C

OH
OH

9. Auron
Berupa pigmen kuning emas terdapat dalam bunga tertentu dan bryofita.
Dalam larutan senyawa ini menjadi merah ros.

O
A

CH

B

O

Universitas Sumatera Utara

10. Kalkon
Pada kenyataan, pengubahan kalkon menjadi flavanon terjadi dengan
mudah dalam larutan asam dan reaksi kebalikannya dalam basa. Reaksi ini
mudah diamati karena kalkon warnanya jauh lebih kuat daripada warna
flavanon, terutama dalam larutan basa warnya merah jingga. Oleh karena
itu, hidrolisis glikosida kalkon dalam suasana asam menghasilkan aglikon
flavanon sebagai senyawa jadi, bukan kalkon (Robinson, 1995).

B

A
O

2.4.4 Sifat Kelarutan Senyawa Flavonoida
Senyawa flavonoida merupakan senyawa polar karena mempunyai sejumlah
gugus hidroksil atau gula sehingga dapat larut dalam pelarut polar seperti etanol
(EtOH), metanol (MeOH), butanol (BuOH), aseton, air dan lain-lain. Adanya gula
yang terikat pada flavonoida cenderung menyebabkan flavonoida lebih mudah
larut dalam air dan dengan demikian campuran pelarut diatas dengan air
merupakan pelarut yang lebih baik untuk glikosida. Sebaliknya, aglikon yang
kurang polar seperti isoflavon, flavanon dan flavon cenderung lebih mudah larut
dalam pelarut seperti eter dan kloroform (Markham,1988).

2.5 Skrining Fitokimia
Banyak reagen yang dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan dari
flavonoid, meskipun beberapa juga akan bereaksi positif dengan senyawa
polifenol. Reagen yang biasa digunakan adalah :
1. Shinoda Test, yaitu dengan menambahkan serbuk magnesium pada ekstrak
sampel dan beberapa tetes HCl pekat, warna orange, pink, merah sampai
ungu akan terjadi pada senyawa flavon, flavonol, turunan 2,3-dihidro dan

Universitas Sumatera Utara

xanton. Penggunaan zinc sebagai pengganti magnesium dapat dilakukan,
dimana hanya flavanonol yang memberikan perubahan warna merah pekat
sampai magenta, flavanon dan flavonol akan memberi warna merah muda
yang lemah sampai magenta.
2. H2SO4(p), flavon dan flavonol akan memberikan perubahan larutan kuning
pekat. Kalkon dan auron menghasilkan larutan berwarna merah atau merah
kebiru-biruan. Flavanon memberikan warna orange sampai merah
(Cannell, 1998).
3. NaOH 10% , menghasilkan larutan biru violet
4. FeCl3 5% telah digunakan secara luas untuk mengidentifikasi senyawa
fenol, tetapi tidak dapat digunakan untuk membedakan macam-macam
golongan flavonoid. Pereaksi ini memberi warna kehijauan, warna biru,
dan warna hitam-biru (Robinson, 1995).

2.6 Teknik Pemisahan
Teknik pemisahan memiliki tujuan untuk memisahkan komponen yang akan
ditentukan berada dalam keadaan murni, tidak tercampur dengan komponenkomponen lainnya. Ada 2 jenis teknik pemisahan:
1. Pemisahan kimia adalah suatu teknik pemisahan yang berdasarkan adanya
perbedaan yang besar dari sifat-sifat fisika komponen dalam campuran
yang akan dipisahkan.
2. Pemisahan fisika adalah suatu teknik pemisahan yang didasarkan pada
perbedaan-perbedaan kecil dari sifat-sifat fisik antara senyawa-senyawa
yang termasuk dalam satu golongan (Muldja, 1995).

Universitas Sumatera Utara

2.6.1 Ekstraksi
Sampel yang berasal dari tanaman setelah diidentifikasi, kemudian digolongkan
menjadi spesies dan famili, sampel kemudian dikumpulkan dari bagian arialnya
(daun, batang, kulit kayu pada batang, kulit batang, dan akar). Sampel ini
kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan untuk menghindari
penguraian komponen oleh udara atau mikroba.
Jika telah dikeringkan, biomassa kemudian digiling menjadi partikelpartikel kecil menggunakan blender atau penggilingan. Proses penggilingan ini
penting karena ektraksi efektif pada partikel kecil, dikarenakan memiliki luas
permukaan yang lebih besar.
Pemilihan pelarut ekstraksi sangat penting. Jika tanaman diteliti dari sudut
pandang etnobotani, ektraksi harus mengikuti pemakaiannya secara tradisional.
Kegagalan mengekstraksi biomassa dapat menyebabkan kehilangan akses untuk
mendapatkan zat aktif.
Terdapat sejumlah metode ekstraksi, yang paling sederhana adalah
ekstraksi dingin (dalam labu besar berisi biomassa), dengan cara ini bahan kering
hasil gilingan diekstraksi pada suhu kamar secara berturut-turut dengan pelarut
yang kepolarannya makin tinggi. Keuntungan utama cara ini adalah merupakan
metode ekstraksi yang mudah karena ekstrak tidak dipanaskan sehingga
kemungkinan kecil bahan alam terurai. Penggunaan pelarut dengan peningkatan
kepolaran secara berurutan memungkinkan pemisahan bahan alam berdasarkan
kelarutannya (dan polaritasnya) dalam ektraksi. Hal ini sangat mempermudah
proses isolasi. Ekstraksi dingin memungkinkan banyak senyawa terekstraksi,
meskipun beberapa senyawa memiliki kelarutan terbatas dalam pelarut ekstraksi
pada suhu kamar (Heinrich et al, 2009).
Beberapa metode ekstraksi dapat digunakan untuk mengekstrak suatu
konstituen dalam suatu bahan tanaman, yang diantaranya adalah maserasi,

Universitas Sumatera Utara

perkolasi, ekstraksi sokletasi, ekstraksi dengan refluks, dan didestilasi uap dalam
ekstraksi padat-cair, bahan tanaman ditempatkan dalam sebuah wadah, dan
dibiarkan terjadi kontak dengan pelarut. Proses yang terjadi dari seluruh proses
dinamis tersebut dapat diuraikan menjadi beberapa tahap, yaitu tahap pertama
pelarut akan berdifusi ke dalam sel, kemudian pelarut akan melarutkan metabolit,
dan pada akhir pelarut akan berdifusi keluar dari sel bersama dengan metabolit
(Sarker, 2006).
Ekstraksi dianggap selesai bila tetesan terakhir memberikan reaksi negatif
terhadap senyawa yang diekstraksi.Untuk mendapatkan larutan ekstrak pekat,
biasanya pelarut ekstrak diuapkan dengan menggunakan alat rotari evaporator
(Harborne, 1996).

2.6.2

Partisi

Metode pemisahan yang mungkin paling sederhana adalah partisi, yang banyak
digunakan sebagai tahap awal pemurnian ekstrak. Partisi menggunakan dua
pelarut tak bercampur yang ditambahkan kedalam ekstrak tersebut, hal ini dapat
dilakukan secara terus menerus dengan menggunakan dua pelarut yang tak
bercampur yang kepolarannya meningkat. Partisi biasanya dilakukan melalui dua
tahap:
1. Air/petroleum eter ringan (heksana) untuk menghasilkan fraksi nonpolar di
lapisan organik
2. Air/diklorometan atau air/kloroform atau air/etil asetat untuk membuat
fraksi agak polar di lapisan organik. Ini merupakan metode pemisahan
yang mudah dan mengandalkan kelarutan bahan alam dan bukan interaksi
fisik dengan medium lain (Heinrich et al, 2009).

Universitas Sumatera Utara

2.6.3 Kromatografi
Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan yang pertama kali dipakai untuk
memisahkan zat-zat warna tanaman, pemisahan dengan teknik ini dijalankan
dengan mengadakan manipulasi atas dasar perbedaan sifat-sifat fisik dari zat-zat
yang menyusun campuran (Adnan, 1997).
Saat ini kromatografi merupakan teknik pemisahan yang paling umum
digunakan dan sering digunakan dalam bidang kima analisis dan dimanfaatkan
untuk analisis, baik secara kulitatif dan kuantitatif bahkan analisis preparatif.
Teknik kromatografi telah berkembang dan digunakan untuk memisahkan dan
mengkuantifikasi komponen-komponen yang kompleks, baik organik maupun
anorganik (Sudjadi, 1986).
Proses pemisahan analit-analit dalam sampel terdistribusi antara dua fase,
yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam dapat berupa bahan padat dalam bentuk
molekul kecil. Fase gerak dapat berupa gas atau cairan. Apabila fase geraknya
adalah gas maka proses ini dikenal sebagai kromatografi gas. Apabila fase gerak
yang digunakan adalah cairan, maka proses ini digunakan dalam kromatografi
kertas dan kromatografi lapis tipis.
Pemisahan kromatografi planar (kromatografi lapis tipis dan kromatografi
kertas) pada umumnya dihentikan sebelum semua fase gerak melewati seluruh
permukaan fase diam. Solut pada kedua kromatografi ini dicirikan dengan faktor
retardasi atau jarak migrasi solut terhadap jarak ujung fase geraknya. Faktor
retardasi solut (Rf) didefenisikan sebagai:

f=

arak yang ditempuh solut
arak yang ditempuh fase gerak

Universitas Sumatera Utara

Nilai maksimum Rf adalah 1 dan ini dicapai ketika solut mempunyai
perbandingan distribusi (D) dan faktor retensi sama dengan 0 yang berarti solut
bermigrasi dengan kecepatan yang sama dengan fase gerak.
Nilai minimum Rf adalah 0 dan ini teramati jika solut tertahan pada posisi
titik awal di permukaan fase diam (Rohman, 2009).

Proses Sorpsi
Sorpsi merupakan proses pemindahan solut dari fase gerak ke fase diam,
sementara itu proses sebaliknya (pemindahan solut dari fase diam ke fase gerak)
disebut dengan desorpsi. Kedua proses ini (sorpsi dan desorpsi) terjadi secara
terus menerus selama pemisahan kromatografi karenanya sistem kromatografi
berada dalam keadaan kesetimbangan dinamis. Solut akan terdistribusi diantara
dua fase yang bersesuaian dengan perbandingan distribusinya (D) untuk menjaga
keadaan kesetimbangan ini. Ada 4 jenis mekanisme sorpsi dasar dan umumnya 2
atau lebih mekanisme ini terlibat dalam satu jenis kromatografi. Keempat jenis
tersebut adalah adsorpsi, partisi, pertukaran ion, dan eksklusi ukuran.

Adsorben
Silika gel merupakan jenis adsorben (fase diam) yang penggunaannya paling luas.
Permukaan silika gel terdiri atas gugus Si-O-Si dan gugus silanol (Si-OH). Gugus
silanol bersifat sedikit asam dan polar karenanya gugus ini mampu membentuk
ikatan hidrogen dengan solut-solut yang agak polar sampai sangat polar.
Adanya air dari atmosfer yang diserap oleh permukaan silika gel mampu
mendeaktifkan permukaan silika gel karena air akan menutup sisi aktif silika gel.
Hal seperti ini dapat diatasi dengan memanaskan pada suhu 105 0C, meskipun
demikian reprodusibilitasnya sulit dicapai kecuali jika suhu dan kelembapan
benar-benar dijaga secara hati-hati. Semakin polar solut maka akan semakin
tertahan kuat ke dalam adsorben silika gel ini (Sudjadi, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.6.3.1 Kromatografi Lapis Tipis
Teknik kromatografi lapis tipis (KLT) sangat bermanfaat untuk analisis obat dan
bahan lain dalam laboratorium karena hanya memerlukan peralatan sederhana,
waktu cukup singkat (15-60 menit), dan jumlah zat yang diperiksa cukup kecil
(±0,01 g senyawa murni atau 0,1 g simplisia). Selain itu, KLT tidak memerlukan
ruang yang besar dan teknik pengerjaannya juga sederhana. Plat KLT yang biasa
digunakan adalah plat dengan ukuran pori silika 60 Å dan ketebalan lapisan 25
µm dalam penyangga poliester atau aluminium, beberapa dengan menggunakan
atau tanpa menggunakan indikator fluoresensi (Cseke et al, 2006).
Penjerap yang sering digunakan dalam kromatografi lapis adalah silika
dan serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi yang utama pada KLT adalah
partisi dan adsorbsi. Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembangan
bergerak sepanjang fase diam akibat adanya pengaruh kapiler pada pengembangan
secara menaik (ascending) ataupun pengaruh gravitasi pada pengembangan secara
menurun (descending) (Sudjadi, 2007).
Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh
hanya jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil

dan sesempit

mungkin. Penotolan sampel dapat dilakukan sebagai suatu bercak, pita atau dalam
bentuk zig zag. Sampel dengan bentuk pita yang sempit akan menjamin resolusi
yang paling tinggi bahkan ketika sampel mengandung sejumlah besar komponen
dengan perbedaan-perbedaan nilai Rf yang minimal. Penotolan secara zig zag
akan menghasilkan suatu bentuk yang memungkinkan sejumlah sampel dalam
jumlah besar ditotolkan tanpa dilakukan pencucian lapis tipis.
Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupak bercak yang tidak
berwarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisika, maupun
biologi. Cara kimia biasanya digunakan adalah dengan mereaksikan bercak
dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas

Universitas Sumatera Utara

. Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah
dengan pencacahan radioaktif dan dengan fluoresensi dibawah sinar ultraviolet.
Jika senyawa tidak dapat berfluoresensi, maka bahan penyerapnya akan diberi
indikator yang berfluoresensi, dengan demikian bercak akan kelihatan hitam
karena menyerap sinar ultraviolet sedang latarnya akan kelihatan berfluoresensi
(Rohman, 2009).
Kromatografi lapis tipis pada flavonoida ialah sebagai cara analisis cepat
yang memerlukan bahan yang sangat sedikit. KLT berguna untuk tujuan berikut:
a. Mencari pelarut untuk kromatografi kolom
b. Analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom
c. Identifikasi flavonoida secara ko-kromatografi
d. Isolasi flavonoida murni secara kecil (Markham, 1998)

2.6.3.2 Kromatografi Kolom
Metode pemisahan kromatografi didasarkan pada perbedaan distribusi molekul
komponen diantara fase gerak dan fase diam berdasarkan tingkat kepolaran.
Komponen akan bergerak lebih cepat meninggalkan kolom bila molekul-molekul
komponen tersebut berinteraksi secara lemah dengan fase diam.
Bila eluen berupa larutan dari zat yang lebih kuat terikat pada berupa
larutan dari zat yang lebih kuat terikat pada adsorben, komponen-komponen yang
dipisahkan lebih murni dan keluar secara berurut dari kolom. Tekinik ini disebut
displacement analysis dan digunakan untuk tujuan preparatif. Apabila eluen yang
digunakan adalah pelarut murni, komponen-komponen dapat terpisah dengan
sempurna sehingga cocok untuk tujuan analisis.
Kolom kromatografi atau tabung untuk pengaliran karena gaya tarik bumi
(gravitasi) atau sistem bertekanan rendah biasanya terbuat dari kaca yang
dilengkapi keran jenis tertentu pada bagian bawahnya untuk mengatur aliran
pelarut.

Universitas Sumatera Utara

Ukuran keseluruhan kolom sungguh beragam, tetapi biasanya panjangnya
sekurang-kurangnya 10 kali garis tengah dalamnya dan mungkin saja sampai 100
kalinya. Ukuran kolom dan banyaknya penjerap yang dipakai ditentukan oleh
bobot campuran sampel yang akan dipisahkan.
Fraksi kolom yang mengandung senyawa yang sama (diperiksa dengan
KLT) atau tampaknya berasal dari satu puncak (memakai pendeteksian
sinambung) digabungkan, dan pelarutnya diuapkan, lebih baik dengan tekanan
rendah. Jika pelarut dan penjerap murni maka fraksi-fraksi pun murni
(Gritter, 1991).

Adsorben dan Pelarut
Adsorben yang digunakan hendaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Tidak larut dalam pelarut yang digunakan
2. Inert (tidak bereaksi dengan sampel)
3. Cukup aktif sehingga memungkinkan perambatan sampel
4. Tidak berwarna agar pemisahan dapat diamati
5. Memungkinkan fase gerak mengalir dengan baik

(Harmita, 2015).

2.7 Teknik Spektroskopi
Teknik analisis modern mencakup berbagai teknik analisis instrumen elektronika
yang dikembangkan untuk mengukur parameter fisika dan kimia alami yang khas
dan tetap dari atom atau molekul. Parameter khas yang bermakna untuk analisis
adalah absorpsi dan emisi energi radiasi elektromagnet oleh atom atau molekul.
Teknik analisis spektroskopi berasaskan antaraksi radiasi elektromagnet dengan
komponen atom atau molekul yang menghasilkan fenomena bermakna sebagai
parameter analisis. Karena pada setiap teknik spektroskopi antaraksi radiasi
elektromagnet dengan komponen atom/ molekul khas dan tidak semuanya sama,
uraian teknik analisis didahului dengan mekanisme antaraksi tersebut, serta
fenomena yang dipakai sebagai parameter analisisnya (Satiadarma dkk, 1995).

Universitas Sumatera Utara

2.7.1 Spektroskopi Ultraviolet (UV-Vis)
Senyawa polifenol memiliki dua karakteristik pita penyerapan Ultraviolet dengan
maksimal jarak 240 sampai 285 nm dan 300 sampai 550 nm. Berbagai macam
golongan flavonoid dapat dikenali dari spektrum UV mereka masing-masing,
karakteristik spektra UV dari masing-masing flavonoid yang mengandung jumlah
dari golongan hidroksil aglikon, pola substituen glikosida, dan golongan asil
aromatik bahan alam.
Saat ini penggunaan Spektroskopi UV-Visible paling sering digunakan
dalam aplikasi untuk analisa kuantitatif, dan nilai dari metode ini dapat
mengurangi perbandingan informasi yang banyak dari teknik spektroskopi yang
lainnya seperti NMR dan MS (Andersen, 2006).
Spektrum flavonoid biasanya ditentukan dalam larutan dengan pelarut
metanol (MeOH, AR atau yang setara) atau etanol (EtOH), meski perlu diingat
bahwa spektrum yang dihasilkan dalam etanol kurang memuaskan sehingga pada
umumnya pelarut metanol yang digunakan untuk menentukan serapan pita yang
dihasilkan. Perubahan penyulihan pada cincin A cenderung tercerminkan pada
serapan pita II, sedangkan perubahan penyulihan pada cincin B dan C cenderung
lebih jelas tercermin pada serapan pita I (Markham, 1988).

Universitas Sumatera Utara

Ciri spektrum khas jenis flavonoid utama dengan pola oksigenasi yang
setara disajikan pada tabel dibawah :
Tabel 2.1 Rentangan Serapan Spektrum UV-Visible golongan Flavonoida
No

Pita II (nm)

Pita I (nm)

Jenis Flavonoida

1

250-280

310-350

Flavon

2

250-280

330-360

Flavonol (3-OH tersubstitusi)

3

250-280

350-385

Flavonol (3-OH bebas)

4

245-274

310-330 bahu

Isoflavon

5

275-295

300-330 bahu

Flavanon dan dihidroflavonol

6

230-270

340-390

Khalkon

380-430

Auron

465-560

Antosianidin dan antosianin

(kekuatan rendah)
7

230-270
(kekuatan rendah)

8

270-280

2.7.2 Spektroskopi Inframerah (FT-IR)
Spektrum inframerah suatu molekul adalah hasil transisi antara tingkat energi
getaran (vibrasi) yang berlainan. Inti-inti atom yang terikat oleh ikatan kovalen
mengalami getaran (vibrasi) atau osilasi (oscillation) dengan cara serupa dengan
dua bola yang terikat oleh suatu pegas.
Bila molekul menyerap radiasi inframerah, energi yang diserap
menyebabkan kenaikan dalam amplitudo getaran atom-atom yang terikat itu. Jadi
molekul ini berada dalam keadaan vibrasi tereksitasi , energi yang diserap ini akan
dibuang dalam bentuk panas bila molekul itu kembali ke keadaan dasar. Panjang
gelombang eksak dari absorpsi oleh suatu tipe ikatan, bergantung pada macam
getaran dari ikatan tersebut. Oleh karena itu, tipe ikatan yang berlainan (C-H, CC, C=O, C=C, O-H, dan sebagainya) menyerap radiasi inframerah pada panjang
gelombang yang berlainan.

Universitas Sumatera Utara

Dengan demikian spektrometri inframerah dapat digunakan untuk
mengidentifikasi adanya gugus fungsi dalam suatu molekul. Banyaknya energi
yang diserap juga beraneka ragam dari ikatan ke ikatan.Ini disebabkan sebagian
oleh perubahan dalam momen dipol (µ≠0) pada saat energi diserap. Ikatan
nonpolar (seperti C-H atau C-C) menyebabkan absorpsi lemah, sedangkan ikatan
polar (seperti misalnya O-H, N-H, dan C=O) menunjukkan absorpsi yang lebih
kuat.
Suatu ikatan dalam sebuah molekul dapat mengalami berbagai vibrasi
molekul. Secara umum terdapat dua tipe vibrasi molekul:
1. Streching (vibrasi regang/ulur): vibrasi sepanjang ikatan sehingga terjadi
perpanjangan atau pemendekan ikatan.
2. Bending (vibrasi lentur/tekuk): vibrasi yang disebabkan oleh sudut ikatan
sehingga terjadi pembesaran atau pengecilan sudut ikatan.
Oleh karena itu suatu ikatan tertentu dapat menyerap energi lebih dari satu
panjang gelombang. Contohnya, ikatan O-H menyerap energi pada frekuensi 3330
cm-1, energi pada panjang gelombang ini menyebabkan kenaikan vibrasi regang
ikatan O-H itu. Suatu ikatan O-H itu juga menyerap pada kira-kira 1250 cm-1,
energi pada panjang gelombang ini menyebabkan kenaikan vibrasi lentur. Tipe
vibrasi yang berlain-lainan ini disebut cara vibrasi fundamental (Supratman,
2010).
2.7.3 Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR)
Setelah spektroskopi inframerah, spektroskopi resonansi magnetik inti (NMR)
adalah yang metode yang paling penting digunakan dalam kimia organik. Dalam
spektroskopi inframerah mengandung infromasi mengenai adanya gugus fungsi
pada molekul, sedangkan spektroskopi NMR memberikan informasi mengenai
jumlah dari masing-masing hidrogen.

Universitas Sumatera Utara

Kemampuan terhebat resonansi inti magnetik timbul karena tidak semua
proton dalam molekul memiliki resonansi yang identik pada frekuensi yang sama.
Hal ini sesuai dengan fakta bahwa berbagai macam proton dalam molekul
dikelilingi oleh elektron

dan memiliki sedikit perbedaan dalam lingkungan

elektronik dari satu dan yang lainnya. Proton akan terlindungi oleh elektron yang
mengelilingi mereka. Dalam daerah magnetik, peredaran elektron valensi dari
daerah penghasil proton yang bertentangan dengan daerah magnetik yang berlaku.
Pergeseran kimia dalam unit δ ditunjukkan dalam jumlah resonansi proton yang
bergeser dari TMS dalam bagian per juta (ppm) dari frekuensi dasar spektroskopi
δ=

pergeseran dalam H
frekuensi spektrometer dalam MH

Unsur dasar dari spektrometer nmr adalah ilustrasi skematis. Sampel
dilarutkan dalam pelarut yang tidak memiliki proton (biasanya CCl4) dan dalam
jumlah yang kecil dari TMS yang ditambahkan sebagai pusat referensi internal.
Semua proton dalam molekul yang identik dalam lingkungan kimia akan
memiliki pergerseran kimia yang sama. Dengan demikian, semua proton dari
TMS atau semua proton dalam benzena, siklopentana, atau aseton memiliki nilai
resonansi yang berdekatan pada nilai δ. Masing-masing komponen akan memiliki
penyerapan yang tunggal dalam spektrum nmr. Proton ini dikatakan sama secara
kimia. Pada kenyataannya, spektrum tidak dapat hanya dibedakan dari berapa
banyak tipe proton yang berbeda pada molekul tersebut, tetapi dapat
memperlihatkan berapa banyak jenis perbedaan yang ada dalam molekul tersebut.
Dalam spektrum nmr, daerah dibawah masing-masing peak adalah proporsional
dengan jumlah dari hidrogen yang ada pada peak tersebut (Pavia, 1979).

Universitas Sumatera Utara