Karakteristik Penderita HIV AIDS dengan Infeksi Oportunistik (IO) Tuberkulosis (TB) di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Tahun 2013-2015

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

HIV/AIDS

2.1.1 Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, menyebabkan penyakit Acquired
Immune Deficiency Syndrome (AIDS). AIDS merupakan singkatan Acquired
artinya tidak diturunkan dan dapat menularkan kepada orang lain, Immune artinya
sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit, Deficiency artinya berkurangnya
kurang atau tidak cukup, dan Syndrome artinya kumpulan tanda dan gejala
penyakit. Atau singkatnya, AIDS adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV, yang
merupakan kumpulan gejala menurunnya sistem kekebalan tubuh (Kemenkes RI,
2012).
2.1.2 Etiologi
AIDS disebabkan oleh virus yang disebut HIV. Virus ini ditemukan oleh
seorang ilmuwan dari Institute Pasteur Paris, Barre-Sinoussi yaitu Montagnier
pada tahun 1983, yang mengisolasi virus ini dari seorang penderita dengan gejala

“lymphadenopathy

syndrome”,

sehingga

pada

waktu

itu

dinamakan

Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). Pada tahun 1984, Popovic, Gallo dari
Institute of Health, Amerika Serikat, menemukan virus lain yang disebut Human
T Lymphotropic Virus Type III (HTLV-III) yang juga adalah penyebab AIDS
(Nursalam dan Kurniawati, 2007; Murtiastutik, 2008).

7

Universitas Sumatera Utara

8

Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama,
sehingga berdasarkan hasil pertemuan International Committee on Toxonomy of
Viruses tahun 1986, WHO memberikan nama resmi HIV. Tahun 1986 di Afrika
ditemukan juga virus lain yang dapat pula menyebabkan AIDS, disebut HIV-2,
dan berbeda dengan HIV-1 secara genetik maupun maupun antigenik. HIV-2 yang
ditemukan di Afrika Barat dianggap kurang patogen dibandingkan HIV-1 yang
sering menyerang manusia (Murtiastutik, 2008).
Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam famili lentivirus.
Retrovirus mempunyai kemampuan untuk mengkode enzim khusus, reserve
transcriptase

(enzim

transkriptase

reversi),


yang

memungkinkan

DNA

ditranskripsi dari RNA. Sehingga HIV dapat menggandakan gen-nya sendiri. Hal
tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4 dan limfosit untuk
mereplikasi diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4 dan
limfosit (Nursalam dan Kurniawati, 2007).

Sumber: US National Institute of Health (http:/en.wikipedia.org)

Gambar 2.1 Virus HIV

Universitas Sumatera Utara

9


Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core)
dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua
untaian RNA (Ribonucleic Acid), enzim reverse transkriptase dan beberapa jenis
protein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp41 dan gp120).
Gp120 berhubungan dengan reseptor lymfosit (T4) yang rentan (Widoyono,
2008). Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka
HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih,
sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai desinfektan seperti eter,
aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi relatif resisten terhadap
radiasi dan sinar utraviolet.
2.1.3 Patogenesis
HIV akan menempel pada limfosit sel induk melalui gp120 sehingga
terjadi fusi membrane HIV dengan sel induk. Lalu, inti HIV akan masuk ke dalam
sitoplasma sel induk. Setelah di dalam sel induk, HIV akan membentuk DNA HIV
dari RNA HIV melalui enzim polimerase. Kemudian, dengan bantuan enzim
integrase, DNA HIV akan berintegrasi dengan DNA sel induk. DNA HIV yang
selanjutnya dianggap sebagai DNA sel induk oleh tubuh akan membentuk mRNA
dengan fasilitas dari sel induk, sedangkan mRNA dalam sitoplasma akan diubah
oleh enzim protease menjadi HIV baru. Akhirnya, HIV baru akan mengambil
selubung dari bahan sel induk untuk dilepas sebagai virus HIV. Hal ini akan

mempengaruhi

sistem

imun

karena

terjadi

penekanan

sistem

imun

(imunosupresi) yang dapat menyebabkan pengurangan dan terganggunya jumlah
dan fungsi sel limfosit (Widoyono, 2008).

Universitas Sumatera Utara


10

HIV cenderung menyerang jenis sel yang mempunyai antigen permukaan
CD4, terutama limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur dan
mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit T4, virus ini juga dapat
menginfeksi sel monosit dan makrofag, sel Langerkans pada kulit, sel dendrit
folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks
uteri dan sel-sel mikroglia otak.
HIV juga mempunyai sejumlah gen yang dapat mengatur replikasi yang
dapat mengatur replikasi maupun pertumbuhan virus yang baru. Salah satunya
ialah tat, gen yang dapat mempercepat replikasi virus sehingga terjadi
penghancuran limfosit T4 secara besar-besaran yang menyebabkan sistem
kekebalan tubuh menjadi lumpuh dan kelumpuhan inilah yang mengakibatkan
timbulnya penyakit opurtunistik dan keganasan yang merupakan gejala-gejala
klinis AIDS (Duarsa, 2011).
2.2

Klasifikasi Klinis HIV/AIDS
Ada 2 klasifikasi yang sampai sekarang sering digunakan untuk remaja


dan dewasa yaitu klasifikasi menurut WHO dan Centers for Disease Control and
Preventoin (CDC) Amerika Serikat. Di negara-negara berkembang menggunakan
sistem klasifikasi WHO dengan memakai data klinis dan laboratorium, sementara
di negara-negara maju digunakan sistem klasifikasi CDC. Klasifikasi menurut
WHO digunakan pada beberapa negara yang pemeriksaan limfosit CD4+ tidak
tersedia.

Universitas Sumatera Utara

11

2.2.1 Menurut CDC
Klasifikasi klinis HIV menurut CDC berdasarkan gejala klinis dan jumlah
CD4 sebagai berikut.
Tabel 2.1

Klasifikasi HIV Berdasarkan Gejala Klinis dan Jumlah CD4
CD4


Total
>500 sel/mL

Kategori Klinis
Persen (%) A
(Asimtomatik, B
infeksi akut)
(Simptomatik)
>29
A1
B1

200-499 sel/mL 14-28
1 bulan
• Kriptokokosis ekstrapulmonal

Universitas Sumatera Utara

12














Retinitas virus sitomegalo
Herpes simpleks mukokotan >1 bulan
Leukoensefalopati multifocal progresif
Mikosis seminata seperti histoplamosis
Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus
dan paru
Mikobakteriosis atipikal diseminata
Septisemia salmonelosis non tifois

Tuberkulosis diluar paru
Limfoma
Sarkoma Kaposi
Ensefalopati HIV

Sumber : WHO, 2005
2.3

Ko-Infeksi HIV-TB
Pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Ko-infeksi

dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Di samping
itu TB merupakan penyebab utama kematian pada ODHA (sekitar 40-50%).
Kematian yang tinggi ditemukan terutama pada pasien TB paru BTA negatif dan
TB ekstra paru yang kemungkinan besar disebabkan keterlambatan diagnosis dan
terapi TB.
Sebagian orang yang tinggal dengan pasien yang terinfeksi bakteri TB
(Mycobacterium tuberculosis) tidak terinfeksi TB karena tubuhnya mempunyai
sistem imunitas yang baik sehingga tidak menjadi sakit. Infeksi tanpa jadi sakit
tersebut dikenal sebagai infeksi TB laten. Namun, pada orang-orang yang sistem

imunitasnya menurun misalnya ODHA maka infeksi TB laten tersebut dengan
mudah berkembang menjadi sakit TB aktif. Hanya sekitar 10% orang yang tidak
terinfeksi HIV bila terinfeksi kuman TB maka akan menjadi sakit TB sepanjang
hidupnya. Sedangkan pada ODHA, sekitar 60% ODHA yang terinfeksi kuman TB
akan menjadi sakit TB aktif. Dengan demikian, mudah dimengerti bahwa epidemi

Universitas Sumatera Utara

13

HIV tentunya akan memiliki peran dalam peningkatan jumlah kasus TB dalam
masyarakat.
Pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB disebut sebagai
pasien ko-infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi
TB-HIV di dunia diperkirakan ada sebanyak 14 juta orang. Sekitar 80% pasien
ko-infeksi TB-HIV tersebut dijumpai di Sub-Sahara Afrika, namun ada sekitar 3
juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut terdapat di Asia Tenggara. Dari uraian
tersebut di atas, jelas bahwa epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada
meningkatnya kasus TB; sebagai contoh, beberapa bagian dari Sub Sahara Afrika
telah memperlihatkan 3-5 kali lipat angka perkembangan kasus notifikasi TB pada
dekade terakhir. Jadi, pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa
keberhasilan pengendalian HIV. Hal ini berarti bahwa upaya-upaya pencegahan
HIV dan perawatan HIV haruslah juga merupakan kegiatan prioritas bagi
pengelola program TB.
2.4

Epidemiologi Ko-Infeksi HIV-TB
Infeksi HIV semakin umum pada populasi dengan prevalensi TB yang

tinggi. Misalnya, Amerika Serikat, HIV sudah menjadi hal yang lazim bagi
pengguna narkoba suntik dan populasi dengan tingkat kejadian TB yang juga
tinggi. Data menunjukkan prevalensi HIV 80% pada pengguna narkoba suntik
dengan TB di New York. Meningkatnya angka kejadian HIV/AIDS memberikan
kontribusi dalam peningkatan TB di Amerika Serikat secara signifikan.
Risiko TB di antara orang yang terinfeksi HIV tergantung pada prevalensi
TB di masyarakat, menurunnya daya tahan tubuh (immunodeficiency), dan

Universitas Sumatera Utara

14

aksesibilitas untuk pengobatan infeksi TB. Di negara-negara berkembang, dimana
prevalensi infeksi TB pada orang dewasa dapat melebihi 50 persen, penyebaran
HIV telah menyebabkan kenaikan angka kejadian TB. Peningkatan morbiditas TB
terkait dengan infeksi HIV telah terjadi di negara-negara sub-Sahara Afrika,
Thailand, dan negara-negara Amerika Latin. Analisis TB secara global
memperkirakan bahwa sekitar sepersepuluh dari semua kasus TB di dunia
disebabkan oleh HIV, mulai dari 1 persen di Pasifik Barat hingga sepertiga dari
semua kasus di Afrika. Meskipun prevalensi keseluruhan TB rendah, seperempat
dari kasus TB di Amerika Serikat disebabkan oleh HIV, hal ini dapat
mencerminkan kerentanan sub-populasi tertentu terinfeksi HIV dan tuberkulosis.
Meningkatnya angka kejadian tuberkulosis karena epidemi HIV menimbulkan
masalah lain yaitu, wabah TB pada orang yang terinfeksi HIV di rumah sakit atau
daerah yang penduduknya padat, dan munculnya TB multi drug resistant.
(Fishman, 2008).
2.5

Pencegahan Ko-Infeksi HIV-TB

2.5.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer dilakukan dengan promosi kesehatan. Promosi
kesehatan ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan yang benar dan
komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV dan menghilangkan stigma
serta dikriminasi. Promosi kesehatan diberikan dalam bentuk advokasi, bina
suasana, pemberdayaan, kemitraan dan peran serta masyarakat sesuai dengan
kondisi social budaya serta didukung kebijakan publik yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan dan tenaga non kesehatan terlatih.

Universitas Sumatera Utara

15

Promosi kesehatan dapat dilakukan terintegrasi dengan pelayanan
kesehatan maupun program promosi kesehatan lainnya. Dimana dalam hal ini
diutamakan pada pelayanan tuberkulosis.
2.5.2 Pencegahan Sekunder
2.5.2.1 Diagnosa HIV
Pemeriksaan diagnosa HIV dilakukan untuk mencegah terjadinya
penularan atau peningkatan kejadian infeksi HIV. Pemeriksaan diagnosis HIV
dilakukan melalui KTS atau TIPK dan harus dengan persetujuan pasien.
a.

KTS (Konseling dan Tes Sukarela) dilakukan dengan langkah-langkah
meliputi: konseling pra tes, tes HIV, dan konseling pasca tes.

b.

TIPK (Konseling dan Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan) dilakukan
dengan langkah-langkah meliputi: pemberian informasi tentang HIV dan
AIDS sebelum tes, pengambilan darah untuk tes, penyampaian hasil tes,
dan konseling.
Tes HIV untuk diagnosis dilakukan oleh tenaga medis dan/ atau teknisi

laboratorium yang terlatih. Tes HIV dilakukan dengan metode rapid diagnostic
test (RDT) atau EIA (Enzyme Immuno Assay). Sedangkan, konseling wajib
diberikan pada setiap orang yang telah melakukan tes HIV oleh konselor terlatih
baik tenaga kesehatan maupun non kesehatan (Kemenkes, 2013)
a.

Rapid Diagnostic Test (RDT) (Widoyono, 2008)
WHO kini merekomendasikan pemeriksaan dengan rapid test (dipstick)

sehingga hasilnya bisa segera diketahui.
Ada beberapa gejala dan tanda mayor, antara lain:

Universitas Sumatera Utara

16

1.

Kehilangan berat badan (BB) >10%

2.

Diare Kronik >1 bulan

3.

Demam >1 bulan

Sedangkan tanda minornya, antara lain:
1.

Batuk menetap >1 bulan

2.

Dermatitis pruritis (gatal)

3.

Herpes Zoster berulang

4.

Kandidiasis orofaring

5.

Herpes simpleks yang meluas dan berat

6.

Limfadenopati yang meluas
Tanda lain adalah sarkoma kaposi yang meluas dan meningitis

kriptokokal.
Jika ada minimal dua tanda mayor yang berhubungan dengan tanda minor
tanpa diketahui kasus imunosupresi lain seperti kanker dan malnutrisi berat, atau
bila terdapat salah satu saja dari tanda lain.
b.

Enzyme Immuno Assay (EIA) atau Enzyme-Linked Immuno Sorbent Assay
(ELISA)
Bahan yang diperikasa adalah serum atau cairan darah yang lain (cairan

otak) yang diambil secara steril dan disimpan pada suhu 20°C tanpa diberi anti
koagulan. Sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini
memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi (Irianto, 2014).

Universitas Sumatera Utara

17

Sumber : Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Nasional, Informasi Dasar HIVAIDS & IMS – Layanan Komprehensif Berkesinambungan
Gambar 2.2 Perjalanan Infeksi HIV
Selama fase permulaan penyakit, dalam darah penderita dapat ditemukan
HIV/ partikel HIV dan penurunan CD4. Setelah bebrapa hari terkena infeksi HIV,
IgM dapat dideteksi dan setelah 2 minggu IgG mulai ditemukan. Pada fase
berikutnya, HIV tidak dapat ditemukan lagi dalam peredaran darah dan jumlah sel
T4 kembali normal.
Hasil pemeriksaan ELISA harus diintrepertasikan dengan hati-hati, karena
tergantung pada fase penyakit.Sehingga ditemukannya antibodi HIV dengan
pemeriksaan ELISA perlu dikonfirmasi dengan Western Immune Blot atau
Western Blot yang sensitifitasnya lebih tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Namun,
pemeriksaannya cukup sulit, mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam
(Irianto, 2014).

Universitas Sumatera Utara

18

2.5.2.2 Diagnosis TB Paru pada ODHA (Kemenkes RI, 2013)
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada
ODHA, antara lain:
a.

Pemberian antibiotik
direkomendasi lagi

sebagai

alat

bantu

diagnosis

tidak

Penggunaan antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti
alur diagnosis TB pada orang dewasa dapat menyebabkan diagnosis dan
pengobatan TB terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko kematian ODHA.
Oleh karena itu, pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak
direkomendasi lagi. Namun antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan IO
yang mungkin disebabkan oleh infeksi bakteri lain bersama atau tanpa
M.tuberculosis. Jadi, maksud pemberian antibiotik tersebut bukanlah sebagai alat
bantu diagnosis TB tetapi sebagai pengobatan infeksi bakteri lain. Hindarilah
penggunaan antibiotik golongan fluorokuinolon karena memberikan respons
terhadap M.tuberculosis dan dapat menimbulkan resistensi terhadap obat tersebut.
b.

Pemeriksaan foto toraks
Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam mendiagnosis

TB pada ODHA dengan BTA negatif. Umumnya gambaran foto toraks pada TB
terdapat di apeks, tetapi pada TB-HIV bukan di apeks terutama pada HIV lanjut.
Pada TB-HIV awal gambaran foto toraks dapat sama dengan gambaran foto toraks
TB pada umumnya, namun pada HIV lanjut gambaran foto toraks sangat tidak
spesifik. Pada pasien TB-HIV sering ditemukan gambaran TB milier.

Universitas Sumatera Utara

19

Sumber: Mpiko Ntsekhe, Cardiology, Department of Medicine, Groote Schuur
Hospital, University of Cape Town
Gambar 2.3 Rontgen Dada Seorang Pasien Afrika Selatan dengan Infeksi HIV
dan Efusi Perikardial Tuberkulosis
c.

Pemeriksaan biakan dahak

c.1

Pemeriksaan dahak
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai

keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak
yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa SewaktuPagi-Sewaktu (SPS), yaitu: S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB
dating berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. P (Pagi): dahak
dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot

Universitas Sumatera Utara

20

dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di Fasyankes. S (sewaktu):
dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan 2
spesimen dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan hasil
jaminan mutu eksternal pemeriksaan laboratorium.
c.2

Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M. Tuberkulosis pada pengendalian TB

adalah untuk menegakkan diagnosis TB pada pasien tertentu, yaitu :
1) Pasien TB Ekstra Paru
2) Pasien TB Anak
3) Pasien TB BTA Negatif
Pemeriksaan tersebut dilakukan jika keadaan memungkinkan dan tersedia
laboratorium yang telah memenuhi standar yang ditetapkan.
c.3

Uji Kepekaan Obat TB
Uji kepekaan obat TB bertujuan untuk resistensi M. Tuberkulosis terhadap

OAT. Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium yang
tersertifikasi dan lulus pemantapan mutu atau Quality Assurance (QA).
Pemeriksaan tersebut ditujukan untuk diagnosis pasien TB yang memenuhi
kriteria suspek TB-MDR.

Universitas Sumatera Utara

21

Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis
Gambar 2.4 Alur Diagnosa TB Paru
Keterangan:
1.

Suspek TB Paru: Seseorang dengan batuk berdahak selama 2 - 3 minggu
atau lebih disertai dengan atau tanpa gejala lain.

2.

Antibiotik non OAT : Antibiotik spektrum luas yang tidak memiliki efek
anti TB (jangan gunakan fluorokuinolon).
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu

sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa

Universitas Sumatera Utara

22

ditegakkan dengan ditemukannya bakteri TB. Pada program TB nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis
utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,
sehingga sering terjadi overdiagnosis
Sulitnya diagnosis TB pada pasien HIV secara klinis dan pemeriksaan
sputum BTA lebih sering negatif, diperlukan pemeriksaan biakan M. tuberculosis
yang merupakan baku emas untuk diagnosis TB. Pada ODHA yang hasil
pemeriksaan mikroskopik dahaknya negatif, biakan sangat dianjurkan karena
dapat membantu menegakkan diagnosis TB. Perlu juga dilakukan uji sensitivitas
obat untuk mengetahui TB-MDR karena HIV merupakan salah satu faktor risiko
TB-MDR.
Alur diagnosis TB Paru BTA negatif pada ODHA di bawah ini merupakan
langkah kegiatan yang harus dilakukan dalam penegakan diagnosis TB di daerah
dengan prevalens HIV tinggi dengan sarana terbatas. Alur diagnosis ini hanya
untuk ODHA yang dicurigai menderita TB. Perlu diperhatikan, alur diagnosis TB
pada ODHA rawat jalan (tanpa tanda bahaya) berbeda dengan pada ODHA rawat
inap (dengan tanda bahaya). Alur diagnosis yang dimaksud dapat dilihat pada
gambar.

Universitas Sumatera Utara

23

Sumber: Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-Infeksi TB-HIV
Gambar 2.5 Alur Diagnosa TB Paru pada ODHA
Keterangan:
a.

Tanda-tanda kegawatan yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda
berikut: frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 390C, denyut nadi
> 120 kali/menit, tidak dapat berjalan tanpa bantuan.

b.

BTA Positif = sekurang- kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA
negatif = bila 2 sediaan hasilnya negatif.

c.

Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol = PPK.

d.

Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), pemeriksaan jumlah
CD4 (bila tersedia fasilitas) dan rujukan untuk layanan HIV.

Universitas Sumatera Utara

24

e.

Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara
bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat
dikurangi sehingga mempercepat penegakan diagnosis.

f.

Pemberian antibiotik (jangan golongan fluorokuinolon) untuk mengatasi
bakteri tipikal dan atipikal.

g.

Pneumonia Pneumocystis jirovecii = PCP.

h.

Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA

rawat jalan adalah sebagai berikut:
a.

Kunjungan pertama: Pemeriksaan mikroskopis dahak harus dikerjakan
pada kunjungan pertama. Jika hasil pemeriksaan dahak BTA positif maka
pengobatan TB dapat diberikan kepada pasien tersebut.

b.

Kunjungan kedua: Jika hasil pemeriksaan dahak BTA negatif maka pada
kunjungan kedua perlu dilakukan pemeriksaan lain, misalnya foto toraks,
ulangi pemeriksaan mikroskopis dahak, lakukan pemeriksaan biakan
dahak dan pemeriksaan klinis oleh dokter. Pemeriksaan pada kunjungan
kedua ini sebaiknya dilakukan pada hari kedua dari kunjungan pasien di
Fasyankes tersebut. Hasil pemeriksaan dari kunjungan kedua ini sangat
penting untuk memutuskan apakah pasien tersebut perlu mendapat
pengobatan TB atau tidak. Penentuan stadium klinis HIV harus dikerjakan
dan pemberian PPK harus diberikan sesuai pedoman nasional.

c.

Kunjungan ketiga: dilakukan secepat mungkin setelah ada hasil
pemeriksaan pada kunjungan kedua. Pasien yang hasil pemeriksaannya

Universitas Sumatera Utara

25

mendukung TB (misalnya gambaran foto toraks mendukung TB) perlu
diberi OAT. Pasien dengan hasil yang tidak mendukung TB perlu
mendapat antibiotik spektrum luas (jangan menggunakan golongan
fluorokuinolon) untuk mengobati infeksi bakteri lain atau pengobatan
untuk PCP. Juga perlu dilakukan penentuan stadium klinis HIV dan PPK
harus diberikan sesuai pedoman nasional.
d.

Kunjungan keempat: Pada kunjungan ke empat ini haruslah diperhatikan
bagaimana respons pasien pada pemberian pengobatan dari kunjungan
ketiga. Untuk pasien yang mempunyai respons yang baik (cepat) terhadap
pengobatan

PCP

atau

pengobatan

dengan

antibiotik,

lanjutkan

pengobatannya untuk menyingkirkan terdapatnya juga TB (superimposed
tuberculosis). Bagi pasien yang mempunyai respons yang kurang baik atau
tidak baik pada pengobatan PCP atau pengobatan pneumonia karena
bakteri lainnya, perlu dilakukan pemeriksaan ulang untuk TB baik secara
klinis maupun pemeriksaan dahak.
Jika di Puskesmas dijumpai ODHA yang menderita sakit berat
(mempunyai salah satu dari tanda bahaya) maka pasien tersebut harus segera
dirujuk ke Fasyankes yang mempunyai sarana lebih lengkap. Jika rujukan tidak
dapat segera dilaksanakan, upaya berikut harus dilakukan:
a.

Segera berikan antibiotik spektrum luas suntikan selama 3 – 5 hari untuk
mengatasi infeksi bakteri kemudian lakukan pemeriksaan mikroskopis
dahak (BTA).

Universitas Sumatera Utara

26

b.

Bila diagnosis TB ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopis dahak
(BTA positif), mulailah pengobatan TB dengan pemberian OAT.
Pengobatan dengan antibiotik tetap terus dilanjutkan sampai selesai.

c.

Bila hasil pemeriksaan dahak BTA negatif maka harus diperhatikan
bagaimana respons pemberian antibiotik suntikan setelah pengobatan 3 – 5
hari. Jika tidak ada perbaikan maka pengobatan TB dapat dimulai dengan
pertimbangan dokter, misalnya kemungkinan terdapatnya TB ekstraparu.
Penentuan stadium klinis HIV harus dilakukan dan selanjutnya pasien
perlu dirujuk ke Fasyankes yang lebih lengkap untuk penegakan diagnosis
TB maupun untuk layanan HIV. Bila tetap tidak memungkinkan untuk
dirujuk maka pengobatan TB diteruskan sampai selesai.

d.

Bila rujukan ke Fasyankes yang lebih lengkap memungkinkan maka unit
penerima rujukan harus memberikan tatalaksana pasien tersebut sebagai
pasien gawat darurat dan semua pemeriksaan harus segera dilakukan
bersamaan dengan pemeriksaan untuk mendiagnosis TB.

2.5.2.2 Diagnosis TB Ekstra Paru pada ODHA
Diagnosis pasti TB ekstraparu sulit ditegakkan karena harus didasarkan
pada hasil pemeriksaan klinis, bakteriologi dan atau histologi spesimen yang
didapat dari lesi. Tuberkulosis ekstraparu yang sering ditemukan diantaranya
adalah TB Kelenjar limfe, TB Susunan saraf pusat, TB Abdomen, TB Pleura dan
TB Perikard. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran

Universitas Sumatera Utara

27

kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang
(gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
Pemeriksaan spesimen untuk penegakan diagnosis TB ekstraparu
dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, pemeriksaan biakan
maupun histopatologi. Hasil biakan spesimen yang diperoleh dari TB ekstraparu
jarang memberikan hasil positif. Untuk kasus yang hasil biakannya negatif atau
kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diagnosis TB
ekstraparu hanya dilakukan secara presumtif berdasarkan bukti klinis yang kuat
atau dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab lain.
2.5.3 Pencegahan Tersier
2.5.3.1 Pengobatan
A.

HIV (Kemenkes RI, 2013)
Pengobatan HIV bertujuan untuk mengurangi risiko penularan HIV,

menghambat perburukan infeksi oportunistik dan meningkatkan kualitas hidup
pengidap HIV yang dilakukan secara bersamaan dengan penapisan dan terapi
infeksi oportunistik, pemberian kondom dan konseling. Pengobatan AIDS
bertujuan untuk menurunkan sampai tidak terdeteksi jumlah virus (viral load)
HIV dalam darah dengan menggunakan kombinasi obat ARV.
Pengobatan HIV dan AIDS dilakukan dengan cara pengobatan:
a.

terapeutik, meliputi pengobatan ARV, pengobatan IMS, dan pengobatan
infeksi oportunitis.

b.

profilaksis, meliputi: pemberian ARV pasca pajanan dan kotrimoksasol
untuk terapi dan profilaksis

Universitas Sumatera Utara

28

c.

penunjang, meliputi pengobatan suportif, adjuvant dan perbaikan gizi.
Pengobatan ARV diberikan setelah mendapatkan konseling, mempunyai

pengingat minum obat (PMO) dan pasien setuju patuh terhadap pengobatan
seumur hidup dan harus diinkasi bagi:
a.

penderita HIV yang telah menunjukkan stadium klinis 3 atau 4 atau jumlah
sel Limfosit T CD4 kurang dari atau sama dengan 350 sel/mm3;

b.

ibu hamil dengan HIV, dan

c.

penderita HIV dengan tuberkulosis.

B.

Tuberkulosis (Kemenkes RI, 2011)
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Pengobatan
tuberkulosis dilakukan dengan memperhatikan riwayat pengobatan sebelumnya.
Sehingga penderita tuberkulosis dapat diklasifikasikan berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe pasien, yaitu:
a.

Kasus baru, adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif

b.

Kasus yang sebelumnya diobati
b.1 Kasus kambuh (Relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan
atau kultur).

Universitas Sumatera Utara

29

b.2 Kasus setelah putus berobat (Default) adalah pasien yang telah berobat
dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
b.3 Kasus setelah gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan
dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau
lebih selama pengobatan.
c.

Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan keregister
lain untuk melanjutkan pengobatannya.

d.

Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas,
seperti:
d.1 Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,
d.2 Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya,
d.3 Kembali diobati dengan BTA negative.

Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal,
default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan
secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis
spesialistik.
WHO memberikan rekomendasi dosis untuk tiap jenis obat berdasarkan
berat badan seperti yang tertera dalam tabel di bawah ini.

Universitas Sumatera Utara

30

Tabel 2.3

Rekomendasi Dosis untuk Tiap Jenis Obat Berdasarkan Berat
Badan

Drug

Rekomendasi Dosis
Harian
3 Kali Seminggu
Dosis
dan Maksimum
Dosis
dan Maksimum
rentang
(mg)
rentang
(mg)
(mg/kgBB)
(mg/kgBB)
Isoniazid (H)
5 (4-6)
300
10 (8-12)
900
Rifampicin (R) 10 (8-12)
600
10 (8-12)
600
Pirazinamid (Z) 25 (20-30)
35 (30-40)
Ethambutol (E) 15 (15-20)
30 (25-35)
Streptomisin (S) 15 (12-18)
15 (12-18)
1000
(WHO, 2009)
Khusus untuk streptomisin, pasien yang berumur lebih dari 60 tahun
mungkin tidak bisa menoleransi dosis lebih dari 500-750 mg sehari, oleh karena
itu direkomendasikan untuk mengurangi dosis 10 mg/kg per hari pada pasien
dengan umur tersebut. Selain itu, pasien dengan berat kurang dari 50 kg mungkin
tidak bisa menoleransi dosis di atas 500-750 mg sehari (WHO, 2009).
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai
berikut:
a.

OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

b.

Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).

c.

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Universitas Sumatera Utara

31

c.1

Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu

diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi
tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Dan sebagian besar pasien TB BTA
positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
c.2

Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam

jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh bakteri
persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin,
Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu
pirazinamid and etambutol. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan
dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT
KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket
untuk satu pasien.
Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien
yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian

Universitas Sumatera Utara

32

obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu
(1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat dan mengurangi efek samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia:
1.

Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru, yaitu: pasien baru TB paru

BTA positif, pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif, atau pasien TB ektra
paru.
Tabel 2.4
Berat Badan

30 – 37 kg
38 – 54 kg
55 – 70 kg
71 kg

Panduan OAT yang Diberikan untuk Pasien Baru
Tahap Intensif
tiap hari selama 56 hari
RHZE (150/75/400/275)
2 tablet 4KDT
3 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT

Tahap Lanjutan
3 kali seminggu selama 16 minggu
RH (150/150)
2 tablet 4KDT
3 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT

Universitas Sumatera Utara

33

2.

Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati

sebelumnya, yaitu : pasien kambuh, pasien gagl atau pasien dengan setelah putus
berobat (default).
Tabel 2.5

Paduan OAT yang Diberikan untuk Pasien BTA Positif yang
Telah Diobati Sebelumnya

Berat
Badan

Tahap Intensif
Tahap Lanjutan
tiap hari
3 kali seminggu
RHZE (150/75/400/275) + S
RH (150/150) + E(400)
Selama 56 hari
Selama 28 Selama 20 minggu
hari
2 tablet 4KDT
2 tablet
2 tablet 4KDT
+ 500 mg Streptomisin inj.
4KDT
+ 2 tab Etambutal
3 tablet 4KDT
3 tablet
3 tablet 4KDT
+ 750 mg Streptomisin inj.
4KDT
+ 3 tab Etambutal
4 tablet 4KDT
4 tablet
4 tablet 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin
4KDT
+ 4 tab Etambutal
inj.
5 tablet 4KDT
5 tablet
5 tablet 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin
4KDT
+ 5 tab Etambutal
inj.

30 – 37 kg
38 – 54 kg
55 – 70 kg
71 kg

Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250 mg).
3.

Kategori Anak : 2HRZ/4HR
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada anak diberikan setiap hari, baik pada

tahap intensif maupun tahap lanjuan dosis obat harus disesuaikan dengan berat
badan anak.

Universitas Sumatera Utara

34

Tabel 2.6

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada Anak

Berat Badan (Kg)
5-9
10-14
15-19
20-32
Keterangan:

2 bulan tiap hari
RHZ (75/50/150)
1 tablet
2 tablet
3 tablet
4 tablet

4 bulan tiap hari
RH (75/50)
1 tablet
2 tablet
3 tablet
4 tablet

a.

Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit

b.

Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.

c.

Anak dengan BB > 33 kg , dirujuk ke rumah sakit.

d.

Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah

e.

OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus
sesaat sebelum diminum.

4.

Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat
Secara umum, prinsip pengobatan TB resist obat, khususnya TB dengan

MDR adalah sebagai berikut:
a.

Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif.

b.

Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan
silang (cross-resistance)

c.

Membatasi pengunaan obat yang tidak aman

d.

Gunakan obat dari golongan/kelompok 1 - 5 secara hirarkis sesuai
potensinya. Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada
pertimbangan khusus dari Tim Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan dengan
kondisi program.

Universitas Sumatera Utara

35

e.

Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan
tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama
minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.

f.

Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan.
Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan
jarak pemeriksaan 30 hari.

g.

Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
menganut prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatmen dengan PMO
diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatan.
Pilihan paduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini adalah

paduan standar (standardized treatment), yaitu :
Km - E - Eto - Lfx - Z - Cs / E - Eto - Lfx - Z - Cs
Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR
secara laboratoris dan dapat disesuaikan bila :
a.

Etambutol tidak diberikan bila terbukti telah resisten atau riwayat
penggunaan sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya
resistensi terhadap etambutol.

b.

Panduan OAT disesuaikan paduan atau dosis pada :
b.1

Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid test,

kemudian hasil konfirmasi DST menunjukkan hasil resistensi yang
berbeda.
b.2

Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas

sebelumnya sehingga dicurigai telah ada resistensi.

Universitas Sumatera Utara

36

b.3

Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat

diidentifikasi penyebabnya.
b.4
C.

Terjadi perburukan klinis.

Tuberkulosis pada ODHA
Tatalaksanan pengobatan TB pada ODHA adalah sama seperti pasien TB

lainnya. Pada prinsipnya pengobatan TB diberikan segera, sedangkan pengobatan
ARV dimulai berdasarkan stadium klinis HIV atau hasil CD4. Penting
diperhatikan dari pengobatan TB pada ODHA adalah apakah pasien tersebut
sedang dalam pengobatan ARV atau tidak.
Bila pasien tidak dalam pengobatan ARV, segera mulai pengobatan TB.
Pemberian ARV dilakukan dengan prinsip :
a.

Semua ODHA dengan stadium klinis 3 perlu dipikirkan untuk mulai
pengobatan ARV bila CD4 < 350/mm3 tapi harus dimulai sebelum CD4
turun dibawah 200/mm3.

b.

Semua ODHA stadium klinis 3 yang hamil atau menderita TB dengan
CD4 < 350/mm3 harus dimulai pengobatan ARV.

c.

Semua ODHA stadium klinis 4 perlu diberikan pengobatan ARV tanpa
memandang nilai CD4.
Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB

tidak dimulai di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (strata I), rujuk pasien tersebut
ke RS rujukan pengobatan ARV.

Universitas Sumatera Utara

37

Tabel 2.7

Paduan Pengobatan ARV pada Waktu TB Didiagnosis

Obat ARV
lini pertama /
lini kedua
Lini Pertama

Paduan pengobatan
ARV pada waktu TB
didiagnosis
2 NRTI + EFV
2 NRTI + NVP*

Lini Kedua

2 NRTI + PI

Pilihan obat ARV

Teruskan dengan 2 NRTI + EFV
Ganti dengan 2 NRTI + EFV atau
Ganti dengan 2 NRTI + LPV/r
Ganti ke atau teruskan (bila
sementara menggunakan) paduan
mengandung LPV/r

Keterangan :
*) Paduan yang mengandung NVP hanya digunakan pada wanita usia subur
dengan pengobatan OAT (mengandung rifampisin), yang perlu dimulai ART
bila tidak ada alternatif lain. EFV tidak dapat digunakan pada trimester I
kehamilan (risiko kelainan janin). Setelah pengobatan dengan rifampisin
selesai dapat dipikirkan untuk memberikan kembali NVP. Waktu mengganti
kembali dari EFV ke NVP tidak diperlukan leadin dose. Jika seorang ibu
hamil trimester ke 2 atau ke 3 menderita TB, paduan ART yang mengandung
EFV dapat dipertimbangkan untuk diberikan. Alternatif lain, pada ibu hamil
trimester pertama dengan CD4 > 250/mm3 atau jika CD4 tidak diketahui,
berikan paduan pengobatan ARV yang mengandung NVP disertai
pemantauan yang teliti. Bila terjadi gangguan fungsi hati, rujuk ke rumah
sakit.
2.5.3.2 Rehabilitas (Kemenkes RI, 2013)
Rehabilitasi pada kegiatan Penanggulangan HIV dan AIDS dilakukan
terhadap setiap pola transmisi penularan HIV pada populasi kunci terutama
pekerja seks dengan cara pemberdayaan keterampilan kerja dan efikasi diri yang
dapat dilakukan oleh sektor sosial, baik pemerintah maupun masyarakat dan

Universitas Sumatera Utara

38

pengguna napza suntik dengan cara rawat jalan, rawat inap dan program pasca
rawat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.. Rehabilitasi pada kegiatan
Penanggulangan HIV dan AIDS dilakukan melalui rehabilitasi medis dan sosial.
Hal ini ditujukan untuk mengembalikan kualitas hidup untuk menjadi produktif
secara ekonomi dan sosial.
2.6

Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep dari penelitian ini adalah:
Karakteristik infeksi TB pada penderita HIV/AIDS:
1. Sosiodemografi
Umur
Jenis Kelamin
Tingkat Pendidikan
Pekerjaan
Status Pernikahan
Tempat Tinggal
2. Jenis TB
3. Jumlah CD4
4. Stadium HIV
5. Tahap Pengobatan

Universitas Sumatera Utara