Al Quran dan Tranformasi Sistim Waris Jahiliyyah

AL-QURAN DAN TRANFORMASI SISTIM WARIS JAHILIYYAH
Munadi
IAIN Lhokseumawe
Email: munadiusman83@gmail.com

ABSTRAKS
Pada masa Arab Tribal (Jahiliyyah) dan permulaan Islam, sistim waris
yang berlaku masih kental dengan tradisi masyarakat pada waktu itu. Sebabsebab memperoleh warisan selain karena ada hubungan darah, juga disebabkan
oleh hubungan tertentu seperti adopsi (anak angkat) dan janji setia. Dua
hubungan yang disebutkan terakhir juga menjadi sebab saling mewarisi pada
masyarakat waktu itu. Setelah datangnya wahyu mengenai warisan, Rasulullah
Saw merubah beberapa bahagian dari sistim waris jahiliyyah. Jika sebelumnya
perempuan tidak mewarisi harta, beliau merubahnya dengan memberikan porsi
tertentu bagi perempuan sesuai petunjuk al-Quran. Selanjutnya beliau juga
membatalkan hubungan saling mewarisi karena adopsi dan ikatan janji setia, dan
mengkhususkan hubungan mewarisi hanya di antara kerabat yang memiliki
hubungan darah saja. Sedangkan hubungan adopsi dan janji setia disarankan
untuk saling berwasiat satu sama lain.
Keyword: Al-Quran, Tranformasi, Sistim Waris Jahiliyyah

A. Pendahuluan

Hukum waris Islam adalah sistim peralihan harta yang didasarkan kepada
legislasi al-Quran dan hadits. Penetapan hukum waris Islam mengadopsi
ketentuan yang terdapat dalam nash, baik menyangkut ahli waris maupun bagian
(fardh) yang diperoleh ahli waris dari harta peninggalan almarhum. Nash

merupakan acuan utama dalam formulasi hukum waris Islam. (Amir Syarifuddin,
2004:7) Terdapat beberapa ayat al-Quran dan hadist yang mengatur masalah

kewarisan, yaitu ayat-ayat dalam surat al-Nisa‟ dan al-Anfal. Dalil dari hadits
antara lain adalah hadits dari Ibnu Abbas, hadits dari Jabir, hadits dari Surahbil,
hadits dari „Umran dan lain-lain. Kesemua dalil di atas merupakan pijakan ulama
dalam menyusun hukum waris yang bersifat praktis.
Melalui dalil-dalil tersebut kemudian dipahami berbagai hal menyangkut

1

warisan, seperti asas ijbari (compulsary), bilateral, individual, keadilan berimbang
dan kewarisan semata akibat kematian, ahli waris, bahagian dan masalah-masalah
lainnya. (Suhrawardi dan Komis Simanjuntak2008: 40-41). Masalah warisan
sekalipun didasarkan kepada nash, namun tidak mutlak terlepas dari penalaran

dan situasi sosial masyarakat. Menurut Hazairin, sebagaimana dikutip oleh Al
Yasa‟ Abu Bakar, penafsiran ayat kewarisan dipengaruhi oleh sistem
kekeluargaan masyarakat Arab yang patrilineal, yaitu prinsip keturunan yang
dihubungkan kepada ayah. (Alyasa Abubakar, 2012: 21) Sehingga dalam
pembahagian harta warisan laki-laki lebih mendominasi. Pendapat Hazairin
tersebut salah satu contoh pemikiran yang berkembang dalam hukum kewarisan
Islam, di samping itu masih banyak lagi pemikiran yang disampaikan oleh
berbagai tokoh berkaitan dengan masalah warisan. Tulisan ini bukan bermaksud
membahas pemikiran yang berkembang dalam hukum waris, namun lebih kepada
bentuk tranformasi yang dilakukan Al-Quran terhadap sistim waris yang pernah
berlaku di era Arab tribal (jahiliyyah).

B. Sistim Waris Arab Tribal (Jahiliyah)
Dalam sejarah, Bangsa Arab pra Islam telah mengenal sistem kewarisan,
yaitu perpindahan harta benda dan hak-hak material dari pihak yang mewariskan
(muwarits), setelah yang bersangkutan meninggal kepada penerima warisan
(waratsah). Bangsa Arab menetapkan sebab kewarisan dengan dua cara yaitu

garis keturunan atau nasab dan sebab atau alasan tertentu.
1. Garis Keturunan

Dalam sistim warisan Bangsa Arab pra Islam yaitu garis keturunan atau
kekerabatan, adalah warisan yang diberikan kepada anak lelaki dewasa yang
ditandai dengan kemampuan menunggang kuda, bertempur dan meraih harta
perampasan perang. Apabila anak lelaki tidak ditemukan, mereka memberikan
harta warisan kepada ahli waris „ashabah yang memiliki hubungan kekerabatan
terdekat, seperti saudara laki-laki, paman dan lainnya. Demikian Bangsa Arab
memberikan warisan kepada garis keturunan laki-laki, sedangkan untuk

2

perempuan dan anak-anak tidak diberikan harta warisan. (Alyasa Abubakar, 2012:
2)
2. Adopsi (tabanni)
Warisan karena sebab tertentu adalah warisan yang diberikan kepada ahli
waris melalui adopsi. Kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung dari
segi mewarisi dari ayah kandungnya. Adopsi merupakan kebiasaan bangsa Arab
dimasa jahiliyyah. Adopsi dilakukan karena dua sebab. Pertama untuk menjadi
alasan menghalangi menikahi isteri dan anak perempuan ayah angkat setelah ayah
angkat mati. Kedua adopsi bertujuan untuk saling mewarisi.
3. Ikatan Perjanjian

sebab mewarisi menurut adat Arab pra Islam adalah ikatan perjanjian. Bila
dua orang atau keluarga berjanji untuk saling membela bila ada serangan dari
pihak lain, atau ingin melakukan penyerangan, perjanjian ini berimplikasi kepada
saling mewarisi antara pembuat komitmen dalam suatu perjanjian. Misalnya
seseorang mengatakan “Darahku adalah darahmu. Penyeranganku adalah
penyeranganmu. Kamu menolongku berarti aku menolongmu, dan kamu mewarisi

hartaku berarti aku mewarisi hartamu”. Sebagai akibat dari ikatan perjanjian ini,
bila salah satu dari mereka mati, maka yang lain dapat mewarisi hartanya.
Bangsa Arab jahiliyyah tidak memberikan harta warisan kepada
perempuan dan anak kecil (belum baliq). Dalam anggapan mereka perempuan dan
anak kecil lemah, tidak mampu menunggang kuda, berperang dan membawa harta
rampasan perang. Mereka dianggap tidak bermanfaat bagi keluarga, maka tidak
diberikan harta warisan. Masyarakat jahiliyyah memberikan harta warisan atas
dasar pertimbangan kemanfaatan bagi keluarga. Perempuan dan anak kecil
dianggap kurang bermanfaat bagi keluarga, maka mereka tidak diberikan harta
warisan.
Beberapa riwayat mengisahkan perempuan

datang kepada Rasulullah


mengadukan nasib mereka yang tidak diberikan warisan. Riwayat ini kemudian
menjadi asbab an nuzul ayat-ayat waris (QS. 4:8, 4:11-12 dan 4:167). Salah kasus
Umm Kuhha, isteri Tsa‟labah. Ia berkata “Wahai Rasulullah, suami meninggal
dunia, meninggalkan aku dan puteriku, tetapi kami tidak diberikan bagian

3

warisan. Paman paternal puterinya berkata “Wahai Rasulullah, ia tidak
menunggang kuda, mengepalai keluarga, atau melukai musuh. Ia diperoleh tetapi

tidak memperoleh”. Maka ketika itu QS. 4:8 diwahyukan. (Abu Ja‟far Muhammad
at-Thabari, tt: 1954).

Beberapa riwayat lain juga ditemukan, hanya saja subjek dalam riwayat
berbeda. Namun subtansinya sama, menceritakan perempuan yang mengadu
kepada Rasulullah, karena tidak mendapat warisan. Pengaduan itu menjadi sebab
Allah mewahyukan ayat-ayat waris, di dalamnya memuat perintah memberi
warisan bagi perempuan. Bangsa arab pra Islam mengatur kewarisan berdasarkan
prinsip senioritas dan bukan prinsip keturunan langsung. (David S. Power , 2001:

251).
Ketika turun ayat waris, mayoritas bangsa Arab tidak menerima dan
mengacuhkan perintah pembahagian harta warisan yang memasukkan perempuan
dan anak kecil di dalamnya. Mereka berharap Rasulullah lupa terhadap masalah
ini atau mengubahnya sebagaimana adat bangsa Arab. Bahkan sebahagian mereka
menyampaikan keberatan kepada Rasulullah saw dengan aturan waris menurut alQuran. Pengaruh adat cukup kuat tertanam dalam diri mereka, sehingga
menampakkan sikap antipati terhadap hukum waris legislasi al-Quran.

C. Sistim Waris Islam
Setelah turunnya ayat-ayat tentang kewarisan, sistim kewarisan adat
jahiliyyah dihapuskan. Al-Quran membatalkan sistim kewarisan adat jahiliyyah
yang didasarkan pada prinsip senioritas, bukan keturunan langsung. Pengaduan
beberapa orang perempuan kepada Rasulullah karena tidak diberikan warisan, lalu
Allah mewahyukan QS Al-Nisa ayat 8 yang berbunyi:

ِ ‫صي‬
ِ ِ
ِ ِ ِ
ِ ِ ِِ
‫ب َِِا تَ َرَك اْ َلولِ َد ِان َو ْاَْقْ َربُ ْو َن َِِا‬

ٌ ْ َ‫ل ِّلر َجال ن‬
ٌ ‫ب َِا تَ َرَك اْ َلول َدان َو ْاَْقْ َربُ ْو َن َوللّ َساء نَصْي‬
ِ َ‫قَ َل ِمْ أَو َكثُر ن‬
.‫ضا‬
ً ‫صْي بًا َم ْف ُرْو‬
َ ْ ُ
Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta

4

peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan. (QS. An-Nisa: 8)

Ayat ini menyatakan laki-laki dan perempuan sama-sama memperoleh
warisan dari orang tua dan kerabatnya tanpa batas umur, Anak-anak mendapatkan
warisan dari orang tuanya. Ayat ini merubah tradisi kewarisan yang berlaku dalam
adat tribal Arab mengantikan dengan sistim baru yang mengakomodir semua ahli
waris, tanpa membedakan jenis kelamin.
Al-Quran memperluas hak waris kepada anggota masyarakat yang lemah,

seperti wanita dan pria yang belum baliq, menghapus etos kesukuan jahiliyah
yang dianggap membatasi hak waris kepada orang yang kuat anggota suku yang
laki-laki (senior). (David S. Power , 2001: 236). Al-Quran juga menghapus sistim
waris tabanny (adopsi) yang berlaku dalam adat Arab tribal. Allah berfiman, yang
artinya: ... dan Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja.
Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang
benar). (QS. Al-Ahzab: 4-5)

Allah menegaskan bahwa kedudukan anak angkat tidak sama dengan anak
kandung. Anak angkat sebatas hubungan emosional, berbeda dengan anak
kandung yang merupakan anak biologis. Anak kandung lebih patut mewarisi harta
orang tuanya, hak waris anak angkat ditiadakan. Selain meniadakan hak waris
anak angkat, Allah juga menghalalkan anak angkat menikah dengan isteri ayah
angkat bila ayah angkat meninggal atau menceraikan, demikian juga anak
perempuan ayah angkat.
Hapusnya larangan menikahi isteri dan anak perempuan ayah angkat oleh
tindakan Rasulullah menikahi Zainab binti Jahsy yang diceraikan Zaid bin
Haritsah (anak angkat Nabi), sebagaimana diabadikan al-Quran dalam surat alAhzab ayat 37 yang, artinya: Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan
terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya

tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya
daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.

5

Ayat tersebut mengisahkan penceraian Zaid terhadap isterinya Zainab,
kemudian Allah menikahkannya dengan Rasulullah. Turunnya ayat ini
menghapus larangan menikahi isteri dan anak perempuan ayah angkat yang
berlaku dalam adat Arab tribal (jahiliyah). Demikian sebaliknya menikahi isteri
dan anak dari anak angkat.
Pada masa awal Islam (awal hijrah), mu’akhah atau persaudaraan yang
diikatkan Rasulullah SAW antara kaum Muhajirin dan Anshar menjadi sebab
saling mewarisi. Kemudian tradisi ini dihapus dengan turunnya QS al-Ahzab: 6,
yang artinya: ....dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama
lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang
mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada
saudara-saudaramu (seagama). adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam
kitab (Allah).


Ayat ini menyatakan, kerabat sepertalian darah lebih berhak mewarisi
dari pada persaudaraan mukmin dan muhajirin-anshar, sekalipun ayat ini tidak
melarang sepenuhnya memberi harta kepada saudara sesama muslim. Tetapi
diterangkan bahwa saudara sepertalian darah lebih berhak terhadap harta warisan
dari saudara sesama muslim.
Sebelum Islam isteri tidak mendapat warisan, lalu Islam merubahnya,
menjadikan perkawinan sebagai sebab saling mewarisi. Pembebasan budak juga
menjadi salah satu sebab mewarisi yang sebelumnya tidak dikenal. Bekas budak
bila mati dan tidak meninggalkan seorang ahli warispun, tuan yang
memerdekakan dapat mewarisi hartanya.
Sistem waris Islam
memodifikasi

atau

menggantikan sistem waris arab tribal, bukan

mereformasinya.

Al-Quran


mengajak

bangsa

Arab

meninggalkan sistem lama, diganti dengan sistem waris baru yang lebih cocok.
Sistem baru ini membuat marah para pemimpin suku karena membuat peralihan
harta antar generasi berdasarkan keturunan langsung dari ayah ke anak, tidak
berdasarkan senioritas. (David S. Power , 2001: 259)
Penjelasan

di

atas

menunjukkan

bahwa

sistem

waris

al-Quran

menggantikan sistem waris jahiliyah dengan sistem waris baru yang lebih cocok

6

dengan fitrah manusia. Sistim kewarisan Islam bersifat adil dan selaras dengan
fitrah serta realitas kehidupan rumah tangga dan kemanusian pada setiap kondisi.
Sistim waris Islam ditetapkan atas dasar kemanusiaan, mengayomi asal
pembentukan keluarga dari jiwa yang satu. Karena itu Islam tidak menghalangi
hak waris perempuan dan anak kecil hanya karena alasan status perempuan dan
anak kecil. Prinsip seperti ini banyak diabaikan dalam sistim kewarisan jahiliyyah.

D. Ayat-Ayat Waris dan Tafsir-nya
Ketika Islam datang, bangsa Arab telah memiliki sistem kewarisan
tersendiri yang menurut mereka telah adil, walaupun pada hakikatnya jauh dari
rasa keadilan itu sendiri. Awalnya Rasulullah membiarkan sistem waris tersebut
dan lebih fokus pada usaha dakwahnya dalam membina akidah umat dan
menghapuskan bentuk-bentuk kemusyrikan yang terjadi waktu itu.
Mula pensyariatan hukum waris ketika peristiwa hijrah, saat itu sistem
waris diikat dengan prinsip hijrah, sesama muhajirin saling mewarisi sekalipun
tidak senasab. Rasulullah juga mengikat hubungan kekerabatan dan kewarisan
antara kaum muhajirin dan anshar, sehingga keduanya saling mewarisi satu sama
lain. (Muhammad Suhaili Sufyan, 2012: 9)
Mengikat saudara hijrah dengan saling mewarisi bertujuan untuk
menggalakkan kaum muslimin berhijrah. Setelah kaum muslimin melakukan
hijrah ke Madinah, muncul kekuatan baru kaum muslimin yang mampu
menaklukkan kota Mekkah (fathu makkah), sistim kewarisan ini dihapus dengan
turunnya ayat 6 surat al-Ahzab yang berbunyi:

ِ ‫اب لِ ِمن الْمؤِمِي والْمح‬
ِ َ‫ض ِف كِت‬
ِ
‫اج ِريْ َن إِلَ أَ ْن‬
ُ ‫وأُْولُْو اَْْْر َح ِام بَ ْع‬...
َ ُ َ َْ ُْ َ
ْ ٍ ‫ض ُه ْم أَْوَل ببَ ْع‬
َ
ِ
ِ
ِ َ‫ك ِِ الْ ِكت‬
.‫اب َم ْسطُْوًرا‬
َ ‫تَ ْف َعلُ ْوا إِ َل أ َْوليَائِ ُك ْم َم ْع ُرْوفًا َكا َن َذل‬
Artinya: ...dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain
lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orangorang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat
baik kepada saudara-saudaramu (seagama). adalah yang demikian itu
telah tertulis di dalam kitab (Allah).
Ayat ini menyatakan bahwa hubungan kerabat sepertalian darah lebih
7

berhak (waris-mewarisi) dari pada orang mukmin dan muhajirin. Demikian itu
adalah ketetapan Allah kepada umat Islam dalam membagi warisan. Ayat ini
menghapus kebiasaan bangsa Arab saling mewarisi antara kaum muhajirin dan
ansar.
Dalam adat arab sebab warisan ada dua yaitu keturunan (nasab) dan sebab
tertentu (adopsi, janji setia dan lain-lain). Garis keturunan yang digunakan dalam
waris tidak memperhatikan keadilan terhadap ahli waris yang laki-laki dan
perempuan, yang kecil dan dewasa. Hanya ahli waris yang telah dewasa diberikan
warisan, sementara anak kecil tidak mendapatkan warisan karena dianggap lemah,
karena tidak sanggup mengangkat senjata membela keluarga. Bahkan kaum
perempuan lebih tragis lagi, bukan hanya tidak mendapat warisan, bahkan mereka
sendiri dijadikan sebagai harta warisan. (Muhammad Suhaili Sufyan, 2012: 8).
Bila dilirik lebih jauh kebelakang, perempuan jangankan mendapatkan
warisan, untuk hidup saja hampir tidak mendapatkan kesempatan. Kehadiran
mereka dalam keluarga dianggap aib (hina). Sehingga anak perempuan ketika itu
ada yang dikubur hidup-hidup. Perempuan dianggap sosok yang lemah, tidak
mampu berperang, menunggang kuda dan menghunus pedang, karena itu orang
arab mendiskriminasi perempuan termasuk tidak memberikan harta warisan
kepadanya. (Muhammad Ali al-Shabuni, 2002: 16). Allah merubah kebiasaan ini
melalui firman-Nya, yang artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan.

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menerangkan tentang persamaan
hak antara laki-laki dan perempuan dalam menerima warisan, sekalipun tidak
sama bagian yang diterima. Warisan bagi laki-laki dan perempuan tidak
membedakan umur, yang kecil dan dewasa sama-sama mendapat warisan sesuai
bagian yang telah diatur al-Quran. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah
mengatakan “QS 4:8 menetapkan hak waris perempuan dan anak-anak, sehingga
kerancuan tentang hak keduanya hilang”. (M. Quraish Shihab, 2002: 423). Semua
ahli waris mendapat hak mewarisi dari pewaris, karena ada hubungan dengan

8

pewaris, baik dengan jalan kerabat, perkawinan ataupun wila’ (memerdekakan
budak).
Quraish Shihab menyatakan bahwa “Asbabun nuzul QS 4:8 adalah
peristiwa Ummu Kujjah -isteri Aus bin Tsabit- mengadu kepada Rasulullah
bahwa suaminya (Aus bin Tsabit) telah meninggal dalam perang Uhud dan
meninggalkan ia dan tiga orang puteri. Namun ketiga puteri Aus tidak mendapat
apa-apa dari harta ayahnya, semua harta diambil oleh paman paternal mereka
tanpa menyisakan sedikitpun. Ketika itu Rasulullah tidak bisa menjawab
pengaduan Ummu Kujjah dan menyuruhnya menunggu. Maka turunlah QS 4:8
sebagai ketetapan anak perempuan mendapat harta warisan. (M. Quraish Shihab,
2002: 424).

Lebih lanjut al-Quran mengatur fardh (bagian) masing-masing ahli waris,
laki-laki dan perempuan melalui QS. Al-Nisa ayat 11-12, yang artinya: Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,
Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masingmasingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Ayat ini mengatur secara rinci fardh (bagian) masing-masing ahli waris.
Fardh tersebut menjadi ketetapan bagi umat Islam dalam membagi harta warisan

antara ahli waris yang ditinggalkan almarhum. Allah menetapkan bagian-bagian
warisan secara rinci, sebagaimana terlihat pada ayat diatas, karena manusia tidak

9

mengetahui persis siapa yang paling bermanfaat baginya didunia dan akhirat.
Apakah ibu-bapaknya, anak-anaknya atau saudara-saudaranya. Manusia terkadang
menyangka bahwa orang tua lebih bermanfaat, dan memberikan harta lebih
banyak kepada mereka. Tetapi dalam realitas kehidupan ternyata berbeda, rupanya
anak lebih bermanfaat atau saudaranya. Allah lebih mengerti masalah ini,
sebagaimana dinyatakan pada akhir ayat. Allah menetapkan bagian warisan secara
rinci demi memudahkan manusia dalam membagi harta warisan, menghindarkan
pertikaian antara ahli waris yang sangat mungkin terjadi. Allah Maha Bijaksana
dan Maha Mengetahui segalanya. (Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Sayuthi, tt:
272).

Hubungan dan manfaat keluarga sangat relatif dan berbeda antara satu
orang dengan orang yang lain. Ahli waris yang lebih berbakti didunia dan setelah
ia mati sangat misterius, tak seorangpun bisa memastikan. Untuk itu pembagian
warisan sangat sukar dilakukan bila ingin memberikan harta kepada ahli waris
yang berbakti. Bila penentuan bagian harta warisan diserahkan kepada manusia
dengan ijtihad, akan muncul berbagai kesukaran dan tidak tepat sasaran. Akhirnya
muncullah pertikaian antara lain waris.
Masalah harta sangat sensitif dan rentan terhadap pertumpahan darah,
karena itu Allah menetapkan bagian masing-masing ahli waris dengan pasti dan
jelas. Pengaturan warisan menurut al-Quran mengisyaratkan bijaksananya Allah
terhadap manusia, memberikan kemudahan dalam melaksanakan pembagian harta
warisan.
Bagian laki-laki sama dengan dua bahagian perempuan karena kewajiban
laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan
memberi nafkah, sebagaimana termuat dalam surat an-Nisa‟ ayat 34 yang artinya:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
dir ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan

10

pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika
mereka

mentaatimu,

Maka

janganlah

kamu

mencari-cari

jalan

untuk

menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

Ayat lain yang berkenaan tentang bahagian ahli waris yaitu firman Allah
swt, surat an-Nisa ayat 12 yang artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua
dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak,
Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutanghutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

Ayat ini juga menyatakan bahagian ahli waris seperti suami, isteri dan
lain-lain, bahagian tersebut jelas disebutkan serta persyaratan mendapatkan
bahagian tersebut. Kemudian Allah menutup ayat kewarisan dengan firman-Nya
yang berbunyi:

ِ
ٍ َ‫ ي ْد ِخ ْل ج‬, َ‫ك ح ُدود لِ ومن ي ِط ِع ل ورسول‬
‫ت َْت ِرى ِم ْن َْتتِ َها اَْْنْ َه ُر َخلِ ِديْ َن فِْي َها‬
َ ُ ُ ُ ْ ُ ََ َ
ُ ْ َ َ ُ ْ ُ َ ‫ت ْل‬
ِ ِ
ِ
ِ
ِ ‫ َوَم ْن يَ ْع‬. ‫ك اْل َف ْوُز اْ َلع ِظْي ُم‬
َ ‫َو َذل‬
ُ َ‫ يُ ْدخ ْل ُ َن ًرا َخل ًدا فْي َها َول‬,ُ ‫ص لَ َوَر ُس ْولَ ُ َويَتَ َع َد ُح ُد ْوَد‬

11

.‫ي‬
ٌْ ‫ب ُم ِه‬
ٌ ‫َع َذ‬
Artinya:

(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah.
Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungaisungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang
besar. Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke
dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan. (QS. An-Nisa` : 13)
Ayat ini menegaskan bahagian yang telah ditetapkan Allah sudah final.

Bahagian masing-masing ahli waris yang ditetapkan dalam al-Quran didasari
kepada kedekatan masing-masing ahli waris dengan sipewaris, dan menurut
kebutuhan masing-masing ahli waris. Ketetapan ini telah adil dan sesuai dengan
fitrah manusia. Barang siapa melanggar ketentuan tersebut, maka akan mendapat
azab yang hina. (Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Sayuthi, tt: 275).
al-Quran membatalkan sistem kewarisan masyarakat jahiliyyah dan
menggantikannya dengan sistem baru yang adil dan selaras dengan fitrah serta
realitas kehidupan rumah tangga dan kemanusiaan pada setiap kondisi. (Komite
Fakultas Syariah Universitas al-Azhar Kairo, tt: 1). Keadilan dalam hukum kewarisan

Islam adalah keadilan berimbang. Bahagian masing-masing ahli waris diberikan
berdasarkan jarak dan dekatnya hubungan kekerabatan dengan sipewaris dan
kebutuhan finansial ahli waris. Laki-laki memiliki tanggung jawab yang lebih
besar dalam hidup seperti nafkah keluarga dan membayar maskawin, ia berhak
mendapatkan bahagian yang lebih besar. (Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, 1997: 717).
Keistimewaan

hukum

Islam

dalam

masalah

waris,

seperti

keistimewaannya dalam bidang-bidang lain dalam pengaturan hidup. Nampak
jelas dihadapan mata. Islam menyampaikan hak-hak waris kepada orang-orang
yang memang berhak menerimanya (mustahiqqin). Pada masa jahiliyyah, hak
waris hanya diberikan kepada golongan yang kuat, tidak untuk kaum yang lemah.
Namun Islam sebaliknya, mengayomi golongan yang lemah (mustadh’afin)
karena lebih berhak mendapatkan perhatian dan kasih sayang.
Islam bukan hanya memberikan warisan kepada orang yang lemah, tetapi
juga memberikannya kepada setiap orang yang telah memenuhi salah satu sebab
12

untuk menerima warisan. Selama tidak ada sebab yang menghalangi, dia
mendapatkan warisannya dari pewaris, baik orang dewasa maupun anak-anak,
baik ia kuat maupun lemah.

E.

Kesimpulan
Hukum kewarisan Islam merupakan sistim waris yang didasarkan kepada

al-Quran dan hadits, yang selaras dengan prinsip fitrah serta realitas kehidupan
rumah tangga masyarakat. Hukum waris Islam mengedepankan prinsip persamaan
hak dalam menerima warisan, tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki dan
perempuan, anak-anak dan dewasa, golongan kuat dan lemah. Semuanya
mendapatkan warisan dari sipewaris secara adil.
Kedatangan hukum waris Islam melalui ayat al-Quran dan hadis telah
menggantikan sistim kewarisan sebelumnya yang dianut oleh masyarakat
jahiliyyah. Masyarakat jahiliyyah telah mengenal masalah kewarisan, dan asas
kewarisan jahiliyyah berdasarkan pertimbangan kemanfaatan bagi keluarga.
Perempuan dan anak kecil tidak diberikan warisan karena dianggap tidak
bermanfaat bagi keluarga, disebabkan lemah, tidak

sanggup berperang dan

merampas harta peperangan. Islam menghapus sistim ini dan menggantikannya
dengan sistim waris baru yang lebih berkeadilan.

13

DAFTAR BACAAN

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet.
1.
Ali Muhammad Khazen, Tafsir al-Khazin, Juz, 1, (t.tp: Darul al-Fikr, 1979).
Suhrawardi dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Edisi Ke-2, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2008).
Komite Fakultas Syariah Universitas al-Azhar Kairo, Hukum Waris, Terj. Addys
Aldizar dan Fathurrahman, Judul Asli, Ahkam al-Mawarits fi al-Fiqh alIslamy, (Jakarta: Senayan Abadi Publising, 2004).

Muhammad Suhaili Sufyan, Fiqh Mawaris Praktis, (Medan: Cita Pustaka Media
Perintis, 2012), Cet, 1.
Muhammad Ali al-Shabuni, al-Mawarits fi al-Syariah al-Islamiyah di Dhaui al
Kitab wa al-Sunnah, (Kairo: Dar al-Shabuni, 2002).

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2002).
Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, (Beirut: Darul
al-Fikri, 1997), Cet. Ke 5.

14