Visualisasi Anarkisme Suporter Sepakbola Dalam Film Green Street Holigans (Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce) - FISIP Untirta Repository

  

Visualisasi Anarkisme Suporter Sepakbola Dalam Film

Green Street Holigans

  (Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce) SKRIPSI

  Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Pada Konsentrasi Jurnalistik

  Program Studi Ilmu Komunikasi

  

Oleh

Alif Risna Fauzi

NIM 6662103153

KONSENTRASI JURNALISTIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

  

ABSTRAK

Alif Risna Fauzi. NIM. 6662103153. Skripsi. Visualisasi Anarkisme Suporter

Sepakbola Dalam Film Green Street Holigans (Analisis Semiotika Charles

Sanders Peirce). Pembimbing I: Mia Dwianna, S.Sos, M.Ikom dan

Pembimbing II: Yoki Yusanto, S.Sos, M.Ikom

  Visualisasi mempunyai kemampuan untuk menimbulkan kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argument bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan menungkannya ke atas layar. Visualisasi perfilman merupakan penampilan informasi yang komplek kedalam bentuk visual, visualisasi dimanfaatkan dimana penerima harus berusaha untuk mengartikan simbol tersebut. Film Green Street Holigans adalah penggambaran hooliganisme

  

supporter sepak bola di Inggris. Di Amerika dan di Australia film ini disebut

Green Street Hooligan,

  di Negara lain disebut football hooligan atau hanya hooligan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana sign, object, interpretant visualisasi anarkis supporter sepakbola. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dan model yang digunakan dalam menganalisis adalah model analisis semiotika, tiga unsur makna Charles Sanders Peirce yaitu Sign/tanda, object, dan intrepetant. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi tidak langsung yaitu mengamati Film Green Street Holigans dan menggunakan triangulasi teori untuk menguatkan hasil intrepetasi data. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa sign, objek dan intrepetant saling berhubungan satu sama lain dalam proses penyampaian pesan ideologi.

  Kata Kunci: Visualisasi, Film, Anarkisme.

  

ABSTRACT

Alif Risna Fauzi. NIM. 6662103153. Undergraduate Thesis. Visualization

Anarkisme Football Holigans of Green Street Holigans (Semiotics Analysis of

Charles Sanders Peirce) Guide. I: Mia Dwianna, S.Sos, M.Ikom and Guide II:

Yoki Yusanto, S.Sos, M.IKom

Visualization has the ability to give rise to criticism that appears on this

perspective is based on the argument that the film is a portrait of a society in

which the film was made. Movies always record the reality that grows and

develops in the community, and pour it over the screen. Visualization of the film is

the appearance of complex information into visual form, visualization is used in

which the receiver should attempt to interpret the symbols. The film is a portrayal

of Green Street Holigans football hooliganism in England supporters. In America

and in Australia this movie called Green Street Hooligans, in other countries is

called football hooligans or just hooligans. The aim of this study was to see how

the sign, object, interpretant visualization anarchist football supporters. This

study uses descriptive qualitative approach and the model used in the analysis is

the semiotic analysis model, the three elements of the meaning of Charles Sanders

Peirce, namely Sign, object, and intrepetant. Data collection techniques using

indirect observation of observing film Green Street Holigans and using

triangulation theory to corroborate the results of the data intrepetasi. The results

of this study revealed that the sign, object and intrepetant relate to each other in

the process of delivering a message ideology.

  Keywords: Visualization , Film, Anarkisme.

  

MOTTO & PERSEMBAHAN

“How many roads must a man walk down Before you call him a man? How many seas must a white dove sail Before she sleeps in the sand? Yes, how many times must the cannon balls fly The answer my friends is blowin’ in the wind…” __Bob Dylan - Blowin’ in the wind Song __

  Skripsi ini kupersembahkan untuk Mamahku yang terus berjuang dalam hidupnya agar anaknya dapat mengangkat harkat, martabat dan derajat keluarga untuk mendapatkan hidup yang lebih baik.

  

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

  Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul

  “Visualisasi Anarkisme Suporter Sepakbola Dalam Film Green Street Holigans (A nalisis Semiotika Charles Sander Peirce)” dengan

  baik. Adapun penelitian ini dilakukan dan disusun dengan tujuan untuk memenuhi salah satu syarat menempuh ujian sarjana pada Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

  Dalam melakukan penelitian ini, penulis tetap bertumpu pada landasan akademis dan menggunakan teori komunikasi yang ada untuk mengupas dan mengemas hasil penelitian ini sehingga menjadi sebuah karya ilmiah yang diharapkan bermanfaat dan dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu komunikasi, khususnya yang berhubungan dengan analisis semiotika.

  Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tentu tidak luput dari kekurangan-kekurangan yang ada, sebagaimana fitrah manusia yang diciptakan oleh Tuhan tidak ada yang sempurna dan tidak luput dari kesalahan. Dan selama masa penyusunan skripsi ini penulis banyak sekali mendapat bantuan, dengan ketulusan dan kerendahan hati, penulis ingin menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

  1. Bapak Prof. Dr. KH. Soleh Hidayat, M.Pd. Selaku Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

  2. Bapak Dr. Agus Sjafari, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

  3. Ibu Neka Fitriyah, S.Sos. M.Si, selaku Ketua Prodi Ilmu Komunikasi dan dosen pembimbing akademik penulis dari semester awal sampai akhir.

  4. Ibu Mia Dwianna S.Sos, M.Ikom selaku dosen pembimbing pertama yang telah banyak memberi waktu, bimbingan ilmu, arahan dan kesempatan pengalaman kepada penulis hingga dapat menyelesaikan penelitian ini.

  5. Bapak Yoki Yusanto S.Sos, M.Ikom selaku dosen pembimbing kedua yang telah banyak memberi waktu, bimbingan ilmu, arahan dan kesempatan pengalaman kepada penulis hingga dapat menyelesaikan penelitian ini.

  6. Ibu Puspita Asri Praceka, S.Sos. M.Ikom, selaku Sekertaris Jurusan Prodi Ilmu Komunikasi.

  7. Para Dosen dan staf TU Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik atas segala sumbangsihnya.

  8. Mamah tercinta yang tidak pernah lelah berdoa yang terbaik untuk anak mu ini. Skripsi ini adalah bukti Alif berhasil menyelesaikan pendidikan S1.

  9. Buat abah Slamet yang tidak pernah lelah berdoa yang terbaik untuk anak mu ini, ibu Supi Yati yang sekarang sudah bahagia di surga. Skripsi ini adalah bukti Alif berhasil menyelesaikan pendidikan S1.

  10. Rangga Andriana dan Putut Wiroreksono. Terimakasih banyak sudah membantu peneliti menyelesaikan skripsi ini.

  11. Sausan Saidah Salam. Terimakasih banyak telah menemani selama 7 bulan ini, segala baik dan buruk yang kau terima apa adanya. Terimakasih.

  12. Imagine family, Erzha, Bofal, Kotay aka Arief, Gugie, Dandy, Joe, Kiki Discongs. Terimakasih atas kebersamaan, kekeluargaan kalian dan atas dorongan semangat kalian.

  13. Teman-Teman Jurnalistik Komunikasi Kelas J Angkatan 2010, Putut Wiro Reksono, Rangga Andriana, Sumardi Noviono, M.Vicky(Lacuk), Maulana Yusuf, Otnay aka Suryanto, Romi Fatullah, Windi Tresnanda. Selalu semangat dalam menempuh perjanalan kuliah ini.

  14. Teman-teman seperjuangan 2010 Teguh Cipta, M. Fandi, Dhamar Indraloka, Step Ian Akbar, Akmal Alamsyah, Tirta Lestari Coppo, Natasya, Bunda Shinta, Sari Puji Fitriani dan Puput Jolie, M Nida, Ichawan (icon), Sausan, Nadia, Indra, Akmal, Stef, Dhamar, Teguh Cipta, Andi Hidayatullah Ocha, Windi, Nanis, Ncek. Semangat buat kalian semua.

  15. Teman-teman KKM 140 (Gea, Lingga, Dian, Adi, Andika, Tirta, Novi,

  16. Semua pihak yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu yang membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini dan selama perkuliahan di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa ini. Semoga Allah SWT membalas amal kebaikan kalian semua dengan yang lebih baik, Amin. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat, tidak hanya untuk diri sendiri, namun untuk seluruh pembaca pada umumnya.

  Serang, April 2015 Penulis Alif Risna Fauzi

  

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN................................... Error! Bookmark not defined.

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.0.1 Model Unsur Makna Peirce (Fiske 2006, 63)

  35 …………………

  41 Gambar 2.0.2 Bagan Kerangka Berfikir ……………………………………...

Gambar 3.0.1 Model Unsur Makna Peirce (Fiske 2006, 63)

  53 …………………

Gambar 4.0.1 Ikon Oddlot Enter ainment …………………………………….. 56Gambar 4.0.2 Poster Film Green Street Hooligan

  57 ……………………………

  64 Gambar 4.0.3 Tokoh Matt Buckner …………………………………………..

Gambar 4.0.4 Tokoh Pete Dunham …………………………………………... 65Gambar 4.0.5 Tokoh Shannon Buckner ……………………………………… 65Gambar 4.0.6 Tokoh Steve Dunham …………………………………………. 66Gambar 4.0.7 Tokoh Bovvers

  66 ………………………………………………...

  67 Gambar 4.0.8 Tokoh Tommy Hatcher ………………………………………..

Gambar 4.0.9 Tokoh Dave …………………………………………………… 67Gambar 4.0.10 Bagian Scenes 1 ……………………………………………… 69Gambar 4.0.11 Bagian Scenes 2 ……………………………………………… 80Gambar 4.0.12 Bagian Scenes 3 ……………………………………………… 87Gambar 4.0.13 Bagian Scenes 4

  ……………………………………………… 93

Gambar 4.0.14 Bagian Scenes 5 ……………………………………………… 101Gambar 4.0.15 Bagian Scenes 6

  ……………………………………………… 107

Gambar 4.0.16 Bagian Scenes 7 ……………………………………………… 112

  

DAFTAR TABLE

Tabel 2.0.1 Penjelasan Ikon, Indeks, Simbol ……………………………….. 37Tabel 2.0.2 Peneliti an Terdahulu ……………………………………………. 43Tabel 3.0.1 Sample Unit Analisis ………………………………………….... 49Tabel 4.0.1 Pembagian Tanda Scenes 1 …………………………………….. 71Tabel 4.0.2 Pembagian Tanda Scenes 2 …………………………………….. 82Tabel 4.0.3 Pembagian Tanda Scenes 3 …………………………………….. 88Tabel 4.0.4 Pembagian Tanda Scenes 4 …………………………………….. 95Tabel 4.0.5 Pembagian Tanda Scenes 5 …………………………………….. 102Tabel 4.0.6 Pembagian Tanda Scenes 6 …………………………………….. 108Tabel 4.0.7 Pembagian Tanda Scenes 7 …………………………………….. 113

  1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Visualisasi yang ada pada suatu film dapat menimbulkan kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argument bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan memproyeksikanya ke atas layar (Sobur 2009: hal 127). Bukti dari realitas tersebut dapat terlihat pada supporter sepak bola di Indonesia, yang tidak pernah bisa lepas dari tindak kekerasaan.

  Visualisasi perfilman merupakan penampilan informasi yang komplek kedalam bentuk visual. Visualisasi dimanfaatkan dalam perfilman yang akan lebih menarik bila dibuat dimana penerima harus berusaha untuk mengartikan symbol tersebut. Dengan disajikannya visualisasi dengan gambar-gambar atau tulisan dan grafik, maka mempermudah penikmat untuk menimbulkan persepsinya sendiri terhadap apa yang sedang mereka tonton. Visualisasi dalam film pun selalu menceritakan bagaimana tingkah dan perilaku yang memiliki maksud tertentu yang ingin disampaikan

  2 Dalam sebuah perfilman pun visualisasi gambar merupakan bagian

  yang penting. Visualisasi diartikan sebagai pengungkapan suatu gagasan atau perasaan dengan menggunakan bentuk gambar, tulisan (kata dan angka), peta, atau grafik . Secara umum film menggambarkan kisah real yang ada dalam kehidupan nyata. Dan bila ditelusuri lebih jauh akan banyak ditemukan muatan-muatan pesan yang ingin disampaikan oleh sang sutradara. Muatan-muatan pesan tersebut di visualisasikan yang mengidentifikasikan adanya pesan ideologi yang terkandung dalam isi cerita film ini. Pada kesempatan peneliti ingin mengulas tentang film olahraga yang bertema sepak bola, khususnya kepada supporter sepak bola. Film yang berjudul Green Street Hooligans, menceritakan tentang

  

hooliganisme supporter sepak bola di Inggris, film ini di sutradarai oleh

  Lexi Alexander dan dibintangi oleh Elijah Wood dan Charlie Hunnam. Di Amerika dan di Australia film ini disebut Green Street Hooligan, di Negara lain disebut football hooligan atau hanya hooligan.

  Dalam film ini seorang mahasiswa perguruan tinggi yang berkuliah di Harvard terlibat dengan firma hooligan West Ham United atau biasa disebut GSE (Green Street Elite) yang dikelola oleh kaka iparnya. Cerita dan skenario tersebut dikembangkan oleh mantan hooligan yang menjadi penulis yang bernama Dougie. Berbagai kepentingan, baik bisnis maupun politik sangat mempengaruhi dalam membingkai suatu peristiwa tertentu,

  3

  perhatian masyarakat. Sebagai contoh ialah pembuatan film mengenai fanatisme supporter yang di bumbui cinta. Pembanding yang dilakukan oleh sutradara bisa membuat citra ribuan supporter menjadi harum bahkan bisa juga menjadi buruk.

  Contoh pembingkaian film yang membuat citra supporter menjadi buruk. Dikutip dari film Romeo Juliet supporter persib vs persija yang mengangkat tentang fanatisme supporter di Indonesia khususnya persib dan persija yang dibumbui dengan cinta. Sifat loyalitas itu menunjukkan bahwa supporter tersebut memang benar-benar setia memberikan motivasi buat tim maupun fanatisme. Fanatisme supporter sepakbola yang berujung pada aksi kekerasan dan bentrok antar pendukung pun acapkali di belahan benua manapun. Andibachtiar Yusuf, penulis naskah dan sutradara film ini, menyatakan “fanatisme telah hidup dalam diri para supporter berlandaskan berbagai motif, baik yang rasional maupun yang di luar nalar. Mereka bahkan rela mati demi klub kesayanganya.” Film yang di mulai dari seorang Ranggamobe Larico (Edo Borne) sebagai pendukung persija yang bertemu dengan seorang lady viker yang bernama Dessy Kasih Purnamasari (Sissy prescilia), dalam bentrok tersebut terjadilah kisah klasik itu, cinta pada pandangan pertama antara Rangga dan Dessy.

  Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa cerita fiksi merupakan cerita rekaan tentang peristiwa-peristiwa yang didasarkan pada angan-

  4

  dibuat berdasarkan fakta, realita, atau hal-hal yang benar dan terjadi pada kehidupan kita sehari-hari.

  Beberapa contoh diatas menunjukkan bahwasannya pembingkaian cerita berpengaruh besar kepada para penontonnya. Cerita fiksi yang di angkat oleh sutradara dapat membingkai sebuat cerita film juga bisa membuat citra supporter menjadi buruk.

  Setelah banyak contoh berita yang dibingkai media diatas, penulis tertarik untuk meneliti visualisasi anarkisme supporter sepakbola dalam film green street holigans. Green Street Hooligans ini menjadi menarik ketika muatan pesan tersebut dapat dilihat dari penggambaran visual yang dibangun pada film tersebut mengenai fanatisme supporter sepak bola terhadap klub kesayangannya yaitu West Ham United. Dari fanatisme itu sendiri yang akhirnya menimbulkan anarkis antar holigans yang tervisualisasikan pada film tersebut.

  Berbicara mengenai simbol dan tanda maka tepat kiranya jika semiotika dijadikan pisau bedah untuk meneliti lebih jauh tetang film

  

Green Street Hooligans ini. Peneliti memilih simiotika karena kemampuan

  pendekatan ini memilih dan memilah setiap tanda dalam film baik audio maupun visual, verbal maupun nonverbal. Selain itu semiotika berkaitan erat dengan ideology. Semiotika sering ditunjuk sebagai model awal dari

  5

  pesan-pesan ideology mengenai fanatisme dan anarkisme dapat dikupas secara detail dengan teori simiotika. Dengan pertimbangan itulah penulis ingin mengangkat sebuah film sebagai objek penelitian semiotika sebagai pisau bedahnya. Karena unsur fanatisme dan anarkisme di film ini sangatlah kuat dan sangat berkarakter sehingga para penonton bisa menyimpulkan tayangan yang mereka tonton.

  Berdasarkan paparan di atas, penulis merasa perlu mengkaji lebih jauh film ini ke dalam bentuk penelitian yang berjudul “Visualisasi anarkisme supporter sepak bola pada film Green Street Hooligans

  ”

  1.2 Perumusan Masalah

  Berdasarkan pokok-pokok pemikiran pada pemaparan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

  Bagaimana “Visualisasi anarkisme supporter sepak bola dalam film

  Green Street Hooligans

  ”?

  1.3 Identifikasi Masalah

  Masalah dalam penelitian ini diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Bagaimana Sign anarkis dalam film Green Street Hooligans? 2. Bagaimana Object symbol anarkis dalam film Green Street Hooligans?

  6

1.4 Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian dalam penulisan ini ialah: 1. Mengungkapkan Sign apa yang muncul tentang visualisasi anarkis yang terjadi dalam film Green Street Hooligans.

  2. Mengungkapkan Object symbol-symbol anakis dalam film Green Street Hooligans.

  3. Mengungkapkan Interpretan anarkis dalam film Green Street Hooligan

1.5 Manfaat Penelitian

  1.5.1 Manfaat Akademis

  Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi studi komunikasi, khususnya mengenai media film yang berkaitan dengan studi semiotika baik dalam pembelajaran teori pada perkuliahan mengenai semiotika komunikasi maupun sinematografi.

  1.5.2 Manfaat Praktis

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru kepada khalayak mengenai pesan-pesan yang terkandung dalam sebuah film. Juga sebagai masukan untuk para sineas perfileman tanah air baik untuk produser, pekerja film.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teoritis

2.1.1 Visualisasi

  Visualisasi berasal dari kata, yaitu: 1. Visual berarti berdasarkan penglihatan atau dapat dilihat.

2. Visualization berarti pemberian gambar 3.

  .

  Visualize berarti memberi gambar tentang sesuatu Visualisasi diartikan sebagai pengungkapan suatu gagasan atau perasaan dengan menggunakan bentuk gambar, tulisan (kata dan angka), peta, atau grafik . Juga diartikan sebagai proses pengubahan konsep menjadi gambar untuk disajikan lewat media misalnya televisi oleh produsen.

  Edward Tufte (1997: hal 23) mengatakan bahwa “Visualization is

  successful if it reveals this structure. A different way to express this it to say that information design works with information, while information visual information works with data as it always the case with the actual cultural practice, it is easy to find example that do not fit such distinction but a majority do. Therefore, I think that this distinction can be useful in allowing us to understand the practices of information visualization design as

  8

  gambar, diagram atau animasi untuk penampilan suatu informasi. Secara umum, visualisasi dalam bentuk gambar baik yang bersifat abstrak maupun nyata telah dikenal sejak awal dari peradaban manusia. Contoh dari hal ini meliputi lukisan di dinding-dinding gua dari manusia purba, bentuk huruf hiroglip Mesir, sistem geometri Yunani, dan teknik pelukisan dari Leonardo da Vinci untuk tujuan rekayasa dan ilmiah.

  Visualisasi adalah suatu bentuk penyampaian informasi yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu dengan gambar, animasi atau diagram yang bisa dieksplor, dihitung dan dianalisis datanya. Menurut McCormick (et al., 1987), visualisasi memberikan cara untuk melihat yang tidak terlihat. Beberapa hal yang menyusun terbentuknya visualisasi:

1. Penggunaan tanda-tanda (signs) 2.

  Gambar (drawing) 3. lambang dan symbol 4. Ilmu dalam penulisan huruf (tipografi) 5. Ilustrasi dan warna

  Visualisasi merupakan upaya manusia dalam mendeskripsipkan maksud tertentu menjadi sebuah bentuk informasi yang lebih mudah dipahami. Biasanya pada jaman sekarang manusia menggunakan komputer. Visualisasi berkembang dengan perkembangan teknologi, diantaranya rekayasa, visualisasi disain produk, pendidikan, multimedia interaktif,

  9

  mendiagnosa dan menganalisis data yang ditampilkan agar dapat memprediksi kesimpulan.

2.1.1.1 Visualisasi Berdasarkan Komunikasi Massa

  Elvinaro menyebutkan komunikasi massa dapat dijelaskan melalui beberapa karakteristik (Elverano 2004: hal 57). Karakteristik tersebut antara lain: komunikator dalam komunikasi massa terlembagakan, komunikasi massa menggunakan media massa, baik media cetak maupun elektronik.

  Komunikasi massa juga melibatkan lembaga dan komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks (Elvirano 2004: hal 57).

  Pesan yang disampaikan komunikasi massa bersifat umum. Komunikasi massa bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditunjukan untuk semua orang dan tidak untuk sekelompok orang tertentu (Cangara Hafied 2004: hal 14). Pesan adalah sesuatu yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan melalui proses komunikasi. Ada juga yang mengatakan bahwa pesan adalah serangkaian isyarat atau simbol yang diciptakan oleh seseorang untuk maksud tertentu dengan harapan bahwa penyampaian isyarat atau simbol itu akan berhasil dalam menimbulkan sesuatu. Bahasa verbal sebagai bentuk pesan yang digunakan oleh manusia untuk mengadakan kontak dengan realitas lingkungnnya (Daryanto 2010: hal 97).

  10 Bentuk yang paling umum dari bahasa verbal manusia adalah

  bahasa terucapkan. Bahasa tertulis adalah sekedar cara untuk merekam bahasa terucapkan dengan membuat tanda

  • – tanda pada kertas ataupun pada lembaran tembaga dan lain-lain. Penulisan ini memungkinkan manusia untuk merekam dan menyimpan pengetahuan sehingga dapat digunakan dimasa depan atau di transmisikan pada generasi - generasi berikutnya.

  a.

  Bahasa sebagai lambang b. Bahasa dan makna c. Bahasa dan kebudayaan d. Bahasa dan kenyataan

  Komunikasi massa bersifat anonim dan heterogen. Komunikator dalam komunikasi massa tidak mengenal komunikan (anonym), karena komunikasinya menggunakan media dan tidak tatap muka. Selain itu, komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda, yang dapat dikelompokkan berdasarkan factor: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar belakang budaya, agama, dan tingkat ekonomi (Daryanto 2010: hal 97).

  Komunikasi massa menimbulkan keserempakan. Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya adalah jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relative banyak dan tidak terbatas. Bahkan lebih dari itu, komunikan yang banyak tersebut

  11

  secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama (Daryanto 2010: hal 97).

  Komunikasi massa mengutamakan dimensi isi ketimbang dimensi hubungan. Sedangkan pada komunikasi antara personal unsur hubungan sangat penting. Dimensi isi menunjukkan muatan atau isi komunikasi, yaitu apa yang dikatakan, sedangkan dimensi hubungan menunjukkan bagaimana cara mengatakannya, yang juga mengisyaratkan bagaimana hubungan para peserta komunikasi itu.

  2.1.2 Definisi Film Menurut Undang-Undang Perfilmn No. 8 tahun 1992, Pasal 1 Ayat 1.

  Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya.

  Sedangkan menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman (UU baru tentang perfilman) “Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial

  12 Film dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk

  fantasi dan figure palsu) dengan kamera, dan atau oleh animasi. Kamera film menggunakan pita seluloid (atau sejenisnya, sesuai perkembangan teknologi). Butiran silver halida yang menempel pada pita ini sangat sensitif terhadap cahaya. Saat proses cuci film, silver halida yang telah terekspos cahaya dengan ukuran yang tepat akan menghitam, sedangkan yang kurang atau sama sekali tidak terekspos akan tanggal dan larut bersama cairan pengembang (developer).

  Pada dasarnya film dapat dikelompokkan ke dalam dua pembagian besar, yaitu kategori film cerita dan film non-cerita. Terkadang suka digolongkan menjadi film fiksi dan non-fiksi. Film cerita adalah film yang diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang, dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Pada umumnya, film cerita bersifat komersial, artinya dipertunjukan di bioskop dengan harga karcis tertentu atau diputar di televisi dengan dukungan iklan tertentu. Film non-cerita merupakan kategori film yang mengambil kenyataannya sebagai subyeknya. Jadi merekam kenyataan daripada fiksi tentang kenyataan (Himawan Pratista 2008, 24)

2.1.3 Film sebagai Media Massa

  Film adalah gambar yang bergerak yang diproduksi secara khusus untuk dipertunjukan di gedung-gedung pertunjukan (bioskop), film ini

  13

  karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dIbuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan / atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan / atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, eletronik, dan / atau lainnya.

  Media massa (film) merupakan perpanjangan tangan dari masyarakat, sehingga apa yang terkandung dalam media tersebut merupakan gambaran realitas sosial di masyarakat, yang mempunyai kekuatan dalam menyampaikan suatu makna, tentunya dengan ide yang dituangkan oleh komunikator lewat berita dan hIburan yang dikemas dalam isi pesan media. McQuail (1987) mendefinisikan pandangannya tentang media sebagai berikut: 1.

  Media massa sebagai penterjemah yang menolong kita, menjadikan pengalaman diri menjadi suatu yang masuk akal.

2. Media adalah angkutan yang menyampaikan informasi.

  3. Media merupakan sarana komunikasi interaktif yang memberikan kesempatan kepada khalayak atau masyarakat untuk memberikan tanggapan atau umpan balik.

  14 5.

  Media merupakan filter yang memfokuskan kita pada beberapa bagian dari pengalaman pribadi dan mengalihkannya dari beberapa bagian yang lain.

  6. Media merupakan cermin yang merefleksikan diri kita.

  7. Media merupakan pagar pembatas yang memblokir suatu kebenaran.

  Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, dan televisi (Cangara 1998). Media massa juga mempunyai kemampuan yang kuat dalam mengubah perilaku khalayak (komunikan) melalui proses imitasi (belajar sosial). Hal ini dapat dilihat dari banyaknya stasiun televisi, radio, perusahaan media cetak, baik itu surat kabar, majalah, dan media cetak lainnya, sebab masyarakat selalu haus akan informasi, hIburan dan lain sebagainya yang disediakan oleh media massa.

  Hal ini dipertegas oleh McQuil (1987), yang mengatakan” Media massa merupakan salah satu sarana untuk pengembangan kebudayaan, bukan hanya udaya dalam pengertian seni dan simbol tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata-cara, mode, gaya hidup dan norma- norma”. Sementara menurut Liliweri (2001), jenis media massa berorientasi pada 3 aspek penting. Pertama mengenai penglihatan (visual dan verbal) dalam hal ini media cetak, kedua mengenai pendengaran (audio) semata-mata (radio,

  15

  penglihatan (televisi, film, video) yang bersifat verbal visual vokal. Bahkan menurut Nurudin (2007), media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas. Selain itu media massa juga mempunyai fungsi. Menurut Bungin (Bungin 2007: hal 78-81) fungsi Komunikasi massa adalah fungsi pengawasan, fungsi sosial learning, fungsi penyampaian informasi, fungsi tranformasi budaya, dan fungsi hIburan.

  1. Fungsi pengawasan, media massa merupakan sebuah medium dimana dapat digunakan untuk pengawasan aktivitas masyarakat pada umumnya. Fungsi pengawasan ini bisa berupa peringatan dan kontrol sosial maupun kegiatan persuasif.

  2. Fungsi social learning, fungsi utama dari komunikasi media massa adalah melakukan guiding dan pendidikan sosial kepada seluruh masyarakat. Media massa bertugas untuk memberikan pencerahan- pencerahan kepada masyarakat dimana komunikasi massa itu berlangsung.

  3. Fungsi penyampaian informasi, komunikasi massa mengandalkan media massa, sebagai alat dalam proses penyampaian informasi kepada masyarakat luas. Komunikasi massa memungkinkan informasi dari institusi publik tersampaikan kepada masyarakat secara luas dalam waktu yang cepat dan singkat.

4. Fungsi transformasi budaya, merupakan fungsi yang yang bersifat

  16

  maka yang terpenting adalah komunikasi massa menjadi proses transformasi budaya yang dilakukan bersama-sama oleh semua komponen komunikasi massa, terutama yang didukung oleh media massa.

  5. Fungsi hiburan, komunikasi massa juga digunakan sebagai medium hIburan, terutama karena komunikasi massa menggunakan media massa. Jadi fungsi hIburan yang ada pada media massa, juga merupakan bagian dari fungsi komunikasi massa.

  Dengan demikian, maka fungsi hIburan dari komunikasi massa saling mendukung fungsi-fungsi lainnya dalam proses komunikasi massa.

2.1.4 Film Sebagai Realitas Tanda

  Media dalam hal ini film, bisa diartikan sebagai sistem tanda atau lambang tertentu yang berada ditengah khalayak, yang diekspresikan sebagai seni dan karya sastra kemudian ditungkan dalam isi pesan pada sebuah film. Sebagai realitas tanda, isi pesan film banyak dipandang sebagai gambaran simbolik (symbolic representation), dari suatu budaya dan latar belakang di masyarakat. Sehingga isi pesan dalam film yang disampaikan oleh sutradara (komunikator), merupakan cerminan dari realitas sosial yang berupa nilai-nilai, aturan, dan tatanan normatif, yang diangkat dari simbol-simbol realitas menjadi tontonan yang dipadukan antara berita dan hiburan.

  17 Tanda dalam realitas tersebut diangkat dari persepsi sutradara

  (komunikator) sendiri, yang dimaknai dari pengalaman yang didapat atau dilihat dari lingkungan sosial budaya. Sehingga film tidak semata membentuk realitas tapi memberikan penekanan persepsi di depan kamera. Hal ini diperkuat oleh pandangan Alex Sobur pada tahun 2004, bahwa film bukan semata-mata memproduksi realitas tetapi juga mendefinisikan realitas.

  Film dibagi kedalam tiga kategori yaitu film fitur, film dokumenter, dan film animasi yang biasa disebut dengan film kartun.

  1. Film fitur, merupakan karya fiksi yang stukturnya berupa narasi yang dIbuat dengan tiga tahap. Tahap praproduksi merupakan tahap ketika skenario diperoleh. Skenario ini bisa berupa adaptasi dari novel, cerita pendek atau karya cetakan lainya. Bisa juga dIbuat secara khusus untuk dIbuat filmnya. Tahap produksi yaitu masa berlangsunganya pembuatan film berdasarkan skenario itu. Tahap terakahir, adalah pos- produksi (editing), ketika semua bagian film dalam pengambilan gambar tidak sesuai urutan cerita, disusun menjadi suatu kisah yang menyatu.

  2. Film dokumenter, merupakan film yang nonfiksi yang menggambarkan situasi kehidupan nyata, dengan setiap individu

  18 Film dokumenter sering kali diambil tanpa skrip dan jarang

  ditampilkan di gedung bioskop seperti film fitur. Film jenis ini biasanya ditampilkan di televisi.

  3. Film animasi, merupakan film yang menggunakan teknik ilusi gerakan dari serangkaian gambaran benda dua atau tiga dimensi. Penciptaan tradisional dari animasi gambar bergerak selalu diawali hampir bersamaan dengan peyusunan storyboard, yaitu serangkaian sketsa yang menggambarkan bagian penting cerita. Sketsa tambahan dipersiapkan kemudian untuk memberikan ilustrasi latar belakang, dekorasi serta tampilan dan karakter tokohya.

  Selain berbagai jenis film tersebut di atas, Ardianto (2004), mengelompokkan film menjadi 4 jenis salah satunya adalah film cerita (story film): Film cerita adalah film yang mengandung suatu cerita, dan biasanya cerita yang diangkat untuk membuat sebuah film jenis ini, bisa fiksi dan bisa juga berdasarkan kisah nyata yang sudah dimodifikasi oleh sutradara, supaya lebih terlihat menarik baik dari segi cerita maupun dari segi gambarnya. Film yang penulis teliti merupakan film yang termasuk ke dalam jenis film cerita seperti yang telah disebutkan oleh Ardianto, karena isi pesan dalam film ini merupakan kisah nyata atau realitas sesungguhnya yang diangkat oleh sutradara menjadi sebuah film cerita.

  19

2.1.5 Film Sebagai Representasi Realitas Secara etimologis, film berarti moving image, gambar bergerak.

  Awalnya, film lahir sebagai bagian dari perkembangan teknologi. Ia ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor.

  Thomas Edison yang untuk pertama kalinya mengembangkan kamera citra bergerak pada tahun 1888 ketika ia membuat film sepanjang 15 detik yang merekam salah seorang asistennya ketika sedang bersin. Segera sesudah itu, Lumiere bersaudara memberikan pertunjukkan film sinematik kepada umum di sebuah kafe di Paris (Danesi 2010: hal 132).

  Pada titik ini film telah menjadi media bertutur manusia, sebuah alat komunikasi, menyampaikan kisah. Jika sebelumnya bercerita dilakukan dengan lisan, lalu tulisan, kini muncul satu medium lagi: dengan gambar bergerak, yang diceritakan adalah perihal kehidupan. Di sinilah kita lantas menyebut film sebagai representasi dunia nyata. Eric Sasono menulis, dibanding media lain, film memiliki kemampuan untuk meniru kenyataan sedekat mungkin dengan kenyataan sehari-hari. Film dIbuat representasinya oleh pembuat film dengan cara melakukan pengamatan terhadap masyarakat, melakukan seleksi realitas yang bisa diangkat menjadi film dan menyingkirkan yang tidak perlu, dan direkonstruksi yang dimulai saat menulis skenario hingga film selesai di buat.

  20 Meski demikian, realitas yang tampil dalam film bukanlah realitas

  sebenarnya. Film menjadi imitasi kehidupan nyata (Irwansyah 2009: hal 12), yang merupakan hasil karya seni, di mana di dalamnya di warnai dengan nilai estetis dan pesan-pesan tentang nilai yang terkemas rapi (Al- Malaky 2004: hal 139).

  Dalam kajian semiotik, film adalah salah satu produk media massa yang menciptakan atau mendaur ulang tanda untuk tujuannya sendiri.

  Caranya adalah dengan mengetahui apa yang dimaksudkan atau direpresentasikan oleh sesuatu, bagaimana makna itu digambarakan, dan mengapa ia memiliki makna sebagaimana ia tampil. Pada tingkat penanda, film adalah teks yang memuat serangkaian citra fotografi yang mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan nyata. Pada tingkat petanda, film merupakan cermin kehidupan metaforis. Jelas bahwa topik film menjadi sangat pokok dalam semiotik media karena di dalam genre film terdapat sistem signifikansi yang ditanggapi orang-orang masa kini dan melalui film mereka mencari rekreasi, inspirasi, dan wawasan pada tingkat interpretant (Danesi 2010: hal 134).

2.1.6 Holigans

  Menurut Chol s, kata ‚supporter/hooligans ‚ berasal dari kata kerja (verb) dalam bahasa Inggris to support dan akhiran (suffict)

  • –er. To support

  21

  (Kamus Bahasa Inggris, 1988). Sementara itu, menurut Yasyin (Kamus Bahasa Indonesia,

  1997) istilah‚ penonton berasal dari awalan pe- dan kata kerja tonton dalam bahasa Indonesia. Awalan pe- dalam hal ini berarti orang yang melakukan pekerjaan sesuai dengan kata kerja. Bila kata kerjanya tonton, maka penonton berarti orang yang menyaksikan suatu pertunjukan atau tontonan.

  Ada perbedaan yang tipis antara „penonton‟ dan „suporter‟, terlebih lagi apabila kata tersebut digunakan dalam persepakbolaan. Penonton adalah orang yang melihat atau menyaksikan pertandingan sepakbola, sehingga bersifat pasif. Sedangkan suporter adalah orang yang memberikan dukungan, sehinga bersifat aktif. Dalam lingkungan sepakbola, suporter erat kaitannya dengan dukungan yang dilandasi oleh perasaan cinta dan fanatisme terhadap tim.

  Selain penonton dan suporter, istilah lain juga muncul berkenaan dengan sebutan terhadap sekelompok orang yang sedang menyaksikan pertandingan sepakbola. Sindhunata pada tahun 2002 mengatakan bersumber dari sejumlah terbitan surat kabar di Surabaya maupun tulisan hasil penelitian sejumlah ahli, peneliti melansir adanya beberapa istilah untuk penonton sepakbola, seperti istilah tifosi dari Italia, yang berarti pendukung fanatik dalam sepakbola Italia, begitu pula halnya dengan istilah

  

torsedor dari Amerika Latin, Hooligans dari Inggris, Istilah The Jak dari

  22

  merupakan singkatan atau akronim dari kata ‟bondho nekat‟ dan „bondho

  maling ‟.

  Dapat disimpulkan bahwa Suporter yang fanatis mempunyai pandangan sempit terhadap tim sepakbola yang dicintai dan berantusias atau bersemangat yang tinggi untuk mendukung tim sepakbola kesayangannya serta ditunjukkan dengan berperilaku yang irrasional ketika kesebelasannya dicemooh atau kalah dalam bertanding. Suporter akan betindak sangat emosional dan misinya, praktis tak mengenal batas-batas.

  Begitu pula sebaliknya ketika kesebelasannya menang dalam pertandingan, suporter mengalami rasa kegembiraan yang luar biasa dan larut dalam

  euforia .

2.1.6.1 Sejarah Hooligans

  Harus diakui, Inggris adalah pelopor sepakbola modern karena Negara inilah yang menyempurnakan peraturan sepak bola menjadi menarik seperti sekarang ini. Pada tahun 1845 baru dibuat peraturan yang mengenai permainan sepakbola. Sebelumnya sepakbola masih sama dengan

  

rugby, pemain masih boleh menggunakan tangan untuk menangkap dan

  membawa bola. Baru pada tahun 1949 ada peraturan, pemain sepak bola tidak boleh menggunakan tangannya dan sepak bola „berpisah‟ dengan rugby (Arifin 2011: hal 17).

  Bagi penggila sepak bola, istilah hooligan bukanlah kosa kata asing

  23

Dokumen yang terkait

Metafora “Matahari” Dalam Film Suncatchers (Analisis Semiotika Metafora “Matahari” dalam Film Suncatchers)

25 158 124

Representasi Feminisme Dalam Film (Analisis Semiotika Representasi Feminisme Dalam Film “Sex And The City 2 (2010)”)

36 244 145

representasi Hooliganisme dalam film Green Street Hooligans (Analisis Semiotika Roland barthes Mengenai Hooliganisme dalam Film Green Street Hooligans)

11 90 74

Analisis Semiotika Roland Barthes Tentang Representasi Loyalitas Suporter Persib Dan Persija Dalam Film Romeo Dan Juliet

8 80 127

BUDAYA INDONESIA DALAM PROGRAM SERI KOMEDI MOCKUMENTARY “MALAM MINGGU MIKO 2” CERITA ‘MALAM BARU MIKO’ DI KOMPAS TV (Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce) - Institutional Repository ISI Surakarta

0 1 151

REPRESENTASI ANAK SEKOLAH DALAM SINETRON LOVEPEDIA EPISODE “RUMUS CINTA GURU PRIVATE” DI TRANS TV (Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce) - Institutional Repository ISI Surakarta

0 0 83

PENGADEGANAN TOKOH SOEGIJA DALAM FILM SOEGIJA KARYA GARIN NUGROHO (Studi Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce) - Institutional Repository ISI Surakarta

0 0 93

Pesan Moral dalam Film “7 Petala Cinta” (Analisis Semiotik Charles Sanders Peirce) - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 4 97

Representasi Nilai Toleransi Antarumat Beragama dalam Film "Aisyah Biarkan Kami Bersaudara" (Analisis Semiotika Charles Sanders Pierce) - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 1 78

Perahu Pinisi Sebagai Lambang Kabupaten Bulukumba (Analisis Semiotika Charles Sanders Pierce) - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 89