Metafora “Matahari” Dalam Film Suncatchers (Analisis Semiotika Metafora “Matahari” dalam Film Suncatchers)

(1)

Metafora “Matahari” Dalam Film

Suncatchers

(Analisis Semiotika Metafora “Matahari” dalam Film

SUNCATCHERS

)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Rouli Afrilya

090904124

Hubungan Masyarakat

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI Lembar Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh : Nama : Rouli Afrilya

NIM : 090904124 Departemen : Ilmu Komunikasi

Skripsi : Metafora “Matahari” Dalam Film Suncatchers (Analisis Semiotika Metafora “Matahari” dalam Film SUNCATCHERS)

Medan, Juli 2013

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Yovita Sabarina Sitepu, S.Sos, M.Si Dra.Fatma Wardi Lubis, M.A NIP. 198011072006042002 NIP.195102191987011001

Dekan FISIP USU

Prof. Dr. Badaruddin, M.Si NIP. 196805251992031002 


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Rouli Afrilya

NIM : 090904124

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi : METAFORA “MATAHARI” DALAM FILM SUNCATCHERS

(Analisis Semiotika Metafora “Matahari” dalam Film SUNCATCHERS)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji : ( ) NIP.

Penguji : ( )

NIP.

Penguji Utama : ( )

NIP.

Ditetapkan di : Medan Tanggal : Juli 2013 


(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika dikemudian

hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : Rouli Afrilya

NIM : 090904124

Tanda Tangan :


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulisan skripsi dengan judul “Metafora “Matahari” dalam Film Suncatchers” ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU).

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis mendapat banyak saran, arahan, dan bimbingan serta semangat yang sangat berguna penulis. Sebab, tana bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, akan sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof.Dr.Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra.Fatma Wardi Lubis, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi.

3. Ibu Dra.Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi. 4. Kak Yovita Sabarina Sitepu, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan arahan, nasehat, dan bimbingan kepada penulis selama pengerjaan skripsi ini.

5. Seluruh dosen dan staf pengajar yang telah membimbing penulis selama perkuliahan di Departeman Ilmu Komunikasi.

6. Laboratorium Ilmu Komunikasi yang telah membantu penulis mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

7. Seluruh keluarga, Terutama mama, papa, bang Siahaan dan ka Ge, Bang Pang, serta keponakan kecilku, Regan.

8. Teman-teman penulis, Ensy, Uchy, Ewi, dan teman-teman seperjuangan Nelly, Susy, Ayag, Atiqa, beserta seluruh teman-teman Ilmu Komunikasi stambuk 2009 yang menjadi teman terbaik penulis.


(6)

10.Seluruh informan dan pihak-pihak yang terkait dengan penelitian, yang telah menyediakan waktunya.

Akhir kata, penulis berharap agar Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan membalas segala kebaikan hati semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu.

Medan, Juli 2013

Penulis

   

                         


(7)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Rouli Afrilya NIM : 090904124 Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Universitas Sumatera Utara Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-ekslusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Strategi Komunikasi efektif Suami-Istri Beda Budaya Dalam Mendidik Anak (Studi Kasus Pasangan Suami-Istri Suku Batak Toba-Jawa Dalam Mendidik Anak di Kota Medan).

Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menympan, mengaihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.


(8)

Dibuat di : Medan

Pada tanggal :

Yang menyatakan


(9)

ABSTRAK

ROULI AFRILYA, METAFORA “MATAHARI” DALAM FILM SUNCATCHERS (Analisis Semiotika Metafora “Matahari” dalam Film SUNCATCHERS)

Penelitian ini berjudul “Metafora “Matahari” Dalam Film SUNCATCHERS”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemaknaan metafora “matahari” yang terdapat dalam Film SUNCATCHERS, serta untuk mengetahui pemaknaan metafora “matahari” jika dikaitkan dengan nilai-nilai perusahaan Sun Life Financial. Penelitian ini bersifat kualitatif, disertai dengan paradigma interpretif. Dalam menganalisis data pada objek penelitian, peneliti menggunakan teknik analisis semiotika. Teori-teori yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini, antara lain: teori komunikasi massa, film, dan semiotika film. Peneliti menggunakan pendekatan sintagmatik film Christian Metz, disertai dengan pra-ikonografi, pra-ikonografi, dan ikonologi Panofsky. Dari hasil analisis data dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa dalam film yang diteliti terdapat sebagian besar adegan yang mengandung pemaknaan metafora. Pemaknaan metafora tersebut menyiratkan pesan terhadap penonton tentang bagaimana peran matahari di dalam kehidupan.

Kata kunci :


(10)

ABSTRACT

ROULI AFRILYA, Metaphor of "Sun" in SUNCATCHERS (Semiotics Analysis of Metaphor of "Sun" in Suncatchers)

This research titled “Metaphor of “Sun" in SUNCATCHERS. This study aims to determine the meaning of metaphor of "sun" contained in Suncatchers, and to determine the meaning of metaphor of " sun" inrelation with value of the company. This research used descriptive qualitative, with the interpretive paradigm and

semiotic analysis technique. In this research, the theories are used as reference,

consist of: theory of mass communication, film and film semiotics. The data analysis are based on the film syntagmatic of Christian Metz, accompanied the pre-iconography, pre-iconography, and iconology of Panofsky approach. From data analysis of research, it can be concluded that the film research are largely metaphorical interpretation of scenes containing. The meaning of the metaphor implies a message to the audience about how the sun's role in life.

         

Keywords :

Metaphor of “sun”, Suncathers, Semiotics

   

                   


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………. i

LEMBAR PERSETUJUAN……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN ……….. iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ………... iv

KATA PENGANTAR………... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH……… vii

ABSTRAK………. viii

DAFTAR ISI………. ix

DAFTAR TABEL………. xi

DAFTAR GAMBAR……… xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah…….…….…….….….…….…….…..….……….… 1

1.2 Fokus Masalah.….….….….….….….….….………. 6

1.3 Tujuan Penelitian………... 6

1.4 Manfaat Penelitian………. 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian………. 8

2.2 Uraian Teoritis.….….….….….….….………10

2.2.1 Komunikasi Massa.….….….….….…..…...….….…..….…… 10

2.2.2 Film sebagai Komunikasi Massa. …..…..…...….….…..….… 10

2.2.2.1 Pengertian Film.…..…...…. .….…...…..…...…..…10

2.2.2.2 Jenis-jenis Film.…..…...…. .….…...…..…...…..…10

2.2.2.3 Klasifikasi Film.…..…...…...….…....…...…...……10

2.2.2.4 Unsur-unsur Film.…..…...…. .….…...…..…...…...10

2.2.2.5 Struktur Film.…..…...…..…..…...…...…....…...…10

2.2.3 Film sebagai Iklan.….….….….….…..…....….….…..….…….10

2.2.4 Semiotika Film.…..…..….…..….…...…...….….…..….…….10

2.2.4.1 Semiotika Christian Metz.. ……..…...…..…...…..…10

2.2.4.2 Ikonografi dan Ikonologi Pnofsky...…...…….…..…10

2.3 Model Teoritis.….….….….….….….………10

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian.….…….….….….….….….….….….….……… 37

3.2 Objek Penelitian……….…….……….……….……… 39

3.3 Teknik Pengumpulan Data………. 40

3.3.1 Dokumentasi……….. 40

3.3.1 Studi Kepustakaan……… 40

3.4 Teknik Analisis Data……….…….………….……….. 40

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil………. 42

4.1.1 Deskripsi Film Suncatchers.…….…….…….….….….…….. 40

4.1.2 Struktur dalam Film Suncatchers………….….….………….. 40


(12)

4.2 Pembahasan………..………..……… 90

4.2.1 Metafora Matahari dalam Kehidupan………. 40

4.2.2 Suncatchers sebagai Penyatuan Makna Metafora Matahari dengan Nilai Perusahaan Sun Life Financial .….….…………. 40

BAB V SIMPULAN DAN SARAN V.1 Simpulan……….. 70

V.2 Saran……… 71

V.2.1 Saran Akademis……… 71

V.2.2 Saran Praktis………. 72 DAFTAR REFERENSI

LAMPIRAN

- Waktu Pengambilan Gambar - Tagline Suncatchers

- Lembar Catatan Bimbingan Skripsi - Daftar Riwayat Hidup


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Ikon, Indeks, dan Simbol 30 2.2 Pra-ikonografi, Ikonografi, dan Ikonologi 27 4.1 Sequence, Scene, dan Shot 30

                                           


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

- Plot Arc (Tahapan Plot) 22

                                             


(15)

ABSTRAK

ROULI AFRILYA, METAFORA “MATAHARI” DALAM FILM SUNCATCHERS (Analisis Semiotika Metafora “Matahari” dalam Film SUNCATCHERS)

Penelitian ini berjudul “Metafora “Matahari” Dalam Film SUNCATCHERS”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemaknaan metafora “matahari” yang terdapat dalam Film SUNCATCHERS, serta untuk mengetahui pemaknaan metafora “matahari” jika dikaitkan dengan nilai-nilai perusahaan Sun Life Financial. Penelitian ini bersifat kualitatif, disertai dengan paradigma interpretif. Dalam menganalisis data pada objek penelitian, peneliti menggunakan teknik analisis semiotika. Teori-teori yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini, antara lain: teori komunikasi massa, film, dan semiotika film. Peneliti menggunakan pendekatan sintagmatik film Christian Metz, disertai dengan pra-ikonografi, pra-ikonografi, dan ikonologi Panofsky. Dari hasil analisis data dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa dalam film yang diteliti terdapat sebagian besar adegan yang mengandung pemaknaan metafora. Pemaknaan metafora tersebut menyiratkan pesan terhadap penonton tentang bagaimana peran matahari di dalam kehidupan.

Kata kunci :


(16)

ABSTRACT

ROULI AFRILYA, Metaphor of "Sun" in SUNCATCHERS (Semiotics Analysis of Metaphor of "Sun" in Suncatchers)

This research titled “Metaphor of “Sun" in SUNCATCHERS. This study aims to determine the meaning of metaphor of "sun" contained in Suncatchers, and to determine the meaning of metaphor of " sun" inrelation with value of the company. This research used descriptive qualitative, with the interpretive paradigm and

semiotic analysis technique. In this research, the theories are used as reference,

consist of: theory of mass communication, film and film semiotics. The data analysis are based on the film syntagmatic of Christian Metz, accompanied the pre-iconography, pre-iconography, and iconology of Panofsky approach. From data analysis of research, it can be concluded that the film research are largely metaphorical interpretation of scenes containing. The meaning of the metaphor implies a message to the audience about how the sun's role in life.

         

Keywords :

Metaphor of “sun”, Suncathers, Semiotics

   

                   


(17)

BAB I PENDAHULUAN

I. 1. Konteks Masalah

“Kenapa sih semua orang di sini tuh mukanya pada sedih semua?” “karena mataharinya gak terbit, udah lama ngumpet”

“Matahari emang bisa dijual? Kalian bohong kali”

“Nangkap? Matahari emang bisa ditangkap? Ah, kalian bohong, kalau emang kalian mau nyari uang, enggak boleh pakai bohong”

Kutipan di atas merupakan bagian dari dialog dalam film Suncatchers. Film ini mengisahkan dua kakak beradik yang berada dalam sebuah misi untuk membangkitkan semangat orang-orang di lingkungan sekitar mereka dengan cara menangkap sinar matahari ke dalam toples.

Suncatchers merupakan bagian dari proyek film pendek Sun Life Financial regional yang diproduksi oleh Lo-Fi Flicks pada awal November 2012 lalu. Film ini menerjemahkan tagline yang diusung perusahaan asuransi tersebut, yaitu: “Life is Brighter Under the Sun”. Inisiatif ini mengedepankan kolaborasi strategis antara perusahaan dengan para sutradara terkenal dari beberapa negara, yaitu Indonesia, Hongkong dan Filipina. Melalui Suncatchers yang muncul lewat ide kreatif sutradara Indonesia, Joko Anwar, Sun Life bertujuan untuk mengajak orang-orang memaknai kekuatan dan keindahan matahari.

Sebagai bagian dari upayanya untuk bisa mendekatkan diri dengan banyak orang, Sun Life memilih film sebagai wadah komunikasi ideal untuk menyampaikan nilai-nilai yang diemban perusahaan. Indonesia memiliki populasi usia muda yang produktif dan peka terhadap teknologi, untuk itu agar dapat berkomunikasi dengan audiens yang lebih luas, khususnya kaum muda, pendekatan yang inovatif menjadi kunci keberhasilan utama.

Suncatchers ditayangkan dengan durasi 12 menit, oleh sebab itu film ini dapat digolongkan dalam film cerita pendek (short films), yang penayangannya biasanya berdurasi dibawah 60 menit. Jenis film ini banyak dihasilkan oleh para mahasiswa jurusan film ataupun orang atau sekelompok yang menyukai dunia film dan ingin berlatih membuat film dengan baik. Sekalipun demikian, ada juga yang memang mengkhususkan diri untuk memproduksi film pendek, umumnya


(18)

hasil produksi ini dipasok ke rumah-rumah produksi atau saluran televisi (Effendy, 2002: 12).

Membahas mengenai film, kemunculan film diawali pada abad ke- 20. Pada masa itu, film hanya merupakan sebuah gambar-hidup, juga sering disebut movie. Film secara kolektif sering disebut sinema. Sinema sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa yang biasa dikenal di dunia para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho (dari kata phytos= cahaya)) + graphie (dari kata graph (tulisan = gambar = citra)), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera. (http://sumber-film.blogspot.com/2012_04_01_ archive.html)

Seiring perkembangan zaman, semakin berkembang pulalah pengertian mengenai film. Perkembangan teknologi media telah mengubah pengertian film dari istilah yang mengacu pada bahan ke istilah yang mengacu pada bentuk karya seni audio-visual. Pada intinya, film kini diartikan sebagai suatu genre (cabang) seni yang menggunakan audio (suara) dan visual (gambar) sebagai medianya.

Dalam sebuah film, pesan-pesan komunikasi terwujud lewat rangkuman cerita berdasarkan jenis film tersebut. Sehingga seorang sutradara mampu mengemasnya sesuai dengan tendensi (fungsi) masing-masing film tersebut, seperti fungsi hiburan, fungsi informatif, fungsi edukasi, maupun fungsi persuasif pada penontonnya. Sehubungan dengan hal itu, terdapatlah berbagai jenis film yang dibedakan menurut sifatnya yang terdiri dari film cerita (story film), film berita (newsreel), film dokumenter (documentary film), dan film kartun (Cartoon film) (Ardianto & Komala, 2004: 138).

Menilik pada perkembangan perfilman Indonesia sendiri, film dibuat pertama kalinya pada tahun 1926, yang merupakan film bisu yang berjudul “Loetoeng Kasaroeng”, dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Saat film ini dibuat dan dirilis, negara Indonesia belum ada dan masih merupakan Hindia Belanda, wilayah jajahan Kerajaan Belanda. Film ini didukung oleh aktor lokal dari Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember 1926, di teater Elite and Majestic,


(19)

Bandung. Sedangkan film asli buatan Indonesia mulai diproduksi sebelum awal kemerdekaan. Pada awalnya, pelopor perfilman di Indonesia yakni orang Tionghoa. Sebagai kaum Timur Asing, film yang dihasilkan oleh orang Tionghoa tidak memiliki keterlibatan sosial, politik terhadap perkembangan kehidupan di Indonesia, melainkan semata-mata atas dasar komersialisasi. Konten yang dimuat dalam film pada era tersebut, yakni seputar dunia perdagangan (Imanjaya, 2011: 12).

Setelah Indonesia merdeka, dunia perfilman mengalami perubahan yang dipelopori oleh Usmar Ismail. Konten yang terdapat di dalamnya tidak lagi sekedar komersialisasi, melainkan lebih mengarah pada ekspresi para pelaku dalam film tersebut, serta tujuan dari pembuatan film yakni penyampaian sesuatu (pesan) kepada khalayak. Dari hal ini, dapat kita tarik kesimpulan bahwa sejak era kemerdekaan film sudah digunakan sebagai media penyampai pesan kepada khalayak umum (Said,1989).

Pada era 1970-an, perdebatan seputar film nasional mengambil bentuk dan energi baru di bawah orde baru. Film berada di bawah kendali negara yang terus menerus meningkat karena potensinya untuk mempengaruhi massa. Seluruh sektor film dilekati dengan karakter birokrasi.

Pada tahun 1980-an, dunia perfilman Indonesia mulai kehilangan tempat di mata masyarakat karena keberadaan film-film Hollywood dan Hongkong. Pada dekade berikutnya, sekitar tahun 90-an perfilman Indonesia mengalami pemerosotan yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang dikhususkan bagi orang dewasa. Film Indonesia sudah tidak lagi menjadi tuan rumah di negara sendiri. Film-film Hollywood dan Hongkong telah merebut posisi tersebut (Imanjaya, 2011: 16).

Namun memasuki abad ke-20, perfilman nasional telah bangun dari tidurnya, kondisi ini ditandai dengan munculnya rasa optimistis insan muda film dalam berkarya (Prisgunanto, 2004: 229). Para pembuat film tidak lagi memperhatikan berbagai ketentuan negara sehingga para sutradara muda pun mencoba- coba metode mereka sendiri dalam menghasilkan serta menyebarkan film-film mereka. Generasi baru pembuat film ini merupakan perpaduan dari segolongan kaum muda yang memang menjalani pendidikan di bidang film dan


(20)

mereka yang tergolong kaum penggila film, yang dalam bahasa asing disebut dengan movie buff (Sasono, 2007: 77).

Para generasi baru pembuat film berupaya memanfaatkan teknologi yang tersedia secara optimal, guna mengatasi keterbatasan film sebagai alat ekspresi. Seakan- akan hal tersebut sangat mendesak mereka berupaya untuk mendefinisikan kembali apa itu “film” sambil mencoba meraih kembali perhatian khalayak (yang memiliki daya beli tinggi). Pada dasarnya mereka memaknai ulang apa itu film, atau lebih tepat, memaknai ulang fungsi film yang sebelumnya digunakan untuk melayani kepentingan negara menjadi sebuah hasil ekspresi (Sasono, 2007: 81). Dunia perfilman Indonesia tampak bergairah pasca tayangnya film Ada Apa dengan Cinta, disusul dengan film bergenre anak-anak dengan tema petualangan, yakni Kisah Petualangan Sherina pada tahun 2000 silam.

Film merupakan salah satu media atau saluran dari komunikasi massa dalam penyampaian pesan, baik itu pesan verbal atau nonverbal. Hal ini dikarenakan film dibuat dengan tujuan tertentu, kemudian hasilnya diproyeksikan ke layar lebar atau ditayangkan melalui televisi dan dapat ditonton oleh sejumlah khalayak (Ardianto & Komala, 2004: 128- 130).

Media massa memberikan gambaran mengenai alat komunikasi yang bekerja dalam berbagai skala, mulai dari skala terbatas hingga dapat mencapai dan melibatkan siapa saja di masyarakat, dengan skala yang sangat luas. Istilah media massa mengacu kepada sejumlah media yang telah ada sejak puluhan tahun yang lalu dan tetap dipergunakan hingga saat ini, seperti surat kabar, majalah, film, radio, televisi, internet, dan lain- lain.

Media massa merupakan alat yang digunakan dalam menyampaikan pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat- alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, majalah, televisi dan film (Cangara, 2006: 122). Media komunikasi massa (media massa) memiliki peran yang besar dalam membentuk pola pikir dan hubungan sosial di masyarakat, memberikan ilustrasi dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakatnya. Pada dasarnya, media massa tidak pernah bersifat netral atau objektif, dalam arti setiap media massa memiliki kepentingan tersendiri bagi pihak- pihak yang berkaitan di dalamnya.

Dasar atau acuan, berupa teori-teori atau temuan-temuan melalui hasil berbagai penelitian sebelumnya merupakan hal yang sangat penting dan dapat


(21)

dijadikan sebagai data pendukung. Salah satu data pendukung yang menurut peneliti cukup penting dijadikan sebagai acuan adalah penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang sedang dibahas dalam penelitian ini. Dalam hal ini, fokus penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai acuan adalah terkait dengan analisis semiotika film. Oleh karena itu, peneliti mencoba mengkaji beberapa hasil penelitian berupa skripsi ataupun jurnal-jurnal terdahulu.

Objek dari penelitian ini, yaitu Film Suncatchers yang tentu belum pernah diteliti oleh siapapun, mengingat film ini baru diluncurkan pada awal November 2012 lalu. Suncatchers merupakan film yang menarik untuk diteliti, karena film yang merupakan terobosan terbaru dari Sun Life tersebut dapat mengkomunikasikan nilai-nilai yang dianut perusahaan meliputi kasih sayang, harapan, dan keluarga. Penelitian dengan objek film sudah pernah dilakukan oleh Simon Gilbert Moehartojo dari Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Petra dalam penelitian yang berjudul “Reprentasi Kekerasan Rasial pada Film American History X” (2008). Kesamaan penelitian ini dengan penelitian yang sudah ada terletak pada metode yang digunakan, menggunakan metode kualitatif. Sedangkan perbedaan antara keduanya terlihat dari segi metode analisis dan kerangka teori. Penelitian terdahulu menggunakan metode analisis Semiotika The codes of television John Fiske, sedangkan penelitian ini menggunakan metode analisis semiotika Christian Metz, disertai dengan pendekatan ikonologi dan ikonografi Panofsky.

Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Husninatul Ghassani dari Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro dalam penelitian yang berjudul “Kekerasan Terhadap Perempuan: Analisis semiotika Film Jamila dan Sang Presiden ” (2010). Tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, Kesamaan penelitian ini dengan penelitian yang sudah ada terletak pada metode yang digunakan, menggunakan metode kualitatif. Sedangkan perbedaan antara keduanya terlihat dari segi metode analisis dan kerangka teori, di mana penelitian terdahulu menggunakan metode analisis Semiotika Roland Barthes.

I. 2. Fokus Masalah

Berdasarkan uraian konteks masalah di atas, maka fokus masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:


(22)

1. Bagaimana pemaknaan metafora “matahari” yang terdapat dalam Film Suncatchers?

2. Bagaimana pemaknaan metafora “matahari” jika dikaitkan dengan nilai perusahaan Sun Life Financial?

I. 3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan fokus dan pembatasan masalah di atas, maka diketahuilah tujuan- tujuan dari penelitian yang dilakukan ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui pemaknaan metafora “matahari” yang terdapat dalam Film Suncatchers.

2. Untuk mengetahui pemaknaan metafora “matahari” jika dikaitkan dengan nilai perusahaan Sun Life Financial.

I. 4. Manfaat Penelitian

Adapun Manfaat Penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan Ilmu Komunikasi terutama pada kajian semiotika yang mencoba mengkaji mengenai pemaknaan metafora “matahari” dalam film Suncatchers.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan deskripsi dalam membaca makna yang terkandung dalam sebuah film melalui semiotika, serta dapat menambah kosa kata dan istilah yang digunakan dalam film. Disamping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca agar dapat lebih menerima dan memahami pembungkusan makna metafora “matahari” yang disajikan melalui film Suncatchers, sehingga pesan dalam film tidak hanya dapat ditangkap dari muatan pesan yang tampak (manifest content), tetapi juga muatan pesan yang tersembunyi (latent content).

3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan Ilmu Komunikasi FISIP USU, serta dapat menjadi bahan bacaan dan referensi bagi penelitian serupa di hari dan masa yang akan datang.


(23)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. 1. Paradigma Kajian

Komunikasi merupakan salah satu kegiatan (aktivitas) manusia yang dilakukan oleh setiap orang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari kehidupan manusia dipengaruhi oleh komunikasi dan cara mereka berkomunikasi. Melalui komunikasi, manusia dapat saling berbagi rasa, pikiran, ide dan gagasan berdasarkan pengalaman yang mereka miliki.

Pengalaman ini juga disebut sebagai sebuah materi yang dimiliki oleh komunikator untuk dibagikan kepada orang lain. Pada tahap selanjutnya pesan diterjemahkan oleh penerima berdasarkan bentuk pengalaman yang dimilikinya. Hal ini dapat diartikan bahwa dengan adanya perbedaan pengalaman, maka sangat dimungkinkan pula ditemukannya perbedaan makna pesan.

Proses komunikasi mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam melihat suatu fenomena sosial. Setiap individu akan memiliki pandangan yang berbeda terhadap suatu hal, dan memungkinkan akan saling melengkapinya di antara individu tersebut. Kemudian sudut pandang (perspektif) akan menghasilkan suatu interpretasi terhadap suatu fenomena sosial.

Dalam melakukan sebuah penelitian komunikasi, terdapat dua perspektif yang dijadikan sebagai dasar dalam memahami teori komunikasi, yaitu perspektif objektif dan perspektif interpretif (Griffin, 2012: 14). Sebuah perspektif sangat dibutuhkan dalam melakukan sebuah penelitian komunikasi, di mana perspektif tersebut diibaratkan sebagai wadah dalam menganalisis berbagai fenomena komunikasi. Sebelum melakukan penelitian komunikasi, peneliti harus tahu dengan tepat perspektif mana yang digunakan dalam penelitian. Kedua persepektif, yakni perspektif objektif dan interpretif memiliki peranan sangat penting. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kedua perspektif ini digunakan sebagai landasan dasar dari sebuah penelitian komunikasi. Pemahaman terhadap kedua perspektif tersebut akan mengeratkan individu terhadap realitas sosial yang ada (Griffin, 2012: 20).

Pertama adalah perspektif obyektif, perspektif ini biasanya digunakan dalam penelitian kuantitatif yang menggunakan paradigma post positivistik.


(24)

Perspektif ini menekankan keobjektifan peneliti dalam melakukan penelitiannya, sehingga kebenaran bersifat tunggal dan mutlak. Dan yang kedua adalah perspektif interpretif, perspektif ini biasanya digunakan untuk melakukan penelitian kualitatif. Dengan perspektif interpretif ini, penelitian yang dilakukan tidak bersifat obyektif, melainkan subyektif. Perspektif ini menekankan keberpihakan peneliti dalam melakukan penelitiannya. Kedua perspektif ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing- masing (Griffin, 2012: 16). Menurut Griffin tidak ada salah satu perspektif yang lebih unggul, kedua-duanya mencari kebenaran dan makna dari sisi yang berbeda dari suatu fenomena sosial.

Penelitian ini bersifat kualitatif dan menggunakan perspektif interpretif. Interpretif lebih memperhatikan makna, berbeda dengan objektif yang menganggap bahwa kebenaran bersifat tunggal. Interpretif memiliki asumsi bahwa kebenaran dan makna tidak memiliki batas-batas umum. Ciri-ciri perspektif interpretif yang baik adalah dapat memahami orang lain, dapat menjelaskan nilai, memiliki standar estetika, hasil kesepakatan bersama, dan dapat memberikan kontribusi lewat penelitiannya (Griffin, 2012: 31). Dalam perspektif interpretif tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak atau kesalahan tidak bersifat absolut. Semua fenomena sosial dinilai dari sudut pandang tertentu dimana ia berada dalam suatu kelompok masyarakat. Semua tergantung dari sudut pandang masing- masing individu.

Penelitian ini menggunakan perspektif yang kedua, yaitu perspektif interpretif. Para ahli komunikasi yakin bahwa perspektif interpretif sangat bersifat subyektif, hasil dari penelitian ini sangat bergantung pada interpretasi peneliti (Griffin, 2012: 10). Dengan demikian penelitian tentang pemaknaan metafora “matahari” dalam film Suncatchers ini dapat dikatakan bersifat subyektif. Mungkin saja hasil interpretasi dari penelitian ini akan berbeda apabila peneliti lain yang melakukan penelitian ini karena sifat yang subyektif dari masing-masing peneliti.

II. 2. Uraian Teoritis


(25)

Media massa secara sederhana adalah kegiatan komunikasi yang menggunakan media (communicating with media). Joseph A. Devito merumuskan defenisi komunikasi massa pada intinya merupakan penjelasan tentang pengertian massa serta tentang media yang digunakannya. Komunikasi massa ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Hal ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang menonton, tetapi ini berarti khalayak itu besar dan pada umumnya sukar untuk didefenisikan (Ardianto & Komala, 2004: 6)

Definisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh ahli komunikasi yang lain, yaitu Gerbner. Gerbner mengatakan bahwa :

”Mass communication is the technologically and institutionally based production and distribution of the most broadly shared continuous flow of messages in industrial societies.” (Komunikasi massa merupakan produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang berkelanjutan secara luas yang dimiliki oleh masyarakat industri) (Ardianto & Komala, 2005: 3- 4).

Dari definisi Gerbner tergambar bahwa komunikasi massa menghasilkan suatu produk yang disebarkan, didistribusikan kepada khalayak luas secara terus menerus dalam jarak waktu yang tetap. Proses tersebut dilakukan oleh lembaga dan dengan menggunakan teknologi tertentu. Joseph. A. Devito, dalam bukunya Communicology: An Introduction to The Study of Communication, mengemukakan definisi komunikasi massa dengan lebih tegas, yaitu:

Pertama, komunikasi massa merupakan komunikasi yang ditujukan bagi massa (khalayak yang tidak terhitung jumlahnya). Namun bukan berarti massa meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang membaca ataupun menonton televisi. Pada umumnya massa memiliki pengertian yang luas dan lebih sukar untuk didefinisikan.

Kedua, komunikasi massa merupakan komunikasi yang disalurkan lewat pemancar-pemancar audio atau visual. Komunikasi massa akan lebih mudah didefinisikan berdasarkan bentuknya, seperti: televisi, radio, surat kabar, majalah, film, buku dan pita (Effendy, 2006: 21).

Komunikasi massa merupakan salah satu bentuk komunikasi yang ditujukan kepada khalayak yang luas, tersebar, heterogen, dan anonim melalui


(26)

media massa (cetak atau elektronik), sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat (Ardianto & Komala, 2004: 7). Dari pengertian tersebut, maka sejumlah karakteristik komunikasi massa, antara lain:

a. Komunikatornya terlembagakan, di mana komunikasi massa melibatkan lembaga dan komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks.

b. Pesannya bersifat umum, maksudnya: komunikasi massa bersifat terbuka yang ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu, sehingga menghasilkan pesan yang bersifat umum, berupa fakta, peristiwa atau opini.

c. Komunikannya anonim dan heterogen, di mana dalam komunikasi massa komunikator tidak mengenal komunikannya (anonim). Pesan disampaikan melalui media massa dan tidak tatap muka. Komunikasinya bersifat heterogen, yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat berbeda dan dapat dikelompokkan berdasarkan faktor: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar belakang budaya, agama dan tingkat ekonomi.

d. Menimbulkan keserempakan. Dalam hal ini, komunikasi massa memiliki kelebihan dalam hal jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang relatif banyak dan tidak terbatas. Keserempakan media massa yakni keserempakan kontak antara komunikator dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak yang jauh, dan penduduk tersebut berada dalam keadaan terpisah antara satu dengan yang lainnya.

e. Komunikasinya mengutamakan isi dibandingkan hubungan. Pesan yang disampaikan sedemikian rupa berdasarkan sistem tertentu dan disesuaikan berdasarkan karakteristik media massa yang akan digunakan.

f. Bersifat satu arah. Komunikasi massa dilakukan tanpa kontak langsung antara komunikator dengan komunikan. Komunikasi terjadi melalui media massa, di mana komunikator aktif menyampaikan pesan dan komunikan aktif menerima pesan. Namun keduanya tidak dapat melakukan feed back dalam proses komunikasinya, sehingga dikatakan bersifat satu arah.

g. Stimulasi alat indera ’terbatas’. Penyampaian pesan dalam komunikasi massa bersifat terbatas sesuai dengan media massa yang digunakan komunikan, seperti media cetak, radio, televisi atau bahkan film yang masing-masing


(27)

memiliki stimulasi indera manusia yang sifatnya terbatas.

h. Umpan baliknya tertunda. Penyampaian pesan dalam komunikasi massa yang dilakukan melalui media massa tidak mampu menjalankan fungsi umpan balik, karena sifatnya yang satu arah. Selanjutnya, para pakar mengemukakan sejumlah fungsi komunikasi massa, kendati dalam sejumlah fungsi tersebut terdapat persamaan dan perbedaan (Ardianto & Komala, 2004: 7).

Dari beberapa karakteristik di atas, terlihat bahwa komunikasi massa pada dasarnya belum dapat berlangsung secara efektif. Misalnya, pada proses penyampaian pesan yang dilakukan melalui beberapa tahapan dengan kemungkinan gangguan, seperti alam atau gangguan mekanik. Selain itu, pada proses umpan balik yang kemungkinan berjalan secara lambat serta interaksi antara komunikator dan komunikan yang dibatasi. Namun di lain sisi komunikasi massa memliki keunggulan, yaitu sifatnya yang umum dan terbuka. Seluruh kalangan masyarakat dapat menerima informasi yang sama dari daerah yang berbeda sekalipun.

Menurut Karlinah, dkk, fungsi komunikasi secara umum yaitu: a. Fungsi Informasi

Media massa merupakan penyebar informasi bagi pembaca, pendengar atau pemirsa. Berbagai informasi disajikan bagi khalayak sesuai dengan kebutuhannya, di mana informasi tersebut mencakup segala sesuatu yang terjadi disekitarnya.

b. Fungsi pendidikan

Media massa mampu menyajikan hal-hal yang bersifat mendidik lewat nilai norma, etika serta aturan-aturan yang berlaku dalam kehidupan khalayak. c. Fungsi mempengaruhi

Media massa mampu mempengaruhi khalayak sesuai dengan apa yang diinginkan media. Secara implisit terdapat dalam tajuk/editorial, features, iklan, artikel, dan sebagainya.

d. Fungsi proses pengembangan mental

Media massa mampu menambah wawasan serta mengembangkan intelektualitas khalayak. Berbagai pemberitaan mengenai peristiwa yang disampaikan media juga akan semakin menambah pengalaman dan


(28)

ketergantungan khalayak dalam pengembangan mentalnya. e. Fungsi Adaptasi Lingkungan

Proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan memerlukan penyesuaian agar tetap tercipta tujuan komunikasi berupa kesamaan makna diantara pelaku komunikasi.

f. Fungsi Memanipulasi Lingkungan, komunikasi massa merupakan alat kontrol utama dan pengaturan lingkungan (Ardianto & Komala, 2004: 19).

Adapun fungsi komunikasi massa secara khusus menurut DeVito, yakni untuk meyakinkan khalayak, menganugerahkan status sehingga prestise meningkat, membius, menciptakan rasa kebersatuan, privatisasi (kecenderungan penarikan diri) serta hubungan parasosial (Ardianto & Komala, 2004: 23).

II. 2. 2. Film sebagai Komunikasi Massa II. 2. 2.1. Pengertian film

Gambar bergerak (film) adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual. Lebih dari ratusan juta orang menonton film di bioskop, film televisi dan film video laser setiap minggunya (Ardianto & Komala, 2004: 134).

Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 Pasal 1 ayat 2 tentang Definisi Film. Film merupakan karya ciptaseni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan azas sinematografi.

Film direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara yang ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, atau lainnya. Film sebagai salah satu media komunikasi massa memuat potret dari masyarakat di mana film itu dibuat. Film merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, yang kemudian diproyeksikan ke atas layar (Sobur, 2003: 127).

Film juga sebagai salah satu bentuk komunikasi massa yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari cerita yang ditayangkan. Unsur intrinsik dan ekstrinsik dari filmlah yang mampu menarik perhatian khalayak untuk menonton film tersebut.


(29)

adalah untuk memperoleh hiburan. Akan tetapi dalam film dapat pula terkandung fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Hal ini pun sejalan dengan misi perfilman nasional sejak tahun 1979, bahwa selain sebagai media hiburan, film nasional digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda

dalam rangka nation and character building(Ardianto & Komala, 2004: 136). Berbagai fungsi termasuk fungsi edukatif dapat tercipta apabila film

nasional memproduksi film-film sejarah yang objektif, atau film dokumenter dan film yang diangkat dari kehidupan sehari-hari secara berimbang. Berdasarkan pengertian dan fungsi dari film, maka sejumlah faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film, yaitu:

a. Layar yang luas atau lebar

Layar semacam ini memberikan keleluasaan bagi penonton untuk melihat adegan-adegan dalam film. Bahkan dengan kemajuan teknologi, saat ini film disajikan dalam bentuk tiga dimensi, sehingga penonton seolah-olah melihat kejadian nyata (real) dan menimbulkan kesan yang tidak berjarak.

b. Pengambilan gambar

Shot dalam film bioskop memungkinkan pengambilan jarak jauh atau extreme long shot dan paranomic shot, yakni pengambilan pemandangan menyeluruh. Sehingga terkesan artistik dalam suasana yang sesungguhnya dan menjadikan film semakin menarik.

c. Konsentrasi penuh

Penciptaan suasana mulai dari ditutupnya pintu-pintu hingga lampu yang dimatikan menimbulkan kesan bahwa penonton terbebas dari hiruk pikuk suara di luar (biasanya kedap suara) dan pada akhirnya penonton dapat berkonsentrasi penuh saat menonton film.

d. Identifikasi Psikologis

Suasana di bioskop membuat pikiran dan perasaan khalayak larut dalam cerita yang disajikan. Dengan penghayatan yang amat mendalam, secara tidak sadar seseorang mengidentifikasikan diri sebagai salah satu pemeran dalam film tersebut (Ardianto & Komala, 2004: 136).


(30)

saat ini. Dalam arti banyak kemudahan yang diberikan oleh teknologi digital saat ini, yang dapat mengembangkan pengetahuan manusia mengenai film. Namun hal tersebut kembali kepada tiap- tiap individu, penayangan film yang dibuat semenarik mungkin setidaknya dapat menambah ketertarikan juga pada penontonnya untuk dapat benar-benar menikmati film. Pada dasarnya tujuan seseorang ke bioskop bukan untuk menoton gambar, karena sebenarnya yang akan dibawa pulang adalah penggalan cerita dari film tersebut, bagus atau tidaknya serta kesinambungan dari cerita di dalamnya.

II. 2. 2. 2. Jenis- jenis Film

Sebagai seorang komunikator, penting untuk mengetahui jenis-jenis film agar dapat memanfaatkan film tersebut sesuai dengan karateristiknya (Ardianto & Komala, 2004: 136). Adapun pengelompokkan film, antara lain:

a. Film Cerita, merupakan jenis film yang biasanya ditayangkan di gedung-gedung bioskop lewat kemampuan akting para bintang di dalamnya guna menarik perhatian khalayak. Film ini mengandung unsur- unsur yang dapat menyentuh rasa manusia. Kisah- kisah di dalamnya dikutip melalui kitab injil, kisah sejarah, hingga kisah nyata dari kehidupan sehari-hari yang kemudian diolah menjadi sebuah film (Effendy, 2003: 212).

b. Film Berita, merupakan film yang berisikan fakta, di mana peristiwa yang ada di dalamnya benar-benar terjadi (nyata). Dalam film sejenis ini terdapat nilai berita yang penting dan menarik bagi khalayak(Effendy, 2003: 212).

c. Film Dokumenter, merupakan karya yang berisikan kehidupan nyata. Film ini biasanya dibuat tanpa adanya editan. Kalau pun ada, editan digunakan semata- mata hanya untuk menjadikan tampilan gambar menjadi lebih menarik (Effendy, 2003: 215).

d. Film Kartun, merupakan film animasi yang segmentasi utamanya adalah anak-anak. Namun tidak sedikit kalangan yang bukan anak- anakpun menyukainya karena terdapat sisi kelucuan yang kerap hadir dalam setiap tayangannya. Film kartun merupakan film yang muncul lewat gagasan para seniman pelukis. Seiring ditemukannya sinematografi, timbul pulalah gagasan para pelukis tersebut untuk menghidupkan gambar- gambar yang mereka lukis. Lukisan- lukisan hidup yang diproyeksikan ke layar tersebut menimbulkan ketertarikan


(31)

tersendiri bagi khalayak untuk menyaksikannya (Effendy, 2003: 216) II. 2. 2. 3. Klasifikasi film

Berdasarkan genre (jenis/ ragam), Film diawali dari genre drama pada abad XVIII. Klasifikasi tersebut muncul atas berbagai jenis streotip dan tanggapan manusia terhadap hidup dan kehidupan.

Seiring perkembangan zaman, genre film pun mengalami perubaha, tanpa menghilangkan keaslian dari awal pembentukannya. Pengklasifikasian tersebut, antara lain:

1. Film Drama

Film drama adalah film yang sebagian besarnya bercerita mengenai kehidupan. Film ini bertujuan untuk membawa penonton pada alur ceritanya sehingga penonton mampu merasakan apa yang dirasakan tokoh dalam cerita. Contoh: Hachiko

2. Film Animasi (Animation)

Film animasi merupakan hasil dari pengolahan gambar tangan sehingga menjadi gambar yang bergerak. Untuk memberikan suara pada film ini menggunakan pengisi suara yang seolah- olah menjadi tokoh utama dan ikut dalam cerita. Contoh: Wall – E

3. Film horor (Horror)

Film horor merupakan film yang berusaha memancing emosi berupa ketakutan dan rasa ngeri pada penontonnya. Alur cerita yang disajikan biasanya melibatkan tema – tema seperti kematian, supranatural, atau penyakit mental. Contoh: The Ring

4. Film fiksi ilmiah (Science Fiction)

Film fiksi ilmiah adalah film imajinasi yang didasari oleh alasan dan penjelasan ilmiah. Jenis film ini agak sukar dipahami karena lebih banyak berisi penjelasan ilmiah. Contoh: Avatar


(32)

Film musikal merupakan film yang pada alur ceritanya disertai lagu maupun tarian dari tokoh – tokohnya. Musik yang ditampilkan sesuai dengan alur ceritanya. Contoh: High School Musical

6. Film petualangan (Adventure)

Film petualangan merupakan film yang menyajikan pengalaman yang menegangkan di dalamnya. Jenis film ini memiliki kemiripan dengan film aksi. Berbeda dengan film aksi yang didominasi oleh unsur kekerasan, film ini lebih menampilkan petualangan melalui perjalanan maupun perjuangan. Contoh: Jurassic Park

7. Film aksi/ laga (Action)

Film aksi ini bertujuan menciptakan ketegangan pada penontonnya, seperti pada jenis film petualangan. Pada dasarnya film ini lebih menekankan pada aksi kekerasan fisik, tembak menembak, maupun kejar – kejaran mobil. Terkadang jenis film ini terkait dengan unsur spionase. Contoh: Spiderman 8. Film komedi (Comedy)

Film komedi ditujukan untuk menghibur penontonnya dengan aksi komedi yang mampu mengundang tawa. Film komedi banyak digemari penonton karena ceritanya yang ringan dan mudah dimengerti. Contoh: Mr Beans Holiday

9. Film fantasi (Fantasy)

Film fantasi merupakan film yang umumnya menggunakan sihir dan kekuatan supranatural dalam ceritanya. Film jenis ini tidak didasari pemikiran ilmiah sehingga ceritanya murni tercipta dari imajinasi sang pembuatnya. Contoh: Harry Potter (Pratista, 2008: 1).

II. 2. 2. 4.Unsur-Unsur dalam Film

Film merupakan hasil karya bersama atau hasil kerja kolektif. Dengan kata lain, proses pembuatan film pasti melibatkan kerja sejumlah unsur atau profesi. Unsur-unsur yang dominan di dalam proses pembuatan film antaralain: produser, sutradara, penulis skenario, penata kamera (kameramen), penata artistik, penata musik, editor, pengisi dan penata suara, aktor-aktris (bintang film).


(33)

1. Produser (Producer)

Unsur paling utama (tertinggi) dalam suatu tim kerja produksi atau pembuatan film adalah produser. Produser menyandang atau mempersiapkan dana yang dipergunakan untuk pembiayaan produksi film. Produser merupakan pihak yang bertanggungjawab terhadap berbagai hal yang diperlukan dalam proses pembuatan film. Selain dana, ide atau gagasan, produser juga harus menyediakan naskah yang akan difilmkan, serta sejumlah hal lainnya yang diperlukan dalam kaitan proses produksi film (Beaver, 1994: 282).

2. Sutradara (Director)

Sutradara merupakan pihak atau orang yang paling bertanggungjawab terhadap proses pembuatan film di luar hal-hal yang berkaitan dengan dana dan properti lainnya. Karena itu biasanya sutradara menempati posisi sebagai “orang penting kedua” di dalam suatu tim kerja produksi film. Di dalam proses pembuatan film, sutradara bertugas mengarahkan seluruh alur dan proses pemindahan suatu cerita atau informasi dari naskah skenario ke dalam aktivitas produksi (Beaver, 1994: 112).

3. Penulis Skenario (screen writer)

Skenario film adalah naskah cerita film yang ditulis dengan berpegang pada standar atau aturan-aturan tertentu. Skenario atau naskah cerita film itu ditulis dengan tekanan yang lebih mengutamakan visualisasi dari sebuah situasi atau peristiwa melalui adegan demi adegan yang jelas pengungkapannya. Jadi, penulis skenario film adalah seseorang yang menulis naskah cerita yang akan difilmkan. Naskah skenario yang ditulis penulis skenario itulah yang kemudian digarap atau diwujudkan sutradara menjadi sebuah karya film (Karsito, 2008:67).

4. Penata Kamera (Camera operators)

Penata kamera atau popular juga dengan sebutan kameramen adalah seseorang yang bertanggungjawab dalam proses perekaman (pengambilan) gambar di dalam kerja pembuatan film. Karena itu, seorang penata kamera atau kameramen dituntut untuk mampu menghadirkan cerita yang menarik, mempesona dan menyentuh emosi penonton melalui gambar demi gambar yang direkamnya di dalam kamera. Di dalam tim kerja produksi film, penata kemera memimpin departemen kamera (Beaver, 1994: 66).


(34)

5. Penata Artistik (Art Director)

Penata artistik (art director) adalah seseorang yang bertugas untuk menampilkan cita rasa artistik pada sebuah film yang diproduksi. Sebelum suatu cerita divisualisasikan ke dalam film, penata artistik setelah terlebih dulu mendapat penjelasan dari sutradara untuk membuat gambaran kasar adegan demi adegan di dalam sketsa, baik secara hitam putih maupun berwarna. Tugas seorang penata artistik di antaranya menyediakan sejumlah sarana seperti lingkungan kejadian, tata rias, tata pakaian, perlengkapan-perlengkapan yang akan digunakan para pelaku (pemeran) film dan lainnya (Beaver, 1994: 28). 6. Penata Musik

Penata musik adalah seseorang yang bertugas atau bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pengisian suara musik tersebut. Seorang penata musik dituntut tidak hanya sekadar menguasai musik, tetapi juga harus memiliki kemampuan atau kepekaan dalam mencerna cerita atau pesan yang disampaikan oleh film (Karsito, 2008: 67).

7. Editor

Baik atau tidaknya sebuah film yang diproduksi akhirnya akan ditentukan pula oleh seorang editor yang bertugas mengedit gambar demi gambar dalam film tersebut. Jadi, editor adalah seseorang yang bertugas atau bertanggungjawab dalam proses pengeditan gambar (Beaver, 1994: 132).

8. Pengisi dan Penata Suara

Pengisi suara adalah seseorang yang bertugas mengisi suara pemeran atau pemain film. Jadi, tidak semua pemeran film menggunakan suaranya sendiri dalam berdialog di film. Penata suara adalah seseorang atau pihak yang bertanggungjawab dalam menentukan baik atau tidaknya hasil suara yang terekam dalam sebuah film. Di dalam tim kerja produksi film, penata suara bertanggungjawab memimpin departemen suara (Karsito, 2008: 70).

9. Bintang Film (Pemeran)

Bintang film atau pemeran film dan biasa juga disebut aktor dan aktris adalah mereka yang memerankan atau membintangi sebuah film yang diproduksi dengan memerankan tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita film tersebut sesuai skenario yang ada. Keberhasilan sebuah film tidak bisa lepas dari keberhasilan para aktor dan aktris dalam memerankan tokoh-tokoh yang diperankan sesuai


(35)

dengan tuntutan skenario (cerita film), terutama dalam menampilkan watak dan karakter tokoh-tokohnya. Pemeran dalam sebuah film terbagi atas dua, yaitu pemeran utama (tokoh utama) dan pemeran pembantu (figuran) (Karsito, 2008: 63).

Beberapa unsur dalam film di atas menunjukkan bahwa setiap unsur (pihak) memiliki peran penting atas keberhasilan sebuah film. Antara unsur yang satu dan unsur yang lainnya memiliki keterkaitan, dalam arti dengan berkurangnya salah satu unsur tersebut, tentu akan mempengaruhi baik-buruknya kualitas pembuatan sebuah film.

II. 2. 2. 5.Struktur dalam Film

Struktur dalam film terdiri atas unsur intrinsik film, dimana dalam unsur intrinsik tersebut terdapat unsur naratif dan sinematik.Sedangkan unsur ekstrinsik terdiri dari teori-teori di luar bentuk fisik film.

Unsur film yang akan dibahas dalam penelitian ini berfokus pada unsur intrinsik, dimana unsur tersebut meliputi, unsur naratif dan unsur sinematik. Namun yang menjadi fokus dalam stuktur film ini adalah unsur naratif, yang meliputi: plot, tokoh, dan latar.

Unsur naratif merupakan aspek penting dalam pengkajian sebuah film. Unsur naratif merupakan rangkaian peristiwa yang berhubungan satu sama lain dan terikat oleh logika sebab-akibat yang terjadi dalam ruang dan waktu. Naratif muncul akibat aksi dari pelaku cerita. Segala aksi dan tindakan para pelaku akan memotivasi terjadinya peristiwa berikutnya terus menerus.

1. Plot

Plot merupakan alur cerita yang mengatur bagaimana suatu peristiwa mempunyai hubungan dengan periwistiwa lain, dan bagaimana tokoh di gambarkan berperan dalam peristiwa tersebut. Oleh karena itu, plot menjadi kerangka dasar yang amat penting. Plot mengatur bagaimana suatu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, serta bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu. Plot dapat disederhanakan menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Beginning (awal cerita) 2. Middle (tengah cerita)


(36)

3. End Se 

1. Tahap a 2. Tahap t 3. Tahap a  Tahapa 1. Tahap

membe dilakon 2. Tahap peristiw 3. Tahap

dimunc kadar in 4. Tahap

mulai m 5. Tahap c

terjadi, titik int 6. Tahap diberi 47). Da Tahapa Ri (akhir cerit cara teoritis

awal ( perke tengah ( per akhir atau (p an plot ( tah

Expostition erikan penj ni, tempat d

Inciting in wa-peristiwa rising ac culkan pada ntensitasny Crisis: Ber menunjukka climax: taha yang dilak tensitas pun Resolutions penyelesaia

ari tahapan t an Plot: Awa

ising action  a)

s, struktur p

enalan) rtikaian, me peleraian: p apan rinci) n: Bagian jelasan dan an waktu ncident: tah

a yang men ction: taha a tahap sebe

a.

rkembangny an aksi2nya ap klimaks, kui dan atau ncak.

s: tahap pen an, ketegan

tersebut dap al Te

plot dapat di

enampilkan peleraian ter awal (pen n keterang hap pemunc nyulut terjad ap peningk elumnya sem ya konflik a terhadap p

konflik dan u ditimpalk nyelesaian, ngan dikend pat digamba engah ikemukakan pertentanga rtutup dan p

ngenalan) d gan mengen culan konfl dinya konfli katan kon makin berk menuju kli ersoalan ya n atau perte kan kepada

konflik yan dorkan (Ha

arkan denga Akhir

n sebagai be

an atau konf enyelesaian

dalam sebu nai tokoh,

flik, masala k mulai dim flik, konfl kembang dan maks. Artin ng dihadapi entangan- pe para tokoh

ng telah me artoko & R

an skema se

Res Climax erikut: flik) n terbuka) uah cerita, masalah ah- masalah munculkan. flik yang an dikemban

nya, antar t i.

ertentangan cerita men

encapai kli Rahmanto, ebagai berik solution yang yang h dan telah ngkan tokoh n yang ncapai imaks 1985: kut:


(37)

Plot Arc (Tahapan Plot) Sumber: Kercheval, 2003: 82

Tatanan plot di atas membuat pembaca atau penonton menjadi lebih mudah untuk mengikuti jalan ceritanya. Plot dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: 1. Plot lurus/progresif. Jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat

kronologis

2. Plot sorot balik/flash-back. Tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal, mungkin dari tahap tengah atau tahap akhir (Hartoko & Rahmanto, 1985: 48).

2. Tokoh

Tokoh merupakan pelaku cerita dalam fiksi. Tokoh atau karakter merupakan orang yang mengambil bagian dan mengalami peristiwa-peristiwa atau sebagian dari peristiwa-peristiwa yang digambarkan dalam plot. Oleh karena itu, tokoh memiliki peran yang sangat penting. Tokoh berperan mengajak penonton untuk ikut terlibat di dalam cerita, sehingga mereka dapat merasakan apa yang dirasakan atau dialami oleh karakter dalam cerita (Sumardjo, 1986: 144).

Tokoh terbagi atas dua yaitu : 1. Berdasarkan segi peran

 Tokoh utama, merupakan tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam cerita yang bersangkutan. Tokoh tersebut juga merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.  Tokoh tambahan, merupakan pemunculan tambahan dalam keseluruhan cerita

dengan bagian peran yang lebih sedikit, kehadirannya hanya jika ada keterkaitan dengan tokoh utama, baik secara langsung maupun secara tidak langsung (Nurgiyantoro, 1995: 182).

2. Berdasarkan perwatakan.

 Tokoh sederhana, merupakan tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu serta satu sifat tertentu. Sifat dan tingkah laku pada tokoh sederhana bersifat datar, monoton dan stereotip (Nurgiyantoro, 1995: 183).


(38)

 Tokoh bulat, merupakan tokoh yang memiliki berbagai kemungkinan dalam sisi kehidupannya, kepribadian dan jati dirinya.Tokoh ini menampilkan watak dan tingkah laku yang berubah – ubah yang bisa saja bertentangan dan sulit diduga.

3. Latar

Latar atau setting yang disebut sebagai landasan tumpu, mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas (Sumardjo, 1986: 75). Latar fiksi bukan hanya menunjukkan tempat tertentu, daerah tertentu, orang-orang tertentu dengan watak tertentu akibat situasi lingkungan atau zamannya, cara hidup tertentu, dan cara berfikir tertentu.

Latar dibagi menjadi tiga macam:

1. Latar tempat, menunjukkan tempat dimana peristiwa dalam suatu cerita terjadi.

2. Latar waktu, menunjukkan pada kapan peristiwa dalam suatu cerita terjadi.

3. Latar sosial, menunjukkan pada macam masyarakat dalam cerita termasuk perilaku masyarakat seperti tradisi/ kebiasaan, kepercayaan, dan nilai moral (Nurgiyantoro, 1995: 227-234).

Selain itu, terdapat pula struktur dalam pembagian waktu pengambilan gambar, yaitu: shot, scene, dan sequence. Shot, merupakan: hasil tangkapan kamera yang berlangsung sejak kamera dinyalakan (ON) hingga dimatikan (OFF). Ketika Sutradara memberi aba-aba untuk memulai adegan, biasanya dengan teriakan “kamera siap..rolling.. action!”, lalu diakhiri dengan teriakan “cut!”. Hal tersebut berarti satu shot telah dirampungkan. Scene/Sequence: Scene merupakan kumpulan dari beberapa shot, sedangkan sequence merupakan kumpulan dari beberapa scene. Keduanya memiliki pengertian yang hampir sama, yakni dibatasi oleh ruang dan waktu. Jika tempat dan waktu berubah maka berubah pulalah scene dan sequence nya.


(39)

Film merupakan media penyampai pesan dan alat komunikasi massa. Pernyataan tersebut kerap terdengar dalam kajian perfilman. Film dan media pada umumnya, dapat menjadi sebuah alat propaganda yang efektif. Dalam Perundang-undangan Film Indonesia tahun 2009 menyebutkan bahwa, “film sebagai karya seni budaya yang memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan nasional”, dan “film sebagai media komunikasi massa merupakan sarana dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia internasional” ( Tim FIP- UPI, 2007: 208).

Di Indonesia, film sebagai alat penyampai pesan sudah ada sejak masa kolonial Belanda. Kala itu, film dokumenter menjadi alat penyuluhan untuk pencegahan wabah penyakit pes dan transmigrasi. Pada masa pendudukan Jepang, ia dimanfaatkan untuk meyakinkan bangsa Indonesia bahwa Jepang adalah saudara tua Asia yang akan membantu membebaskan Indonesia dari penjajahan Barat (Imanjaya, 2010: 32).

Dalam dunia pemasaran atau marketing dikenal istilah yang kurang lebih sama fungsinya dengan penyebaran “propaganda”, yakni: Pemasaran Sosial (Social Marketing). Hal ini bertujuan untuk mengubah perilaku tertentu untuk kebaikan sosial. Social marketing dapat diterapkan untuk mempromosikan hal-hal kebaikan, atau mencegah hal-hal yang buruk, misalnya mengajak masyarakat tidak merokok di ruang publik, penggunakan sabuk pengaman, penggunakan helm untuk kendaraan bermotor dan masih banyak lagi (Cateora, 2007: 356 ).

Tidak berbeda jauh dengan fungsi Film sebagai social marketing yang bertujuan untuk mempengaruhi khalayak dalam mengubah prilaku tertentu, begitu pun dengan Fungsi Film sebagai media untuk beriklan yang bertujuan untuk mempengaruhi khalayak dalam kegiatan promosi sebagai salah satu strategi yang dilakukan oleh seorang Public Relations (PRs).

Peran PRs dalam menciptakan sebuah strategi iklan dalam bentuk film, tidak terlepas dari keikut sertaan sutradara tentunya. Dalam membuat sebuah iklan berbentuk film tersebut, sang sutradara harus mengemas setiap adegan didalamnya. Dengan hasil yang optimal, akan semakin banyak khalayak yang merasa tertarik. Sebuah film dapat dikatakan baik saat khalayak tidak sekedar


(40)

tertarik untuk menonton setiap adegannya, tapi juga dapat mengerti setiap makna yang terdapat didalamnya.

II. 2. 4. Semiotika Film

Oey Hong Lee menyebutkan, film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia, mempunyai massa pertumbuhannya pada akhir abad ke 19, dengan kata lain pada waktu unsur-unsur yang merintangi perkembangan surat kabar sudah lenyap (Sobur, 2003:126). Ini berarti bahwa dari permulaan sejarahnya film dengan lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, karena tidak mengalami unsur- unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang pada abad ke-18 dan ke-19 merintangi kemajuan surat kabar.

Film merupakan bidang kajian yang sangat relevan bagi analisis struktural atau semiotika. Seperti dikemukakan oleh Van Zoest, film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerjasama dengan baik demi mencapai efek yang diharapkan (Sobur, 2003:128).

Hal terpenting dalam film adalah gambar dan suara yakni kata yang diucapkan (ditambah sound effect) dan musik film. Sistem semiotika yang lebih penting dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang mengambarkan sesuatu.

Sehingga dengan kata lain, semiotika film merupakan proses pemaknaan atas tanda-tanda yang terdapat dalam film yang akan diteliti. Adapun tanda-tanda tersebut dapat berupa tanda audio (suara, bahasa verbal, dialog tokoh, musik, sound effect) serta tanda visual (gambar, bahasa nonverbal/ gesture/ mimik wajah, serta latar).

Selain itu, dalam film terdapat pula tata bahasa yang lebih akrab, seperti pemotongan adegan (cut), pembesaran gambar (zoom-in), pengecilan gambar (zoom-out). Selanjutnya ada gerakan dipercepat (spedded up), gerakan lambat (slow motion), dan efek khusus (special effect). Bahasa tersebut juga mencakup kode- kode representasi yang lebih halus, yang tercakup dari penggambaran visual dan linguistik hingga simbol-simbol yang abstrak dan arbitrer serta metafora.

Dalam studi semiotika terdapat elemen-elemen yang dapat memperkuat pemahaman dalam mengenai studi tersebut. Elemen- elemen dasar semiotika terdiri atas:


(41)

 Komponen tanda (penanda dan petanda)

Terdapat dua pendekatan penting yang berkenaan dengan tanda, salah satunya yaitu pendekatan yang dicetuskan oleh Ferdinand de Saussure dan pendekatan yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce. Menurut Saussure, tanda merupakan wujud konkret dari citra bunyi dan sering diidentifikasi sebagai penanda, sedangkan konsep-konsep dari bunyi-bunyian atau gambar, disebut sebagai petanda. Dapat dikatakan, di dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun konsep sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. Hubungan penanda dan petanda juga bersifat arbitrer (bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan (Sobur, 2003:32).

 Aksis tanda (paradigma dan sintagma)

Ciri dasar lanque adalah susunannya yang bersifat linier dan berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Hal ini dibedakan dengan tanda yang bersifat meruang. Hubungan penanda akustis ini hanya ada dalam garis waktu, karena jika unsur-unsurnya dilafalkan satu per satu hanya terbentuk satu rangkaian dan tidak ada hubungan asosiatif, serta dapat diperuntukaran secara sembarang. Hal ini disebut sebagai Sintagma. Sedangkan hubungan-hubungan yang bersifat asosiatif dari tanda-tanda ini disebut sebagai paradigma. Sehingga bagi de Saussure, Sintagma merupakan susunan tanda yang bersifat linier dan terkait oleh waktu, sedangkan susunan Paradigma lebih bersifat meruang dan mempunyai hubungan asosiatif yang membentuk suatu pengertian. Sintagma merupakan pengertian yang tercipta akibat hubungan antar unsur dalam satu kalimat, sedangkan Paradigma merupakan makna yang tercipta akibat hubungan antar unsur dari suatu kategori tertentu (Kurniawan, 2001: 61).

 Tingkatan tanda (denotasi dan konotasi)

Dalam ilmu linguistik pemahaman antara denotasi dan konotasi dibedakan pada muatan kebahasaannya. Pada konotasi, aspek ekspresi jauh lebih besar dibanding dengan muatan pengertian yang terdapat pada denotasi. Dengan demikian untuk bahasa yang bersifat keilmuan eksakta ataupun informasi, lebih tepat jika menggunakan pemahaman denotatif. Sedangkan untuk pengungkapan kebahasaan yang bersifat ekspresi, seperti novel, puisi, esai, ataupun syair, penggunaannya cenderung lebih bersifat konotatif.


(42)

Demikian pula dalam bidang desain yang dapat dianalogikan dengan bahasa visual. Untuk gambar teknis, informasi ataupun aspek-aspek yang berkaitan dengan produksi, cenderung digunakan tanda –tanda visual yang bersifat denotatif, sehingga tidak terjadi pemniasaan makna. Sedangkan untuk hal-hal yang bermuatan ekspreksi, sperti bentuk, citra, motif, ornamen ataupun hal-hal yang bersentuhan dengan aspek humanistis, cenderung diterapkan tanda-tanda konotatif. Teori Konotasi dan Denotasi dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petandayang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Kurniawan, 2001: 66).

 Relasi antar tanda (metafora dan metonimi)

Metafora merupakan bentuk perbandingan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat (Pradopo, 1994:66). Gaya metafora, merupakan gaya bahasa yang melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain. Metafora sebagai pembanding langsung tidak menggunakan kata-kata seperti dan lain-lain, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Salah satu unsur yang dibandingkan, yaitu citra, memiliki sejumlah komponen makna dan biasanya hanya satu dari komponen makna tersebut yang relevan dan juga dimiliki oleh unsur kedua, yaitu topik. Lebih lanjut, Beekman dan Callow menjelaskan bahwa metafora terdiri atas tiga bagian, yaitu:

(a) topic, yaitu benda atau hal yang dibicarakan;

(b) citra, yaitu bagian metaforis dari majas tersebut yang digunakan untuk mendeskripsikan topik dalam rangka perbandingan;

(c) titik kemiripan, yaitu bagian yang memperlihatkan persamaan antara topik dan citra. Ketiga bagian yang menyusun metafora tersebut tidak selalu disebutkan secara eksplisit. Adakalanya, salah satu dari ketiga bagian itu, yaitu topik, sebagian dari citra, atau titik kemiripannya implisit.


(43)

Metafora termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Gaya ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa polos atau langsung, contoh: “bunga bangsa” menyiratkan arti pahlawan.

Berdasarkan contoh tersebut dapat dilihat perbedaan antara gaya bahasa langsung dan gaya bahasa kiasan. Perbandingan biasa atau langsung mencakup dua anggota yang termasuk dalam kelas kata yang sama, sedangkan perbandingan berupa gaya bahasa kiasan mencakup dua hal yang termasuk dalam kelas kata yang berlainan (Keraf, 1994:136).

Metafora bercitra abstrak ke konkret, adalah mengalihkan ungkapan-ungkapan yang abstrak ke ungkapan-ungkapan yang lebih konkret. Seringkali pengalihan ungkapan itu masih bersifat transparan tetapi dalam beberapa kasus penelusuran etimologi perlu dipertimbangkan untuk memenuhi metafora tertentu. Metafora bercitra sinestesia, merupakan salah satu tipe metafora berdasarkan pengalihan indra, pengalihan dari satu indra ke indra yang lain.

Metonimia, diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti menunjukkan perubahan dan onoma yang berarti nama. Dengan demikian, metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya.

Metonimia merupakan bagian dari sinekdoke. Sinekdoke dibagi menjadi dua yaitu pars pro toto: pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek, dan totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian (Keraf, 1992:142).

Metonimia merupakan hubungan kemaknaan. Berbeda halnya dengan metafora, metonimia muncul dengan kata-kata yang telah diketahui dan saling berhubungan. Metonimia merupakan sebutan pengganti untuk sebuah objek atau perbuatan dengan atribut yang melekat pada objek atau perbuatan yang


(44)

bersangkutan. Metonimia dapat dikelompokkan bedasarkan atribut yang mendasarinya, misalnya metonimia dengan relasi tempat, relasi waktu, relasi atribut (pars prototo), metonimia berelasi penemu atau pencipta, dan metonimi berdasarkan perbuatan (Parera, 2004: 121).

Dalam konteks semiotika terdapat pula tipologi tanda- tanda oleh Paul Cobley & Liza Janz. Menurut mereka tanda memiliki tiga elemen, yaitu: ikon, indeks, dan simbol. Ketiga elemen tanda memiliki ciri- ciri yang dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 2.1

Ikon, Indeks, dan Simbol

Ditandakan oleh

Ikon Indeks Simbol

Persamaan/ kemiripan

Hubungan sebab/ akibat

Konvensi, kata, angka

Contoh Gambar/ foto

Merokok/

kebakaran/ gejala tidak enak badan/ penyakit

Bendera, dan benda lainnya (harus dipelajari/ ditafsirkan)

Proses Dapat dilihat Dapat dikatakan/ dipikirkan

Sumber: Berger, 1991: 5

 Ikon, merupakan tanda yang di cirikan oleh persamaan (resembles) dengan objek yang digambarkan. Dalam arti, ikon menunjukkan kemiripan dengan objek langsung. Contoh: foto, peta.

 Indeks, merupakan tanda yang memiliki hubungan kedekatan eksistensi antara tanda dan objek. Contoh: tanda penunjuk jalan dapat dikatakan sebagai indeks, sehingga kita dapat mengetahui arah, atau asap merupakan indeks dari api.


(45)

 Simbol, merupakan tanda yang cenderung bersifat abstrak. Simbol selalu berkaitan langsung dengan objek yang disimbolkan. Simbol dapat mengungkapkan sebuah realitas yang tidak dapat diungkapkan dengan kata- kata, karena realitas tersebut bersifat kompleks, agung, atau berkaitan dengan mistis ( Suprapto, 2009: 106).

Dari berbagai tanda dalam semiotika film, dikenal pula istilah mise in scene yang terkait dengan penempatan posisi dan pergerakan aktor pada set (blocking), serta sengaja dipersiapkan untuk menciptakan sebuah adegan (scene) dan sinematografi yang berkaitan dengan penempatan kamera.

Menurut Metz, mise in scene berarti menempatkan sesuatu pada satu layar. Dengan kata lain, mise in scene merupakan segala sesuatu yang tampil dikamera baik set, property shooting, aktor, kostum dan pencahayaan. Mise in scene terdiri atas:

a. Actor’s Performance

Script merupakan sebuah naskah yang berisi semua kalimat yang diucapkan oleh pemain film Movement merupakan semua hal dan berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemain film.

b. Sound

Latar belakang suara berupa suara pemain, lagu, sound effect, atau nat sound (suara disekeliling pemain film). Suara yang dapat didengar mendampingi visualisasi gambar pada layar.

Adapun kategori suara menurut Denitto, yakni:

Spoken word berupa perkataan, komentar, dialog maupun monolog dari seorang pemain film.

Natural sound berupa semua suara selain ucapan pemain film dan musik yang berfungsi sebagai ilusi realitas dan simbolisasi keadaan.

Music berupa instrumen atau nyanyian yang berfungsi untuk membantu transisi antar sequence, membentuk suasana latar tempat, membentuk kesan emosi pemain lebih hidup, untuk membentuk atmosfir, menambah kesan dramatis ataupun sekedar menyampaikan pesan non verbal.


(46)

Setting berupa lokasi pengambilan gambar

Property berupa segala peralatan atau barang yang mendukung pelaksanaan produksi film.

Costume berupa segala pakaian yang dipakai oleh pemain film (Bordwell & Thompson, 1993: 45).

Ada tiga hal yang menentukan dalam penempatan kamera pada sinematografi, yakni:

1. Camera angle merupakan posisi pembingkaian gambar dalam berhubungan dengan subjek yang ditampilkan, adapun sejumlah posisi kamera, yaitu:

high angle, menempatkan posisi kamera di atas atau lebih tinggi dari subjek untuk memberi kesan subjek lebih kecil, lemah dan tak berdaya.

low angle, menempatkan posisi kamera di bawah subjek yang menimbulkan efek kesan subjek lebih besar dan berwibawa.

eye level, menempatkan posisi kamera sejajar dengan mata subjekyang memberi kesan netral.

Jika dilihat dari sudut pandang antara pelaku film dengan penontonnya camera angle dapat dibagi atas 3, yaitu:

Camera angle obyektif : kamera dari sudut pandang penonton outsider, tidak dari sudut pandang pemain tertentu. camera angle obyektif tidak mewakili siapapun. Penonton tidak dilibatkan, dan pemain tidak merasa ada kamera, tidak merasa ada yang melihat.

Camera angle subyektif : Kamera dari sudut pandang penonton yang dilibatkan, misalnya melihat ke penonton. Atau dari sudut pandang pemain lain (Thompson, 1998: 20).

Camera angle point of view, yaitu: gabungan antara camera angle obyektif dan camera angle subyektif. camera angle diambil sedekat shot obyektif dalam sebuah shot subyektif, dan hasilnya tetap obyektif. Kamera ditempatkan pada sisi pemain subyektif, sehingga memberi kesan penonton beradu pipi dengan pemain yang di luar layar. Contoh paling jelas adalah: mengambil close up pemain yang menghadap ke pemain di luar layar dan sebelumnya didahului dengan Over Shoulder Shot, yaitu: pengambilan sebatas bahu (Thompson, 1998: 20).


(47)

2. Jarak Kamera menentukan jauh dekatnya frame dari elemen-elemenyang ditampilkan dalam sebuah shot. Adapun jenis-jenis shoot yaitu: (Thompson, 1998: 68- 82).

Extreme Long Shoot (ELS), menempatkan kamera sangat-sangat jauh dalam membuat pembingkaian gambar, digunakan untuk mengambil komposisi gambar panorama atau pemandangan alam.

Very Long Shoot (VLS), tata bahasa gambar yang panjang dengan menempatkan posisi kamera yang jauh dan luas namun lebih kecil dari ELS.  Long Shoot (LS), pengambilan gambar manusia sebagai subjek dari kepala

hingga kaki yang mengesankan keleluasaan suasana objek.

Medium Long Shoot (MLS), pengambilan gambar manusia sebagai subjek yang memotong sampai lutut dengan suasana keseluruhan situasi yang masih terlihat.

Medium Shoot (MS), pengambilan gambar manusia sebagai subjek hanya sebatas tangan hingga kepala agar ekspresi dan emosi subjek terlihat jelas.  Medium Close Up (MCU), menempatkan shoot subjek sebatas dada hingga

kepala untuk keperluan pengambilan gambar profil, bahasa tubuh dan emosi subjek yang menimbulkan hubungan kedekatan.

Close Up (CU), pengambilan gambar yang memfokuskan pada kepala hingga leher untuk memperoleh efek kesan ekspresi, reaksi dan emosi subjek.

Big Close Up (BCU), pengambilan gambar wajah dari dahi hingga dagu untuk mengesankan kedalaman pandangan mata, raut wajah dan emosi subjek.

Extreme Close Up (ECU), pengambilan shoot yang memfokuskan untuk memperlihatkan bagian yang diperbesar atau detail (Thompson, 1998: 84). 3. Pergerakan Kamera

 Pergerakan kamera secara horizontal (pan) dan vertikal (tilt).

 Pergerakan kamera yang mendekat atau menjauhi subjek atau mengikuti subjek (dolly/track) (Thompson, 1998: 98- 104).


(48)

Semiotik merupakan ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus di beri makna. Hal tersebut dikemukakan oleh para strukturalis, seperti Saussure dan Barthes (Hoed, 2008: 3).

Secara epistemologis, semiotik berasal dari kata Yunani, semeion yang berarti tanda. Tanda itu didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Atau dengan kata lain tanda adalah representasi objek (Endraswara, 2003:64). Secara terminologis, semiotik merupakan ilmu yang mempelajari deretan objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Sobur, 2003: 95).

Metz lahir di Beziers, Prancis bagian Selatan, pada tahun 1931 dan meninggal pada akhir tahun 1993. Metz belajar di Ecole Normale Superieure (rue d'Ulm) tempat ia meraih penghargaan dalam sastra klasik (Prancis, Yunani, dan Latin) setelah mendapatkan gelar dalam bahasa Jerman dan maitrise dalam sejarah kuno. Puncak kegiatan akademik yang diikutinya adalah gelar doctorat d'etat dalam linguistik umum dari Universitas Sorbonne.

Pada tahun 1960 an Metz merintis upaya menetapkan teori tentang film sebagai suatu disiplin intelektual tersendiri Artikel-artikel yang ditulis dalam karya Metz: Essais sur la signification au cinema (1968), membuka jalan didirikannya jurusan sinematografi di Universitas Vincennes (Paris VIII) (Lechte, 2001: 130). Sejalan dengan kegiatan akademik yang diikutinya, Metz terlibat dengan kegiatan para penggemar film dan animator klub sine (cine-club). Sebagian besar pengetahuan tentang sejarah film serta film tertentu yang dijadikan contoh dalam karya teoretisnya berasal dari kegiatan ini (Metz, 1974: 10).

Christian Metz merupakan tokoh di bidang Semiotic Cinema, di mana ia memunculkan beberapa bahasan mengenai pola pengambilan gambar dan makna di balik pengambilan gambar tersebut. Ia mengungkapkan bahwa cinema bukan suatu sistem bahasa, namun cinema merupakan sebuah bahasa (suatu tanda yang mendukung). Bidikan camera (cinematic) seumpama urutan kata pembentuk kalimat. Jadi apabila bidikan kamera tersebut diurutkan menjadi satu akan sama seperti kata-kata yang disusun hingga menjadi sebuah kalimat. Ia banyak menjelaskan mengenai shot, atau yang lebih di kenal di Indonesia dengan istilah


(49)

“take gambar” untuk film. Shot bersifat tidak terbatas jumlahnya. Shot merupakan hasil karya si pembuat film. Lewat sebuah shot, dapat ditemukan banyak informasi. Shot merupakan sebuah unit yang bersifat actualised (menghasilkan sebuah makna). Pembentukan syntagma didukung oleh pemilihan film serta pengkombinasian setiap gambar maupun bunyi di dalamnya (Plantinga, 2008: 55).

Jenis Pengambilan Gambar:

1.The autonomous shot (pemilahan gambar) 2.The parallel syntagm (penyejajaran sintagma)

3.The bracketing syntagm (pembatasan sintagma; pengambilan gambar secara singkat)

4.The descriptive syntagm (penggambaran sintagma; urutan keadaan)

5.The alternating syntagm (pergantian sintagma; pergantian adegan)

6.The scene (adegan yang berkelanjutan)

7.The episodic sequence (pembabakan pada setiap adegan) 8.The ordinary sequence (urutan setiap babak)

II. 2. 4. 2. Ikonografi dan Ikonologi Panofsky

Studi ikonografi dan ikonologi dari Panofsky, merupakan sebuah studi untuk memperoleh makna dari suatu karya seni lewat tahap-tahap deskripsi pra ikonografi, analisis ikonografi dan interpretasai ikonologi, yang ketiganya berkesinambungan. Namun yang kerap digunakan dalam sebuah penelitian adalah analisis ikonografi dan interpretasai ikonologi.

Erwin Panofsky lahir di Hannover, Jerman pada 30 Maret 1892. Ia menimba ilmu di University of Berlin, Munich, pada tahun 1910. Dan pada tahun 1914 ia menerima gelar Profesor Doktor (PhD) di bidang seni dan sejarah dari universitas tersebut.

Pada tahun 1939, ia mempublikasikan tulisan pertamanya yang berjudul “Studies in iconology: Humanist Themes in the Art of the Renaissance”. Buku tersebut merupakan buku pertama yang disusunnya setelah ia pindah ke Amerika. Ia melanjutkan teorinya mengenai ikonologi dan ikonografi, di mana ia menjadikan Leonardo Da Vinci sebagai sampel dari teorinya.


(50)

Tabel 2.2

Pra- ikonografi, Ikonografi dan Ikonologi

Objek Interpretasi

pra-ikonografi ikonografi ikonologi makna primer/

alami (makna faktual dan makna ekspresional)

Makna sekunder/ konvensional, (mengacu pada dunia gambar- gambar, lambang- lambang dan simbol-simbol)

makna intrinsik/isi, yang (dunia nilai “simbolik”)

Sumber Interpretasi

keterbiasaan dengan objek dan peristiwa- persitiwa yang serupa

pengetahuan dari sumber-sumber kesusastraan (melalui keterbiasaan dengan

tema-tema dan konsep-konsep yang spesifik)

intuisi sintesis

(keterbiasaan dengan tendensi esensial dari pikiran manusia,yang dikondisikan

oleh faktor psikologis personal, dan

“weltans-chaining” /pandangan hidup suatu bangsa)


(51)

Dari ketiga tahapan di atas, Panofsky berupaya menjelaskan mengenai kajian dalam memperhatikan konfigurasi ikon pada suatu karya untuk menangkap makna tersembunyi di dalamnya. Ketiga tahapan tersebut berlangsung secara berurutan serta didasari oleh latar belakang, kondisi sosial, dan aspek psikologis. Pengkajian diharapkan dapat dilakukan secara mendalam guna menghasilkan sebuah makna yang luas dalam sebuah karya.

II. 3. Model Teoritis

   

                   


(1)

11.

Sequence : 7 Scene : 3 Shot : 5-6

Setting : bangunan kosong

Cahaya lembut, Horizontal, LS, ECU, objektif

Deby mengajak Andro untuk lebih bersemangat menangkap matahari.

12.

Sequence : 7 Scene : 4 Shot : 1-4

Setting : bangunan kosong

Cahaya terang, Horizontal, LS, ECU follow shot, objektif

Deby dan Andro menari di tengah cahaya matahari, diiringi dengan musik ilustrasi.

13.

Sequence : 8 Scene : 1 Shot : 1-3

Setting : perkampungan (tempat menjual matahari)

Cahaya terang, Horizontal, ECU, LS, Tilt up, Track out, objektif

 Beberapa toples dan sebuah kertas bertuliskan: “Rp. 200”.

 Deby dan Andro sedang menunggu para pembeli matahari. Tampak seekor ayam mendekat ke arah mereka.

14.

Sequence : 8 Scene : 2 Shot : 1-4

Setting : tepi danau (tempat menjual matahari)

Cahaya terang, Horizontal, LS, CU, track out, objektif

Seorang bapak menghampiri Deby dan Andro yang sedang menjual toples berisi cahaya matahari.

15.

Sequence : 8 Scene : 3 Shot : 2-7

Setting : tepi danau (tempat

Cahaya terang, Horizontal, LS, CU, track in, track out, objektif

Seorang ibu menghampiri Deby dan Andro untuk melihat matahari yang mereka jual.


(2)

16.

Sequence : 8 Scene : 4 Shot : 1

Setting : perkampungan (tempat menjual matahari)

Cahaya terang, Horizontal, LS, ELS, track out, zoom out, objektif

seorang pria diikuti warga perkampungan lain menghampiri Debydan Andro untuk membeli toples berisi cahaya matahari.

17.

Sequence : 9 Scene : 1 Shot : 1-4

Setting : gang perkampungan

Cahaya terang, Horizontal, ELS, track out, objektif

Deby dan Andro melewati gang perkampungan sambil membicarakan tentang matahari yang mereka tangkap. “kenapa sih mataharinya dijual? Nggak gratis aja?” “supaya orang lebih ngehargain”

18.

Sequence : 3 Scene : 2 Shot : 1

Setting : perkampungan

Cahaya lembut, Horizontal, MLS, track in, objektif

Seorang bapak yang pada awal cerita tampak murung, akhirnya terlihat sangat gembira.

“anakku diterima dikampus negeri”

19.

Sequence : 1 Scene : 2 Shot : 1

Setting : jalan perkampungan (1)

Cahaya lembut, Horizontal, CU, follow shot, objektif

Deby dan Andro melihat kegembiraan bapak tersebut dari balik sebuah pagar bambu. Keduanya

memperlihatkan raut wajah yang turut gembira.

20.

Sequence : 4 Scene : 2 Shot : 1

Setting : tempat penyucian

Cahaya lembut, Horizontal, MS, track in, objektif

seorang ibu pada awalnya tampak letih terlihat lebih bersemangat.


(3)

21.

Sequence : 10 Scene : 1 Shot : 1

Setting : jalan perkampungan (3)

Cahaya terang, Horizontal, MS, follow shot, objektif

Deby dan Andro melihat ibu yang tampak lebih bersemangat, dan keduanya terlihat senang.

22.

Sequence : 2 Scene : 2 Shot : 1

Setting : tepi danau

Cahaya lembut, Horizontal, MCU, track in, objektif

Pria yang pada awal cerita sedang merenung di depan danau, terlihat lebih bersemangat.

23.

Sequence : 11 Scene : 1 Shot : 1

Setting : jalan perkampungan (4)

Cahaya lembut, Horizontal, CU, track in, objektif

Deby dan Andro melihat kegembiraan pria tersebut, dan mereka tampak turut bergembira.

24.

Sequence : 12 Scene : 1 Shot : 1

Setting : tepi danau (2)

Cahaya lembut, Horizontal, CU, track in, objektif

Deby dan Andro melakukan permainan lempar batu dari tepi danau, dan berharap keinginan mereka dapat

terwujud.  


(4)

T  


(5)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Jl. Dr. A. Sofyan No. 1 Telp (061) 8217168

LEMBAR CATATAN BIMBINGAN SKRIPSI

NAMA : Rouli Afrilya

NIM : 090904124

PEMBIMBING : Yovita Sabarina Sitepu, M.Si

No. Tanggal Pertemuan Pembahasan Paraf Pembimbing 1. 14 Desember 2012 ACC Seminar Proposal

2. 19 Desember 2012 Seminar Proposal 3. 24 Januari 2013 Bimbingan Bab I- III 4. 15 Februari 2013 Bimbingan Bab I- III 5. 27 Maret 2013 Bimbingan Bab I- III 6. 23 April 2013 Bimbingan Bab IV 7. 28 Mei 2013 Bimbingan Bab IV 8. 19 Juni 2013 Bimbingan Bab IV 9. 03 Juli 2013 Bimbingan Bab I- IV 10. 10 Juli 2012 Bimbingan Bab I- IV 11. 18 Juli 2013 ACC Bab I-IV 12. 19 Juli 2013 ACC Sidang


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

NAMA : ROULI AFRILYA

TEMPAT/TANGGAL LAHIR : DILI/08 APRIL 1991

JENIS KELAMIN : PEREMPUAN

AGAMA : KRISTEN PROTESTAN

ALAMAT : JL. PURNAMA NO.23 GAPERTA UJUNG

MEDAN

NAMA ORANGTUA : F.GULTOM

G.SITORUS

ALAMAT ORANGTUA : JL. PURNAMA NO.23 GAPERTA UJUNG MEDAN

PENDIDIKAN : SD SAN FRANCISCO BALIGE

SMP BUDHI DHARMA BALIGE

SMA N 12 MEDAN