DISCERNMENT DALAM PENYELESAIAN KONFLIK PADA TIGA SUSTER SANTA PERAWAN MARIA DALAM HIDUP MEMBIARA

  

DISCERNMENT DALAM PENYELESAIAN KONFLIK

PADA TIGA SUSTER SANTA PERAWAN MARIA

DALAM HIDUP MEMBIARA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

  

Program Studi Bimbingan dan Konseling

 

  

Oleh:

Regina Ema Pratiwiningrum

NIM: 051114003

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

  

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010  

  

DISCERNMENT DALAM PENYELESAIAN KONFLIK

PADA TIGA SUSTER SANTA PERAWAN MARIA

DALAM HIDUP MEMBIARA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

  

Program Studi Bimbingan dan Konseling

 

  

Oleh:

Regina Ema Pratiwiningrum

NIM: 051114003

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

  

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010

  

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia

yang memberi kekuatan kepadaku.”

(Flp 4: 13)

  

“Orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru:

mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya;

mereka berlari dan tidak menjadi lesu,

mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.”

  

(Yes 40: 31)

“Bila kamu tidak mengolah hidup batinmu,

kamu tidak dapat berbuat sesuatu yang sungguh-sungguh berharga.”

(St. Jullie Billiart)

  Skripsi ini kupersembahkan kepada: ♥ Hati Kudus Yesus dan Bunda Maria tercinta yang dengan setia mendampingi dan menemaniku dalam suka dan duka.

  ♥ Para Suster Kongregasi Santa Perawan Maria yang mendukung dalam panggilan dan studiku. ♥ Bapak, ibu, kakak-kakak, dan sahabatku yang selalu mendukung dan setia mendoakanku. ♥ Almamaterku tercinta: Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma yang telah mendidik dan mendewasakan aku.

  

ABSTRAK

DISCERNMENT DALAM PENYELESAIAN KONFLIK

PADA TIGA SUSTER SANTA PERAWAN MARIA

DALAM HIDUP MEMBIARA

  Regina Ema Pratiwiningrum Universitas Sanata Dharma

  Yogyakarta 2010

  Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan discernment dalam penyelesaian konflik yang dilakukan oleh tiga suster SPM dalam hidup membiara dan untuk menemukan program pembinaan yang sebaiknya dilakukan para suster SPM untuk dapat meningkatkan kemampuan dalam melakukan discernment.

  Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif. Subjek penelitian berjumlah tiga suster SPM yang tinggal di tiga komunitas yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam. Instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan pedoman wawancara yang disusun oleh peneliti dan dikonsultasikan dengan pembimbing. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan subjek penelitian direkam dengan menggunakan tape recorder dan disusun dalam bentuk transkrip.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga subjek penelitian mampu melakukan discernment dalam menyelesaikan konflik, hanya saja masih kurang mendalam dan perlu ketekunan untuk terus dilatih, karena emosi yang muncul belum diolah secara mendalam dan masih menyulitkan mereka dalam mengambil keputusan dengan tepat. Meskipun demikian, pergulatan dan hambatan selama ber-discernment, membuat mereka mampu memaknai dan menemukan manfaat positif dari discernment bagi perkembangan kepribadian dan kedewasaan iman mereka. Nilai-nilai yang semakin bertumbuh kuat dalam proses discernment adalah iman yang kuat, kasih, kesetiaan, keberanian menanggung resiko, kerendahan hati, penghargaan diri, dan pengampunan.

  Berdasarkan hasil penelitian tersebut peneliti mengusulkan beberapa program pembinaan untuk meningkatkan kemampuan melakukan discernment. Usulan kegiatan meliputi: Pengolahan Hidup, pelatihan khusus discernment,

  

Correctio Fraterna , dan mengagendakan discernment sebagai habitus berupa:

  refleksi, retret, dan rekoleksi. Topik-topik kegiatan antara lain: Peta Perjalanan Batin, Eneagram, Genogram, penerimaan diri, kepercayaan diri, penghargaan terhadap diri sendiri, pengampunan, persaudaraan sejati, Correctio Fraterna, dan ekaristi. Program ini dimaksudkan agar para suster SPM mampu mengolah batin/emosi, menerima diri, mengenal gerakan batin, lebih peka mendengarkan suara hati, dapat membedakan roh baik atau jahat, mampu menimbang-nimbang, berani mengambil keputusan, dan bertindak sesuai keputusan itu.

  

ABSTRACT

DISCERNMENT IN RESOLVING CONFLICT

OF THREE SISTERS OF OUR LADY

IN CONVENT LIFE

  Regina Ema Pratiwiningrum Sanata Dharma University

  Yogyakarta 2010

  This research was aimed to describe discernment in resolving conflict done by three sisters of Our Lady in convent life and to discover the best development program employed by sisters of Our Lady to be able to boost the skill of discernment.

  This type of research was qualitative. The research subjects were three sisters of Our Lady living in a community that is Central Java and East Java. The data collecting method employed was a profound interview. The instrument of research was several interview questions for guidance which were compiled by researcher and consulted to the supervisor. The data taken from the subject’s interview result was recorded by a tape recorder and arranged in transcript form.

  The result showed that the three research subjects were able to employ discernment in resolving conflict, only it was not too profound yet and there was a need of persistence to develop it more, because the appeared emotion was not yet cultivated profoundly and makes them difficult to take a decision appropriately. Nevertheless, the struggle and obstacle during discerning make them able to value and discover benefit o the discernment itself for personality development and the maturity of their faith. The values which grow stronger in the process of discernment were commanding faith, affection, loyalty, brave to carry a risk, modesty, self-esteem, and forgiveness.

  Based on the research, the researcher suggested several guidance programs to increase the ability of discernment. The offered activities comprise: Life Cultivation, discernment distinctive training, Correction Fraterna, and slating discernment as a habitus namely: reflection, retreat, and recollection. The activity topics were: Maps of The Inner Journey, Eneagram, Genogram, self- acceptance, self confidence, self-esteem, forgiveness, truly friendship, Correction

  

Fraterna , and eucharist. These programs were meant to train sisters of Our Lady

  to be able to cultivate emotion, accept themselves, know the inner movement, be sensitive to listen to their own heart, differentiate the good and the bad, consider, be brave in taking a decision, and act according to the decision.

  

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan yang Mahabaik atas rahmat dan kesetiaan-

  Nya sehingga penulis memperoleh kekuatan dan semangat untuk tetap setia menyusun skripsi. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Bimbingan dan Konseling di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan, perhatian, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.

  Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D., selaku Dekan FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah berkenan mengesahkan skripsi ini.

  2. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si., selaku Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling yang telah memberi kesempatan, dukungan, dan bantuan dalam penyusunan skripsi ini.

  3. Drs. Y.B. Adimassana, M.A., selaku pembimbing pertama yang telah setia dan sabar membimbing, mendukung, dan memberi banyak masukan kepada penulis.

  4. Drs. H. Sigit Pawanta, SVD, M.A., selaku pembimbing kedua yang telah memberi inspirasi/masukan dan memberi semangat kepada penulis.

  5. Para dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma yang telah berjerih payah memberikan seluruh tenaga, ilmu, dan perhatian kepada penulis.

  6. Para karyawan perpustakaan, sekretariat BK, rumah tangga Universitas Sanata Dharma yang dengan sabar, ramah, setia membantu penulis dalam peminjaman buku, pengurusan administrasi, dan menciptakan suasana nyaman dalam belajar.

  7. Kongregasi Santa Perawan Maria yang telah memberikan kepercayaan dan kesempatan untuk studi lanjut, mendoakan, dan memberi dukungan selama penulis menjalankan tugas belajar.

  8. Para suster SPM tiga komunitas di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang telah mengijinkan penulis mengadakan penelitian.

  9. Sr. X, Sr. Y, Sr. Z (nama samaran) yang rela membagikan pengalamannya selama penelitian.

  10. Para suster SPM komunitas Mliwis yang telah memberikan perhatian dan dukungan kepada penulis selama belajar sampai pada penyusunan skripsi ini.

  11. Rm. Agustinus Riyanto, SCJ, Rm. Eltus Mali, Pr, dan Fr. Siprianus, OFM yang telah membantu dalam proses penyusunan proposal skripsi, memberi masukan, mengoreksi, dan mengkritisi skripsi ini.

  12. Kedua orangtua, kakak-kakak, dan keponakan-keponakan yang setia mendoakan, perhatian, dan memberi dukungan kepada penulis.

  13. Sahabat-sahabat yang selalu mencintai, memotivasi, menyemangati, mendoakan, dan mendukung penulis

  14. Teman-teman angkatan 2005 dan kakak-kakak angkatan yang setia dalam kerja sama, saling berbagi pengalaman, dan saling mendukung.

15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.

  Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis terbuka terhadap sumbangan pemikiran, kritik, dan saran agar skripsi ini menjadi lebih baik. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi pembaca.

  Yogyakarta,

  11 Maret 2010 Penulis

  

DAFTAR ISI

Halaman

  HALAMAN JUDUL .................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN......................................... iv HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................... v HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA

  ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .................................... vi ABSTRAK .................................................................................................. vii

  

ABSTRACT .................................................................................................. viii

  KATA PENGANTAR ................................................................................ ix DAFTAR ISI ............................................................................................... xii DAFTAR TABEL ....................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xvi

  BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1 B. Rumusan Masalah .................................................................. 5 C. Tujuan Penelitian .................................................................... 5 D. Manfaat Penelitian .................................................................. 6 E. Definisi Operasional dan Variabel Penelitian ........................ 7 1. Definisi Operasional ........................................................ 7 2. Variabel Penelitian .......................................................... 8

  BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Hidup Membiara ..................................................................... 9 1. Pengertian Hidup Membiara .............................................. 9 2. Gaya Hidup Membiara ...................................................... 11 3. Dimensi Hidup Eskatologis ............................................... 14 B. Para Suster SPM ..................................................................... 16 1. Identitas SPM .................................................................... 16 2. Spiritualitas SPM ............................................................... 17 C. Penyelesaian Konflik .............................................................. 20 1. Pengertian Konflik ............................................................. 20 2. Penyebab Konflik .............................................................. 23 3. Akibat Konflik ................................................................... 27 4. Cara Mengatasi Konflik ..................................................... 31 D. Discernment dalam Pengolahan Batin ................................... 38 1. Pengertian Discernment ..................................................... 38 2. Cara-cara Discernment dalam Pengolahan Batin .............. 39 a. Pengenalan Diri Sebagai Landasan/Dasar .................... 40 b. Discernment Sebagai Salah Satu Cara Mengatasi Konflik .......................................................................... 47 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ....................................................................... 56 B. Subjek Penelitian .................................................................... 58 C. Metode Pengumpulan Data .................................................... 59

  D.

  Tahap-tahap Penelitian ........................................................... 64 E. Tehnik Analisis Data .............................................................. 66 F. Pemeriksaan Keabsahan Data ................................................. 68

  BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ....................................................................... 70 B. Pembahasan ............................................................................ 78 1. Discernment dalam Penyelesaian Konflik ......................... 79 2. Program Pembinaan Untuk Meningkatkan Kemampuan Melakukan Discernment .................................................... 85 BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................. 89 B. Keterbatasan Penelitian .......................................................... 90 C. Saran....................................................................................... 91 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 92 LAMPIRAN ............................................................................................... 95

  

DAFTAR TABEL

  Halaman Tabel 1 Karakteristik Subjek Penelitian ..................................................... 58 Tabel 2 Kisi-kisi Panduan Wawancara ....................................................... 60 Tabel 3 Hasil Penelitian dari Subjek Penelitian dan Sumber Lain ............. 71

DAFTAR LAMPIRAN

  Halaman Hasil Wawancara ......................................................................................... 95 Surat Ijin Penelitian ..................................................................................... 117

   

BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional dan variabel penelitian. A. Latar Belakang Masalah Kemampuan untuk mengolah batin dan meneliti struktur dinamis

  pengalaman iman pribadi merupakan unsur dasariah dalam tiap usaha untuk mengadakan peresapan spiritualitas, karena pengolahan batin yang benar mampu membawa tiap pribadi pada pengakaran iman dalam hidup sebagai titik tolak pembaharuan dan perjalanan batin terus-menerus. Pengolahan batin yang benar menjadi suatu proses discernment apabila seseorang menempatkannya dalam konteks mencari kehendak Allah secara terus-menerus (Prasetya, 1992:35). Pengolahan batin ini dapat dilakukan oleh seseorang setiap saat dan dalam situasi apapun. Namun, lebih tepat dilakukan apabila seseorang sedang menghadapi konflik. Konflik yang dialami tiap pribadi dan cara mengolah batin berbeda satu dengan yang lain. Salah satu cara untuk mengolah batin adalah dengan discernment. Melalui discernment, orang melihat gerakan roh yang ada dalam batinnya, apakah tindakannya mengikuti roh baik atau roh jahat. Dalam proses discernment ini dibutuhkan waktu, energi, dan keterbukaan hati.

   

  Berdasarkan pengamatan dan pengalaman peneliti dalam hidup bersama dengan para suster Santa Perawan Maria (SPM), didapatkan adanya para suster yang ketika mengalami konflik kurang dapat mengolahnya dengan baik. Hal ini tampak dari perilaku, cara bicara, dan cara pandang yang tidak seperti biasanya dan kurang terkontrol. Dari antara para suster ada yang mudah marah, menjadi pendiam, dan bahkan gembira yang berlebihan sebagai pelampiasan konflik yang dialami. Bentuk konflik yang dialami adalah konflik pribadi (intrapersonal) dan konflik dengan sesama suster atau orang lain (interpersonal). Konflik ini dipengaruhi oleh banyak hal, antara lain pengalaman masa lalu yang belum terselesaikan dan belum dapat mengampuni, pengalaman ditolak, tidak dihargai, luka-luka batin yang membelenggu hingga sekarang, tugas perutusan yang tidak sesuai dengan minat, minder karena keterbatasan diri, dan kebutuhan yang kurang terpenuhi. Hal ini mempengaruhi munculnya pikiran negatif terhadap diri sendiri maupun orang lain, selalu menyalahkan diri sendiri atau orang lain, mudah berprasangka, dan berpandangan sempit. Konflik juga mempengaruhi perasaan, misalnya mudah kecil hati, cemas, gelisah, tertekan, merasa tidak berarti, frustrasi, stres, dan tidak bergairah dalam tugas. Situasi hati yang demikian memunculkan perilaku yang dapat mengganggu orang lain atau sesama suster se-komunitas. Hal itu juga memunculkan gangguan fisik antara lain, psikosomatis, batuk, pusing, dan penyakit lain yang tidak sembuh-sembuh. Yang lebih memprihatinkan lagi, karena tidak mampu mengolah konfliknya, pribadi itu cepat memutuskan untuk keluar dari biara.

   

  Kenyataan ini menunjukkan bahwa para suster tampaknya belum sepenuhnya mampu menyelesaikan konflik dengan pengolahan batin yang baik dan tepat. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang menyakitkan sehingga berusaha untuk menghindari, menyingkirkan, bahkan menguburkan. Mereka kurang siap menghadapi konflik dan kurang menerima konflik itu sebagai peluang yang dapat memperkembangkan diri dan mendewasakan iman.

  Konflik tidak pernah terselesaikan apabila pribadi kurang berani untuk masuk sampai pada akar masalah. Apabila suatu saat terjadi konflik lagi dia akan merasa kesakitan lagi dan mencari cara untuk lari dari konflik dengan melakukan pelampiasan. Pribadi ini hidup dalam tekanan dan tidak menjadi manusia yang lepas bebas. Pengolahan konflik yang demikian sangatlah dangkal dan kurang tepat. Oleh karena itu dibutuhkan cara-cara tertentu dalam mengolah konflik, antara lain dengan discernment. Discernment ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat permasalahan itu dengan pikiran jernih dan hati yang tenang sehingga memungkinkan Allah tinggal, bersemayam, dan berkarya dalam diri seseorang khususnya yang sedang mengalami konflik. Kehadiran Allah akan mengubah hidup seseorang menjadi lebih baik.

  Menurut William Hendricks (2006:43-44) ada dua tipe konflik. Tipe konflik yang pertama adalah konflik intrapersonal yaitu proses perubahan dan timbulnya konflik yang terjadi di dalam diri seseorang. Konflik intrapersonal dirasakan atau dialami baik secara fisik, mental maupun emosional. Konflik ini sering disebut konflik diri. Tipe konflik yang kedua adalah konflik

   

  interpersonal yaitu konflik terjadi antara individu yang satu dengan individu yang lain maupun antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.

  Berdasarkan pengalaman konflik para suster SPM, peneliti akan memfokuskan pada konflik interpersonal. Peneliti melihat bahwa para suster sering mengalami konflik karena perbedaan-perbedaan tertentu dengan orang lain, ketidakcocokan dengan tugas perutusan, dan berbagai hal yang terjadi munculnya konflik. Melihat keprihatinan yang dihadapi oleh para suster, peneliti berharap agar para suster SPM tidak tergesa-gesa dalam menyelesaikan konfliknya. Mereka perlu terbuka dan mempunyai kesadaran diri dalam mengolah batin secara benar. Salah satu cara untuk mengolah batin adalah dengan melakukan discernment. Melalui discernment, para suster akan dapat merasakan gerakan Roh yang hadir dan berkarya dalam dirinya. Allah juga ikut campur tangan dalam setiap permasalahan sejauh para suster yakin bahwa segala masalah akan dapat terselesaikan. Apabila pengolahan batin dilakukan dengan benar maka para suster akan mengalami kedamaian, kebebasan, dan kebahagiaan dalam hidup khususnya dalam menghayati hidup sebagai seorang biarawati.

  Berkaitan dengan judul penelitian ini, penelitian tentang discernment dalam penyelesaian konflik pada tiga suster SPM dalam hidup membiara belum pernah diteliti oleh peneliti lain. Oleh karena itu, peneliti merasa bahwa penelitian ini sungguh relevan dan merupakan hal baru untuk diteliti pada saat ini. Semoga penelitian ini dapat membantu siapa saja khususnya para suster

   

  SPM untuk dapat meningkatkan kemampuan dalam melakukan discernment dalam menyelesaikan konflik.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang masalah di atas, disusunlah rumusan masalah sebagai berikut.

  1. Bagaimanakah discernment dalam penyelesaian konflik yang dilakukan oleh tiga suster SPM dalam hidup membiara?

  2. Bagaimanakah program pembinaan yang sebaiknya dilakukan para suster SPM untuk dapat meningkatkan kemampuan dalam melakukan

  discernment ? C.

   Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

  1. Mendeskripsikan discernment dalam penyelesaian konflik yang dilakukan oleh tiga suster SPM dalam hidup membiara.

  2. Menemukan program pembinaan yang sebaiknya dilakukan para suster SPM untuk dapat meningkatkan kemampuan dalam melakukan discernment .

    D.

   Manfaat Penelitian

  Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis

  Bagi program studi Bimbingan dan Konseling Supaya dapat menambah khasanah tentang ilmu Bimbingan dan Konseling terutama dalam bimbingan pribadi dan membantu klien menyelesaikan konflik.

2. Manfaat praktis a.

  Bagi peneliti sendiri Menambah wawasan untuk dapat mengolah konflik demi kematangan dan pengembangan diri.

  b.

  Bagi para suster SPM Memberikan wawasan yang dapat membantu para suster SPM untuk melihat secara jernih akar konflik yang dialami, sehingga mereka dapat menyelesaikan konflik dengan tepat.

  c.

  Bagi para pembina Kongregasi SPM Memberikan masukan bagi para pembina (magistra, pimpinan komunitas, pimpinan) untuk dapat dengan jernih melihat konflik orang-orang yang dibina dan dapat membantu memberikan penyelesaian yang tepat.

    E.

   Definisi Operasional dan Variabel Penelitian 1. Definisi Operasional a.

  Discernment atau pembedaan roh adalah sebuah aktivitas untuk melihat hidup, cara mengambil keputusan secara jernih dan obyektif dan tidak dikuasai atau dikendalikan melulu oleh emosi, keinginan dan perasaan sesaat belaka. Pembedaan roh mengajak untuk melihat arah panggilan hidup sesuai dengan kehendak Tuhan sendiri (Admin, 2007).

  b.

  Konflik adalah perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan, atau tuntutan yang bertentangan. Pada dasarnya konflik terjadi bila dalam satu peristiwa terdapat dua atau lebih pendapat atau tindakan yang dipertimbangkan. Konflik tidak lebih dari adanya beberapa pilihan yang saling bersaing atau tidak selaras (Pickering, 2001:1).

  c.

  Suster dalam arti sempit adalah saudari. Dalam arti luas berarti semua anggota lembaga hidup bakti wanita (Heuken, 1994:305). Suster SPM adalah wanita yang menggabungkan diri dalam suatu lembaga hidup bakti dan menamakan diri suster Santa Perawan Maria (Kapitel Umum Kongregasi, 1984:15).

  d.

  Hidup membiara sering disebut hidup bakti atau hidup religius, artinya hidup yang dibaktikan dengan pengikraran nasihat-nasihat injili dan merupakan bentuk hidup yang tetap dengannya orang beriman, yang tata dorongan Roh Kudus mengikuti Kristus secara lebih dekat, dipersembahkan secara utuh kepada Allah yang paling dicintai agar mereka, demi kehormatan bagi-Nya dan juga demi pembangunan Gereja

   

  serta keselamatan dunia, dilengkapi dengan alasan baru dan khusus, mengejar kesempurnaan cintakasih dalam pelayanan Kerajaan Allah dan, sebagai tanda unggul dalam Gereja, mewartakan kemuliaan surgawi (KWI, 2006:177).

2. Variabel Penelitian

  Variabel utama dalam penelitian ini adalah discernment dalam penyelesaian konflik pada tiga suster Santa Perawan Maria dalam hidup membiara. Untuk memperoleh data tentang discernment yang dilakukan oleh tiga suster SPM dalam penyelesaian konflik, peneliti menggunakan instrumen berupa wawancara mendalam (depth interviews) kepada para suster secara pribadi dengan menggunakan panduan wawancara berupa pertanyaan-pertanyaan terbuka. Pertanyaan-pertanyaan terbuka tersebut tidak terstruktur secara ketat sesuai dengan judul penelitian yaitu

  Discernment dalam Penyelesaian Konflik Pada Tiga Suster Santa Perawan Maria dalam Hidup Membiara. Wawancara dengan pertanyaan tidak

  terstruktur adalah suatu wawancara di mana pertanyaan-pertanyaan yang disediakan memberi kebebasan kepada yang diwawancarai untuk menjawabnya atau mengungkapkan pendapatnya (Masidjo, 1995:75). Penggunaan instrumen wawancara ini bertujuan untuk mengetahui tinggi rendahnya tingkat kemampuan para suster SPM dalam melakukan

  discernment untuk menghadapi persoalan atau menyelesaikan konflik yang dialami dalam hidup membiara.

   

BAB II KAJIAN PUSTAKA Dalam bab ini disajikan uraian tentang hidup membiara, para suster SPM, penyelesaian konflik, dan discernment dalam pengolahan batin. A. Hidup Membiara

1. Pengertian Hidup Membiara

  Allah memanggil manusia dalam berbagai cara, manusia pun menjawabnya, antara lain dengan cara yang khusus, yakni memasuki cara hidup membiara. Hidup membiara merupakan salah satu cara menanggapi panggilan Allah. Allah memanggil manusia agar bahagia, dan manusia menjawabnya dengan penuh kasih, dengan cara meninggalkan segalanya, dan memulai hidup dalam pertobatan, hidup dalam biara. Hidup membiara dapat disebut hidup bakti atau sering pula disebut hidup religius. Kekhasan hidup bakti dapat ditemukan dalam Kitab Hukum Kanonik, kanon 573 § 1 yang menyatakan:

  Hidup yang dibaktikan dengan pengikraran nasihat-nasihat injili adalah bentuk hidup yang tetap dengannya orang beriman, yang tata dorongan Roh Kudus mengikuti Kristus secara lebih dekat, dipersembahkan secara utuh kepada Allah yang paling dicintai agar mereka, demi kehormatan bagi-Nya dan juga demi pembangunan Gereja serta keselamatan dunia, dilengkapi dengan alasan baru dan khusus, mengejar kesempurnan cintakasih dalam pelayanan Kerajaan Allah dan, sebagai tanda unggul dalam Gereja, mewartakan kemuliaan surgawi (KWI, 2006:177).

   

  Hidup bakti ini dapat diartikan sebagai hidup yang dibaktikan kepada Allah, dan Allah menerimanya dengan penyertaan dan bimbingan kasih-Nya, serta Allah sendiri yang menyucikannya. Hidup yang disucikan ini merupakan suatu hidup yang berjuang untuk mencari kesempurnaan dalam Allah.

  Tentang hidup religius ditulis dalam Kitab Hukum Kanonik kanon 607 § 1 sebagai berikut: Hidup religius, sebagai pembaktian seluruh pribadi, menampakkan di dalam Gereja pernikahan yang mengagumkan yang diadakan oleh Allah, pertanda dari zaman yang akan datang. Demikianlah hendaknya religius menyempurnakan penyerahan diri seutuhnya bagaikan kurban yang dipersembahkan kepada Allah; dengan seluruh eksistensi dirinya menjadi ibadat yang terus-menerus kepada Allah dalam cintakasih (KWI, 2006:183). Jadi, hidup religius merupakan hidup yang dibaktikan dan dipersembahkan hanya pada Allah. Allah sebagai pusat seluruh hidup. Hidup religius ini diharapkan merupakan bentuk tetap untuk mengikuti Kristus sebagai yang dicintai lebih dari segala sesuatu. Cinta kepada Allah dapat diwujudkan antara lain dalam doa, ibadat, samadi, dan melayani sesama dalam hidup sehari-hari. Jadi, dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hidup membiara adalah suatu cara hidup tertentu yang dibaktikan dan dipersembahkan kepada Allah untuk mengejar kesempurnaan cinta kasih.

  Mereka yang menghayati hidup membiara disebut biarawan/biarawati. Dalam bukunya, Tom Jacobs (1987:130) mengatakan, “Menurut hukum Gereja biarawan/biarawati adalah orang yang (1) mengikatkan diri dengan ketiga kaul: selibat, kemiskinan, dan ketaatan, dan (2) hidup dalam suatu tarekat yang diakui oleh Gereja.”

   

  Dalam gereja Katolik, untuk mengatur tugas kepemimpinan jemaat dibentuk struktur hierarkhi sesuai dengan fungsi dan peran. Struktur hierarkhi itu terdiri dari paus, uskup, imam, dan diakon. Dalam buku Iman Katolik (KWI, 1996:375-377) dikatakan bahwa biarawan/biarawati tidak termasuk hierarkhi, hanya saja ada biarawan yang ditahbiskan imam (klerus). Mereka sekaligus anggota kelompok kebiaraan dan pembantu uskup, tetapi hidup membiara sendiri bukan fungsi gerejawi tetapi corak kehidupan. Biarawan/biarawati kecuali imam termasuk golongan awam. Istilah awam ada dua arti, secara teologis dan secara tipologis. Secara

  teologis , awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan, meliputi

  biarawan yang tidak ditahbiskan. Secara tipologis, awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan dan juga bukan biarawan. Jadi, posisi biarawan/biarawati dalam Gereja adalah awam yang mempunyai corak kehidupan tertentu yang berbeda dengan awam yang bukan biarawan/biarawati. Pembedaan dilihat dari kondisi dan tata kehidupan status kebiaraan yang dengan cara khusus menuju kekudusan dan kesempurnaan yang khas. Itulah kekhasan dari gaya hidup membiara para biarawan/biarawati.

2. Gaya Hidup Membiara

  Pokok hidup membiara ialah mengikuti Kristus. Mengikuti Kristus berarti “hidup sama seperti Kristus telah hidup” (1 Yoh 2:6). Hal ini berarti juga saling mengasihi. Oleh karena itu yang paling pertama dan yang paling

   

  pokok dalam hidup membiara adalah kebersamaan hidup dalam iman dan kasih Kristus. Bentuk hidup bersama dengan saling meneguhkan dan menguatkan dalam iman merupakan bentuk kehidupan khusus. Kekhususannya adalah bahwa ada kebersamaan yang menjadi komitmen setiap anggota. Bentuk kebersamaan itu antara lain, adanya aturan dalam komunitas yang harus ditaati semua anggota dan komunikasi iman yang saling meneguhkan dalam iman.

  Pada abad ke-4, ketika seluruh masyarakat lama-kelamaan menjadi Kristen, kekhasan kristiani mulai meluntur. Pada saat itu, ada orang-orang yang mengundurkan diri dari masyarakat ramai untuk mencari bentuk kehidupan yang lebih khas kristiani. Pengunduran diri ini adalah titik pangkal dan dasar untuk selibat. Jadi, selibat sebagai gaya hidup untuk orang yang dengan jelas mau hidup untuk Tuhan (Jacobs, 1987:117). Hidup untuk Tuhan berarti hidup yang dipersembahkan hanya untuk Tuhan dengan rela meninggalkan harta, benda, dan kuasa. Mereka dalam tugas perutusan akan berhubungan dengan semuanya itu, namun sekaligus mengambil jarak.

  Hal-hal duniawi bukan satu-satunya tujuan tetapi sarana untuk kelancaran perutusan. Menurut Tom Jacobs (1987:119), “Selibat berarti jarak, bukan ketertutupan. Selibat bukan untuk mau mematikan aktivitas manusia, tetapi mau menampilkan Allah di tengah-tengah pergaulan manusia.”

  Gaya hidup biarawan/biarawati (religius) meneladan Yesus sendiri, yang mampu menyatukan diri-Nya dengan Bapa dan hidup sebagai manusia. Menurut Mardi Prasetya (2005:16-18) ada empat unsur pokok

   

  gaya hidup religius, yakni hidup inkarnatoris, tinggal bersama Yesus, bekerja bersama Yesus, dan bekerja seperti Yesus. Pertama, hidup

  inkarnatoris artinya menjadikan seluruh pergumulan manusiawi kita ini

  sebagai sarana untuk mengungkapkan hidup Allah. Meskipun dalam hidup mengalami kesulitan, ketegangan antara usaha untuk hidup dalam Roh dan realita kelemahan diri, namun tetap diusahakan keseimbangan batin dan usaha mengolah hidup terus-menerus. Kedua, tinggal bersama Yesus adalah usaha untuk membangun relasi personal sampai terbentuk cinta bakti (devosi) yang mendalam pada Kristus sehingga Kristus menjadi dasar panggilan. Caranya dengan kontemplasi untuk senantiasa hadir, mengalami, mengerti, dan memilih Yesus. Ketiga, bekerja bersama Yesus artinya ikut serta dalam tugas perutusan Yesus. Hal ini dapat diartikan pula, menyerahkan diri secara total dalam tugas perutusan Yesus, dengan konsekuensi harus berani hidup melawan arus dunia yang menghambat keselamatan dengan bertolak dari iman. Keempat, bekerja seperti Yesus artinya menghayati cara hidup Yesus yakni hidup diskretif maksudnya kerelaan untuk menguji setiap gerak batin dan motivasi apakah berasal dari Allah atau sekadar ikut arus zaman. Diskresi ini melibatkan kemampuan hati dan citarasa rohani melihat kehadiran Tuhan, kemampuan berefleksi, dan kemampuan kehendak untuk melaksanakan rencana Allah.

  Gaya hidup religius yang demikian itu merupakan inti hidup religius yang terus-menerus selalu diusahakan dan dihayati oleh biarawan/biarawati agar semakin bertumbuh dewasa dalam iman kepada Kristus, memiliki

   

  citarasa Kristus, ikut terlibat dalam karya Kristus, memeluk cara hidup Kristus, dan mampu melihat kehadiran Kristus dalam situasi apapun. Orang yang mampu menghayati ini akan mengalami kebahagiaan karena seluruh hidupnya hanya untuk Tuhan dan mempunyai tujuan untuk memperoleh hidup yang baru, kekal, dan yang akan datang. Hal inilah yang disebut dimensi hidup eskatologis.

3. Dimensi Hidup Eskatologis

  Menurut pendapat Tom Jacobs (1987:178), dimensi hidup eskatologis artinya dimensi surgawi, kekal, baru, dan yang akan datang. Dimensi hidup itu sudah ada tetapi berbeda dari kehidupan sekarang. Dimensi hidup ini baru akan menjadi jelas kalau Kristus akan menampakkan diri dalam kemuliaan surgawi-Nya. Dalam Lumen Gentium dikatakan:

  Umat Allah tidak mempunyai kediaman tetap di sini, melainkan mencari kediaman yang akan datang. Maka status religius, yang lebih membebaskan para anggotanya dari keprihatinan- keprihatinan duniawi, juga lebih jelas memperlihatkan kepada semua orang beriman harta sorgawi yang sudah hadir di dunia ini, memberi kesaksian akan hidup baru dan kekal yang diperoleh berkat penebusan Kristus, dan mewartakan kebangkitan yang akan datang serta kemuliaan Kerajaan sorgawi (KWI, 1990:67). Iman akan hidup eskatologis itu tidak merupakan kekhususan para biarawan/biarawati. Semua orang kristiani percaya akan “kebangkitan orang mati dan hidup di akhirat” (= eskaton). Tetapi tidak semua orang kristiani mengungkapkan atau melahirkan iman itu secara radikal dan menyeluruh.

  Itulah kekhususan hidup membiara: tidak hanya percaya, bahwa “hidup itu

   

  Kristus dan mati keuntungan” (Flp 1:21), tetapi juga mengekspresikan iman itu dalam hidup yang bagi dunia tidak mempunyai arti lagi. Hidup

  eskatologis yang diimani dan dirindukan oleh semua orang kristiani,

  dinyatakan dalam keperawanan: atau sebetulnya bukan hidup eskalotogis sendirilah yang dinyatakan, melainkan iman dan kerinduan akan hidup Kristus itu (Jacobs, 1987:31). Jadi, keperawanan adalah sebagai ungkapan harapan eskatologis.

  Mereka yang telah membaktikan hidupnya demi Kristus seharusnya selalu hidup dalam kerinduan akan kebersatuannya dengan Kristus selamanya. Kehidupannya dipenuhi dengan perkara-perkara Tuhan, mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya, dan selalu memohon akan kedatangan Tuhan. Kerinduan akan Tuhan dihayati dalam pengikraran nasihat-nasihat Injil yakni ketiga kaul, keperawanan, kemiskinan, dan ketaatan yang secara konkrit diwujudkan dalam kesaksian hidup sehari-hari dan dalam tugas perutusan. Tom Jacobs mengatakan, bahwa ketiga kaul ini tidak berdiri sendiri tetapi merupakan kesatuan dalam membentuk sikap yang sama, yakni kerinduan akan hidup eskatologis. Sikap itu langsung diungkapkan dalam keperawanan, dinyatakan diri dalam kemiskinan yang diatur dalam ketaatan (1987:33). Kebersatuan dengan Kristus karena iman, berarti kita sudah bersatu dengan Allah. Namun, kebersatuan karena iman masih harus dipenuhi “pada akhir zaman”. Inilah yang disebut eskatologis.

  Secara nyata dalam kehidupan ini, orang-orang yang hidup bagi Tuhan secara radikal adalah para biarawan/biarawati. Pada saat ini ada

   

  berbagai macam kongregasi biarawan/biarawati dengan spiritualitasnya masing-masing yang ingin mengabdikan hidup seutuhnya kepada Tuhan, salah satunya adalah kongregasi suster-suster Santa Perawan Maria (SPM).

B. Para Suster SPM 1. Identitas SPM

  Suster-suster SPM ingin mengidentifikasikan diri dengan Maria yang memiliki sikap iman yang mendalam. Seperti tertulis dalam Konstitusi SPM berikut: Kita menamakan diri Suster-Suster Santa Perawan Maria.

  Dalam Maria kita mau mengenal diri kita. Dalam dia nampaklah sikap iman, sehingga Allah menjadi kekuatan dalam manusia. Maria mempercayakan diri kepada-Nya, tanpa menduga ke mana ia akan dibawa oleh fiatnya. Penuh rasa kagum ia bersuka ria, bagaimana Tuhan memperhatikan hamba-Nya yang hina. Apa yang dinantikan angkatan demi angkatan sekarang telah terlaksana padanya. Allah telah menyelamatkan umat-Nya dalam buah tubuhnya, Yesus dan mengikat perjanjian baru dengan kita (Kapitel Umum Kongregasi, 1984:15 al 1-2).

  Sikap iman Maria hendaknya menjiwai sikap hidup dan menjadi teladan hidup para suster SPM. Maria sebagai Hawa baru dan sebagai ibu pembawa kehidupan baru telah melahirkan Yesus sebagai manusia baru. Demikian juga para suster SPM diharapkan dapat melahirkan kehidupan baru dalam kehadiran karya pelayanan yang dilakukannya. Para suster SPM hidup memenuhi panggilan Yesus yang dalam hidupnya memperhatikan dan mencintai setiap pribadi bukan hanya diri sendiri. Dalam Konstitusi SPM Yesus sendiri menyatakan diri satu khususnya dengan mereka yang paling hina dina dan Dia menempatkan sesama sebagai sahabat-sahabat-Nya

   

  (Kapitel Umum Kongregasi, 1984:17). Sikap iman Maria yang mendalam inilah yang menjadi kekhasan dari para suster SPM.

  Kongregasi SPM memberikan sumbangan khas dalam karya di bidang pembinaan dan pendidikan. Dalam menghayati hidup membiara dan dalam karya-karyanya para suster SPM disemangati oleh semboyan Tota Christi

  Per Mariam yang berarti segalanya milik Kristus melalui Maria. Yesus

  menjadi pusat hidup para suster SPM. Melalui Maria, para suster SPM sampai kepada Kristus. Maria sebagai pengantara dalam penyerahan hidup para suster SPM kepada Yesus. Semboyan Tota Christi Per Mariam merupakan salah satu usaha dari para suster SPM untuk menyadari, menghayati, dan menghidupkan serta mewujudkan semangat dan spiritualitas Kongregasi SPM.

2. Spiritualitas SPM

  Spiritualitas berasal dari kata latin Spiritus artinya Roh. Spiritualitas pada umumnya diartikan sebagai ‘kehidupan rohani’. Spiritualitas merupakan hubungan pribadi seorang beriman dengan Allah yang terungkap dalam sikap dan perbuatan yang berupa ungkapan pengalaman hidup dalam situasi yang konkret. Spiritualitas adalah seluruh kenyataan hidup yang mencerminkan nilai-nilai hidup berdasarkan iman yang dihayati, sikap-sikap ataupun keutamaan hidup yang mendukung untuk mewujudkan nilai-nilai hidup tersebut dan pilihan-pilihan tingkah laku konkret beserta tindakan- tindakan untuk mewujudkan nilai-nilai hidup tersebut. Singkatnya, yang

   

  dimaksudkan spiritualitas ialah kenyataan-kenyataan konkret hidup yang mencakup keyakinan, keutamaan, dan perwujudannya (Darminta, 1987 via Widyastuti, 2001:46).

  Pengalaman akan kebaikan Allah yang dialami oleh Santa Julie Billiart (ibu rohani kongregasi SPM) dan kharisma pribadinya telah menggerakkan hati dan hidupnya untuk memperjuangkan dan mengangkat generasi muda yang terlantar, miskin spiritual dan material. Pengalaman iman akan Allah dalam hidupnya memberikan inspirasi dalam menjawab jeritan sesamanya dalam situasi jamannya. Dalam Konstitusi SPM dikatakan:

  Ia memperlihatkan kepada kita apa arti manusia di mata Tuhan. Setiap orang ada artinya tidak seorangpun hina. Ia mengatakan diri satu, khususnya dengan mereka yang paling hina. Ia malahan menyebut kita sahabat-sahabat-Nya. Demikian bagi kita Ia menjadi jalan kebenaran dan hidup (Kapitel Umum Kongregasi, 1984:17).

  Isi Konstitusi tersebut merupakan suatu warta gembira-Nya yang diwartakan bagi para suster SPM dalam usaha menghayati spiritualitasnya.

  Perwujudan spiritualitas SPM bersumber pada Kitab Suci dan Konstitusi SPM. Oleh karena itu diilhami oleh belas kasih dan keadilan Allah kita bergaul dengan sesama sedemikian rupa sehingga kesamaan martabat semua orang diakui. Pengakuan akan kesamaan martabat manusia itu merupakan inti spiritualitas SPM.

  Menurut Mardi Prasetya, dalam perjalanan hidup setiap pribadi pasti menghadapi berbagai kesulitan (konflik) dan hambatan baik dalam level intelektual, afeksi, maupun keinginan karena pengaruh dari lingkungan

   

  sekitar (1992:35-36). Sebagai manusia yang menghayati spiritualitas tak jarang para suster SPM mengalami berbagai masalah, kesulitan, atau konflik dalam hidupnya. Konflik dapat terjadi karena tidak terpenuhinya apa yang menjadi harapan. Dalam menghadapi konflik, para suster kadang-kadang tidak bisa menghindari, mau tidak mau harus menghadapinya dengan jatuh bangun. Konflik yang dialami oleh para suster itu berasal dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya. Dalam Konstitusi SPM dikatakan pula bagaimana harus bergumul dengan konflik baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain, dan bagaimana harus menyikapi konflik itu. Berikut isi Konstitusi SPM:

  Mengasihi musuhmu, berbuat baik kepada yang membencimu, memberkati yang mengutukmu dan berdoa bagi mereka yang mau menghancurkan kamu. Hidup dalam semangat ini berarti mempertaruhkan segala sesuatu, penuh perhatian dan terbuka, mendengarkan dengan setulus hati tidak takut akan kesunyian, bergumul dengan dirimu sendiri dan sadar akan sentuhan Allah. Bersama hidup dalam semangat itu berarti berani saling menghadapi, percaya dan berani mengambil risiko, berani mendekati dan melepaskan, tertawa, menangis, menghibur, saling membesarkan hati (Kapitel Umum Kongregasi, 1984:37 al 1.2). Aturan ini jika dilakukan dengan kesungguhan hati dan dengan sikap iman, maka para suster SPM akan mendapat kesegaran dan kebahagiaan dalam hidup.

  Dalam penelitian ini, peneliti mau menyoroti dan mengkhususkan pada konflik interpersonal/antar pribadi yang dialami oleh para suster SPM dalam hidup membiara.

    C.

   Penyelesaian Konflik 1. Pengertian Konflik

  Setiap pribadi dalam hidup sehari-hari baik dalam hidup pribadi, hidup doa, maupun hidup dengan teman dan masyarakat, sering menemukan halangan atau ketidakselarasan. Ketidakselarasan ini menimbulkan ketegangan atau konflik. Seakan-akan ada perang dalam diri pribadi.

  Konflik juga sering terjadi dalam hidup membiara. Meskipun dalam suatu komunitas sudah terbangun secara mendalam dasar spiritualitas dan semangat yang sama bagaimanapun juga tidak lepas dari konflik. Konflik yang para suster alami dapat bersifat intrapersonal (konflik pribadi) tetapi dapat juga bersifat interpersonal (konflik dengan orang lain). Konflik intrapersonal dan konflik interpersonal ini saling berkaitan satu sama lain dan saling mempengaruhi. Konflik intrapersonal muncul karena pengaruh dari konflik interpersonal/hubungan tidak baik dengan orang lain.

Dokumen yang terkait

PENGEMBANGAN APLIKASI COMPANY PROFILE PADA RUMAH SAKIT UMUM SANTA MARIA PEMALANG PENGEMBANGAN APLIKASI COMPANY PROFILE PADA RUMAH SAKIT UMUM SANTA MARIA PEMALANG BERBASIS MULTIMEDIA.

0 2 14

EVALUASI STRUKTUR PENGENDALIAN INTERN PENERIMAAN KAS PAROKI HATI SANTA PERAWAN MARIA TAK BERCELA EVALUASI STRUKTUR PENGENDALIAN INTERN PENERIMAAN KAS PAROKI HATI SANTA PERAWAN MARIA TAK BERCELA KUMETIRAN YOGYAKARTA.

0 2 16

BAB I EVALUASI STRUKTUR PENGENDALIAN INTERN PENERIMAAN KAS PAROKI HATI SANTA PERAWAN MARIA TAK BERCELA KUMETIRAN YOGYAKARTA.

0 2 12

PENUTUP EVALUASI STRUKTUR PENGENDALIAN INTERN PENERIMAAN KAS PAROKI HATI SANTA PERAWAN MARIA TAK BERCELA KUMETIRAN YOGYAKARTA.

0 2 7

MINAT DAN MOTIVASI UMAT MENJADI PEMAIN GAMELAN PADA PERAYAAN EKARISTI DI GEREJA HATI SANTA PERAWAN MARIA TAK BERCELA KUMETIRANYOGYAKARTA.

0 0 91

this PDF file PENGARUH LITURGI GEREJA KATOLIK ROMA PADA INTERIOR GEREJA KELAHIRAN SANTA PERAWAN MARIA | Veronica | Dimensi Interior 1 PB

0 1 11

SIMBOLISASI PADA RANCANGAN ARSITEKTUR GEREJA KATOLIK SANTO PETRUS DAN GEREJA KATOLIK SANTA PERAWAN MARIA TUJUH KEDUKAAN DI KOTA BANDUNG

0 0 14

MALANG DAN KAUM BIARAWATI ORDO SANTA PERAWAN MARIA SITUBONDO)

0 1 17

UNDANGAN SPIRITUALITAS PERSEKUTUAN MENURUT DOKUMEN “BERTOLAK SEGAR DALAM KRISTUS” BAGI PENGHAYATAN CITA-CITA HIDUP KOMUNITAS KONGREGASI SUSTER FRANSISKUS MISIONARIS MARIA SKRIPSI

0 0 177

MAKNA PENGOLAHAN HIDUP BAGI PERKEMBANGAN SUSTER YUNIOR SELAMA MASA PEMBINAAN DALAM TAREKAT KASIH YESUS DAN MARIA BUNDA PERTOLONGAN YANG BAIK ( KYM )

0 0 146